Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
petunjuknya penyusun dapat menyelesaikan yang berjudul MIOMA UTERI ini
tepat pada waktunya.
Tugas ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di
bagian ilmu kandungan dan kebidanan RSUD H.KUMPULAN PANE Pada
kesempatan ini penyusun mengucapkan terimakasih kepada dr. Teuku Jeffrey
Abdillah, Sp OG selaku dokter pembimbing dalam kepaniteraan klinik ini dan
rekan-rekan koass yang ikut memberikan bantuan dan semangat secara moril.
Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih terdapat kekurangan
dan kesalahan, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
dari semua pihak. Semoga ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan
dalam bidang ilmu kandungan dan kebidanan khususnya dan bidang kedokteran
pada umumnya.
Penyusun
Irfi ibrahim musa
SEKSIO SESARIA
A. Definisi
Suatu persalinan buatan, di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada
dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh serta
berat janin di atas 500g.(1)
B. Sejarah
Operasi seksio sesarea yang dikenal dalam obstetri modern, mempunyai
perjalanan sejarah yang panjang dan menarik. Seksio sesarea, sering dihubungkan
dengan nama Julius Caesar, yang diperkirakan lahir dengan jalan operasi.(6,7)
Pada saat permulaan operasi seksio sesarea, luka operasinya tidak dijahit
sehingga mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh perdarahan dan infeksi.
Pada tahun 1869 Lebas melakukan jahitan pada waktu melakukan seksio sesarea,
untuk mengurangi kematian karena perdarahan dan infeksi. Tindakan tersebut
mendapat tentangan karena dianggap tidak lazim.
Untuk menghindari kematian karena infeksi, Porro (1876) dari Italia
melakukan seksio sesarea dan diikuti dengan histerektomi, menempatkan serviks
di luka insisi abdomen bagian depan, sehingga mengurangi perdarahan. Gagasan
Porro sampai saat ini masih dipergunakan meskipun dengan indikasi terbatas,
untuk menghindari infeksi sepsis.
Dalam waktu yang hampir bersamaan Kehrer (1881) dan Sanger (1882)
melakukan seksio sesarea dengan insisi membujur pada dinding rahim. Sekalipun
Kehrer telah melakukan operasi terlebih dahulu, tetapi teknik operasi dengan
insisi membujur dikenal dengan nama metode klasik menurut Sanger. Lebih lanjut
Kehrer melakukan modifikasi insisi di bagian bawah, sehingga Kehrer dianggap
sebagai father of lower segment operation.(6)
C. Epidemiologi
Pada tahun-tahun terakhir ini kelahiran sesarea meningkat tajam, sebagian
besar karena meluasnya pengenalan gawat janin yang jelas maupun yang masih
merupakan dugaan, yang makin dapat dipertegas. Kemungkinan sebab lain adalah
peningkatan frekuensi seksio sesarea adalah penurunan paritas pada kebanyakan
wanita hamil. Hampir separuh wanita hamil adalah nullipara, dengan demikian
dapat diperkirakan meningkatnya tindakan seksio sesarea pada keadaan-keadaan
yang memang lebih sering dijumpai pada wanita nullipara, terutama hipertensi
dalam kehamilan.
Dari pertengahan tahun 1960an sampai awal 1980an, frekuensi seksio
sesarea meningkat dari di bawah 5% menjadi lebih dari 15% (Morrison dkk,
1982). Frekuensi kelahiran sesarea di Parkland Memorial Hospital adalah 4,4% di
tahun 1964, sedang tahun 1983 sebesar 18,3%.
Bottons dan kawan-kawan (1980) menyebutkan peningkatan angka seksio
sesarea ini sebagai penyebab keprihatinan nasional. Dari analisis yang dilakukan
secara terpisah terhadap 123.837 kelahiran yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit
yang melaporkan indikasi seksio sesarea dengan cara yang sama, mereka
menggolongkan alasan-alasan kelahiran sesarea dalam 5 kategori: (1) distosia
(33,4%), (2) bekas seksio sesarea (23,1%), (3) letak sungsang (18,8%), (4) gawat
janin (13,2%), dan (5) indikasi lain (11,2%).
