Anda di halaman 1dari 14

Learning objectives

Step I
1.
2.
3.
4.
5.

Granulosit
Ptekie
Konjungtiva palpebrae
Radiologi
Pembesaran limfonodi

Step II
1. Definisi dan klasifikasi dari limfoid neoplastik dan non neoplastik
2. Jelaskan diagnosis dari penyakit limfoid neoplastik dan non neoplastik
(berdasarkan gambaran histopatologis dan penampakan klinis)
3. Jelaskan tentang proses penatalaksanaan dari penyakit limfoid neoplastik
dan non neoplastik
4. Jelaskan prinsip prinsip pengobatan dan prognosis dari penyakit limfoid
non neoplastik dan neoplastik
5. Diagnosis kerja dan diagnosis banding dari pada skenario
6. Mengapa terjadi perbesaran perut bagian kiri, kembung, cepat lelah, dan
penurunan berat badan pada kasus di skenario?
7. Klasifikasi dari penyakit limfoma hodgkin dan non hodgkin
8. Etiologi dari diagnosis kerja pada skenario
9. Jelaskan klasifikasi pemeriksaan penunjang dari leukimia
10.Jelaskan tentang keganasan hematologis
11.Menjelaskan klasifikasi (leukimia akut dan leukimia kronik), prinsip terapi,
prognosis, manifestasi klinis, dan definisinya.
Jawab:
1. Limfoid neoplastik
- Leukemia / limofidlomfoblastik sel B dan T prekursor, tumor agresif ini
yang dibentuk oleh limfosit imatur (limfoblas), terutama terjadi pada anak
dan dewasa muda
- Limfoma lomfositik kecil / leukemia lomfositik kronis, keduanya adalah
tumor yang hampir identik dan berbeda hanya dalam derajat keterlibatan
darah perifer; yang memperlihatkan sel dalam sirkulasinya banyak disebut
leukemia limfositik kronis (CLL), sedangkan yang tidak disebut Limfoma
limfositik kecil (SLL)
- Limfoma folikular, tumor ini ditandai dengan arsitektur nodular atau
folikular, yang sangat sering ditemukan, membentuk 40% NHL dewasa di
amerika
- Limfoma sel mantel, limfoma sel mantel terdiri atas sel B yang mirip
dengan zona mantel pada folikel limfoid normal.
- Limfoma sel B besar difus, ini adalah jenis limfoma terpenting pada orang
dewasa, membentuk sektar 50% dari semua NHL pada orang dewasa.
- Limfoma Burkitt, adalah penyakit endemik di beberapa bagian Afrika dan
sporadik di tempat lain.
- Mieloma multipel dan gangguan sel plasma terkait, adalah sekelompok
neoplasma sel B yang sama sama memperlihatkan ekspansi satu klona

sel penghasil immunoglobulin sehingga menyebabkan peningkatan kadar


satu immunoglobulin homogen atau fragmennya di dalam serum.
Limfoma hodgkin, seperti NHL, adalah suatu gangguan terutama
mengenai jaringan limfoid. Limfoma ini hampir selalu berasal dari satu
nodus atau satu rangkaian kelenjar getah bening dan biasanya menyebar
ke kelenjar sekitarnya.
Neoplasma limfoid lainnya, terdiri dari:
Extranodal Marginal Zone Lymphoma (limfoma MALT), ini adalah
kategori khusus tumor sel B derajat rendah yang timbul, terutama
di jaringan limfoid terkait-mukosa, seperti kelenjar air liur, usus
halus, usus besar, paru , serta beberapa tempat nonmukosa seperti
orbita dan payudara.
Leukemia sel berambut
Mikosis fungoides dan sindrom sezary
Limfoma / leukemia sel T dewasa
Limfoma sel T periferm adalah sekelompok heterogen tumor yang
bersama- sama membentuk sekitar 15% NHL dewasa.

