Anda di halaman 1dari 30

DIARE AKUT

Pendahuluan
Diare merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak dan dapat disebabkan oleh berbagai
macam penyebab dengan variasi penyakit dari yang ringan hingga berat. Diare yang terjadi pada
anak-anak biasanya disebabkan oleh karena infeksi, meskipun demikian diet makanan yang tidak
sesuai, terjadinya malabsorpsi makanan, dan berbagai macam gangguan pada saluran cerna juga
dapat menyebabkan keadaan tersebut. Penyakit diare ini biasanya merupakan penyakit yang
sembuh dengan sendirinya (self-limited), tetapi manajemen dan tatalaksana yang tidak baik dari
infeksi akut tersebut dapat menyebabkan keadaan yang berlarut-larut.
Berdasarkan data-data yang diperoleh maka komplikasi yang seringkali terjadi akibat diare adalah
kehilangan cairan dari tubuh atau yang disebut dengan dehidrasi (Frye, 2005). Selain dehidrasi
maka komplikasi lain yang dapat menyertai diare adalah muntah. Cairan akan masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pencernaan dan kemudian akan diabsorpsi di dalam tubuh. Jika kemampuan
untuk minum untuk mengkompensasi kehilangan cairan akibat diare dan muntah terganggu maka
dehidrasi akan terjadi. Kematian yang terjadi akibat diare pada anak-anak terutama disebabkan
karena kehilangan cairan dari tubuh dalam jumlah yang besar (Karras, 2005).
Definisi
Diare adalah suatu keadaan pergerakan tinja yang cepat, konsistensi cair/berair, lembek dan dapat
ditambah dengan keadaan saluran cerna yang penuh dengan gas (Karras, 2005). Sedangkan yang
dimaksud dengan diare akut adalah buang air besar yang terjadi pada bayi atau anak yang
sebelumnya nampak sehat, dengan frekuensi 3 kali atau lebih per hari, disertai perubahan tinja
menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah (Sunoto, 1991). Pada bayi yang masih mendapat
ASI tidak jarang frekuensi defekasinya lebih dari 3-4 kali sehari, keadaan ini tidak dapat disebut
diare, melainkan masih bersifat fisiologis atau normal. Kadang-kadang seorang anak defekasi
kurang daripada 3 kali sehari, tetapi konsistensinya sudah encer, keadaan ini sudah dapat disebut
diare.
Ada juga yang mendefinisikan bahwa diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari
dengan/tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi secara
mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari dan anak yang sebelumnya sehat (Mansjoer, 2000).
Dalam definisi ini terdapat batasan waktu yaitu kurang dari 7 hari dan batasan diare adalah lebih
dari tiga kali sehari.
1

Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD RSHS (2005) maka
yang dimaksud dengan diare akut adalah buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari
biasanya, tiga kali atau lebih dalam satu hari, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah yang timbul
secara mendadak dan berlangsung kurang dari 2 minggu (14 hari). Jika ada diare akut maka
terdapat juga diare kronik. Diare kronik adalah suatu sindroma, bukan penyakit. Diare kronik
adalah diare yang berlangsung 2 minggu atau lebih. Pada kesempatan referat kali ini kami hanya
akan membatasi permasalahan pada diare akut saja.
Epidemiologi
Diare merupakan penyakit yang umum terjadi pada hampir semua kelompok usia dan merupakan
penyakit kedua tersering setelah influenza (common cold). Penyakit diare juga merupakan suatu
masalah yang kerap kali terjadi di dalam kesehatan masyarakat dan di dalam bagian pelayanan
kegawatdaruratan, terutama untuk anak-anak dibawah usia lima tahun. Diperkirakan terdapat 100
juta kasus diare akut setiap tahunnya di Amerika Serikat. Kasus-kasus tersebut merupakan 5% dari
keseluruhan kunjungan ke praktek pribadi dan 10% dari pasien-pasien yang dirawat inap (Frye,
2005).
Walaupun telah banyak hasil yang diperoleh dibidang penanggulangan diare, namun hingga kini
diare masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada bayi dan balita di negara
berkembang. Episode diare setiap tahun di Indonesia masih berkisar sekitar 60 juta dengan
kematiannya sebanyak 200.000-250.000. Menurut survei kesehatan rumah tangga yang dilakukan
di Indonesia pada tahun 1986 angka kematian karena diare merupakan 12% diantara seluruh angka
kematian kasar yang besarnya 7/1000 penduduk. Angka ini merupakan angka yang tertinggi
diantara semua penyebab kematian. Sekitar 15% penyebab kematian bayi dan 26% kematian anak
balita disebabkan oleh diare (Sunoto, 1991).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO maka anak-anak dibawah usia 3 tahun
mengalami 2-8 episode diare setiap tahunnya. Anak yang lebih besar mengalami kejadian diare 1
kali setiap tahunnya. Dari data-data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sekitar 500 juta anakanak yang berusia dibawah 5 tahun akan mengalami diare sebanyak 1 kali setiap tahunnya. Di
negara maju seperti di Amerika Serikat maka hanya <10% dari kasus-kasus diare tersebut yang
dibawa ke tenaga medis untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Hal ini disebabkan karena
pengobatan/perawatan di rumah yang efektif (Karras, 2005).

Berbeda dengan negara maju, maka di negara yang berkembang yang tidak memiliki sumber
pengetahuan yang mencukupi untuk perawatan di rumah, maka angka kematiannya sangat tinggi.
Sekitar 2 juta anak di seluruh dunia diperkirakan meninggal setiap tahunnya akibat penyakit diare
akut ini, dan hal ini merupakan penyebab kematian kedua tersering setelah, infeksi saluran
pernafasan (Frye, 2005).
Cara penularan diare pada umumnya adalah secara oro-fecal melalui 1) makanan dan minuman
yang telah terkontaminasi oleh enteropatogen, 2) kontak langsung tangan dengan penderita atau
baran-barang yang telah tercemar tinja penderita, atau tidak langsung melalui lalat. Di dalam bahasa
Inggris maka terdapat 4 F di dalam cara penularan diare ini yaitu food (makanan), feces (tinja),
finger (jari tangan), and fly (lalat) (Sunoto, 1991).
Faktor risiko terjadinya diare adalah faktor risiko yang dapat meningkatkan transmisi
enteropatogen, diantaranya adalah 1) tidak cukup tersedianya air bersih, 2) tercemarnya air oleh
tinja, 3) tidak ada/kurangnya sarana MCK, 4) higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang
buruk, 5) cara penyimpanan dan penyediaan makan yang tidak higienis, dan 6) cara penyapihan
bayi yang tidak baik (terlalu cepat disapih, terlalu cepat diberi susu botol, dan terlalu cepat diberi
makanan padat). Selain itu terdapat pula beberapa faktor risiko pada pejamu (host) yang dapat
meningkatkan kerentanan pejamu terhadap enteropatogen diantaranya adalah malnutrisi dan bayi
berat badan lahir rendah (BBLR), imunodefisiensi atau imunodepresi, rendahnya kadar asam
lambung, dan peningkatan motilitas usus.
Etiologi
Penyebab diare akut adalah sebagai berikut ini (Mansjoer, 2000 ; & Sunoto, 1991) :
1) Infeksi : virus, bakteri, dan parasit.
a) Golongan virus : Rotavirus, Adenovirus, Virus Norwalk, Astrovirus, Calicivirus,
Coronavirus, Minirotavirus.
b) Golongan bakteri : Shigella spp., Salmonella spp., Escherecia coli, Vibrio cholera, Vibrio
parahaemoliticus, Aeromonas hidrophilia, Bacillus cereus, Campylobacter jejuni,
Clostridium

difficile,

Clostridium

perfringens,

Staphylococcus

aureus,

Yersinia

enterocolitica.
c) Golongan parasit, protozoa : Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli ;
cacing perut : Ascariasis, Trichuris truchiura, Strongiloides stercoralis ; jamur : Candida
spp.

2) Malabsorpsi : karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak terutama trigliserida rantai panjang, atau
protein seperti beta-laktoglobulin.
3) Makanan : makanan basi, makanan beracun. Diare karena keracunan makanan terjadi akibat dua
hal yaitu makanan mengandung zat kimia beracun atau makanan mengandung mikroorganisme
yang mengeluarkan toksin, antara lain Clostridium perfringens, Staphylococcus.
4) Alergi terhadap makanan : terutama disebabkan oleh Cows milk protein sensitive enteropathy
(CMPSE), dan juga dapat disebabkan oleh makanan lainnya.
5) Imunodefisiensi. Diare akibat imunodefisiensi ini sering terjadi pada penderita AIDS.
6) Psikologis : rasa takut dan cemas.
Dari berbagai macam penyebab diare akut tersebut diatas, maka yang paling sering menjadi
penyebab diare akut apa anak-anak adalah infeksi virus. Rotavirus dan adenovirus merupakan
penyebab tersering diare akut pada anak dibawah usia 2 tahun. Astrovirus dan calicivirus biasanya
menginfeksi anak-anak yang berusia dibawah tahun (Karras, 2005).
Berikut ini akan dibahas beberapa enteropatogen/penyebab diare akut spesifik yang dianggap
merupakan penyebab diare yang utama :
Rotavirus.
Rotavirus pertama kali ditemukan oleh Bishop (1973) di Australia pada biopsi duodenum penderita
diare dengan menggunakan mikroskop elektron. Ternyata kemudian Rotavirus ditemukan di seluruh
dunia sebagai penyebab diare akut yang paling sering, terutama pada bayi dan anak usia 6-24 bulan.
Di Indonesia, berdasarkan penelitian di beberapa Rumah Sakit di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung
berkisar 40-60% diare akut disebabkan oleh Rotavirus.
Akibat infeksi Rotavirus ini pada usus terjadi kerusakan sel epitel mukosa usus, infeksi sel-sel
radang pada lamina propia, pemendekan jonjot usus, pembengkakan mitokondria, dan bentuk
mikrovili (brush border) yang tidak teratur. Sebagai akibat dari semua ini adalah terjadinya
gangguan absorpsi cairan/elektrolit pada usus halus dan juga akan terjadi gangguan pencernaan
(digesti) dari makanan terutama karbohidrat karena defisiensi enzim disakaridase akibat kerusakan
epitel mukosa usus tadi.
Escherichia coli.
E. coli menyebabkan sekitar 25% diare di negara berkembang dan juga merupakan penyebab diare
kedua setelah Rotavirus pada bayi dan anak. Pada saat ini telah dikenal 5 golongan E.coli yang
dapat

menyebabkan

diare,

yaitu

ETEC

(Enteropathogenic
4

Escherichia

coli),

EPEC

(Enteropathogenic Eschericia coli), EIEC (Enteroinvasive Eschericia coli), EAEC (Enteroadherent


