Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 setelah
Amerika Serikat. Selain jumlah penduduknya yang besar, luasnya negara kepulauan dan tidak
meratanya penduduk membuat Indonesia semakin banyak mengalami permasalahan terkait
dengan hal kependudukan. Tidak hanya itu, faktor geografi, tingkat migrasi, struktur
kependudukan di Indonesia dll membuat masalah kependudukan semakin kompleks dan juga
menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus guna kepentingan pembangunan
manusia Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang sedang membangun dengan mempunyai masalah
kependudukan yang sangat serius disertai dengan yaitu jumlah penduduk yang sangat besar
disertai dengan tingkat petumbuhan yang relatif tinggi dan persebaran penduduk yang tidak
merata. Jumlah penduduk bukan hanya merupakan modal, tetapi juga akan merupakan beban
dalam pembangunan. Pertumbuhan penduduk yang sangat meningkat berkaitan dengan
kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Pengetahuan tentang aspek aspek dan komponen
demografi seperti fertilitas, mortalitas, mobilitias, migrasi, ketenagakerjaan, perkawinan, dan
aspek keluarga dan rumah tangga akan membantu para penentu kebijakan dan perencana
program untuk dapat mengembangkan program pembangunan kependudukan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tepat pada sasasrannya.
Selama ini, masalah kependudukan boleh dikatakan masih kurang mendapat perhatian
dari masyarakat maupun tokoh-tokoh masyarakat, Baik itu dari para politisi, tokoh agama,
pakar ekonomi maupun tokoh masyarakat lainnya. Memang pada saat ini sebagian besar
orang pada umumnya sudah tidak berkeberatan lagi dengan program untuk mengontrol
kelahiran, tetapi sayangnya masih kurang sekali kesadaran untuk melaksanakannya.
Dianggap sebagai hal yang tidak penting. Padahal, kalau kita mau menyadari, sebenarnya
masalah kependudukan ini adalah masalah yang teramat penting.
Untuk mengatasi masalah kependudukan yang ditimbulkan, peran pemerintah sangat
penting dalam mengatur masalah kependudukan di Indonesia yang berefek terhadap
kesejahteraan masyarakat yang tentu saja menjadi tanggungjawab pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah


Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam menyusun makalah ini, maka
penulis membatasi masalah-masalah yang akan dibahas diantaranya:
1. Bagaimana masalah kependudukan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Periode II?
2. Bagaimana masalah kependudukan masa pemerintahan Joko Widodo?
3. Apa masalah yang paling menonjol dari kedua masa pemerintahan?
1.3 Tujuan
Tujuan
yang ingin dicapai
dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana

masalah

penulisan

kependudukan

masa

pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Periode II.


2. Untuk mengetahui bagaimana masalah kependudukan masa pemerintahan Joko
Widodo.
3. Untuk mengetahui masalah yang paling menonjol dari kedua masa pemerintahan
1.4 Manfaat