Limfoid non- neoplastik


- Leukopenia, merupakan penurunan jumlah sel darah putih di darah perifer
dapat terjadi karena berkurangnya jumlah salah satu jenis leukosit, tetapi
umumnya disebabkan oleh penurunan neutrofil (neutropenia)
Neutropenia / agranulositosis
Penurunan jumlah granulosit di dalam darah dikenal sebagai
neutropenia atau kadang kadang, apabila parah, agranulositosis.
Biasanya jumlah sel darah putih total berkurang menjadi 1000/L
dan pada sebagian kasus sampai hanya 200 hingga 300/ L.
Penderita sangat rentan terhadap infeksi yang mungkin cukup
parah sehingga menyebabkan kematian.
- Leukositosis reaktif, merupakan peningkatan jumlah sel darah putih
merupakan reaksi yang lazim ditemukan pada berbagai peradangan yang
disebabkan oleh rangsangan mikroba atau nonmikroba. Leukositosis
merupakan tanda yang relatif tidak spesifik dan dapat diklasifikasikan
berdasarkan jenis sel darah putih yang terkena.
Mononukelosis infeksiosa
Merupakan penyakit akut swasirna pada kaum remaja dan
dewasa muda yang disebabkan oleh EBV limfositotropik B, suatu
anggota dari famili virus herpes.
- Limfadenitis reaktif, merupakan rangsangan infeksi dan peradangan
nonmikroba tidak hanya menyebabkan leukositosis, tetapi juga melibatkan
kelenjar getah bening, yang berfungsi sebagai sawar pertahanan
Limfadenitis non spesifik akut
Bentuk limfadenitis ini mungkin terbatas pada sekelompok
kelenjar getah bening yang mendrainase seuatu fokus infeksi, atau
mungkin generalisata apabila terjadi infeksi bakteri atau virus
sistemik.
Limfadenitis non spesifik kronik
Keadaan ini memiliki 3 pola, bergantung pada agen
penyebabnya : hiperplasia folikel, hiperplasia limfoid parakorteks,
atau histositosis sinus.

Penyakit Cat-Scratch
Cat-scratch disease adalah suatu limfadenitis swasirna yang
disebabkan oleh Bartonella henselae. Penyakit ini bermanifestasi
klinik sebagai limfadenopati regional, terutama di ketiak dan leher.
Sumber: Kumar V.,et al, 2007, Buku Ajar Patologi Robbins, EGC : Tanggerang.
2. Limfoid neoplastik
- Leukemia / limofidlomfoblastik sel B dan T prekursor,
- Limfoma lomfositik kecil / leukemia lomfositik kronis
- Limfoma folikular
- Limfoma sel mantel
- Limfoma sel B besar difus
- Limfoma Burkitt
- Mieloma multipel dan gangguan sel plasma terkait
- Limfoma hodgkin
- Neoplasma limfoid lainnya, terdiri dari:
Extranodal Marginal Zone Lymphoma (limfoma MALT)
Leukemia sel berambut
Mikosis fungoides dan sindrom sezary
Limfoma / leukemia sel T dewasa
Limfoma sel T perifer
Limfoid non- neoplastik
- Leukopenia,
Neutropenia / agranulositosis
perubahan anatomik sum sum tulang bergantung pada
penyebab neutropenia, apabila neutropenia disebabkan oleh
destruksi berlebihan neutrofil matur atau oleh granulopoiesis yang
inefektif, seperti yang terjadi pada anemia megaloblastik,
ditemukan hiperselularitas sumsum tulang akibat peningkatan
jumlah prekursor granulostik immature, sebaliknya zat yang
menekan granulositopoiesis menyebabkan penurunan mencolok
jumlah prekursor granulositik di sum sum tulang. Eritropoiesis dan
megakariopoiesis mungkin masih normal (apabila zat tersebut
secara khusus mengenai granulosit); tetapi pada obat mielotoksik
tertentu, semua elemen sumsum tulang dapat terkena.
- Leukositosis reaktif
Mononukelosis infeksiosa
Perubahan utama mengenai darah, kelenjar getah bening,
limpa, hati, susunan saraf pusat, dan kadang kadang organ lain.
- Limfadenitis reaktif
Limfadenitis non spesifik akut
Limfadenitis non spesifik kronik
Penyakit Cat-Scratch
Sumber:
3.
Sumber :
4.
Sumber:
5.
Sumber:

6.
Sumber:
7. klasifikasi penyakit non hodgkin limfoma menurut REAL / WHO
B cell neoplasms
I. Precursor B cell neoplasm : precursor B acte lymphoblastic leukemia /
lymphoblastic lymphoma (B-ALL, LBL)
II. Peripheral B cell neoplasm
a. B cell chronic lymphocytic leukemia / small lymphocytic lymphoma
b. B cell prolymphocytic leukemia
c. Lymphoplasmacytic lymphoma / immuno-cytoma
d. mantle cell lymphoma
e. follicular lymphoma
f. entranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type
g. Nodal marginal zone B-cell lymphoma (monocytoid B-cells)
h. splenic marginal zone lymphoma ( villous lymphocytes)
i. hairy cell leukemia
j. plasmacytoma / plasma cell myeloma
k. diffuse large B-cell lymphoma
l. Burkitts lymphoma
T-Cell and NK Cell
I. T-cell and putative NK Cell neoplasms Precursor T-cell neoplasm: precursor T
acute lymphoblastic leukemia / lymphoblastic lymphoma (T-ALL, LBL)
II. Peripheral T-ce;; and NK-cell neoplasms
a. T-cell chronic lymphocytic leukemia/ prolymphocytic leukemia
b. T cell granular lymphocytic leukemia
c. Mycosis fungoides / Sezary syndrome
d. Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characterized
e. Hepatosplenic gamma/ delta lymphoma
f. subcutaneus panniculitis like T-cell lymphoma
g. Angiommunablastic T-cell lymphoma

h. extranodal T-/Nkcell lymphoma, nasal type


i. enterophaty type intestinal T-cell lymphoma
j. adult T-cell lymphoma / leukemia (HTLV 1+)
k. anaplastic large cell lymphoma, primary systemic type
l. anaplastic large cell lymphoma, primary cutaneus type
m. aggresive NK-cell leukemia

klasifikasi limfo hodgkin


klasifikasi Rye:
lymphocyte predomminant
nodular sclerosis
mixed cellularity
lymphocyte depletion
klasifikasi WHO:
-

