LAPORAN KASUS
oleh
JET PRIANTO
1206280856
PROGRAM VOKASI
RUMPUN KESEHATAN
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
Depok
Juni 2015
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM VOKASI
RUMPUN KESEHATAN
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
: Jet Prianto
: 1206280856
: Fisioterapi
10 Juni 2015
Jet Prianto
1206280856
ii
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM VOKASI
RUMPUN KESEHATAN
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
LEMBAR PENGESAHAN
Nama
: Jet Prianto
NPM
: 1206280856
Program Studi
: Fisioterapi
Instansi Praktek
: PENATALAKSANAAN
FISIOTERAPI
PADA
Pembimbing Lahan,
Pembimbing materi,
iii
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas karunia dan kasih-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir
ini. Penulisan Tugas Akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Ahli Madya Fisioterapi pada Program Studi Fisioterapi
Universitas Indonesia.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dan membimbing dari masa perkuliahan sampai Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan pada waktunya. Adapun ucapan terima kasih tersebut saya tunjukan
kepada:
(1)
(2)
Babah, Umai, kakak Yulianto, kakak Bidu dan kakak Cita Murari dan
seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan, memberikan
semangat, cinta dan kasih, serta dukungan baik moril maupun materil;
(3)
Prof. Sigit selaku Ketua Program Vokasi UI atas program dan kerja
keras dalam rangka mewujudkan pendidikan vokasi yang berkualitas;
(4)
Dr. Elida Illyas, SpKFR selaku Ketua Program Studi Fisioterapi Vokasi
UI atas ilmu, nasehat dan bimbingan yang telah diberikan;
(5)
(6)
(7)
(8)
iv
Universitas Indonesia
(9)
Bapak Heri, SST.FT dan Ibu Titik .S, SST.FT selaku pembimbing lahan
serta Semua dosen dan para senior dilahan praktek klinik, atas waktu
dan arahan ilmu yang telah diberikan;
(10) Ny. R dan keluarga atas waktu dan kesediaannya membantu dalam
penyelesaian tugas akhir ini semoga kesehatan selalu dilimpahkan pada
segenap keluarga;
(11) Semua dosen, staff pengajar dan karyawan di Vokasi Fisioterapi
Universitas Indonesia;
(12) Christina Natalia Devina yang selalu memberi semangat, motivasi dan
keceriaan dalam masa-masa suka dan duka mengerjakan tugas akhir ini;
(13) Rekan-rekan mahasiswa Fisioterapi UI khususnya untuk kelompok PK
1 & PK 2: Eka Dini, Trimukti Woro, Devinta, Wina, Fadiya, Nadidah,
Putri Lestari dan Putu Merliany atas kerjasama tim yang mengajarkan
saya bagaimana untuk bersosialisasi dan tetap menjaga kekompakan;
(14) Leticia F, Fitria W.S, Febriati dan Wineyni H serta seluruh mahasiswa/i
program beasiswa KSDI Kota Palangka Raya;
(15) Teman-teman Paguyuban HARATI UI dan IMKAJAYA yang menjadi
teman berbagi suka dan duka selama menempuh pendidikan di Kota
Depok;
Kesalahan dan ketidaksempurnaan tentunya masih terdapat dalam Tugas
Akhir ini, namun bukan sesuatu yang disengaja, hal tersebut semata-mata karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena itu
kritik serta saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan Tugas
Akhir ini.
Akhir kata semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pendidikan, pembaca dan mahasiswa, khususnya mahasiswa Program Studi D3
Fisioterapi Universitas Indonesia.
Penulis
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
i
ii
iii
iv
vi
vii
viii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................
B. Tujuan Penulisan ........................................................................
C. Manfaat Penulisan ......................................................................
D. Rumusan Masalah ......................................................................
1
3
4
4
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi .......................................................................................
B. Anatomi ......................................................................................
C. Epidemiologi ..............................................................................
D. Etiologi .......................................................................................
E. Patofisiologi ...............................................................................
F. Manifestasi Klinis ......................................................................
G. Diagnosis ....................................................................................
H. Prognosis ....................................................................................
I. Penatalaksanaan Fisioterapi .......................................................
5
5
12
13
14
16
17
20
20
URAIAN KASUS
A. Pengumpulan Data Identitas Pasien (S) .....................................
B. Pengumpulan Data Riwayat Penyakit ........................................
C. Pemeriksaan ...............................................................................
D. Pengumpulan Data Tertulis Pemeriksaan Penunjang ................
E. Urutan Masalah Fisioterapi Berdasarkan Prioritas ....................
F. Diagnosis Fisioterapi ..................................................................
G. Program Pelaksanaan Fisioterapi ...............................................
H. Evaluasi ......................................................................................
42
42
43
44
44
44
47
52
BAB IV
DISKUSI .........................................................................................
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................
B. Saran ...........................................................................................
64
65
66
69
BAB II
BAB III
vi
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
10
Tabel 2.2.
24
Tabel 2.3.
26
Tabel 2.4.
38
Tabel 3.1.
44
Tabel 3.2.
45
Tabel 3.3.
45
Tabel 3.4.
46
Tabel 3.5.
47
Tabel 3.6.
53
53
54
55
Tabel 3.10. Evaluasi Ke-3 MMT Wajah dengan Skala DanielsWorthingham .................................................................................
56
56
Tabel 3.12. Evaluasi Ke-4 MMT Wajah dengan Skala DanielsWorthingham .................................................................................
57
58
Tabel 3.14. Evaluasi Ke-5 MMT Wajah dengan Skala DanielsWorthingham .................................................................................
58
59
Tabel 4.1.
61
Tabel 4.2.
62
Tabel 3.7.
Tabel 3.8.
Tabel 3.9.
vii
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Anatomi nervus facialis dan otot-otot wajah ................................
Gambar 2.4. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi supranuklear
18
Gambar 2.5. MRI Otak pada Bells Palsy dengan Infark Central Pontine .......
19
62
viii
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memiliki wajah yang cantik dan menarik adalah idaman setiap wanita.
Kecantikan wajah secara fisik dapat meningkatkan rasa percaya diri. Banyak
usaha untuk mencapai hal itu, misalnya dengan cara perawatan, facial, bahkan
tidak jarang ada yang melakukan operasi plastik. Walau harus mengeluarkan
uang yang cukup banyak mereka tidak masalah yang penting bisa mempercantik
atau mengkoreksi bagian wajah tertentu agar terlihat lebih menarik.
