Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

Scabies
Scabies atau keropeng adalah penyakit kulit yang banyak menjangkiti
ternak, khususnya kambing dan sapi, bahkan bisa juga menyerang manusia.
Penularannya dapat terjadi melalui kontak langsung antar hewan penderita dengan
hewan lain atau manusia, dapat juga melalui kontak tidak langsung yaitu melalui
peralatan yang terkontaminasi. Terkadang kudis ini ditularkan melalui pakaian
dan benda-benda lain yang digunakan secara bersama-sama. Serangan penyakit
tersebut telah mengakibatkan pertumbuhan kambing atau domba yang dipelihara
di pedesaan terhambat sampai 38% dengan mortalitas meningkat sampai 28%
(Eleser, dkk., 2005).
Infeksi tungau ke jaringan kulit yang mencapai epidermis biasanya
menyebabkan gatal-gatal hebat. Diduga kotoran, bungkus telur dan tungau itu
sendiri mengandung bahan alergen, sehingga mengakibatkan pengeluaran
histamin dari sel darah putih (khususnya eosinofil dan sel mast) dan
memunculkan reaksi alergi berupa gatal (itchy) (Roitt, 1998). Semakin menyebar
tungau di kulit, semakin tinggi alergen yang masuk ke jaringan, maka sebagai
akibatnya akan muncul rasa gatal yang hebat pada ternak. Jika infeksi tungau telah
mencapai jaringan bawah kulit, maka akan sulit disembuhkan karena pengobatan
secara topikal (pengolesan salep) tidak akan mencapai lapisan tempat tungau
tersebut berkembangbiak.

5
Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Tungau Sarcoptes scabiei menginfeksi lapisan stratum corneum hingga ke stratum
germinativum epidermis kulit. (Sumber: bestpractice.bmj.com)

Gejala Serangan
Ciri khas dari scabies adalah gatal-gatal hebat, yang biasanya semakin
memburuk pada malam hari. Lubang berbentuk terowongan tungau tampak
sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5 cm (seperti terlihat pada
gambar 1), kadang pada ujungnya terdapat gumpalan kecil. Lubang tersebut
paling sering ditemukan dan dirasakan gatalnya di sela-sela kuku kaki,
pergelangan tangan, siku, ketiak, di sekitar ambing, dan bagian bawah anus. Kulit
bagian terluar terlihat menebal, berkerut, dan terdapat keropeng diatasnya. Infeksi
diikuti dengan pembentukan papula atau vesikula, disertai dengan perembesan
cairan limfe. Ternak lain yang dipelihara dalam kandang yang sama cenderung
tertular dan memperlihatkan gejala ketidaktenangan (Subronto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Terowongan yang dibuat oleh Sarcoptes dibawah permukaan kulit


Sumber: bestpractice.bmj.com

Sarcoptes scabei sebagai penyebab scabies


Menurut Subronto (2008), penyebab dari scabies pada umumnya adalah
tungau (mite) dari spesies Sarcoptes scabiei. Tungau sarcoptes bersifat parasitik,
dan mampu menyerang berbagai spesies ternak. Nomenklatur sarkoptes
didasarkan pada berbagai spesies hospes yang diserangnya. Tungau scabies pada
ternak kambing diketahui juga dari spesies Sarcoptes scabiei dari varietas caprae.
Menurut Kelly (1977), klasifikasi selengkapnya dari tungau tersebut adalah
sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Arachnida

Ordo

: Acarina

Sub-ordo

: Sarcoptiformes

Famili

: Sarcoptidae

Genus

: Sarcoptes

Spesies

: Sarcoptes scabiei

Universitas Sumatera Utara

Varietas

: caprae

Morfologi Tungau Scabies


Bentuk morfologi tungau Sarcoptes scabiei cenderung bulat atau oval
(Soulsby, 1982). Sedangkan ukurannya sangat bervariasi yaitu berkisar antara
380-270 m untuk tungau betina, dan 220- 170 m untuk jantan (Kelly, 1977 dan
Flynn, 1973). Sementara itu Soulsby (1982) menyatakan tungau betina dapat
mencapai ukuran 330-600 m x 250-400 m sedangkan yang jantan 200-240 m
x 150-200 m. Dengan demikian, dari ukurannya dapat diketahui bahwa tungau
betina cenderung memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibanding dengan
tungau jantan, seperti terlihat pada gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Tungau Sarcoptes scabiei (kiri) dan perbedaan tungau betina dan tungau jantan (kanan)
Sumber : http://www.stanford.edu/, 2011

Lebih terperinci lagi, detail tungau betina menunjukkan adanya sepasang


setae tubuh yang vertikal, terletak di bagian anterodorsal. Pada sisi
mediodorsalnya terdapat sebuah plastron yang menyerupai keping, beberapa baris
melintang sisik segitiga dan tiga pasang setae yang panjang seperti pisau. Anus
terletak di daerah terminal, berbentuk celah longitudinal. Lubang genitalnya
sederhana terletak diantara pasangan kaki ketiga dan keempat. Pasangan kaki

