Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi


klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah
dengue disertai syok (dengue syok syndrome = DSS). Gambaran manifestasi klinis
yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus
DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang
terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue
infection dan demam dengue) merupakan dasarnya. Diperkirakan untuk setiap
kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah terjadi 150-200 kasus silent
dengue infection.1,2
Perjalanan penyakit infeksi dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada
waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat
memburuk dan tidak tertolong. Sampai saat ini masih sering dijumpai penderita
demam berdarah dengue (DBD) yang semula tidak tampak berat secara klinis dan
laboratoris, namun mendadak syok sampai meninggal dunia. Sebaliknya banyak
pula penderita DBD yang klinis maupun laboratoris nampak berat namun ternyata
selamat dan sembuh dari penyakitnya. Kenyataan di atas membuktikan bahwa
sesungguhnya masih banyak misteri di dalam imunopatogenesis infeksi dengue
yang belum terungkap.3,4
Sampai saat ini, infeksi virus dengue tetap menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka
perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. Data
Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun
2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang
terjangkit penyakit ini. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat tinggal
di daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi

diantara semua negara) dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan di daerah
Jakarta dan Jawa Barat dengan case fatality rate sebesar 1% (2007).3,5,6,7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue, ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes, serta
memenuhi kriteria WHO untuk demam dengue.2,5
2. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah menyebar
di daerah tropis dimana terdapat 2,5 milyar orang berisiko terkena penyakit ini
didaerah endemik.

Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan


kematian lebih besar di banding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada
manusia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue
yang mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari
aktifitas epidemiknya. Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di
indonesia tercatat 14.875 orang terkena Demam Berdarah Dengue dengan
kematian 167 penderita..8

3. ETIOLOGI

Demam dengue disebabkan oleh virus dengue. Dalam sistem ilmiah yang
menamakan dan mengklasifikasikan virus, virus dengue tersebut merupakan
bagian dari famili Flaviviridae dan genus Flavivirus. Virus dengue yang sampai
sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4),
termasuk dalam group B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Ke-empat serotipe
virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di
Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus Demam
Berdarah Dengue berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya
disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue-4. 1,3,5

Gambar : Virus Dengue

4. PATOFISIOLOGI
Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya
tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat
menimbulkan kematian.3,6
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk aedes
aegypti atau aedes albopictus. Nyamuk membutuhkan darah untuk mematangkan
telurnya. Virus dengue membutuhkan waktu kira-kira 10 hari untuk bereproduksi.

Kemudian nyamuk yang mengandung virus menggigit manusia sehat. Virus


dengue akan ada untuk selamanya dalam tubuh virus sampai nyamuk mati. Organ
sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai
penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan
besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh
sel monosit perifer.4,5
Patogenesis DBD dan SSD (sindrom syok dengue) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan bahwa DBD dapat
terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan
infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5
tahun.1,3,4
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977,
sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon
antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan
transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG anti dengue. Karena
bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka
replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virusantibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskuler. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.5
a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada
kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin
sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan
penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada
masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit
meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding
5

pembuluh darah. Pada penderita dengan renjatan berat, volume plasma dapat
menurun sampai lebih dari 30%. Meningginya nilai hematokrit pada kasus
syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran
plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa)
melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah
meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam
rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura dan perikardium yang pada
otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya
edema. Pada 50% kasus autopsi ditemukan perdarahan subendokardial di
septum interventrikel kiri. Efusi serosa merupakan gejala penting, biasanya
berwarna kuning dengan nilai protein antara 3,4-5,4 g% yang bersifat
mendekati eksudat.1,2,4
Adapun tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran
celah endotel dan lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks
kompartemen perivaskuler dan perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik di intra dan ekstravaskular. Pelebaran celah endotel dapat juga
menyebabkan leukosit keluar dari intravaskular mengejar makrofag yang
mengandung virus dengue, sehingga dapat dimengerti terjadi leukopenia pada
DBD.5
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara
efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini
dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut
dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi
tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif
atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan
fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator
farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskopis elektron
biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel
endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar.
Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin
b.

atau dibuat keadaan trombositopenia.1,4


Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam
6

dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10
hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan
meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa
hidup trombosit diduga akibat meningkatnya dekstruksi trombosit. Dugaan
mekanisme
Penyelidikan

lain

trombositopenia

ialah

depresi fungsi megakariosit.

dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran

trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotelial, limpa dan hati. Penyebab


peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat
menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen,
kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan
atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti
menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks
imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi
trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada
c.

DBD.1,4
Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial
yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk
faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi
peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut
faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III. Di
samping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas faktor VII, faktor II
dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan faktor VII. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII
tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh
konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan
dengan penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas
plasminogen.1
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut
telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular
coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok.

Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan
perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok
dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan
mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki syok irreversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ
vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. (3) perdarahan kulit pada
umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan
trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan
mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan faktor
pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus
dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis
metabolik. (4) antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus
dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan
d.

berkurang.1,4
Sistem komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar
C3, C3 proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun
tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan
derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue,
aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.
Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar
serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan
oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi
ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan
menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator
kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan
volume plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan
epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang
mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok
dan perdrahan. Di samping itu komplemen juga merangsang monosit untuk
memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma,
interleukin (IL-2 dan IL-1).1,2,4

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD


ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam,
(2) adanya kompleks imun yang bersikulasi (circulating immune complex),
baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar
kuantitatif kompleks imun dengan derjat berat penyakit.1,4
e.

Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan
limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan
Longsaman menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga
bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed
lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD
oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%).
Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya
sebagai limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksan LPB secara seri dari preparat
hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai
puncak pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di
antara hari ke empat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna
proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua
sampai dengan hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna
proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Berdasarkan uji diagnostik
maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%. Nilai titik potong itu secara
praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue dan non-dengue.
Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran
antara limfosit-B dan limfosit-T. Definisi LPB ialah limfosit dengan
sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama
dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai
sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah
satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar
dan kadang-kadang di dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada
granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk
dan tidak bertambah biru.1,4

5. MANIFESTASI KLINIS

Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan


laboratorium.1
1.
Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari
2.
Manifestasi perdarahan, minimal uji torniquet positif dan salah satu bentuk
perdarahan lain (ptekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
3.
4.

hematemesis dan atau melena.


Pembesaran hati
Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun
(20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik 80 mmHg) disertai
kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan
kaki, pasien menjadi gelisah dan timbul sianosis di sekitar mulut.1

a.

Demam
DBD didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak
spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi, sakit kepala,
mual dan muntah. Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus.
Lama demam sebelum dirawat berkisar antara 2-7 hari. Demam biasanya
mendadak tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik (saddleback). Demam
naik turun dan tidak berhasil dengan pengobatan antipiretik. Alasan mengapa
orang tua membawa anaknya berobat oleh karena khawatir akan keadaan
anak yang demam, menjadi gelisah dan teraba dingin pada kaki dan tangan,
gejala-gejala ini sebenarnya mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh
karena demam dan menifestasi perdarahan di kulit menjadi nyata. Beberapa
penderita mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada
pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga
nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi

dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.1,3,4


b. Manifestasi perdarahan
Uji torniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat
dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari pertama
demam. Di daerah endemis DBD, uji torniquet, merupakan pemeriksaan
penunjang presumtif bagi diagnosis DBD apabila dilakukan pada yang
menderita demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang jelas. Uji torniquet

10

seyogyanya dilakukan sesuai dengan ketentuan WHO. Kondisi seperti ini


juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll.
Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah
anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan diastolik pada alat
pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan
menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit,
perhatikan timbulnya petekia di bagian volar lengan bawah. Uji dinyatakan
positif apabila pada satu inci persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20
petekia (WHO, 1975). Pada DBD, uji torniquet pada umumnya memberikan
hasil positif. Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif atau positif
lemah selama masa syok. Apabila pemeriksaan diulangi setelah syok
ditanggulanginya, pada umumnya akan didapat hasil positif, bahkan positif
kuat.1,3
c. Hepatomegali
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan
penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit; nyeri
tekan seringkali ditemukan tanpa disertai ikterus. Hati pada anak berumur 4
tahun dan/atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba.
Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila semula hati tidak teraba kemudian
selama perawatan membesar dan/atau pada saat masuk rumah sakit hati sudah
teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar dan kenyal, hal ini
merupaka tanda terjadinya syok.1,3
d. Syok
Manifestasi syok pada anak terdiri atas:
1)

Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi
yang insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara

2)

refleks.
Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan

3)

sirkulasi serebral.
Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi
cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.
11

4)
5)
6)

Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang


Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang
Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi
arteri renalis.1
Pada kira-kira sepertiga kasus DBD setelah demam berlangsung beberapa

hari, keadaan umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau
setelah demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi
yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pasien seringkali mengeluh nyeri didaerah
perut saat sebelum syok timbul. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam
biasanya mempunyai prognosa buruk.1,3
Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode prademam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia
relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens.
Eosifonil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit,
hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma
meningkat

pada

periode

memuncaknya

penyakit

dengan

terdapatnya

trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.1


Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan adalah mustahil,
terutama pada kasus-kasus sporadis.1
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.1

Demam dengue
(DD)
++
+++
+
++
++
++
+
+
++
+
0
0

Gejala Klinis
Nyeri kepala
Muntah
Mual
Nyeri otot
Ruam kulit
Diare
Batuk
Pilek
Limfadenopati
Kejang
Kesadaran menurun
Obstipasi

Demam Berdarah
Dengue (DBD)
+
++
+
+
+
+
+
+
+
+
++
+

12

+
Uji torniquet positif
++++
Ptekie
0
Perdarahan saluran cerna
++
Hepatomegali
+
Nyeri perut
++
Trombositopenia
0
Syok
Keterangan : (+): 25%, (++): 50%, (+++): 75%, (++++): 100%

++
+++
+
+++
+++
++++
+++

Tabel 1. Perbedaan gejala antara DBD dengan DD1

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif, memar, dan
perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di
anggota gerak, muka, aksila dan palatum mole seringkali ditemukan pada masa
dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ
tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan
saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan
yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva
kadanag-kadang ditemukan. Pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema
pada telapak tangan/telapak kaki.1,3