Banyak faktor yang menyebabkan wajah menjadi tidak menarik salah
satunya adalah terkena Bells Palsy. Definisi Bells Palsy adalah sebuah kelainan
dan gangguan neurologi pada nervus cranialis VII (saraf wajah) di daerah tulang
temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells Palsy ini hampir selalu
terjadi unilateral, namun demikian dalam jarak satu minggu atau lebih dapat
terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh, yang
menyebabkan kelemahan atau paralisis, ketidaksimetrisan kekuatan/aktivitas
persarafan pada kedua sisi wajah (kanan dan kiri), serta distorsi wajah yang
khas. Hal ini sangat menyiksa diri karena membuat orang menjadi kurang
percaya diri. Wajah kelihatan tidak cantik karena mulut mencong, mata tidak
bisa berkedip, mata berair dan konflikasi lainnya.1
Istilah Bells Palsy diambil dari nama seorang dokter di abad ke 19 yaitu
Sir Charles Bell. Beliau yang pertama kali menjelaskan penyakit ini serta
mengaitkannya dengan kelainan saraf wajah. Bells Palsy ialah kelumpuhan
nervus facialis yang menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan pada otot-otot
wajah.2
Gejala yang terjadi berupa kelemahan pada otot-otot wajah pada satu sisi,
nyeri dibelakang telinga dan ketidaksimetrisan wajah. Biasanya penderita
mengetahui ketidaksimetrisan wajah dari teman atau keluarga atau pada saat
bercermin. Karena Bells Palsy menyerang tanpa disadari penderita dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Penatalaksanaan selanjutnya adalah dengan manual terapi, ada pun metode yang
paling sering digunakan adalah massage, metode ini bertujuan merileksasi dan
mencegah
kontraktur
otot-otot
wajah.
Jenis
intervensi
terakhir
yang
dipergunakan adalah terapi latihan yang umum di gunakan antara lain: mirror
exercise dan PNF.
Di RSUP Fatmawati adalah salah satu rumah sakit dengan layanan
fisioterapi yang dalam penatalaksanaan Bells Palsy menggunaan kombinasi dari
tiga jenis intervensi yaitu modalitas elektro terapi, manual terapi dan terapi
latihan. Salah satu yang intervensi yang menarik adalah penggunaan metoda
PNF.
Karena latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk mengangkat
judul karya tulis ilmiah PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA
BELLS
PALSY
SINISTRA
DI
RUMAH
SAKIT
UMUM
PUSAT
FATMAWATI.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan tugas akhir ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Bells Palsy
secara keseluruhan dan lebih mendalam,
b. Untuk memenuhi persyaratan kelulusan dari Program Studi Fisioterapi
Vokasi UI.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui kondisi dan masalah yang dijumpai pada kasus Bells Palsy
yang dikaitkan dengan problem gerak dan fungsi dari otot-otot wajah,
b. Mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Bells Palsy sinistra
dengan menggunakan modalitas MWD, electrical stimulation, PNF
(Proprioseptive Neuromuscular Facilitation) dan massage,
c. Mengedukasi dan menyebarluaskan pengetahuan tentang penatalaksanaan
fisioterapi pada kondisi Bells Palsy sinistra.
Universitas Indonesia
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Penulis dapat memahami, menjelaskan dan melaksanakan penatalaksanaan
fisioterapi pada kondisi Bells Palsy sinistra yang sesuai dengan basic
knowledge dan memberi kesempatan mengembangkan wawasan yang lebih
luas lagi mengenai penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi Bells Palsy
sinistra.
2. Bagi pendidikan
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menjadi sarana belajar dan
mengembangkan wawasan dalam bidang penulisan dan keilmuan fisioterapi
sehingga member dampak positif yang menambah wawasan, pengetahuan
dan keterampilan.
3. Bagi masyarakat
Dapat memberi informasi baru kepada pasien, keluarga pasien, dan
masyarakat sekitar mengenai Bells Palsy agar mengetahui bagaimana
mencegah, mengatasi dan program terapi yang tepat.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang timbul pada Bells Palsy sinistra maka penulis ingin
mengetahui:
1. Bagaimana kondisi dan masalah yang dijumpai pada kasus Bells Palsy
sinistra yang dikaitkan dengan problem gerak dan fungsi dari otot-otot
wajah?
2. Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada Bells Palsy sinistra?
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
BeIls Palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan.4
Bells Palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan oleh
kerusakan nervus fasialis, yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi
wajah. Paralisis ini menyebabkan asimetri wajah serta mengganggu fungsi
normal, seperti menutup mata dan makan. Bells Palsy biasanya mendadak dan
tidak jelas penyebabnya.6
Sir Charles Bell (1821) seorang ahli bedah dari Skotlandia adalah orang
yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetris, sejak itu
semua kelumpuhan nervus facialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut
Bell's Palsy. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologis, laboratorium dan
patologi anatomi menunjukkan bahwa Bells Palsy bukan penyakit tersendiri
tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala
penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada
anak di bawah umur 2 tahun.
Awalnya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin. Diagnosis Bells Palsy dapat ditegakkan
dengan adanya kelumpuhan nervus facialis perifer diikuti pemeriksaan untuk
menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan nervus facialis perifer.7
B. Anatomi
Untuk lebih memahami permasalahan yang terjadi pada kondisi Bells
Palsy, maka terlebih dahulu harus diketahui tentang struktur anatomi nervus
facialis dan otot-otot yang dipersarafi nervus facialis.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b.
c.
d.
Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh
nervus trigeminus). Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu
saraf (tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus
akustikuseksterna dan bagian luar gendang telinga.4
2. Otot-Otot Wajah
Otot-otot wajah termasuk dalam jenis otot lurik/rangka dan
memiliki beberapa sifat-sifat fisiologis diantaranya 9 :
Universitas Indonesia
a. Iritabilitas,
yakni
otot
memiliki
kemampuan
menerima
dan
yakni
bila
menerima
rangsang,
otot
memiliki
Universitas Indonesia
Nama Otot
Fungsi
Persarafan
M.Frontalis
Mengangkat alis
N. Temporalis
M.Corrugator supercili
Mendekatkan kedua
N. Zigomatikum
pangkal alis
dan
N.Temporalis
M.Procerus
Mengerutkan kulit
N. Zigomatikum,
N.Temporalis,
N. Buccal
M. Orbicularis Oculli
Menutup kelopak
N.Fasialis,
mata
N.Temporalis,
N. Zigomatikus
10
Universitas Indonesia
No
5
Nama Otot
Fungsi
M. Nasalis
Mengembang
Persarafan
N. Fasialis
M. Zigomaticum mayor
Tersenyum
N. Fasialis
dan M. Zigomatikum
minor
11
Universitas Indonesia
No
Nama Otot
M. Orbicularis oris
Fungsi
Bersiul
Persarafan
N. Fasialis
N. Zigomatikum
M. Buccinator
Meniup sambil
N. Fasialis,
menutup mulut
N. Zigomatikum,
N. Mandibular,
N. Buccal
10
M. Mentalis
Mengangkat dagu
N. Fasialis dan
N. Buccal
C. Epidemiologi
Bells Palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi
di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada
kondisi geografis masing- masing negara. Insiden tahunan yang telah
dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi. 12
12
Universitas Indonesia
Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun).
Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat
tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 510% kasus Bells palsy adalah penderita diabetes mellitus. Bells Palsy jarang
ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan
dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi
dengan prevalensi 0,3- 2%. Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 812% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang
berlawanan.
Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk (2010)
terhadap 500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun,
telah rnenemukan jumlah pasien Bells palsy sebanyak 381 orang, dengan
insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.