II. PEMBAHASAN
2.1 Masalah Kependudukan Periode Susilo Bambang Yudhoyono
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 setelah
Amerika Serikat. Selain jumlah penduduknya yang besar, luasnya negara kepulauan dan tidak
meratanya penduduk membuat Indonesia semakin banyak mengalami permasalahan terkait
dengan hal kependudukan. Tidak hanya itu, faktor geografi, tingkat migrasi, struktur
kependudukan di Indonesia dll membuat masalah kependudukan semakin kompleks dan juga
menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus guna kepentingan pembangunan
manusia Indonesia.
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasl reproduksi yang nyata dari
seorang wanita atau sekelompok wanita, dengan kata lain fertilitas ini menyangkut
banyaknya bayi yang lahir hidup, fekunditas, sebaliknya merupakan potens fisik untuk
melahirkan anak. Jadi merupakan lawan arti kata sterilitas. Natalitas mempunyai arat sama
dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya, fertilitas mencakup peranan kelahiran pada
perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan
penduduk dan reproduksi manusia.
Hasil SDKI 2012 menunjukkan TFR atau angka fertilitas total sebesar 2,6, yang
berarti seorang wanita di Indonesia rata-rata melahirkan 2,6 anak selama hidupnya. Angka
fertilitas total di daerah perdesaan (2,8 anak), 17 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah perkotaan (2,4 anak). Puncak umur melahirkan wanita di daerah perkotaan adalah 2529 tahun (145 anak per 1.000 wanita), sedangkan di daerah perdesaan adalah 20-24 tahun
(156 anak per 1.000 wanita). Angka kelahiran umum (GFR) adalah 88 kelahiran per 1000
wanita umur 15-49 tahun, dan angka kelahiran kasar (CBR) adalah 20 kelahiran per 1000
penduduk.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas adalah rata-rata umur pada
kelahiran anak pertama. Wanita yang menikah pada umur muda lebih lama menghadapi risiko
kehamilan. Data SDKI 2012 menunjukkan wanita cenderung mempunyai anak pada umur
yang lebih tua. Sebagai contoh, Tujuh persen wanita umur 45-49 melahirkan anak pertama
pada umur 15 tahun dibandingkan dengan kurang dari satu persen wanita umur 15-19 tahun.
Proporsi wanita yang melahirkan anak pertama pada umur 20 tahun turun dari 45 persen pada
umur 45-49 menjadi 22 persen pada wanita umur 20-24 tahun.

Salah satu masalah yang menyangkut dalam fertilitas adalah masalah kematian bayi
dimana Angka kematian bayi didefinisikan sebagai banyaknya kematian bayi usia di bawah
satu tahun, per 1.000 kelahiran hidup pada satu tahun tertentu. Kematian bayi yang digunakan
untuk menghitung AKB adalah kematian bayi yang terjadi antara saat setelah bayi lahir
sampai bayi belum berusia satu tahun, bayi yang lahir harus dalam keadaan hidup. Angka
kematian bayi dihitung dari probabilitas kematian bayi pada kelompok umur ibu 20-24, 2529, dan 30-34.
Berdasarkan hasil SP2010, angka kematian bayi Indonesia pada tahun 2006 adalah
sebesar 26 per 1.000 kelahiran hidup. Secara umum, AKB laki laki selalu lebih besar dari
AKB perempuan. AKB laki-laki adalah sebesar 30 per 1.000 kelahiran hidup dan AKB
perempuan sebesar 22 per 1.000 kelahiran hidup.
Jika kita bandingkan AKB provinsi dengan AKB nasional, ada 15 provinsi yang
memiliki AKB di atas angka nasional. Provinsi-provinsi tersebut adalah Maluku Utara,
Maluku, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,
Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, dan Aceh.
Jika diamati menurut jenis kelamin, terlihat bahwa pada tingkat provinsi, AKB lakilaki selalu lebih tinggi dari perempuan. AKB tertinggi terjadi di Provinsi Gorontalo (56 per
1.000 kelahiran hidup), dengan AKB laki-laki sebesar 63 per 1.000 kelahiran hidup dan AKB
perempuan sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup. AKB terendah terjadi di Provinsi DKI
Jakarta (14 per 1.000 kelahiran hidup), dengan AKB laki-laki sebesar 16 per 1.000 kelahiran
hidup dan AKB perempuan sebesar 11 per 1.000 kelahiran hidup. Selanjutnya bahwa tiga
provinsi yang memiliki AKB terbesar di Indonesia adalah Gorontalo (56 per 1.000 kelahiran
hidup), Nusa Tenggara Barat (48 per 1.000 kelahiran hidup), dan Sulawesi Barat (48 per
1.000 kelahiran hidup). Sedangkan tiga provinsi dengan AKB terendah adalah DKI Jakarta
(14 per 1.000 kelahiran hidup), DI Yogyakarta (16 per 1.000 kelahiran hidup), dan Papua (19
per 1.000 kelahiran hidup).
Penurunan AKB di Indonesia cukup pesat yaitu sekitar 82 persen. Angka kematian
bayi antar provinsi di Indonesia berdasarkan hasil SP2010 sangat beragam, dari yang
terendah seperti di DKI Jakarta yaitu 14 kematian per 1000 kelahiran hidup sampai yang
tertinggi di Gorontalo yaitu 56 kematian per 1000 kelahiran hidup. Derajat kesehatan
masyarakat yang semakin membaik, salah satunya dapat dilihat dari turunnya AKB di
Indonesia dari tahun ke tahun yang berimplikasi pada meningkatnya AHH (Angka Harapan
Hidup) penduduk Indonesia.

