PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Definisi
Oftalmia Simpatika merupakan suatu inflamasi traktus uveal bilateral yang spesifik
akibat dari iritasi kronis dari satu mata, disebabkan oleh luka perforasi pada mata atau bedah
intraokular, menyebabkan uveitis yang berpindah pada mata yang disebelahnya. Oftalmia
Simpatika adalah suatu kondisi pada mata yang jarang terjadi, dimana pada mata yang
semula sehat (sympathising eye), terjadi suatu peradangan pada jaringan uvea setelah cedera
penetrasi pada salah satu mata (exciting eye) oleh karena trauma atau pembedahan. Gejalagejala dari peradangan pada mata yang tidak mengalami trauma akan terlihat biasanya dalam
waktu 10 hari sampai beberapa tahun setelah cedera. 1,2
Peradangan pada mata muncul dalam bentuk uveitis granulomatosa yang bilateral.
Biasanya exciting eye ini tidak pernah sembuh total dan tetap meradang paska trauma, baik
trauma tembus akibat kecelakaan ataupun trauma karena terapi pembedahan mata.
Peradangan yang berlanjut pada exciting eye tampak berkurang dengan penggunan steroid
tetapi pada prinsipnya proses peradangan jaringan uvea masih tetap berjalan terus. Tanda
awal dari mata yang sympathising eye adalah hilangnya daya akomodasi serta terdapatnya sel
radang di belakang lensa. Gejala ini akan diikuti oleh iridosiklitis subakut, serbukan sel
radang dalam vitreous dan eksudat putih kekuningan pada jaringan di bawah retina. 3,4
2. 2. Epidemiologi
Kebanyakan kasus oftalmia simpatika diikuti oleh trauma bola mata pada
bagian uvea, terutama badan silier. Trauma karena kecelakaan diperkirakan mencapai
65% kasus, dan 25% karena luka operasi. Liddy dan Stuart melaporkan 0,19%
disebabkan oleh trauma tembus dan 0,007% karena pembedahan intraokuler.
Oftalmia simpatika lebih banyak terjadi karena trauma. Pada pasien tua juga memiliki
2
risiko yang tinggi terkena karena pembedahan intraokuler lebih banyak dilakukan
pada pasien tua. Ras dan jenis kelamin tidak berpengaruh pada penyakit ini.
Prosedur pembedahan yang paling sering menyebabkan oftalmia simpatika
adalah ekstrasi katarak (bila terjadi komplikasi), pembedahan iris (termasuk
iridektomi), perbaikan perlengketan retina, bedah vitreoretinal. Beberapa jenis
pembedahan lain yang dapat menyebabkan terjadinya oftalmia simpatika antara lain
parasintesis siklodialisis, keratektomi, dan risiko terjadi oftalmia simpatika meningkat
apabila pembedahan mata diikuti dengan pembedahan yang lain, terutama pada
segmen posterior bola mata. Kejadian oftalmia simpatika postvitrektomi diperkirakan
mencapai 0,01%.
Hanya sedikit kasus oftalmia simpatika yang disebabkan bukan karena
trauma pada mata.
2. 3. Etiologi
dapat
sampai
ke
koroid
dan
merupakan
peradangan
uvea
granulomatosa, penyebabnya :
1. Luka pada kecelakaan atau operasi, kalau pada luka itu terselip jaringan iris, badan
siliar, atau kapsula lentis. Pada trauma kecelakaan, oftalmia simpatika terutama
terjadi, bila badan siliar terluka.
2. Benda asing intraorkuler. Karena itu kita harus selalu mengusahakan mengeluarkan
benda asing dari mata. Bila merupakan benda magnetic, dapat dikeluarkan dengan
magnit, setelah terlebih dahulu dibuat luka di sclera, jika letak benda asing itu
didalam bola mata. Bila tidak dikeluarkan, sebaiknya mata itu di enukleasi, untuk
menghindarkan terjadinya oftalmia simpatika pada mata yang sebelahnya, yang
dapat menyebabkan kebutaan.
3. Perforasi ulkus kornea
4. Kadang-kadang tak terdapat perforasi, hanya ulkus saja, tetapi timbul juga oftalmia
simpatika. Terjadinya sangat jarang.