Di Inggris insiden Bells palsy mulai dari tahun 1992-1996 sekitar 20
kasus per 100.000orang.
14
13
Universitas Indonesia
D. Etiologi
Menurut (Dachlan, 2001) etiologi artinya ilmu tentang penyebab
penyakit. Ada beberapa teori yang mengemukakan tentang penyebab Bells
Palsy antara lain sebagai berikut:
1. Teori Infeksi Virus Herpes Zoster
Salah satu penyebab munculnya Bells Palsy adalah karena adanya infeksi
virus herpes zoster. Herpes zoster hidup didalam jaringan saraf. Apabila
radang herpes zoster ini menyerang ganglion genikulatum, maka dapat
melibatkan paralisis pada otot-otot wajah sesuai area persarafannya. Jenis
herpes zoster yang menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah ini sering
dikenal dengan Sindroma Ramsay-Hunt atau Bells Palsy.17
2. Teori Iskemia Vaskuler
Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii,
secara tidak langsung menimbulkan paralisis pada nervus facialis.
Kerusakan yang ditimbulkan berasal dari tekanan saraf perifer terutama
berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf
tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung pada sarafnya. Kemungkinan
terdapat respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arterioral
atau statis vena pada bagian bawah dari canalis fasialis, sehingga
menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi
terhadap suplai darah, menambah iskemia dan menjadikan parese nervus
facialis.
3. Teori herediter
Teori herediter mengemukakan bahwa Bells Palsy yang disebabkan karena
faktor herediter berhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis
facialis yang bersifat menurun.
4. Pengaruh udara dingin
Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher
atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses mengubah dari
suatu bentuk kebentuk lain) dan mengakibatkan foramen stilomastoideus
bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga
rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah
mengalami kelemahan atau lumpuh. 5
14
Universitas Indonesia
E. Patofisiologi
Patologi berarti ilmu tentang penyakit, menyangkut penyebab dan sifat
penyakit tersebut. Patologi yang akan dibicarakan adalah mengenai pengaruh
udara dingin yang menyebabkan Bells Palsy.
Secara umum Bells palsy merupakan lesi nervus facialis yang terjadi
secara akut, yang tidak diketahui penyebabnya atau menyertai penyakit lain.
Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada Bells Palsy, terjadi
iskemi primer nervus facialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh
darah yang terletak antara nervus facialis dan dinding kanalis fasialis.
Penyebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain infeksi virus, proses
imunologik, dan lain-lain. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan
mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat
gangguan fungsi nervus facialis. Terjepitnya nervus facialis di daerah
foramen stilomastoideus menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut
sebagai Bells palsy. 18
Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah
leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi dan mengakibatkan
foramen stilomastoideus bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah
tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang
menyebabkan oto-otot wajah mengalami kelemahan atau kelumpuhan.
Terdapat tiga tipe utama pada klasifikasi cedera saraf. Sistem klasifikasi
tersebut berdasarkan gejala-gejala, patologi, dan prognosis. Tiga tipe tersebut
adalah :
1. Neuropraxia
Neuropraxia adalah tipe cedera saraf yang ringan. Hal ini terjadi bila ada
gangguan konduksi impuls saraf di serabut saraf dan penyembuhan terjadi
tanpa degenerasi wallerian. Pada tipe ini terjadi kehilangan fungsi saraf
sementara yang reversibel terjadi dalam berjam-jam atau berbulan-bulan
(biasanya 6-8 minggu). Gangguan pada fungsi motorik biasanya lebih
banyak dibandingkan dengan fungsi sensorik. Regenerasi spontan terjadi
dalam waktu 1-4 bulan.
15
Universitas Indonesia
2. Aksonotmesis
Aksonotmesis
dari
akson
dan
16
Universitas Indonesia
tampak bola mata berputar ke atas (Bell's phenomen), sudut nasolabial tidak
tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. 20
Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau
berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan lidah. Beberapa
literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang sering
dijumpai pada pasien Bells Palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan pada
hampir 50% pasien Bells Palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan
paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi sebelum onset
paralisis.21
G. Diagnosis
Dalam melakukan diagnosis Bells Palsy sinistra anamnesis dan dan
pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam mendiagnosis Bells
palsy secara tepat.19
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit,
ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan
untuk membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bells
palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah
dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan
penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu
atau kurang.19
2. Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf
fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supra
nuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya
perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi
yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak
dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis lainnya, sekurangkurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral. 18
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan
pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat
17
Universitas Indonesia
sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien dengan paralisis fasialis,
sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis. Hal ini dikarenakan:
a. Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi,
mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif bagi akson-akson
untuk mencapai terminalnya.
b. Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara
tajam terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat mempengaruhi
komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat yang beragam dan
dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.
c. Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi dapat terjadi
pada waktu yang berbeda- beda.
d. Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak
sepenuhnya dapat dipercaya.22
Gambar 2.4 Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi supranuklear
Sumber: Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007
3. Pemeriksaan Radiologis 23
Umumnya pasien Bells palsy tidak membutuhkan pemeriksaan
penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan
berikut dapat dianjurkan, seperti:
a. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging
(MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan
paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan pendengaran, defisit
saraf kranial multipel dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau
gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme
18
Universitas Indonesia
Gambar 2.5 MRI Otak Pada Bells Palsy Dengan Infark Central Pontine
Sumber: (Gilden, 2004).
b. Pemulihan inkomplit pada fungsi otot-otot wajah dan synkinesis (gerakan
involunter yang menyertai gerakan volunter) adalah gejala sekuele jangka
panjang pada beberapa pasien. Sekuele ini dapat diprediksi dari hasil
electroneurography; semacam tes dengan tujuan klinis pada pasien
paralisis komplit. Electroneurography menggunakan kelistrikan maksimal
untuk meningkatkan stimulus dan merekam teknik pengukuran amplitude
unsur aksi potensial pada otot wajah; degenerasi otot wajah dapat diukur
dengan membandingkan hasil darisisi yang sehat dengan yang sakit. Tes
tersebut belum boleh dilakukan sampai 3 hari onset kelumpuhan komplit.
