Anda di halaman 1dari 19

Review Journal

Impure Public Goods and Technological Interdependencies


By Andreas Loschel, Dirk T. G. Rubbelke
Journal of Economic Studies Vol.36. No. 6, 2009 pp.596-615

Direviu oleh Iman Sufrian


NIM: 1206313974
University Indonesia, Depok

Pendahuluan/Latar Belakang
Pada bagian ini akan dibahas mengenai konsep barang publik global (global public
goods) dan beberapa isu terkait dengan penyediaan suatu global public goods. Selanjutnya
akan dibahas suatu essay yang terkait dengan global public goods.
Definisi global public goods
Kaul, Inge, Isabelle Grunberg dan Marc A. Stern (1999) mendefinisikan global public good
sebagai suatu barang publik yang memenuhi 3 karakteristik sebagai berikut:
1. Non- rivalrous
Barang yang memiliki karakteristik dapat dikonsumsi secara bersama dan penggunaan
secara bersama dan penggunaan bersama tersebut tidak akan mengurangi manfaat yang
diterima oleh semua pengguna barang publik;
2. Non-excludable
Pemanfaatan suatu barang publik global tidak dapat dibatasi sekelompok konsumen
tertentu (dapat dimanfaatkan oleh semua orang);
3. Available worldwide
Barang yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh pengguna tanpa dibatasi oleh wilayah
geografis.
Konsep global public goods merupakan suatu perluasan/pengembangan gagasan klasik
Samuelson (1954) mengenai barang publik dalam konteks globalisasi ekonomi. Konsep
teoritis tradisional dari barang publik tidak mengklasifikasikan suatu barang publik
berdasarkan wilayah geografis baik untuk produksi maupun konsumsinya. Namun, istilah
global public goods digunakan untuk suatu barang publik yang non-rival dan non
excludable di seluruh dunia, untuk membedakan dengan barang publik yang hanya tersedia
dalam satu wilayah nasional.

Contoh global public goods


Beberapa contoh dari global public good adalah ilmu pengetahuan (Stiglitz), keamanan
internasional, perlindungan hutan tropis (Loschel, Rubbelke; 2009), mitigasi perubahan
iklim, stabilitas sistem keuangan global, keamanan global, ilmu pengetahuan, dan kesehatan
global (Shaffer, Gregory; 2012).
Tantangan definisi tradisional
Tantangan signifikan yang ada pada definisi klasik suatu barang publik, pada umumnya juga
relevan dengan definisi " barang publik global" . Kaul et al . (2003), menunjukkan bahwa
sebenarnya ada tiga jenis barang publik. Ketiga kelompok barang publik tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Kelompok barang publik yang secara inheren non-excludable tidak dapat dibuat
dikecualikan (memiliki sifat non excludable), baik karena secara inheren terpisahkan atau
karena biaya membatasi akses manfaat suatu barang publik tidak mugkin atau sangat
mahal untuk dilakukan. Contoh sederhana kelompok ini adalah sinar matahari.
2) Kelompok barang publik yang didisain menjadi suatu barang yang secara inheren milik
publik. Contohnya termasuk sistem peradilan suatu negara atau sistem pendidikan dasar
di suatu negara.
3) Kelompok barang yang bersifat publik by default , baik karena kurangnya kejelian atau
pengetahuan dalam desain. Contoh dari jenis ini adalah lapisan ozon dan kerusakan yang
dilakukan terhadap lingkungan dengan emisi chlorofluorocarbon ( CFC ) sebelum orang
memahami potensi kerusakan.
Many of the challenges to traditional definitions have to do with how to handle externalities,
which pose fundamental economic policy problems when individuals, households,
governments or firms do not include, in their total cost accounting, the indirect costs of or the
benefits from their economic transactions.[6] Private goods producers, for example, can lower
their total costs, and therefore their prices, by externalizing (not including) certain costs, such
as the costs of preventing air or water pollution that is a by-product of their production
methods. Such a company, then, becomes a corporate free rider, driving up the cost of the
"public goods" of clean air and water, which are often transnational resources.
Agen ekonomi seperti individu, rumah tangga, pemerintah atau produsen seringkali tidak
memperhitungkan biaya atau manfaat tidak langsung (indirect cost/benefit) dari transaksi
ekonomi mereka walaupun hampir semua suatu transaksi ekonomi menimbulkan biaya atau
manfaat tidak langsung. Hal tersebut lazim disebut dengan eksternalitas. Permasalahan
mendasar dalam perumusan kebijakan ekonomi adalah menangani suatu eksternalitas ketika
hal tersebut tidak diperhitungkan oleh agen ekonomi yang melakukan suatu aktivitas yang
menimbulkan eksternalitas. Sebagai contoh, produsen barang privat dapat menurunkan biaya
produksi total mereka dan karena harga jual produk mereka, dengan eksternalisasi (tidak
memasukkan) biaya-biaya tertentu, seperti biaya untuk mencegah pencemaran udara atau
pencemaran air walaupun pencemaran udara dan pencemaran air merupakan bagian dari
produk dari proses produksi mereka. Produsen ini, kemudian menjadi free rider, dan
menaikkan biaya barang publik dalam bentuk udara dan air bersih. Udara dan air bersih
sering sumber daya transnasional.