Nodular lymphocyte predominance Hodgkin Lymphoma (Nodular LPHL):


saat ini dikenal sebagai indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan
true Hodgkin disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit dan histiosit, CD 20
positif tetapi tidak memberikan gambaran sel Reed-Sternberg
- Classic Hodgkin Limfoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed
Cellularity, Lymphocyte depleted.
Sumber : Setiati S., dkk, 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi VI,
Interna Publishing : Tanggerang
8.
Sumber:
9.
Sumber:
10.
Sumber:
11.
I.
DEFINISI
Leukemia adalah suatu penyakit keganasan sel darah putih yang berasal
dari sumsum tulang, disebabkan oleh beberapa faktor resiko selama
kehamilan dan pasca natal seperti kecacatan genetik, radiasi, infeksi dan
paparan lainnya, ditandai oleh adanya akumulasi proliferasi leukosit dan
sel abnormal dalam sumsum tulang dan darah, dapat menimbulkan
komplikasi berupa sepsis, gangguan pembekuan darah atau akibat
kemoterapi, memiliki prognosis yang sulit ditentukan.
II.
KLASIFIKASI

Secara umum pembagian leukemia adalah akut, kronik dan kongenital.


Leukemia akut dan kronik pada awalnya dibedakan berdasarkan lama
sakitnya selama pemberian kemoterapi yang efektif, namun saat ini akut
dan kronis dibedakan berdasarkan jenis selnya dimana sel imatur ganas
yang berproliferasi mengarah pada leukemia akut dan bila terdapat lebih
banyak sel matur maka diklasifikasikan leukemia kronik, sedangkan
kongenital bila leukemia terdiagnosa selama 4 minggu pertama setelah
kelahiran.
Pada anak anak leukemia akut lebih sering terjadi dibandingkan kronik
dimana hanya sekitar 2%. Oleh karena itu, FAB mengklasifikasikan
leukemia akut berdasarkan morfologinya sebagai berikut:
1.
Leukemia Limfoblastik Akut
L1 : sel sel limfoblas kecil dengan sitoplasma sempit, anak inti tidak
tampak dengan kromatin homogen
L2 : Limfoblas lebih besar dengan sitoplasma lebih luas, kromatin lebih
kasar, satu atau lebih anak inti
L3 : Limfoblas besar, sitoplasma basofilik dan bervakuol, anak inti
banyak, kromatin berbercak.
2.
Leukemia Myeloid Akut
M0 : Diferensiasi minimal dari myeloid
M1 : Myeloblas berdiferensiasi buruk tanpa maturasi, dapat ditemukan
Auer rods
M2 : Diferensiasi myeloblas dengan maturasi, lebih banyak ditemukan
Auer rods
M3 : Sel promyelositik dengan hipergranuler dan penuh dengan Auer
rods
M4 : Myelomonoblastik
M5 : Monoblastik
M6 : Eritroleukemik atau eritroblastik
M7 : Megakaryoblastik
Berdasarkan antibody monoclonal yang dapat mengenali antigen
pada limfoid, dihasilkan klasifikasi imunofenotip dari LLA yaitu sel T, sel B,
transisional pre-B, sel pre-B dan sel pre-B muda. Klasifikasi ini berguna
untuk menentukan leukemia sesuai tahap maturasi normal.
Leukemia kronik sangat jarang terjadi pada anak anak, meskipun begitu
leukemia kronik dibagi menjadi Leukemia Limfositik Kronik, yang
insidensinya pada orang dewasa berusia 60 80 tahun, dan Leukemia
Myeloid Kronik dimana berkisar 1 2% dari leukemia pada anak anak.
Klasifikasi Leukemia Myeloid Kronik :
1.
Leukemia mieloid kronik, Philadelphia positif
2.
Leukemia mieloid kronik, Philadelphia negative
3.
Leukemia mieloid kronik juvenilis
4.
Leukemia neutrofilik kronis
5.
Leukemia eosinofilik
6.
Leukemia mielomonositik kronik
III.
ETIOLOGI
Pada umumnya penyebab leukemia tidak dapat diketahui secara pasti,
namun terdapat beberapa faktor predisposisi yang diduga berkaitan
dengan leukemia pada anak termasuk genetik, lingkungan dan keadaan
imunodefisiensi. Anak anak dengan cacat genetik seperti sindrom Down