2. 4. Patogenesis
Walaupun oftalmia simpatika belum diketahui secara pasti, para dokter
mempunyai dugaan yang dapat menjelaskan bagaimana trauma pada satu mata dapat
menyebabkan inflamasi pada kedua mata. Mata yang cidera (terangsang) mula-mula
meradang dan mata sebelahnya (yang simpatik) meradang kemudian. Secara
patologik, terdapat uveitis granulomatosa difus. Sel-sel epiteloid, bersama sel raksasa
dan limfosit, membentuk tuberkel tanpa perkejuan.
Beberapa mekanisme tubuh yang diduga terlibat dalam terjadinya oftalmia
simpatika antara lain :
Berbagai macam teori telah dicetuskan, namun yang paling diterima adalah teori
alergi, yang menyebutkan bahwa pigmen yang berasal dari uvea mata yang mengalami
trauma bertindak sebagai alergen yang memicu terjadinya uveitis pada mata yang sebelahnya.
Setelah luka penetrasi pada mata atau prosedur operasi, antigen okular akan
berpindah ke dalam mata di dekat bagian belakang bloodretinal barrier sehingga menjadi
terdeteksi terhadap imunitas sistemik. Mata tidak mempunyai sistem limfatik yang
menghalangi antigen okular untuk mencetuskan respon imun lokal. Sebaliknya, antigen
precenting cells (APC)perifer, seperti makrofag dan sel dendritik, akan memfagositosis
antigen okular yang terpapar di daerah luka. Komponen protein diproses menjadi peptida
antigenik untuk presentasi HLA class II kepada CD4+ helper T cells di nodus limfa perifer
atau spleen.
Mata yang mengalami luka penetrasi akan menggangu blood retinal barrier yang
mengakibatkan antigen okular masuk ke dalam lingkungan sistemik. APC perifer seperti
makrofag dan sel dendritik, yang dirangsang oleh kerusakan jaringan dibawa ke daerah yang
rusak dimana mereka akan memfagositosis antigen ocular.
APC perifer tadi akan memproses protein yang difagositosis menjadi antigen peptida
yang akan dipaparkan reseptor HLA class II dimana nantinya akan dideteksi oleh antigenspecific CD4+ helper T cells. Secara normal tidak ada CD4+ helper T cells yang mengenali
peptida protein okular melihat autareactive T cellakan dihapuskan di thymus. Namun, dalam
hal tertentu,
autareactive T cell dapat terlepas dari thymus atau peptida tadi dapat
menyerupai peptida yang sama yang dijumpai sebelumnya melalui infeksi dengan patogen
(molecular mimicry). , Autareactive T cell yang respon terhadap peptida antigenik ocular,
akan berkembang secara klonal dan bermigrasi ke bagian yang mengalami inflamasi. HLA
class II seperti DRB1*0404, DRB1*0405 dan DQA1*03 mempunyai hubungan dengan
simpatetik oftalmia yang menandakan mekanisme autoimun CD4+ helper T cells.
Sel-sel imun yang teraktivasi akan mengupregulasi reseptor permukaan sel yang
memperbolehkan mereka untuk melakukan ekstravasasi dari sirkulasi darah masuk ke dalam
jaringan yang mengalami inflamasi. Sel endotelial vaskular juga mengupregulasi ligand
untuk reseptor tersebut agar mempermudah proses ini bila dirangsang oleh sitokin-sitokin
inflamasi seperti IL-1 dan TNF-alfa. CD4 helper T cells yangautoreaktifmempenetrasi bloodretinal barrier pada mata yang rusak dimana ia mendeteksi antigen okular imunogenik dan
mencetuskan respon imun pro-inflamatorik. Pelepasan sitokin akan membawa lagi sel imun
dan akan meningkatkan respon imun pada mata dan menyebabkan kerusakan yang immunemediated. Kemudian, infiltrasi CD4 helper T cells yang autoreaktif dapat merangsang
inflamasi pada mata yang tidak rusak (sympathising eye), kemungkinan kerusakan
disebabkan oleh reseptor membran pada sel endotelial vaskular lokal yang diakibatkan oleh
ransangan sitokin sistemik.
5
CD4 helper T cells yang autoreaktif akan memfiltrasi sel yang tidak rusak
(sympathising eye) dan mencetuskan respon imun terhadap antigen okular imunogenik yang
sebelumnya dideteksi oleh mata yang cedera. Hal ini mungkin disebabkan oleh sitokin (IL-1
dan TNF-alfa) yang dipicu oleh upregulasi reseptor permukaan sel endotelial vaskular pada
mata yang tidak cedera sympathising eyeyang meransang ekstravasasi sel imun perifer. Sel
T yang teraktivasi juga akan mensekresikan sitokin yang akan membawa sel-sel imun
tambahan seperti APC yang akan menerima antigen okular dan meransang T sel autoreaktif
yang baru. Kerusakan akibat imun ini tidak hanya dapat menyebabkan kebutaan pada
symphathetic eye sehingga terapi harus dimulai secepatnya.
