Oleh :
MUH. FIKRUDDIN B. ABD. HAKIM
(P0303214004)
I.
PENDAHULUAN
S 5 10' 00" - 5
E 119 2350"-119 56 10"
26 00"
Length of the main stream: 78.75 km
Highest point: Mt.Lompobatang (2.876 MSL)
Lowest point: River mouth (0 m)
Land use: Forest (40%). Paddy field (20%), Urban (13%). Other agriculture (27%)
Sumber: flood.dpri.kyoto-u.ac.jp., Tahun 1993
Secara geografis Daerah Aliran Sungai Jeneberang terletak pada 119 23' 50"
BT - 119 56' 10" BT dan 05 10' 00" LS - 05 26' 00" LS dengan panjang sungai
utamanya 78.75 kilometer. Daerah Aliran Sungai Jeneberang dialiri oleh satu sungai
pendukungnya (anak sungai) yaitu Sungai Jenelata (220 km 2). Kota-kota besar yang
diliputi Daerah Aliran Sungai ini selain Makassar (Ujung Pandang) yaitu Kota
Malino, Kota Bili-bili, dan Kota Sungguminasa.
Tabel 2. Sungai Utama dan Anak Sungai yang melewati Daerah Aliran Sungai
Jeneberang.
No
Name of
Rivers
Jeneberang
Jenelata
Length
(km) and
Catchmen
t 78.8
Area
Highest
Peak On)
Loirest
Point
(m)
2,833
727
40
0
971
220
150
Land Use
Cities
F
(%)
P
Ujung
Pandang
69
12
14
926,393
22.154
43
15
22
19
Population
Wilayah penggunaan tanah atau tutupan lahan yang diliputi oleh Daerah
Aliran Sungai ini sebesar 727 kilometer persegi dengan ketentuan luas (dalam persen)
sebagai berikut:
Tabel 3. Luas dan Persentase Penggunaan Tanah yang ada pada Daerah Aliran
Sungai Jeneberang.
Penggunaan Tanah
Luas (Km2)
Persentase (%)
Hutan
501.63
Sawah Padi
36.35
Pertanian
87.24
Perkotaan
101.78
Jumlah
727
Sumber : diolah dari table ofbasic data Kyoto University (1993).
69
5
12
14
100
hujan yang sangat sedikit karena sedikitnya angin yang membawa bakal hujan.
Suhu dan curah hujan memberikan pengaruh penting terhadap suatu wilayah,
khususnya pada wilayah-wilayah ekuatorial seperti Indonesia. Dalam sebuah Daerah
Aliran Sungai, keberadaan suhu dan curah hujan dapat digunakan sebagai parameter
perubahan luasnya penggunaan tanah selain faktor aktivitas manusia.
Pada Daerah Aliran Sungai Jeneberang, suhu dan curah hujan di wakili oleh
stasiun suhu dan curah hujan Kota Makassar dimana variasi suhu dan curah hujannya tidak terlalu mencolok perbedaannya. Suhu tertinggi berada pada bulan Oktober
yaitu sebesar 27.4C. sedangkan suhu terendah berada pada bulan Desember, Januari,
dan Februari yaitu sebesar 25.9 C.
Curah hujan tertinggi berada pada bulan Januari yaitu sebesar 670 mm dan
terendah pada bulan Agustus yaitu sebesar 35.3 mm. Kebervariasian ini sangat
mencolok dikarenakan letak Kota Makassar yang hanya 0- 3 meter dari permukaan
laut serta adanya pengaruh arah angin dari pantai baratnya. Sehingga keberadaanya
mempengaruhi hilir dari Daerah Aliran Sungai Jeneberang.
Tabel 4. Suhu dan Curah Hujan Rata-Rata Di Kota Makassar (Ujung
Pandang)/Hasan, Sulawesi Selatan.
sumber harapan, kebahagiaan, kebanggaan dan kesenangan bagi Suku Makassar dan
Suku Bugis. Kesemuanya ini dapat dilihat dari cerita-cerita dan lagu-lagu rakyat
terhadap keberadaan sungai ini dan masih sering dilantunkan oleh anak-anak muda
pada suku- suku tersebut.
