Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan tentang: (1) latar belakang masalah, (2) identifikasi
masalah, (3) pembatasan masalah, (4) rumusan masalah, (5) tujuan penelitian, (6)
manfaat penelitian, dan (7) ruang lingkup dan keterbatasan penelitian.

I.1 Latar Belakang Masalah


Era pasar bebas atau yang biasa disebut dengan era globalisasi sudah mulai
terlihat saat ini. Kata "globalisasi" secara populer dapat diartikan menyebarnya
segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh dunia. Terjadinya era globalisasi
memberi dampak ganda yakni dampak yang menguntungkan dan dampak yang
merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama
yang seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain jika kita tidak
mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang
lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita. Tantangan kita pada
masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif
di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter dengan mengandalkan pada
kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan
komparatif yang telah dimiliki bangsa kita.
Pendidikan merupakan sebuah proses yang akan membawa perbaikan
bangsa. Melalui pendidikan diharapkan sumber daya manusia (SDM) di negara

kita menjadi meningkat, maka orang-orang yang terlibat secara langsung maupun
tidak langsung harus menyadari bahwa masa depan bangsa sangat ditentukan dari
kualitas pendidikan yang dilaksanakan (Basri, 2007). Tujuan pendidikan pada
umumnya ialah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk
mengembangkan bakat dan kemampuan secara optimal, sehingga ia dapat
mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadi
dan kebutuhan masyarakat.
Berbagai upaya inovatif telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai
tujuan pendidikan. Upaya tersebut adalah melalui menyempurnakan kurikulum
1994 menjadi kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
bahkan sekarang KBK sudah disempurnakan dengan diterapkannya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
menuntut adanya perubahan pengajaran yang cenderung pasif dan teoritis serta
berpusat pada guru, menuju pada proses pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif
dan produktif. Hal ini mengacu pada permasalahan kontekstual dan berpusat pada
siswa, sehingga siswa menemukan dan membangun pengetahuan sendiri.
Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya cenderung
berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada
siswa (learner centered) diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat secara
aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku (Harsono, 2004). Guru
harus memberikan kebebasan siswa untuk belajar secara mandiri. Proses
pembelajaran yang berpusat pada siswa, memberikan kesempatan dan fasilitas
kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya, sehingga memperoleh
pemahaman (understanding) yang mendalam dan pada akhirnya dapat

meningkatkan kualitas belajar siswa. Materi pembelajaran tidak hanya tersusun


atas hal-hal sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman namun juga tersusun
atas materi kompleks yang memerlukan analisis, aplikasi dan sintesis (Setyorini,
2011).
Pendidikan sains merupakan salah satu aspek pendidikan yang digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Sains bukan hanya
penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau
prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan
sains diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri
sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam
menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Sains pada hakekatnya memiliki
tiga komponen yaitu komponen produk, proses dan sikap. Sains sebagai sebuah
produk karena terdiri dari sekumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta,
konsep-konsep, prinsip dan hukum tentang gejala alam. Sains sebagai sebuah
proses, karena merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terstruktur dan
sistematis yang dilakukan untuk menemukan konsep, prinsip dan hukum tentang
gejala alam. Sedangkan sains sebagai suatu sikap, karena diharapkan mampu
menimbulkan karakter bagi siswa sesuai dengan nilai siswa. Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku saat ini menetapkan dua standar
kompetensi dalam pendidikan sains, yaitu (1) pemahaman konsep dan
penerapannya, (2) kinerja ilmiah. Pemahaman dan penerapan konsep mencakup
semua sub dalam ranah kognitif, sedangkan kinerja ilmiah mencerminkan semua
aktivitas sains yang melatih dan mengembangkan baik keterampilan proses sains
maupun sikap ilmiah.