Escherichia coli), dan EHEC (Enterohemorrhagic Escherichia coli).
ETEC. ETEC merupakan penyebab utama diare dehidrasi di negara berkembang. Transmisinya
melalui

makanan

(makanan

sapihan/makanan

pendamping),

dan

minuman

yang

telah

terkontaminasi. Pada ETEC dikenal 2 faktor virulen, yaitu 1) faktor kolonisasi, yang menyebabkan
ETEC dapat melekat pada sel epitel usus halus (enterosit) dan 2) enterotoksin. Gen untuk faktor
kolonisasi dan enterotoksin terdapat dalam plasmid, yang dapat ditransmisikan ke bakteri E.coli
lain. Terdapat 2 macam toksin yang dihasilkan oleh ETEC, yaitu toksin yang tidak tahan panas
(heat labile toxin = LT) dan toksin yang tahan panas (heat stable toxin = ST). Toksin LT
menyebabkan diare dengan jalan merangsang aktivitas enzim adenil siklase seperti halnya toksin
kolera sehingga akan meningkatkan akumulasi cAMP, sedangkan toksin ST melalui enzim guanil
siklase yang akan meningkatkan akumulasi cGMP. Baik cAMP maupun cGMP akan menyebabkan
perangsangan sekresi cairan ke lumen usus sehingga terjadi diare. Bakteri ETEC dapat
menghasilkan LT saja, ST saja atau kedua-duanya. ETEC tidak menyebabkan kerusakan rambut
getar (mikrovili) atau menembus mukosa usus halus (invasif). Diare biasanya berlangsung terbatas
antara 3-5 hari, tetapi dapat juga lebih lama (menetap, persisten).
EPEC. EPEC dapat menyebabkan diare berair disertai muntah dan panas pada bayi dan anak
dibawah usia 2 tahun. Di dalam usus, bakteri ini membentuk koloni melekat pada mukosa usus,
akan tetapi tidak mampu menembus dinding usus. Melekatnya bakteri ini pada mukosa usus karena
adanya plasmid. Bakteri ini cepat berkembang biak dengan membentuk toksin yang melekat erat
pada mukosa usus sehingga timbul diare pada bayi dan sering menimbulkan prolong diarrhea
terutama bagi mereka yang tidak minum ASI.
EIEC. EIEC biasanya apatogen, tetapi sering pula menyebabkan letusan kecil (KLB) diare karena
keracunan makanan (food borne). Secara biokimiawi dan serologis bakteri ini menyerupai Shigella
spp., dapat menembus mukosa usus halus, berkembang biak di dalam kolonosit (sel epitel kolon)
dan menyebabkan disentri basiler. Dalam tinja penderita, sering ditemukan eritrosit dan leukosit.
EAEC. EAEC merupakan golongan E.coli yang mampu melekat dengan kuat pada mukosa usus
halus dan menyebabkan perubahan morfologis. Diduga bakteri ini mengeluarkan sitotoksin, dapat
menyebabkan diare berair sampai lebih dari 7 hari (prolonged diarrhea).

EHEC. EHEC merupakan E.coli serotipe 0157 : H7, yang dikenal dapat menyebabkan kolitis
hemoragik. Transmisinya melalui makanan, berupa daging yang dimasak kurang matang. Diarenya
disertai sakit perut hebat (kolik, kram) tanpa atau disertai sedikit panas, diare cair disertai darah.
EHEC menghasilkan sitotoksin yang dapat menyebabkan edem dan perdarahan usus besar.
Shigella spp.
Infeksi Shigella pada manusia dapat menyebabkan keadaan mulai dari asimptomatik sampai dengan
disentri hebat disertai dengan demam, kejang-kejang, toksis, tenesmus ani, dan tinja yang berlendir
dan darah. Golongan Shigella yang sering menyerang manusia di daerah tropis adalah Shigella
dysentri, Shigella flexnori, sedangkan Shigella sonnei lebih sering terjadi di daerah sub tropis.
Patogenesis terjadinya diare oleh Shigella spp. Ini adalah karena kemampuannya mengadakan
invasi ke epitel sel mukosa usus. Disini dia berkembang biak dan mengeluarkan leksotoksin yang
bersifat merusak sel (sitotoksin). Daerah yang sering diserang adalah bagian terminal dari ileum dan
kolon. Akibat invasi dari bakteri ini terjadi infiltrasi sel-sel PMN dan kerusakan sel epitel mukosa
sehingga timbul ulkus kecil-kecil di daerah invasi yang menyebabkan sel-sel darah merah, plasma
protein, sel darah putih, masuk ke dalam lumen usus dan akhirnya keluar bersama tinja.
Salmonella spp.
Di dunia terdapat lebih dari 2000 spesies, namun hanya 6-10 jenis saja yang menyebabkan diare. Di
dalam klinik, golongan Salmonella yang menyebabkan diare dikenal dengan nama Nontyphoidal
Salmonellosis, yang paling sering menimbulkan diare pada anak adalah S. Paratyphi A, B dan C.
Binatang merupaka reservoir utama, oleh karena itu infeksi Salmonella spp. ini biasanya
disebabkan oleh makanan yang berasal dari binatang, seperti daging, telur, susu, dan makananmakanan daging dalam kaleng. Diare yang disebabkan Salmonella spp, biasanya disertai dengan
rasa mual, kram perut, dan panas.
Patogenesis Salmonella spp. ini seperti halnya denan Shigella dapat melakukan invasi ke dalam
mukosa usus halus sehingga juga dapat dijumpai adanya lendir dan darah pada tinja. Akan tetapi
Salmonellosis ini tidak menyebabkan ulkus seperti pada Shigella.
Vibrio cholera.
Vibrio cholera pertama kali ditemukan oleh Robert Koch tahun 1883 pada penderita kolera.
Terdapat dua biotipe Vibrio cholera yaitu El Tor dan classic, serta dua serotipe yaitu Ogawa dan

Inaba. El Tor terkenal menyebabkan pandemi yang dimulai dari Sulawesi dan kemudian menyebab
ke Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Utara.
Vibrio cholera mempunyai sifat yaitu tidak menyebabkan kerusakan mukosa usus dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan diare. Vibrio cholera masuk ke dalam lumen usus melalui
lambung dan peranan asam lambung akan menentukan seseorang apakah rentan terhadap diare atau
tidak. Pada orang yang kadar asam lambungnya normal maka untuk dapat menimbulkan diare
dibutuhkan jumlah kuman yang masuk sebesar 10 6, akan tetapi jika asam lambungnya kurang (pH
menjadi lebih tinggi) maka jumlah 104 sudah dapat menimbulkan diare. Setelah kuman tersebut
masuk ke dalam usus maka ia akan mengeluarkan toksin. Toksin yang dihasilkan oleh kuman kolera
ini yaitu enterotoksin dan terdapat 2 jenis yaitu komponen A dan komponen B. Komponen B ini
akan menempel pada reseptor yang ada di dinding sel mukosa usus yang disebut Gmi. Kemudian
komponen A yang terlihat bersama dengan komponen B akan melakukan penetrasi ke dalam sel dan
memisahkan diri dari Komponen B. Selanjutnya di dalam sel komponen ini akan merangsang
sensitifitas enzim adenil siklase dengan hasil selanjutnya akan meningkatkan akumulasi cAMP
yang akan merangsang sekresi cairan isotonis dan klorida sehingga timbulah diare berair (Watery
diarrhea).
Campylobacter jejuni.
C. jejuni merupakan penyebab 5-10% diare di dunia. Di Indonesia prevalensinya sekitar 5,3%.
Selain diare yang disertai dengan lendir dan darah, juga terdapat gejala sakit perut disekitar pusat,
yang kemudian menjalar ke kanan bawah dan rasa nyerinya menetap di tempat tersebut (seperti
pada apendisitis akut). C. jejuni mengeluarkan 2 macam toksin yaitu sitotoksin dan toksin LT.
Tempat infeksi yang paling sering dari C. jejuni ini adalah jejenum, ileum, dan colon. Terdapat
kelainan pada mukosa usus, peradangan, edema, pembesaran kelenjar limfe mesenterium dan
adanya cairan bebas di cavum peritonei. Jonjot usus halus ditemukan memendek dan melebar tetapi
tidak konsisten. Ileum mengalami nekrosis hemoragik karena invasi bakteri ke dinding usus
sehingga pada tinja dapat ditemukan adanya darah dan sel-sel radang.
Yersinia enterokolitika
Yersinia enterokolitika merupakan bakteri baru sebagai penyebab diare dan telah banyak dilaporkan
di berbagai negara di Eropa dan Amerika Utara. Patogenesis terutama oleh strain serotipe 03.08809
dengan melakukan invasi ke dalam mukosa usus, membentuk plasmid perantara dan enterotoksin
yang tahan panas (ST) dan dapat mengaktifkan enzim guanilat siklase sehingga terjadi akumulasi
7