dan keadaan ketidakstabilan kromosom lebih beresiko menderita


leukemia. Paparan radiasi X-ray pada janin maupun anak menunjukkan
peningkatan insidensi LLA meskipun kasusnya sangat sedikit. Pada
beberapa negara berkembang terdapat hubungan antara anak yang
terkena leukemia dengan infeksi virus Epstein-Barr dimana terjadi mutasi
dari sel progenitor limfoid. Resiko memiliki keturunan leukemia pada ibu
hamil ditentukan dari pola hidupnya selama hamil seperti mengkonsumsi
alkohol, obat terlarang maupun paparan kimiawi lainnya.
IV.
EPIDEMIOLOGI
Insidensi puncak leukemia pada anak adalah ketika berusia 2 6 tahun,
terutama sekitar usia 5 tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki laki
daripada anak perempuan. Umumnya leukemia pada anak anak dengan
keadaan kromosom yang abnormal. Pada anak kembar, bila salah satu
anak menderita leukemia maka resiko dari kembarannya jauh lebih besar
daripada anak pada umumnya yaitu lebih dari 70% bila anak yang
pertama terdiagnosa kurang dari 1 tahun dan merupakan kembar
monokorionik. LLA adalah bentuk leukemia yang paling lazim dijumpai
pada anak yaitu sekitar 85% dari seluruh leukemia pada anak, prevalensi
menurun ketika berusia lebih dari 10 tahun. Sedangkan AML hanya 17%,
maka dapat disimpulkan pada anak lebih sering terjadi leukemia akut
yaitu 97% dari seluruh leukemia pada anak dimana leukemia kronik hanya
3%.
V.
PATOGENESIS
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia adalah asal mula gugus
selnya (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan morfologi,
kegagalan diferensiasi petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap sel
normal. Leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara
klonal sampai mencapai jumlah sel yang dapat terdeteksi. Meskipun
etiologinya belum diketahui, namun pada penelitian ditemukan bahwa
penyebab (agent) nya dapat melakukan modifikasi nukelus DNA dan
kemampuan ini meningkat bila terdapat kelainan genetic tertentu seperti
translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler sehingga terbentuklah
gugus (clone) yang abnormal.
Transformasi sel pada LMA dapat terjadi pada berbagai jalur
perkembangan sel induk sehingga ekspresinya berupa perkembangan
gugus sel tertentu dengan akibat dapat terjadi berbagai jenis sel
leukemia. Misalnya transformasi leukemia terjadi pada sel induk
pluripotent yang akan mengenai eritrosit dan trombosit, atau pada sel
induk yang dijuruskan untuk granulositopoisis atau monositopoisis.
Abnormalitas kromosom yang berkaitan dengan jumlah kromosom,
translokasi atau delesi, yang menunjukkan prognosis dari pasien, dapat
dijumpai pada hampir semua penderita LLA. Dari semua kasus LLA, 85%
berasal dari progenitor sel B, 15% berasal dari progenitor sel T, sedangkan
sekitar 1% berasal dari sel B.
VI.
MANIFESTASI KLINIS
1.
Leukemia Limfoblastik Akut
Secara klinis presentasi dar LLA sangat bervariasi, tidak spesifik dan
singkat bahkan terkadang ada yang bersifat asimtomatik dan terdeteksi