Pada kenyataannya hakikat pembelajaran sains belum sepenuhnya


terpenuhi. Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia ditunjukkan oleh penelitian
dan penilaian. Pertama, hasil penilaian PISA tahun 2003 merangkum tentang
aspek matematika, sains, membaca, dan pemecahan masalah yang menunjukkan
bahwa Indonesia berada pada peringkat 37 dari 39 negara peserta dengan skor
pemecahan masalah (problem solving score) adalah 361. Skor yang diperoleh
merupakan skor yang di bawah rata-rata (Lemke et al., 2004). Kedua, survey dari
Trend International Mathematics Science (TIMSS) tahun 2007 melaporkan
tentang nilai rata-rata sains pada domain kognitif yang merupakan aspek penting
dalam kemampuan pemecahan masalah. Indonesia berada pada peringkat 36 dari
49 negara di dunia (Gonzales et al., 2008). Indonesia memperoleh skor knowing
adalah 425, applying adalah 426, dan reasoning adalah 438 yang di bawah skor
rata-rata TIMSS, yaitu 500. Ketiga, pada tahun 2005, indeks pengembangan
manusia Indonesia yang berada pada peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Pada
tahun 2006, Indonesia mengalami kemajuan dengan berada pada peringkat 108.
Pada tahun 2008, Indonesia berada pada peringkat 107 di dunia dalam Human
Development Index yang disusun oleh UNDP (United Nation Development
Program) (Wikipedia, 2008). Namun, peringkat tersebut bukan merupakan
harapan pendidikan secara nasional.
Kedudukan Indonesia yang masih rendah dibandingkan negara lain
menunjukkan

kualitas

pendidikan

bangsa

kita

yang

belum

maksimal.

Ketidakmaksimalan tersebut juga dapat dilihat dari proses pembelajaran selama


ini. Guru sains fisika cenderung menggunakan metode ceramah. Hal tersebut
dilakukan karena keterbatasan waktu, mengejar materi dan sarana prasarana yang

kurang memadai. Dampak dari hal tersebut adalah pada proses pembelajaran
siswa tidak terlibat secara aktif. Hal itu menyebabkan kurang seimbangnya
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Sebagian besar dari siswa
juga tidak mampu menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana
pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan. Tentu saja hal tersebut menyebabkan
siswa hanya menggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan
berpikir mereka jadi siswa akan malas untuk berpikir bahkan untuk berpikir
mandiri dan kritis (Setyorini, 2011). Siswa juga tidak terbiasa untuk menjalani
proses menemukan sebuah fakta maupun konsep sehingga dampaknya adalah
tidak berkembangnya keterampilan proses siswa. Model pembelajaran seperti itu
tentunya akan membatasi gerak siswa untuk memahami suatu konsep.
Beberapa fakta menunjukkan bahwa proses pembelajaran belum menggali
secara maksimal kemampuan berpikir siswa serta keterampilan proses sains.
Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan hal tersebut diantaranya adalah hasil
penelitian yang dilakukan Masfuah, et al (2011) pada siswa kelas VII menyatakan
bahwa siswa kurang berani bertanya atau mengemukakan pendapatnya saat
pembelajaran berlangsung. Hal itu disebabkan karena siswa tidak terbiasa untuk
berpikir secara kritis dan kurang terbiasa untuk mengungkapkan pendapatnya,
selain itu sikap pasif yang diperlihatkan siswa disebabkan karena pelajaran fisika
yang diajarkan merupakan sesuatu yang masih abstrak. Pembelajaran yang
berlangsung tidak menghubungkan isi pembelajaran dengan kenyataan sehingga
siswa kurang paham terhadap materi yang disampaikan. Kemampuan berpikir
siswa direduksi dan sekedar dipahami sebagai kemampuan mengingat.
Berdasarkan teori perkembangan menurut piaget, masa SMP merupakan masa

transisi dari masa anak-anak. Mereka berpikir secara konkret menuju masa
abstrak. Mereka dituntut untuk berpikir kritis, analitis, logis dan mampu
memahami konsep secara abstrak dalam menyelesaikan permasalahan, sehingga
guru memiliki peran sangat penting dalam pembelajaran. Guru harus mampu
mengkondisikan agar anak dapat berpikir kritis, bersikap dan bertindak ilmiah.
Pengajaran keterampilan berpikir kritis di Indonesia memiliki beberapa kendala,
salah satunya adalah dominasinya guru dalam proses pembelajaran dan tidak
memberi akses pada peserta didik untuk berkembang secara mandiri melalui
penemuan dan proses berpikirnya (Trianto, 2007).
Selain