Apapun indikasinya, peningkatan frekuensi seksio sesarea diikuti dengan
penurunan absolut pada kematian perinatal. Walaupun memang peningkatan
frekuensi seksio sesarea berperan dalam menurunkan kematian perinatal, namun
banyak faktor-faktor lain yang berperan, misalnya membaiknya perawatan
antenatal, pemantauan denyut jantung janin secara elektronik, dan kemajuankemajuan perawatan neonatal. (1)
World Health Organization (WHO) memperkirakan angka kejadian seksio
sesarea pada saat ini adalah antara 10% dan 15% dari seluruh kelahiran di negaranegara berkembang, dibandingkan dengan sekitar 20% di Inggris dan 23% di
Amerika Serikat. Pada tahun 2003, angka kejadian seksio sesarea di Kanada
adalah 21% dengan variasi perbedaan di negara-negara bagiannya.(2)
Angka kejadian seksio sesarea terus meningkat di kebanyakan negaranegara berkembang. Alasan untuk peningkatan angka kejadian tersebut cukup
kompleks. Sebagai perbandingan, angka kejadian persalinan pervaginam relatif
tidak mengalami peningkatan sejak pertengahan tahun 1970an. Penggunaan
forsep untuk membantu persalinan pervaginam juga sudah disingkirkan. Para
klinisi di Amerika Serikat dan Kanada telah terfokus pada indikasi-indikasi
prinsip untuk memilih seksio sesarea seperti pada distosia, fetal distress, dan
seksio sesarea berulang yang telah menyebabkan stabilisasi penggunaan seksio
sesarea untuk persalinan pada negara-negara tersebut. Faktor-faktor lain termasuk
pilihan pasien sendiri terhadap kelahiran anak dan karakteristik serta tinjauantinjauan khusus oleh ahli obstetri tersebut. (3)
Perubahan-perubahan demografi juga berperan dalam meningkatnya trend
ini. Angka kejadian seksio sesarea bervariasi sesuai dengan usia maternal dan
paritas. Angka kejadian seksio sesarea meningkat sesuai dengan usia maternal.
Faktor demografi bagaimanapun, hanya menjelaskan beberapa variasi angka
kesembuhan luka operasi relatif lebih sulit, kemungkinan terjadinya ruptura uteri
pada kehamilan berikutnya menjadi lebih besar, dan kemungkinan terjadinya
perlekatan dengan dinding abdomen lebih besar.
Teknik operasional seksio sesarea cara ini adalah:
a. Setelah dinding uterus tampak, dilakukan tindakan:
-
c. Setelah bayi lahir tali pusat diklem lalu dipotong dan bayi diserahkan
kepada perawat untuk dirawat sebagaimana mestinya.
d. Plasenta dilahirkan secara manual.
e. Kavum uteri dibersihkan dari sisa membran atau plasenta.
f. Dinding uterus dijahit lapis demi lapis yaitu:
-
f. Setelah bayi lahir, tali pusat diklem lalu dipotong, dan bayi diserahkan
pada perawat agar perawat dapat merawat tali pusat, membersihkan lendir
pada hidung, mulut, dan saluran nafas bayi, kemudian bayi dirawat
sebagaimana mestinya.
g. Plasenta dilahirkan secara manual.
h. Kavum uteri dieksplorasi untuk mencari sisa plasenta atau selaput ketuban
atau oksitosin.
i. Dapat diikuti dengan pemberian oksitosin, sintosinon, atau piton secara
intravena
j. Penjahitan otot rahim dilakukan sebagai berikut:
-
m. Dinding abdomen dijahit selapis demi selapis, kemudian luka pada kulit
ditutup kasa steril.
F. Komplikasi
1. Pada ibu
Telah dikemukakan bahwa dengan kemajuan teknik pembedahan, dengan
adanya antibiotika, dan adanya persediaan darah yang cukup, seksio sesarea
sekarang jauh lebih aman daripada dahulu. Angka kematian di rumah sakit dengan
fasilitas yang baik dan tenaga-tenaga yang kompeten kurang dari 2 per 1000.
Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan
adalah kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi untuk melakukan
pembedahan, dan lamanya persalinan berlangsung. Tentang faktor pertama,
niscaya seorang wanita dengan plasenta previa dan perdarahan banyak memikul
resiko yang lebih besar daripada seorang wanita lain yang mengalami seksio
sesarea elektif karena disproporsi sefalopelvik. Demikian pula makin lama
persalinan berlangsung, makin meningkat bahaya infeksi postoperatif, apalagi
setelah ketuban pecah. Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul adalah sebagai
berikut:
a. Infeksi puerperial
Komplikasi ini bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari dalam masa nifas; atau bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis, dan
sebagainya. Infeksi postoperatif terjadi apabila sebelum pembedahan
sudah ada gejala-gejala infeksi intrapartum, atau ada faktor-faktor yang
merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama khususnya
setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya).
Bahaya infeksi sangat diperkecil dengan pemberian antibiotika, akan tetapi
tidak dapat dihilangkan sama sekali; terutama seksio sesarea klasik dalam
hal ini lebih berbahaya daripada seksio sesarea transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabangcabang arteria uterina ikut terbuka, atau karena atonia uteri.
c. Komplikasi-komplikasi lain
10
Pencegahan atau pengenalan dini terhadap kemungkinan komplikasikomplikasi postoperatif hendaknya menjadi tujuan dalam pengelolaan pasien.