21
19
Universitas Indonesia
H. Prognosis
Pasien BelI's palsy umumnya memiliki prognosis yang baik. Prognosis
tergantung dari waktu dimulainya perbaikan klinis. Perbaikan klinis yang
segera dihubungkan dengan prognosis yang baik dan perbaikan yang lambat
memiliki prognosis yang buruk. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 1
minggu, 88% akan memperoleh kesembuhan sempurna, bila dalam 1-2
minggu 83 % dan dalam 3 minggu, kesembuhan terjadi sekitar 61%. 3
Menurut Peitersen, 85% pasien menunjukkan tanda kemajuan pertama
pada tonus dan gerak otot di dalam 3 minggu pertama. 15% sisanya dengan
degenerasi komplit, 11% menunjukkan tanda perbaikan sesudah 3 bulan, 3%
pada bulan ke-4, 1% pada bulan ke-5 dan seorang penderita sesudah 6 bulan
dari onset.19
Sedangkan berdasarkan penelitian Ljostad, banyak pasien Bells palsy
mengalami pemulihan spontan. Dalam sebuah studi mengenai penelitian
Bells palsy, 68% pasien dengan Bells palsy akut dilaporkan mengalami
perkembangan menuju pemulihan sempurna, 27% untuk pemulihan yang
baik, dan 5% untuk pemulihan parsial. 24
I. Penatalaksanaan Fisioterapi
1. Assesment
Assesment merupakan hal yang sangat penting dalam proses
fisioterapi. Dengan assesment fisioterapi mampu mengidentifikasikan
permasalahan yang ada. Hasil dari identifikasi ini akan menjadi dasar
untuk menentukan program fisioterapi, evaluasi perkembangan penderita
Bells Palsy sinistra dan mengetahui metode yang sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi penderita Bells palsy sinistra. Langkah-langkah
pemeriksaan yang dilakukan sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan metode anamnesis. Anamnesis adalah tanya
jawab yang dilakukan terapis kepada pasien untuk mendapatkan
informasi tentang identitas dan perjalan penyakitnya. Terdapat 2 jenis
anamnesis, yaitu:
20
Universitas Indonesia
1) Auto Anamnesis
Tanya jawab secara langsung antara fisioterapis dengan pasien.
2) Allo Anamnesis
Tanya jawab yang dilakukan antara fisioterapis dengan care giver
yakni, keluarga atau orang terdekat pasien. Anamnesis juga terbagi
menjadi anamnesis umum dan anamnesis khusus.
3) Anamnesis Umum, yang terdiri atas:
Identitas Pasien
a) Nama Jelas
b) Tempat & Tanggal Lahir
c) Alamat
d) Pendidikan Terakhir
e) Pekerjaan
f) Hobi
g) Diagnosa medik
4) Anamnesis khusus, terdiri atas :
a) KU (Keluhan Utama)
Merupakan keluhan yang paling dirasakan pasien, sehingga
menjadi alasan pasien datang ke fisioterapi.
b) RPS (Riwayat Penyakit Sekarang)
Riwayat perjalanan penyakit pasien secara lengkap dan jelas
yang berhubungan dengan diagnosa dan keluhan pasien saat ini.
Berisikan proses perjalanan penyakit, lamanya keluhan yang
dirasa, sifat keluhan utama dan tingkat keparahan, lokasi
penyakit dan perluasannya, masa waktu sakit, pengobatan yang
pernah diberikan sebelumnya, termasuk kemampuan fisik dan
fungsional pasien.
c) RPD (Riwayat Penyakit Dahulu)
Riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dahulu yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan diagnosis dan
keluhan utama pasien saat ini.
21
Universitas Indonesia
b) Kesadaran
(1) Compos Mentis : Kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
(2) Apatis
Keadaan
kesadaran
yang
segan
untuk
waktu),
memberontak,
berteriak-teriak,
22
Universitas Indonesia
ujung
jari
tangan
disepanjang
jalannya
23
Universitas Indonesia
Kategori
< 18.5
18.5 22.9
23.0
23.0 24.9
Resiko obesitas
25.0 29.9
Obesitas 1
30.0
Obesitas 2
h) Suhu Tubuh
Pemeriksaan suhu tubuh merupakan indikator untuk menilai
keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas,
nilai ini akan menunjukkan peningkatan bila pengeluaran
panas meningkat. Jika pembentukan panas meningkat maka
suhu tubuh akan menurun. Pemeriksaan suhu tubuh dapat
dilakukan menggunakan thermometer atau mempalpasi dahi
dengan menggunakan punggung tangan. Afebris berarti tidak
demam dan dalam batas normal, subfebris berarti demam yang
tidak tinggi atau saat dipalpasi terasa hangat, dan febris berarti
demam.
2) Pemeriksaan Khusus
Pada pemeriksaan khusus terdiri dari beberapa jenis pemeriksaan
yaitu inspeksi, palpasi, move serta tes khusus.
a) Inspeksi
Merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara
melihat: Kondisi umum pasien yang meliputi keadaan umum
penderita, sikap tubuh ekspresi wajah dan bentuk badan terjadi
obesitas tidak, inspeksi ini ada 2 macam, yaitu secara statis
maupun dinamis. Inspeksi statis adalah dengan melihat keadaan
penderita saat penderita diam, sedangkan inspeksi dinamis
adalah melihat keadaan penderita saat penderita menggerakkan
wajah.
24
Universitas Indonesia
b) Palpasi
Suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan
dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari-jari atau
tangan. Palpasi dapat digunakan untuk mendeteksi suhu tubuh,
adanya getaran, pergerakan, bentuk, konsistensi, dan ukuran
rasa nyeri tekan dan kelainan dari jaringan/organ tubuh. Palpasi
merupakan tindakan penegasan dari hasil inspeksi untuk
menemukan yang tidak terlihat.
c) Move
Pemeriksaan gerak pada kasus ini menggunakan MMT dengan
skala Daniel dan Worthingham.
Tes
tersebut
menilai
25
Universitas Indonesia
Skor
Istirahat
20
Mengerutkan dahi
10
Menutup mata
30
Tersenyum
30
Bersiul
10
Persentase
Nilai
Total
26
Universitas Indonesia
dan
partisipasi
restricted.27
Diagnosa
Fisioterapi
27
Universitas Indonesia
yang
belum
bisa
saat
ini
atau
untuk
kontraksi
otot
dengan
stimulasi
yang
28
Universitas Indonesia
arus
DC.
Untuk
teknik
unipolar,
29
Universitas Indonesia
pula
reaksi
kimiawinya.
Dalam
klinis,
reaksi
menghasilkan
kesadaran
sensasi.
Peristiwa
yang
bekontraksi
berulang-ulang
secara
30
Universitas Indonesia
Perbaikan
sistem
vaskularisasi
otot
yang
menunjang.
Dengandemikian
peningkatan
sel-sel
motoris,
sehingga
terjadi
kontraksi.
(b) Mendidik kerja otot
Pada otot yang kerjanya secara individual, apabila
terjadi kelainan harus distimulasi secara individual
pula,
supaya
berkontraksi
secara
fungsional
31
Universitas Indonesia
(4) Kontraindikasi
Pemberian stimulasi elektris berupa electrica lstimulation
tidak
direkomendasikan
pada
kondisi
adanya
gerakan
diagonal
dengan
teknik
fasilitasi
kontrol
dan
fungsi
neuromuskular.
31
32
Universitas Indonesia
33
Universitas Indonesia
satu
segmen
dari
satu
anggota
tubuh.
adalah
urutan
gerak.
Gerakan
normal
34
Universitas Indonesia
(i) Pattern
Dalam konsep PNF kita memakai pola gerakan massal
dan total (mass movements and patterns). Pattern PNF
dikembangkan dari kerja sinergis grup otot kemudian
dibawa ke posisi dimana paling efektif yaitu pada posisi
terulur : Elongated state.
