Anda di halaman 1dari 36

Bab 5 Monitoring Kardiovaskuler

1. Ujung kateter tekanan vena sentral sebaiknya tidak dibiarkan bermigrasi ke ruangan jantung.
2. Walaupun kateter arteri pulmoner dapat digunakan untuk memandu terapi hemodinamik
tujuan-terarah untuk memastikan perfusi organ pada keadaan syok, terdapat metode lain yang
lebih tidak invasif untuk menentukan performa hemodinamik, termasuk pengukuran output
kardia thermodilusi transpulmoner dan analisis kontur pulsasi pada bentuk gelombang tekanan
arterial.
3. Kontraindikasi relatif terhadap kateterisasi arteri pulmoner termasuk blok berkas cabang kiri
(karena permasalahan mengenai blok jantung sepenuhnya) dan kondisi-kondisi yang dikaitkan
dengan peningkatan besar pada resiko aritmia, seperti sindroma Wolff ParkinsonWhite.
4. Tekanan arteri pulmoner perlu dimonitor secara kontinyu untuk mendeteksi posisi pendesakan
yang indikatif untuk migrasi kateter.
5. Pengukuran yang akurat pada output kardia bergantung pada injeksi yang cepat dan halus,
temperatur dan volume injektan yang diketahui dengan tepat, memasukkan faktor kalibrasi
yang benar untuk tipe kateter arteri pulmonter yang spesifik dalam komputer output kardia,
dan menghindari pengukuran selama elektrokauter.

Monitoring perioperatif yang cermat pada sistem kardiovaskuler adalah salah satu
tugas primer dari penyedia anestesi. Bab ini berfokus pada monitoring spesifik
pada peralatan dan teknik yang digunakan oleh anestesiologis untuk memonitor
fungsi kardia dan sirkulasi pada pasien sehat maupun tidak.
TEKANAN DARAH ARTERIAL
Kontraksi ritmik pada ventrikel kiri, mengeluarkan darah ke dalam sistem
vaskuler, menghasilkan tekanan arterial pulsatil. Tekanan puncak yang dihasilkan
selama kontraksi sistolik (pada keadaan tidak adanya stenosis valvula aortic)
memperkirakan tekanan darah arterial sistolik (SBP); tekanan arterial paling
rendah selama relaksasi diastolik adalah tekanan darah diastolik (DBP). Tekanan
nadi adalah perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik. Rata-rata berat-waktu
dari tekanan arterial selama siklus nadi adalah mean tekanan arterial (MAP).
MAP dapat ditetapkan dengan menggunakan formula berikut:
(SBP) + 2(DBP)
3
Tekanan darah arterial sangat terpengaruh dengan dimana tekanan tersebut
MAP =

diukur. Ketika nadi bergerak ke perifer melalui pohon arterial, cerminan


gelombang mengganggu tekanan bentuk gelombang, menyebabkan exagerasi
tekanan sistolik dan nadi. (Gambar 5-1). Sebagai contoh, tekanan sistolik arteri

radial biasanya lebih besar daripada tekanan sistolik aortik karena lokasinya yang
lebih distal. Sebaliknya, tekanan sistolik arteri radial seringkali merendahkan
tekanan yang lebih pusat setelah bypass kardiopulmoner hipothermik karena
perubahan-perubahan pada resistensi vaskuler tangan. Obat vasodilatasi dapat
menonjolkan ketidaksesuaian ini. Ketinggian tempat sampling relatif terhadap
jantung mempengaruhi pengukuran tekanan darah karena efek dari gravitasi
(Gambar 5-2). Pada pasien-pasien dengan penyakit vaskuler perifer berat,
mungkin terdapat perbedaan signifikan dalam pengukuran tekanan darah antar
ekstremitas. Nilai yang lebih tinggi perlu digunakan pada pasien-pasien ini.
Karena metode-metode penentuan tekanan darah yang noninvasif (palpasi,
auskultasi Doppler, osilometri, plethysmography) dan invasive (kanulasi arterial)
sangat berbeda, masing-masing didiskusikan secara terpisah.
1. Monitoring Tekanan Darah Arterial Noninvasif
Indikasi
Penggunaan anestesi apapun, tidak peduli seberapa remeh, adalah indikasi
untuk pengukuran tekanan darah arterial. Teknik dan frekuensi penentuan tekanan
bergantung pada kondisi pasien dan tipe prosedur pembedahah. Pengukuran
tekanan darah osilometri setiap 3-5 menit adalah adekuat pada sebagian besar
kasus.
Kontraindikasi
Walaupun beberapa metode pengukuran tekanan darah adalah wajib, teknik yang
bergantung pada manset tekanan darah lebih baik dihindari pada ekstremitas
dengan abnormalitas vaskuler (misalnya, shunt dialysis) atau dengan jalur
intravena. Jarang terjadi, mungkin mustahil untuk memonitor tekanan darah
dalam kasus-kasus (misalnya, luka bakar) dimana mungkin tidak terdapat tempat
yang dapat diakses dari mana tekanan darah dapat dicatat dengan aman.
Teknik & Komplikasi
A. Palpasi