Penggunaan obat-obat profilaks seperti yang digunakan pada pencegahan penyakit
tromboemboli akan mengurangi morbiditas dan mortalitas kejadian trombosis
vena dan emboli pulmonar, namun mobilisasi dini dan keahlian para fisioterapis
juga memegang peranan penting dalam pencegahan komplikasi tersebut dan akan
mempercepat masa penyembuhan. Faktor-faktor resiko seperti obesitas dan
merokok harus diketahui pada waktu penilaian preoperatif dan dalam perencanaan
perawatan postoperatif agar dapat meminimalisir komplikasi-komplikasi potensial
yang mungkin muncul.(4)
Prinsip perawatan postoperatif mencakup tiga bagian yaitu perawatan awal
di ruang pemulihan, perawatan di kamar rawat, dan konseling postoperatif ketika
pasien akan dipulangkan (5,12)
a) Perawatan awal di ruang pemulihan
Pasien postoperasi dipindahkan ke ruang pemulihan dengan didampingi
oleh ahli anestesiologi dan ahli obstetri atau penolong persalinan yang lain, segera
setelah pasien memberikan respon. Pasien dengan masalah-masalah medis tertentu
mungkin membutuhkan perawatan postoperatif khusus di ruang rawat intensif
untuk monitoring lebih lanjut. Petugas yang menerima pasien di bagian tersebut
harus diberikan informasi yang cukup mengenai keadaan pasien sebagai
kesimpulan hasil operasi dan untuk menentukan langkah-langkah postoperatif
yang akan diambil. Hal-hal yang penting dilakukan pada perawatan postoperatif di
ruang pemulihan meliputi monitoring terhadap tanda-tanda vital, perdarahan
postpartum, pengelolaan cairan dan elektrolit postoperatif, dan penggunaan obatobat analgesik.(4)
1. Ruang pemulihan
Ruang pemulihan, yang disebut juga sebagai unit rawat post anestesia,
merupakan
ruangan
tempat
pasien
diletakkan
setelah
operasi
untuk
11
12
3. Perdarahan postpartum
Kala III persalinan dan masa puerperium normalnya berhubungan dengan
perdarahan uterus. Kehilangan darah yang banyak terjadi pada 2% sampai 10%
persalinan namun perdarahan hebat mungkin berkembang pada sekitar 1% dari
seluruh kehamilan. Meskipun demikian, perdarahan postpartum yang serius
merupakan penyumbang terbesar terhadap mortalitas dan morbiditas maternal.
Karena itu semua ahli obstetri harus waspada dan mampu menangani masalah ini.
Perdarahan postpartum umumnya dibagi atas perdarahan postpartum akut
(muncul dalam 24 jam pertama setelah persalinan) dan perdarahan postpartum
terlambat (terjadi antara 1 hari dan 6 minggu postpartum). Definisi perdarahan
postpartum akut masih sukar untuk ditentukan karena perkiraan klinis kehilangan
darah dianggap kurang akurat. Umumnya, kehilangan darah postpartum sejumlah
500 ml masih dianggap normal. Para peneliti telah menggunakan teknik
pengawasan yang sangat hati-hati untuk memperkirakan kehilangan darah pada
persalinan dan didapatkan rata-rata kehilangan darah pada seksio sesarea adalah
1000 ml. Perdarahan postpartum terlambat lebih sulit untuk dikenali karena
jumlah kehilangan darah pada masa puerperium tidak ada ketentuan yang pasti.
Namun demikian, setiap perdarahan yang ditandai dengan lokia melebihi minggu
pertama postpartum dapat dianggap abnormal.(14)
13
pertama postoperatif atau lebih cepat lagi apabila dicurigai telah terjadi
kehilangan darah yang banyak selama operasi.(16) Setelah itu kadar hemoglobin
dan hematokrit dapat diperiksa rutin setiap hari postoperatif. Pemeriksaan ini
dapat juga dilakukan apabila terdapat keluhan ologuri pada pasien yang dapat
mengarah pada keadaan hipovolemia. Bila hematokrit sangat menurun dibanding
sebelum operasi, pemeriksaan dapat diulang dan dicari penyebabnya. Apabila
hematokrit rendah tetapi stabil, dan ibu dapat melakukan mobilisasi tanpa
kesulitan serta tidak terdapat lagi perdarahan, maka perbaikan hematokrit lebih
diutamakan dengan pemberian preparat besi daripada transfusi darah.(1)
14
mililiter air bebas dilepaskan setiap harinya dari pemecahan jaringan, terutama
pada pasien yang menjalani diseksi intra abdomen dan pada pasien yang tak dapat
mengkonsumsi makanan dan minuman secara oral. Air bebas ini sering tertahan,
sebagai respon terhadap kadar ADH dan aldosteron. Kedua, retensi cairan lebih
jauh akan dipertinggi oleh ruangan ketiga atau sekuester cairan pada daerah
operasi. Kemungkinan berkembangnya suatu ileus dapat muncul karena
penambahan 1-3 liter cairan per hari sebagai sekuester dalam lumen usus, dinding,
usus, dan kavum peritoneal.