(2) Teknik
Teknik teknik PNF :
(a) Rhytmic Initiation
Tehnik
yang
dipakai
untuk
agonis
dengan
tehnik
mempengaruhi
pemendekan,
dimana
otot
kontraksi
antagonis
yang
isometris
mengalami
35
Universitas Indonesia
dimana
kontraksi
isotonik
dilakukan
pasien
diminta
berkontraksi
untuk
36
Universitas Indonesia
Teknik ini dapat diterapkan secara luas pada pasienpasien dengan gangguan muskoloskletal (ekstremitas, leher,
tubuh) dan wajah. Pada wajah, secara rasional teknik ini
dapat digunakan karena serabut- serabut ototnya paling
banyak berjalan secara diagonal, dengan suatu penyebaran
yang mudah ke daerah wajah bagian atas karena inervasi
saraf fasialis yang menyilang. Pada teknik ini, terdapat tiga
fulcra yang diperhatikan, yaitu atas, tengah dan bawah.
Fulcra atas (dahi dan mata) dihubungkan melalui suatu
aksis
vertikal
menuju
fulcra
pertengahan
(hidung),
dari
otot
yang
terganggu
dengan
37
Universitas Indonesia
38
Universitas Indonesia
hidung
pada
kedua
sisi.
Dilakukan
39
Universitas Indonesia
40
Universitas Indonesia
41
Universitas Indonesia
BAB III
URAIAN KASUS
FORMULIR FISIOTERAPI
Peminatan
: FT Neuromuskular
Nama Dokter
Ruangan
: Poliklik FT
Nomor Register
: 134.49.72
: Ny. R
Umur: 65 tahun
Alamat
: Beji, Depok
Pendidikan Terakhir
: SD
Pekerjaan
Hobi
: Memasak
Diagnosis Medik
42
Universitas Indonesia
sulit berbicara, sulit tersenyum dan sulit menutup mata kiri ketika
ingin tidur. Sejak saat itu Os yang semula aktif mengikuti pengajian di
kampungnya sekarang menjadi tidak aktif karena merasa malu atas
kondisinya. Pada tanggal 5 Februari 2015 Os mulai berobat ke RSUD
Depok setelah diperiksa dokter syaraf Os lalu dirujuk ke Poli Rehab
Medik RSUP Fatmawati dan diberikan program Fisioterapi berupa
MWD dan ES
3. RPD : Diabetes Mellitus disangkal. Hipertensi disangkal. Penyakitjantung
disangkal.
4. RPK : Tidak ada
5. RPsi : Os adalah seorang janda yang tinggal bersama anak ke-2nya bersama
menantu dan cucu-cucunya. Os berobat dengan pembiayaan BPJS
Kesehatan. Di Rumahnya os aktif menggunakan kipas angin karena
suhu di rumahnya cukup panas. Os memiliki rasa kurang percaya diri
ketika bertemu orang lain dan malu mengikuti pengajian sejak terkena
Bells Palsy dan jarang keluar rumah untuk bersosialisasi dengan
masyarakat sekitar.
C. PEMERIKSAAN (O)
1. Pemeriksaan Umum
Cara Datang : Mandiri tanpa alat bantu
Kesadaran
: Compos Mentis
Koperatif
: Ya
Tensi
: 120/70 mmHg
Nadi
: 71 x/menit
RR
: 20 x/menit
Status Gizi
Suhu
: Afebris
2. Pemeriksaan Khusus
a. Inspeksi
1) Statis
a) Wajah tampak asimetris,
43
Universitas Indonesia
Bersiul
Mengembungkan pipi
Mengangkat dagu
Nama Otot
M.Frontalis
M.Corrugator supercili
M.Procerus
M. Orbicularis Oculli
M. Nasalis
Sinistra Dextra
1
5
1
5
3
0
5
5
M. Depresor anguli
oris
M. Zigomaticum
mayor dan M.
Zigomatikum minor
M. Orbicularis oris
M. Buccinator
M. Mentalis
1
1
1
5
5
5
44
Universitas Indonesia
Keterangan :
Nilai 0 : Zero, tidak ada kontraksi
Nilai 1 : Trace, kontraksi minimal
Nilai 3 : Fair, kontraksi, dilakukan susah payah
Nilai 5 : Normal, kontraksi dan terkontrol
d.
Tes Khusus
1) Tes Ugo Fisch
Tabel 3.2 Tes Fungsi Motorik Otot-otot Wajah Dengan Skala Ugo Fisch
Posisi
Persentase
Skor
Nilai
Istirahat
30%
20
Mengerutkan dahi
30%
10
Menutup mata
30%
30
Tersenyum
30%
30
Bersiul
10
Total
27
Derajad II
Sinistra
Dextra
Sensoris
40%
0%
45
Universitas Indonesia
Rasa
Sinistra
Dextra
Manis
50%
0%
Asam
50%
0%
Asin
50%
0%
F. DIAGNOSA FISIOTERAPI
1.
Impairment
Kelemahan pada m. Frontalis sinistra, m.Corrugator Supercilli sinistra, m.
Procerussinistra, m. Orbicularis Oculi sinistra, m. Nasalissinistra, m.
Depresor Anguli Oris sinistra, m.Zigomaticum sinistra, m. Orbicularis
Orissinistra, m. Buccinators sinistra, m. Mentalissinistra, nyeri tekan
dibelakang telinga kiri VAS=4 dan wajah asimetris terkait Bells Palsy
sinistra.
46
Universitas Indonesia
2.
Functional Limitation
Gangguan fungsi mengunyah dan berkumur serta fungsi motorik berupa
wajah asimetris saat istirahat, mengerutkan dahi kiri inadekuat, menutup
mata kiri inadekuat, senyum asimetris dan bersiul inadekuat.
3.
Participation Restrictive :
Gangguan sosialisasi yaitu os malu untuk ikut pengajian dan berinteraksi
dengan tetangga.
Jenis
Modalitas
Metode
MWD
Dosis
Keterangan
I : 30 watt
Persiapan sebelum
D : 15 menit
memakai
F : 3x/minggu
mengurangi
ES,
nyeri
tekan dan
melancarkan
sirkulasi darah
47
Universitas Indonesia
No.
2
Jenis
Modalitas
Metode
Dosis
ES
Keterangan
I:sesuai
Re-edukasi
toleransi
meningkatkan
dan
otot-otot
wajah kiri
F: 3x/minggu
Terapi
PNF
Latihan
I:8xrepetisi
Re-edukasi
D: 10 menit
meningkatkan
F: 3x/minggu
kekuatan
wajah
kiri
dan
otot-otot
secara
fungsional.
48
Universitas Indonesia
3) Pelaksanaan Terapi
Terapis memposisikan direktor pada area yang diterapi yaitu
dibelakang telinga kiri dengan jarak 10 cm dari kulit. Terapis mengatur
timer selama 15 menit dan intensitas antara 20-30 watt sesuai toleransi
pasien. Setiap 5 menit, terapis mengecek area yang diterapi dan
menanyakan adakah keluhan subjektif pada pasien.
b. Electrical Stimulation
1) Posisi Pasien
Tidur terlentang di atas tempat tidur dengan relaks.
2) Posisi Terapis
Di sebelah kanan pasien.