The transnational nature of such resources points to another problem with a traditional
definition of global public goods. Remedies to problems such as air and water pollution are
typically legal remedies, and such laws often exist only in the context of geographicallybounded governmental systems.[7] In the case of global public goodssuch as climate change
mitigation, financial stability, security, knowledge production, and global public health
either international or supranational legal entities (both public and private) must be created to
manage these goods.[8] As different types of global public goods often require different types
of legal structures to manage them,[8] this can contribute to a proliferation of nongovernmental organizations (NGOs) and intergovernmental organizations (IGOs), such as has
been the case in the recent past.
Karakteristik transnasional dari suatu sumber daya (seperti : udara bersih dan air bersih)
menunjukk adanya permasahalan lain dengan definisi tradisional barang publik global.
Mitigasi untuk masalah seperti polusi udara dan air biasanya solusi hukum, dan undangundang seperti itu sering hanya ada dalam konteks sistem pemerintahan geografis yang
terbatas/dibatasi.
Dalam hal global public goods - seperti mitigasi perubahan iklim, stabilitas sistem keuangan
global, keamanan global, ilmu pengetahuan, dan kesehatan global perlu dibentuk institusi
hukum internasional atau institusi hukum supranasional (baik publik maupun privat) untuk
mengelola barang-barang ini. Perbedaan jenis global public good seringkali memerlukan
berbagai jenis struktur hukum untuk mengelolanya, maka keterlibatan/kontribusi organisasi
non-pemerintah (NGO) dan organisasi antar pemerintah (IGO) menjadi relevan.
Dengan demikian, masyarakat dapat memodifikasi suatu sifat non-rivalry dan non-excludable
dari suatu barang yang mengakibatkan suatu barang dapat menjadi barang publik atau parang
privat sebagai hasil dari pilihan kebijakan. Pertimbangan baru dalam menghadapi tantangantantangan ini dapat memperluas definisi untuk mengakui bahwa , dalam banyak kasus ,
barang ada tidak dalam bentuk aslinya tetapi sebagai konstruksi sosial , sangat ditentukan
oleh kebijakan dan tindakan manusia kolektif lainnya . [ 5 ]
Implikasi Global Public Goods

Ketika proses globalisasi menyentuh lingkup yang semakin besar dari budaya dan sumber
daya alam, cara-cara di mana barang-barang publik global diciptakan, dirancang, dan dikelola
3

memiliki implikasi yang luas. Isu globalisasi, hari ini , adalah justru orang yang berada di luar
upaya kebijakan negara, mencerminkan ketidaksesuaian antara ruang lingkup masalah dan
otoritas pengambilan keputusan yang berusaha untuk mengatasi masalah tersebut. [ 9 ]
Banyak barang-barang yang merupakan barang publik by default mungkin akan lebih baik
diklasifikasikan di tingkat kebijakan sebagai common goods ( yang pada tingkat global
disebut global common goods - global common), dengan regulasi yang tepat, sampai saat
seperti tingkat pengetahuan, pandangan ke depan dan struktur yang mengatur mungkin
menjadi tersedia untuk menunjuk sumber daya seperti baik barang publik dan pribadi .
At a time when processes of globalization are encompassing increasingly more cultural and
natural resources, the ways in which global public goods are created, designed, and managed
have far-reaching implications. Issues of globalization, today, are precisely those that are
beyond the policy endeavors of states, reflecting a mismatch between the scope of the
problem and the authority of decision-making bodies attempting to address such issues.[9]
Many goods that might be public by default would be best designated at the policy level as
common goods (global-level common-pool resources or global commons), with appropriate
regulation, until such time as levels of knowledge, foresight and governing structures might
become available to designate such resources as either private or public goods.
Although not the only example, no better example can be found than the issue of potable
water. Water has always been an important and life-sustaining drink to humans and is
essential to the survival of all known organisms. Over large parts of the world, humans have
inadequate access to potable water and use sources contaminated with disease vectors,
pathogens or unacceptable levels of toxins or suspended solids. Drinking or using such water
in food preparation leads to widespread waterborne diseases, causing acute and chronic
illnesses or death and misery in many countries.[10] While the global water cycle is the subject
of advanced scientific study and observation, it is still an incompletely understood process. If
availability of water for human consumption is left solely to market forces, those who are
most in need of water for subsistence-level survival are also those least likely to be able to
purchase it at a market price. Since the water cycle and the natural flows of fresh water
resources do not obey the limits of political boundaries, neither can these water resources be
managed solely by local- or national-level public authorities. Privatization of such resources
can be used as a method of avoiding contentious public policy-making processes, but is likely
to produce inequities.[11][12][13] The history of the development of water supply and sanitation
in Ecuador and resulting water conflicts there are an example.[14][15] Thoughtful design of
transnational or international water management authorities over such global common-pool
resources will play a large part in possible solutions to peak water problems.
Moreover, there are a number of global public goodsor global-level common-pool
resourcesthat are necessary conditions for continuing global trade and transactions.[16] Even
if one takes a position that globalization has more negative impacts than positive, the
economic interdependence of national-level economies has reached a kind of point of no
return in terms of continued global economic stability. Thus, continuing global trade and
transactions require global public goods such as widespread peace, international economic
stability, functioning supranational trade authorities, stable financial and monetary systems,
effective law enforcement, relatively healthy populations of consumers and laborers, etc.[16]

Meskipun bukan satu-satunya contoh , contoh yang lebih baik dapat ditemukan dari masalah
air minum . Air selalu menjadi penting dan minuman mempertahankan hidup bagi manusia
dan sangat penting untuk kelangsungan hidup semua organisme dikenal . Selama sebagian
besar dunia, manusia memiliki akses memadai terhadap air dan penggunaan sumber minum
terkontaminasi dengan vektor penyakit , patogen atau tingkat yang tidak dapat diterima racun
atau padatan tersuspensi . Minum atau menggunakan air seperti dalam persiapan makanan
menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui air yang meluas , menyebabkan penyakit akut
dan kronis atau kematian dan kesengsaraan di banyak negara . [ 10 ] Sementara siklus air
global adalah subyek penelitian ilmiah maju dan observasi , itu masih tidak sempurna proses
dipahami . Jika ketersediaan air untuk konsumsi manusia yang tersisa hanya kekuatan pasar ,
mereka yang paling membutuhkan air untuk subsisten tingkat kelangsungan hidup juga
mereka paling mungkin untuk dapat membelinya dengan harga pasar . Karena siklus air dan
aliran alami dari sumber air bersih tidak mematuhi batas-batas batas-batas politik , tidak
dapat sumber daya air dikelola sendiri oleh otoritas publik lokal atau tingkat nasional .
Privatisasi sumber daya tersebut dapat digunakan sebagai metode untuk menghindari proses
pengambilan kebijakan publik diperdebatkan , tetapi kemungkinan untuk menghasilkan
ketidakadilan [ 11 ] . [ 12 ] [ 13 ] Sejarah pengembangan penyediaan air dan sanitasi di
Ekuador dan air yang dihasilkan konflik ada contoh . [ 14 ] [ 15 ] desain yang penuh otoritas
pengelolaan air transnasional atau internasional atas sumber umum seperti global akan
memainkan peranan besar dalam solusi yang mungkin ke puncak masalah air .
Selain itu, ada sejumlah barang atau publik global - tingkat global common -pool sumber
daya yang kondisi yang diperlukan untuk melanjutkan perdagangan dan transaksi global. [ 16
] Bahkan jika seseorang mengambil posisi bahwa globalisasi memiliki dampak yang lebih
negatif daripada positif, saling ketergantungan ekonomi ekonomi tingkat nasional telah
mencapai semacam point of no return dalam hal stabilitas ekonomi global terus . Dengan
demikian , melanjutkan perdagangan dan transaksi global yang membutuhkan barang-barang
publik global seperti perdamaian luas , stabilitas ekonomi internasional , berfungsi otoritas
perdagangan supranasional , sistem keuangan dan moneter yang stabil , penegakan hukum
yang efektif , populasi relatif sehat konsumen dan buruh , dll [ 16 ]
In traditional usage, a Global public good is a good that has the three following properties:[1]