Kebalikan pada hemostasis sodium, ginjal tidak dapat mencukupi
kapasitas retensi potassium. Pada periode postoperatif, ginjal akan terus bekerja
untuk mengeksresi sejumlah kecil 30-60 mEq/l potassium tiap hari, terlepas dari
kadar potassium serum dan persediaan potassium total pada tubuh. Jika
kehilangan potassium ini tidak digantikan, hipokalemia dapat muncul. Kerusakan
jaringan dan katabolisme selama hari pertama postoperatif biasanya berakhir
dengan pelepasan potassium intraseluler yang untuk memenuhi kebutuhan harian.
Namun, di luar hari pertama postoperatif, pemberian tambahan potassium juga
diperlukan.
Pengelolaan keseimbangan cairan dan elektrolit yang benar pada periode
postoperatif dimulai dengan penilaian pada preoperatif, dengen penekanan pada
penentuan parameter cairan dan elektrolit normal sebelum operasi dilaksanakan.
Pada saat postoperatif, monitoring ketat yang mencakup berat badan harian,
output urine, hematokrit serum, elektrolit serum, dan parameter hemodinamik
akan menghasilkan informasi yang diperlukan untuk membuat penilaian
penggantian kristaloid yang tepat. Kebutuhan cairan dan elektrolit harian yang
normal harus didiapatkan, dan kehilangan cairan dan elektrolit yang tidak biasa,
seperti dari traktus gastrointestinal, paru-paru, atau kulit, harus digantikan. Setelah
hari-hari pertama postoperatif, cairan dari ruang ketiga akan dimobilisasi kembali
ke ruangan intravaskuler dan kadar ADH serta aldosteron akan kembali normal.
Kelainan cairan dan elektrolit paling sering terjadi pada periode
postoperatif adalah kelebihan cairan. Kelebihan cairan dapat terjadi bersamaan
dengan serum sodium yang normal atau menurun. Sejumlah besar cairan isotonik
biasanya diberikan intraoperatif dan postoperatif untuk menjaga tekanan darah
15
dan output urine. Karena pemberian cairan perinfus sering isotonik dengan
plasma, cairan tersebut akan tetap dalam ruangan ekstraseluler. Dalam keadaan
demikian, sodium serum akan tetap berada dalam kadar normal. Kelebihan cairan
dengan hipotonik (penurunan sodium serum) dapat terjadi jika terjadi kehilangan
sejumlah besar cairan isotonik (misal darah dan traktus gastrointestinal) adalah
tidak tepat apabila digantikan dengan cairan hipotonik. Sekali lagi, predisposisi
terhadap retensi air bebas segera setelah periode postoperatif menyebabkan
masalah itu. Suatu peningkatan berat badan dapat terjadi bersamaan dengan
ekspansi cairan. Pada pasien yang tidak diperbolehkan mengkonsumsi apapun
secara oral, katabolisme akan memicu kehilangan berat badan harian sebanyak
300g/hari. Jelasnya, pasien dengan penambahan berat sekitar 150g/hari
merupakan suatu keadaan ekspansi cairan. Pembatasan cairan sederhana akan
memperbaiki abnormalitas tersebut. Jika dibutuhkan, diuretik dapat digunakan
untuk menambah eksresi air melalui urin.
Keadaan-keadaan dehidrasi cairan merupakan hal yang tidak biasa namun
dapat terjadi pada pasien dengan kehilangan cairan harian dalam jumlah besar
namun tidak digantikan. Kehilangan melalui gastrointestinal harus digantikan
dengan cairan yang tepat. Pasien-pasien dengan demam tinggi harus diberikan
penggantian air bebas, karena lebih dari 2 liter/hari air bebas akan hilang melalui
keringat dan hiperventilasi. Meskipun peningkatan kehilangan cairan ini agak sulit
diawasi, suatu perkiraan yang reliable dapat diperoleh dengan monitoring berat
badan.
5. Obat-obatan analgesik
Setelah operasi, berikan analgesik narkotik jika dibutuhkan (misalnya
meperidine, 75 mg intramuskuler tiap 4 jam, atau morfin 10 mg intramuskuler tiap
4 jam), untuk mengontrol nyeri. Baru-baru ini, obat-oabatan nonsteroid anti
inflamasi yang dapat diinjeksi telah tersedia untuk mengontrol nyeri postoperatif.
Antiemetik seperti prometazin dan hidrokzin dapat membantu untuk menekan
muntah juga dapat bekerja sebagai analgesik yang potensial.(5)
Analgesik yang dapat mengontrol keadaan pasien sekarang tersedia secara
luas. Dengan analgesik jenis ini, pasien dapat menggunakan sendiri pengobatan
tersebut secara intravena ketika mereka membutuhkannya dengan ketentuan yang
16
17
utamanya adalah untuk melindungi pakaian pasien dari rembesan darah atau
serum dan untuk mencegah benang penutup berkontak dengan benda-benda lain.