Pada Oftalmia Simpatika, terjadi agregasi nodul limfosit, sel plasma, sel epitel, dan
sel raksasa di sekitar sistem uvea. Proliferasi dari pigmen epitelium (iris, badan siliar, dan
koroid) yang diikuti dengan invasi dari limfosit dan sel epiteloid membentuk suatu nodul
yang disebut dengan Dalen-fuchs nodules (gambar 2.2) yang dapat dilihat pada lapisan
koroid. Oleh karena reaksi yang terjadi pada simpatik oftalmia, maka akan terbentuk suatu
deposit di lapisan kornea yang disebut dengan mutton-fat keratic precipitates (gambar 2.3).
Retina menunjukkan suatu infiltrasi seluler perivaskular (simpatetik perivaskulitis).
2. 5. Gambaran Klinis
Oftalmia simpatika dimulai setelah periode laten cidera mata. Secara umum,
65% kasus oftalmia simpatika terjadi setelah 10 hari sampai beberapa tahun setelah
trauma mata, dan 90% terjadi pada 1 tahun pertama setelah trauma mata. Oftalmia
simpatika juga pernah dilaporkan pernah terjadi 5 hari setelah trauma mata.
Pencegahan utama oftalmia simpatika adalah dengan melakukan enukleasi bola mata
yang terkena trauma (exciting eye), sebaiknya dilakukan secepatnya, paling lama 2
minggu setelah trauma.1,2
Gejala awal yang dialami adalah seperti gangguan akomodasi dan fotofobia, lalu
akan timbul gangguan visus dan nyeri. Gambaran klinis Oftalmia Simpatika dibagi menjadi
dua, yaitu pada mata yang mengalami trauma (exciting eye), dan mata yang lain yang semula
sehat (sympathising eye).
1. Exciting Eye (mata yang mengalami trauma)
Terlihat tanda-tanda uveitis, yang meliputi kongesti siliar, lakrimasi, dan nyeri tekan,
serta pada pemeriksaan kornea akan terlihat suatu gambaran keratik presipitat
dibagian endotel kornea.
2. Sympathising Eye (mata yang semula sehat)
Gejala biasanya muncul dalam jangka waktu 4 sampai 8 minggu setelah trauma pada
mata yang lain. Pernah dilaporkan terjadinya Oftalmia Simpatika dalam waktu 9 hari
setelah terjadinya trauma. Mata yang mengalami
Oftalmia Simpatikaakan
menipis)
presipitat keratik putih
pada iris terdapat nodul infiltrasi, sinekia anterior perifer, neovaskularisasi
(Dalen-Fuchs nodul)
penipisan dan infiltrasi koroid
Adanya Dalen-Fuchs nodul merupakan tanda klasik oftalmia simpatika,
nodul tersebut akan muncul di bagian mana saja dari fundus okuli tetapi yang paling
sering pada bagian pertengahan perifer. Merupakan lesi putih kekuningan, diameter
60 70 mikron, ditemukan pada ruangan subretinal pada satu dari tiga kasus.
2. 6. Gambaran Histopatologi
Gambaran histopatologi oftalmia simpatika pertama kali dideskripsikan oleh
Fuchs pada tahun 1905, terdiri dari difusa, uveitis granulomatosus dengan infiltrasi
limfositik massif dan sarang makrofag, sel epiteloid, sel raksasa multinukleasi pada
kedua mata, baik mata yang terangsang maupun maya yang simpatika. Inflamasinya
adalah nekrotisasi, dan sel epiteloid terlihat menutupi pigmen melanin.
Mata yang terangsang berbeda dengan mata yang simaptika hanya
berdasarkan bukti yang ditemukan dan komplikasi dari trauma dan pembedahan.