Lagu-lagu rakyat yang terkenal yaitu "Maranno-ranno ri binange Jeneberang"
yang berarti mengadakan kesenangan bersama-sama setiap hari di Sungai Jeneberang.
Ada beberapa pengertian mengenai asal usul kata Jeneberang, yang dalam
terminology Makassar dan Bugis dibagi menjadi "Jene" yang berarti air dan
"Binanga" yang berarti hubungan antara suku-suku tersebut dengan daerah aliran
sungai ini.
Sampai akhirnya ketika dibangun dam di Bili-bili dan Jenelata pada Daerah
Aliran Sungai Jeneberang, hal ini berdampak pada bertambahnya harapan,
kebanggaan, kesenangan, dan kebahagiaan bagi suku-suku di daerah aliran sungai
Jeneberang ini.
II.
PEMBAHASAN
II.1
Kajian Karakteristik Daerah Tangkapan Waduk Bili-Bili Geografi
dan Topografi
Secara geografis, daerah tangkapan waduk Bili-Bili yang berada di wilayah
sub DAS Jeneberang terletak antara 5o118 5o2041 LS dan 11 9 o3430
119o5654 BT. Daerah tangkapan waduk berada pada hulu DAS Jeneberang
dengan luas 3 84,4 km2 (3 8.440 Ha). Berdasarkan hasil pengolahan peta topografi
skala 1:50000, wilayah DAS Jeneberang Hulu mempunyai topografi bervariasi mulai
dari datar hingga sangat curam. Dari keseluruhan sub DAS Jeneberang didominasi
oleh wilayah yang bertopografi curam dengan luas 10.080 Ha (26,22%) dan terletak
pada ketinggian 75 5000 mdpl. Secara lebih jelas luas areal dapat dilihat pada Tabel
1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Kelas Lereng Wilayah sub DAS Jeneberang
Kemiringan
Bentuk
Luas
Lereng
Wilayah
Ha
%
(%)
0-8
8 - 15
15 - 25
25 - 40
> 40
Jumlah
datar
6.170
16,05
landai
agak
curam
5.550
9.620
10.080
7.020
38.440
14,44
25,03
26,22
18,26
100,00
sangat
Luas
(mdpl)
Ha
<250
6.605
17,18
1
2
3
4
5
6
7
8
250
500
750
1000
1250
1500
1750
- 500
- 750
- 1000
- 1250
- 1500
- 1750
- 2000
7.638
7.406
5.728
4.201
2.838
1.899
1.287
19,87
19,27
14,90
10,93
7,38
4,94
3,35
2000
- 2250
526
1,37
2250
- 2500
224
0,58
88
0,23
10
>2500
Jumlah
II.2
38.440
100.00
Dari hasil analisis peta penggunaan lahan wilayah sub DAS Jeneberang
sebagian besar wilayahnya didominasi oleh hutan dengan luas 12.250 Ha
(31,87%) kemudian ladang/tegalan seluas 9.348 Ha (24,32%). Selanjutnya untuk
jenis tanah yang terdapat di wilayah sub DAS Jeneberang didominasi oleh
Haplortoxs (Latosol coklat kemerahan) seluas 8.070 Ha (20,99%) dan
Humitropepts (Latosol coklat kekuningan) seluas 7.965 Ha (20,73%). Untuk
lebih jelasnya luas areal berdasarkan penggunaan lahan dan jenis tanah dapat
d i l i h a t pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Penggunaan Lahan Wilayah sub DAS Jeneberang
Luas
No
Penggunaan Lahan
Hutan
12.250
3 1,87
Ladang/Tegalan
9.348
24,32
Pemukiman
107
0,28
Sawah
10.455
27,17
Semak Belukar
6.290
16,36
Jumlah
38.440
100,00
Ha
No
Jenis Tanah
Dystrandepts (Andosol)
5.036
13,10
Haplortoxs (Latosol)
8.070
20,99
Humitropepts (Latosol)
7.965
20,73
Tropofluvents (Aluvial)
3.548
9,22
Ha
Tropohumults
(Mediteran)
7.347
19,11
Tropudalfs (Mediteran)
3.004
7,82
Tropudults (Podsolik)
3.470
9,03
Jumlah
38.440
100.00
II.3
Curah Hujan
Berdasarkan data curah hujan harian rata-rata 7 tahun di wilayah hulu DAS
Jeneberang menurut klasifikasi iklim Schmith dan Ferguson termasuk tipe iklim
B dengan rata-rata jumlah bulan basah 9 bulan, bulan lembab 1 bulan dan bulan
kering 2 bulan. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Mei.