ketika melakukan pemeriksaan rutin. Kebanyakan pasien mendapati


keluhan seperti demam selama 3 4 minggu sebelum terdiagnosa,
bersifat intermiten. Selain itu juga disertai keluhan karena kegagalan
sumsum tulang seperti :
a.
Anemia : pucat, letargi, dyspnea
b.
Neutropenia : malaise, ISPA dan infeksi lainnya
c.
Trombositopenia : memar spontan, purpura, gusi berdarah dan
menoragia.
Keluhan lain berupa manifestasi dari infiltrasi leukosit ke organ berupa
nyeri pada tulang yang hebat, arthralgia, limfadenopati, nyeri abdomen
dan sindrom meningeal (sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur
dan diplopia).
Pada umumnya pemeriksaan fisik dijumpai adanya memar, petekie,
limfadenopati dan hepatosplenomegali. Pada inspeksi pasien akan tampak
pucat dan lesu, perdarahan kulit dapat pula berupa purpura ataupun
ekimosis, perdarahan pada mukosa. Keluhan nyeri tulang dan sendi dapat
ditemukan adanya pembengkakan sendi dan efusi terutama pada
ekstremitas bawah. Keterlibatan leukemia terhadap susunan saraf pusat
jarang terjadi, meskipun ada dapat berupa papil edema, perdarahan
retina, kelumpuhan saraf kranial, paraplegia dan paraparese. Tanda
lainnya akibat infiltrasi leukosit ke organ lain berupa pembesaran kelenjar
saliva, pembesaran testis, pada ginjal menyebabkan renal insufisiensi
yang ditandai dengan nefromegali. Gangguan pernafasan dapat
disebabkan karena anemia ataupun terdapat massa di mediastinum
anterior berupa pembesaran thymus, biasanya terjadi pada remaja
dengan LLA tipe sel T.
2.
Leukemia Mieloid Akut
Timbulnya gejala dan tanda pada LMA adalah sama seperti pada ALL yaitu
karena penumpukan sumsum tulang akan sel sel ganas yang
menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Maka dari itu, pasien LMA akan
mempunyai gejala gejala yang ditemukan pada kegagalan sumsum
tulang ALL juga. Terdapat beberapa gejala pada LMA yang tidak muncul
pada LLA yaitu nodul subkutan, hipertrofi gusi karena infiltrasi leukosit dan
pada LMA dapat terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC)
dengan perdarahan yang serius, dapat juga ditemukan tumor local atau
kloroma.
3.
Leukemia Mieloid Kronik
Meskipun insidensi tertinggi terjadi pada orang dewasa, namun LMK dapat
juga terjadi pada anak anak dan neonatus. Etiologi dan faktor
predisposisi tidak diketahui, pasien sering asimtomatik dengan
splenomegali masif pada pemeriksaan rutin anak sehat. Tetapi dapat juga
terjadi gejala seperti demam, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun, nyeri abdomen atau nyeri tulang dan hepatomegali. Ada 3 fase
LMK : fase kronis, fase akselerasi, dan krisis blas. Fase kronis dapat
berlangsung selama bertahun tahun, hiperproliferasi elemen myeloid
matur, yang nantinya akan masuk ke fase akselerasi dan fase blas,
mengalami leukemia yang nyata dimana secara morfologis ditemukan
mieloblas namun dapat juga terjadi transformasi limfoblas. Saat dimulai

fase blas, jumlah darah meningkat tajam dan tidak terkontrol dengan obat
lagi, biasanya pasien akan meninggal pada usia 3 4 tahun setelah onset.
VII.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk membantu menegakkan diagnosa leukemia serta menentukan
sudah sejauh mana progresivitas atau perjalanan dari penyakitnya,
diperlukan beberapa pemeriksaan seperti :
1.
Pemeriksaan hematologis
Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi
trombositopenia dan neutropenia, namun pada LMK trombosit cenderung
meningkat meskipun bisa normal atau menurun. Jumlah leukosit adalah
hasil yang paling bermakna pada leukemia dimana terjadi peningkatan
massif hingga lebih dari 200.000/mm3 pada keadaan tertentu seperti LMA
yang telah mengalami DIC dan leukostasis. Biasanya jumlah leukosit
berkisar antara 10.000 50.000/mm3 pada LLA dan CML, pada AML tanpa
DIC biasanya dapat sampai diatas 100.000/mm3. Untuk mengetahui
keadaan DIC pada kasus AML juga perlu dilakukan tes waktu perdarahan
dan waktu pembekuan.
2.
Pemeriksaan sediaan apus darah tepi
Anemia normositik normokrom umumnya terjadi pada kasus leukemia
dimana terjadi penurunan jumlah ertirosit yang dibentuk tanpa disertai
adanya kelainan struktur atau komponennya. Hasil pemeriksaan SADT
menunjukkan ditemukannya sel blas dengan jumlah yang bervariasi.
Khusus pada LMK didapatkan jumlah basophil yang meningkat dan sel blas
tidak banyak dijumpai, namun ketika masuk fase krisis blas secara
morfologis ditemukan mieloblas meningkat, tetapi dapat juga terjadi
transformasi limfoblas.
3.
Pemeriksaan sumsum tulang
Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang
akan memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas leukemik
lebih dari 30%. Pada LMK yang jarang ditemukan sel blas, hasil
pemeriksaan sumsum tulang akan menunjukkan hiperseluler dengan
maturasi mieloid yang normal.
4.
Pungsi lumbal
Cairan serebrospinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat
merupakan tempat persembunyian penyakit ekstramedular. Hasilnya
dapat menunjukkan bahwa tekanan cairan spinal meningkat dan
mengandung sel leukemia.
5.
Radiologis
Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya
lesi osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan
pembesaran thymus dan/atau kelenjar getah bening mediastinum yang
khas untuk LLA-T.
6.
Fungsi hati dan ginjal
Uji fungsi hati dan ginjal dilakukan sebagai dasar sebelum memulai
pengobatan.
7.
Pemeriksaan biokimia darah
Hasilnya dapat memperlihatkan adanya kadar asam urat dan laktat
dehydrogenase serum yang meningkat, dan lebih jarang, hiperkalsemia.
Keadaaan hiperurisemia dapat mengarah kepada gagal ginjal akut.