minimnya

kemampuan

siswa

untuk

menyelesaikan

setiap

permasalahan sains, keterampilan proses yang merupakan bagian dari kinerja


ilmiah yang mengarah pada proses penemuan juga belum mendapat perhatian
yang serius dari pendidikan. Kunandar (2007) menyatakan, bahwa pembelajaran
harus lebih menekankan pada praktik, baik di laboratorium maupun di
masyarakat, yang mengacu pada kemampuan kinerja ilmiah seseorang. Melihat
betapa pentingnya kinerja ilmiah tersebut seyogyanya kegiatan pembelajaran sains
di kelas selalu menekankan pada kinerja ilmiah (proses). Kenyatannya,
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sadia, et al. (2003)
menunjukkan bahwa 95% tujuan pembelajaran khusus (TPK) yang dirancang
guru fisika SMU di kabupaten Buleleng mengarah pada penguasaan produk sains
dan hanya 5% yang mengarah pada keterampilan proses sains. Metode yang
digunakan oleh guru sains adalah metode ceramah (70%), diskusi (10%),
demonstrasi (10%), dan eksperimen (10%). Kondisi yang demikian menyebabkan
siswa lebih bersifat pasif dalam proses pembelajaran karena aktivitas siswa

menjadi terbatas. Proses belajar-mengajar cenderung dimulai dengan orientasi dan


penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari siswa,
pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan memberikan tes (model pembelajaran
konvensional). Selain itu, dalam proses kegiatan laboratorium siswa jarang diberi
kesempatan untuk berkreasi baik itu mulai dari merumuskan masalah,
berhipotesis, melakukan percobaan, mengumpulkan data hingga membuat suatu
kesimpulan. Proses pembelajaran yang demikian secara tidak langsung
menyebabkan keterampilan siswa tidak mampu berkembang secara optimal.
Bertitik tolak dari kesenjangan yang telah diuraikan di atas, maka perlu
adanya penyempurnaan kegiatan pembelajaran. Penyempuranaan kegiatan belajar
mengajar dapat dilakukan melalui penyempurnaan sumber belajar, suasana kelas,
kurikulum, sarana dan prasarana serta kemampuan dasar yang dimiliki guru.
Catatan penting untuk melakukan pengajaran yang baik adalah guru harus
mengetahui kemampuan dasar yang harus dimiliki untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Beberapa kemampuan dasar tersebut menurut Etkina (dalam
Wenning, 2007) diantaranya adalah pengetahuan konten (content knowledge),
pengetahuan di bidang pedagogik (pedagogical knowledge) dan pengetahuan
pedagogik sesuai konten (pedagogical content knowledge)

yang efektif agar

mampu mengarahkan siswa untuk mencapai kompetensi yang seharusnya


diperoleh selama menjalani pendidikan. Pengetahuan konten (content knowledge)
adalah pengetahuan terhadap disiplin ilmu yang ditekuni yakni dalam hal ini
adalah pengetahuan tentang konsep sains khususnya fisika, hubungan antar
konsep, serta metode untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Guru harus
mengetahui apa yang harus mereka harapkan saat mengajar siswanya dan

memungkinkan

memberikan

yang

lebih

baik.

Pengetahuan

pedagogik

(pedagogical knowledge) secara umum dijelaskan dengan kata mengapa dan


bagaimana mengajar. Pengetahuan pedagogik terdiri dari pengetahuan dalam
mengembangkan pikiran, pengetahuan kognitif sains, pengetahuan pembelajaran
kolaboratif, pengetahuan menejemen kelas. Pengetahuan pedagogik sesuai konten
(pedagogical content knowledge) terdiri dari pengetahuan kurikulum fisika,
kemampuan dalam mengetahui kesulitan belajar siswa, kemampuan memilih
strategi yang efektif untuk pemahaman konsep siswa, dan pengaturan akan
metode penilaian. Guru dalam pembelajaran sangat berperan penting walaupun
bukan menjadi pusat dalam proses pembelajaran karena kemampuan guru dalam
memilih strategi yang efektif akan turut menentukan sejauh mana siswa
memahami suatu konsep tertentu.
Pengembangan model pembelajaran yang lebih inovatif merupakan salah
satu cara dalam meningkatkan kemampuan dasar guru dalam pembelajaran sains
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan baik itu mampu
mengembangkan kemampuan berpikir siswa serta keterampilan proses sains.
Purwanto (1999) menyatakan bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi hasil
belajar adalah kesempatan siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran,
misalkan melalui kegiatan praktikum. Penyelidikan atau praktikum dapat melatih
siswa untuk memperoleh keterampilan proses sains. Pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara langsung dalam
proses pembelajaran akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
pembelajaran yang tidak memberikan kesempatan tersebut pada siswa