It is non-rivalrous. Consumption of this good by anyone does not reduce the quantity
available to other agents.

It is non-excludable. It is impossible to prevent anyone from consuming that good.

It is available more-or-less worldwide.

This concept is an extension of American economist Paul Samuelson's classic notion of


public goods[2] to the economics of globalization.
The traditional theoretical concept of public goods does not distinguish with regard to the
geographical region in which a good may be produced or consumed. However, the term
"global public good" has been used to mean a public good which is non-rival and nonexcludable throughout the whole world, as opposed to a public good which exists in just one
national area. Knowledge has been used as a classic example of a global public good.[3] In
some academic literature, it has become associated with the concept of a common heritage of
mankind.[4]
5

Challenges to the traditional definition


Significant challenges exist to the classical definition of "public goods", in general, that are
also relevant to the definition of "global public goods". Kaul et al. (2003), suggest that there
are actually three types of public goods.[5] First, there are public goods that cannot be made
excludable, either because they are inherently indivisible or because the cost of division
would be prohibitive. A simple example would be sunlight. Second, there are goods that are
inherently public by design. Examples include a nation's judiciary system or basic education
system. A third type, they argue, are goods that are public by default, either due to lack of
foresight or knowledge in the design. An example of this type would be the ozone layer and
damage done to the environment by chlorofluorocarbon (CFC) emissions before anyone
understood the potential for damage.

Thus, society can modify the non-rivalry and non-excludability of a goods benefits such that
goods often become private or public as a result of deliberate policy choices. New
consideration in the face of these challenges can expand the definition to recognize that, in
many cases, goods exist not in their original forms but as social constructs, largely
determined by policies and other collective human actions.[5]

Implications

Dalam literature kajian ekonomi mengenai barang publik, biasanya suatu barang
publik diasumsikan sebagai barang publik murni. Yang dimaksud dengan barang publik
murni yaitu tidak ada satupun agen ekonomi yang dapat dikecualikan untuk menerima
manfaat suatu barang publik (non-excludable) dan jika barang publik ini dikonsumsi oleh
seorang konsumen maka konsumen lain tidak terhalang untuk mengkonsumsi barang publik
pada saat yang sama (non rivalry). Asumsi umumnya literatur barang publik, yang
memperlakukan suatu barang publik sebagai barang publik murni biasanya dilandasi motif
untuk menyederhanakan analisis model. Perubahan asumsi model barang publik dengan
karakteristik barang publik tidak murni (impure publik goods) akan membuat model menjadi
lebih kompleks dan tentunya analisis model menjadi lebih kompleks pula.

Namun demikian, pada kenyataannya kebanyakan barang publik sebenarnya tidaklah


memiliki sifat yang murni sebagai barang publik (impure public goods). Dengan memodelkan
suatu barang publik yang memiliki karakteristik sifat yang tidak murni sebagai barang publik,
maka hasil analisis model tersebut dapat berbeda dibandingkan dengan model yang
menggunakan asumsi bahwa suatu barang publik merupakan suatu barang publik murni.
Penelitian ini mendiskusikan mengenai dampak/efek suatu alternatif/pilihan-pilihan
teknologi dalam suatu model barang publik tidak murni.

Ikhtisar Essay
Essay ini merupakan suatu kajian/pemodelan global public good dengan
memperlakukannya sebagai suatu barang publik global tidak murni (impure global public
good). Hal ini sejalan dengan karakteristik suatu global public goods pada umumnya. Seperti
yang telah didiskusikan pada bagian pembahasan konsep global public goods, suatu global
public goods pada umumnya memiliki karakteristik joint production yaitu memiliki
karakteristik yang berbeda dalam tingkat publicness (dengan kata lain suatu global public
goods memiliki karakteristik impure global public goods/barang publik global tidak murni).
Adanya karakteristik joint production of several characteristic of different degree of
publicness dari suatu global public goods merupakan argument penulis essay ini (Loschel dan
Rubbelke; 2009) untuk menggunakan pendekatan pemodelan impure global public good.
Dengan pendekatan ini, diharapkan karakteristik substitusi dan komplementer dari suatu
karakteristik subsitusi dan komplementer dari karekteristik barang privat dan barang publik
untuk suatu global public goods dapat diamati dan di
Literatur ekonomi mengenai barang publik biasanya memodelkan suatu barang publik
sebagai barang publik murni, walaupun kebanyakan barang publik tidak memiliki
karakteristik sebagai barang publik murni (pure public good). Pertimbangan asumsi analisis
barang publik sebagai barang publik murni (pure public good) dimaksudkan untuk
kemudahan analisis.
Pemodelan barang publik dengan asumsi karakteristik barang publik yang tidak murni
(impure public goods) dipelopori oleh Cornes dan Sandler (1984), yang memodelkan suatu
pendekatan fungsi kepuasan konsumen yang memiliki tiga karakteristik. Cornes dan Sandler
mengusulkan pendekatan ini untuk suatu aktifitas seorang philantropis (agen ekonomi yang
7

