Anda di halaman 1dari 3

Terreur paris et jeux Elit : Permainan Teror

Imran Ibnu Fajri


Masih panas sekali telinga kita tentang apa yang diberitakan oleh media internasional baru-baru ini. Aksi
teror yang terjadi di paris yang merenggut korban tak bersalah menjadi keresahan masyarakat dunia berkat
pemberitaan media. Permintaan maaf, ajakan berdoa, hashtag-hashtag di media sosial, justifikasi,
pembenaran, pembelaan dan lain sebagainya mulai bertebaran di beranda-beranda virtual kita. Dan tentu kita
sepakat bahwa kejadian tersebut tidak dapat dibenarkan adanya. Aksi yang menghilangkan nyawa
masyarakat tak bersalah ini adalah sebuah tragedi. Kecaman adalah sebuah kepatutan yang harus diberikan
kepada pelaku. Dan terlebih lagi pelaku (in)telek- tual yang bersembunyi dibalik bayangan dan tertawa
dalam meja billiard ditemani minuman keras mahal dan wanita-wanita sewaan. Kaum elit biadab yang
mengambil keuntungan politik demi popularitas dan kenyamanan pribadi.
Peristiwa ini tentu berdampak pada berbagai macam hal. Ditengah kondisi dunia yang kian tak berbatas ini
masyarakat akan segera merespon apapun yang terjadi. Islam sebagai sebuah Agama yang sampai saat ini
terus memberikan sumbangsihnya kepada dunia kembali di uji. Posisinya sekali lagi dipertanyakan oleh
banyak orang termasuk pemeluknya. Apakah ia terdakwa, tersangka, terdampak atau bahkan yang terfitnah.
Kita tidak akan membahas apakah islam mengajarkan terrorism, pembunuhan orang yang tak bersalah dan
sekelumit hal keji lainnya. Karena sudah jelas islam tidak pernah mengajarkan hal tersebut.
Bahasan tulisan kali ini adalah mencoba agar pembaca mengeluarkan ketertarikannya untuk mencari
kebenaran dan melihat hal yang lebih besar. Tidak tepat kita membandingkan antara aksi teror ini dengan
peristiwa di suriah, palestina, yaman dan lainnya. Karena semua sama-sama sebuah kejahatan kemanusiaan.
Namun tidak adil jika kita membesarkan sebuah peristiwa dan meninggalkan yang lainnya hanya agar bisa
dilihat lebih toleran.
Homogenisasi Negara, Sekulerisasi dan Islam
Dalam tulisan Francis Fukoyama dengan judul- the end of history- ia menjelaskan tentang pandangannya
tentang kondisi dunia di akhir zaman. Dia melihat adanya upaya-upaya untuk meng-homogenisasi
keberadaan negara-negara yang ada di dunia. Baik itu dari sistem politik, ekonomi, budaya bahkan cara
pandang masyarakt dunia terhadap dunia itu sendiri.
Telah sejak lama persaingan selalu terjadi antara kubu satu dengan kubu yang lainnya. Tentu kitatahu
bersama bahwa dunia sempat terbelah menjadi dua front pertempuran besar antara kekuatan sosialis dan
kapitalis. Hingga akhirnya front kapitalis yang dimenangkan oleh Amerika dan sekutunya-lah yang berjaya.
Dengan kemenangan Amerika ini upaya-upaya meng-homogen-kan dunia mulai dilakukan. Posisinya
sebagai negara adidaya yang memiliki pengaruh besar mulai memaksa mereka mengikuti gaya Amerika baik
sukarela maupun terpaksa. Bahkan sekelas china dan russia sekalipun untuk bertahan pada akhirnya harus
merubah haluan kebijakan politik serta ekonominya.
Dalam upaya melakukan homogenisasi itu terdapat sebuah halangan besar yang tersisa yaitu Agama.
Pemisahan antara Agama dan kehidupan merupakan upaya agar homogenisasi itu berjalan lancar. Namun