SBP dapat ditentukan dengan (1) menemukan lokasi nadi perifer yang dapat
diraba, (2) menggembungkan manset tekanan darah pada proksimal nadi sampai
alirannya terhambat, (3) melepaskan tekanan manset sebesar 2 atau 3 mmHg per
denyut jantung, dan (4) mengukur tekanan manset dimana nadi kembali dapat
teraba. Metode ini cenderung merendahkan tekanan sistolik, karena insensitifitas
sentuhan dan penundaan antara aliran di bawah manset dan pulsasi distal. Palpasi
tidak memberikan tekanan diastolic atau MAP. Peralatan yang diperlukan
sederhana dan murah.
B. Probe Doppler
Ketika probe Doppler menggantikan jari anestesiologis, pengukuran tekanan
darah arterial menjadi cukup sensitif sehingga berguna pada pasien-pasien obes,
pasien pediatrik, dan pasien dengan syok (Gambar 5-3). Efek Doppler adalah
pergeseran frekuensi gelombang suara ketika sumbernya bergerak relatif terhadap
pengamat. Sebagai contoh, nada peluit kereta naik ketika kereta mendekat dan
turun ketika pergi. Mirip dengan itu, pantulan gelombang suara objek yang
bergerak menyebabkan pergerseran frekuensi. Probe Doppler mentransmisikan
sinyal ultrasonik yang dipantulkan oleh jaringan di bawahnya. Ketika sel darah
merah bergerak melewati arteri, pergeseran frekuensi Doppler akan terdeteksi oleh
probe. Perbedaan antara frekuensi yang ditransmisikan dan didapatkan
menyebabkan suara berdesir yang khas, yang mengindikasikan aliran darah.
Karena udara memantulkan ultrasound, couplinggel (tetapi bukan jeli ekektroda
korosif) diaplikasikan antara probe dan kulit. Memposisikan probe secara
langsung di atas arteri adalah penting, karena sorotannya harus melewati dinding
pembuluh darah. Gangguan dari gerakan probe atau elektrokauter adalah
gangguan yang menjengkelkan. Perhatikan bahwa hanya tekanan sistolik yang
dapat ditentukan dengan terpercaya dengan teknik Doppler.
Variasi teknologi Doppler menggunakan kristal piezoelectric untuk
mendeteksi gerakan dinding arterial lateral ke pembukaan dan penutupan
intermiten dari pembuluh darah antara tekanan sistolik dan diastolic. Peralatan ini
dengan demikian mendeteksi tekanan sistolik dan diastolic. Efek Doppler secara

rutin digunakan oleh echokardiografer perioperatif untuk membedakan arah dan


kecepatan aliran darah dalam jantung dan gerakan jaringan otot jantung (Doppler
jaringan).
C. Auskultasi
Inflasi manset tekanan darah sampai tekanan antara sistolik dan diastolik akan
menyebabkan kolaps parsial pada arteri di bawahnya, mengakibatkan aliran
turbulent dan suara Korotkoff yang khas. Suara-suara ini dapat terdengar melalui
stetoskop yang ditempatkan di bawah atau tepat di distal distal ketiga manset
tekanan darah. Dokter mengukur tekanan dengan aneroid atau manometer
mercuri.
Kadang, suara Korotkoff tidak dapat terdengar melalui bagian range dari
tekanan sistolik ke diastolik. Celah auskultasi ini paling umum pada pasien
hipertensif dan dapat menyebabkan pengukuran tekanan diastolik yang tidak
akurat. Suara Korotkoff seringkali sulit untuk didengar selama epidose-episode
hipotensi atau vasokonstriksi perifer yang nyata. Pada situasi-situasi ini, frekuensi
subsonic yang berkaitan dengan suara dapat dideteksi dengan mikrofon dan
diperkuat untuk mengindikasikan tekanan sistolik dan diastolik. Artifak gerakan
dan gangguan elektrokauter membatasi kegunaan metode ini.
D. Osilometri
Pulsasi arterial menyebabkan osilasi pada tekanan manset. Osilasi ini adalah kecil
jika manset digembungkan di atas tekanan sistolik. Ketika tekanan manset turun
ke tekanan sistolik, pulsasi tersebut ditransmisikan ke seluruh manset, dan osilasi
meningkat dengan jelas. Osilasi maksimal terjadi saat MAP, dimana setelahnya
osilasi menurun. Karena beberapa osilasi ada di atas dan di bawah tekanan darah
arterial, manometer merkuri atau aneroid memberikan pengukuran yang tidak
akurat dan tidak dapat diandalkan. Monitor tekanan darah otomatis secara
elektronis mengukur tekanan dimana amplitude osilasi berubah (Gambar 5-4).
Mikroprosesor mendapatkan tekanan sistolik, mean dan diastolik dengan
menggunakan alogaritma. Mesin yang memerlukan gelombang pulsasi berturutan

yang identik untuk penguukuran konfirmasi mungkin tidak dapat diandalkan


selama aritmia (misalnya fibrilasi atrial). Monitor osilometrik sebaiknya tidak
digunakan pada pasien dengan bypass kardiopulmoner. Akan tepai, kecepatan,
akurasi dan kepandaian peralatan osilometri telah sangat berkembang, dan telah
menjadi monitor tekanan darah noninvasive yang dipilih di Amerika Serikat dan
di seluruh dunia.
E. Tonometri arterial
Tonometri arterial mengukur tekanan darah arterial dengan merasakan tekanan
yang diperlukan untuk meratakan sebagian arteri superficial yang didukung
dengan struktur tulang (misalnya, arteri radialis). Tonometer terdiri dari beberapa
transduser tekanan independen yang diaplikasikan pada kulit di atas arteri
(Gambar 5-5). Tekanan kontak antara transduser yang tepat di atas arteri dan kulit
mencerminkan tekanan intraluminal. Pencatatan nadi yang kotinyu menghasilkan
gambaran yang sangat mirip dengan bentuk gelombang tekanan darah arterial
invasive. Batasan pada teknologi ini termasuk sensitifitas terhadap gerakan artifak
dan perlu sering dilakukan kalibrasi.
Pertimbangan Klinis
Pemberian oksigen yang adekuat pada organ vital harus dipertahankan selama
anestesia. Sayangnya, instrument untuk memonitor perfusi dan oksigenasi organ
spesifik adalah kompleks, mahal, dan seringkali tidak dapat diandalkan, dan,
karena itu, tekanan darah arterial yang adekuat diasumsikan memprediksi aliran
darah organ yang adekuat. Akan tetapi, aliran juga tergantung pada resistensi
vaskuler:
Tekanan
Resistensi
Bahan jika tekanannya tinggi, ketika resistensi juga tinggi, aliran dapat
Aliran =

menjadi lambat. Dengan demikian tekanan darah arterial perlu dilihat sebagi
indikator tetapi bukan pengukuran perfusi organ.
Akurasi metode apapun untuk mengukur tekanan darah yang melibatkan
manset tekanan darah tergantung pada ukuran manset yang benar (Gambar 5-6).