3) Pelaksanaan
Pemeriksaan alat, periksa kabel, tombol menu, dan intensitas harus
dalam keadaan nol dan periksa pad yang akan digunakan. Kemudian
pemasangan alat dengan menaruh katoda di bagianservikal dan anoda
diletakkan pada masing-masing titik motorpoin otot-otot wajah, seperti
pada m. Frontalis, m. Corrugatorsupercilli, m. Orbicularis oculi, m.
Nasalis, m. Zigomaticum, dan m. Orbicularis oris. Dalam pelaksanaan,
setiap mengganti titik motor poin yang dituju arus intensitas harus
direndahkan atau dalam posisi nol dan saat menaikkan intensitas pelanpelan sampai terlihat kontraksi yang terjadi. Tanyakan pada pasien
sudah pas, terlalu rendah atau tinggi. Setelah selesai, matikan alat dan
alat ditata kembali. Untuk dosis terapi menggunakan arus faradik
dengan intensitas toleransi pasien dan waktu 15 menit.Dilakukan
sampai 20 kali kontraksi per motor poin.
c. PNF
1) Posisi Pasien
Tidur terlentang di atas tempat tidur dengan relaks.
2) Posisi Terapis
Di bagian sisi atas kepala pasien.
49
Universitas Indonesia
3) Tatalaksana
a) Melatih m. orbicularis oris
Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis
diletakkan pada sudut mulut kiri/kanan
Dilakukan peregangan pada m. orbicularis oris dengan
menarik sudut mulut ke arah samping kiri/kanan
Pasien disuruh mencucu sambil diberi tahanan oleh terapis
dan ditahan selama 8 kali hitungan
b) Melatih m. zygomaticus mayor dan levator labii
f) Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari telinga tengah
diletakkan pada sudut mulut kiri/ kanan
Dilakukan peregangan pada m. zygomaticus mayor dan m.
levator labii dengan menekan sudut mulut ke arah medial.
Pasien disuruh untuk menarik sudut mulut ke arah luar sambil
diberi tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan
c) Melatih m. dilator nares dan nasalis
Pada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan pada kedua
cuping hidung
Dilakukan penekanan pada kedua cuping hidung ke arah kaudal
Pasien disuruh mengembangkan cuping hidung sambil diberi
tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan
d) Melatih m. procerus
Pada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan di batang
hidung pada kedua sisi
Dilakukan peregangan pada batang hidung menuju bagian
bawah
Pasien disuruh dengan menaikkan lipatan nasolabial ke arah
atas sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan
e) Melatih m. orbicularis oculi
Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan
di sudut mata pasien
50
Universitas Indonesia
g) Melatih m. frontalis
Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan di atas
alis mata
Dilakukan peregangan pada m. frontalis dengan mendorong alis
mata ke arah kaudal/ bawah
Pasien disuruh mengerutkan kening sambil diberi tahanan
selama 8 kali hitungan
h) Melatih m. mentalis
Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan pada
dagu
Dilakukan peregangan dengan menarik dagu ke arah lateral
Pasien disuruh mengerutkan bibir bawah sambil diberi selama 8
kali hitungan
5. Program untuk di Rumah
a. Hindari paparan angin langsung ke wajah
b. Os dianjurkan untuk menggunakan kaca mata saat berpergian.
c. Os dianjurkan untuk mengompres pada wajah dan telinga kiri bagian
belakang dengan cara menggunakan handuk kecil dan air hangat,
kemudian ditempelkan pada wajah sisi yang lemah dan pada daerah telinga
belakang selama 10 menit.
51
Universitas Indonesia
H. EVALUASI
1. Evaluasi Hasil Terapi :
a. 11 Februari 2015
S : - Mata kiri perih, berair sulit tidur
- Wajah kiri terasa baal dan tebal
- Waktu tidur mata tidak tertutup sempurna,
- Sulit mengunyah dari sisi kiri mulut,
- Waktu kumur-kumur, air keluar dari mulut,
O : 1. Vital Sign
2. Inspeksi
3. Palpasi
4. Move
52
Universitas Indonesia
Tabel 3.6
Gerakan
Nama Otot
Sinistra Keterangan
Mengangkat alis
M.Frontalis
Meningkat
Mengerutkan dahi
M.Corrugator
Meningkat
supercili
M.Procerus
Menutup kelopak
M. Orbicularis
mata
Oculli
Mengembangkan
M. Nasalis
Menarik ujung
M. Depresor
mulut ke bawah
anguli oris
Tersenyum
M. Zigomaticum
cuping hidung
Meningkat
mayor dan M.
Zigomatikum
minor
Bersiul
M. Orbicularis
oris
Mengembungkan
M. Buccinator
M. Mentalis
Meningkat
pipi
Mengangkat dagu
Tabel 3.7
Persentase
Skor
Nilai
Istirahat
30%
20
Mengerutkan dahi
30%
10
Menutup mata
30%
30
Tersenyum
30%
30
Bersiul
30%
10
Total
30
53
Universitas Indonesia
2. Inspeksi
3. Palpasi
4. Move
Nama Otot
Sinistra Keterangan
Mengangkat alis
M.Frontalis
Meningkat
Mengerutkan dahi
M.Corrugator supercili 3
Meningkat
M.Procerus
Menutup kelopak mata
M. Orbicularis Oculli
Mengembangkan
M. Nasalis
cuping hidung
Menarik ujung mulut ke M. Depresor anguli
bawah
oris
54
Universitas Indonesia
Gerakan
Nama Otot
Tersenyum
Sinistra Keterangan
M. Zigomaticum
Meningkat
mayor dan M.
Zigomatikum minor
Bersiul
M. Orbicularis oris
Mengembungkan pipi
M. Buccinator
Mengangkat dagu
M. Mentalis
Meningkat
Tabel 3.9 Evaluasi ke-2 Test kemampuan fungsional dengan skala Ugo Fisch
Posisi
Persentase
Skor
Nilai
Istirahat
70%
20
14
Mengerutkan dahi
30%
10
Menutup mata
70%
30
21
Tersenyum
30%
30
Bersiul
30%
10
Total
52
2. Inspeksi
55
Universitas Indonesia
3. Palpasi
4. Move:
Tabel 3.10 Evaluasi ke-3 MMT wajah dengan skala Daniels-Worthingham
Gerakan
Nama Otot
Sinistra Keterangan
Mengangkat alis
M.Frontalis
Meningkat
Mengerutkan dahi
M.Corrugator
Meningkat
supercili
M.Procerus
Menutup kelopak mata
M. Orbicularis Oculli 5
Mengembangkan
M. Nasalis
cuping hidung
Menarik ujung mulut ke M. Depresor anguli
bawah
oris
Tersenyum
M. Zigomaticum
mayor dan M.