Tabel 5. Curah hujan bulanan Daerah Aliran Waduk Bili-Bili (2001-2007)
Lokasi
Curah Hujan Rata-Rata
Total
Ja Fe M Apr
M (mm)
J Jul A S O N Des
Stasiun
Bulanan
Bili-Bili 53
49
38
181
97
n
b
ar
ei 6u 14 0gt 5e 13
kt 23
op 519 2658
Dam
9
1
6
212 64 1 24 20 9 2
3
623 3216
Jonggoa 71 53 45 267 12 8 25 15 3 14 33 690 3406
Malino
263 354 243 220 695 49 21 11 5 813 528 610, 3093,3
Ratarata
2, 9, 9, ,0
,7 0, ,0 ,7 , 7, 1, 7
Puncak hujan terjadi antara bulan Desember dan Januari. Musim kemarau
berlangsung pada bulan Juni sampai Oktober. Curah hujan rata-rata dari tiga lokasi
stasiun curah hujan 3093,3 mm/tahun (Tabel 5). Curah hujan maksimum sebesar 690
mm/bulan dan rata-rata bulanan sebesar 257,78 mm/bulan. Untuk data curah hujan
untuk Daerah Aliran Waduk Bili-Bili diambil dari 3 stasiun curah hujan, yaitu BiliBili Dam, Jonggoa dan Malino (JICA,2005).
Gambaran Umum Waduk Bili-Bili Waduk Bili-Bili merupakan waduk yang
memiliki bendungan utama tipe urugan batu dengan tinggi 76 m. Luas daerah
tangkapannya adalah 3 84,4 km2 dengan luas genangan 18,5 km2 dan kedalaman
efektif 36,6 m. Adapun volume tampungan total waduk Bili-Bili yang dapat
dibendung adalah sebesar 375.000.000 m3 dengan volume tampungan efektif sebesar
346.000.000 m3 dan volume tampungan mati sebesar 29.000.000 m3. Bendungan
Bili-Bili memiliki elevasi puncak EL. + 106,0 m dimana untuk elevasi muka air
normal (NWL) berada pada EL. + 99,5 m dan untuk elevasi muka air rendah adalah
cross
section
sepanjang
S.
Jeneberang
Berdasarkan data dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2009 menunjukkan
adanya peningkatan sedimentasi yang terjadi di waduk Bili-Bili. Peningkatan
sedimentasi tersebut terutama pada tahun 2005 telah mencapai elevasi diatas 60 m
(pada jarak kurang dari 1 km dari bendungan). Jika dibandingkan pada tahun 2004
yang masih di elevasi 50 m. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan
sedimentasi sekitar 10 m hanya dalam kurun waktu 1 tahun. Peristiwa longsoran
kaldera pada tahun 2004 merupakan penyebab terjadinya peningkatan sedimentasi
tersebut, namun selanjutnya tingkat sedimentasi di waduk Bili-Bili dapat
dikendalikan dengan berkurangnya pro sentase peningkatan sedimentasi untuk tahun
2006 sampai dengan 2009. Seperti diperihatkan pada gambar 4.