Kantong manset perlu direntangkan setidaknya separuh ekstrimitas, dan lebar


manset harus 20% sampai 50% lebih besar dari diameter ekstremitas.
Monitor tekanan darah otomatis, dengan menggunakan satu atau
kombinasi metode yang dideskripsikan di atas, sering digunakan dalam
anestesiologi. Pompa udara yang terisi sendiri mengembangkan manset pada
interval yang ditetapkan. Penggunaan peralatan otomatis yang tidak tepat atau
terlalu sering akan mengakibatkan kelumpuhan saraf dan ekstravasasi luas dari
cairan yang diberikan secara intravena. Dalam kasus kegagalan peralatan, metode
alternative dari penentuan tekanan darah harus segera tersedia.
2. Monitoring Tekanan Darah Arterial Invasif
Indikasi
indikasi untuk monitoring tekanan darah arterial dengan kateterisasi arteri
termasuk induksi arus atau hipotensi antisipasi atau deviasi tekanan darah luas,
penyakit organ-akhir yang memerlukan regulasi tekanan darah denyut-ke-denyut
yang tepat, dan perlunya pengukuran gas darah arteri multiple.
Kontraindikasi
jika dimungkinkan, kateterisasi perlu dihindari pada arteri-arteri ujung yang lebih
kecil dengan aliran darah kolateral yang tidak adekuat atau pada ekstremitas
dimana terdapat kecurigaan insufisiensi vaskuler yang ada sebelumnya.
A. Pemilihan Arteri untuk Kanulasi
Beberapa arteri tersedia untuk kateterisasi perkutaneus.
1. Arteri radialis umumnya dikanulasi karena lokasinya yang superficial dan
aliran kolateral yang substansial (pada sebagian besar pasien arteri ulnar
adalah lebih besar daripada radial dan terdapat hubungan antara keduanya
melalui arkus Palmaris). Lima persen pasien memiliki arkus palmar inkomplit
dan kurang aliran darah kolateral yang adekuat. Tes allen adalah metode yang
sederhana, tetapi kurang dapat diandalkan untuk menilai keamanan kanulasi
arteri radial. Pada tes ini, pasien melakukan exsanguinasipada tangannya

dengan mengepalkan tangan. Sementara operator mengoklusi arteri radial dan


ulna dengan tekanan ujung jari, pasien merelaksasi tangan yang memucat.
Aliran kolateral melalui arkus arterial palmar dikonfirmasi dengan kemerahan
pada ibu jari dalam waktu 5 detik setelah tekanan pada arteri ulnar dilepaskan.
Penundaan kembalinya warna normal (510 detik) mengindikasikan tes yang
samar atau sirkulasi kolateral yang tidak mencukupi (>10 detik). Tes Allen
kegunaannya masih dipertanyakan sehingga banyak praktisi yang secara rutin
menghindarinya. Sebagai alternative, aliran darah distal ke oklusi arteri radial
dapat dideteksi dengan palpasi, probe Doppler, plethysmography, atau pulse
oksimetri. Tidak seperti tes Allen, metode-metode untuk menentukan
kecukupan sirkulasi kolateral tidak memerlukan kooperasi pasien.
2. Kateterisasi arteri ulnar biasanya lebih sulit daripada kateterisasi radial
karena jalan arteri ulnar yang lebih dalam dan lebih berliku-liku. Karena
resiko mengganggu aliran darah ke tangan, kateterisasi ulnar normalnya tidak
akan dipertimbangkan jika arteri radial ipsilateral telah ditusuk tetapi tidak
berhasil dikanulasi.
3. Arteri brakialis adalah besar dan mudah diidentifikasi pada fossa antekubital.
Kedekatannya dengan aorta memberikan gangguan bentuk gelombang yang
lebih sedikit. Akan tetapi, berada di dekat siku menjadi predisposisi untuk
kateter arteri brakial mengalami kekusutan.
4. Arteri femoral rentan terhadap pembentukan atheroma dan pseudoaneurisma,
tetapi sering memberikan akses yang baik. Tempat femoral telah dikaitkan
dengan peningkatan insidensi komplikasi infeksius dan thrombosis arterial.
Nekrosis aseptic pada kepala femur adalah komplikasi kanulasi arteri femoral
yang jarang, tetapi tragis, pada anak-anak.
5. Arteri dorsalis pedis dan posterior tibial sedikit jauh dari aorta dan dengan
demikian memiliki bentuk gelombang yang paling terganggu.
6. Arteri axiller dikelilingi oleh plexus axiller, dan kerusakan saraf dapat terjadi
dari hematoma atau kanulasi traumatis. Udara atau thrombi dapat dengan
cepat mendapatkan akses ke sirkulasi serebral selama aliran retrograde yang
kuat pada kateter arteri axiller.

B. Teknik Kanulasi Arteri Radial


Satu teknik kanulasi arteri radial diilustrasikan pada Gambar 5-7. Supinasi dan
ekstensi pergelangan tangan memberikan paparan optimal dari arteri radial.
Sistem transduser-tube-tekanan perlu ada di dekatnya dan sudah dibilas dengan
saline untuk memastikan hubungan yang mudah dan cepat setelah kanulasi.
Pulsasi radial dipalpasi, dan jalan arteri ditentukan dengan menekan ringan
dengan ujung telunjuk dan jari tengah tangan nondominan anestesiologis pada
area

impuls

maksimal

atau

dengan

menggunakan

ultrasound.

Dengan

menggunakan teknik aseptik, lidokain 1% diinfiltrasikan pada kulit pasien sadar,


secara langsung di atas arteri, dengan jarum ukuran kecil. Jarum dengan ukuran
yang lebih besar kemudian dapat digunakan untuk melubangi kulit, memfasilitasi
masuknya kateter ukuran 18, 20, atau 22 melalui jarum memasuki kulit pada sudut
45, mengarahkannya pada titik palpasi. Pada saat kembalinya darah, kawat
pemandu dapat dimajukan melalui kateter ke dalam arteri dan kateter maju
mengikuti kawat pemandu. Selain itu, jarum diturunkan dengan sudut 30 dan
dimajukan 12 mm lagi untuk memastikan bahwa ujung kateter benar-benar adala
dalam lumen pembuluh darah. Kateter dimajukan dari jarum ke dalam lumen
arterial, dimana setelahnya jarus tersebut ditarik. Memberikan tekanan yang kuat
pada proximal arteri pada ujung kateter,m dengan jari tengah dan jari manis,
mencegah darah keluar dari kateter sementara tube dihubungkan. Perekat tahan air
atau sutura dapat digunakan untuk mempertahankan kateter di tempatnya.
C. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi monitoring intraarterial termasuk hematoma, perdarahan
(khususnya dengan lepasnya sambungan tube kateter), vasospasme, thrombosis
srterial,