cGMP pada sel sehingga akan terjadi diare. Pada pemeriksaan histologis terdapat abses-abses kecil
di daerah plaque Peyeri dan nodula limphatisi. Pada beberapa penderita menyebabkan limfadenitis
mesenterikum dan ileutis.
Entamoeba histolytica
Entamoeba histolytica tersebar di seluruh dunia. Insidensinya rendah dan sering terjadi
overdiagnosis

sehingga

pengobatannya

juga

sering

berlebihan

(misalnya

penggunaan

enterovioform). Insidensi pembawa kista pada anak (carrier) sekitar 5% saja tetapi sebagian besar
(90%) asimptomatik dan hanya sebagian kecil (10%) saja yang menjadi sakit. Diare biasanya
berlendir disertai darah, terkenal dengan nama disentri amoeba. Gejalanya yang mencolok adalah
tenesmusnya. Penularan biasanya melalui makanan atau air (minuman) yang tercemar oleh parasit
Entamoeba histolytica, terkenal menyebabkan ulkus yang menggaung, dan dapat menyebabkan
abses hati.
Cryptosporodium
Cryptosporodium pada saat ini sedang populer dan dianggap sebagai penyebab diare terbanyak
yang disebabkan oleh parasit. Dahulu dikenal hanya patogen pada binatang saja. Cryptosporodium
merupakan golongan coccidium, sering menyebabkan diare pada manusia yang menderita
imunodefisiensi, misalnya pada penderita AIDS. Di negara berkembang Cryptosporodium
merupakan 4-11% penyebab diare pada anak. Penularan melalui oro-fekal dan biasanya diare
bersifat akut. Mulainya karena terjadi kerusakan mukosa usus oleh perlekatan parasit pada
mikrovilus enterosit, sehingga terjadi gangguan absorpsi makanan.
Patogenesis
Virus. Virus terbanyak penyebab diare adalah rotavirus, selain itu juga dapat disebabkan oleh
adenovirus, enterovirus, astrovirus, minirotavirus, calicivirus, dan sebagainya. Garis besar
patogenesisnya sebagai berikut ini. Virus masuk ke dalam traktus digestivus bersama makanan
dan/atau minuman, kemudian berkembang biak di dalam usus. Setelah itu virus masuk ke dalam
epitel usus halus dan menyebabkan kerusakan bagian apikal vili usus halus. Sel epitel usus halus
bagian apikal akan diganti oelh sel dari bagian kripta yang belum matang, berbentuk kuboid atau
gepeng. Akibatnya sel-sel epitel ini tidak dapat berfungsi untuk menyerap air dan makanan. Sebagai
akibat lebih lanjut akan terjadi diare osmotik. Vili usus kemudian akan memendek sehingga
kemampuannya untuk menyerap dan mencerna makananpun akan berkurang. Pada saat inilah
biasanya diare mulai timbul. Setelah itu sel retikulum akan melebar, dan kemudian akan terjadi

infiltrasi sel limfoid dari lamina propria, untuk mengatasi infeksi sampai terjadi penyembuhan
(Sunoto, 1991).
Bakteri. Patogenesis terjadinya diare oleh karena bakteri pada garis besarnya adalah sebagai
berikut. Bakteri masuk ke dalam traktus digestivus, kemudian berkembang biak di dalam traktus
digestivus tersebut. Bakteri ini kemudian mengeluarkan toksin yang akan merangsang epitel usus
sehingga terjadi peningkatan aktivitas enzim adenili siklase (bila toksin bersifat tidak tahan panas,
disebut labile toxin = LT) atau enzim guanil siklase (bila toksin bersifat tahan panas atau disebut
stable toxin = ST). Sebagai akibat peningkatan aktivitas enzim-enzim ini akan terjadi peningkatan
cAMP atau cGMP, yang mempunyai kemampuan merangsang sekresi klorida, natrium, dan air dari
dalam sel ke lumen usus (sekresi cairan yang isotonis) serta menghambat absorpsi natrium, klorida,
dan air dari lumen usus ke dalam sel. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik di
dalam lumen usus (hiperosmoler). Kemudian akan terjadi hiperperistaltik usus untuk mengeluarkan
cairan yang berlebihan di dalam lumen usus tersebut, sehingga cairan dapat dialirkan dari lumen
usus halus ke lumen usus besar (kolon). Dalam keadaan normal, kolon seorang anak dapat
menyerap sebanyak hingga 4400 ml cairan sehari, karena itu produksi atau sekresi cairan sebanyak
400 ml sehari belum menyebabkan diare. Bila kemampuan penyerapan kolon berkurang, atau
sekresi cairan melebihi kapasitas penyerapan kolon, maka akan terjadi diare. Pada kolera sekresi
cairan dari usus halus ke usus besar dapat mencapai 10 liter atau lebih sehari. Oleh karena itu diare
pada kolera biasanya sangat hebat, suatu keadaan yang disebut sebagai diare profus (Sunoto, 1991).
Secara umum golongan bakteri yang menghasilkan cAMP akan menyebabkan diare yang lebih
hebat dibandingkan dengan golongan bakteri lain yang menghasilkan cGMP. Golongan kuman yang
mengandung LT dan merangsang pembentukan cAMP, diantaranya adalah V. Cholera, ETEC,
Shigella spp., dan Aeromonas spp. Sedangkan yang mengandung ST dan merangsang pembentukan
cGMP adalah ETEC, Campylobacter sp., Yersinia sp., dan Staphylococcus sp.
Menurut mekanisme terjadinya diare, maka diare dapat dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu (Alfa):
1) Diare sekretorik
2) Diare invasif/dysentriform diarrhae
3) Diare osmotik
Diare Sekretorik
Diare sekretorik adalah diare yang terjadi akibat aktifnya enzim adenil siklase. Enzim ini
selanjutnya akan mengubah ATP menjadi cAMP. Akumulasi cAMP intrasel akan menyebabkan
sekresi aktif ion klorida, yang akan diikuti secara positif ileh air, natrium, kaliumm dan bikarbonat
9

ke dalam lumen usus sehingga terjadi diare dan muntah-muntah sehingga penderita cepat jatuh ke
dalam keadaan dehidrasi.
Pada anak, diare sekretorik ini sering disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme
Vibrio, ETEC, Shigella, Clostridium, Salmonella, Campylobacter. Toksin yang dihasilkannya
tersebut akan merangsang enzim adenil siklase, selanjutnya enzim tersebut akan mengubah ATP
menjadi cAMP. Diare sekretorik pada anak paling sering disebabkan oleh kolera.
Gejala dari diare sekretorik ini adalah 1) diare yang cair dan bila disebabkan oleh vibrio biasanya
hebat dan berbau amis, 2) muntah-muntah, 3) tidak disertai dengan panas badan, dan 4) penderita
biasanya cepat jatuh ke dalam keadaan dehidrasi.
Diare Invasif
Diare invasif adalah diare yang terjadi akibat invasi mikroorganisme dalam mukosa usus sehingga
menimbulkan kerusakan pada mukosa usus. Diare invasif ini disebabkan oleh Rotavirus, bakteri
(Shigella, Salmonella, Campylobacter, EIEC, Yersinia), parasit (amoeba). Diare invasif yang
disebabkan oleh bakteri dan amoeba menyebabkan tinja berlendir dan sering disebut sebgai
dysentriform diarrhea.
Di dalam usus pada shigella, setelah kuman melewati barier asam lambung, kuman masuk ke dalam
usus halus dan berkembang biak sambil mengeluarkan enterotoksin. Toksin ini akan merangsang
enzim adenil siklase untuk mengubah ATP menjadi cAMP sehingga terjadi diare sekretorik.
Selanjutnya kuman ini dengan bantuan peristaltik usus sampai di usus besar/kolon. Di kolon,
kuman ini bisa keluar bersama tinja atau melakukan invasi ke dalam mukosa kolon sehingga terjadi
kerusakan mukosa berupa mikro-mikro ulkus yang disertai dengan serbukan sel-sel radang PMN
dan menimbulkan gejala tinja berlendir dan berdarah.
Gejala dysentriform diarrhea adalah 1) tinja berlendir dan berdarah biasanya b.a.b sering tapi
sedikit-sedikit dengan peningkatan panas badan, tenesmus ani, nyeri abdomen, dan kadang-kadang
prolapsus ani, 2) bila disebabkan oleh amoeba, seringkali menjadi kronis dan meninggalkan
jaringan parut pada kolon/rektum, disebut amoeboma.
Mekanisme diare oleh rotavirus berbeda dengan bakteri yang invasif dimana diare oleh rotavirus
tidak berdarah. Setelah rotavirus masuk ke dalam traktus digestivus bersama makanan/minuman
tentunya harus mengatasi barier asam lambung, kemudian berkembang biak dan masuk ke dalam
10