Universitas Sumatera Utara

kesatu dan kedua terdiri atas lima segmen dan sebuah alat penghisap ambulacral.
Pasangan kaki ketiga dan keempat terdiri atas empat segmen dan berakhir dengan
setae yang kaku dan panjang. Palpi mempunyai tiga segmen dan terdapat chelate
chelicerae yang besar. Tungau jantan hampir sama dengan betina, tetapi lebih
kecil ukurannya. Tungau yang belum dewasa ditandai dengan belum adanya alat
penghisap ambulacral pada pasangan kaki keempat. Alat genital berbentuk seperti
lonceng dan memiliki sklerotisasi yang baik diantara pasangan kaki keempat
(Flynn, 1973).

Siklus Hidup Tungau Scabies


Siklus hidup tungau berlangsung pada tubuh inang, terdiri atas beberapa
tahapan yaitu telur, larva, deutonimfa dan bentuk dewasa jantan atau betina
(Williams et al., 1985). Tungau jantan bertemu dengan tungau betina pada
permukaan yang normal dari epidermis kulit (Muller and Kirk, 1976). Menurut
Grant (1986) dan Luevine (1990), siklus hidup Sarcoptes dimulai dari tungau
betina dewasa, setelah dibuahi maka sarcoptes akan mulai membuat lubang atau
terowongan di bawah permukaan kulit untuk meletakkan telurnya, sekaligus juga
membuang kotorannya di terowongan tersebut. Panjang terowongan bisa
mencapai 3 cm dan terbatas dalam lapisan epidermis kulit. 4 - 5 hari kemudian
mulai bertelur dan meletakkan 3 - 5 butir telur per hari dalam terowongan tersebut
sampai jumlahnya mencapai 40 - 50 telur. Tungau betina ini dapat mengeluarkan
telur sebanyak 90 butir sepanjang siklus hidupnya. Setelah meletakkan telurtelurnya, tungau betina akan mati. Umur tungau betina hanya mencapai tidak lebih
dari 3 - 4 minggu. Sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi (Oktora, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Telur akan berada di terowongan antara 3 - 10 hari setelah itu menetas


menjadi larva berukuran 215 x 156 m yang memiliki tiga pasang kaki (Foster
and Smith, 2011; Soulsby, 1982). Larva dapat tinggal dalam terowongan, atau
bermigrasi ke luar pada daerah sekitarnya untuk mencari makanan, kemudian
kembali dan menggali kulit lebih dalam untuk membuat tempat moulting
(moulting pocket) menjadi tahap nimfa (Kelly, 1977). Nimfa memiliki empat
pasang kaki namun organ kelaminnya belum berkembang. Nimfa berukuran 220 x
195 m (Flynn, 1973; Soulsby, 1982). Setelah 2 - 3 hari larva akan menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan atau betina dengan 4 pasang kaki. Selanjutnya
nimfa akan tumbuh menjadi parasit dewasa dalam kurun waktu 2 minggu. Seluruh
siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara
8 - 12 hari (Oktora, 2009). Siklus ini akan berulang kembali sepanjang tungau
tersebut masih hidup (http://www.obatherbalalami.com/, 2011). Siklus hidup
penuh dari tungau sejak fase telur sampai dengan tungau dewasa penuh adalah 17
- 21 hari (Urguhart et al, 1987). Tungau mampu bertahan hidup di luar tubuh
inang 2-6 hari pada suhu ruangan, dan bisa bertahan hidup hingga 22 hari pada
lingkungan yang sedikit lembab (Foster and Smith, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Siklus hidup Sarcoptes scabiei


Sumber : http://www.stanford.edu, 2011

Terapi secara umum


Pengobatan yang biasa dilakukan oleh dokter hewan yaitu dengan
ivermectin, neguvon atau asuntol. Ivermectin dengan dosis yang tepat, baik injeksi
(suntikan) maupun per oral (minum) dapat membunuh tungau sarcoptic pada
kambing. Pengobatan dengan in jeksi ataupun per oral harus terus-menerus agar
pengobatan benar-benar tuntas. Ivermectin dapat juga diberikan kepada ternak
seperti kambing dengan dosis 1 ml untuk setiap 20kg berat badan. Salah satu
merek dagang ivermectin adalah ivomec. Obat-obatan tersebut sejauh ini relatif
sulit didapat di pasar dan cenderung mahal bagi peternak untuk bisa
menyediakannya setiap saat (Disnak Provinsi Jawa Barat, 2011).
Alternatif lain yang bisa dilakukan adalah dengan mencukur bulu di
sekitar daerah yang terkena scabies, kemudian area luka dicuci dengan air hangat
dan kemudian diolesi sulfur zalf (salep belerang) atau scabisid salep pada daerah