embolisasi

gelembung

udara

atau

thrombi,

pembentukan

pseudoaneurisma, nekrosis kulit di atas kateter, kerusakan saraf, infeksi, nekrosis


ekstremitas atau jari, dan injeksi obat intraarterial yang tidak disengaja. Faktorfaktor yang berkaitan dengan peningkatan tingkat komplikasi termasuk kanulasi
yang lama, hiperlipidemia, usaha insersi berulang, jenis kelamin wanita, sirkulasi

ekstrakorporeal, penggunaan kateter yang lebih besar pada pembuluh darah yang
lebih kecil, dan penggunaan vasopressor. Resiko tersebut diminimalkan ketika
rasio ukuran kateter dengan arteri adalah kecil, salin terus-menerus diinfuskan
melalui kateter dengan kecepatan 23 mL/jam, pembilasan kateter terbatas, dan
diberikan perhatian yang cermat pada teknik aseptik. Kecukupan perfusi dapat
terus-menerus dimonitor selama kanulasi arteri radial dengan menempatkan pulse
oksimeter pada jari ipsilateral.
Pertimbangan Klinis
Karena kanulasi intraarterial memungkinkan pengukuran tekanan darah denyutdemi-denyut, hal ini dianggap sebagai teknik monitoring tekanan darah optimal.
Kualitas bentuk gelombang transduksi, akan tetapi, tergantung pada karakteristik
dinamik dari sistem transduser-tube-kateter (Gambar 5-8). Pembacaan yang keliru
dapat menyebabkan intervensi terapiutik yang tidak tepat.
Bentuk gelombang kompleks, seperti gelombang pulsasi arterial, dapat
diekspresikan sebagai sumasi gelombang harmoni sederhana (menurut teorema
Fourier). Untuk pengukuran tekanan yang akurat, sistem transduser-tube-kateter
harus mampu merespon dengan adekuat pada frekuensi tertinggi dari bentuk
gelombang arterial (Gambar 5-9). Dengan kata lain, frekuensi alami dari sistem
pengukutan harus melebihi frekuensi alami dari pulsasi arterial (kira-kira 1624
Hz).
Sebagian besar transduser memiliki frekuensi beberapa ratus Hz (>200 Hz
untuk transduser sekali pakai). Tambahan pada tube, stopcock, dan udara pada
jalur semua menurunkan frekuensi sistem. Jika respon frekuensi terlalu lambat,
sistem akan menjadi overdamped dan tidak akan dengan setia mereproduksi
bentuk gelombang arterial, memperendah tekanan sistolik. Underdamping juga
adalah permasalahan yang serius, menyebabkan overshoot dan SBP tinggi palsu.
Sistem transduser-tube-kateter harus juga mencegah hiperresonansi, suatu
artifak yang disebabkan oleh gema gelombang tekanan dalam sistem. Koefisien
damping () sebesar 0.60.7 adalah optimal. Frekuensi alami dan koefisien

damping dapat ditentukan dengan memeriksa jejak osilasi setelah siraman


tekanan-tinggi (Gambar 5-10).
Dinamika sistem diperbaiki dengan meminimalkan panjang tube,
mengeliminasi stopcock yang tidak diperlukan, menghilangkan gelembung udara,
dan menggunakan tube dengan kompliansi-rendah. Walaupun kateter dengan
diameter yang lebih kecil menurunkan frekuensi alami, hal tersebut memperbaiki
sistem yang mengalami underdampen dan memiliki kemungkinan lebih kecil
untuk mengakibatkan komplikasi vaskuler. Jika kateter yang besar menyebabkan
oklusi total pada arteri, pantulan gelombang dapat mengganggu pengukuran
tekanan.
Transduser tekanan telah berevolusi dari peralatan besar yang dapat
dipakai kembali menjadi peralatan kecil sekali pakai. Transduser mangandung
suatu diafragma yang terdistorsi dengan gelombang tekanan arterial. Energi
mekanis dari gelombang tekanan diubah menjadi sinyal elektris. Sebagian besar
transdusesr adalah tipe resistensi yang berdasarkan pada prinsip strain gauge:
peregangan suatu kawat atau kristal silicon mengubah resistensi elektrisnya.
Elemen sensor disusun dalam sirkuit jembatan Wheatstone sehingga voltase
output adalah sebanding dengan tekanan yang diaplikasikan pada diafragma
(Gambar 5-11).
Akurasi transduser tergantung pada kalibrasi yang benar dan prosedur nol.
Stopcock pada tingkat poin pengukuran yang diinginkan biasanya linea
midaxiller dibuka, dan pemicu nol pada pada monitor diaktifasi. Jika posisi
pasien diubah dengan menaikkan atau menurunkan meja operasi, transduser harus
dipindahkan bersama dengan atau dikembalikan ke nol pada tingkat linea
midaxillary yang baru. Pada pasien duduk, tekanan arterial di otak berbeda
signigikan dari tekanan ventrikuler kiri. Pada keadaan ini, tekanan serebral
ditentukan dengan mengatur transduser ke nol pada ketinggian telinga, yang
kurang lebih setinggi cincin Willis. Nol pada transduser perlu dicek secara regular,
karena beberapa pengukuran transduser dapat bergeser seiring waktu.