bagian apikal vili usus halus. Kemudian sel-sel bagian apikal tersebut akan diganti dengan sel dari
bagian kripta yang belum matang/imatur berbentuk kuboid atau gepeng. Karna imatur, sel-sel ini
tidak dapat berfungsi untuk menyerap air dan makanan sehingga terjadi gangguan absorpsi dan
terjadi diare. Kemudian vili usus memendek dan kemampuan absorpsi akan bertambah terganggu
lagi dan diare akan bertambah hebat. Selain itu sel-sel yang imatur tersebut tidak dapat
menghasilkan enzim disakaridase. Bila daerah usus halus yang terkena cukup luas, maka akan
terjadi defisiensi enzim disakaridase tersebut sehingga akan terjadilah diare osmotik.
Gejala diare yang disebabkan oleh rotavirus adalah 1) paling sering pada anak usia dibawah 2 tahun
dengan tinja cair, 2) seringkali disertai dengan peningkatan panas badan dan batuk pilek, 3) muntah.
Diare Osmotik
Diare osmotik adalah diare yang disebabkan karena tingginya tekanan osmotik pada lumen usus
sehingga akan menarik cairan dari intra sel ke dalam lumen usus, sehingga terjadi diare berupa
watery diarrhea. Paling sering terjadinya diare osmotik ini disebabkan oleh malabsorpsi
karbohidrat.
Monosakarida biasanya diabsorpsi baik oleh usus secara pasif maupun transpor aktif dengan ion
Natrium. Sedangkan disakarida harus dihidrolisa dahulu menjadi monosakarida oleh enzim
disakaridase yang dihasilkan oleh sel mukosa. Bila terjadi defisiensi enzim ini maka disakarida
tersebut tidak dapat diabsorpsi sehingga menimbulkan osmotic load dan terjadi diare.
Disakarida atau karbohidrat yang tidak dapat diabsorpsi tersebut akan difermentasikan di flora usus
sehingga akan terjadi asam laktat dan gas hidrogen. Adanya gas ini terlihat pada perut penderita
yang kembung (abdominal distention), pH tinja asam, dan pada pemeriksaan dengan klinites terlihat
positif. Perlu diingat bahwa enzim amilase pada bayi, baru akan terbentuk sempurna setelah bayi
berusia 3-4 bulan. Oleh sebab itu pemberian makanan tambahan yang mengandung karbohidrat
kompleks tidak diberikan sebelum usia 4 bulan, karena dapat menimbulkan diare osmotik.
Gejala dari diare osmotik adalah 1) tinja cair/watery diarrhae akan tetapi biasanya tidak seprogresif
diare sekretorik, 2) tidak disertai dengan tanda klinis umum seperti panas, 3) pantat anak sering
terlihat merah karena tinja yang asam, 4) distensi abdomen, 5) pH tinja asam dan klinitest positif.
Bentuk yang paling sering dari diare osmotik ini adalah intoleransi laktosa akibat defisiensi enzim
laktase yang dapat terjadi karena adanya kerusakan mukosa usus. Dilaporkan kurang lebih sekitar
25-30% dari diare oleh rotavirus terjadi intoleransi laktosa.
11

Tabel 1. Karakteristik Tinja dan Menentukan Asalnya


Karakteristik

Usus Kecil

Usus Besar

Tinja
Tampilan
Volume
Frekuensi
Darah

Watery
Banyak
Meningkat
Kemungkinan

pH
Substansi

pernah darah segar


Kemungkinan <5,5
Kemungkinan positif

>5,5
Negatif

pereduksi
WBC
Serum WBC

< 5 / LPK
Normal

Kemungkinan > 10 /LPK


Kemungkinan
leukositosis

Organisme

Virus

positif

tetapi

Mukoid dan/atau berdarah


Sedikit
Meningkat
tidak Kemungkinan darah segar

(bandemia)
Adenovirus, Bakteri invasif (E.coli, Shigella sp.,

(Rotavirus,

Calicivirus, Astrovirs, Norwalk virus)

Salmonella sp., Campylobacter sp,


Yersinia

sp.,

Aeromonas

sp,

Plesiomonas sp)
Toksin bakteri (E.coli, C. perfringens, Toksin bakteri (Clostridium difficile
Vibrio spesies)
Parasit (Giardia sp., Cryptosporodium Parasit (Entamoeba histolytica)
sp.)
Tabel 2. Organisme Penyebab Diare dan Gejala yang Sering Timbul
Organisme

Inkubasi

Durasi

Muntah

Demam

Nyeri
Abdominal

Rotavirus

1-7 hari

4-8 hari

Ya

Rendah

Tidak

Adenovirus

8-10 hari

5-12 hari

Delayed

Rendah

Tidak

Norwalk virus

1-2 hari

2 hari

Ya

Tidak

Tidak

Astrovirus

1-2 hari

4-8 hari

+/-

+/-

Tidak

Calicivirus

1-4 hari

4-8 hari

Ya

+/-

Tidak

Aeromonas species

None

0-2

+/-

+/-

Tidak

minggu
Campylobacter species

2-4 hari

5-7 hari

Tidak

Ya

Ya

C difficile

Variable

Variable

Tidak

Sedikit

Sedikit

12

C perfringens

Minimal

1 day

Ringan

Tidak

Ya

1-8 hari

3-6 hari

Tidak

+/-

Ya

Enterotoxigenic E coli

1-3 hari

3-5 hari

Ya

Rendah

Ya

Plesiomonas species

None

0-2 mg

+/-

+/-

+/-

Salmonella species

0-3 hari

2-7 hari

Ya

Ya

Ya

Shigella species

0-2 hari

2-5 hari

Tidak

High

Ya

Vibrio species

0-1 hari

5-7 hari

Ya

Tidak

Ya

Yersinia enterocolitica

None

1-46 hari

Ya

Ya

Ya

Giardia species

2 mg

1+ minggu

Tidak

Tidak

Ya

Cryptosporidium

5-21 hari

Bulan

Tidak

Rendah

Ya

5-7 hari

1-2+ mg

Tidak

Ya

Tidak

Enterohemorrhagic

coli

species
Entamoeba species

Tabel 3. Organisme Yang Menyebabkan Keracunan Makanan


Riwayat Makanan

Organisme

Susu

Campylobacter and Salmonella species

Telur

Salmonella species

Daging

C perfringens, Aeromonas, Campylobacter, and Salmonella


species

Daging Sapi

Enterohemorrhagic E coli

Poutry

Campylobacter species

Babi

C perfringens, Y enterocolitica

Seafood

Astrovirus, Aeromonas, Plesiomonas, and Vibrio species

Oysters

Calicivirus, Plesiomonas and Vibrio species

Sayuran

Aeromonas species, C perfringens

Tabel 4. Organisme yang Berhubungan Dengan Perjalanan


13

Foreign Travel History


Nonspecific

Organism
Enterotoxigenic E coli, Aeromonas, Giardia, Plesiomonas,
Salmonella, and Shigella species

Underdeveloped tropics

C perfringens

Africa

Entamoeba species, Vibrio cholerae

South and Central America

Entamoeba species, V cholerae

Asia

V cholerae

Australia Canada - Europe

Yersinia species

India

Entamoeba species, V cholerae

Japan

Vibrio parahaemolyticus

Mexico

Aeromonas, Entamoeba, Plesiomonas, and Yersinia sp.

New Guinea

Clostridium species

Fisiologi dan Patofisiologi


Penyerapan cairan di usus halus. Dalam keadaan normal, usus halus mampu menyerap cairan
sebanyak 7-8 liter sehari, sedangkan usus besar 1-2 liter sehari. Penyerapan air oleh usus halus
ditentukan oleh perbedaan antara tekanan osmotik di lumen usus dan didalam sel, terutama yang
dipengaruhi oleh konsentrasi natrium. Penyerapan natrium ke dalam enterosit dapat melalui tiga
cara yaitu 1) berpasangan dengan ion klorida, atau bahan non-elektrolit seperti glukosa, asam
amino, peptida, dll, 2) pertukaran dengan ion hidrogen, 3) pasif melalui ruang intraseluler (tight
junction), yang dengan cara ini hanya sebagian kecil saja yang dapat diserap.
Setelah masuk ke dalam enterosit , natrium ini akan dikeluarkan melalui enzim Na-K-ATPase
(terdapat di membran basolateral) ke dalam ruang intraseluler dan selanjutnya diteruskan ke dalam
pembuluh darah. Di dalam ileum dan kolon, cairan klorida diserap melalui pertukaran dengan
cairan bikarbonat.
Sekresi cairan di usus halus. Proses sekresi merupakan kebalikan dari proses absorpsi. Penyerapan
pasangan NaCl akan meningkatkan anion klorida di dalam sel kripta dan pada waktu yang
bersamaan natrium akan dikeluarkan dari sel kripta dengan bantuan enzim Na-K-ATPase. Sekresi
klorida di dalam sel kripta dapat pula ditingkatkan dengan adanya intracellular messenger (berupa

14

cyclic nucleotide, misalnya cAMP, cGMP, yang dapat menyebabkan peninggian permeabilitas sel
kripta) sehingga klorida dengan mudah keluar ke lumen usus.
Dalam keadaan normal usus besar dapat meningkatkan kemampuan penyerapannya sampai 4400 ml
sehari, bila terjadi sekresi cairan yang berlebihan dari usus halus (ileosekal). Bila sekresi cairan
melebihi 4400 ml maka usus besar tidak mampu menyerap seluruhnya lagi, selebihnya akan
dikeluarkan bersama tinja dan terjadilah diare. Diare dapat juga terjadi karena terbatasnya
kemampuan penyerapan usus besar pada keadaan sakit, misalnya kolitis, atau terdapat penambahan
ekskresi cairan pada penyakit usus besar, misalnya karena virus, disentri basiler, ulkus, tumor, dsb.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa setiap perubahan mekanisme normal absorpsi dan
sekresi di dalam usus halus maupun usus besar (kolon), dapat menyebabkan diare, kehilangan
cairan, elektrolitm, dan akhirnya dehidrasi.
Secara garis besar diare dapat disebabkan oleh diare sekretorik, diare osmotik, peningkatan
motilitas usus, dan defisiensi imun terutama SIgA. Penjelasan mengenai mekanisme dari hal-hal
tersebut semuanya telah dijelaskan pada uraian diatas pada referat ini.
Sebagai akibat dari diare akut tersebut diatas maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut :
1) Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
2) Gangguan sirkulasi darah
3) Hipoglikemia
4) Gangguan gizi.
Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa.
Sebagai akibat diare adalah tubuh akan kehilangan cairan dan elektrolit yang dikenal dengan nama
dehidrasi. Dehidrasi ini terjadi karena 1) hilangnya cairan melalui tinja atau muntah (concomitant
water losses) selama diare/muntah berlangsung. CWL ini banyaknya bervariasi tergantung dari
berat ringannya penyakit. Diperkirakan jumlahnya sekitar 25-30 ml/kgBB/24 jam, 2) kehilangan
cairan melalui pernafasan, keringat, dan urin (insensible water losses), 3) besarnya jumlah
kehilangan cairan (previous water losses).
Kehilangan cairan yang normal (normal water losses) adalah banyaknya kehilangan
cairan/elektrolit melalui pernafasan, keringat, urin, tergantung dari umur. Makin muda anak makin
banyak kehilangan cairan dan makin bertambah umur makin berkurang Selain itu NWL juga

