Pendahuluan
akan kaku selama 12 jam. Lalu kaku mayat menghilang, yaitu otot-otot
tubuh akan mulai lemas satu per satu karena dimulai proses pembusukan,
mulai dari otot orbicularis oculi, otot leher, ekstremitas atas, toraks,
abdomen, ekstremitas bawah, dan terakhir otot rahang bawah. Proses ini
berlangsung selama 6 jam. Lalu secondary flaccidity, yaitu otot mayat
lemas seluruhnya karena pembusukan. Namun proses ini dipengaruhi oleh
suhu lingkungan di sekitar mayat, konvulsi atau aktivitas otot sebelum
meninggal, umur korban, dan status gizi (1).
Kaku mayat perlu dibedakan beberapa keadaan yaitu heat stiffening,
cold stiffening, dan cadaveric spasme. Heat stiffening adalah mayat yang
menjadi kaku akibat koagulasi protein pada suhu tinggi, cirinya adalah
mayat akan mengambil posisi pugilistic attitude. Terjadi pada
korban/jenazah yang terbakar atau tersiram cairan panas.Cold stiffening
(freezing) adalah kaku sendi akibat cairan sinovial yang membeku pada
suhu yang sangat rendah. Cirinya adalah bila sendi digerakkan akan ada
krepitasi, dan sendi akan kembali lemas bila jenazah dihangatkan kembali.
Cadaveric spasme (instantaneous rigor) adalah kontraksi otot/sekelompok
otot sejak stadium somatic death, bisa seluruh otot tubuh, bisa
sekelompok otot tertentu. Kontraksi ini akan dipertahankan hingga timbul
pembusukan. Terjadi pada stadium somatic death yang sangat cepat dan
disertai emosi yang hebat sesaat sebelum korban meninggal (1).
Perhitungan lama kematian dengan pembusukan adalah pembusukan
dimulai 18-24 jam setelah seseorang meninggal, yaitu saat kaku mayat
mulai menghilang. Namun dipengaruhi sterilitas, suhu, kelembapan,
medium, umur, edema, massa lemak, peradangan, mutilasi, keracunan
bahan pengawet kronis, serta pasca melahirkan (1).
Perhitungan saat kematian dengan memperhatikan larva lalat adalah
lalat akan menaruh telur pada jenazah yang mulai membusuk (18-24 jam
setelah meninggal). Telur akan menetas dalam waktu 8-14 jam setelah
ditaruh. Telur yang menetas mengeluarkan larva lalat yang tumbuh
membesar selama 9-12 hari berikutnya sebelum akhirnya menjadi
kepompong. Kepompong akan berlangsung selama 12 hari sebelum
akhirnya menjadi lalat dewasa (1).
Cara Pembuatan
Mortis Wheel (yang selanjutnya akan ditulis MW) dibuat dalam 2
bentuk yaitu cetak dan software dimulai dengan pembuatan 2 lingkaran,
yaitu lingkaran luar dan dalam, menggunakan program komputer Corel
Draw X4. Diameter masing-masing lingkaran dibuat sesuai kebutuhan
dengan lingkaran luar > dalam. Lingkaran luar merupakan komponen
waktu sedangkan lingkaran dalam merupakan komponen perubahan post
Contoh Kasus
1. Pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 07:00 WIB ditemukan:
Korban laki-laki dengan posisi terlentang. Lebam mayat (+) pada
punggung, tidak hilang bila ditekan. Kaku mayat (+) sendi rahang, leher,
jari, dan lutut. Tidak ada tanda-tanda pembusukan. Kapan korban
meninggal?
Dengan perhitungan manual, dari data diatas disimpulkan bahwa:
Pembusukan belum ada berarti korban meninggal tidak lebih dari 18
jam yang lalu
Lebam mayat (+) dan menetap berarti korban meninggal lebih dari 4
jam yang lalu
Kaku mayat lengkap berarti korban meninggal sekitar 6-18 jam yang
lalu
Kita gunakan range yang paling sempit yaitu kaku mayat, sehingga
disimpulkan bahwa korban meninggal sekitar 6-18 jam yang lalu
Saat kematian adalah antara 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 18 jam
hingga 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 6 jamyaitu 28 Februari 2012, 13:00
hingga 1 Maret 2012, 01:00.