Kalibrasi eksternal pada transduser membandingkan pembacaan transduser


dengan manometer, tetapi transduser modern jarang memerlukan kalibrasi
eksternal.
Pembacaan digital pada tekanan sistolik dan diastolik adalah rata-rata
pengukuran tertinggi dan terendah yang berjalan dalam interval waktu tertentu.
Karena gerakan atau artifak kauter dapat mengakibatkan angka yang sangat keliru,
bentuk gelombang arterial harus selalu dimonitor. Bentuk gelombang arterial
memberikan petunjuk pada beberapa variabel hemodinamik. Kecepatan arus naik
mengindikasikan kontraktilitas, kecepatan arus ke bawah mengindikasikan
resistensi vaskuler perifer, dan variasi ukuran yang berlebihan selama siklus
respiratorik menunjukkan hipovolemia. MAP dihitung dengan mengintegrasikan
area-area di bahwa kurva tekanan.
Kateter intraarterial juga memberikan akses pada sampling dan analisis gas
darah arterial intermiten. Perkembangan sensor serabutoptik yang dapat
dimasukkan melalui kateter arterial ukuran 20 memungkinkan monitoring gas
darah yang kontinyu. Sayangnya, sensor ini cukup mahal dan seringkali tidak
akurat, sehingga jarang digunakan. Analisis bentuk gelombang tekanan arterial
memungkinkan esteimasi output kardia (CO) dan parameter hemodinamik
lainnya. Peralatan ini didiskusikan dalam bagian monitoring CO.
ELEKTROKARDIOGRAFI
Indikasi & Kontraindikasi
Semua pasien perlu melakukan monitoring intraoperatif pada elektrokardiogram
mereka (ECG). Tidak terdapat kontraindikasi.
Teknik & Komplikasi
Pemilihan lead menentukan sensitifitas diagnostik ECG. Lead ECG dopisisikan
pada dada dan ekstremitas untuk memberikan sudut pandang yang berbeda dari
potensi elektris yang dihasilkan oleh jantung. Pada akhir diastole, atria
berkontraksi, yang memberikan kontribusi atrial pada CO, menghasilkan
gelombang P. Setelah kontraksi atrial, ventrikel terisi menunggu systole.

Kompleks QRS memulai aktifitas elektris systole setelah jeda nodus


atrioventrikuler (AV) 120200 msec. depolarisasi pada ventrikel berlanjut dari
nodus AV sepanjang sistem interventrikuler melalui serabut HisPurkinje. QRS
normal berlangsung kira-kira selama 120 msec, yang dapat berlambah lama pada
pasien-pasien dengan

kardiomiopati

dan gagal

jantung. Gelombang

menunjukkan repolarisasi ketika jantung bersiap untuk berkontraksi lagi.


Perlanjangan interval QT sekunder terhadap imbalansi elektrolit atau efek obat
dapat berpotensi menyebabkan aritmia yang mengancam nyawa (les torsade de
pointes).
Aksis elektris lead II adalah sekitar 60 dari tangan kanan sampai ke kaki
kiri, yang parallel dengan aksis elektris atria, menghasilkan voltase gelombang-P
yang paling besar pada semua lead permukaan. Orientasi ini meningkatkan
diagnosis aritmia dan deteksi iskemi dinding inferior. Lead V5 terletak di atas
spatium intercosta kelima pada linea axillaris anterior; posisi ini adalah kompromi
yang baik untuk mendeteksi iskemia dinding anterior dan lateral. Lead V5 yang
sebenarnya hanya dimungkinkan pada ECG kamar operasi dengan setidaknya
lima kawat lead, tetapi modifikasi V5 dapat dimonitor dengan menyusun ulang
standar penempatan lead tiga anggota gerak (Gambar 5-12). Idealnya, karena
masing-masing lead memberikan informasi yang unik, lead II dan V5 perlu
dimonitor secara simultan. Jika hanya tersedia mesin saluran-tunggal, lead yang
dipilih untuk monitoring tergantung pada lokasi infark atau iskemia sebelumnya.
Lead esophageal bahkan lebih baik daripada lead II untuk diagnosis aritmia, tetapi
belum mendapatkan penerimaan umum dalam kamar operasi.
Elektroda ditempatkan pada tubuh pasien untuk memonitor ECG (Gambar
5-13). Gel konduktif menurunkan resistensi elektris kulit, yang dapat diturunkan
lagi dengan membersihkan tempat tersebut dengan alcohol. Elektroda jarum
digunakan hanya jika bentuk diskus tidak sesuai (misalnya, pasien dengan luka
bakar luas).
Pertimbangan Klinis

ECG adalah pencatatan potensi elektris yang dihasilkan oleh sel miokardia.
Pemakaiannya

yang

rutin

memungkinkan

aritmia,

iskemia

miokardia,

abnodmalitas konduksi, malfungsi pacemaker, dan gangguan elektrolit untuk


terdeteksi (Gamabr 5-14). Karena potensi voltase yang kecil yang diukur, artefak
tetap menjadi permasalahan utama. Gerakan pasien atau kabel lead, penggunaan
elektrokauter, gangguan 60-siklus dari peralatan arus bolak-balik di dekatnya, dan
elektroda yang cacat dapat mensimulasi aritmia. Filter monitoring yang
digabungkan dalam amplifier untuk mereduksi artefak gerak akan menyebabkan
gangguan pada segmen ST dan dapat menghalangi diagnosis iskemia. Pembacaan
digital pada denyut nadi (HR) dapat menyebabkan kekeliruan karena monitor
salah menginterpretasikan artefak atau gelombang T yang besar sering
ditemukan pada pasien pediatrik sebagai kompleks QRS.
Tergantung dari ketersediaan peralatan, strip ritme preinduksi dapat
dicetak atau dibekukan pada layar monitor untuk dibandingkan dengan gambaran
intraoperatif. Untuk interpretasi perubahan segmen-ST dengan baik, ECG harus
distandarisasi sehingga sinyal 1-mV menghasilkan pembelokan sebesar 10 mm
pada monitor strip standar. Unit yang lebih baru secara kontinyu menganalisis
segmen ST untuk deteksi awal iskemi miokardia. Analisis segmen-ST otomatis
meningkatkan sensitifitas deteksi iskemi, tidak memerlukan kemampuan atau
kewaspadaan tambahan dari dokter, dan dapat membantu diagnosis iskemi
miokardia intraoperatif.
Kriteria yang umumnya diterima untuk diagnosis iskemia miokardia
memerlukan ECG dicatat dalam mode diagnostik dan termasuk depresi segmenST yang datar atau menurun yang melebihi 1 mm, 80 msec setelah titik J (akhir
dari kompleks QRS), khususnya bersama dengan inverse gelombang-T. elevasi
segmen-ST dengan puncak gelombang juga dapat menunjukkan iskemia.
Sindroma WolffParkinsonWhite, bundle-branch block, penangkapan pacemaker
ekstrinsik, dan terapi digoxin dapat menghalangi penggunaan informasi segmenST. Bunyi yang dapat didengar yang berhubungan dengan masng-masing
kompleks QRS harus cukup keras untuk mendeteksi kecepatan dan perubahan
ritme ketika perhatian visual anestesiologis terarahkan ke tempat lainnya.