(Rusmiyanti dan Yulianto, 2009). Salah satu model pembelajaran yang tidak
hanya memberdayakan sains sebagai produk tetapi juga mampu memberdayakan
sains sebagai proses terutama demi peningkatan keterampilan berpikir kritis serta
keterampilan proses sains yaitu model pembelajaran inkuiri hipotetik. Model
pembelajaran ini memberi kesempatan kepada siswa berpikir tentang dunia
sekitar. Inkuiri hipotetik berorientasi pada aktivitas kelas yang berpusat pada
siswa dan memungkinkan siswa belajar memanfaatkan berbagai sumber belajar
yang tidak hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Siswa
secara aktif akan terlibat dalam proses mentalnya melalui kegiatan merumuskan
masalah, berhipotesis, pengamatan, pengukuran dan pengumpulan data untuk
menarik suatu kesimpulan. Pada kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
model ini, siswa diberikan pertanyaan penyelidikan dengan tujuan untuk
mendorong siswa untuk berpikir tentang konsep dan merumuskan tanggapannya.
Model ini tidak hanya mengembangkan siswa dari kontennya tapi juga dari
keragaman pemikiran dan proses yang dilalui. Langkah-langkah dalam
pembelajaran inkuiri hipotetik menurut Wenning (dalam khan (2009) diantaranya
1) memunculkan ide siswa dan mengarahkan pada kegiatan hand on, 2)
Merumuskan masalah melalui kegiatan hand on, 3) Merumuskan hipotesis
berdasarkan masalah yang diperoleh dari kegiatan hand on, 4) Membuat dan
melakukan eksperimen untuk menguji hipotesis, 5) Mengumpulkan data
eksperimen, 6) Menginterpretasi data untuk membuktikan hipotesis, 7) Mengecek
kebenaran hipotesisnya dan membiarkan merumuskan kembali hipotesisnmya
untuk diselidiki kembali sesuai perkembangan materi. Penjelasan di atas
mengungkapkan

pembelajaran

inkuiri

hipotetik

dapat

mengembangkan

10

kecerdasan proses siswa dalam hal ini berpikir kritis serta keterampilan proses
sains.
Pembelajaran yang selama ini diterapkan (model konvensinal) memiliki
karakteristik yang berbeda dengan model inkuiri hipotetik. Perbedaan
karakteristik ini akan menimbulkan konsekuensi pada cara dan hasil berpikir
siswa serta keterampilan proses siswa yang berbeda. Hal tersebut membuat
peneliti ingin membuktikan secara empiris pengaruh model inkuiri hipotetik
terhadap keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains melalui suatu
penelitian yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Hipotetik
Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses

siswa

kelas VII SMP N 1 Singaraja pada Pokok Bahasan Kalor dan Pemuaian.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan pada latar belakang penelitian di atas, maka dapat diidentifikasi
permasalahan yang muncul yakni kurang dikembangkannya keterampilan berpikir
kritis dan keterampilan proses sains siswa dalam proses pembelajaran selama ini.
Banyak aspek yang menyebabkan terjadinya hal tersebut diantaranya dilihat dari
kemampuan dasar guru, proses pembelajaran, evaluasi pembelajaran serta sarana
dan prasarana pembelajaran.
Beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki guru menurut Etkina
(dalam Wenning, 2007) diantaranya adalah pengetahuan konten (content
knowledge), pengetahuan di bidang pedagogik (pedagogical knowledge) dan
pengetahuan pedagogik sesuai konten (pedagogical content knowledge). Guru
sains harus memahami dan dapat mengartikulasi pengetahuan dan penerapannya
saat ini. Mereka harus mampu mengaitkan dan menginterpretasi konsep penting,