mereka melihat sebuah hambatan besar bernama Islam yang kian tumbuh kokoh dari akar hingga pucuk.
Islam sebagai agama yang mengatur setiap sendi kehidupan dianggap penghambat dari cita-cita sebagian
orang itu.
M.Natsir dalam pidatonya pada sidang konstituante pernah mengatakan. Jika Indonesia ingin merumuskan
kembali dasar negara kita maka saat ini pilihannya hanya dua, yaitu Sekuler atau Agamis. Natsir pun
menjabarkan segala kekurangan negera sekuler serta bahaya-bahayanya bagi Indonesia. Karena dalam hal
meng-homogen-kan dunia agama adalah penghambat utama. Terlebih lagi islam yang pada hakikatnya
mengatur segala hal dalam kehidupan manusia.
Homogenisasi itu kini diupayakan dengan berbagai cara. termasuk mengorbankan jutaan nyawa manusia
untuk memotong batas-batas perbedaan yang sudah menjadi ketetapan Allah. Bahwa manusia, alam serta
dunia dan seisinya diciptakan berbeda.
Terorisme, Masyarakat Informasi dan Pengkhianatan Negara
The past-cold war era-let us call it that for want of any better term-began with the collapse of one
structure, the berlin wall on 9,1989 and ended with a collapse of another, the world centers twin
towers on september 11, 2011 from the moment they did happen, everyone acknowledged that
everything had changed
Setelah perang dingin dimenangkan oleh Amerika. Setelah tembok berlin diruntuhkan. Dunia seakan
berubah 180 derajat ketika gedung WTC hancur karena serangan (terorisme). kata-kata itu seakan menjadi
mendunia sesaat setelah Presiden Amerika saat itu mengatakan akan (Berperang) dengan terorisme.
Amerika memberikan pendanaan yang besar terhadap siapapun yang ingin menumpas terorisme. Bertempur
bersama kami atau bersama teroris (mereka). Bagi sebagian negara ini adalah kesempatan emas untuk
mendapatkan sponsor dan pendanaan. Bagi sebagian lainnya ini adalah strategi emas untuk melakukan
demonisasi terhadap suatu kelompok dan memelihara konflik untuk kepentingan politik. Negara seakan
berkhianat pada rakyatnya. Mencari pembenaran untuk melakukan pembunuhan dan penangkapan atas dasar
perang melawan terorisme. Dimana ternyata itu semua ada hanya untuk memperbesar anggaran belanja dan
memenangkan hati rakyat buta dan menjadi pahlawan di layar kaca.
Tentu kita paham. Saat ini pada akhirnya Islam lah yang menjadi korban sang polisi dunia. Berapa juta
orang yang harus meregang nyawa hanya karena gengster paman sam itu ? hanya untuk menunjukan kepada
dunia siapa polisinya, hanya untuk menjaga agar produksi industri senjata dapat tetap sejahtera dan hanya
untuk menyatukan dunia dengan ambisi para elit elang gedung putih.
Tak jelas sekarang apa definisi terorisme. Siapa saat ini yang sedang melakukan teror ? betul kata Dr
Muhammad Imarah dalam bukunya. Bahwa kita mungkin sedang berada dalam perang istilah. Istilah yang
disalahalamatkan yang dibantu penyebarannya dengan media. Media dikatakan sebagai sarana pencerdasan.
namun pada kenyataannya mereka malah mengadakan pembodohan.
Persis seperti yang dikatakan oleh Ibnu Dunya dalam bukunya, Al-Aqlu wa Fadhliha yang menjelaskan
tentang kondisi kedudukan dan maqom akal akan tidak diketahui diakhir zaman. Persis seperti yang terjadi
saat ini. Saat dimana semua seakan berhak bersuara. Saat penyebar informasi mewawancarai dan meminta

pendapat orang yang bukan ahlinya hanya untuk sebuah komentar. Dimana secara tidak sadar komentar para
komentator dadakan itulah yang membentuk opini masyarakat.
Lantas bagaimana kita menanggapi isu terorisme ini ? apakah sebagai seorang muslim yang kedudukannya
sedang dalam ujian ini kita hanya bisa berkomentar dengan angin saja ? apakah kita harus melakukan
gerakan homogenisasi itu untuk dunia yang lebih baik ? apakah jutaan umat beragama khususnya islam
pantas menjadi bayarannya dalam mewujudkan itu semua ? Apakah kejadian di paris dapat digunakan para
sang peneror sebenarnya untuk meneror negara tertentu ?
Ikuti Diskusinya yuk, Kamis 26 Nopember Jam 15.30
di Idis-Dekat sampoerna corner perpustakaan ITS lt 3
Membentangkan Ketakutan : Jejak Berdarah Perang Global Melawan Terorisme
Kelompok Studi Islam Ekonomi Politik & Humaniora KS-IEPH Aufklarung Iman, Ilmu, Amal dan
Peradaban
Imran Ibnu Fajri-Teknik Perkapalan 2011

Anda mungkin juga menyukai