Mortalitas atau kematian merupakan salah satu di anatara tiga komponen demografi
yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk. Ukuran kematian merupakan angka atau
indeks, yang di pakai sebagai dasar untuk menentukan tinggi rendahnya tingkat kematian
suatu penduduk.
Kematian perempuan dan laki-laki menurut spesifik umur dalam periode lima tahun
sebelum survey yang merujuk pada periode 2008-2012. Angka kematian spesifik menurut
umur dihitung dengan membagi jumlah kematian pada setiap kelompok umur dengan jumlah
orang tahun terpajan pada kelompok umur tersebut selama periode waktu yang ditentukan.
Jumlah kematian yang angka tersebut didasarkan tidak banyak (785 kematian perempuan dan
1001 kematian laki-laki), maka angka kematian spesifik menurut umur terpengaruh pada
variasi sampling yang besar. Angka kematian wanita dewasa adalah 2,49, dan kematian pria
3,11 kematian per 1000 penduduk. Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya, kematian
meningkat dengan bertambahnya umur untuk kedua jenis kelamin tersebut. Secara umum,
angka kematian pria dewasa sedikit lebih tinggi dari angka kematian wanita dewasa pada
setiap kelompok umur.
Migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah ke
daerah lain.Perpindahan penduduk (migrasi) ini sah terjadi sejak zaman dahulu. Ada yang
dilakukan perseorangan, keluarga bahkan berkelompok-kelompok. Dalam sejarah dapat
diketahui bahwa terjadi perpindahan-perpindahan secara besar-besaran dan biasanya
dibarengi dengan peperangan-peperangan yang besar antara bangsa pendatang dan bangsabangsa di daerah yang didatangi.
Berdasarkan SP2010 tingkat migrasi resen (migrasi dimana tempat tinggal seseorang
pada saat pencacahan berbeda dengan tempat tinggalnya 5 tahun yang lalu) tertinggi berada
di provinsi Jawa Barat dengan migrasi neto sebanyak 453087, migrasi keluar terbanyak dari
Jawa Tengah sebanyak 979860, dan netto masuk terbanyak di Jawa Barat 1048964. Menurut
data statistik Indonesia, faktor-faktor pendorong (push factor) antara lain adalah:
Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung
lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya

makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari pertanian.
Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk pertanian di

wilayah perdesaan yang makin menyempit).


Adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama, dan suku, sehingga mengganggu hak

asasi penduduk di daerah asal.


Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.

Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau
panjang atau adanya wabah penyakit

Sedangkan faktor penariknya antara lain:

Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup.

Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.

Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim,


perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.

Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan


sebagai daya tarik bagi orang-orang di daerah lain untuk bermukim di kota besar.
Mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara

keseluruhan. Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan dalam
struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak terlalu tepat untuk hanya
menilai semata-mata aspek positif maupun negatif dari mobilitas penduduk terhadap
pembangunan yang yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh kebaikannya. Tidak akan
terjadi proses pembangunan tanpa adanya mobolitas penduduk. Tetapi juga tidak akan terjadi
pengarahan penyebaran penduduk yang berarti tanpa adanya kegiatan pembangunan itu
sendiri.
2.2 Masalah Kependudukan Periode Joko Widodo
Presiden terpilih Jokowi mengatakan, masalah terberat yang dihadapi bangsa ini
mendatang adalah berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia. Untuk membenahi hal itu
ia memandang perlunya sebuah revolusi mental. Terkait dengan kependudukan, ada hal yang
mencemaskan bila kita melihat hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2012, yang memperlihatkan laju pertumbuhan penduduk (LPP) Indonesia tetap tinggi untuk
masa mendatang.
Saat ini, angka fertilitas total (TFR) berdasarkan hasil SDKI 2012 menunjukkan
angka 2,6, yang berarti tiap wanita memiliki anak lebih dari dua. Andai laju pertumbuhan
penduduk Indonesia tetap pada kisaran angka 1,49 % per tahun, yang berarti tiap tahun ada
pertambahan sekitar 3 juta-4 juta jiwa (setara jumlah penduduk Singapura) maka 10 tahun

mendatang, penduduk negara kita lebih dari 300 juta jiwa. Ironisnya, lebih dari 58% paling
tinggi berijazah SD dan umumnya menggeluti sektor informal dan pertanian yang tidak
menyejahterakan. Dari titik ini, kekhawatiran Jokowi bisa dipahami. Artinya bonus
demografi yang kita harapkan ternyata hanya pepesan kosong mengingat mereka yang
berusia produktif memiliki tingkat pendidikan rendah. Sektor pertanian yang mestinya jadi
primadona bersama sektor maritim, malah memble karena 15 juta petani (55 % dari jumlah
petani) adalah kelas gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,25 ha.
PDB sektor pertanian terus menurun, alih fungsi lahan subur makin cepat, pewarisan
tanah pertanian juga terus berlangsung dan akibatnya lebih banyak petani berusia tua. Karena
itu, bisa dibayangkan bila penduduk kita meledak hingga lebih dari 300 juta jiwa maka kita
menghadapi berbagai bencana. Apalagi program keluarga berencana (KB) tidak lagi
menarik bagi masyarakat .
Terbukti meski pengetahuan masyarakat tentang KB lebih dari 98%, realitasnya
menurut SDKI 2012 persepsi anak ideal justru meningkat, dari 2,6 pada SDKI 2007 menjadi
2,8 pada SDKI 2012. Jateng, provinsi terbanyak ketiga penduduknya di Indonesia, dan 80%
warga provinsi itu tahu tentang ekses laju pertumbuhan penduduk. Ironisnya, dari persentase
itu, 86% tidak setuju bila ada pengaturan jumlah anak. SDKI 2012 menyebutkan, hanya 48%
remaja merencanakan ber-KB setelah menikah.
Bila saat ini jumlah penganggur terdidik mencapai 4,5 juta orang, tidak dapat
dibayangkan bila penduduk negara ini sudah meningkat menjadi 300 juta orang dalam 10
tahun mendatang. Perebutan pangan makin tajam, dan persaingan juga makin ketat.
Karenanya dapat dipahami bila konflik sosial akan meningkat, bahkan mungkin terjadi
kemeluasan anomi dan patologi sosial hingga memunculkan anarkisme massal.
Menatap peta masalah itu, pemerintahan Jokowi-JK tampaknya harus menata ulang
program KB. Saat ini program itu telah didesentralisasikan, tapi celakanya tidak mendapat
perhatian dari pemkab/pemkot karena dianggap bukan program basah dan bukan program
penting. Justru banyak kepala daerah membonsai program tersebut yang telah dibangun pada
masa Orde Baru. Sialnya lagi, petugas lapangan KB (PLKB) yang telah dididik dengan biaya
mahal pada masa Orde Baru, saat ini banyak dipindahkan ke bagian lain. Padahal mereka
ujung tombak keberhasilan program KB dan tanpa mereka hanyalah omong kosong untuk
bicara masalah kependudukan.