Meskipun tidak ada bahaya khusus yang muncul karena mandi, berendam di bak
mandi dengan gel atau bahan-bahan yang mengandung detergen kuat sebaiknya
dihindari pada minggu pertama karena kemungkinan untuk terbentuknya
koagulasi baru pada luka. Benang jahit dan stapler dapat disingkirkan dari luka
transversal setelah 4 sampai 5 hari. Luka vertikal biasanya membutuhkan 7-10
hari untuk dapat sembuh namun masa yang lebih lama dibutuhkan pada beberapa
kasus tertentu.
Infeksi pada luka dapat dicurigai apabila terdapat demam tanpa penyebab
yang nyata pada pasien, yang muncul sampai hari keempat atau kelima
postoperatif. Eritema pada luka tidak dapat dijadikan bukti sampai beberapa hari
setelah operasi. Terkadang, infeksi pada luka dimanifestasi oleh adanya drainase
spontan dan sering diikuti oleh resolusi demam.
Pemeriksaan laboratorium berupa apusan bakteri dan kultur bahan-bahan
dari luka dapat membantu dalam pemilihan antibiotik inisial. Kultur darah dapat
berhasil positif pada pasien dengan sepsis sistemik karena infeksi pada luka.
2. Perawatan fungsi kandung kemih (1,4)
Pada umumnya kateter dapat dilepas 12 jam setelah operasi, atau lebih
nyaman pada pagi hari setelah operasi. Kemampuan mengosongkan kandung
kemih harus dipantau seperti pada kelahiran pervaginam sebelum terjadi distensi
yang berlebihan. Bising usus biasanya belum terdengar pada hari pertama setelah
operasi, mulai terdengar pada hari kedua dan menjadi aktif pada hari ketiga. Rasa
mulas akibat gas usus karena aktivitas usus yang tidak terkoordinasi dapat
mengganggu pada hari kedua dan ketiga setelah operasi. Pada umumnya,
pemberian suppositoria per rektal akan diikuti dengan defekasi, atau bila belum
berhasil, pemberian enema akan mengurangi gangguan tersebut.
3. Mobilisasi (1,7)
Pada sebagian besar kasus, pada hari pertama setelah operasi, penderita
harus turun sebentar dari tempat tidur dengan dibantu, paling sedikit dua kali.
18
Mobilisasi dapat diatur sedemikian rupa sehingga analgesik yang baru diberikan
dapat mengurangi rasa sakit. Pada hari kedua setelah operasi, penderita dapat
berjalan ke kamar mandi dengan bantuan. Dengan mobilisasi dini, trombosis vena
dan emboli paru jarang terjadi.
Konsep mobilisasi dapat dikategorikan menjadi:
a. Mobilisasi fisik
b. Mobilisasi usus
Diikuti makan bubur saring dan pada hari kedua-ketiga makan bubur
4. Diet
Terdapat berbagai pendapat mengenai secepat apa diet dapat mulai
diberikan pada pasien postoperatif. Hal ini harus disesuaikan dengan keadaan
pasien dan tergantung pada berbagai faktor.(5)
Penundaan pemberian cairan dan makanan secara oral untuk suatu periode
waktu setelah operasi abdomen merupakan suatu hal yang umum dilakukan.
Sweet dan Tiran (1997) menyarankan pemberian cairan segera setelah operasi,
yang diikuti dengan diet ringan jika pasien merasa siap untuk makan. Bennerr dan
Brown (1999) menyarankan makanan tidak diberikan dahulu sampai bising usus
terdengar, karena adanya resiko ileus paralitik.(19)
Suatu aturan memperbolehkan pasien untuk minum sedikit demi sedikit
pada hari yang sama setelah operasi. Jangan berikan air es karena dapat
menurunkan motilitas kolon secara bermakna. Berikan air putih pada hari pertama
postoperatif jika bising usus sudah terdengar sampai gas-gas lambung
menghilang. Perubahan diet ke pola biasa dapat dilakukan kemudian. Waktu yang
19
dibutuhkan untuk proses ini tergantung lama kerja anestesi yang digunakan dan
variasi individual untuk masing-masing pasien.(5,20)
5. Menyusui dan perawatan payudara
Menyusui bayi pada pasien yang menjalani seksio sesarea sering tertunda
karena pasien membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pemulihan sebelum