11

ide, dan aplikasi di bidang ilmunya dan dapat memimpin investigasi sains. Guru
seharusnya paham dan sukses dalam menyampaikan ke siswa terkait konsep
umum, prinsip, teori, hukum dan hubungan bidang ilmunya. Paham dan sukses
dalam menggunakan persamaan matematis dalam proses dan laporan data serta
pemecahan masalah (NSTA, 2003).
Kemampuan guru terkait proses pembelajaran adalah bagaimana teknik
pembelajaran yang tepat untuk menyelesaikannya materi dengan baik dan
mencapai tujuan pembelajaran yang maksimal. Adanya berbagai model dan
pendekatan pembelajaran yang inovatif seharusnya memberi banyak kesempatan
pada guru untuk menentukan model yang tepat digunakan. Kurikulum juga
menuntut agar guru mampu memusatkan pembelajaran pada siswa. Kurikulum
tingkat satuan pendidikan merupakan kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP menuntut peserta didik
lebih aktif, kritis dan kreatif dalam pembelajaran sementara guru diharapkan lebih
aktif dalam memancing kreativitas peserta didik dan lebih memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
dan kreatifnya. Tujuan pembelajaran fisika di SMP dalam KTSP menekankan agar
siswa menguasai konsep-konsep fisika dan saling keterkaitannya serta mampu
menggunakan model ilmiah yang dilandasi sikap ilmiah untuk memecahkan
masalah yang dihadapi serta mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata seharihari. Guru harus memiliki kemampuan memilih strategi yang efektif untuk
pemahaman konsep siswa, dan pengaturan akan metode penilaian.
Kemampuan ini yang belum dimiliki sepenuhnya oleh guru, seperti yang
diungkapkan pada hasil penelitian yang dilakukan Masfuah, et al (2011) pada
siswa kelas VII menyatakan bahwa siswa kurang berani bertanya atau

12

mengemukakan pendapatnya saat pembelajaran berlangsung. Hal itu disebabkan


karena siswa tidak terbiasa untuk berpikir secara kritis dan kurang terbiasa untuk
mengungkapkan pendapatnya, selain itu sikap pasif yang diperlihatkan siswa
disebabkan karena pelajaran fisika yang diajarkan merupakan sesuatu yang masih
abstrak. Sains khususnya fisika masih dirasa sulit oleh siswa karena siswa
sebagian besar belum mampu menghubungkan antara materi yang dipelajari
dengan pengetahuan yang digunakan. Penggunaan sistem pembelajaran
tradisional siswa hanya diberi ceramah sehingga siswa menerima pengetahuan
secara abstrak (hanya membayangkan) tanpa mengalami sendiri proses tersebut.
Pembelajaran yang hanya menghafal akan mengakibatkan permasalahan kesulitan
dalam belajar. Siswa akan sulit memahami arti fisis dari persamaan tersebut
dengan benar sehingga pembelajaran bermakna belum diperoleh.
Pada kenyataannya sesuai hasil observasi pada beberapa guru SMP di
kabupaten Buleleng terlihat bahwa guru tidak memperhatikan strategi yang tepat
digunakan sesuai dengan materi yang dibahas. Misalnya materi yang seharusnya
diajarkan melalui praktikum pada kenyataannya diajarkan dengan metode
ceramah dengan alasan kekurangan waktu. Hal ini tentunya menghambat
perkembangan siswa baik dalam aspek kognitif maupun psikomotik siswa. Masih
banyak guru yang menggunakan model pembelajaran tradisional (ceramah). Hal
ini menyebabkan siswa tidak sepenuhnya diberikan kesempatan untuk
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan berpikir kritisnya. Sanjaya (2006)
mengungkapkan salah satu kelemahan guru dalam mengajar adalah guru tidak
berusaha mengajak peserta didik untuk berpikir, yang mana mengajar seharusnya
melatih siswa agar terbiasa untuk berpikir sehingga mampu memecahkan sebuah
permasalahan. Siswa tidak terbiasa dalam mengungkapkan pendapat saat proses