6. DIAGNOSIS
Anamnesa
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal
penyakit biasanya mendadak disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri
berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias
sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam
(rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada
hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekana. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar
ke anggota gerak dan muka.1,2
Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak,
disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata,
punggung, otot, sendi dan disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat
13

dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada
penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien
sehingga tidak dapat dianggap patognomonik.1
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra pengecap.
Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran,
suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam menghilang secara lisis,
disertai keluarnya banyak keringat.1
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD di tegakkan bila semua
hal ini terpenuhi
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut : uji bendung positif;
ptekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml)
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur dan
-

jenis kelamin
Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.5,6

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:


Derajat 1

: demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi


perdarahan adalah uji torniquet.

Derajat 2

: seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan


perdarahan lain.

Derajat 3

: didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan


nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.

Derajat 4

: syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.5,6

Pemeriksaan fisik

14

Pemeriksaan Rumple Leed tes bermaksud menguji ketahanan kapiler darah


dengan cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah
menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang
kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari
kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai
bercak merah kecil pada permukaan kulit.4
Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus.
Beberapa sarjana menyebutnya sebagai Castelanis sign, sangat patognomonik dan
merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis banding. Manifestasi
perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun 1789 melaporkan pasien
demam dengue dengan perdarahan yang kemudian meninggal. Bentuk perdarahan
lain yang dilaporkan ialah menoragi dan menstruasi dini, abortus atau kelahiran
bayi berat badan lahir rendah, mungkin sekali akibat perdarahan uterus.1
Pemeriksaan Penunjang
a.

Darah
1) Trombositopenia (100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat
dari peningkatan nilai hematokrit 20% dibandingkan dengan nilai
hematokrit

pada

Ditemukannya

masa

dua

atau

sebelum
tiga

sakit

patokan

atau
klinis

masa

konvalesen.

pertama

disertai

trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat


diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD dapat
didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis,
dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.1,3,4
2) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%
3) Leukosit menurun (leukopenia) pada hari kedua dan ketiga.
4) Masa perdarahan memanjang
5) Protein rendah (hipoproteinemia)
6) Natrium rendah (hiponatremia)
7) SGOT/SGPT bisa meningkat
8) Asidosis metabolik
9) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan.3
b. Urine
Kadar albumin urin positif (albuminuria).3
c. Foto thorax

15

Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya posisi
lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam
mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.3
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijasikan sebagai
pertimbangan karena tidak menggunakan sistem pengion (sinar X) dan dapat
diperiksa sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan
pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat menentukan
diagnosa penyakit yang mungkin muncul lebih berat misalnya dengan melihat
kardiomegali, ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan pancreas.3,4
e. Diagnosis Serologis
Pemeriksaan serologi HI adalah gold standar pada pemeriksaan serologis,
sifatnya sensitif namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe
virus yang menginfeksi. Pemeriksaan serologi HI dapat dilakukan dengan
sampel serum atau mempergunakan kertas saring filter paper disc. Hasil yang
diperoleh dengan menggunakan kertas saring cukup baik, apabila cara
pengisian dilakukan dengan betul. Pada pemeriksaan serologis tes HI, serum
diencerkan menjadi kelipatan 2x, dimulai dengan pengenceran 1:10, 1:20,
1:40, dan seterusnya.1,3
Interpretasi hasil pemeriksaan didasarkan atas kriteria WHO (1975), sebagai
berikut :
1.

Pada infeksi primer, titer antibodi HI pada masa akut, yaitu apabila serum
diperoleh sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer akan
naik 4x atau lebih pada masa konvalesen, tetapi tidak akan melebihi

2.

1:1280.
Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection)
ditandai oleh titer antibodi HI kurang dari 1:20 pada masa akut,
sedangkan pada masa konvalesen titer bernilai sama atau lebih besar
daripada 1:2560. Tanda lain infeksi sekunder ialah apabila titer antibodi
akut sama atau lebih besar daripada 1:20 dan titer akan naik 4 kali atau

3.

lebih pada masa konvalesen.


Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive
diagnosis) ditandai oleh titer antibodi HI yang sama atau lebih besar

16

daripada 1:1280 pada masa akut, dalam hal ini tidak diperlukan kenaikan
titer 4x atau lebih pada masa konvalesen. Metode pemeriksaan yang
mampu mendeteksi antibodi anti dengue dalam serum penderita pada
masa akut yang tepat terus dikembangkan. Pada saat ini telah terdapat
metode untuk membuat diagnosis infeksi dengue pada masa akut melalui
deteksi IgM dan antigen virus, baik sendiri-sendiri maupun dalam bentuk
kompleks IgM-antigen, dengan memanfaatkan teknik ELISA mikro. Di
samping itu secara komersial telah beredar dengue blot yang dapat
dipergunakan sebagai uji diagnostik yang cepat pada masa akut untuk
mengkonfirmasi diagnosis infeksi dengue sekunder.1
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang
diikuti oleh pembentukan IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam waktu
yang relatif singkat dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG. IgM
Elisa banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke 4-5 infeksi virus
dengue karena IgM sudah timbul kemudian diikuti IgG. Bila IgM negatif uji
ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif maka dilaporkan
sebagai negatif. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan setelah
adanya infeksi. Kelebihan uji ini hanya memerlukan satu serum akut saja
dengan spesifitas yang sama dengan uji HI.1,3,6

