Anda di halaman 1dari 4

Keutamaan Akhlak Siti Fatimah Az-Zahra

1. Keberanian Siti Fatimah Az-Zahra


Sejak masa kanak-kanak, dalam usia dini, Fatimah r.a telah memahami serangan yang
dilancarkan kaum Quraisy kepada ayahnya. Jika ayahnya bepergian, Fatimah mengikuti dan
menyertainya. Akhirnya, terjadilah suatu peristiwa yang takkan terlupakan. Suatu kali, ketika
ayahnya sedang sujud di Masjidil Haram, sedangkan disekelilingnya adalah kaum musyrikin
Quraisy datang membawa bangkai kambing. Dia melemparkan nya ke punggung Nabi saw,
Rasullullah tidak dapat mengangkat kepalanya hingga Fatimah datang dan menyingkirkan semua
bangkai itu tanpa ada rasa jijik sedikitpun dari punggung Rasullullah dan dengan lantangnya ia
menyebutkan orang yang telah melakukan perbuatan keji kepada Ayahnya.
Pasca wafatnya Rasulullah saw, umat Islam berada dalam situasi Islam berada dalam
situasi perselisihan yang amat kusial dan terancam pecah serta terjerumus dalam kesehatan.
Namun dengan pemikiran yang jernih, Sayyidah Fatimah membaca kondisi umat Islam saat itu
dengan penuh bijaksana, namun ia pun tak segan-segan untuk mengungkapkan titik lemah dan
kelebihan umat Islam di masa itu. Dia sangat menghawatirkan masa depan umat dan
memperingatkan masyarakat agar wasapada terhadap faktor-faktor yang bisa menyesatkan
umat. Dalam khotbah bersejarahnya, pasca kepergian Rasulullah saw, Sayyidah Fatimah as
menegaskan bahwa jalan yang bisa menyelamatkan manusia adalah berpegang diri pada agama
illahi dan menaati perintah-perintahnya.[5]
2. Pandai Menjaga Rahasia dan Dapat Dipercaya
Ketika panas badan Rasulullah saw sangat tinggi, Fatimah menjenguknya, Rasulullah
tidak bangun dan tidak lagi menciumnya. Beliau hanya memandangi saja dan tidak berkata apaapa. Disebabkan itu, Fatimahlah yang mencium beliau. Dalam keadaan demikian payah, beliau
masih sempat berkata kepada Fatimah supaya duduk disamping beliau. Rasulullah saw berkata
kepada Fatimah dengan berbisik-berbisik dikuping sebelah kanannya, bahwa wahai
Fatimah, sudah sampai masanya untuk baginda mengadap Tuhan Fatimah pun menangis dan
sangat sedih. Setelah Rasulullah saw melihat Fatimah menangis, beliau berkata lagi kepadanya
dengan berbisik-bisik dikuping sebelah kirinya, bahwa ia adalah orang yang pertama yang akan
menyusuli baginda, sehingga Fatimah tersenyum. Melihat Rasulullah saw berbisik-bisik dengan
putri beliau, Aisyah yang senantiasa mendampingi beliau merasa curiga karena ia tidak tahu apa
yang beliau bisikan kepada putri beliau itu.
Disebabkan hal itu, bertanyalah Aisyah kepada Fatimah, Hai Fatimah, apakah yang telah
dibisikkan Rasulullah saw kepadamu? Fatimah menjawab, Aku tidak akan membuka suatu
rahasia yang beliau perintahkan kepadaku, dan menyuruhku untuk menyimpannya baik-baik.
3. Memiliki Jiwa Tanggung Jawab yang Tinggi
Selepas kepergian sang ibunda, membuat tanggung jawab Sayyidah Fatimah untuk
merawat ayahandanya, Rasulullah saw kian bertambah. Di masa-masa yang penuh dengan
cobaan dan tantangan itu, Sayyidah Fatimah menyaksikan secara langsung pengorbanan dan
perjuangan yang di lakukan ayahandanya demi tegaknya agama illahi.
Begitu juga dengan masa-masa awal pernikahannya dengan Imam Ali as saat berada di
Madina. Dimasa itu, Sayyidah Fatimah juga melewati masa-masa sulit peperangan dengan kaum
musyrikin. Ia pun selalu menjadi tumpuan hati Imam Ali di masa-masa yang kritis saat itu. Saat
suaminya pergi ke medan laga, ia menangani seluruh urusan rumah tangganya, merawat dan
mendidik putra-putrinya sebaik mungkin.[6] Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, ia
senantiasa berusaha menjadi pendamping yang selalu tulus mendukung perjuangan Rasulullah,
dan suaminya, Imam Ali as dalam menegakan ajaran Islam.

Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia
senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri
Ali as, beliau selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah
tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya. Demikian pula ketika beliau
menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan,
keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia.
4. Kelembutan Hatinya
Pada suatu ketika lain, Siti Fatimah r.a menyaksikan ayahandanya pulang dengan tubuh
penuh dengan kotoran kulit janin unta yang baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau
najis ke punggung Rasulullah SAW itu adalah Uqbah bin Muaith, Ubay bin Khalaf dan
Umayyah bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlumuran najis, Siti Fatimah r.a segera
membersihkannya dengan air sambil menangis.
Pada suatu hari Siti Fatimah Az Zahra r.a menyaksikan ayahnya pulang dengan kepala
dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Quraisy, di saat
ayahandanya sedang sujud. Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu, Siti Fatimah r.a
segera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air untuk
mencucinya. Dia menangis tersedu-sedu menyaksikan kekejaman orang-orang Quraisy terhadap
ayahnya. Membuat anaknya bersedih luar biasa.
Nabi Muhammad rupa-rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Quraisy itu sudah
keterlaluan. Kerana itulah maka pada waktu itu baginda memanjatkan doa ke hadrat Allah SWT:
Ya Allah, celakakanlah orang-orang Quraisy itu. Ya Allah, binasakanlah Uqbah bin Muaith, ya
Allah binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf.
Masih banyak lagi pelajaran yang diperolehi Siti Fatimah dari penderitaan ayahandanya
dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya
untuk menghadapi masa mendatang yang berat dan penuh ujian. Kehidupan yang serba berat dan
keras di kemudian hari memang memerlukan kekuatan jiwa dan mental.
5. Kerendahan Hatinya
Jiwa dan kepribadian Fatimah mengenal konsepsi kehidupan yang paling luhur di rumah
wahyu, di sisi pribadi agung Rasulullah sa. Setiap kali Rasulullah memperoleh wahyu, dengan
penuh seksama Sayyidah Fatimah mendengarkan ajaran hikmah yang disampaikan oleh sang
Ayah kepadanya. Sebegitu mendalamnya cinta kepada Allah swt. Ketika Rasulullah saw berkata
kepadanya, Wahai Fatimah, apapun yang kamu pinta saat ini, katakanlah. Sebab Malaikat
pembawa wahyu disisiku. Namun Fatimah menjawab,Kelezatan yang aku peroleh dari
berhikmat kepada Allah, membuat diriku tak menginginkan apapun kecuali agar aku selalu bisa
memandang keindahan Allah swt.[7]Dunia tidak ada apa-apanya.
Fatimah puteri Rasulullah adalah seorang wanita mulia yang menempuh berbagai ujian
yang memerlukan pengorbanan yang cukup besar dalam hidupnya. Walaupun beliau adalah
puteri Rasulullah, namun hidupnya bukannya disaluti kemewahan dan kesenangan, tetapi
kemiskinan dan kesusahan. Apabila berkahwin dengan Saidina Ali, kehidupannya tetap susah.
Walaupun Rasulullah pemilik kepada seluruh kekayaan di muka bumi tapi baginda tidak pernah
mendidik anaknya dengan kemewahan.
6. Kedermawanannya