tidak egois/hanya memikirkan kepuasan diri sendiri yang bersedia menyediakan atau
memproduksi suatu barang publik).
Penelitian Cornes dan Sandler dikembangkan oleh Andreoni (1986, 1989, 1990).
Penelitian Andreoni menjadi pelopor suatu rangkaian penelitian yang dikaitkan dengan istilah
warm-glow giving yaitu suatu fenomena ekonomi yang berusaha menjelaskan alasan
seseorang melakukan tindakan altruis yang tidak murni. Andreoni menyatakan bahwa
tindakan altruis dari seorang agen ekonomi didorong tidak hanya motif meningkatkan
kesejahteraan penerima bantuan namun juga karena pelaku altruis mendapatkan
kepuasan/utility dari tindakan altruisnya. Hal ini berbeda dengan tindakan altruis murni
dinama pelaku altruis semata-mata didorong oleh motif meningkatkan kesejahteraan
penerima bantuan dan dirinya tidak mendapatkan kepuasan apapun dari tindakannya maupun
penghargaan dari lingkungan sosialnya.
Analisis model-model lain dari model barang publik tidak murni merupakan suatu
analisis lebih lanjut dari pendekatan yang digunakan oleh Cornes dan Sandler (1984). Hasil
analisis model-model seperti ini tentu tidak bisa didapatkan jika suatu barang publik
dimodelkan sebagai barang publik murni. Cornes dan Sandler (1994), misalnya, melakukan
analisis karakteristik penyediaan bersama suatu barang publik tidak murni antara pemerintah
dengan pihak privat untuk berbagai tingkat karakteristik barang publik suatu komoditas
(karakteristik joint production) dengan menggunakan pendekatan komparatif statis. Analisis
Cornes dan Sandler (1994) menunjukkan bahwa tingkat substitusi dan komplementer dari
karakteristik barang privat dan barang publik yang dihasilkan oleh suatu barang publik
memainkan peran penting terhadap respon atau hasil analisis komparatif statis. Hal ini tentu
saja tidak dapat dilakukan untuk analisis suatu model barang publik yang diasumsikan
memiliki karakteristik barang publik murni. Penelitian lain oleh Ihori (1992, 1994)
melakukan suatu analisis karakteristik komparatif statis suatu barang publik dengan
menggunakan model yang berbeda dari yang digunakan oleh Cornes dan Sandler (1994).
Walaupun analisisnya menjadi lebih kompleks, model barang publik yang tidak murni
dan penyediaan bersama barang oleh pemerintah dan sektor swasta mernjadi suatu alat
analisis yang penting dalam ilmu ekonomi. Karakteristik joint production/joint
characteristic dari suatu barang publik tidak murni telah digunakan untuk menganalisis
topik-topik antara lain, seperti perlindungan iklim (climate protection) oleh Sandler (1996),
Rubbelke (2003), Markandya dan Rubelke (2004), konsumsi ramah lingkungan (Kotchen,
8

2005), pembiayaan stasion radio publik (Kingma dan Hartley, 2001), pengangkutan dan
pengumpulan limbah/sampah (Dubin dan Navarro, 1989) dan bahkan terorisme (Rubbelke,
2005, Pitel dan Rubbelke, 2006).
Model barang publik yang tidak murni akan lebih mendapatkan perhatian karena
diskusi barang publik global menjadi suatu topik diskusi yang sedang hangat (Kaul et, al,
1999). Hampir seluruh penyediaan barang publik global merepresentasikan suatu kegiatan
produksi bersama (join production) dari beberapa karakteristik dari tingkat karakteristik
publik suatu barang publik yang tidak murni, misalnya, suatu produksi barang publik
global merupakan suatu produksi barang publik yang tidak murni.
Dengan demikian, perlindungan hutan tropis dapat dipandang sebagai suatu barang
publik global yang tidak murni. Karakteristik barang publik murni dari barang publik ini
(perlindungan hutan tropis) adalah perlindungan dari keberagaman hayati yang menyediakan
material genetic yang mengandung khasiat pengobatan untuk berbagai penyakit yang
mengancam manusia. Karakteristik barang publik lain dari perlindungan hutan tropis adalah
memberikan perlindungan bagi iklim secara global (sebagai carbon storage). Namun Sandler
(1997) juga menyatakan bahwa tidak semua keuntungan yang didapatkan dari keberadaan
hutan tropis merupakan barang publik global, karena keberadaan dan perlindungan hutan
tropis merupakan barang privat atau barang publik yang hanya dinikmati oleh negara pemilik
hutan tropis atau negara tetangga pemilik hutan tropis. Keuntungan yang dinikmati secara
terbatas ini bersumber dari misalnya pengurangan/pengendalian erosi tanah dan resapan
air.
Cara pandang ini dapat juga diaplikasikan untuk isu-isu global lain seperti
perlindungan iklim, inisiatif global untuk pemberantasan penyakit atau perlindungan perairan
internasional. Beberapa contoh dari barang publik yang tidak murni untuk dimensi geografis
yang lebih kecil adalah gedung teater dan universitas. Tentunya, terdapat penonton yang
menikmati pertunjukan teater. Namun, menurut Baumol dan Bowen (1966), pertunjukan seni
juga akan meningkatkan identitas lokal serta prestise international. Dengan demikian, kita
dapat mengamati suatu karakteristik privat dari teater (pertunjukan yang dinikmati oleh
penonton teater) dan juga karakteristik publik dari teater (yang dinikmati oleh suatu
kawasan). Contoh lain, pelajar/mahasiswa yang mendapatkan pendidikan di suatu institusi
pendidikan, seperti universitas (karakteristik privat), namun universitas juga memberikan