15

dipengaruhi oleh suhu tubuh, makin tinggi suhu tubuh maka akan bertambah kehilangan cairannya.
Setiap kenaikan suhu 1C diatas normal (37C) akan menambah hilangnya cairan sebanyak 10 ml.
Tabel 5. Penilaian Derajat Dehidrasi
Penilaian
1. Lihat :

Keadaan umum

Baik sadar

*Gelisah rewel

*Lesu/lunglai/tdk

Mata

Normal

Cekung

sadar

Air Mata

Ada

Tidak ada

Sangat cekung, kering

Mulut dan Lidah

Basah

Kering

Tidak ada

Rasa Haus

Minum

biasa,

tidak *Haus ingin minum Sangat kering

haus

banyak

*Malas
bisa minum
*Kembali

2. Periksa Turgor Kulit

Kembali cepat

*Kembali lambat

3. Hasil Pemeriksaan

Tanpa dehidrasi

Dehidrasi

minum/tdk
sangat

lambat
Ringan/ Dehidrasi Berat

Sedang

Bila ada 1 tanda *

Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih


ditambah 1 atau lebih tanda lain
4. Terapi

Rencana Terapi A

tanda lain
Rencana Terapi B

Rencana Terapi C

Gejala dan tanda dari dehidrasi tersebut diatas adalah rasa haus, menurunnya turgor kulit, mukosa
mulut kering, mata cekung, air mata tidak ada, ubun-ubun besar yang cekung pada bayi, oliguria
yang dapat berlanjut menjadi anuria, hipotensi, takikardia, dan menurunnya kesadaran.
Gangguan keseimbangan elektrolit. Tonisitas dari plasma sebagian besar ditentukan oleh natrium.
Dehidrasi dapat dibagi menjadi 3 menurut tonisitas plasma yaitu :
1) Dehidrasi isotonik/isonatremik bila kadar Na plasma 130-150 mEq/L. Dalam praktek di
klinik dehidrasi inilah yang terbanyak.
2) Dehidrasi hipotonik, bila Na plasma < 130 mEq/L.
3) Dehidrasi hipertonik, bila Na plasma > 150 mEq/L.
Selain perubahan kadar Na plasma juga kalium dapat mengalami perubahan karena kalium banyak
keluar pada tinja. Pada diare biasa sebesar 26 mEq/L dan pada kolera 96 mEq/L sehingga dapat
terjadi hipokalemia, namun penurunan kalium pada plasma ini biasanya akan diganti dengan kalium
yang terdapat pada cairan intraseluler, dengan tentunya kadar kalium intraseluler akan menurun.
16

Secara singkatnya maka gangguan elektrolit yang sering terjadi pada keadaan diare adalah
hiponatremia (Na < 130mEq/L), hipernatremia (Na >150mEq/L), dan hipokalemia (K < 3 mEq/L)
Gangguan asam basa. Akibat kehilangan cairan yang banyak pada diare tersebut diatas maka akan
terjadi hemokonsentrasi/hipoksia. Akibat hipoksia maka jaringan akan terjadi metabolisme secara
anaerobik yang akan menghasilkan produk asam laktat yang selanjutnya akan menyebabkan
keadaan asidosis respiratorik/metabolik. Tanda-tanda asidosis tersebut dapat terlihat berupa
pernafasan cepat dan dalam (Kussmaul).
Akibat lain dari keadaan diare adalah keluarnya bikarbonat melalui tinja, akibatnya pH darah akan
menurun bila badan tidak mengadakan koreksi dengan jalan mengeluarkan CO2 melalui paru-paru.
Sebagai akibat diare yang hebat dan tubuh tidak sanggup mengadakan kompensasi lagi, maka
terjadilah asidosis metabolik, dan mungkin akan diperberat lagi bila terjadi ketosis, oliguria atau
anuria dan penimbunan asam laktat karena terjadinya hipoksia pada jaringan tubuh.
Ganaguan sirkulasi
Sebagai akibat kehilangan cairan tubuh lebih dari 10% berat badan (dehidrasi berat) akan terjadi
gangguan sirkulasi dan dapat terjadi syok. Hal ini disebabkan cairan ekstraseluler banyak berkurang
(hipovolemik) sehingga perfusi darah ke jaringan berkurang, dengan akibat hipoksia yang akan
menambah beratnya asidosis metabolik, penurunan kesadaran, dan dapat menimbulkan kematian
bila tidak segera ditangani dengan baik.
Hipoglikemia
Hipoglikemia biasanya dapat terjadi pada anak yang menderita diare dan lebih sering lagi bila
sebelumnya menderita gangguan gizi (KEP). Sebab yang pasti

belum diketahui tapi

kemungkinanya adalah 1) gangguan proses glikogenolisis, 2) gangguan penyimpanan glikogen


pada hati, 3) gangguan absorpsi dan digesti karbohidrat terutama pada KEP di mana terjadi atropi
jonjor usus. Akibat dari hipoglikemia ini cairan ekstraseluler akan menjadi hipotonik dengan
kompensasi air akan masuk ke dalam cairan intraseluler sehingga terjadi edema sel-sel otak yang
dapat memberikan gejala penurunan kesadaran, kejang-kejang.
Gangguan gizi
Gangguan gizi biasanya terjadi akibat diare dimana pemberian makanan selama sakit dihentikan.
Selain itu akibat infeksi usus terjadi gangguan absorpsi terutama laktosa karena terjadinya defisiensi
enzim laktase, akibatnya pemberian susu dengan laktosa tinggi akan menambah beratnya diare.
17

Pada anak yang sebelumnya sudah menderita KEP akan memperberat keadaan KEP nya, yang
dalam fase selanjutnya akan memperberat pula diarenya.
Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik pada penderita diare maka dapat ditemukan beberapa hal, antara lain
adalah sebagai berikut ini :
1) Dehidrasi. Dehidrasi merupakan hal yang utama sebagai penyebab kesakitan dan kematian,
sehingga perlu dilakukan penilaian pada setiap pasien akan tanda, gejala, dan tingkat keparahan
dehidrasinya. Letargi, penurunan kesadaran, ubun-ubun besar yang mencekung, membran
mukosa yang mengering, mata cekung, turgor kulit yang menurun, dan terlambatnya capillary
refill perlu dijadikan suatu hal yang patut dicurigai kearah dehidrasi.
2) Gagal untuk tumbuh dan malnutrisi. Penurunan massa otot dan lemak atau terjadinya edema
periferal dapat dijadiakan petunjuk bahwa terjadi malabsorpsi dari karbohidrat, lemak dan/atau
protein. Organisme tersering yang dapat menyebabkan malabsorpsi lemak dan diare yang
intermiten adalah Giardia sp.
3) Nyeri perut. Nyeri perut yang nonspesifik dan nonfokal disertai dengan kram perut merupakan
hal yang biasa terjadi pada beberapa organisme. Nyeri biasanya tidak bertambah bila dilakukan
palpasi pada perut. Apabila terjadi nyeri perut yang fokal maka nyeri akan bertambah dengan
palpasi, bila terjadi rebound tenderness, maka kita harus curiga terjadinya komplikasi atau
curiga terhadap suatu diagnosis yang noninfeksius.
4) Borborygmi. Merupakan tanda peningkatan aktivitas peristaltik usus yang menyebabkan
auskultasi dan/atau palpasi yang meningkat dari aktivitas saluran pencernaan.
5) Eritema perianal. Defekasi yang sering dapat menyebabkan kerusakan pada kulit perianal,
terutama pada anak-anak yang kecil. Malabsorpsi karbohidrat yang sekunder seringkali
merupakan hasil dari feses yang asam. Malabsoprsi asam empedu sekunder dapat menyebabkan
dermatitis disekitar perianal yang sangat hebat yang seringkali ditandari sebagai suatu luka
bakar.
Pemeriksaan Laboratorium

Feses yang pH nya 5.5 atau kurang dari itu atau menunjukan adanya substansi yang mereduksi
maka menandakan adanya intoleransi karbohidrat, yang biasanya disebabkan secara sekunder
oleh penyakit virus.

Infeksi yang enteroinvasif terhadap usus besar menyebabkan leukosit terutama netrofil akan
tampak di dalam tinja. Tidak adanya lekosit pada tinja tidak menghilangkan kemungkinan

18

adanya organisme enteroinvasif. Meskipun demikian, adanya leukosit di dalam tinja dapat
mengeliminasikan kemungkinan penyebab enterotoksigenik E.coli, Vibrio sp., dan virus.

Lakukan pemeriksaan setiap eksudat yang ditemukan di dalam tinja untuk mencari leukosit.
Keberadaan eksudat merupakan suatu hal yang sangat tinggi nilainya untuk memikirkan adanya
colitis (80% merupakan nilai prediksi yang positif). Colitis merupakan suatu yang infeksius,
alergi, atau bagian dari penyakit inflamasi pada saluran pencernaan (penyakit Crohn, colitis
ulseratif).