Dengan MW, dari data diatas kita cukup melihat pada juring KAKU
MAYAT LENGKAP sehingga jawaban adalah waktu antara pada juring
tersebut yaitu 28 Februari 2012, 13:00 hingga 1 Maret 2012,
01:00 (Gambar 2). Jadi menentukan saat kematian menggunakan MW
menghasilkan jawaban yang sama dengan perhitungan manual.
2. Pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 07:00 WIB ditemukan:
Saat kematian adalah antara 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 4 jam hingga
1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 3 jamyaitu 1 Maret 2012, 3:00 hingga 1
Maret 2012, 04:00 (Gambar 3).
Dengan MW, dari data diatas kita cukup melihat pada juring KAKU
MAYAT TIDAK LENGKAP A sehingga jawaban adalah waktu antara pada
juring tersebut yaitu 1 Maret 2012, 3:00 hingga 1 Maret 2012,
4.00 (Gambar 3). Jadi menentukan saat kematian menggunakan MW
menghasilkan jawaban yang sama dengan perhitungan manual.
3. Pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 07:00 WIB ditemukan:
Korban laki-laki dengan posisi terlentang. Lebam mayat (+) pada
punggung, tidak hilang bila ditekan. Kaku mayat (-) pada semua sendi.
Abdomen korban berwarna kehijauan. Belum ada satupun larva pada
tubuh korban. Kapan korban meninggal?
Dari data diatas disimpulkan bahwa:
Pembusukan sudah ada berarti korban meninggal lebih dari 18 jam
yang lalu
Lebam mayat (+) dan menetap berarti korban meninggal lebih dari 4
jam yang lalu
Kaku mayat sudah menghilang (secondary flaccidity) berarti korban
meninggal lebih dari 24 jam yang lalu
Belum ada larva pada tubuh korban, berarti korban meninggal kurang
dari 26 jam yang lalu
Kita gunakan range yang paling sempit yaitu irisan antara secondary
flaccidity dengan belum munculnya larva, sehingga disimpulkan bahwa
korban meninggal antara 24-26 jam yang lalu.
Saat kematian adalah antara 1 Maret 2012, 07:00 - 26 jam hingga 1
Maret 2012, 07:00 - 24 jam.
Jawab: saat kematian korban adalah 28 Februari 2012, 05:00 hingga 28
Februari 2012, 07:00. Area ini tidak terdapat pada juring manapun pada
MW, dan menunjukkan keterbatasan MW. (Gambar 4).
Kesimpulan dan Saran
Menentukan saat kematian bukanlah hal mudah karena perubahan
setelah kematian dipengaruhi oleh banyak faktor. Berbagai cara ilmiah
diteliti oleh para ahli untuk menentukan perkiraan saat kematian tetapi
hal itu rumit dan tidak praktis.
Setelah melalui percobaan pengaplikasian MW pada beberapa kasus,
MW terbukti dapat digunakan untuk menentukan saat kematian dengan
praktis. Dengan keterbatasan akan adanya beberapa syarat
pengguanaan yang harus dipenuhi, diperlukan penelitian dan
penyempurnaan lebih lanjut agar penentuan saat kematian menjadi lebih
baik, cepat, tepat, dan murah.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Departemen
Forensik
dan
Medikolegal
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Airlangga Surabaya, KepalaInstalasi Departemen Forensik dan Medikolegal
RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Koordinator Pendidikan Departemen
Forensik
dan
Medikolegal
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Airlangga Surabaya, Staf Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Peserta Program Pendidikan
Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya, Dosen
pembimbing
kelompok yang
telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan makalah
ilmiah ini.
Daftar Pustaka
1.