Beberapa ECG mampu menyimpan kompleks QRS yang menyimpang untuk


analisis selanjutnya, dan beberapa bahkan dapat menginterpretasikan dan
mendiagnosis aritmia. Gangguan yang disebabkan oleh unit elektrokauter, akan
tetapi, telah membatasi kegunaan analisis aritmia otomatis di kamar operasi.
KATETERISASI VENA SENTRAL
Indikasi
Kateterisasi vena sentral diindikasikan untuk monitoring tekanan vena sentral
(CVP), pemberian cairan untuk mengobati hipovolemia dan syok, infus obat
kaustik dan nutrisi parenteral total, aspirasi emboli udara, insersi transcutaneous
pacing lead, dan mendapatkan akses vena pada pasien dengan vena perifer yang
buruk. Dengan kateter khusus, kateterisasi vena sentral dapat digunakan untuk
monitoring kontinyu pada saturasi oksigen vena sentral.
Kontraindikasi
Kontraindikasi relatif termasuk tumor, penggumpalan darah, atau vegetasi katup
tricuspid

yang

dapat

lepas

atau

mengalami

emboli

selama

kanulasi.

Kontraindikasi lainnya berkaitan dengan tempat kanulasi. Sebagai contoh,


kanulasi vena subklavia adalah kontraindikasi relatif pada pasien-pasien yang
mendapatkan antikoagulan (karena tidak mampu memberikan kompresi langsung
pada terjadinya tusukan arterial yang tidak disengaja). Beberapa klinis
menghindari kanulasi vena sentral pada sisi carotid endarterectomy sebelumnya
karena permasalahan mengenai kemungkinan tusukan arteri carotid yang tidak
disengaja. Adanya kateter sentral lainnya atau lead pacemaker dapat mereduksi
jumlah tempat yang tersedia untuk penempatan jalur sentral.
Teknik & Komplikasi
Kanulasi vena sentral melibatkan memasukkan kateter dalam vena sehingga ujung
kateter terletak dalam sistem vena dalam thoraks. Umumnya, lokasi optimal untuk
ujung kateter adalah tepat di superior atau pada junction vena cava superior dan
atrium kanan. Ketika ujung kateter terletak dalam thoraks, inspirasi akan

meningkatkan atau menurunkan CVP, tergantung pada apakah ventilatsi terkontrol


atau spontan. Pengukuran CVP dibuat dengan kolom air (cm H 2O), atau, lebih
dipilih, transduser elektrik (mmHg). Tekanan tersebut perlu diukur selama
ekspirasi akhir.
Berbagai tempat dapat digunakan untuk kanulasi (Gambar 5-15 dan Tabel
5-1). Semua tempat kanulasi memiliki peningkatan resiko infeksi yang
berhubungan dengan jalur, semakin lama kateter dipasang. Dibandingkan dengan
tempat lainnya, vena subclavia berkaitan dengan resiko pneumothoraks yang lebih
besar selama insersi, tetapi resiko komplikasi lainnya lebih kecil pada kanulasi
yang lama (misalnya, pada pasien sakit kritis). Vena jugular internal kanan
memiliki kombinasi mudah diakses dan aman. Kateterisasi vena jugular internal
kiri memiliki peningkatan resiko efusi pleural dan chylothorax. Vena jugular
eksterna juga dapat digunakan sebagai tempat masuk, tetapi karena sudut yang
akut dimana mereka bergabung dengan vena-vena besar di dada, vena ini
dikaitkan dengan sedikit peningkatan kemungkinan kegagalan untuk mendapatkan
akses ke sirkulasi sentral daripada vena jugular internal. Vena femoral juga dapat
dikanulasi, tetapi berkaitan dengan peningkatan resiko sepsis yang berkaitan
dengan jalurnya. Terdapat setidaknya tiga teknik kanulasi: kateter di atas jarum
(mirip dengan kateterisasi perifer), kateter melalui jarum (memerlukan batang
jarum dengan ukuran besar), dan kateter di atas kawat pemandu (teknik Seldinger;
Gambar 5-16). Mayoritas jalur sentral ditempatkan dengan menggunakan teknik
Seldinger.
Scenario berikut mendeskripsikan penempatan jalur vena jugular interna.
Pasien berada pada posisi Trendelenburg untuk menurunkan resiko emboli udara
dan untuk distensi vena jugular interna (atau subclavia). Kateterisasi vena
memerlukan teknik aseptik penuh, termasuk scrub, sarung angan steril, baju
panjang, masker, topi, preparat kulit bakterisida (dipilih larutan berbasis-alkohol),
dan kain steril. Dua kepala otot sternocleidomastoid dan clavicula membentuk tiga
sisi segitiga (Gambar 5-16A). Jarum ukuran 25 digunakan untuk menginfiltrasi
puncak segitiga dengan anestesi lokal. Vena jugular interna dapat ditemukan
dengan menggunakan ultrasound, dan kami sangat merekomendasikan agar hal

