PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan tentang: (1) latar belakang masalah, (2) identifikasi
masalah, (3) pembatasan masalah, (4) rumusan masalah, (5) tujuan penelitian, (6)
manfaat penelitian, dan (7) ruang lingkup dan keterbatasan penelitian.
kita menjadi meningkat, maka orang-orang yang terlibat secara langsung maupun
tidak langsung harus menyadari bahwa masa depan bangsa sangat ditentukan dari
kualitas pendidikan yang dilaksanakan (Basri, 2007). Tujuan pendidikan pada
umumnya ialah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk
mengembangkan bakat dan kemampuan secara optimal, sehingga ia dapat
mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadi
dan kebutuhan masyarakat.
Berbagai upaya inovatif telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai
tujuan pendidikan. Upaya tersebut adalah melalui menyempurnakan kurikulum
1994 menjadi kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
bahkan sekarang KBK sudah disempurnakan dengan diterapkannya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
menuntut adanya perubahan pengajaran yang cenderung pasif dan teoritis serta
berpusat pada guru, menuju pada proses pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif
dan produktif. Hal ini mengacu pada permasalahan kontekstual dan berpusat pada
siswa, sehingga siswa menemukan dan membangun pengetahuan sendiri.
Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya cenderung
berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada
siswa (learner centered) diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat secara
aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku (Harsono, 2004). Guru
harus memberikan kebebasan siswa untuk belajar secara mandiri. Proses
pembelajaran yang berpusat pada siswa, memberikan kesempatan dan fasilitas
kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya, sehingga memperoleh
pemahaman (understanding) yang mendalam dan pada akhirnya dapat
kualitas
pendidikan
bangsa
kita
yang
belum
maksimal.
kurang memadai. Dampak dari hal tersebut adalah pada proses pembelajaran
siswa tidak terlibat secara aktif. Hal itu menyebabkan kurang seimbangnya
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Sebagian besar dari siswa
juga tidak mampu menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana
pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan. Tentu saja hal tersebut menyebabkan
siswa hanya menggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan
berpikir mereka jadi siswa akan malas untuk berpikir bahkan untuk berpikir
mandiri dan kritis (Setyorini, 2011). Siswa juga tidak terbiasa untuk menjalani
proses menemukan sebuah fakta maupun konsep sehingga dampaknya adalah
tidak berkembangnya keterampilan proses siswa. Model pembelajaran seperti itu
tentunya akan membatasi gerak siswa untuk memahami suatu konsep.
Beberapa fakta menunjukkan bahwa proses pembelajaran belum menggali
secara maksimal kemampuan berpikir siswa serta keterampilan proses sains.
Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan hal tersebut diantaranya adalah hasil
penelitian yang dilakukan Masfuah, et al (2011) pada siswa kelas VII menyatakan
bahwa siswa kurang berani bertanya atau mengemukakan pendapatnya saat
pembelajaran berlangsung. Hal itu disebabkan karena siswa tidak terbiasa untuk
berpikir secara kritis dan kurang terbiasa untuk mengungkapkan pendapatnya,
selain itu sikap pasif yang diperlihatkan siswa disebabkan karena pelajaran fisika
yang diajarkan merupakan sesuatu yang masih abstrak. Pembelajaran yang
berlangsung tidak menghubungkan isi pembelajaran dengan kenyataan sehingga
siswa kurang paham terhadap materi yang disampaikan. Kemampuan berpikir
siswa direduksi dan sekedar dipahami sebagai kemampuan mengingat.
Berdasarkan teori perkembangan menurut piaget, masa SMP merupakan masa
transisi dari masa anak-anak. Mereka berpikir secara konkret menuju masa
abstrak. Mereka dituntut untuk berpikir kritis, analitis, logis dan mampu
memahami konsep secara abstrak dalam menyelesaikan permasalahan, sehingga
guru memiliki peran sangat penting dalam pembelajaran. Guru harus mampu
mengkondisikan agar anak dapat berpikir kritis, bersikap dan bertindak ilmiah.