13

pembelajaran berlangsung, siswa cenderung pasif mendengarkan penjelasan guru,


ketika dihadapkan pada suatu permasalahan siswa tidak mampu dalam
memecahkan permasalahan tersebut. Pada proses pembelajaran sering kali guru
menjadi pusat pembelajaran dan peserta didik hanya sebagai objek penerima saja
(Setyowati, et al, 2011).
Hal sejalan juga ditunjukkan dari hasil penelitian kualitatif yang telah
dilakukan Astiti (2010) berjudul tindak guru dalam pembelajaran IPA berbasis
kegiatan laboratorium

di SMP N 1 singaraja tahun pelajaran 2009/2010

menunjukkan bahwa kendala utama guru dalam kegiatan pembelajaran adalah


menentukan model dan metode yang akan digunakan agar cocok dengan materi
yang dibahas. Hal ini disebabkan karena guru tidak terlalu banyak tahu tentang
model pembelajaran yang inovatif. Hal ini terlihat jelas dari hasil wawancara yang
telah dilakukan pada salah seorang guru dsana tanggal 4 Februari 2010 di ruang
guru (Wan/D5/GA/4-2-2010) berikut.
Saya biasanya yang menjadi kendala utama adalah menentukan model
dan metode yang akan digunakan agar cocok. Yang jadi masalah lagi,
saya tidak terlalu banyak tahu tentang model pembelajaran, apalagi yang
baru-baru karena tidak up to date berita saya.
Evaluasi guru juga mempengaruhi kemampuan siswa berpikir dan
keterampilan proses sains siswa. Selama ini evaluasi yang digunakan cenderung
hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif siswa melalui soal pilihan
ganda. Hal ini dilihat dari ulangan harian, ulangan umum bahkan hingga ujian
nasional. Evaluasi seperti itu akan membiasakan siswa untuk tidak terampil dalam
mengembangkan komponen-komponen keterampilan berpikir kritis seperti
interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi dan eksplanasi. Selain itu evaluasi seperti
ini akan menyebabkan keterampilan proses siswa tidak terlihat perkembangannya.
Siswa tidak terbiasa dalam mengungkapkan alasan mengapa memilih jawaban

14

yang mereka pilih bahkan tidak jarang siswa menjawab dengan asal-asalan. Hal
ini berdampak pada gaya belajar siswa yang cenderung berorientasi pada buku
teks dan lebih mengutamakan belajar menyelesaikan soal-soal yang ada daripada
mengikuti proses bagaimana suatu pengetahuan itu dibangun.
Hal lain yang menyebabkan kegiatan pembelajaran tidak berjalan dengan
maksimal adalah sarana dan prasarana yang kurang memadai. Sains sebagai
proses menuntut pembelajaran yang lebih menekankan aktivitas siswa dalam
menemukan sebuah fakta dan konsep. Penggunaan alat praktikum dalam
pembelajaran akan membantu siswa untuk mengenal konsep yang abstrak menjadi
lebih nyata. Melalui kegiatan praktikum siswa akan bertindak layaknya sebagai
ilmuwan yang mana untuk memecahkan suatu permasalahan harus melalui
beberapa tahapan. Dengan demikian siswa akan terbiasa melatih keterampilan
proses sainsnya. Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan di beberapa
sekolah di kabupaten buleleng ternyata masih banyak sekolah yang belum
memiliki alat praktikum yang memadai dan walaupun ada belum dimanfaatkan
secara maksimal dalam proses pembelajaran dengan alasan kekurangan waktu.
Hal itu akan menghambat siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan
keterampilan prosesnya.
1.3 Pembatasan Masalah
Masalah-masalah yang telah diidentifikasi tersebut hendaknya dikaji secara
tuntas agar mengetahui pengaruh model terhadap keterampilan berpikir kritis dan
keterampilan proses sains siswa dapat dikembangkan secara optimal. Namun,
adanya berbagai keterbatasan yang dimiliki peneliti seperti biaya, waktu,
kemampuan, dan fasilitas, maka perlu dilakukan pembatasan terhadap

15

permasalahan yang dikaji pada penelitian ini. Tujuannya agar hasil penelitian yang
diperoleh lebih optimal. Peneliti membatasi permasalahan terkait pengembangan
keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains yakni melalui
pengembangan model pembelajaran inovatif. Fokus penelitian ini adalah
pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan berpikir kritis dan
keterampilan proses sains siswa. Begitu banyaknya model pembelajaran, maka
peneliti membatasi model pembelajaran tersebut menjadi dua bagian yaitu model
pembelajaran inkuiri hipotetik dan model yang selama ini digunakan oleh guru di
sekolah (konvensional). Model pembelajaran yang diterapkan hanya terbatas di
kelas VII SMP Negeri 1 Singaraja tahun ajaran 2012/2013. Pokok bahasan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kalor dan pemuaian.
1.4 Rumusan Masalah
1.