Nodul terdiri dari makrofag, sel epitel, dan sel epitel pigmen retina yang terjadi antara
membrane Bruchs dan epitel pigmen retina (Nodul Dahlen-Fuchs). Eosinofil
mungkin ditemukan di uvea, terutama pada kasus awal. Proses inflamasi terjadi pada
bagian koriokapilaris dan retina, dan uvea posterior lebih sering terkena daripada
uvea anterior. Diagnosis patologis tergantung pada infiltrasi limfosit sel T
predominan pada uvea, fagositosis awal dari granula pigmen, dan adanya nodul
Dalen-Fuchs.
Gambar 6. Penebalan uvea, sel inflamasi pada kasus oftalmia simpatika (pewarnaan
hematoxylin-eosin)
Gambar 7. Infiltrate uvea, menunjukkan inflamsi granulose kronik yang terdiri dari
limfosit, sel epiteloid, dan sel raksasa multinukleasi (pewarnaan hematoxylin-eosin)
10
Infiltrate uvea terdiri dari sel T, memperkuat konsep dari reaksi imun selmediasi (hipersensitivitas tipe lambat). Pada permulaan penyakit, sebagian besar sel T
adalah sub bagian penolong/penginduks, kurang dari 5% sampai 10% dari sel
bercirikan sel B, sel plasma, atau monosit. Pada keadaan kronis ditemukan dominan
Sel T supresor/sitotoksik. Perubahan sel T penolong pada fase akut menjadi sel T
supresor/sitotoksik juga terlihat pada penelitian terhadap uveitis autoimun.
Perubahan histopatologis yang sangat spesifik pada oftalmia simpatika
adalah nodul Dalen-Fuchs, yang merupakan kluster dari sel epitel antara epitel
pigmen retina (RPE) dan membrane Bruchs. Lesi ini selalu berpigmentasi, terutama
pada penyakit kronis.
Metaplasi sel dari RPE, limfosit, dan sel raksasa biasanya ditemukan pada
struktur nodul. Pada tahap akhir oftalmia simpatika, degenerasi RPE merupakan
komponen terpenting nodul.
Reaksi zona granuloma terhadap lensa (phacoanaphylactic endophthalmitis,
phacoantigenicuveitis, lens-induced uveitis) sering ditemukan pada oftalmia
simpatika.
11
2.7.
Diagnosa
Tidak ada tes yang khusus untuk mengidentifikasi Oftalmia Simpatika.
Namun riwayat trauma pada mata dan operasi dikombinasi dengan penemuan
inflamasi pada kedua mata menjadikan diagnosis simpatik oftalmia adalah mungkin.
Riwayat lengkap berserta pemeriksaan oftalmologi yang teliti seperti pemeriksaan
visus, tekanan mata, pemeriksaan inflamasi di mata. Tes khusus seperti fluorescein
angiography, ERG, EOG, indocyanine green angiography, atau ultrasonografi
mungkin dilakukan. Pemeriksaan darah rutin, foto toraks mungkin dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit lain yang akan menimbulkan manifestasi yang serupa seperti
Oftalmia Simpatika seperti Vogt-Koyanagi-Harada disease, sarcoidosis, intraocular
lymphoma, and the white dot syndromes.5,9
2. 8.
Diagnosa Banding10
2. Sarcoidosis
Penyakit yang mengenai jaringan lymphoid dimana memiliki gejala nyeri
pada bola mata, fotophobia,mata merah, uveitis granulomatosa atau dapat
terjadi non garanulomatosa,terbentuk mutton fat keratic precipitate,terdapat
Busacca nodules pada stroma iris dan Koeppe nodules pada pinggir pupil.
3. Penyakit Bechet
Merupakan kelainan multisistem idiopatik yang memiliki gambaran klinis
sistemik dan uveitis.Sering diasosiasikan dengan adanya hipersensitivitas dan
ekspresi dari HLA. Gambaran klinis yang paling sering adalah ulkus oral,
ulkus genital, lesi pada kulit, lesi pada mata, tes pathergy positif. Sedangkan
pada mata sendiri, dapat terjadi panuveitis nongranulomatosa bilateral yang
berat.
2. 9.
Penatalaksanaan
1. Profilaksis
Eviserasi dan enukleasi merupakan pilihan sebagai tindakan profilaksis
simpatik oftalmia.