Pengajaran keterampilan berpikir kritis di Indonesia memiliki beberapa kendala,
salah satunya adalah dominasinya guru dalam proses pembelajaran dan tidak
memberi akses pada peserta didik untuk berkembang secara mandiri melalui
penemuan dan proses berpikirnya (Trianto, 2007).
Selain
minimnya
kemampuan
siswa
untuk
menyelesaikan
setiap
memungkinkan
memberikan
yang
lebih
baik.
Pengetahuan
pedagogik
(Rusmiyanti dan Yulianto, 2009). Salah satu model pembelajaran yang tidak
hanya memberdayakan sains sebagai produk tetapi juga mampu memberdayakan
sains sebagai proses terutama demi peningkatan keterampilan berpikir kritis serta
keterampilan proses sains yaitu model pembelajaran inkuiri hipotetik. Model
pembelajaran ini memberi kesempatan kepada siswa berpikir tentang dunia
sekitar. Inkuiri hipotetik berorientasi pada aktivitas kelas yang berpusat pada
siswa dan memungkinkan siswa belajar memanfaatkan berbagai sumber belajar
yang tidak hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Siswa
secara aktif akan terlibat dalam proses mentalnya melalui kegiatan merumuskan
masalah, berhipotesis, pengamatan, pengukuran dan pengumpulan data untuk
menarik suatu kesimpulan. Pada kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
model ini, siswa diberikan pertanyaan penyelidikan dengan tujuan untuk
mendorong siswa untuk berpikir tentang konsep dan merumuskan tanggapannya.
Model ini tidak hanya mengembangkan siswa dari kontennya tapi juga dari
keragaman pemikiran dan proses yang dilalui. Langkah-langkah dalam
pembelajaran inkuiri hipotetik menurut Wenning (dalam khan (2009) diantaranya
1) memunculkan ide siswa dan mengarahkan pada kegiatan hand on, 2)
Merumuskan masalah melalui kegiatan hand on, 3) Merumuskan hipotesis
berdasarkan masalah yang diperoleh dari kegiatan hand on, 4) Membuat dan
melakukan eksperimen untuk menguji hipotesis, 5) Mengumpulkan data
eksperimen, 6) Menginterpretasi data untuk membuktikan hipotesis, 7) Mengecek
kebenaran hipotesisnya dan membiarkan merumuskan kembali hipotesisnmya
untuk diselidiki kembali sesuai perkembangan materi. Penjelasan di atas
mengungkapkan
pembelajaran
inkuiri
hipotetik
dapat
mengembangkan
10
kecerdasan proses siswa dalam hal ini berpikir kritis serta keterampilan proses
sains.
Pembelajaran yang selama ini diterapkan (model konvensinal) memiliki
karakteristik yang berbeda dengan model inkuiri hipotetik. Perbedaan
karakteristik ini akan menimbulkan konsekuensi pada cara dan hasil berpikir
siswa serta keterampilan proses siswa yang berbeda. Hal tersebut membuat
peneliti ingin membuktikan secara empiris pengaruh model inkuiri hipotetik
terhadap keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains melalui suatu
penelitian yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Hipotetik
Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses
siswa
kelas VII SMP N 1 Singaraja pada Pokok Bahasan Kalor dan Pemuaian.
11
ide, dan aplikasi di bidang ilmunya dan dapat memimpin investigasi sains. Guru
seharusnya paham dan sukses dalam menyampaikan ke siswa terkait konsep
umum, prinsip, teori, hukum dan hubungan bidang ilmunya. Paham dan sukses
dalam menggunakan persamaan matematis dalam proses dan laporan data serta
pemecahan masalah (NSTA, 2003).