mereka secara fisik cukup kuat untuk merawat dan menggendong bayinya, mereka
dapat mulai menyusui. Pasien yang pada operasinya menggunakan anestesi
epidural umumnya lebih dahulu dapat menggendong bayi mereka lebih cepat
daripada yang menggunakan anestesi umum.(19)
Merawat bayi sesegera mungkin setelah persalinan memiliki keuntungan
untuk pasien yang menjalani seksio sesarea sebagaimana pada pasien yang
melahirkan pervaginam. Karena pasien dapat menstimulasi air susu lebih cepat,
melepaskan hormon oksitosin untuk membantu kontraksi uterus, memberikan
keuntungan imunologis melalui kolostrum. Terdapat keuntungan tambahan untuk
pasien yang menjalani seksio sesarea yaitu perawatan selama periode
penghilangan pengaruh anestesi regional menyebabkan efek bebas nyeri yang
lebih nyaman pada masa pertama kali menyusui bayi. (21)
Apabila pasien memilih untuk menyusui, maka penyangga payudara yang
akan menyangga tanpa menekannya secara berlebihan akan mengurangi rasa
sakit. Akhir-akhir ini tersedia bromokriptin yang dapat menghambat laktasi dan
terbukti cukup efektif. Kerugian bromokriptin adalah harganya mahal. Bagi
penderita, lebih enak menggunakan bromokriptin daripada penyangga buah dada,
serta penekanan laktasi menghilangkan salah satu kemungkinan penyebab demam
postpartum.(1,5)
c) Konseling Postoperatif
Meskipun adanya kecenderungan untuk berkurangnya lama perawatan di
rumah sakit, umumnya pasien tetap dirawat di rumah sakit sampai tampak
pemulihan semua fungsi-fungsi tubuh. Fungsi paru-paru normal biasanya akan
kembali setelah terjadi resolusi inhalasi anestesi namun dapat tetap berlangsung
karena pengaruh nyeri operasi selama periode awal postoperatif. Dua atau tiga
20
21
Alkalosis
biasanya
dapat
dengan
mudah
dikoreksi
dengan
22
b. Asidosis (17,22)
Asidosis metabolik lebih jrang terjadi dibandingkan alkalosis pada periode
postoperatif, namun asisdosis dapat muncul lebih serius karena dampaknya
terhadap sistem kardiovaskuler. Dalam keadaan asidosis, terdapat penurunan
kontraktilitas miokard, suatu kecenderungan untuk vasodilatasi vaskuler perifer
yang akan mengarah pada hipotensi dan defibrilasi. Dampak ini menyebabkan
dekompensasi terhadap sistem kardiovaskuler dan dapat menghalangi percobaan
pada resusitasi. Penyebab-penyebab keadaan ini termasuk peningkatan asid laktat
dalam sirkulasi yang terjadi sekunder terhadap glikolisis anaerob seperti yang
terlihat dalam kondisi-kondisi perfusi jaringan yang buruk, peningkatan
ketoasidosis sebagaimana pada kasus-kasus diabetes berat atau kelaparan, toksin
eksogen, disfungsi ginjal yang mengarah pada penambahan sirkulasi sulfat dan
fosfat. Diagnosis dapat ditegakkan dengan riwayat perjalanan penyakit dan
penilaian laktat serum (normal < 2 mmol/l), glukosa serum, dan parameterparameter fungsi ginjal.
Pengobatan asidosis metabolik tergantung pada penyebabnya. Pada pasien
dengan asidosis laktat, pengembalian perfusi jaringan adalah sangat penting. Hal
ini dapat dilengkapi dengan bantuan kardiovaskuler dan pulmonar jika
dibutuhkan, penggunaan oksigen, dan pengobatan infeksi sistemik dengan tepat.
Bikarbonat tidak boleh diberikan kecuali pH serum lebih rendah dari 7.2 atau
terdapat komplikasi-komplikasi jantung yang berat karena asidosis. Lebih jauh
lagi, monitoring yang ketat terhadap kadar potassium serum juga penting
dilakukan. Dalam keadaan asidosis, potassium akan keluar dari sel dan memasuki
sirkulasi. Pasien dengan konsentrasi potassium normal dan asidosis metabolik
sebenarnya akan mengalami pengurangan potassium intraseluler. Pengobatan
asidosis tanpa penggantian potassium akan mengakibatkan hipokalemia dan
resiko-resiko yang terkait dengan keadaan tersebut.