Berbagai medium kultur tersedia untuk dapat mengisolasi bakteri. Suatu tingkat kecurigaan
terhadap suatu penyebab perlu diketahui terlebih dahulu untuk menentukan media mana yang
memungkinkan untuk penyebab diare tersebut tumbuh. Medium-medium yang dapat digunakan
untuk kultur dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Selalu lakukan kultur dari tinja untuk organisme-organisme Salmonella, Shigella, dan
Campylobacter serta Yersinia enterocolotica, terutama pada tampilan gejala klinis yang
menandakan adanya colitis atau jika ditemukan adanya leukosit pada tinja.

Diare yang berdarah dengan riwayat pernah memakan daging-dagingan maka perlu dicurigai
kemungkinan etiologi enterohemoragik E.coli. Jika E.coli ditemukan di dalam tinja, maka perlu
ditentukan apakah E.coli tersebut termasuk ke dalam tipe O157:H7 atau bukan. Tipe E.coli
tersebut merupakan tipe yang sering ditemukan sebagai penyebab dari HUS (hemolytic uremic
syndrome).

Adanya riwayat pernah memakan makanan laut (seafood) atau pernah berpergian keluar negeri
maka perlu dilakukan skrining tambahan untuk mencari spesies Vibrio dan Plesiomonas.

Antigen rotavirus dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan enzim immunoassay dan


pemeriksaan aglutinasi latex dari tinja. Kejadian false-negatif sekitar 50%, dan false-positif pun
seringkali muncul, terutama jika terdapat darah di dalam tinja.

Antigen Adenovirus (serotipe 40 dan 41) dapat dideteksi dengan cara enzim immunoassay.

Tabel 6. Medium Kultur Bakteri yang Optimum


Organism
Aeromonas species

Detection Method

Microbiologic Characteristics

Blood agar

Oxidase-positive flagellated gram-negative


bacillus (GNB)

Campylobacter

Skirrow agar

Rapidly motile curved gram-negative rod

species

(GNR); Campylobacter jejuni 90% and


Campylobacter coli 5% of infections
19

C difficile

Cycloserine-cefoxitin-

Anaerobic spore-forming gram-positive rod

fructose-egg (CCFE)

(GPR); toxin-mediated diarrhea; produces

agar; enzyme

pseudomembranous colitis

immunoassay (EIA) for


toxin; latex
agglutination (LA) for
protein
C perfringens

None available

Anaerobic spore-forming GPR; toxinmediated diarrhea

E coli

MacConkey eosin-

Lactose-producing GNR

methylene blue (EMB)


or Sorbitol-MacConkey
(SM) agar
Plesiomonas species

Blood agar

Oxidase-positive GNR

Salmonella species

Blood, MacConkey

Nonlactose nonH2S-producing GNR

EMB, xylose-lysinedeoxycholate (XLD), or


Hektoen enteric (HE)
agar
Shigella species

Vibrio species

Blood, MacConkey

Nonlactose and H2S-producing GNR;

EMB, XLD, or HE agar

verotoxin (neurotoxin)

Blood or thiosulfate-

Oxidase-positive motile curved GNB

citrate-bile-salts-sucrose
(TCBS) agar
Y enterocolitica

Cefsulodin-ingrasan-

Nonlactose-producing oval GNR

novobiocin (CIN) agar

Tabel 7. Medium Kultur yang Digunakan Untuk Mengisolasi Bakteri


Blood agar

All aerobic bacteria and yeast; detects


cytochrome oxidase production

20

MacConkey eosin-methylene blue (EMB) agar

Inhibits gram-positive organisms; permits


lactose fermentation

Xylose-lysine-deoxycholate (XLD) agar;

Inhibits gram-positive organisms and

Hektoen enteric (HE) agar

nonpathogenic GNB; permits lactose


fermentation and H2S production

Skirrow agar

Selective for Campylobacter species

Sorbitol-MacConkey (SM) agar

Selective for enterohemorrhagic E coli

Cefsulodin-ingrasan-novobiocin (CIN) agar

Selective for Y enterocolitica

Thiosulfate-citrate-bile-sucrose (TCBS) agar

Selective for Vibrio species

Cycloserine-cefoxitin-fructose-egg (CCFE) agar

Selective for C difficile

Pemeriksaan tinja untuk mencari ova dan parasit merupakan cara terbaik untuk menemukan
parasit penyebab diare. Lakukanlah pemeriksaan tinja setiap 3 hari sekali atau setiap 2 hari
sekali.

Hitung jenis leukosit biasanya tidak meningkat pada diare yang disebabkan oleh virus dan
toksin. Leukositosis seringkali terjadi tetapi tidak secara konstan pada diare yang disebabkan
oleh enteroinvasif bakteri. Organisme shigella menyebabkan leukositosis dengan tanda
bandemia (netrofilia) dengan variasi pada total hitung jenis sel darahnya.

Pada suatu waktu, maka protein-losing enteropathy dapat diketemukan pada pasien dengan
inflamasi yang luas di dalam saluran pencernaan akibat infeksi oleh bakteri yang enteroinvasif
(seperti Salmonella spp., enteroinvasif E.coli). Dalam keadaan ini dapat ditemukan keadaan
kadar serum albumin yang rendah dan kadar alfa1-antitripsin fekal yang tinggi.

Penatalaksanaan
Karena kebanyakan dari diare ini adalah penyakit yang self-limiting, maka dalam pengelolaannya
adalah bersifat suportif. Rehidrasi secara oral (OR) merupakan terapi utama bagi semua anak-anak
yang menderita diare, jangan pernah untuk tidak memberikan OR bahkan bila anak tidak berada di
dalam keadaan dehidrasi, karena pemeliharaan cairan dalam tubuh merupakan hal yang sangat
penting. Neonatus dan bayi berada dalam kelompok risiko tinggi untuk mengalami komplikasi
sekunder seperti dehidrasi berat dan gangguan elektrolit sehingga memerlukan pengawasan ketat.
Jika perlu maka dapat dilakukan rehidrasi cairan secara intravena bila pemberian cairan secara oral
tidak berhasil mengatasi keadaan. Tetapi sebagai patokan dalam pemberian cairan ini tetap mengacu
21

kepada rencana terapi A, B, atau C. Cairan yang diberikan untuk rehidrasi idealnya memiliki
osmolaritas yang rendah (210-250 mOsm) dan mengandung natrium sekitar 50-60 mmol/L.
Pemberian obat antimotilitas tidak memiliki indikasi untuk diare. Terapi antimikroba juga dilakukan
jika penyebab diarenya adalah non-virus, karena mengingat bahwa diare ini adalah penyakit yang
dapat sembuh dengan sendirinya. Berikut tabel dibawah ini akan memperlihatkan terapi-terapi yang
dapat diberikan untuk diare yang non-virus.
Tabel 8. Terapi untuk Diare Non-Virus
Aeromonas sp.
Campylobacter sp.
C. difficile

Use cefixime and most third- and fourth-generation cephalosporins


Erythromycin shortens illness duration and shedding
Discontinue potential causative antibiotics. If antibiotics cannot be
stopped or this does not result in resolution, use oral metronidazole or

C.perfringens
Cryptosporodium

vancomycin. Vancomycin is reserved for the child who is seriously ill


Do not treat with antibiotics
Paromomycin; however, effectiveness is not proven. Nitazoxanide, a

parvum
Entamoeba

newer anthelmintic, is effective against C parvum


Metronidazole followed by iodoquinol or paromomycin Asymptomatic

histolytica
E.coli

carriers in nonendemic areas: Iodoquinol or paromomycin


Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) if moderate or severe;
antibiotic treatment may increase likelihood of HUS. Parenteral second-

G.lamblia

generation or third-generation cephalosporin for systemic complications


Most
effectively
treated
with
quinacrine
Since this medicine is poorly tolerated because of its bitter taste,

Plesiomonas sp.
Salmonella sp.

furazolidone, metronidazole, or nitazoxanide can be used


Use TMP-SMX or any cephalosporin
Treatment prolongs carrier state, is associated with relapse, and is not
indicated for nontyphoid-uncomplicated diarrhea. Treat infants younger
than 3 months and high-risk patients (eg, immunocompromised, sickle
cell disease). TMP-SMX is first-line medication; however, resistance

Shigella sp.

occurs. Use ceftriaxone and cefotaxime for invasive disease


Treatment shortens illness duration and shedding but does not prevent
complications. TMP-SMX is first-line medication; however, resistance
occurs. Cefixime, ceftriaxone, and cefotaxime are recommended for

V.cholera

invasive disease
Treat infected individuals and contacts. Doxycycline is the first-line

Yersinia sp.

antibiotic, and erythromycin is second-line antibiotic


TMP-SMX, cefixime, ceftriaxone, and cefotaxime are used. Treatment
does not shorten disease duration; reserve for complicated cases

22

Dosis obat-obat yang digunakan untuk pengobatan diare :

Cefixime

: 8 mg/kg/hr p.o. sehari 4 kali selama 7-10 hari.

Ceftiaxone

: 50 mg/kg/hr i.v./i.m. dibagi 2-4 dosis selama 7-10 hari (max 2 gr/hr).

Cefotaxime

: 50 mg/kg/dosis iv/im sehari 3 kali selama 7-10 hari.

Eritromisin

: 50 mg/kg/hr po/iv dibagi 4 dosis selama 7-10 hari.

Furazolidone

: 5 mg/kg/hr po dibagi 4 dosis selama 7-10 hari.

Iodoquinol

: 30-40 mg/kg/hr po dibagi 3 dosis selama 20 hari.