Para PLKB dan petugas kesehatan adalah ujung tombak keberhasilan program KB.
Pengundangan UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga memberi kesempatan kepada daerah untuk membentuk Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Daerah (BKKBD). Badan itu (apa pun namanya mengingat nama di tiap
pemkab/pemkot berbeda-beda) sebaiknya tetap tersentralisasi, ada hubungan vertikal dengan
BKKBN Pusat dan Provinsi, atau lebih baik lagi bila Jokowi-JK membentuk Kementerian
Kependudukan.
Tingkat kematian (mortalitas) merupakan salah satu indikator utama dari derajat
kesehatan masyarakat di suatu negara. Sejauh ini tingkat kematian umumnya diukur secara
statistik terutama berdasarkan jumlah kematian dari kelompok paling rentan, yaitu angka
kematian bayi (diukur dengan infant mortality rate / IMR) dan angka kematian ibu
melahirkan (maternal mortality rate / MMR). Menurut WHO, angka kematian anak pada
tahun 2000 mencapai 10,6 juta jiwa/tahun. Dari jumlah itu, Indonesia me-nyumbang
280.000 nyawa anak, dan bersama 41 negara lain memberi kontribusi sebesar 90 persen dari
total kematian anak sedunia.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia telah membuat target pada tahun ini untuk
menurunkan IMR menjadi 26 kasus per 1.000 kelahiran hidup dan MMR menjadi 226 kasus
per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan target Millenium Development Goals (MDGs),
setiap negara diharapkan pada tahun 2015 mampu menurunkan angka kematian bayi dan ibu
menjadi 2/3 dan 3/4 dari angka kematian yang dicapai pada tahun 1990. Model pendataan
kematian dalam Riskesdas sedikit berbeda, yaitu menggunakan pengkategorian menurut
pengelompokan sesuai umur, penyebab

kematian, dan perbedaan wilayah dari kasus

kematian tersebut. Responden yang diteliti sebanyak 258.488 rumah tangga dan berhasil
teridentifikasi 4.323 kasus kematian dan 91 kasus lahir mati.
Semua sampel kemudian diaudit verbal sebanyak 4.014 kasus kematian. Hasilnya,
nilai crude death rate (CDR) tahun 2007 mencapai 3,6 per 1000 penduduk. Hasil ini lebih
kecil dari pendataan BPS 2006 (CDR sekitar 6,5) dan hasil dari SKRT 2001 (sekitar 4 per
1.000 penduduk). Tren angka kematian kasar menurut kelompok umur dari tahun 1995-2007
menunjukkan peningkatan risiko kematian yang meningkat pada usia di atas 45 tahun, dan
paling signifikan terjadi pada kelompok umur di atas 65 tahun (dari 30 % di tahun 1995
menjadi 45 % di tahun 2007). Sedangkan tren penurunan terbesar terjadi pada kelompok
umur kurang dari 1 tahun (dari 18 % di tahun 1995 menjadi 8 % di tahun 2007). Ini