tersebut digunakan setiap kali dimungkinkan (Gambar 5-17). Sebagai alternatif,


dapat ditemukan dengan memajukan jarum ukuran 25 atau jarum ukuran 23
pada pasien yang lebih berat di tepi medial kepala lateral sternocleidomastoid,
ke arah puting ipsilateral, pada sudut 30 dari kulit. Aspirasi darah vena
mengkonfirmasi lokasi vena. Adalah penting bahwa vena (dan bukan arteri) yang
dikanulasi. Kanulasi arteri carotid dapat menyebabkan hematoma, stroke,
gangguan jalan nafas, dan kemungkinan kematian. Jarum berdinding tipis ukuran
18 atau kateter ukuran 18 di atas jarum dimajukan sepanjang jalur yang sama
dengan jalum lokator (Gambar 5-16B), dan, dengan apparatus selanjutnya, jarum
diambil dari kateter setelah kateter telah dimajukan ke dalam vena. Ketika dicapai
aliran darah bebas, kawat J dengan radius kurvatura 3 mm dimasukkan. Setelah
konfirmasi tusukan vena (Gambar 5-16C). jarum (atau kateter) diangkat, dan
dilator dimasukkan di atas kawat. Kateter dipersiapkan untuk dimasukkan dengan
membilas semua port dengan saline, dan semua port distal ditutup atau dijepit,
kecuali satu lewat mana kawat harus lewat. Selanjutnya, dilator diangkat (Gambar
5-16D). Kawat pemandu diangkat, dengan ibu jari ditempatkan di atas pusat
kateter untuk mencegah aspirasi udara sampai tube kateter intravenadihubungkan.
Kateter kemudian diamankan, dan digunakan pembalit steril. Lokasi yang tepat
dikonfirmasi dengan radiografi dada. Ujung kateter sebaiknya tidak dibiarkan
bermigrasi ke dalam ruang jantung. Pengaturan pemberian cairan perlu sering
dirubah, sesuai protocol pusat pengobatan Anda.
Kemungkinan penempatan dilator vena atau dilator ke dalam arteri carotid
dapat diturunkan dengan transduksi bentuk gelombang tekanan pembuluh darah
dari jarum introduser (atau kateter, jika digunakan kateter di atas jarum) sebelum
melalui kawat (paling mudah dicapai dengan menggunakan tube ekstensi
intravena steril sebagai manometer). Sebagai alternatifnya, dapat membandingkan
warna darah atau PaO2 dengan sampel arterial. Warna darah dan pulsatilitas dapat
menyesatkan atau tidak konklusif, dan perlu digunakan lebih dari satu metode
konfirmasi.

Pada

kasus-kasus

dimana

digunakan

transesophageal

echocardiography (TEE), kawat pemandu dapat ditemukan di atrium kanan,


mengkonfirmasi pemasukkan ke vena (Gambar 5-18).

Resiko kanulasi vena sentral termasuk infeksi jalur, infeksi arus darah,
emboli udara atau thrombus, aritmia (mengindikasikan bahwa ujung kateter
berada pada atrium atau ventrikel kanan), hematoma, pneumothorax, hemothorax,
hydrothorax, chylothorax, perforasi kardia, tamponade kardia, trauma pada saraf
dan arteri di dekatnya, dan thrombosis.
Pertimbangan Klinis
Fungsi kardia normal memerlukan pengisian ventrikuler yang adekuat dengan
darah vena. CVP memperkirakan tekanan atrial kanan. Volume ventrikuler
berhubungan dengan tekanan melalui kompliansi. Ventrikel yang sangat komplian
mengakomodasi volume dengan perubahan minimal dalam tekanan. Sistem yang
nonkomplian memiliki ayunan yang lebih besar dalam tekanan dengan lebih
sedikit perubahan volume. Sebagai konsekuensinya, pengukuran CVP individual
hanya akan menunjukkan informasi yang terbatas mengenai volume dan pengisian
ventrikuler. Walaupun CVP yang sangat rendah dapat mengindikasikan pasien
dengan penurunan volume, pembacaan tekanan moderat sampai tinggi dapat
mencerminkan volume overload ataupun kompliansi ventrikuler yang buruk.
Perubahan yang berkaitan dengan pengisian volume bersama dengan pengukuran
performa hemodinamik lainnya (misalnya, tekanan darah, HR, output urin) dapat
menjadi indikator yang lebih baik untuk responsifitas volume pasien. Pengukuran
CVP harus selalu dipertimbangkan dalam konteks sudut pandang klinis
kesekuruhan pasien.
Bentuk gelombang vena sentral berkorespondensi dengan terjadinya
kontraksi kardia (Gambar 5-19): gelombang a dari kontraksi uji a tidak ada pada
fibrilasi atrial dan berlebihan pada ritme junctional (gelombang a cannon);
gelombang c adala karena elevasi katup trikuspid selama kontraksi ventrikuler
awal; gelombang v mencerminkan return vena terhadap katup trikuspid yang
tertutup, dan penurunan x dan y kemungkinan disebabkan oleh pergeseran ke
bawah dari katup trikuspid selama sistole dan pembukaan katup trikuspid selama
diastole.

KATETERISASI ARTERI PULMONER


Kateter arteri pulmoner (PA) (atau kateter Swan-Ganz) dimasukkan dalam praktik
rutin dalam kamar operasi dan unit perawatan intensif pada tahun 1970an. Hal ini
dengan cepat menjadi umum bagi pasien yang menjalani pembedahan mayor
untuk ditangani dengan kateterisasi PA. Kateter tersebut memberikan pengukuran
tekanan oklusi CO dan PA dan digunakan untuk memandu terapi hemodinamik,
khususnya ketika pasien menjadi tidak stabil. Penentuan oklusi PA atau tekanan
baji memungkinkan (pada keadaan tidak adanya stenosis mitral) estimasi tekanan
diastolik-akhir ventrikuler kiri (LVEDP), dan, tergantung pada kompliansi
ventrikuer, estimasi volume ventrikuler. Melalui kemampuannya untuk melakukan
pengukuran CO, stroke volume (SV) pasien juga ditentukan.
CO = SV HR
SV = CO/HR
Tekanan darah = CO resistensi vaskuler sistemik (SVR)
Konsekuensinya, monitoring hemodinamik dengan kateter PA berusaha
membedakan mengapa pasien tidak stabil sehingga terapi dapat diarahkan pada
permasalahan yang mendasari.
Jika SVR berkurang, seperti pada keadaan syok vasodilatorik (sepsis), SV
dapat meningkat. Sebaliknya, reduksi pada SV dapat terjadi sekunder karena
performa kardia yang buruk atau hipovolemia. Penentuan tekanan oklusi kapiler
pulmoner (PCOP) atau baji dengan inflasi balon kateter mengestmasi LVEDP.
Penurunan SV pada keadaan PCOP/ LVEDP yang rendah mengindikasikan
hipovolmia dan kebutuhan untuk pemberian volume. Jantung yang penuh,
dicerminkan dengan PCOP/LVEDP yang tinggi dan SV rendah, mengindikasikan
perlunya obat inotropik positif. Sebaliknya, SV normal atau meningkat pada
keadaan hipoteni dapat diobati dengan pemberian obat vasokonstriktor untuk
mengembalikan SVR pada pasien vasodilatasi.
Walaupun pasien mungkin mengalami hipovolemia, sepsis, dan gagal
jantung yang bersamaan, pendekatan pengobatan dasar dan penggunaan kateter
PA ini untuk memandu terapi menjadi kurang lebih sinonimus dengan perawatan
intensif perioperatif dan anestesi kardia. Akan tetapi, sejumlah besar penelitian