Metronidazol

: 30-50 mg/kg/hr po dibagi 3 dosis selama 10 hari.

Paramomycin

: 25-30 mg/kg/hr po dibagi 3 dosis selama 7 hari (max 4 gram/hari).

Quinocrine

: 6 mg/kg/hr po dibagi 3 dosis selama 5 hari.

Sulfamethoxazole dan trimethoprim : 10 mg/kg/hr po sehari 2 kali selama 7-10 hari.

Vancomycin

: 40-50 mg/kg/hr po dibagi 4 dosis selama 10-14 hari (max 2 gram/hari).

Tetrasiklin

: < 8 tahun tidak diketahui dosisnya


: 8 tahun 25-50 mg/kg/hr po dibagi 4 dosis selama 7-14 hari.

Nitazoxonide

: < 1 tahun : tidak diketahui dosisnya


: 1-4 tahun : 100 mg (5ml) po sehari 2 kali selama 3 hari dan diberikan
bersama dengan makanan.
: 4-11 tahun : 200 mg (10 ml) sehari 2 kali selama 3 hari dan diberikan
bersama dengan makanan.
: 11 tahun : 500 mg po dibagi 2 dosis selama 3 hari.

Rifaximin

: < 12 tahun tidak diketahui dosisnya


: 12 tahun : 100 mg po sehari 3 kali.

Jika diperlukan dapat berkonsultasi dengan dokter bedah karena beberapa organisme dapat
menyebabkan nyeri abdomen dan tinja yang mengandung darah segar. Selain itu gejala yang
menyerupai apendisitis, colitis hemoragik, intususepsi atau toksik megakolon dapat muncul juga
pada pasien-pasien diare.
Terapi yang digunakan di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSHS :
Antidiare tidak diberikan dan Antibiotik digunakan hanya untuk :

Diare invasif : Kotrimoksasol 50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama hari.

Kolera : Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis selama 2-3 hari.

23

Amoeba, Giardia, Kriptosporodium : Metronidazol 30-50 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis selama


5 hari (10 hari untuk kasus berat)

Diet : Sesuai dengan penyebab diare

Intoleransi karbohidrat : susu rendah sampai bebas laktosa

Alergi protein susu sapi : susu kedelai

Malabsorpsi lemak : susu yang mengandung medium chain trigliserid (MCT)

Apabila dengan terapi dietetik diatas tidak ada respons, gunakan susu protein hidroksilat.

Penyulit :

Dehidrasi
-

Tanpa dehidrasi

: Rencana Terapi A

Dehidrasi ringan-sedang

: Rencana Terapi B

Dehidrasi berat

: Rencana Terapi C

Gangguan elektrolit
-

Hiponatremia
Dapat diberikan larutan NaCl hipertonis 3 (13mEq/L) atau % (855mEq/L). Tetapi untuk
mencapai kadar Na yang aman (125 mEq/L) maka Na yang dibutuhkan menurut rumus
sebagai berikut ini : mEq Na = 12 Na darah x 0.6 x BB(kg) diberikan dalam 4 jam.

Hipernatremia
Bila terjadi dehidrasi berat disertai syok/presyok maka berikan NaCl 0.9% atau RL atau
Albumin 5%. Setelah syok teratasi lalu berikan larutan yang mengandung Na : 75-80
mEq/L, misalnya NaCl-dekstrosa (2A) atau DG half strength sampai ada diuresis kemudian
berikan K 40 mEq/L.

Hipokalemia :
Bila kadar K darah < 2.5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala) larutan KCl 3.75% i.v.
dengan dosis 3- mEq/kgBB, maksimal 40 mEq/L.
Bila kadar K 2.5 3.5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala), cukup diberikan K : 75
mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 3 dosis.

Hiperkalemia :
Kadar K darah

Terapi

< 6 mEq/L

Kayeksalat 1 g/kgBB p.o., dilarutkan dalam 2 ml/kgBB larutan


sorbitol 70%.

24

Kayeksalat 1 g/kgBB enema, dilarutkan dalam 10 ml/kgBB larutan


sorbitol 70% diberikan melalui kateter folley, diklem selama 30-60
menit.
6-7 mEq/L

NaHCO3 7.5% dosis 3 mEq/kgBB secara i.v. atau 1 unit insulin/5 g


glukosa

> 7 mEq/L

Ca glukonas 10%, dosis 0.1-0.5 ml/kgBB i.v. dengan kecepatan 2


ml/menit

Gangguan keseimbangan asam-basa


-

Asidosis metabolik
Apabila kadar bikarbonat <22mEq/L dan kadar base excess (BE) tidak diketahui larutan
bikarbonat 8.4% (1mEq = 1 ml) atau 7.5% (0.9 mEq = 1ml) sebanyak 2-4 mEq/kgBB.
Bila BE diketahui : mEq NaHCO3 = BE x BB x 0.3

Alkalosis metabolik
Tergantung derajat dehidrasi berikan NaCl 0.9%, 10-20ml/kgBB dalam 1 jam. Bila telah
diuresis, dilanjutkan dengan cairan 0.45 NaCl atau 2,5% dekstrosa (2A) 40-80ml/kgBB +
KCl 38 mEq/L dalam 8 jam.

Komplikasi

Demam enterik yang disebabkan oleh S. typhi. Sindroima tersebut mempunyai gejala seperti
malaise, demam, nyeri perut, dan bradikardia. Diare dan rash (rose spots) akan timbul setelah 1
minggu gejala awal timbul. Bakteri akan menyebar keseluruh tubuh pada saat itu dan
pengobatan untuk mencegah komplikasi sistemik seperti hepatitis, miokarditis, kolesistitis atau
perdarahan saluran cerna diperlukan.

Hemolytic uremic syndrome (HUS) disebabkan oleh kerusakan endothelial vascular oleh
verotoksin yang dihasilkan oleh enterohemoragik E.coli dan Shigella sp. Trombositopenia,
anemia hemolitik mikroangiopati, dan gagal ginjal akut merupakan tanda-tanda dari HUS.
Gejala biasanya timbul setelah 1 minggu sejak diare pertama kali timbul.

Reiter syndrome (RS) dapat menyebabkan komplikasi infeksi akut dari diare ini dan hal tersebut
ditandai dengan adanya arthritis, uretritis, konjungtivitis, dan lesi pada mukokutan. Individu
dengan RS biasanya tidak menampilkan gejala-gejala tersebut secara keseluruhan saja.

Pasien yang mengalami diare akut dikemudian hari dapat menjadi seorang karier jika
disebabkan oleh organisme tertentu.

25

Setelah terinfeksi oleh Salmonella, 1-4% pasien diare akut non tifoid dapat menjadi karier.
Keadaan karier dari Salmonella ini terutama terjadi pada wanita, bayi, dan individu-individu
yang mempunyai penyakit saluran kandung empedu.

Karier C.difficile biasanya asimptomatik dan dapat ditemukan pada 20% pasien yang
dirawat di rumah sakit yang mendapatkan terapi antibiotika dan 50% pada bayi.

Rotavirus dapat diekskresikan secara asimptomatik di dalam tinja seorang anak yang
sebelumnya pernah mengalami diare.

Tabel 9. Komplikasi yang Biasa Terjadi Akibat Diare


Organisme
Aeromonas caviae
Campylobacter species
C difficile
C perfringens serotype C
Enterohemorrhagic E coli
Enterohemorrhagic
E

Komplikasi
Intussusception, gram-negative sepsis, HUS
Bacteremia, meningitis, cholecystitis, urinary tract infection,
pancreatitis, Reiter syndrome (RS)
Chronic diarrhea
Enteritis necroticans
Hemorrhagic colitis
coli HUS

O157:H7
Plesiomonas species
Salmonella species

Septicemia
Enteric fever,

Shigella species
Vibrio species
Yersinia enterocolitica

myocarditis, RS
Seizures, HUS, perforation, RS
Rapid dehydration
Appendicitis, perforation, intussusception, peritonitis, toxic

Rotavirus
Giardia species
Cryptosporidium species
Entamoeba species
Prognosis

bacteremia,

meningitis,

osteomyelitis,

megacolon, cholangitis, bacteremia, RS


Isotonic dehydration, carbohydrate intolerance
Chronic fat malabsorption
Chronic diarrhea
Colonic perforation, liver abscess

Baik di negara maju maupun di negara berkembang, dengan penanganan diare yang baik maka
prognosis akan sangat baik. Kematian biasanya terjadi akibat dari dehidrasi dan malnutrisi yang
terjadi secara sekunder akibat dari diarenya itu sendiri. Apabila terjadi dehidrasi yang berat maka
perlu dilakukan pemberian cairan secara parenteral. Bila terjadi keadaan malnutrisi akibat gangguan
absorpsi makanan maka pemberian nutrisi secara parenteral pun perlu dilakukan karena bila terjadi
gangguan dari absorpsi makanan (malabsorpsi) maka kemungkinan untuk jatuh kedalam keadaan
dehidrasi yang lebih berat lagi akan semakin lebih besar.
DISENTRI