Gambar 3. Respon imun terhadap infeksi dengue.6

17

Pada kira-kira hari kelima infeksi terbentuklah antibodi yang bersifat


menetralisasi virus (neutralizing antibody (NT)). Titer antibodi NT akan naik
dengan cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu yang lama,
biasanya seumur hidup. Uji ni paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue.
Biasanya memakai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Setelah antibodi NT,
akan timbul antibodi yang mempunyai sifat menghambat aglutinasi sel darah
merah angsa (haemaglutination inhibiting antibody = HI). Titer antibodi HI
itu naik sejajar dengan antibodi NT, kemudian turun secara perlahan-lahan,
tetapi lebih cepat daripada antibodi NT. Antibodi yang terakhir, yaitu antibodi
yang mengikat komplemen (complement fixing antibody = CF), timbul pada
sekitar hari keduapuluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan penyakit
mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian turun secara cepat
dan menghilang setelah 1-2 tahun. Uji CF jarang digunakan secara rutin
karena prosedur pemeriksaannya rumit dan butuh tenaga berpengalaman.
Pada dasarnya diagnosis konfirmasi infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil
pemeriksaan serologik atau hasil isolasi virus. Dasar pemeriksaan serologis
adalah membandingkan titer antibodi pada masa akut dengan konvalesen.1,3,6
Cara diagnostik baru dengan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap serotype
tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat
mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh
manusia, dan nyamuk.3,6
Teknik

pemeriksaan

serologis

yang

dianjurkan

WHO

ialah

pemeriksaan HI dan CF. Kedua cara itu membutuhkan 2 contoh darah.


Contoh darah pertama diambil pada waktu demam akut, sedangkan yang
kedua pada masa konvalesen, 1-4 minggu dalam perjalanan penyakit. Dalam
praktik sukar sekali didapatkan contoh darah kedua karena pasien yang telah
sembuh sehingga tidak bersedia diambil darahnya. Dengan demikian, diambil
kebijaksanaan untuk mengambil darah sebanyak 3 kali. Pertama, sewaktu
masuk rumah sakit, kedua pada waktu meninggalkan rumah sakit, dan ketiga

18

1-4 minggu setelah perjalanan penyakit. Apabila hanya diperoleh satu contoh
darah, penafsiran akan sulit atau bahkan sering tidak mungkin dilakukan.1,5

7. PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi


kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah
timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskular Disseminata (KID).
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan
biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat
yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid,
serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan edukasi
untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk
mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit
diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik,
dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD/DSS terletak pada keterampilan

para dokter untuk dapat

mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis,
fase syok) dengan baik.1,4
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan tirah baring selama masih demam, obat antipiretik atau kompres
hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi <39oC,
dianjurkan

pemberian

parasetamol.

Asetosal/salisilat

tidak

dianjurkan

(kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan atau


asidosis. Pada pasien dewasa, analgetik atau sedatif ringan kadang-kadang
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri kepala, nyeri otot atau nyeri sendi.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, selain
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Tidak boleh dilupakan
monitor suhu, jumlah trombosit serta kadar hematokrit sampai normal kembali.

19

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam.
Perbedaan akan tampak jelas pada saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orangtua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat,
buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dan kulit dingin, hal
tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa ke rumah
sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari,
tidak perlu lagi diobservasi.1
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh
karena itu masyarakat/orang tua diharapkan untuk waspada jika melihat tanda/
gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD.
Tanda/gejala awal perjalanan penyakit DBD ialah demam tinggi mendadak tanpa
sebab yang jelas, terus-menerus, badan lemah, dan anak tampak lesu. Pertamatama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok
(gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah
terus menerus, kejang kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka
pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai tanda
kedaruratan, periksa uji torniquet: apabila uji torniquet positif lanjutkan dengan
pemeriksaan trombosit, apabila trombosit 100.000/ul pasien dirawat untuk
observasi. Apabila uji torniquet positif dengan trombosit > 100.000/ul atau normal
atau uji torniquet negatif, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali
setiap hari sampai suhu turun. Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht
dan trombosit setiap kali selama selama anak masih demam. Bila terjadi
penurunan kadar Hb dan/atau peningkatan kadar Ht, segera rawat. Beri nasehat
kepada orang tua: anak dianjurkan minum banyak seperti teh, susu, sirup, oralit,
jus buah dan lain-lain, serta diberikan obat antipiretik golongan parasetamol
(kontraindikasi golongan salisilat).1
20

Tersangka
DBD
Demam tinggi,
mendadak terus
menerus < 7 hari tidak
disertai infeksi saluran
Ada
kedaruratan
Tanda syok
Muntah terus menerus
Kejang
Kessadaran menurun
Muntah darah
Berak hitam

Jumlah
trombosit
100.000 /ul

Tidak ada
kedaruratan
Periksa uji
torniquet
Uji torniquet
(+)

Uji torniquet
(-)