suatu manfaat bagi kawasan secara keseluruhan karena menarik perusahaan untuk
berinvestasi (karakteristik publik regional).
Walaupun model barang publik tidak murni yang ada sudah dapat diaplikasikan dalam
banyak bidang ekonomi, terdapat suatu permasalahan yang masih belum banyak diteliti atau
masih terabaikan, yaitu efek dari suatu alternatif teknologi terhadap hasil hasil analisis
model. Jika faktor teknologi diabaikan, maka keuntungan/manfaat dari joint production
technology akan menjadi terlalu besar (overstatement), selanjutnya akan mengakibatkan
suatu tingkat produksi bersama yang tidak efisien. Dalam penelitian ini, Loschel dan Rubelke
(2009) mengilustrasikannya dengan suatu kebijakan perlindungan iklim. Suatu kebijakan
terkait iklim, dalam bentuk pajak lingkungan yang dikenakan atas konsumsi bahan bakar
fosil, cenderung mengakibatkan suatu peningkatan dari efisiensi energi dan konsekuensinya
akan mengurangi tingkat konsumsi bahan bakar fosil. Pengurangan konsumsi bahan bakar
ini, disatu sisi, dapat dikaitkan dengan mitigasi bagi emisi gas rumah kaca (CO2), yang
menghasilkan suatu bentuk perlindungan bagi iklim yang merupakan manfaat utamanya. Di
sisi lain, pengurangan konsumsi bahan bakar ini dapat dihubungkan dengan suatu manfaat
tambahan dalam bentuk penurunan/pengurangan emisi polutan lain seperti emisi SO2. Pajak
konsumsi

bahan

bakar

fosil

juga

diyakini

menghasilkan

suatu

mitigasi

pengurangan/penurunan jumlah kecelakaan lalu lintas dan korban luka akibat kecelakaan lalu
lintas, pengurangan kemacetan dan pengurangan kebisingan lalu lintas. Beberapa hasil kajian
memperkirakan dampak keuntungan tambahan yang dihasilkan dari kebijakan pengenaan
pajak konsumsi bahan bakar fosil bahkan melebihi manfaat utamanya.
Namun demikian, walaupun seandainya manfaat tambahan dari suatu kebijakan pajak
bahan bakar itu memang benar, tidak dikatakan bahwa manfaat tambahan yang dihasilkan
tersebut (misalnya berkurangnya angka kecelakaan lalu lintas dan korban luka akibat
kecelakaan lalu lintas) hanya dihasilkan semata-mata dari suatu kebijakan perlindungan
iklim. Suatu tambahan fasilitas keamanan berkendara (contohnya: airbag) untuk kendaraan
juga dapat mengurangi angka korban luka dari kecelakaan lalu lintas. Tambahan panjang
jalan juga akan dapat mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas.

Peredam suara dapat

memitigasi dampak buruk dari kebisingan lalu lintas. Selanjutnya, instalasi desulfurisasi
merupakan suatu alat yang efektif untuk mengurangi emisi SO2. Alat-alat atau fasilitas ini
seperti peredam kebisingan, tambahan jalan dan fasilitas keselamatan di dalam mobil tidak
melindungi memberikan dampak positif bagi iklim. Dengan demikian, menjadi tidak jelas
dari perspektif ekonomi kesejahteraan (welfare economics) apakah menjadi lebih efisien
10

untuk memitigasi emisi SO2 dengan kebijakan iklim (pajak bahan bakar fosil) atau dengan
penggunaan alat/instalasi desulphurisasi, karena biaya untuk mengimplementasikasn
teknologi yang berbeda akan dapat menghasilkan efek yang berbeda. Jika suatu negara
memperkirakan instalasi desulfurisasi sebagai suatu pilihan yang menarik, maka penggunaan
yang luas dari instalasi ini akan mengurangi manfaat tambahan dari kebijakan pajak bahan
bakar fosil, dengan demikian, akan cenderung mengurangi manfaat keseluruhan dari
kebijakan pajak bahan bakar fosil (eco-tax). Seperti yang diungkapkan dari contoh ini, jumlah
dan harga/biaya dari pilihan beberapa teknologi yang secara khusus diproduksi bagi suatu
karakteristik privat suatu barang publik tidak murni merupakan suatu hal yang penting bagi
perkiraan dampak manfaatu suatu kebijakan iklim, dan konsekuensinya, menjadi penting juga
bagi suatu disain kebijakan yang efisien. Perubahan parameter-parameter ini akan berdampak
pada tingkat barang publik yang efisien, yang dalam kajian ini menggunakan contoh tingkat
pajak bahan bakar fosil yang optimal.
Satu kajian literatur yang mempertimbangkan peranan pilihan-pilihan teknologi,
adalah model penyediaan bersama suatu barang publik yang tidak murni yang diusulkan oleh
Posnet dan Sandler (1986). Posnet dan Sandler (1986) menganalisis suatu keputusan
konsumen antara dua komoditas. Komoditas pertama merupakan suatu barang privat yang
permintaannya diasosasikan dan tergantung pada pembiayaan suatu output publik (joint
production). Komoditas lainnya merupakan suatu komoditas privat murni. Dengan demikian,
Posnet dan Sandler mempertimbangkan dua teknologi yang berbeda yang menyediakan
pasokan bagi konsumsi barang privat, teknologi pertama yang diasosiasikan dengan kegiatan
produksi bersama (joint production), dan teknologi kedua yang diasosiasikan tanpa kegiatan
produksi bersama. Ide ini digunakan lagi oleh Loschel dan Rubbelke dalam paper/essay ini,
dimana dalam kajian ini dipaparkan suatu setting yang lebih umum dari model comparative
statis yang diusulkan oleh Cornes dan Sandler (1994). Modifikasi ini diusulkan pertama kali
oleh Rubbelke (2002, 2003). Namun, karena model analisis oleh Rubbelke (2002, 2003) tidak
selalu menemukan hasil yang tidak ambigu, penulis kajian ini (Loschel dan Rubbelke, 2009)
melakukan suatu simulasi numerik dari model komparatif statis. Simulasi ini memungkinkan
dilakukannya suatu perbandingan hasil-hasil yang tidak ambigu dengan analisis yang ambigu.
Penggabungan dua model komparatif statis mengharuskan dilakukannya suatu analisis
tiga komoditas dan bukan lagi dua komoditas. Dengan perluasan model ini, tingkat substitusi
yang berbeda antara karakteristik barang privat yang diproduksi bersama (joint production)
dan barang privat lain dapat diamati (captured) misalnya ketika mempertimbangkan faktor
11