e) Antibiotika Profilaks pada Seksio Sesarea
Infeksi selama kehamilan dan periode postpartum dapat disebabkan oleh
kombinasi berbagai organisme, termasuk bakteri coccus dan basil aerob atau
23
anaerob. Infeksi yang terjadi setelah seksio sesarea merupakan penyebab utama
terhadap morbiditas maternal dan juga dihubungkan dengan peningkatan lamanya
masa rawat pasien di rumah sakit (Handerson dan Love, 1995). (19) Angka kejadian
kejadian infeksi yang tinggi (rata-rata 35-40%) setelah seksio sesarea menjadi
alasan untuk mempertimbangkan pemberian antibiotika profilaks pada pasien
yang beresiko tinggi.(11)
Tidak terdapat definisi standar mengenai infeksi pada luka setelah seksio
sesarea. Insiden yang dilaporkan bervariasi dari 4 sampai 29%, tergantung pada
bagaimana infeksi tersebut didiagnosa dan berapa lama wanita tersebut ditindak
lanjuti (Brick dkk, 2002). Onset infeksi pada luka biasanya terjadi sekitar hari
keempat sampai kelima (Moir-Bussy dkk, 1984; Leigh dkk, 1990) namun,
beberapa wanita tidak mengalami infeksi sampai mereka dipulangkan. Beattie dkk
(1994) melakukan follow-up pada 428 wanita yang menjalani seksio sesarea
setelah mereka dipulangkan. Dari 83 infeksi pada luka yang didiagnosa pada 328
wanita setelah dipulangkan dari rumah sakit, penekanan dititikberatkan pada
kepentingan memberikan informasi dan nasihat bagaimana merawat dan
memonitor luka mereka.(1,5)
Suatu tinjauan sistematik dari lembaga Cochrane memperlihatkan dampak
antibiotika profilaks pada komplikasi-komplikasi infeksi setelah seksio sesarea
yang secara bermakna dapat menurunkan insiden demam, endometritis, infeksi
pada luka, infeksi pada traktus urinarius, dan komplikasi-komplikasi infeksi
lainnya, meskipun penurunan infeksi pada luka setelah seksio sesarea ini hanya
mencapai nilai statistik (Smaill dan Hofmeyr, 2003). Para peninjau menyimpulkan
bahwa penurunan kejadian endometritis antara dua pertiga dan tiga perempat, dan
penurunan bermakna dari infeksi pada luka, membenarkan penggunaan antibiotika
profilaks untuk seksio sesarea.(19)
Tujuan lain dari tinjauan sistemik lembaga Cochrane adalah untuk
menentukan jenis antibiotika profilaks mana yang paling efektif untuk
menurunkan insiden infeksi postnatal setelah seksio sesarea (Hopkins dan Smaill,
2003). Mereka membandingkan paling tidak dua regimen antibiotika profilaks
yang dimasukkan pada tinjauan ini. Hasilnya menyimpulkan bahwa baik
ampicillin dan generasi pertama sefalosporin memiliki manfaat yang serupa untuk
24
25
STATUS OBSTETRI
Tg. Masuk RSAM
: 13 april 2014
Jam
: 09.45 wib
26
Anamnesa / Autoanamnesa
1. Identifikasi
-
Nama
: Ny.R
Umur
: 26 thn
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMA
Alamat
Pekerjaan
: IRT
Pendidikan suami
: SMA
Pekerjaan suami
: Wiraswasta
2. Keluhan
Utama
: Pasien mengeluh keluar darah dari kemaluan tanpa rasa sakit sejak
kurang lebih 3 jam
yang lalu
Menarche
: 13 tahun
Siklus haid
: 30 hari
Jumlah
: sedang
Lama
: 6 hari
HPHT
: 06 juli 2014
TP
: 13 april 2015
4. Riwayat perkawinan
Menikah satu kali pada umur 24 tahun lama perkawinan satu tahun.
27
Kesadaran
: compos mentis
Tek. Darah
: 130/80 mmhg
Nadi
: 88x/mt
Pernafasan
: 20 x/mt
Suhu
: 36,8 C
28
2. Status generalis
Kulit
Mata
Gigi/mulut
Thorax
Mammae
Jantung
Paru
Abdomen
: oedem (-)
3. Status Obstetri
-
Pemeriksaan luar
Leopold I,tinggi fundus uteri 2 jari dibawah proc.Xiphoideus (33 cm), teraba
bagian lunak, tidak melenting kesan bokong.
Leopold II, teraba tahanan terbesar pada sebelah kanan, teraba bagian kecil
pada bagian kiri, kesan punggung kanan.
Leopold III, teraba bagian bulat, keras, dan melenting. Kesan kepala.
Leopold IV, Bagian terbawah janin belum masuk PAP (5/5)
Letak anak: memanjang pres.kep
DJJ
TBJ
HIS
Pemeriksaan dalam
Inspekulo
VT
: tidak dilakukan
,
: tidak dilakukan.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
: Hb 10,8 gr%
29
Diagnosis
Ibu
Anak
Diagnosis banding:
-
Solutio plasenta
Prognosis
Ibu
: Dubia ad bonam
Kesadaran
: compos mentis
Vital sign
: TD = 120/70 mmHg
N = 80 x /menit
RR = 20 x / menit
: 13 April 2015
Instrumen
30
Umur
: 26 tahun
Narcose
Operator
: Dr.T.Jeffrey Abd,SpOG
Induksi
Asisten I
: Agus
Premedikasi
: SA + Morfin 80 mg
Asisten II
Maintenance :
Pkl. 16.00 WIB Operasi dimulai
-
10 cm sampai menembus
kavum uteri
dan
seluruh
perabdominam
31
badan
janin
dilahirkan
Lahir bayi laki-laki dengan berat badan 3100 gram dan panjang badan
50 cm
32
25 tetes/menit
infus
sampai 8 jam post operasi
2. Catat intake dan output dalam 24 jam
3. Observasi tanda vital tiap 2 jam selama 24 jam
4. Puasa sampai flatus (+)
5. Cek Hb pasca operasi (jika <9 gr% lakukan tranfusi sampai Hb >10 gr%)
6. Pasang gurita secara kencang
7. Obat
Follow Up
Tanggal
Tek.Darah(mmhg)
13-04-15
120/80
14-04-15
110/80
15-04-15
110/70
16-04-15
120/80
80
80
88
88
36,5
36
36,3
36,6
Rr (x/mt)
18
18
20
20
Kesadaran
composmentis
composmentis
composmentis
composmen
Nadi (x/mt)
Suhu
33
Mammae
membesar,kenyal
membesar,kenyal
membesar,kenyal
tis
membesarn,
1 jari bpst
1 jari bpst
2 jari bpst
kenyal
rubra
rubra
rubra
BAK
2 jari bpst
BAB
rubra
Jahitan
Basah
kering
kering
Keluhan
ops
ops
ops
kering
ASI
Tinggi FU
Lochia
Dower catheter
ANALISA KASUS
Status obstetri
Pemeriksaan luar
Leopold I : Tinggi fundus uteru 2 jari di bawah pusat (33 cm), teraba bagian
lunak, tidak melenting kesan
bokong.