8.
Analisis sitogenetik darah
Pada kira kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada leukemia
myeloid kronik yang terlihat adalah kromosom Philadelphia. Kromosom ini
berkaitan dengan t(9;22) klasik. Pemeriksaan sitogenetik untuk leukemia
akut bertujuan untuk menentukan klasifikasi leukemia.
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat
dipakai untuk menegakkan diagnosis leukemia. Untuk diagnosis pasti
harus dilakukan aspirasi sumsum tulang, dan dapat dilengkapi dengan
pemeriksaan pemeriksaan penunjang yang telah disebutkan sebelumnya.
Anemia dan trombositopenia sering tampak pada sebagian besar pasien.
Sel leukemia sering tidak tampak pada darah perifer dalam pemeriksaan
laboratorium rutin, meskipun terlihat, sel leukemia tersebut sering
dilaporkan sebagai limfosit atipikal. Bila hasil analisis darah perifer
mengarah kepada leukemia, maka pemeriksaan sumsum tulang harus
dilakukan dengan tepat untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan LCS
dapat menentukan derajat LLA. Bila ditemukan peningkatan limfoblas
pada LCS maka disebut leukemia meningeal. Ini menunjukkan derajat
yang berat dan memerlukan terapi SSP dan sistemik. Dengan
ditemukannya leukemia SSP, jumlah leukosit > 50.000/mm3, massa
mediastinum serta jumlah sel blas total >1000/mm3 setelah 1 minggu
terapi, maka pasien disebut LLA dengan resiko tinggi.
Diagnosis LMA dapat diawali sebagai prolonged preleukemia, yaitu
kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga terjadi anemia
refrakter, neutropenia dan trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang
tidak menunjukkan leukemia tetapi ada perubahan morfologis yang jelas,
biasanya hiperseluler, kadang hiposeluler yang akan menjadi leukemia
akut. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik dan
mempunyai klasifikasi FAB sendiri.
IX.
DIAGNOSIS BANDING
Gejala klinis dan pemeriksaan fisik pada awal manifestasi leukemia sangat
tidak spesifik dan tidak khas sehingga banyak penyakit lain yang dapat
dipikirkan sebelum melakukan pemeriksaan penunjang dan menegakkan
diagnosis leukemia.
Onset akut dari petekie, ekimosis dan perdarahan dapat mengarah pada
idiopatik trombositopenia dengan trombosit yang berukuran besar tanpa
ada tanda tanda anemia. Demam dan pembengkakan sendi dapat
menyerupai penyakit rheumatologi seperti juvenile rheumatoid arthritis
dan demam rematik, penyakit kolagen vaskuler, atau osteomyelitis.
Baik pada leukemia atau anemia aplastic keduanya memiliki gambaran
pansitopenia dan komplikasinya sama sama kegagalan sumsum tulang,
namun pada anemia aplastic hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak
ditemukan, dan tidak ada lesi osteolitik seperti pada leukemia. Biopsi atau
aspirasi sumsum tulang akan menegakkan diagnosis.
Infeksi virus pada anak anak seringkali membuat diagnose leukemia sulit
ditegakkan terutama infeksi yang berkaitan dengan trombositopenia atau
anemia hemolitik. Membedakannya yaitu dengan kehadiran limfosit
atipikal dan titer virus yang meningkat. Demam dengan onset akut dan