heterogenitas antara barang privat/karakteristik komoditas. Hanya terdapat sekelompok


barang publik tertentu yang dipandang dapat merepresentasikan suatu substitusi yang
memadai bagi karakteristik privat produksi bersama (joint production), dan kelompok barang
ini diasumsikan diatur oleh suatu otoritas yang terpusat (kelompok barang yang dapat
dipengaruhi oleh kebijakan).
Kemudian Loschel dan Rubelke (2009) melakukan analisis komparatif statis atas
model hasil modifikasi dan penggabungan model Posnet dan Sandler (1986) dan model
Cornes dan Sandler (1994). Perhatian utama dari analisis comparative statis adalah pada dua
parameter yang secara langsung diasosiasikan dengan substitusi: harga dan kuantitasnya.
Selanjutnya, penelitian Loschel dan Rubbelke (2009) ini beranjak lebih jauh dari
analisis komparatif statis dengan melakukan replikasi terhadap pendekatan analisis ke dalam
suatu area simulasi numeric. Loschel dan Rubbelke (2009) menggunakan contoh suatu
barang publik tidak murni yaitu kebijakan iklim di German untuk simulasi komparatif statis
dalam suatu rerangka model simulasi parameter.
Hasil temuan dari simulasi model selanjutnya dibandingkan dengan hasil analisis
komparatif statis. Yang menjadi perhatian utama adalah hasil simulasi yang tidak ditemukan
pada analisis model menjadi perhatian utama. Hasil temuan tersebut digunakan oleh Loschel
dan Rubbelke untuk mengambil kesimpulan kajian ini.
Metodologi
Metodologi yang digunakan oleh penulis essay ini (Loschel dan Rubbelke) yaitu
membangun suatu model barang publik tidak murni dengan menggunakan menggunakan
referensi utama model barang publik tidak murni yang dibangun oleh Cornes dan
Sandler (1994) dimana model barang publik tidak murni dianalisis dengan pendekatan
komparatif statis. Selanjutnya Loschel dan Rubbelke juga mengadopsi model Posnet dan
Sandler (1986) yang memasukkan peran pilihan teknologi dalam model barang publik
tidak murni. Penggabungan dua model ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Rubbelke
(2002, 2003). Namun, hasil analisis model oleh Rubbelke tidak selalu dapat menemukan hasil
yang tidak ambigu.
Pada essay ini, Loschel dan Rubbelke (2009) mengulangi hasil penelitian Rubbelke
(2002,2003) sebelumnya, dan mengembangkannya dengan melakukan simulasi numeric
atas pendekatan komparatif statis dari model yang diusulkan oleh Rubbelke
12

(2002,2003) dengan menggunakan data terkait kebijakan iklim di Jerman. Simulasi atas
komparatif statis memungkinkan dilakukannya suatu perbandingan dari hasil analisis yang
ambigu dari Rubbelke (2002,2003) dengan suatu hasil yang tidak ambigu dari simulasi
model.
Hasil dari simulasi model yang tidak ambigu merupakan temuan penting dari
penelitian ini dan menjadi pijakan Loseche dan Rubbelke untuk mengambil suatu kesimpulan
penelitian.
Tahap-tahap pemodelan yang dilakukan oleh Loschel dan Rubbelke (2009) dalam
kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan spesifikasi model
Pada tahap penentuan spesifikasi model, Loschel dan Rubbelke melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. Menentukan dan mendefinisikan karakteristik dari suatu barang publik tidak murni
yang terdiri dari karakteristik pure public , dan impure public;
b. Menentukan dan mendefinisikan fungsi kepuasan agen ekonomi yang merupakan
fungsi tujuan agen ekonomi dan karakteristik fungsi kepuasan tersebut dimana fungsi
kepuasan ditentukan oleh konsumsi dari 3 komoditi yaitu: barang privat pertama,
barang privat kedua (yang identik dengan yang dihasilkan oleh barang public tidak
murni) dan barang publik tidak murni. Karakteristik fungsi kepuasan agen ekonomi
adalah strictly increasing, strictly quasi-concave dan twice differentiable.
c. Menentukan fungsi kendala dari fungsi tujuan yaitu: kendala anggaran (budget
constraint), asumsi Nash-Cournout, dan jumlah barang privat ke dua dan jumlah
barang public tidak murni adalah tetap (ditetapkan melalui suatu regulasi).
d. Menentukan problem maksimisasi kepuasan agen ekonomi berdasarkan point-poin
sebelumnya (poin a,b dan c).
2. Melakukan analisis model menggunakan pendekatan komparatif statis. Agen ekonomi
dapat memodifikasi tingkat karakteristik dari barang privat kedua dalam model. Analisis
komparatif statis dilakukan untuk melihat dan menganalisis dampak substitusi yang
dihasilkan dari variasi karakteristik barang privat kedua serta variasi harga teknologi yang
menghasilkan karakteristik barang privat kedua.
3. Melakukan simulasi numerik untuk dapat melihat efek variasi teknologi terhadap
ketersediaan barang publik tidak murni saja karena tidak dapat dipastikan melalui analisis
komparatif statis. Data yang digunakan adalah kebijakan pengurangan emisi CO2 di
Jerman.