Apakah terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan


proses sains antara kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran inkuiri hipotetik dan model pembelajaran konvensional?

2.

Apakah terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis antara kelompok


siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri hipotetik dan model
pembelajaran konvensional?

3.

Apakah terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara kelompok


siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri hipotetik dan model
pembelajaran konvensional?

1.5 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian yang akan diajukan adalah sebagai berikut.

16

1.

Menganalisis perbedaan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan


proses sains antara kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran inkuiri hipotetik dan model pembelajaran konvensional.

2.

Menganalisis perbedaan keterampilan berpikir kritis antara kelompok siswa


yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri hipotetik dan model
pembelajaran konvensional.

3.

Menganalisis perbedaan keterampilan proses sains antara kelompok siswa


yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri hipotetik dan model
pembelajaran konvensional.

1.6 Manfaat Penelitian


Secara umum, ada dua manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini.
Pertama, manfaat teoritik yang memiliki akses jangka panjang dalam
pengembangan teori pembelajaran yang berpusat pada siswa yang merupakan
salah satu landasan dari konstruktivisme. Kedua, adalah manfaat praktik yang
memberikan dampak langsung pada segenap komponen pembelajaran.
16.1. Manfaat Teoritis
Beberapa manfaat teoritis dari penelitian ini adalah:
1) Hasil penelitian ini dapat memberikan jastifikasi empirik terkait pengaruh
model pembelajajaran inkuiri hipotetik terhadap keterampilan berpikir kritis
dan keterampilan proses sains sehingga memperkuat konsep dan teori
tentang pembelajaran inkuiri hipotetik.
2) Hasil penelitian ini mengungkapkan fakta terkait pengaruh model
pembelajaran inkuiri hipotetik terhadap keterampilan berpikir kritis dan
keterampilan proses siswa sehingga memperkaya studi tentang model
pembelajaran yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut.

17

16.2. Manfaat Praktis


Manfaat praktis dari penelitian ini adalah:
1) Perangkat pembelajaran seperti rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
dan lembar kerja siswa (LKS) model pembelajaran konvensional dan inkuiri
hipotetik yang telah teruji secara empirik kelayakan dan keunggulannya
akan memberi manfaat yang sangat besar sebagai perangkat pembelajaran
sains yang meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan
proses siswa.
2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk
melakukan pemilihan model pembelajaran inovatif yang paling sesuai
dalam pembelajaran sains dan sesuai dengan karakteristik pebelajar,
lingkungan sekolah dan tujuan-tujuan kurikulum.
3) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengembangan strategi pembelajaran sains yang lebih kreatif dan inovatif.
4) Hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi
peneliti pembelajaran sains khususnya yang terkait dengan metode
eksperimen agar dapat mengembangkan lebih lanjut model pembelajaran
inovatif yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan
keterampilan proses sains siswa.
5) Penerapan model pembelajaran inkuiri hipotetik dapat memberikan manfaat
kepada guru fisika SMP sebagai salah satu alternatif model pembelajaran
inovatif yang dapat diterapkan untuk pencapaian hasil belajar siswa sesuai
dengan target yang ingin dicapai. Model pembelajaran yang diterapkan akan
memberikan

suatu

pengakomodasian

pengetahuan

pembelajaran.
1.7 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

dalam

proses

18

Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 1 Singaraja kelas VII


semester 2 tahun pelajaran 2012/2013. Pokok bahasan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu kalor dan pemuaian. Keluasan materi disesuaikan dengan
kurikulum yang berlaku, yaitu kurikulum KTSP. Perangkat pembelajaran berupa
RPP dan LKS yang dikembangkan mengacu pada materi. Perangkat
pembelajaran ini dibuat menjadi dua jenis yaitu berdasarkan model pembelajaran
inkuiri hipotetik dan berdasarkan model pembelajaran konvensional (MPK)
yang mengacu permendiknas no.41 tahun 2007. Penelitian ini menyelidiki
keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa kelas VII SMP
N 1 Singaraja. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah keterampilan
berpikir kritis dan keterampilan proses sains. Variabel independent dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran. Model pembelajaran yang diterapkan
dalam penelitian ini adalah model pembelajaran inkuiri hipotetik (MPIH) dan
model pembelajaran konvensional (MPK).

Anda mungkin juga menyukai