Zigomatikum minor
Bersiul
M. Orbicularis oris
Mengembungkan pipi
M. Buccinator
Mengangkat dagu
M. Mentalis
Meningkat
Tabel 3.11 Evaluasi ke-3 Test kemampuan fungsional dengan skala Ugo Fisch
Posisi
Persentase
Skor
Nilai
Istirahat
70%
20
14
Mengerutkan dahi
70%
10
Menutup mata
100%
30
30
Tersenyum
70%
30
21
Bersiul
70%
10
Total
86
56
Universitas Indonesia
1. Vital Sign
2. Inspeksi
3. Palpasi
4. Move:
Tabel 3.12 Evaluasi ke-4 MMT wajah dengan skala Daniels-Worthingham
Gerakan
Nama Otot
Sinistra Keterangan
Mengangkat alis
M.Frontalis
Normal
Mengerutkan dahi
M.Corrugator supercili
Normal
Normal
M.Procerus
Menutup kelopak mata
M. Orbicularis Oculli
M. Nasalis
Tersenyum
M. Zigomaticum mayor
Normal
dan M. Zigomatikum
minor
Bersiul
M. Orbicularis oris
Mengembungkan pipi
M. Buccinator
Mengangkat dagu
M. Mentalis
57
Universitas Indonesia
Tabel 3.13 Evaluasi ke-4 Test kemampuan fungsional dengan skala Ugo- Fisch
Posisi
Persentase
Skor
Nilai
Istirahat
100%
20
20
Mengerutkan dahi
70%
10
Menutup mata
100%
30
30
Tersenyum
70%
30
21
Bersiul
100%
10
10
Total
88
1. Vital Sign
2. Inspeksi
3. Palpasi
4. Move:
Tabel 3.14 Evaluasi ke-5 MMT wajah dengan skala Daniels-Worthingham
Gerakan
Nama Otot
Sinistra Keterangan
Mengangkat alis
M.Frontalis
Normal
Mengerutkan dahi
M.Corrugator supercili
Normal
Normal
M.Procerus
Menutup kelopak mata
M. Orbicularis Oculli
58
Universitas Indonesia
Gerakan
Nama Otot
Sinistra Keterangan
Mengembangkan
M. Nasalis
cuping hidung
Menarik ujung mulut ke M. Depresor anguli oris
Normal
bawah
Tersenyum
M. Zigomaticum mayor 3
dan
M.
Zigomatikum
minor
Bersiul
M. Orbicularis oris
Normal
Mengembungkan pipi
M. Buccinator
Normal
Mengangkat dagu
M. Mentalis
Normal
Tabel 3.15
Persentase
Skor
Nilai
Istirahat
100%
20
20
Mengerutkan dahi
100%
10
10
Menutup mata
100%
30
30
Tersenyum
70%
30
21
Bersiul
100%
10
10
Total
91
59
Universitas Indonesia
BAB IV
DISKUSI
Bells palsy merupakan suatu kondisi disfungsi neurologis yang terjadi tanpa
penyebab yang pasti (idiopatik). Namun faktor predisposisi yang paling sering
dilaporkan adalah karena udara dingin atau terpaan angin/pendingin udara secara
langsung ke wajah. Gejala yang paling umum dirasakan oleh penderita. Bells palsy
adalah saat makan terasa hambar, nyeri dibelakang telinga yang lesi, bocor saat
berkumur, wajah mencong ke salah satu sisi, sulit menutup salah satu kelopak mata
dan mata berair. Keadaan tersebut disebabkan adanya paralisis otot- otot wajah pada
sisi yang sakit. Kondisi ini merupakan permasalahan yang dialami pasien sehingga
peran fisioterapis diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan
meningkatkan kekuatan dan kemampuan fungsional otot- otot wajah serta mencegah
komplikasi lebih lanjut.
Pasien BelI's palsy umumnya memilki prognosis yang baik. Prognosis
tergantung dari waktu dimulainya perbaikan klinis. Perbaikan klinis yang segera
dihubungkan dengan prognosis yang baik dan perbaikan yang lambat memiliki
prognosis yang buruk. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 1 minggu, 88% akan
memperoleh kesembuhan sempurna, bila dalam 1-2 minggu 83 % dan dalam 3
minggu, kesembuhan terjadi sekitar 61%.3
Pada bab ini yang akan dibahas mengenai hasil evaluasi terapi dari awal
hingga terapi ke-lima yaitu tanggal 11, 12, 13, 16, dan 17 Februari 2015 yang
dilakukan pada pasien Bells palsy sinistra karena pengaruh udara dingin. Pada
Tugas Karya Akhir ini terapis menggunakan modalitas yaitu: MWD, Electrical
Stimulation arus Faradik dan PNF. Penjelasan tentang bagaimana intervensi tersebut
dapat menjadi solusi terapi yang tepat adalah sebagai berikut :
60
Universitas Indonesia
Posisi Wajah
T1
Istirahat/Diam
14
14
20
20
Mengerutkan dahi
10
Menutup mata
21
30
30
30
Tersenyum
21
21
21
Bersiul/ Mecucu
10
10
52
86
88
91
Total
30
86
90
91
80
70
T1
60
52
T2
50
40
T3
30
T4
30
T5
20
10
0
Total Nilai Skala Ugo Fisch
61
Universitas Indonesia
Dari grafik diatas dapat dilihat adanya peningkatan nilai skala Ugo Fisch
dari terapi pertama (T1) sampai terapi ke-5 (T5) . Nilai skala Ugo Fisch terdapat
peningkatan yang signifikan yakni dari T1 = 30 dan T5=91 artinya terjadi
peningkatan sebanyak 61 yang mengindikasikan peningkatan fungsional dan
kesimetrisan wajah.
2. Peningkatan nilai kekuatan otot wajah
Tabel 4.2 Perbandingan nilai MMT otot-otot wajah pada evluasi pertama dan ke-5
No
Nama Otot
T1
M.Frontalis
T5
5
M.Corrugator supercili
M.Procerus
M. Orbicularis Oculli
M. Nasalis
M. Buccinator
10
M. Mentalis
Dari Tabel 4.1 dan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dengan penanganan
fisioterapi
yang
telah
diberikan
memperlihatkan
adanya
peningkatan
kemampuan fungsional otot - otot wajah serta peningkatan kekuatan otot dari
otot-otot wajah.
Hasil di atas sejalan denga penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para
peneliti pada publikasi penelitian dari berbagai negara dan perguruan tinggi.
Aplikasi PNF pada wajah adalah salah satu bentuk latihan terapi yang
telah digunakan dalam penatalaksanaan pasien Bells Palsy. Satu penelitian yang
dilakukan Barbara dkk (2010) terhadap 20 orang penderita Bells Palsy, yang
62
Universitas Indonesia
63
Universitas Indonesia
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas diketahui akan adanya kemajuan yang sangat
signifikan dalam proses penyembuhan dibandingkan sebelum dilakukan tindakan
fisioterapi, yaitu pada T1 (Terapi ke-1). Kemajuan tersebut selain dari keinginan
dan semangat pasien untuk sembuh serta didukung oleh modalitas fisioterapi
yang diberikan yaitu berupa MWD (Microwaves Diathermy), Electrical
Stimulatin arus Faradik, dan PNF serta didukung dengan latihan-latihan yang
dianjurkan oleh fisioterapi untuk dilakukan di rumah (home programs). Dari
penangananan secara komprehensif tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Nilai Ugo Fisch meningkat dibuktikan dengan pemeriksaan dan evaluasi
menggunakan Ugo Fisch Scale,
2. Kekuatan otot meningkat dibuktikan dengan pemeriksaan dan evaluasi
menggunakan MMT pada otot-otot wajah,
3. Wajah pasien semakin simetris, baik saat istirahat maupun saat digerekan
4. Keluhan-keluhan yang diungkapkan pasien saat pertama kali di assessment
seperti: wajah kiri terasa tebal, makanan yang dimakan terasa hambar, sulit
mengunyah makanan pada sisi kiri, bocor saat berkumur dan baal di wajah
sisi kiri. Setelah 5 kali dilakukan intervesi fisioterapi sudah tidak dirasakan
lagi.