Leopold II : teraba tahanan disebelah kanan dan teraba bagian kecil di sebelah
kiri kesan punggung kanan.
Leopold III : Bagian terbawa teraba bulat, melenting, keras kesan kepala
34
:memanjang
DJJ
: ( + ) 146x/menit
HIS
TBJ
Pemeriksaan dalam
Inspeculo
VT
: tidak dilakukan
: Fornix test
TBJ
: 3040-3740 gram
DAFTAR PUSTAKA
1. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Seksio Sesarea dan Histerektomia
Sesarea. Obstetri Williams Ed 23th. 2010.
35
2. Caesarean
section.
Diakses
dari:
http://www.lumrix.net/medical/obstetrics/caesarean_section.html
3. Caesarean
section.
Diakses
dari:
http://www.rnzcgp.org.nz/news/nzfp/Aug2003/Belgrave_Aug03.pdf
4. Gornall RJ. Postoperative Care. Gynaecology. Churchill Livingstone.
Newyork, 2000: 141-150
5. DeCherney AH, Pernoll ML. Postoperative Care. Current Obstetric and
Gynecologic Diagnosis and Treatment. Eight Edition. Houston, 1994: 863-865
6. Murphy Magnus. Choosing Cesarean Birth: An Alternative to todays Crisis in
Natural Childbirth? Diakses dari: http://www.obgyn.net/displayarticle.asp?
page=/urogyn/murphy-book/cs-page1
7. Manuaba IBG. Seksio Sesarea. Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Dokter Umum. EGC. Jakarta, 1999: 229-254
8. Chamberlain G, Sterr P. ABC of Labour Care: Operative Delivery. BMJ
1999;318;1260-1264. Diakses dari: http://bmjjournals.com
9. Jones DL. Bedah Kebidanan. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi.
Hipokrates. Jakarta, 2002: 188-189
10. Prawirohardjo S. Pembedahan dengan Laparatomi. Ilmu Kebidanan. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 1999: 863-875
11. Craigo SD, Kapernick PS. Postpartum Hemorrhage and the Abnormal
Puerperium. Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis and Treatment.
Eight Edition. Houston, 1994: 574-592
36
12. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta,
2002
13. Hatfield, Anthea, Michael Tronson. Recovery Room. Diakses dari:
http://www.enotes.com/surgery-encyclopedia
14. Mayer DC, Spielman FJ, Bell EA. Antepartum and Postpartum Hemorrhage.
Obstetric Anesthesia: Principles and Practise. Pennsylvania, 2004: 662-668
15. WHO. Caesarean Section. Managing Complications in Pregnancy and
Childbirth.
Diakses
dari:
http://www.who.int/reproductive-
health/impac/Procedures/Caesarean_section_P43_P52.html
16. Goldin MD. Major Abdominal Surgery. Intensive Care of the Surgical Patient.
Second Edition. Year Book Medical Publisher. Chicago, 1981: 583-584
17. Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. Preoperative Evaluation and Postoperative
Management. Novaks Gynecology. Twelft Edition. William and Wilkins Co,
1996: 549-565
18.
19. Postnatal Needs for Woman Following Caesarean Section. Diakses dari:
http://www.rcn.org.uk/members/downloads/Postnatalhealthneedsofwomen.pdf
20. Wu
L,
Griffiths
Gynaecological
P.
Early
Postoperative
Surgery.
Feeding
and
Abdominal
Diakses
dari:
http://bja.oxfordjournals.org/cgi/content/full/90/5/665
21. Smith
Anne.
Breastfeeding
After
Cesarean.
Diakses
http://www.obgyn.net/pb/pb.asp?page=/pb/articles/bf_cesarean
37
dari:
38