Jumlah
trombosit >
100.000 /ul
21

Rawat Jalan
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam
hilang
Rawat Inap

Rawat Jalan

Minum Banyak 1,5-2 liter/hari


Parasetamol
Kontrol tiap hari sampai
demam turun
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap
kali

Nilai tanda klinis,


periksa trombosit &
Ht bila demam
menetap setelah
hari sakit ke-3

Perhatian untuk orang


tua
Pesan bila timbul tanda
syok, yaitu gelisah,
lemah, kaki/tangan
dingin, sakit perut, bab
Segera bawa
ke rumah
sakit

Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD1


Fase demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum
atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demamm pada DBD. Parasetamol direkomendasikan
untuk mempertahankan suhu di bawah 39OC dengan dosis 10-15 mg/kgbb/ kali.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, teh
manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasein perlu diberikan minum 50 ml/kg
berat badan dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak
diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kgbb dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang
22

masih minum ASI, tetap harus diberikan di samping larutan oralit. Bila terjadi
kejang demam, di samping antipiretik diberikan antikonvulsif selama masih
demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke
3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk monitor hasil pengobatan yaitu menggambarkan
derajat

kebocoran

plasma

dan

pedoman

kebutuhan

cairan

intravena.

Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan


darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari
sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif
walaupun tidak terlalu sensitif.1,3,6
Jenis cairan
Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer
laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat
(RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau
dekstrosa 5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah
dekstran-40 dan plasma darah. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam
tatalaksana DBD aman dan efektif. Pemberian larutan RL secara bolus
(20ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam
waktu singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstitial.
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3.1,5
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji torniquet positif (DBD
derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hhematokrit (DBD
derajat II) dapat dikelola seperti tertera di bagan. Apabila pasien masih dapat
minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit.
Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirup, jus buah,
susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu >38,5OC. Pada
anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien
tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCl
0,9%. Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Di

23

samping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit setiap 6-12 jam.
Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui
pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan
berhubungan dengan perdarahan saluran cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam dan
awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht dan trombosit diperiksa tiap 6-12
jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratoris, anak
dapat dipulangkan; tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun,
maka infus cairan di tukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan.1

DBD derajat I atau derajat II tanpa peningkatan


hematokrit
Gejala Klinis : demam 2-7 hari, uji
torniquet positif atau perdarahan
spontan
Lab : hematokrit tidak meningkat
trombositopenia (ringan)
Pasien masih dapat minum
Beri minum banyak 1-2
liter/hari atau 1 sdk makan
tiap 5 menit
Jenis minuman : air putih,
teh manis, sirup, jus buah,
susu, oralit
Bila suhu > 38,5OC beri
parasaetamol

Monitor gejala klinis dan


laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-

Pasien tidak dapat minum


Pasien muntah terus
menerus

Pasang infus NaCl 0,9% :


dekstrose 5% (1:3), tetesan
rumatan sesuai bertat badan
periksa Hb, Ht, trombosit
tiap 6-12 jam

Ht naik dan atau trombosit


turun
Infus ganti ringer laktat
(tetesan disesuaikan)
24

Perbaikan klinis dan


laboratoris
Pulang

Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan derajat II1

Kriteria memulangkan pasien


Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit
stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit > 50.000 /ul dan cenderung
meningkat, serta tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura
atau asidosis).1,4,6

8. KOMPLIKASI
Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkhitis atau
ovaritis, keratitis dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan, di
antaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara,
meningismus, dan ensefalopati.1
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok,
b.

cenderung terjadi edema otak dan alkalosis.


Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal

c.

akut.
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan.4

9. DIAGNOSIS BANDING
a.

Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri


virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak influenza, hepatitis,
demam chikungunya, leptospirosis dan malaria. Adanya trombositopenia
25

yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan


b.

penyakit lain.3,6
Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC).
Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya
mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan
serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi,
hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva dan lebih
sering dijumpai nyeri sendi. Pada DC tidak ditemukan perdarahan

c.

gastrointestinal dan syok.3,6


Idiophatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit.
Pada hari-hari pertama diagnosis ITP sulit sulit dibedakan dengan penyakit
DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai leukopenia,
tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran kekanan pada
hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal daripada ITP.3,6

10. PENCEGAHAN
Pemberantasan DHF seperti juga penyakit menular lain, didasarkan atas
pemutusan rantai penularan. Dalam hal DHF, komponen penularan terdiri dari
virus, Aedes egypti dan manusia. Karena sampai saat ini belum terdapat vaksin
yang efektif terhadap virus itu, maka pemberantasan ditujukan pada manusia dan
terutama pada vektornya.8
Pemutusan rantai penularan yang dapat dilaksanakan dengan cara sebagai
berikut :
1.
Perlindungan perorangan untuk mencegah gigitan Aedes aegypti yang dapat
dilakukan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam rumah. Cara
terbaik ialah pemsangan kasa penolak nyamuk.
Cara lain yang dapat dilakukan ialah :
a. Menggunakan mosquito repellent dan insektisida dalam bentuk
semprotan.
b. Menuangkan air panas pada saat bak mandi berisi air sedikit.
c. Memberikan cahaya matahari langsung lebih banyak.

26

Penderita DHF yang di rawat di rumah sakit diberikan tempat tidur dengan
kelambu.
2.

Pemberantasan vektor jangka panjang. Cara yang harus dilakukan terusmenerus untuk meniadakan Aedes aegypti adalah pembasmian sarang
nyamuk dengan jalan membuang secara baik kaleng, botol, ban dan semua

3.

yang mungkin dapat menjadi tempat nyamuk bersarang.


Apabila dana sarana terbatas, usaha pemberantasan vektor dapat dibantu
dengan menggunakan bahan kimia.8
Vaksin dengue tipe 1, 2, 3 dan 4 yang dilemahkan berada dalam

pengembangan di Thailand, dan vaksin mati untuk chikungunya manjur tetapi


biasanya tidak tersedia. Profilaksis terdiri dari menghindari gigitan nyamuk
dengan menggunakan insektisida, penolak nyamuk, penutup tubuh dengan
pakaian, kelambu rumah dan penghancuran tempat-tempat pembiakan Aedes
Aegypti. Jika penyimpanan air merupakan keharusan, penutup rapat yang pas atau
lapisan tipis minyak dapat mencegah peletakan atau penetesan telur. Larvisid,
seperti abate, tersedia sebagai 1% pembentukan granula-pasir dan efektif pada
kadar 1 bag/juta, dapat ditambahkan dengan aman pada air minum. Alat semprot
volume ultra-rendah secara efektif memancarkan malation pembunuh nyamuk
dewasa dari truk atau pesawat udara untuk intervensi cepat selama epidemi.
Hanya cara-cara anti nyamuk perseorangan yang efektif melawan nyamuk di
lapangan, hutan atau belantara.2,4
Langkah-langkah upaya penangulangan berupa (1) fogging fokus.
Melakukan fogging dengan malation atau fenitrotion dalam dosis 438 gram/ha;
dilakukan dalam rumah dan disekitar rumah dengan menggunakan larutan 4%
dalam solar atau minyak tanah. Fogging dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 kali
dengan jarak antara 10 hari di rumah penderita dan 100 meter sekelilingnya,
rumah sakit tempat penderita di rawat dan sekitarnya. (2) abatisasi selektif. Tujuan
abatisasi ialah membunuh larva dengan butir-butir abate sand granule (SG) 1%
pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milliion), yaitu 10 gram
meter 100 liter air. Cara ini sebaiknya diulangi dalam jangka waktu 2-3 bulan. (3)
menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalam Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN).1,3,4,8

27

11. PROGNOSIS

Infeksi primer dengan demam dengue dan penyakit seperti dengue


biasanya sembuh sendiri dan benigna. Kehilangan cairan dan elektrolit,
hiperpireksia dan kejang demam adalah komplikasi yang paling sering pada bayi
dan anak muda (kecil). Prognosis mungkin dipengaruhi secara merugikan oleh
antibodi yang didapat pasif atau oleh infeksi sebelumnya dengan virus yang
sangat terkait.2
Bila tidak disertai renjatan dalam 24-36 jam, biasanya prognosis akan
menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan
sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk.4
Pada DBD kematian terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi
dengan perawatan intensif, kematian dapat diturunkan hingga < 1%. Kadangkadang terdapat sisa kerusakan otak yang diakibatkan oleh syok berkepanjangan
atau terjadi perdarahan intracranial.6

28

BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
No. RM
Tanggal Masuk
Waktu Masuk

: Jepaya Simanjora
: 12 tahun
: Perempuan
: Jl. Silalahi
: 11.75.24
: 27 maret 2015
: 15.45 WIB

B. Identitas Orang Tua


AYAH
Nama
: Sudin Simanjora
Umur
: 55 tahun
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Jl. Silalahi
IBU
Nama
: Dersita Lumban Gaol
Umur
: 57 tahun
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Tani
Alamat
: Jl. Silalahi

C. Anamnesa (alloanamnesis)
1. Keluhan utama : Demam sejak 5 hari yang lalu , demamnya
dirasakan tinggi pada sore dan malam hari.
2. Keluhan tambahan : mual, muntah 2 hari yang lalu sebanyak 1x
sehari, nyeri kepala, nyeri pada persendian, nyeri bagian perut dan
tidak BAB 5 hari.