5. Pasien sudah tidak malu lagi mengikuti pengajian ibu-ibu di kompleks
rumahnya dan sudah percaya diri berinteraksi dengan masyarakat di
lingkungan rumahnya.
64
Universitas Indonesia
B. Saran
Suatu keberhasilan terapi juga ditentukan oleh sikap dari pasien itu sendiri,
jadi perlu ada kerjasama dengan baik antara terapis, pasien serta keluarga pasien.
Untuk mengoptimalkan hasil terapi yang diberikan maka disarankan kepada:
1. Fisioterapis hendaknya melakukan proses fisioterapi dengan diawali
anamnesa,
pemeriksaan
yang teliti,
mencatat
permasalahan
pasien,
65
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Teixeira, Lzaro J. Physical therapy for Bells palsy (idiopathic facial paralysis).
Roma: The Cochrane Library; 2012.
4.
5.
Dewanto, George et all. Panduan praktis diagnosis & tatalaksana penyakit saraf.
Jakarta: EGC; 2009.
6.
7.
8.
9.
10. Putz R & Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jakarta: EGC; 2006.
11. Finsterer J. Management of peripheral facial nerve palsy. London: Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2008; 265: 743-52.
12. Hauser. Incidence and prognosis of Bells palsy in the population of Rochester.
Minnesota: Mayo Clin Proc. 2011; 46:258-264.
13. Rowlands, S et all. The epidemiology and treatment of Bell's palsy in the UK.
London: European Journal of Neurology. 2012; 9: 63-67
14. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Data statistik neurologi klinik.
Jakarta: KEMENKES; 2011.
15. Duus Peter. System sensorik. Dalam W.J. Suwono: Diagnosis topikneurologi
anatomi, fisiologi, tanda, gejala. ECG. 2012; 2: 1
16. Bailey, J. Byron. Head and neck surgery otolarylongogy. 3rd ed. Philadelpia:
Lippincot William & Wilkins; 2008.
17. Seddon, J.H. A classification of nerve injuries. UK: British Med J; 1942.
66
Universitas Indonesia
18. Tiemstra DJ, Khatkhate N. Bells Palsy: diagnosis and management. Texas:
America Academy of Family Physicians. 2007; 76: 997-1002.
19. Garg, K.N., Gupta, K., Singh, S. dan Chaudhary, S. Bells palsy: aetiology,
classification, different diagnosis and treatment consideration. 2012, [Dikutip 21
April 2015] diunduh dari: www.jurnalofdentofacialsainces.com.
20. Ronthal, M., Shefner, J.M., dan Dashe J.F. Bells palsy: Pathogenessis, clinical
features, and diagnosis in adult. 2012, [Dikutip 21 April 2015], Diunduh dari:
www.uptudate.com.
21. Gilden Donald H. Clinical Practice: Bells Palsy. London: The New England
Journal of Medicine. 2014; 351: 1323-1331.
22. Ljostad, U., Okstad, S., Topstad, T., Mygland, A., dan Monstad, P. Acute
peripheral facial palsy in adult. 2005, [Dikutip 21 April 2015], Diunduh dari:
www.ncbi.nlm.gov/pubmed/15778908.
23. Lumbantobing, S.M. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental, Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2006.
24. Ropper, H.A. Adams and victor's principles of neurology, USA: The McGrawHill Companies. 2009.
25. Bickley, K. Clinical test for the musculoskeletal system, New York: Thieme,
2012.
26. Low, John & Ann Reed. Electrotherapy explained; principles and practice,
Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd. 1994.
27. Sujatno, Ig et all. Sumber Fisis, Surakarta: Akademi Fisioterapi Surakarta
Depkes RI. 1993.
28. Keisner, C., Colby, L., A. Terapeutic exercise: foundation and technique. 5th
edition. Philadelphia: F. A. Davis Company. 2007.
29. Barbara, M., Antonini, G.,Volpini, L., Monini, S. Role of kabalt physical
rehabilitation in bells palsy: A randomized trial Acta Otolaryol. 2012. 1.
30(1):167-72.
30. Maria Niscatri, Patrizia Mancini, Daniele Deseta. Efficiency of early physical
therapy in serve bells palsy, Department of Neurology University Sapienza of
Roma, Roma, 2013.
31. Alakram, P., Puckree, T. Effects of electrical stimulation on house-brackmann
scores in early bells palsy. 2005, [Dikutip 29 April 2015], Diunduh dari:
www.pedro.org.au/.
67
Universitas Indonesia
A. DATA PRIBADI
Nama
: Jet Prianto
Jenis Kelamin
: Laki-laki
: Kristen Protestan
Alamat
No Telp
: 082152216826
: jet_pri@yahoo.com jet.prianto23@gmail.com
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. (2006) Lulus SDN 1 Tewang Pajangan-Gunung Mas
2. (2009) Lulus SMPN 2 Kurun-Gunung Mas
3. (2012) Lulus SMAN 4 Palangka Raya
C. PRESTASI
1. (2013) Juara 1 Olimpiade Ilmiah Vokasi Debat Bahasa Inggris
2. (2011) Juara 2 Lomba Kemampuan Bahasa Inggris Se- Kota Palangka Raya
Yang Diselenggarakan STAIN Palangka Raya
3. (2010) Juara Harapan 2 Pidato Bahasa Inggris Se- Kota Palangka Raya
Dalam Rangka HUT Ke-16 SMAN 4 PalangkaRaya
4. (2011) Peserta Debat Bahasa Inggris Se- Kalimantan Tengah
5. (2012) Siswa Berprestasi SMAN 4 Palangka Raya Bidang Akademik
(Debat Bahasa Inggris dan Olimpiade Fisika)
6. (2011) Juara 1 Cerdas Cermat Pekan Pendidikan Nasional Ikata Guru
Indonesia Kalimantan Tengah
7. (2011) Peserta Olimpiade Sains Tingkat Kota Palangka Raya
8. (2011) Peserta Olimpiade Sains Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah
68
Universitas Indonesia
2.
Project Officer Sosialisasi dan Try Out SIMAK UI di Palangka Raya 2013
3.
4.
5.
6.
7.
Public
Lecture
Problem
Oriented
Assesment
in
Neurorehabilitation
6. Seminar Nasional Fisioterapi Cidera Olah raga 2 SKP IFI
7. Seminar Nasional Perhimpunan Fisioterapi neurologi 2015 2 SKP IFI
69
Universitas Indonesia