13

Hasil dan Kesimpulan Model


Berdasarkan analisis komparatif statis dan simulasi numeric dari model, Loschel dan
Rubelke (2009) menyatakan menemukan hal-hal sebagai berikut:
1. Hasil dari analisis komparatif
Pendekatan analisis komparatif statis digunakan untuk melihat dampak substitusi yang
dihasilkan dari variasi karakteristik barang privat kedua serta variasi harga teknologi yang
menghasilkan karakteristik barang privat kedua. Hasil analisis komparatif statis
ditunjukkan bahwa variasi harga teknologi akan menghasilkan efek pendapatan,
sedangkan variasi teknologi memberikan hasil yang ambigu.
2. Hasil simulasi numerik atas model
Untuk memperbaiki hasil dari studi analisis, maka dilakukan simulasi numerik atas model
dengan contoh kebijakan terkait perubahan iklim dalam bentuk pajak bahan bakar fossil
di Jerman. Dalam konteks ini, perlindungan iklim (climate protection) mewakili
karakteristik barang publik global (berupa pengurangan emisi CO2 yang dinikmati
seluruh warga dunia) dari suatu barang publik tidak murni (climate policy),
sedangkan pengurangan polutan SO2 mewakili karakteristik privat dari suatu
barang publik tidak murni (climate policy), dari perspektif negara Jerman (karena
dampak dari pengurangan emisi SO2 hanya dinikmati terbatas oleh masyarakat Jerman).
Sebenarnya, hampir semua pilihan kebijakan untuk mengurangi emisi CO2 akan juga
mengurangi emisi SO2. Namun, emisi SO2 juga dapat dimitigasi secara terpisah
(independen) misalnya dengan suatu instalasi desulfurisasi, yang mewakili suatu
technology yang secara independen merupakan karakteristik privat dari suatu barang
publik yang tidak murni (karena hanya dinikmati oleh warga/penduduk Jerman).
Loschel dan Rubbelke juga mempertimbangkan fakta bahwa tingkat/derajat sifat barang
publik akan bervariasi untuk bagi setiap komunitas. Dengan demikian, dalam suatu
analisis standar bagi polusi udara di tingkat lokal/regional mewakili suatu barang publik
bagi penduduk di masing-masing wilayah. Namun, dalam skala internasional, Loschel
dan Rubbelke (2009) memperlakukan pengurangan polusi udara di tingkat lokal/regional
menjadi suatu barang privat dari perspektif suatu negara walaupun hal itu mewakili suatu
barang publik bagi setiap penduduk yang menikmati kualitas udara yang lebih baik.
Hasil simulasi mengkonfirmasikan temuan dari analisis komparatif statis dalam hal
dampak perubahaan harga dari barang privat yang kedua (barang privat yang dihasilkan
dari barang publik tidak murni). Dengan demikian, suatu peningkatan harga dari suatu
kebijakan pengurangan emisi CO2 yang terpisah dari pengurangan emisi SO2 (melalui
14

pajak bahan bakar fosil) akan menghasilkan suatu efek pendapatan. Konsekuensinya,
kebijakan pengurangan polusi tersebut akan menghasilkan dampak negatif pada
penyediaan barang publik tidak murni, dan selanjutnya akan mengurangi tingkat
perlindungan terhadap iklim secara keseluruhan. Ilustrasi eksplisit dari efek kesejahteraan
dalam rerangka simulasi model menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan akan menurun
ketika pajak bahan bakar fosil ditingkatkan.
Hasil simulasi model dapat menunjukkan dampak yang pasti (tidak ambigu) terhadap
tingkat kesejahteraan, berbeda dengan hasil model analitis yang menunjukkan dampak
yang tidak pasti terhadap dampak kesejahteraan (ambigu). Berdasarkan simulasi numeric
dari model, Loschel dan Rubbelke (2009) menyimpulkan bahwa peningkatan konsumsi
barang privat kedua akan mengurangi manfaat kebijakan barang publik murni (pajak
bahan bakar fosil). Pengurangan manfaat dai bahan bakar fosil selanjutnya akan diikuti
dengan peningkatan kesejahteraan umum (social welfare). Namun tambahan tingkat
kepuasan (utility) akan semakin kecil sejalan dengan peningkatan konsumsi barang privat
kedua.
Hal yang penting lainnya menunjukkan bahwa peningkatan harga dari suatu kebijakan
pengurangan emisi SO2 (misalnya kenaikan harga instalasi desulfurisasi untuk
mengurangi emisi SO2) hanya memberikan dampak yang negative kecil terhadap
peningkatan perlindungan iklim (dhl pengurangan emisi CO2) dibandingkan dengan
dampak yang dihasilkan dari peningkatan dalam suatu kebijakan yang menurunkan emisi
SO2 yang independent terhadap kebijakan iklim. Hal ini berarti bahwa suatu kenaikan
harga instalasi mitigasi emisi SO2 tidak menghasilkan dampak negative yang besar
terhadap tingkat perlindungan iklim (penurunan emisi CO2).
Sebaliknya, suatu peraturan yang mensyaratkan suatu standar yang lebih tinggi dari
pengendalian polusi di tingkat local maupun regional cenderung menghasilkan dampak
yang negative terhadap pada tingkat perlindungan iklim (mitigasi emisi CO2). Namun
demikian kebijakan ini cenderung meningkatkan kesejahteraan, walaupun peningkatan
kesejahteraan akan lebih lambat dari peningkatan pengendalian emisi. Peningkatan
kesejahteraaan dihasilkan dari emisi SO2 yang tidak optimalnya pengendalian emisi SO2.
Berdasarkan perbandingan antara hasil analisis komparatif statis degan hasil simulasi
numerik maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Simulasi numerik atas model, dapat mengkonfirmasi hal-hal yang sudah dapat dipastikan
melalui pendekatan analisis komparatif statis (hasil simulasi numeric sejalan dengan hasil
yang tidak ambigu dari analisis komparatif statis).
15