Volume sedimentasi waduk yang setiap tahun diukur berdasarkan data
echosounding selanjutnya dianalisis dengan luas penampang untuk setiap titik. Dari
hasil pengukuran tersebut diperoleh bahwa tingkat sedimentasi sebelum kejadian
longsor Kaldera, sedimentasi yang tertampung di waduk Bili-Bili secara kumulatif
adalah sebesar 8.376.000 m3 (April 2001). Lima tahun setelah kejadian longsor
tersebut (2008) volume sedimen telah mencapai 60.959.000 m3 (Gambar 5). Dari
gambar tersebut nampak bahwa akumulasi tingkat sedimentasi waduk paling tinggi
adalah pada saat setelah kejadian longsoran kaldera tahun 2004, namun kemudian
dapat dikendalikan pada tahun berikutnya sampai tahun 2008.
16
(trap efficiency)
Efisiensi tangkapan sedimen (trap eficiency) dari waduk didefinisikan
sebagai perbandingan antara besarnya sedimen yang mengendap di dalam waduk
dengan aliran sedimen yang masuk ke dalam waduk. Metode yang digunakan untuk
mengestimasi efisiensi tangkapan sedimen (trap eficiency) adalah metode yang
diusulkan oleh Brune.
Metode Brune didasarkan pada data pengukuran sejumlah waduk yang ada di
banyak negara. Dari data lapangan ini didapatkan suatu set kurva untuk menentukan
besarnya sedimen yang mengendap di dalam waduk dengan menggunakan kurva
Brune (EM.1995) yaitu data masukan berupa perbandingan antara kapasitas waduk
(C) dengan aliran air rata-rata yang masuk ke dalam waduk tiap tahun (I). Hasil
perhitungan yang diperoleh berdasarkan data kapasitas waduk dan aliran inflow
disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 12. Efisiensi Tangkapan Sedimen berkurang dari
90,81% (1997) menjadi 73,34% (2005), namun kemudian meningkat kembali 92,57%
pada tahun 2007 dan cenderung menurun kembali 89,79% pada tahun 2008.
Tabel 9. Efisiensi Tangkapan Sedimen 1997-2008
Tahun
C (m3)
I (m3/tahun)
C/I
Te (%)
1997
2001
2004
2005
2006
2007
2008
375.000.000
366.623.987
352.065.882
330.322.479
323.750.993
322.540.303
299.945.000
1.854.040.558
1.270.118.181
2.236.983.017
8.242.750.015
3.406.095.492
1.172.011.222
1.727.769.509
0,2022
0,2886
0,1573
0,0400
0,0950
0,2752
0,1736
90,81
92,81
89,08
73,34
84,68
92,57
89,79
Gambar 5. Grafik Kapasitas waduk dan Efisiensi Tangkapan Sedimen di Waduk BiliBili
III.
PENUTUP
III.1
Kesimpulan
1. Keberadaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang dengan Kota Bili-bili dan Jenelata
sebagai 'penampung' air hujan sementara sebelum dialirkan dapat dipandang
sebagai daerah resapan air untuk Kota Makassar dan sekitarnya.
2. Volume aliran sedimen akibat longsoran di hulu sungai Jeneberang sebesar
45.027.954 m3 terjadi pada tahun 2004. Bangunan sabo dam sebagai pengendali
sedimen yang dibangun sepanjang hulu sungai Jeneberang berfungsi efektif pada
tahun 2008 menjadi 1.915.671 m3.
3. Volume sedimentasi yang tertampung di waduk Bili-Bili secara kumulatif adalah
sebesar 8.376.000 m3 (April 2001). Lima tahun setelah kejadian longsor tersebut
(2008) volume sedimen telah mencapai 60.959.000 m3.
4. Trap Eficiency yang diperoleh berdasarkan kurva Brune menunjukkan data
kapasitas waduk dan aliran inflow berkurang dari 90,81% (1997) menjadi 73,34%
(2005), namun kemudian meningkat kembali 92,57% pada tahun 2007 dan
cenderung menurun kembali 89,79% pada tahun 2008.
III.2
Saran
Perlu adanya indentifikasi lebih jauh mengenai material sedimentasi di waduk
yang dikaitkan dengan kapasitas waduk sehingga dapat diperoleh informasi
efektifitas fungsi waduk Bili-Bili.