Pada kenyataannya, kedua terapi ini membawa hasil yang sama
baiknya, tetapi pemilihan terapi pada simpatik oftalmia sebaiknya juga
mempertimbangkan nilai estetika tidak hanya nilai kuratif. Dengan
pertimbangan inilah dianggap bahwa eviserasi merupakan pilihan yang lebih
baik pada pasien yang berpotensi untuk timbul simpatik oftalmia paska
trauma, kecuali didapati hal yang menjadi indikasi dilakukan enukleasi seperti
berikut:11
a. Mata terkena trauma penetrasi yang hebat
b. Terdapat jaringan uvea yang prolaps
13
c. Epifora dan injeksi perikorneal yang tetap ada setelah 14 tahun dan
tanpa perbaikan
d. Adanya benda asing
Eviserasi pada mata yang rusak dapat menghindari timbulnya simpatik
oftalmia jika dilakukan dalam waktu 9 sampai 14 hari setelah cedera atau
operasi, tetapi jika hal ini menetap, atau selama 2 minggu tidak terdapat
perubahan dan timbul keluhan yang semakin berat pada mata yang
sebelumnya sehat, enukleasi sebaiknya dilakukan karena ini menunjukkan
proses inflamasi masih terus berlangsung pada mata yang rusak.11
2. Simptomatis
Pemberian kortikosteroid secara sistemik kemudian diteruskan dengan
pemberian kortikosteroid dosis maintenance dengan tapering off. Pemberian
preparat ini dapat menekan inflamasi namun pada pemakaian jangka panjang
bisa menyebabkan kenaikan drainase yang bisa menimbulkan katarak
posterior. Pemakaian secara topikal bisa menaikkan tekanan intraokular
sehingga dapat menyebabkan terjadinya glaukoma sekunder.9
Pengobatan Oftalmia Simpatika meliputi obat sikloplegia, steroid
tipikal, dan prednison tablet.Dosis kortikosteroid awal 1-1,5 mg/kg/hari atau
maksimal 60 mg. Setelah kondisi terkontrol, dosis dapat diturunkan (tapering
off) sampai dosis maintainance (10mg) selama sekurang-kurangnya 3 bulan
dimana kesuksesan terapi harus dievaluasi. Jika sukses, terapi akan diteruskan
dengan dosis 10mg/hari. Obat-obat imunosupresif seperti siklosporin,
methotrexate, azathioprine, mycophenolate atau siklofosfamid digunakan bila
kortikosteroid menjadi tidak efektif mengontrol inflamasi atau bila dosis
prednison yang diperlukan untuk mensupresi inflamasi lebih tinggi dari
10mg/hari.2,9
Enukleasi pada mata yang rusak dapat mencegah Oftalmia Simpatika
jika dilakukan dalam waktu 9 sampai 14 hari setelah cedera atau operasi.
14
2. 11. Prognosis
Oftalmia simpatika merupakan penyakit serius yang dapat menyebabkan
kemampuan visual yang sangat buruk tanpa adanya intervensi teraupetik, dapat
menyebabkan kebutaan pada dua mata. Apabila diagnosis awal dan terapi tepat,
pasien dengan oftalmia simpatika memiliki kesempatan untuk mempertahankan
kemampuan visualnya tetap baik. Apabila dilakukan enukleasi awal pada mata yang
terkena dan diberikan terapi kortikosteroid, prognosis pasien oftalmia simpatika lebih
baik, kemampuan penglihatan dapat tetap dipertahankan.
15
BAB 3
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Trauma Mata. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI:
Jakarta. 2005. Hal 177, 259
2. Eva P.R & Whitcher J.P. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology. 17th Edition.
McGraw-Hill Companies. 2007.
3. Galloway P.H, Galloway N.R, & Browning A.C. Common Eye Disease and Their
Management. 3rded. Springer-Verlag. 2006.p132-133, 143-144.
4. Lang G.K. Ophtalmology: A Short Textbook. Georg Thieme Verlag.2000 Stuttgart,
Germany. p214-215.
5. Wijana, Nana. Ilmu Penyakit Mata.
6. Chan C.C. Sympathetic Ophthalmia. American Uveitis Society. 2002.Diunduh
darihttp://www.uveitissociety.org/pages/disease/so.html(Diakses26 maret 2015)
7. Khurana A.K. Comprehensive Ophthalmology. 4thed. New Age International (P) Ltd.,
Publishers. 2007. p413-414
8. Ward T.P. Sympathetic Ophthalmia. Uniformed Services University of the Health
Sciences. Bethesda, Maryland. 1999. P265-279
17
of
Ophthalmology
Nepal.
2011.
Diunduh
dari :http://www.nepjol.info/index.php/NEPJOPH/article/view/5274/4384(Diakses 26
maret 2015)
18