limfadenopati pada mononucleosis sangat perlu dicurigai, begitu pula


dengan pertussis dan parapertusis dimana terjadi peningkatan leukosit
hingga 50.000 100.000/mm3 namun bukan sel limfosit leukemik.
Penyakit keganasan lain yang bermetastasis menyerang sumsum tulang
dan menyebabkan kegagalan sumsum tulang antara lain neuroblastoma,
rhabdomyosarkoma, retinoblastoma dan Ewing sarcoma. Sel sel pada
keganasan keganasan ini biasanya berkelompok dan tumor primer dapat
ditemukan.
Leukemia pada anak sendiri harus dibedakan antara LLA, LMA, LMK dan
myelodisplasia. Gangguan mieloproliferatif juga menjadi diagnosis
banding pada bayi sindrom Down dengan leukositosis dan left shift.
Leukositosis akibat respons terhadap infeksi dapat menjadi berlebihan
hingga mencapai diatas 50.000/mm3. Jika leukosit bukan merupakan sel
blas yang maligna, sindrom ini disebut reaksi leukemoid, sering terdapat
peningkatan myeloid imatur atau prekursor limfoid di dalam darah perifer.
Pada pemeriksaan sumsum tulang secara khas menunjukkan hyperplasia
myeloid dengan maturasi normal. Penyebab lain reaksi leukemoid adalah
penyakit granulomatosa, hemolysis berat, vaskulitis, obat obatan dan
adanya tumor yang metastasis ke sumsum tulang.
X.
PENATALAKSANAAN
Terapi leukemia limfositik akut dibagi menjadi beberapa fase3,
diantaranya ialah :
1.
Fase remisi induksi
2.
Fase intensif
3.
Terapi susunan saraf pusat
4.
Rumatan
Pada fase induksi remisi, tujuannya ialah untuk eradikasi sel leukemik dari
sumsum tulang untuk mencapai remisi komplit yaitu saat sel leukemia
tidak lagi tampak secara morfologis. Terapi LLA dengan 3 macam obat :
vinkristin setiap minggu, kortikosteroid (dexamethasone, prednisone) dan
L-asparginase. Hasilnya 98% penderita akan mengalami remisi komplit.
Pasien dengan resiko tinggi juga diberikan daunomycin setiap minggu.
Fase intensif dilakukan setelah mencapai remisi komplit dimana sel blas <
5% pada pemeriksaan sumsum tulang, trombosit > 100.000/mm3, Hb >
12 g/dl tanpa transfusi, leukosit >3000/mm3 dan pemeriksaan LCS
normal. Tujuan pada fase ini ialah menghancurkan sisa limfoblas dengan
cepat sebelum timbul resisten hingga pasien mencapai kondisi sembuh.
Fase induksi remisi dan intensif dilakukan sampai 4 minggu.
Terapi SSP bertujuan untuk mencegah relaps karena seringnya relaps
leukemia terjadi di saraf pusat, selain itu juga dilakukan pada pasien yang
ditemukan sel leukemia pada pemeriksaan lumbal pungsi. Diberikan
kemoterapi injeksi metotreksat intratekal pada lumbal pungsi dan
kemoterapi sistemik. Injeksi intratekal metotreksat sering dikombinasi
dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis
tinggi (3-5 g/mm2). Pada pasien dengan tanda klinis leukemia SSP perlu
pengobatan dengan radiasi otak dan medula spinalis.
Pada rumatan pasien diberikan merkaptopurin per hari dan metotreksat
per minggu secara parenteral selama 2 sampai 2,5 tahun.

Transplantasi sumsum tulang menjadi pengobatan leukemia yang paling


efektif, terutama pada kasus leukemia relaps yang tidak berespons
dengan pengobatan konvensional. Beberapa pendapat mengatakan lebih
efektif dilakukan transplantasi pada remisi pertama tetapi masih
diperdebatkan. Meskipun sangat efektif perlu diwaspadai reaksi graftversus-host atau bahkan graft-versus-leukemia.
Terapi LMA menggunakan obat cytosine arabinoside (ara-C) 100 200
mg/m2/hari IV selama 7 hari dan daunorubicin 45 mg/m2/hari selama 3
hari. Pada LMA jarang diberikan terapi SSP karena jarang relaps pada saraf
pusat. Pada LMA tipe M3 pengobatan dengan asam retinoat yang
dikombinasikan dengan antracycline dilaporkan sangat responsive
sehingga tidak diperlukan transplantasi sumsum tulang pada remisi
pertama.
Pada LMK imatinib mesylate dilaporkan efektif digunakan pada 70% pasien
dewasa, sedangkan pada anak digunakan hydroxyurea yang dapat
menurunkan leukosit secara bertahap sementara menunggu respons
imatinib. Mengingat bahaya dari krisis blas, transplantasi sumsum tulang
adalah satu satunya pengobatan yang dapat meradikasi sel leukemia.
Selain pengobatan kuratif, juga diperlukan pengobatan suportif seperti
hidrasi, alkalinisasi dan allopurinol untuk mencegah hiperuisemia akibat
kemoterapi yang dapat membahayakan ginjal. Kemoterapi juga sering
menyebabkan mielosupresi sehingga kadang transfuse eritrosit dan
trombosit juga diperlukan. Antibiotik dapat diberikan bila terdapat infeksi,
namun profilaksis harus diberikan untuk mencegah infeksi sekunder
khususnya pneumonia hingga beberapa bulan setelah pengobatan selesai.
XI.
KOMPLIKASI
Pada anak anak dengan leukemia yang mendapatkan kemoterapi, sel
yang lisis dalam jumlah besar akan menyebabkan hiperurisemia,
hyperkalemia dan hiperfosfatemia yang dapat menjadi nefropati, atau
gagal ginjal juga bisa karena infiltrasi langsung dari leukemia.
Myelosupresif dan imunosupresif yang disebabkan baik oleh penyakit
maupun kemoterapinya menyebabkan anak anak rentan terhadap
infeksi hingga sepsis. Trombositopenia akibat leukemia atau terapinya
akan bermanifestasi sebagai perdarahan pada kulit dan mukosa.
Gangguan koagulasi yang lebih jauh menimbulkan disseminated
intravascular coagulopathy. Pengobatan sistemik maupun sistem saraf
pusat dapat menyebabkan leukoensefalopati, mikroangiopati, kejang
maupun gangguan intelektual pada beberapa anak.
Hiperleukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit darah tepi
lebih dari 100.000/mm3. Ini ditemukan pada 9 13% dari LLA, 5 22%
dari LMA dan pada hampir semua anak dengan LMK fase kronik. Tindakan
antisipasi dimulai saat jumlah leukosit 50.000/mm3 dengan peningkatan
dosis kemoterapi yang perlahan dan pemberian hidroksiurea pada LMA
dan dexamethasone pada LLA. Untuk mengatasinya diperlukan tindakan
yang segera (emergency oncology) karena komplikasinya yang
mengancam jiwa, antara lain :
1.
Sindroma leukostasis