Kemampuan guru terkait proses pembelajaran adalah bagaimana teknik
pembelajaran yang tepat untuk menyelesaikannya materi dengan baik dan
mencapai tujuan pembelajaran yang maksimal. Adanya berbagai model dan
pendekatan pembelajaran yang inovatif seharusnya memberi banyak kesempatan
pada guru untuk menentukan model yang tepat digunakan. Kurikulum juga
menuntut agar guru mampu memusatkan pembelajaran pada siswa. Kurikulum
tingkat satuan pendidikan merupakan kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP menuntut peserta didik
lebih aktif, kritis dan kreatif dalam pembelajaran sementara guru diharapkan lebih
aktif dalam memancing kreativitas peserta didik dan lebih memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
dan kreatifnya. Tujuan pembelajaran fisika di SMP dalam KTSP menekankan agar
siswa menguasai konsep-konsep fisika dan saling keterkaitannya serta mampu
menggunakan model ilmiah yang dilandasi sikap ilmiah untuk memecahkan
masalah yang dihadapi serta mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata seharihari. Guru harus memiliki kemampuan memilih strategi yang efektif untuk
pemahaman konsep siswa, dan pengaturan akan metode penilaian.
Kemampuan ini yang belum dimiliki sepenuhnya oleh guru, seperti yang
diungkapkan pada hasil penelitian yang dilakukan Masfuah, et al (2011) pada
siswa kelas VII menyatakan bahwa siswa kurang berani bertanya atau
12
13
14
yang mereka pilih bahkan tidak jarang siswa menjawab dengan asal-asalan. Hal
ini berdampak pada gaya belajar siswa yang cenderung berorientasi pada buku
teks dan lebih mengutamakan belajar menyelesaikan soal-soal yang ada daripada
mengikuti proses bagaimana suatu pengetahuan itu dibangun.
Hal lain yang menyebabkan kegiatan pembelajaran tidak berjalan dengan
maksimal adalah sarana dan prasarana yang kurang memadai. Sains sebagai
proses menuntut pembelajaran yang lebih menekankan aktivitas siswa dalam
menemukan sebuah fakta dan konsep. Penggunaan alat praktikum dalam
pembelajaran akan membantu siswa untuk mengenal konsep yang abstrak menjadi
lebih nyata. Melalui kegiatan praktikum siswa akan bertindak layaknya sebagai
ilmuwan yang mana untuk memecahkan suatu permasalahan harus melalui
beberapa tahapan. Dengan demikian siswa akan terbiasa melatih keterampilan
proses sainsnya. Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan di beberapa
sekolah di kabupaten buleleng ternyata masih banyak sekolah yang belum
memiliki alat praktikum yang memadai dan walaupun ada belum dimanfaatkan
secara maksimal dalam proses pembelajaran dengan alasan kekurangan waktu.
Hal itu akan menghambat siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan
keterampilan prosesnya.
1.3 Pembatasan Masalah
Masalah-masalah yang telah diidentifikasi tersebut hendaknya dikaji secara
tuntas agar mengetahui pengaruh model terhadap keterampilan berpikir kritis dan
keterampilan proses sains siswa dapat dikembangkan secara optimal. Namun,
adanya berbagai keterbatasan yang dimiliki peneliti seperti biaya, waktu,
kemampuan, dan fasilitas, maka perlu dilakukan pembatasan terhadap
15
permasalahan yang dikaji pada penelitian ini. Tujuannya agar hasil penelitian yang
diperoleh lebih optimal. Peneliti membatasi permasalahan terkait pengembangan
keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains yakni melalui
pengembangan model pembelajaran inovatif. Fokus penelitian ini adalah
pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan berpikir kritis dan
keterampilan proses sains siswa. Begitu banyaknya model pembelajaran, maka
peneliti membatasi model pembelajaran tersebut menjadi dua bagian yaitu model
pembelajaran inkuiri hipotetik dan model yang selama ini digunakan oleh guru di
sekolah (konvensional). Model pembelajaran yang diterapkan hanya terbatas di
kelas VII SMP Negeri 1 Singaraja tahun ajaran 2012/2013. Pokok bahasan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kalor dan pemuaian.
1.4 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
16
1.
2.
3.
17
suatu
pengakomodasian
pengetahuan
pembelajaran.
1.7 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
dalam
proses
18