Sewaktu menjadi isteri Sayyidina Ali, Siti Fatimah menguruskan sendiri keperluan rumah
tangganya. Sayyidina Ali sering tiada kerana keluar berjuang bersama Rasulullah SAW. Setiap
hari, Siti Fatimah mengangkut air dari sebuah perigi yang jauhnya dua batu dari rumahnya.
Beliau mengisar tepung untuk keperluan makanan keluarganya. Dalam serba susah dan miskin,
beliau tetap ingin bersedekah walaupun hanya dengan sebelah biji kurma. Siti Fatimah tidak
pernah mengeluh atau menyalahkan suaminya terhadap kesusahan yang terpaksa dihadapinya.
Beliau adalah ahli infak yang senantiasa bersedekah dan sanggup berkorban apa saja.
Contohnya, pernah suatu ketika, ada seorang yang datang berada didepan rumahnya.[8] Karena
tidak memiliki apa-apa, tanpa pikir panjang sayyidina Fatimah memberikan pakaian
pengantinnya kepada orang itu. Beliau tidak pernah menolak untuk membantu dari segi harta
kepada orang-orang yang memerlukan dan telah menjadi kebiasaan untuk hidup sederhana dan
jauh dari kesenangan dan kekayaan, serta menjalani hidup dengan keindahan akhlak, kasih
sayang dan kerjasama.
7. Kesabaran yang Tinggi
Ketika masih kanak-kanak, Siti Fatimah Az Zahra r.a sudah mengalami penderitaan,
merasakan kehausan dan kelaparan. Dia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan
menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun, dia bersama ayah bundanya hidup
menderita dibuang daerah akibat pemboikotan orang-orang kafir Quraisy terhadap keluarga Bani
Hasyim.
Setelah bebas penderitaan setelah 3 tahun diboikot, datang pula ujian berat atas diri Siti
Fatimah Az Zahra r.a, apabila wafatnya ibunda tercinta, Siti Khadijah r.a. Perasaan sedih selalu
saja menyelubungi hidup sehari-harinya dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang
ibu.
Fatimah tidak menyesali diri atau menceritakan kepada ayahnya tentang penderitaan yang
dialami di rumah suaminya. Fatimah adalah seorang ibu yang utama dan istri yang taat lagi
sabar. Dia mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya dan menumbuhkan mereka dengan
sempurna. Siang hari bekerja dan malam hari berjaga hingga dia mempersembahkan untuk umat
manusia pemuda terbaik ahli surga, yaitu Hasan dan Husain.[9]
8. Sosok yang sangat Pemalu
Saat itu, Fatimah sedang menggiling gandum dalam keadaan letih dan jemu. Sayyidina
Ali pun tidak tega melihatnya dan segera Ali menyuruhnya kerumah sang Ayah agar ia diberi
seorang pelayan untuk membantu istrinya dirumah dan Ali tidak mau melihat sang istri letih.
Fatimah pun bangkit dan merapikan kerudungnya. Berangkatlah ia menuju rumah ayahnya
dengan langkah perlahan dan hati-hati. Rasulullah pun melihatnya dengan penuh gembira lalu
bertanya hai anakku ada apa ? Fatimah menjawab, Aku datang hanya untuk menyampaikan
salam kepadamu. Rasa malu menahannya untuk menyampaikan keperluan yang karenanya dia
menemui Ayahnya. [10]
Fatimah kembali kerumahnya dan menyampaikan kepada suaminya bahwa ia malu untuk
meminta sesuatu kepada ayahnya. Fatimah adalah manusia yang sangat pemalu dan paling dekat
dengan kalbunya.
9. Sangat Menjaga Maruahnya
Sifat pemalu dan kesucian sayyidinah Zahra menjadi buah mulut semua orang. Walaupun
apabila berdepanan dengan orang buta dia tetap memelihara hijabnya. Contoh, dihadapan lelaki
buta, Sayyidina Fatimah sangat melindungi dan memelihara maruahnya. Rasul Allah bertanya

kepadanya, mengapa anda berhijab, sedangkan orang itu buta ? Fatimah memberi respon
dengan berkata, walaupun dia tidak nampak melihat saya, tetapi saya melihatnya, serta dia
boleh mencium bauku. Rasulullah pun bersabda, saya naik sak[11]si bahwa kamu adalah
cebisan dari diriku.
Amru bin Dinar meriwayatkan dari Aisyah berkata : tidak pernah aku melihat seseorang
pun yang lebih benar daripada Fatimah sallamullaalaihi selain daripada Ayahnya.
10. Kemuliaan Hatinya
Pada suatu hari Siti Fatimah berada dirumahnya, tiba-tiba ketika itu Rasulullah SAW
datang kerumah Siti Fatimah. Ketika itu Siti Fatimah memakai seuntai kalung emas pemberian
suaminya Ali bin Abi Thalib. Ketika Rasulullah melihat kalung itu, lalu Nabi SAW bersabda,
Hai anakku aakah engkau bangga disebut orang sebagai Putri Muhammad, sedangkan engkau
sendiri memakai jaababirah (perhiasan yang biasa dipakai oleh putrid bangsawan) ?. ketika itu
juga Siti Fatimah langsung melepaskan kalungnya itu, dan menjualnya. Hasil dari harga kalung
tersebut ia gunakan untuk membeli seorang hamba dan hamba tersebut dimerdekakan. Ketika
Rasulullah mendengar berita tersebut Nabi SAW amat bergembira dan mendoakan Siti Fatimah
sekeluarga.

Anda mungkin juga menyukai