26

Definisi, etiologi dan kepentingan


Disentri didefinisikan sebagai diare yang disertai darah dalam tinja. Penyebab yang terpenting dan
tersering adalah Shigella, khususnya S.flexeneri dan S.dysentriae tipe 1. Penyebab lain seperti
Campylobacter jejuni terutama pada bayi dan lebih jarang adalah Salmonella; disentri yang
disebabkan oleh Salmonella ini biasanya tidak berat. Escherichia coli enteroinvasif relatif lebih
mirip dengan Shigella dan menyebabkan disentri yang berat. Namun begitu, infeksi dengan kuman
ini jarang terjadi. Entamuba histolytica menyebabkan disentri pada anak yang lebih besar, tetapi
jarang pada balita.
Disentri adalah penyebab penting kesakitan dan kematian yang berkaitan dengan diare. Sekitar 10%
episode diare pada balita adalah disentri, tetapi merupakan penyebab sekitar 15% kematian karena
diare. Disentri pada bayi dan anak yang kurang gizi biasanya berat, memperlihatkan dehidrasi pada
waktu sakit atau pada anak jarang tidak mendapat ASI. Juga mempunyai efek yang lebih jelek
terhadap status gizi daripada diare cair akut. Disentri terjadi dengan frekuensi lebih sering dan berat
pada anak yang sakit campak atau menderita campak bulan sebelumnya. Episode diare yang
dimulai dengan disentri lebih sering menjadi persisten daripada mulai dengan diare cair.
Gambaran Klinis dan diagnosis
Diagnosis klinis disentri didasarkan semata-mata pada terlihatnya darah di dalam tinja. Tinja
mungkin juga mengandung sel-sel nanah (lekosit polimorfonuklear) yang terlihat dengan
mikroskop dan mungkin mengandung lendir dalam jumlah banyak; gambaran yang terakhir ini
mengarah ke infeksi bakteri yang invasif ke mukosa usus (seperti Campylobacter jejuni atau
Shigella), akan tetapi gejala ini saja tidak cukup untuk mendiagnosis disentri. Pada beberapa
episode shigellosis, pertama-tama tinja cair kemudian menjadi berdarah setelah 1 atau 2 hari.
Diare cair ini kadang-kadang berat dan menyebabkan dehidrasi. Namun, biasanya keluarnya tinja
berdarah sedikit-sedikit beberapa kali dan tidak sampai dehidrasi. Penderita dengan disentri sering
disertai panas, tetapi kadang-kadang suhunya rendah, terutama pada kasus-kasus yang berat. Sakit
kram di perut dan sakit di dubur pada waktu defekasi, atau tetanus juga sering terjadi, namun anak
kecil tidak dapat menggambarkan keluhan ini.
Beberapa komplikasi yang berat dan kemungkinan fatal dapat terjadi pada waktu disentri, terutama
bila penyebabnya Shigella. Keadaan ini meliputi perforasi usus, megakolon toksik, prolapsus
rektum, kejang-kejang (dengan) atau tanpa hiperpireksil, anemiaseptik, sindrom hemolitik uremik
dan hiponatremia yang lama. Komplikasi utama disentri adalah kehilangan berat badan dan status
27

gizi yang dengan cepat memburuk. Hal ini disebabkan oleh anoreksia, kebutuhan badan terhadap
gizi untuk mengatasi infeksi dan memperbaiki kerusakan usus dan kehilangan protein melalui
jaringan yang rusak (misal: hilangnya protein karena enteropati). Kematian karena disentri biasanya
disebabkan oleh kerusakan ileum dan kolon, komplikasi sepsis, infeksi sekunder (misal:
pneumonia) atau gizi buruk. Anak yang baru sembuh dari disentri juga meningkat resiko
kematiannya karena infeksi lain, disebabkan buruknya status gizi atau turunnya imunitas.
Penyebab episode disentri sering tidak diketahui. Biakan tinja untuk mendeteksi bakteri patogen
sering tidak mungkin. Selain itu paling tidak dibutuhkan waktu 2 hari sebelum hasil biakan ada,
sedangkan antibiotik harus segera diberikan. Amubiasis hanya dapat didiagnosis dengan pasti bila
trofozoit E.histolitika yang mengandung sel darah merah terlihat di dalam tinja yang segar atau
pada lendir ulkus rektum (didapatkan pada waktu proktoskopi). Ditemukannya kista tidak cukup
untuk mendiagnosis amebiasis. Amubiasis harus dicurigai bila seorang anak disentri tidak membaik
setelah diberi antibiotik yang tepat untuk Shigellosis.
Tatalaksana
Anak dengan disentri harus dicurigai karena Shigellosis dan diberi pengobatan yang sesuai. Ini
disebabkan karena kira-kira 60% kasus disentri yang datang ke sarana kesehatan dan hampir semua
kasus berat dan mengancam kehidupan adalah disebabkan Shigella. Bila pemeriksaan mikroskopis
tinja dibuat dan trofozoit .histolitika terlihat mengandung eritrosit, pengobatan anti amubik harus
diberikan. Empat komponen kunci pengobatan disentri adalah :

Antibiotika

Cairan

Makanan

Tindak lanjut

Pengobatan antimikroba
Pengobatan awal Shigellosis dengan antibiotika yang tepat memperpendek lama sakit dan
mengurangi risiko komplikasi yang serius serta kematian. Namun demikian, pengobatan seperti itu
hanya efektif bila Shigella sensitif terhadap antibiotika yang diberikan. Bila pengobatan terlambat
atau antibiotika diberikan tidak sensitif, bakteri mungkin menyebabkan kerusakan usus yang luas
dan masuk ke dalam sirkulasi darah yang menyebabkan septikemi, kelemahan dan kadang-kadang
syok septik. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada anak yang kurang gizi atau bayi dan mungkin
fatal.

28

Karena sensitivtas Shigella terhadap antibiotika tidak diketahui, sangat penting untuk menggunakan
antibiotik yang diketahui masih sensitif terhadap Shigella di daerah ini. Trimethoprim
sulfamethoxasole biasanya merupakan pilihan tetapi di beberapa daerah ampicillin juga efektif.
Meskipun pengobatan dianjurkan untuk 5 hari, seharusnya ada perbaikan setelah 2 hari, mis:
berkurangnya panas, berkuranganya sakit dan darah dalam tinja serta berkurangnya frekuensi BAB.
Bila tidak terjadi, antibiotik harus dihentikan dan diganti dengan yang lain. Di beberapa daerah
mungkin bisa diberikan asam nalidixat. Meskipun bakteri lain seperti Campylobacter jejuni dan
Salmonella dapat menyebabkan disentri, biasanya penyakitnya lebih ringan dan sembuh sendiri
(selg limiting diarrhoea).
Anak dengan disentri tidak harus diobati secara rutin untuk amebiasis. Pengobatan harus diberikan
hanya bila ditemukan trofozoit E.histolitika yang mengandung sel darah merah dalam tinja atau bila
tinja berdarah menetap setelah pengobatan dengan 2 antibiotika berturut-turut (masing-masing
diberikan untuk 2 hari) yang biasanya efektif untuk Shigella. Pengobatan yang dipilih untuk disentri
ameba adalah metronidazol. Bila disentri disebabkan oleh E.histolitika perbaikan akan terjadi dalam
2 3 hari setelah pengobatan.
Cairan
Anak dengan disentri harus dievaluasi untuk tanda-tanda dehidrasinya dan diberi pengobatan yang
sesuai. Semua penderita disentri harus diberi air dan cairan lain yang dianjurkan selama sakit,
terutama bila disertai panas.
Pemberian makanan
Anak dengan disentri harus diteruskan pemberian makanannya untuk mencegah atau mengurangi
kekurangan gizi. Pemberian makanan mungkin sulit, karena adanya anoreksia. Petunjuk umum
pemberian makanan pada rencana pengobatan A harus diikuti.
Tindak lanjut
Kebanyakan penderita disentri menunjukkan perbaikan yang besar dalam 2 hari setelah pengobatan
dengan antimikroba yang efektif. Penderita ini harus diberi pengobatan selama 5 hari dan biasanya
tidak membutuhkan tindak lanjut. Penderita lain harus diikuti dengan seksama terutama pada anak
yang tidak memperlihatkan perbaikan dalam 2 hari dan anak yang mempunyai risiko tinggi
terhadap kematian atau komplikasi lain. Anak yang berisiko tinggi (misal: bayi, anak kurang gizi,
anak yang tidak mendapat ASI dan mereka yang mengalami dehidrasi) harus sering diawasi baik
penderita bila rawat jalan atau dimasukkan ke rumah sakit untuk rawat inap. Penderita disentri dan
29

malnutrisi berat secara rutin harus dirawat inap. Anak yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 2
hari pertama pengobatan antimikroba harus diberi antimikroba lain seperti yang dijelaskan di atas.
Pencegahan
Mikroorganisma yang menyebabkan disentri ditularkan melalui tangan, makanan dan air yang
tercemar tinja. Penularan Shigellosis melalui tangan sangat efisien karena hanya dibutuhkan jumlah
kuman Shigella sangat sedikit (10 100 kuman) untuk menimbulkan sakit. Cara pencegahannya
ialah cuci tangan yang bersih sebelum masak dan sebelum makan serta penggunaan jamban yang
higinis.
Daftar Pustaka
Alfa, Yasmar. Tanpa tahun. Diare Akut Pada Anak. Bandung : SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD/RSHS.
Alfa, Yasmar. Tanpa tahun. Patogenesis dan Patofisiologi Diare. Bandung : SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK UNPAD/RSHS.
Departemen Kesehatan RI. 1999. Buku Ajar Diare (Pegangan Bagi Mahasiswa).
Frye, Richard E. 2005. Diarrhea. Melalui <http://www.emedicine.com/> [22/12/05].
Guyton, Arthur.C. & Hall, John E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan : Irawati
Setiawan, dkk. Hal 1013-1049. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Karras, David. 2005. Diarrhea. Melalui <http://www.emedicinehealth.com/articles/5917-10.asp>
[22/12/05].
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi 3. hal 470-477. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI.
Nguyen, David G. 2005. Pediatrics, Rotavirus. Melalui <http://www.emedicine.com/> [22/12/05].
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Sunoto. 1991. Penyakit Radang Usus : Infeksi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI editor
A.H. Markum dkk. Hal 448-466. Jakarta : FKUI.

30

Anda mungkin juga menyukai