2. Selanjutnya simulasi numerik atas model juga dapat memperbaiki hasil analisis
komparatif statis melalui kemampuannya untuk mendapatkan hasil yang tidak ambigu
dari efek teknologi yang tidak dapat ditentukan melalui analisis komparatif statis.
Kontribusi Penelitian
Kontribusi signifikan dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman yang lebih
baik mengenai bagaimana dampak teknologi yang dihasilkan secara independent dari suatu
karakteristik barang privat (derajat non excludability dan non-rivalry) dari suatu barang
publik tidak murni terhadap tersedianya barang publik tidak murni.
Pemahaman ini didapatkan dengan menggunakan simulasi numerik atas suatu model
barang publik tidak murni, yang tidak bisa didapatkan dengan pendekatan komparatif statis
semata.
Penggunaan simulasi numerik sebagai pelengkap analisis komparatif statis dari suatu
model barang publik tidak murni dapat direplikasi untuk menilai dampak teknologi yang
dapat dihasilkan secara independen yang juga memberikan efek manfaat tambahan yang
sama dengan yang dihasilkan oleh kebijakan iklim (pajak bahan bakar fosil) yang memiliki
karakteristik barang privat dari barang publik tidak murni misalnya manfaat pengurangan
pengurangan tingkat korban luka akibat kecelakaan lalu lintas dengan adanya fasilitas
keamanan berkendara (contohnya airbag), pengurangan tingkat kebisingan lalu lintas dengan
adanya suatu teknologi untuk meredam suara dan pengurangan tingkat kemacetan lalu lintas
dengan menambah ruas jalan. Jika semua teknologi yang memberikan manfaat tambahan
(ancillary benefits) dari kebijakan pengurangan emisi CO2 melalui pajak bahan bakar fosil
dipertimbangkan, maka manfaat keseluruhan dari kebijakan mitigasi CO2 melalui pajak
bahan bakar fosil akan berkurang secara signifikan ke level yang wajar (tidak overstated).
Implikasi terhadap Kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian Loschel dan Rubbelke (2009) ini, seyogyanya ketika
perencana kebijakan merumuskan suatu kebijakan yang bertujuan menyediakan suatu barang
publik perlu membertimbangkan fakta bahwa hampir seluruh barang publik memiliki
karakteristik barang publik yang tidak murni (impure public goods). Artinya, suatu kebijakan
yang tujuan utamanya dimaksudkan akan menghasilkan barang publik murni (sebagai
manfaat utama) biasanya juga akan menghasilkan suatu barang dengan karakteristik barang
privat (sebagai manfaat tambahan) sehingga manfaat tambahan ini dapat dipandang sebagai
16

barang publik tidak murni. Dengan demikian, model barang publik murni tidak cukup baik
digunakan membantu perumusan suatu kebijakan penyediaan barang publik.
Selanjutnya,

jika

terdapat

kemungkinan

dihasilkan

suatu

teknologi

untuk

menghasilkan barang privat yang memenuhi karakteristik barang publik tidak murni secara
terpisah/independen maka biaya dan variasi dari teknologi tersebut perlu dipertimbangkaan
untuk menganalisis manfaat dari kebijakan yang akan dirumuskan, agar manfaat dari suatu
kebijakan penyediaan barang public tidak overstated. Dengan demikian pembuat
kebijakan/regulator akan dapat memformulasikan suatu kebijakan yang lebih efisien dari
perspektif ekonomi kesejahteraaan (welfare economic).

17

REFERENCES
Andreas Loschel , Dirk T. G. Rubbelke Impure Publik Goods and Technological
Interdependencies, Journal of Economic Studies Vol.36. No. 6, 2009 pp.596-615
Kaul, Inge, Isabelle Grunberg and Marc A. Stern (eds.) (1999). Global public goods:
international cooperation in the 21st century. NY: Oxford University Press, Inc. ISBN 0195130529 (PDF available.)
Samuelson, Paul A. (1954). "The Pure Theory of Public Expenditure". Review of Economics
and

Statistics

36

(4):

387389.

doi:10.2307/1925895.

JSTOR 1925895.

See also Samuelson, Paul A. (1955). "Diagrammatic Exposition of a Theory of Public


Expenditure". Review of Economics and Statistics 37 (4): 350356. JSTOR 1925849.
Joseph E. Stiglitz, "Knowledge as a Global Public Good." In Kaul, Inge, Isabelle Grunberg
and Marc A. Stern (eds.) (1999). Global public goods: international cooperation in the 21st
century. NY: Oxford University Press, Inc. ISBN 019-5130529
Baslar, Kemal (1998). The Concept of the Common Heritage of Mankind in International
Law. Martinus Nijhoff Pubs. ISBN 978-90-411-0505-9
Kaul, Inge et al., (eds.) (2003). Providing Global Public Goods: Managing Globalization.
New York: Published for the United Nations Development Programme (UNDP) by Oxford
University Press. ISBN 978-0195157413
Helbling, Thomas (2010). "What Are Externalities?" Finance & Development, 47(4).
Bodansky, Daniel (2012 August). "Whats in a Concept? Global Public Goods, International
Law, and Legitimacy." European Journal of International Law, 23(3) 651-668. doi
10.1093/ejil/chs035 Abstract.
Shaffer, Gregory (2012 August). "International Law and Global Public Goods in a Legal
Pluralist World." European Journal of International Law, 23(3): 669693. doi
10.1093/ejil/chs036 Abstract.

18

Kaul, Inge (2012). "Rethinking public goods and global public goods." Pp. 37-54 in ric
Brousseau, Tom Dedeurwaerdere, and Bernd Siebenhner (eds.), Reflexive Governance for
Global Public Goods. Cambridge, MS: The MIT Press. ISBN 978-0262516983
WHO and UNICEF Progress on Drinking-water and Sanitation: 2012 Update, WHO,
Geneva and UNICEF, New York.
Harrisa, Leila M (2009). "Gender and emergent water governance: comparative overview of
neoliberalized natures and gender dimensions of privatization, devolution and marketization".
Gender, Place & Culture: A Journal of Feminist Geography 16 (4): 387408.
doi:10.1080/09663690903003918.
Castro, Jos Esteban (January 2008). "Neoliberal water and sanitation policies as a failed
development strategy: lessons from developing countries". Progress in Development Studies
8 (1): 6383. doi:10.1177/146499340700800107.
Prasad, Naren (November 2006). "Privatisation Results: Private Sector Participation in Water
Services After 15 Years". Development Policy Review 24 (6): 669692. doi:10.1111/j.14677679.2006.00353.x.
Terry, Matt (2007)."Ecuador's Water Crisis: Damming the Water Capital of the World."
International Rivers.
Hitz, Julia Apland (2010). "The Water Conflict in Ecuador." State of the planet: blogs from
the Earth Institute, Columbia University.
Brock, Gillian (2009). Global Justice: a Cosmopolitan Account. NY: Oxford University
Press. ISBN 978-0199230938
Hal R. Varian, Microeconomic Analysis (3th edition), WW Norton and Co, 1992.

19

Anda mungkin juga menyukai