29

3. Riwayat penyakit sekarang: os datang ke IGD RSU Kabanjahe


Demam sejak 5hari yang lalu , demamnya dirasakan tinggi pada
sore dan malam hari. : mual, muntah 2 hari yang lalu sebanyak
1x sehari, nyeri kepala, nyeri pada persendian, nyeri bagian perut
dan tidak BAB 5 hari.
4. Riwayat penyakit dahulu: tidak ada
5. Riwayat penyakit keluarga: tidak ada
6. Riwayat pengobatan: os pernah berobat ke bidan, tapi tidak
sembuh
7. Riwayat alergi obat dan makanan: os tidak memiliki alergi obat
maupun makanan
8. Riwayat kelahiran: os lahir secara spontan di rumah sakit ditolong
oleh seorang bidan pada tanggal 19 februari 2003. Usia kehamilan
cukup bulan, berat badan saat lahir 3000 gram.
9. Riwayat imunisasi: imunisasi dasar pasien sudah lengkap, yaitu
BCG, Hepatitis B, DPT, Polio, Campak.
10. Riwayat tumbuh kembang: os tidak mengalami gangguan ataupun
keterlambatan dalam masa tumbuh kembang.
11. Riwayat makanan: os mendapat ASI hingga umur 4 bulan.
D. Pemeriksaan Fisik
1. Kesan umum
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
: compos mentis
Tekanan darah
: - mmHg
Denyut nadi
: 102x/menit
Pernapasan
: 28x/menit
Suhu
: 38,5 oC
Berat badan
: 26 kg
Tinggi badan
: tidak diukur
Status gizi
:2. Pemeriksaan Khusus
Kepala
: Bentuk normal, simetris, rambut tumbuh tebal , tidak
ada trauma atau benjolan
Mata
: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor dengan diameter (3mm/3mm), dan reflek
cahaya (+/+)
Telinga
: Bentuk aurikula normal (+/+), serumen (+/+), nyeri
tekan tragus (-/-), cairan/darah (-/-), fungsi
pendengaran baik
Hidung
: Bentuk normal, septum nasi di tengah, tidak ada
deviasi, sekret pada lubang hidung (+/+), pernapasan
cuping hidung (-/-)
Gigi dan mulut : mukosa bibir kering, sianosis (-), gigi geligi normal
30

Leher

dan tidak ada karies, tidak ada gusi berdarah, uvula di


tengah
: Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah
bening dan kelenjar tiroid.

Thorak
Inspeksi

: Simertis (ka/ki), tidak terlihat nafas tertinggal, tidak

Palpasi

terlihat massa maupun jejas


: Vocal fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan, tidak

Perkusi
Batas paru-hepar
Batas paru-gaster
Auskultasi

teraba massa.
: Sonor di semua lapang paru
: Sonor-pekak ICS VII midclavicula dextra
: Sonor-timpani ICS VIII axilaris anterior sinistra
: Suara paru: vesikuler
suara tambahan: tidak ada

Abdomen
Inspeksi

: Dinding abdomen simetris, tidak terlihat penonjolan

Auskultasi
Palpasi

massa maupun bekas luka


: Bising usus (+) Normal
: Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri perut menjalar ke
punggung (-), distensi abdomen (+), defense
muscular (-), nyeri tekan mc. Burney (-), rovsing

Perkusi
Punggung

sign (-), psoas sign (-), obturator sign (-)


: Tympani
: tampak normal, tidak terlihat kelainan bentuk tulang

belakang
Anogenital
Ekstremitas

: tidak dilakukan pemeriksaan


: akral hangat, tidak ada edema pada semua

ekstremitas
Kuku

: sianosis (-), pengisian kapiler <2 detik

E. Diagnosis banding
DBD
Typoid
Demam Chikungunya
Malaria
F. Hasil pemeriksaan penunjang
Tanggal 27 maret 2015
Darah Rutin: Leukosit 3900/mm3
Hemoglobin 13,8 g/dL
31

Trombosit 65,000/uL
Hematokrit 39,3 %
Urine: Feses: Foto Thorax:-

Tanggal 28 maret 2015

Darah Rutin: Leukosit 3.000/mm3


Hemoglobin 13,5 g/dL
Trombosit 42.000/uL
Hematokrit 39,2 %
Urine: Feses: Foto Thorax:-

Tanggal 29 maret 2015

Darah Rutin: Leukosit 4.300/mm3


Hemoglobin 14 g/dL
Trombosit 33.000/uL
Hematokrit 41,8 %
Urine: Feses: Foto Thorax:-

Tanggal 30 maret 2015

Darah Rutin: Leukosit 4.500/mm3


Hemoglobin 13,5 g/dL
Trombosit 37.000/uL
Hematokrit 40 %
Urine: Feses: Foto Thorax:Tanggal 31 maret 2015
Darah Rutin: Leukosit 4.100 /mm3
Hemoglobin 13,1 g/dL
Trombosit 83.000/uL
Hematokrit 39 %
Urine: Feses: Foto Thorax:G. Diagnosis kerja: DBD
H. Tatalaksana
1. Medikamentosa

32

Tanggal 27 maret 2015


IVFD RL 20 gtt/i (makro)
Sanmol 500mg 3x1
Ranitidin tablet 2 x1
Vometa syr 3x CI
Tanggal 28 maret 2015
IVFD RL 10 gtt/i (makro)
Sanmol 500mg 3x1
Ranitidin 1 amp / 12jam
Vometa syr 3x CI
Tanggal 29 maret 2015
IVFD RL 10 gtt/i (makro)
Renivel 3x10ml
Sanmol 500mg 3x1/2
Ranitidin 1 amp/ 12jam
Vometa syr 3x CI
Tanggal 30 maret 2015
IVFD RL 10 gtt/i (makro)
Renivel 3x10ml
Sanmol 500mg 3x1/2
Ranitidin aff
Vometa syr 3x CI
Tanggal 31 maret 2015
IVFD RL 10 gtt/i (makro)
Renivel 3x10ml
Sanmol 500mg 3x1/2
Ranitidin aff
Vometa syr 3x CI