Universitas Sumatera Utara

yang terkena scabies. Jika tingkat infeksi belum terlalu parah, obat ini biasanya
dapat menyembuhkan scabies pada beberapa jenis hewan termasuk kelinci
(Disnak Provinsi Jawa Barat, 2011). Selain itu, Oktora (2009) juga menyebutkan
obat sejenis yakni selamectin dan amitraz. Selamectin dapat diaplikasikan dalam
bentuk obat tetes sebulan sekali. Sedangkan Amitraz diaplikasikan langsung di
kulit setiap minggu dengan cara dimandikan atau disikat.
Pengobatan oral atau topikal seperti yang disebut diatas belum cukup.
Oktora (2009) menyatakan harus ditambahkan juga pengobatan yang sesuai
dengan kondisi hewan bersangkutan seperti :
a. Antibiotik : untuk mencegah infeksi pada luka akibat garukan
b. Kortikosteroid jangka pendek : untuk mengurangi rasa gatal
c. Vitamin untuk meningkatkan kondisi secara umum dan daya tahan
Pada prinsipnya, Oktora (2009) menyatakan bahwa pengobatan secara
menyeluruh baik terhadap individu ternak yang sakit maupun terhadap sumber
penyebabnya, yakni tungau, harus dilakukan secara simultan sehingga pengobatan
bisa benar-benar tuntas. Namun jika ditinjau dari runutan awal terjadinya
penyakit, maka penanggulangan awal terbaik adalah segera membasmi tungau
begitu diketahui bahwa ternak mulai terinfeksi. Penanggulangan awal ini dapat
ditangani oleh peternak sendiri tanpa harus mengeluarkan biaya besar, yakni
menerapkan pengobatan tradisional terhadap ternak yang terinfeksi sarcoptes.
Sejauh ini, beberapa tanaman tertentu misalnya gamal dan sirih dapat membantu
mematikan tungau. Tanaman berikutnya yang dalam penelitian adalah mimba.

Universitas Sumatera Utara

Mimba (Azadirachta indica A. Juss)


Mimba adalah tanaman yang banyak tumbuh di daerah tropis, terutama di
dataran rendah. Tanaman ini banyak ditemukan di daerah Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Madura pada ketinggian sampai dengan 300 m dpl, tumbuh di tempat
kering berkala, sering ditemukan di tepi jalan atau di hutan terang (Aradilla,
2009).
Masyarakat umum mengenal tanaman ini dengan nama Mimba. Nama
lain mimba sesuai dengan istilah lokal adalah Nimba (sunda), Intaran (Bali, Nusa
Tenggara), Imbau (Jawa Timur), Mempheuh, Membha (Madura). Sistematika
tanaman mimba adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)


Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi

: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas

: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Sub Kelas

: Rosidae

Ordo

: Sapindales

Famili

: Meliaceae

Genus

: Azadirachta

Spesies

: Azadirachta indica A.Juss

(Sukrasno, dkk, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Morfologi Tanaman Mimba


Tanaman mimba memiliki ciri morfologi yang mirip dengan tanaman
sejenis yaitu mindi (Melia azedarach), maka ciri morfologi mimba perlu dicermati
lebih jeli. Tanaman mimba berupa pohon, tingginya 8-15 m, bunga banci. Batang
simpodial, kulit batang mengandung gum, pahit. Daun menyirip gasal
berpasangan. Anak daun dengan helaian berbentuk memanjang lanset bengkok,
panjang 3-10 cm, lebar 0,5-3,5 cm, pangkal runcing tidak simetri, ujung runcing
sampai mendekati meruncing, gundul. Tepi daun bergerigi kasar, remasan berasa
pahit, warna hijau muda. Bunga memiliki susunan malai, terletak di ketiak daun
paling ujung, 5-30 cm, gundul atau berambut halus pada pangkal tangkai
karangan, tangkai bunga 1-2 mm. Kelopak kekuningan, bersilia, rata-rata 1 mm.
Mahkota putih kekuningan, bersilia, panjang 5-7 mm. Benang sari membentuk
tabung benang sari, sebelah luar gundul atau berambut pendek halus, sebelah
dalam berambut rapat. Putik memiliki panjang rata rata 3 mm, gundul. Buah bulat,
hijau kekuningan 1,5-2 cm. Waktu berbunga Maret Desember (Aradilla, 2009).