menunjuk-kan adanya child survival rate yang cenderung makin baik di Indonesia.
Sedangkan peningkatan tren kematian pada kelompok umur di atas 45 tahun dan di
atas 65 tahun kemungkinan besar terkait dengan pola penyakit yang mengalami transisi
epidemiologis. Hal ini bisa dilihat dari pola penyebab kematian kasar yang didominasi
penyakit degeneratif dengan menempati ranking tiga besar: stroke (15,4 %), tuberculosis (7,5
%), dan hipertensi (6,8 %). Justru yang menarik dari pe-nyebab kematian tersebut adalah
posisi ranking keempat ternyata diakibatkan cedera (6,5 %) sehingga mengindikasikan bahwa
pembunuh potensial saat ini dan ke depan akan bergeser pada tren kematian akibat
kecelakaan di jalan atau transportasi (46,4 % dari kematian akibat cedera). Kondisi ini tentu
membutuhkan perhatian, kewaspadaan, dan antisipasi serius dari semua pihak, baik dari
Departemen Perhubungan, Polri, pengusaha transportasi, dan tentu masyarakat itu sendiri.
Sedangkan penyebab kematian perinatal/maternal yang menduduki rangking kelima,
secara umum, belum bergeser dari tiga pola lama yaitu intra uterine fetal death (IUFD) atau
kematian janin dalam rahim (31,3 %), asphyxia atau ganguan pernafasan (20,4 %), dan
premature (18,7%). Angka kematian akan makin meningkat atau berbanding lurus dengan
bertambahnya umur. Penyebab kematian akibat cedera diprediksi makin mengkhawatirkan.
Selain itu, ada indikasi risiko kematian masih lebih banyak mengancam kelompok bayi dan
ibu melahirkan di wilayah pedesaan ketimbang di perkotaan.
Ada beberapa pemikiran mendasar yang perlu dimiliki oleh Jokowi dan Jusuf Kalla
selaku Presiden dan Wakil Presiden Terpilih 2014-2019, serta Tim Transisi dalam menyusun
struktur kabinetnya. Pertama, melihat isu pembangunan apa yang akan mengemuka baik pada
level nasional maupun level global dalam tahun-tahun mendatang. Dinamika pembangunan
di Indonesia menunjukkan kompleksitas yang sesungguhnya membutuhkan strategi
multisektor.
Karena itu, dasar pemikiran kedua adalah pemerintahan baru perlu menyusun model
kelembagaan yang mampu mengakomodasi strategi dan kerja multisektor. Kepala Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Agus Heruanto Hadna, mengatakan,
ada enam isu utama yang menjadi tantangan pembangunan bagi pemerintahan baru JokowiJK, yakni isu sumber daya manusia (kualitas, kuantitas, pergerakan atau mobilitas), isu
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, isu infrastruktur, isu pangan dan energi, isu daya
dukung dan pelestarian lingkungan, isu demokrasi dan hak asasi manusia atau HAM.

Isu-isu ini seharusnya menjadi "payung" bagi setiap kementerian dalam menyusun,
menjalankan, hingga mengevaluasi kebijakan serta strateginya. "Setiap isu besar memiliki
beberapa dimensi yang bisa menjadi dasar dalam penyusunan kabinet, termasuk kementerian.
Isu SDM misalnya, ada dimensi pendidikan, kesehatan, kependudukan, agama, dan
ketenagakerjaan. Untuk keempat dimensi SDM tersebut, kecuali kependudukan, sudah ada
kementerian khusus yang menanganinya.
Dimensi kependudukan merupakan isu besar SDM. Hampir semua masalah
pembangunan berpusat pada manusia (people centered development), selalu bermula dari
persoalan kependudukan, seperti kuantitas penduduk, kualitas penduduk, mobilitas atau
pergerakan penduduk, dan keluarga. Persoalan kuantitas penduduk terkait dengan
pengendalian jumlah penduduk. Sementara persoalan kualitas penduduk terkait dengan
persoalan lain seperti pendidikan, kesehatan, mental, dan kultural. Untuk persoalan mobilitas
penduduk atau migrasi berkaitan dengan pergerakan penduduk antarwilayah, termasuk
masalah ketenagakerjaan. Kemudian untuk persoalan keluarga terkait dengan kualitas, dan
perlindungan anggota keluarga, terutama bagi mereka yang rentan seperti anak-anak,
perempuan, difabel, dan sebagainya.
2.3 Masalah Yang Paling Menonjol Dari Kedua Masa Pemerintahan
Dari kedua masa pemerintahan masalah yang paling menonjol adalah masalah
fertilitas merupakan salah satu komponen pertumbuhan penduduk yang bersifat menambah
jumlah penduduk. Apabila pertumbuhan penduduk tidak terkendali maka akan menimbulkan
berbagai masalah. Seiring bertambahnya penduduk yang tidak terkontrol mengakibatkan
adanya masalah-masalah sosial,salah satunya adalah tingkat pendidikan.Pada Negara-negara
berkembang pendidikan merupakan masalah yang serius.Diketahui bahwa tingkat pendidikan
pada negara - negara berkembang masih relative rendah,Sehingga penduduk kurang
mengetahui keadaan-keadaan sosial bagi kehidupan masyarakat.Umumnya penduduk yang
pendidikannya relative rendah ,pada suatu ketika jika membentuk suatu keluarga mereka
mempuyai banyak anak,sedangkan anak-anak tersebut belum tentu mendapat pendidikan
yang layak.
Berdasarkan statistik negara 2013/2014 bahwa Indonesia masuk ke rangking 4 dengan
jumlah237.641.326 juta jiwa. diatasnya adalah Amerika serikat dan di bawahnya adalah
Brazil. Dari statistik diatas, dapat kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
dengan jumlah penduduk terbanyak. Hal tersebut sangatlah tidak baik. Oleh karena itu,