Penggumpalan sel blas pada arteri kecil yang membentuk agregat/trombi


terutama pada otak dan paru paru, lebih sering pada LMA karena ukuran
mieloblas lebih besar dari limfoblas dan sifatnya yang lebih kaku.
Leukostasis di otak menunjukkan tanda neurologis mulai dari pusing
hingga peningkatan tekanan intracranial. Leukostasis di paru
menimbulkan dyspnea, hipoksia dan gagal nafas. Pemberian leukoferesis
dapat menurunkan jumlah leukosit dengan cepat diikuti dengan
hidroksiurea (50-100 mg/kgBB). Oksigen adekuat dan koreksi jumlah
trombosit serta faktor pembekuan juga perlu dilakukan.3
2.
Sindroma lisis tumor
Akibat lisisnya sel leukemia setelah kemoterapi sehingga terjadi
hiperurisemia, hiperfosfatemia, azotemia dan hipokalsemia yang tidak
bisa diekskresi ginjal menimbulkan manifestasi gangguan metabolic.
Sindroma lisis tumor lebih sering terjadi pada LLA. Gagal ginjal dapat
terjadi bila asam urat serum lebih dari 20 mg/dl, perlu pemberian
allopurinol, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dan hidrasi yang
cukup. Natrium bikarbonat dihentikan bila pH urin > 7,5 karena bila
berlebihan justru menciptakan suasana basa yang memudahkan
pengendapan kalsium fosfat sehingga terjadi hipokalsemia. Sementara
hiperfosfatemia terus terjadi selama lisis dari sel tumor, dapat diberikan
insulin dan glukosa sebagai bahan pengikat fosfat. Hiperkalemia > 7,5
mEq/L harus diatasi segera dengan kayesalate (1 g/kg dicampur 50%
sorbitol, per oral). Ini dapat terjadi dari lisis sel tumor atau oliguria dari
hiperurisemia yang berdampak aritmia jantung sehingga perlu
pemeriksaan EKG.
XII.
PROGNOSIS
Penderita leukemia digolongkan menjadi resiko tinggi dan biasa
berdasarkan faktor prognostic yang telah ditetapkan. Prognosis LLA
semakin baik bila responsive terhadap pengobatan dimana dalam
pengobatan 1 minggu sel blas sudah tidak tampak pada darah tepid an
sumsum tulang.Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan prognosis
LLA adalah jumlah leukosit awal < 50.000/mm3, usia diantara 1 15
tahun, leukemia sel pre-B, jenis kelamin perempuan dan LLA hyperploid
(>50 kromosom). Faktor prognostic yang memperburuk prognosis pada
LMA ialah jumlah leukosit yang tinggi, sebanding dengan ukuran
splenomegaly, adanya koagulopati, induksi remisi yang lambat, usia < 2
tahun dan > 4 tahun dan leukemia monoblastik.
Sumber:
1.Kliegman MR, RE Bhermann, HB Jenson, The Leukemias in Nelson
Textbook of Pediatrics 18th Edition
2.Rudolph MA, JIE Hoffman, CD Rudolph, Leukemia in Rudolphs Pediatrics
20th Edition
3.Parmono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M,
Leukemia Akut; Kedaruratan Onkologi Anak dalam Buku Ajar Hematologi
Onkologi Anak 2010
4.Schwartz WM, Leukositosis dalam Pedoman Klinis Pediatri 2005
5.Hoffbrand VA, Pettit JE, Moss PAH, Leukemia Akut; Leukemia Mieloid
Kronik dan Mielodisplasia dalam Kapita Selekta Hematologi Edisi 4 2005

6.Hull D, Johnston DI, Leukemia Akut dalam Dasar Dasar Pediatri Edisi 3
2008
7.Green T, Franklin W, Tanz RR, Leukemia in Pediatrics Just the Facts 2005

Anda mungkin juga menyukai