Gambar 2. Morfologi tanaman mimba (Kiri) dan daun mimba (kanan)


Sumber : Dokumentasi penulis

Universitas Sumatera Utara

Kandungan zat pada tanaman Mimba


Tanaman mimba dikenal sebagai tanaman yang mengandung pestisida
yang ramah lingkungan, karena racun mimba tidak membunuh hama secara cepat,
namun mengganggu hama pada proses metamorfosa, makan, pertumbuhan,
reproduksi dan lainnya. Jadi, mimba termasuk dalam golongan pestisida nabati.
Wajar apabila mimba diperbolehkan pemakaiannya pada pertanian dan peternakan
organik (tercantum dalam SNI Pangan Organik), serta telah dipergunakan di
berbagai negara, termasuk Amerika yang dikenal sangat ketat peraturannya dalam
penggunaan pestisida (Sinar Tani, 2006).
Kandungan bahan pestisida pada mimba diantaranya adalah Azadirachtin,
Salanin, Mehantriol, Nimbin, dietil vilasinin, nimbandiol, 3-desasetil salanin,
salanol dan Nimbidin. Metabolit yang ditemukan dalam ekstrak ranting segar
yang larut dalam diklorometana antara lain desasetil nimbinolid, desasetil nimbin,
desasetil isonimbinolid. Kulit batang dan kulit akar mengandung nimbin,
nimbinin, nimbidin, nimbosterol, nimbosterin, sugiol, nimbiol, margosin (suatu
senyawa alkaloid). Hasil hidrolisis ekstrak bunga ditemukan kuersetin, kaemferol,
dan sedikit mirisetin. Dari bagian kayu ditemukan nimaton, 15% zat samak
terkondensasi.

Buah

mengandung

alkaloid

(azaridin)

(Aradilla,

2009;

http://www.iptek.net.id/, 2011). Banyaknya zat yang terkandung dalam tanaman


ini menyebabkan tanaman ini pantas untuk disebut sebagai tanaman pestisida
nabati.
Daun tanaman Mimba mempunyai rasa yang sangat pahit karena
mengandung zat Azadirachtin dan paraisin, suatu alkaloid dan komponen minyak
atsiri mengandung senyawa sulfida. Zat ini diketahui cukup efektif sebagai

Universitas Sumatera Utara

pestisida dan insektisida. Azadirachtin tidak langsung mematikan serangga tetapi


memodifikasi cara kehidupannya, sehingga serangga tidak aktif lagi. Serangga
yang memakan daun-daun yang disemprot dengan insektisida Mimba akan
terpengaruh oleh Azadirachtin. Produk Mimba juga dapat dipakai sebagai obat
anti nyamuk, obat cacing untuk ternak, dan mencegah hama pada makanan selama
penyimpanan (World Agroforestry Centre, 2011).
Menurut Samsudin (2008), Azadirachtin merupakan molekul kimia
C35H44O16 yang termasuk dalam kelompok triterpenoid. Rumus bangun
azadirachtin :

Gambar 3. Struktur Molekul Azadirachtin


Sumber : Aradilla, 2009

Efek primer azadirachtin terhadap serangga berupa antifeedant dengan


menghasilkan stimulan detteren spesifik berupa reseptor kimia (chemoreseptor)
pada bagian mulut (mouth part) yang bekerja bersama-sama dengan reseptor
kimia yang mengganggu persepsi rangsangan untuk makan (phagostimulant).
Efek sekunder Azadirachtin yang dikandung Mimba berperan sebagai ecdyson
blocker atau zat yang dapat menghambat kerja hormon ecdyson, yaitu suatu
hormon yang berfungsi dalam proses metamorfosa serangga. Serangga akan

Universitas Sumatera Utara

terganggu pada proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari telur
menjadi larva, atau dari larva menjadi kepompong, atau dari kepompong menjadi
dewasa. Biasanya kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan kematian
(Aradilla, 2009).
Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (antifeedant) yang
mengakibatkan daya rusak serangga sangat menurun, walaupun serangganya
sendiri belum mati. Oleh karena itu, dalam proses penggunaan pestisida nabati
dari mimba, seringkali hamanya tidak mati seketika setelah diaplikasi (knock
down), namun memerlukan beberapa hari untuk mati, biasanya 4-5 hari
(Kardiman, 2006).
Meliantriol berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan
hama serangga enggan mendekati zat tersebut. Suatu kasus menarik terjadi ketika
belalang Schistocerca gragaria menyerang tanaman di Afrika, semua jenis
tanaman terserang belalang, kecuali satu jenis tanaman yakni mimba. Mimba pun
dapat merubah tingkah laku serangga, khususnya belalang yang tadinya bersifat
migrasi, bergerombol dan merusak menjadi bersifat solitaire yang bersifat tidak
merusak (Aradilla, 2009).
Nimbin dan Nimbidin berperan sebagai anti-mikroorganisme seperti antivirus, bakterisida dan fungisida yang sangat bermanfaat untuk digunakan dalam
pengendalian penyakit tanaman (Kardiman, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai