kesempurnaan makalah ini. Saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada para pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang
manusia. Dengan adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti makanan,
pakaian, tempat tinggal, transportasi, rekreasi, penunjang beribadah dan
sebagainya dapat dipenuhi. Dalam perkawinan kedudukan harta benda disamping
sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga berfungsi sebagai
pengikat perkawinan. Tetapi banyak juga ditemukan keluarga yang memiliki
banyak harta benda dalam perkawinan menjadi sumber masalah dan penyebab
terjadinya perselisihan dan perceraian suami isteri. Oleh sebab itu perlu ditinjau
dari beberapa segi agar hal yang tidak baik dapat dihindari.
Ada aspek lain yang perlu ditinjau dari segi hukum karena status harta benda
sebagai salah satu simbol duniawi sering membawa mala petaka yang fatal antara
suami isteri. Hal ini terjadi karena sangat banyak di antara pasangan suami isteri
tidak mengerti dengan perkawinan yang sedang dijalaninya secara benar. Oleh
karena itu, dalam makalah ini saya akan menjelaskan mengenai Kedudukan Harta
Dalam Perkawinan dan beberapa hal yang berkaitan dengannya. Walaupun
makalah saya jauh dari kesempurnaan, tetapi saya berharap semoga dapat
bermanfaat untuk kita semua.
B. PERMASALAHAN
Dari latar belakang tersebut, saya menemukan beberapa permasalahan yang
akan saya coba ulas dalam makalah ini. Permasalahan tersebut antara lain:
1.
2.
3.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
Harta bersama diatur dalam Undang-Undang no.1 Tahun 1974 pada pasal 35,
36 dan 37 menyatakan:
Pasal 35:
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
1. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Pasal 37:
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut
hukumnya masing-masing.
Dalam pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat
perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara harta
kekayaan suami isteri. Persatuan harta kekayaan itu sepanjang perkawinan
dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan
antara suami isteri. Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dariketentuan itu,
suami isteri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam
pasal 139-154 KUH Perdata.
Perjanjian sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan sebelum
perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta authenthic di depan
notaris. Akta authentic ini sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam
persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masingmasing suami dan isteri, jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum
perkawinan dilaksanakan, maka terjadi pembauran semua harta suami isteri,
kemudian harta suami dan isteri dianggap harta bersama.
Dalam pasal 128-129 KUH Perdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya
tali perkawinan antara suami isteri, maka harta bersama itu dibagi dua antara
suami isteri tanpa memperhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu
sebelumnya diperoleh. Perjanjian perkawinan dibenarkan oleh peraturan
Perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentuan umum
yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
3.
dengan harta gono-gini adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh
selama perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami
saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi
harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang
dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban
yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama
harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa
benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak,
benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur lain dalam
perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak
isteri maupun suami berhak atas separoh (seperdua) dari harta bersama.
perkawinan tidak akan berubah statusnya. Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974
menetapkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Masing-masing berhak menggunakan untuk keperluan apa saja.
Sehinggam menurut hukum perkawinan yang berlaku (Undang-Undang
No 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), harta kekayaan
yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk dalam harta
bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
4.
Perkawinan,
Dalam
yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan antara mantan suami-istri,
hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.
Selain itu, akibat perceraian terhadap harta bersama juga dapat ditentukan
oleh hukum adat yang digunakan para pihak, apabila para pihak menggunakan
hukum adat untuk mengatur akibat perceraian. Sehingga, segala sesuatu mengenai
harta bersama diatur berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-masing, dan
tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dan yang lainnya.
PERJANJIAN PERKAWINAN
5.
jika
dalam
perkawinan
sudah
lahir
anak-anak
yang
menjadi
berlangsung;
c) Pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang anda
6.
UU nomor 1 tahun 1974 menetapakan bahwa suami atau isteri dapat bertindak
bila atas dasar peretujuan kedua belah pihak. Menurut pasa 92 Inpres nomor 1
tahun 1991 suami atau isteri tanpa adanya persetujuan pihak lainnya tidak boleh
menjual atau memindahtangankan harta milik bersama.
Harta benda milik bersama hanya dapat digunakan untuk keperluan seharihari semua pihak terkait menurut atau untuk memenuhi kebutuhan bersama atau
kebutuhan apa yang menjadi tanggung jawabnya.menurut yang wajar dan layak.
Bila ada ada kelebihan wajib disimpan sebagai cadangan atau sebagai modal dan
investasi. Tidak boleh dibelanjakan secara boros, karena orang pemboros adalah
sahabat setan di dunia dan sahabat setan juga di dalam neraka kelak. Harta milik
bersama dapat dipergunakan oleh pihak ketiga sebagai pinjaman atau hibah
dengan syarat harus disetujui oleh suami / isteri dan anak-anak. Harta bersama
dalam perkawinan adalah milik suami /isteri dan semua anak-anak
BAB III
PENUTUP
Dapat disimpulkan, harta kekayaan dalam perkawinan itu dapat
digolongkan menjadi tiga golongan:
1.
Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum kawin, baik
diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya, dalam hal ini
disebut harta bawaan.
2.
3.
Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas
usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka, dalam hal ini disebut
harta pencaharian.
Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35-37
dikemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Harta bersama diatur dalam Undang-Undang no.1 Tahun 1974 pada
pasal 35, 36 dan 37. Di dalam KHI, harta kekayaan terdapat dalam Pasal 85-97
Demikianlah makalah yang saya buat ini, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan para pembaca. Saya mohon maaf apabila ada kesalahan
ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.
Karena saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan saya juga
sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Sekian penutup dari saya semoga dapat diterima di hati dan saya
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhammad. 1994. Hukum Harta Kekayaan. Bandung: Citra Aditya
Bakti
Abul A' La Al Maududi, Maulana, 1990. The Laws of Marriage and Divorce.
Jakarta: Gema Insani Press
H. Hilman, Hadikusuma. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut:
Perundangan Hukum Adat Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju
Idris Ramulyo, Mohd. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Kuswanto, Heru. 2012. Modul Hukum Perkawinan. Surabaya; Universitas
Naratoma
Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media Group
Pranata, T.A. 2012. Materi Kuliah Hukum Perkawinan. Jember; Universitas
Jember.
Wasmandan, Wardah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Teras