Pemerintah dan masyarakat harus melakukan cara-cara untuk mengendalikan pertambahan


penduduk diantaranya yaitu:
1. Menggalakkan program KB atau Keluarga Berencana untuk membatasi jumlah anak
dalam suatu keluarga secara umum dan masal, sehingga akan mengurangi jumlah
angka kelahiran.
2. Menunda masa perkawinan agar dapat mengurangi jumlah angka kelahiran yang
tinggi.
3. Meratakan persebaran penduduk dengan mengadakan transmigrasi dan melaksanakan
pembangunan desa untuk membendung arus urbanisasi dan terkonsentrasinya
penduduk di suatu daerah.
4. Transmigrasi , yaitu suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk
memindahkanpenduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain
(desa) di dalam wilayah Indonesia.
5. Memperluas kesempatan kerja, meningkatkan fasilitas pendidikan, kesehatan,
transportasi, komunikasi, dan perumahan.

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berdasarkan data yang diperoleh
dari badan pusat statistik bahwa laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan
yang tidak begitu signifikan. Masih terdapat masalah kependudukan baik itu fertilitas,
mortalitas, migrasi, mobilitas. Hasil SDKI 2012 menunjukkan TFR atau angka
fertilitas total sebesar 2,6 yang berarti seorang wanita di Indonesia rata-rata melahirkan
2,6 anak selama hidupnya. Angka fertilitas total di daerah perdesaan (2,8 anak), 17

persen lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan (2,4 anak). Sementara
angka kematian bayi di Indonesia mengalami penurunan yang cukup pesat yaitu
sekitar 82 persen.
2. Pada masa pemerintahan Joko Widodo masalah yang masih timbul dalam
kependudukan masih tetap sama yaitu masalah yang menyebabkan laju pertumbuhan
masih tinggi, sampai sekarang angka fertilitas total masih tinggi yang berarti setiap
wanita memiliki anak lebih dari dua. Andai laju pertumbuhan penduduk Indonesia
tetap pada kisaran angka 1,49 % per tahun, yang berarti tiap tahun ada pertambahan
sekitar 3 juta-4 juta jiwa (setara jumlah penduduk Singapura) maka 10 tahun
mendatang, penduduk negara kita lebih dari 300 juta jiwa. Presiden jokowi masih terus
mencanangkan program KB yang merupakan salah satu jalan untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk di Indonesia.
3.2 Saran
Masalah kependudukan sebaiknya harus mendapatkan perhatian karena apabila
masalah kependudukan belum dapat dikendalikan akan berpengaruh terhadap kualitas hidup
dan kesejahteraan rakyat. Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah pun harus terus
memperhatikan dan ikut mengatasi masalah kependudukan.

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/kementerian-kependudukan/

Anda mungkin juga menyukai