Non medikamentosa
Istirahat total (tirah baring)
I. Prognosis
33

Ad vitam

: dubia ad malam

Ad functionam

: dubia ad malam

Ad sanationam

: dubia ad malam

FOLLOW UP PASIEN

27 Maret 2015 (15. 45 WIB)


Demam (+), mual (+), muntah (-), pening (+) , lemas (+), nyeri tekan
pada abdomen kuadran kanan (+)
HR: 100x/menit
RR: 30x/menit
T: 38 oC
Instruksi dokter:
IVFD RL 20 gtt/i (makro)
Sanmol 500mg 3x1
Ranitidin tablet 2 x1
Vometa syr 3x CI
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin: Leukosit 3900/mm3
Hemoglobin 13,8 g/dL
Trombosit 65,000/uL
Hematokrit 39,3 %
Urine: Feses: Foto Thorax:Tanggal 28 Maret 2015 (08.30 WIB)
Demam (-), mual (+), muntah (-), pening (+) ,lemas (+), nyeri tekan
abdomen kuadran kanan (+)
34

HR: 84x/menit
RR: 18x/menit
T: 36 ,8oC
Instruksi dokter:
IVFD RL 10 gtt/i (makro)
Sanmol 500mg 3x1
Ranitidin 1 amp / 12jam
Vometa syr 3x CI
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin: Leukosit 3.000/mm3
Hemoglobin 13,5 g/dL
Trombosit 42.000/uL
Hematokrit 39,2 %
Urine: Feses: Foto Thorax:Tanggal 29 Maret 2015 ( 08.30 WIB)
Demam (-), mual (+), muntah (-), pusing (-), nyeri tekan abdomen kuadran
Kanan atas (+).
HR: 96x/menit
RR: 27x/menit
T: 37,8oC
Instruksi dokter:
IVFD RL 10 gtt/i (makro)
Renivel 3x10ml
Sanmol 500mg 3x1/2
Ranitidin 1 amp/ 12jam
Vometa syr 3x CI
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin: Leukosit 4.300/mm3
Hemoglobin 14 g/dL
Trombosit 33.000/uL
Hematokrit 41,8 %
Urine: Feses: Foto Thorax:-

35

Tanggal 30 Maret 2015 (08.30 WIB)


Demam (-), mual (+), muntah (-), pusing (-), nyeri tekan abdomen kuadran
Kanan atas (+).
HR: 78x/menit
RR: 20x/menit
T: 36,20C
Instruksi dokter:
IVFD RL 10 gtt/i (makro)
Renivel 3x10ml
Sanmol 500mg 3x1/2
Ranitidin aff
Vometa syr 3x CI
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin: Leukosit 4.500/mm3
Hemoglobin 13,5 g/dL
Trombosit 37.000/uL
Hematokrit 40 %
Urine: Feses: Foto Thorax:-

Tanggal 31 Maret 2015 (08.30 WIB)


Demam (-), mual (+), muntah (-), pusing (-), nyeri tekan abdomen kuadran
Kanan atas (+).
HR: 78x/menit
RR: 20x/menit
T: 36,20C
Instruksi dokter:
IVFD RL 10gtt/i (makro)
Renivel 3x10ml
Sanmol 500mg 3x1/2
Ranitidin aff
Vometa syr 3x CI
Pemeriksaan Penunjang:
Darah Rutin: Leukosit 4.100 /mm3
Hemoglobin 13,1 g/dL
Trombosit 83.000/uL
Hematokrit 39 %
Urine: Feses: Foto Thorax:-

36

BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Demam dengue adalah suatu infeksi arbovirus (arthropod-borne virus)
akut, ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes. Virus dengue termasuk group B
arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus,
famili Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3
dan den-4. Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan
laboratorium. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.
Manifestasi perdarahan, minimal uji torniquet positif dan salah satu bentuk
perdarahan lain (ptekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
hematemesis dan atau melena. Pembesaran hati. Syok yang ditandai oleh nadi
lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (20 mmHg), tekanan darah
menurun (tekanan sistolik 80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan
timbul sianosis di sekitar mulut. Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif,
yaitu

mengatasi

kehilangan

cairan

plasma

sebagai

akibat

peningkatan

permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat

37

jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus
DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.

DAFTAR PUSTAKA

1. S. Poorwo, Sumarmono. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. IDAI.


Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2012 : 155-181.
2. Hassan, Rusepno. Alatas, Husein. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2
FKUI. Jakarta : Infomedika Jakarta. 2007 : 607-621
3. WHO.
2009
.
Dengue
haemorrhagic
(http:/www.who.int/crs/disease/dengue/en/)
4. Depkes.
2009.
Tatalaksana
DBD.

Departemen

Fever

Kesehatan.

(http://www.depkes.go.id/)
5. Depkes RI. 2011. Informasi umum Demam Berdarah Dengue. Kementrian
Kesehatan RI.
6. Melisa, Silvia. 2013. Referat Demam Berdarah Dengue. FK Universitas
Kristen Indonesia.
7. Behrman, Richard. Kliegman, Robert. Arvin, Ann. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Jilid 2. Jakarta : EGC. 2000 : 1132-1136
8. Yulanda, anita. 2012. Referat Demam Berdarah Dengue. RSUD Soreang
Bandung. (http://www.scribe.com/)

38

Anda mungkin juga menyukai