observasional telah berhasil menunjukkan bahwa pasien yang ditangani dengan


kateter PA mengalami perburukan hasil akhir daripada pasien yang serupa yang
ditangani tanpa kateter PA. Penelitian lain tampaknya mengindikasikan bahwa
walaupun manajemen pasien dengan panduan kateter PA mungkin tidak
membahayakan, hal ini tidak memberikan keuntungan spesifik. Walaupun kateter
PA dapat digunakan untuk memandu terapi hemodinamik terarah-tujuan untuk
memastikan perfusi organ pada keadaan syok, tersedia metode lainnya yang lebih
tidak invasif untuk menentukan performa hemodinamik, termasuk pengukuran
CO thermodilusi transpulmoner dan analisis kontur nadi pada bentuk gelombang
tekanan arterial. Keduanya memungkinkan kalkulasi SV sebagai pemandu untuk
manajemen hemodinamik. Terlebih lagi, saturasi oksigen darah atrial kanan,
berbeda dengan campuran saturasi vena (normalnya 75%), data digunakan sebagai
pengukuran alternatif untuk membedakan ekstraksi oksigen jaringan dan
kecukupan pemberian oksigen jaringan.
Walaupun banyak laporan tentang kegunaannya yang masih dipertanyakan
dan semakin banyaknya metode alternatif untuk menentukan parameter
hemodinamik, kateter PA masih digunakan perioperatif lebih sering di Amerika
Serikat daripada di tempat lainnya. Walaupun echokardiografi dapat segera
menginformasikan pembuatan keputusan hemodinamik melalui pencitraan
jantung untuk menentukan jika jantung penuh, terkompresi, berkontraksi, atau
kosong, echokardiografi memerlukan individu terlatih untuk mendapatkan dan
menginterpretasikan gambar. Alternative monitor hemodinamik yang kurang
invasif tela mendapatkan penerimaan di Eropa dan dapat meluas di Amerika
Serikat, semakin menurunkan penggunaan kateter PA.
Sampai alternatif lainnya tersedia, kateterisasi PA perlu dipertimbangkan
kapanpun indeks kardia, preload, status volume atau derajat oksigenasi darah vena
campuran perlu diketahui. Pengukuran-pengukuran ini dapat terbukti sangat
penting pada pasien bedah dengan resiko instabilitas hemodinamik (misalnya,
mereka yang baru-baru ini mengalami infark miokardia) atau selama prosedur
bedah yang berkaitan dengan peningkatan insidensi komplikasi hemodinamik
(misalnya, perbaikan aneurisma aortik).

Kontraindikasi
Kontraindikasi relatif terhadap kateterisasi arteri pulmoner termasuk left bundlebranch block (karena permasalahan mengenai blok jantung komplit) dan kondisikondisi yang berkaitan dengan peningkatan besar resiko aritmia, seperti sindroma
Wolff ParkinsonWhite. Kateter dengan kemampuan pacing adalah lebih cocok
pada situasi-situasi tersebut. Kateter PA dapat berperan sebagai nidus infeksi pada
pasien bakteremia atau pembentukan thrombus pada pasien yang rentan terhadap
hiperkoagulasi.
Teknik & Komplikasi
Walaupun

tersedia

berbagai

kateter

PA,desain

yang

paling

popular

menggabungkan lima lumen dalam kateter 7.5 FR, sepanjangn 110 cm, dengan
badan polyvinylchloride (Gambar 5-20). Lumen ditempati oleh benda-benda
berikut: kawat untuk menghubungkan termistor dekat ujung kateter ke computer
CO termodilusi, saluran udara untuk inflasi balon; port proksimal 30 cm dari
ujung untuk infus, injeksi CO, dan mengukuran tekanan atrial kanan; port
ventrikuler pada 20 cm untuk infus obat; dan port distal untuk aspirasi campuran
sampel darah vena dan pengukuran tekanan PA.
Pemasukkan kateter PA memerlukan akses vena sentral, yang dapat
dicapai dengan menggunakan teknik Seldinger, dideskripsikan di atas.
Menggantikan kateter vena sentral, dilator dan selubung dimasukkan di atas kawat
pemandu. Lumen selubung mengakomodai kateter PA setelah pengangkatan
dilator dan kawat pemandu (Gambar 5-21).
Sebelum insersi, kateter PA diperiksa dengan inflasi dan deflasi balonnya
dan irigasi ketiga lumen intravaskuler dengan saline. Port distal terhubung dengan
transduser yang diatur ke nol pada linea midaxiller pasien.
Kateter PA dimajukan melalui introduser ke dalam vena jugular interna.
Pada kira-kira 15 cm, ujung distal harus memasuki atrium kanan, dan pelacakan
vena sentral yang bervariasi dengan respirasi mengkonfirmasi posisi intratoraksis.
Balon kemudian digembungkan dengan udara sesuai rekomendasi pabrik

(biasanya 1.5 mL) untuk melindungi endokardium dari ujung kateter dan
memungkinkan CO ventrikel kanan untuk mengarahkan kateter ke depan. Balon
selalu dikempiskan selama penarikan. Selama memajukan kateter, ECG perlu
dimonitor untuk adanya aritmia. Ektopi transient dari iritasi pada ventrikel kanan
oleh balon dan ujung kateter biasa terjadi dan jarang memerlukan pengobatan.
Peningkatan

mendadak

pada

tekanan

sistolik

pada

pengusutan

distal

mengindikasikan lokasi ventrikuler kanan pada ujung kateter (Gambar 5-22).


Pemasukkan ke arteri pulmoner normalnya terjadi sebesar 35-45 cm dan
diperjelas dengan peningkatan mendadak pada tekanan diastolik.
Untuk mencegah kekusutan kateter, balon perlu dikempiskan dan kateter
ditarik jika perubahan tekanan tidak terjadi pada jarak yang diperkirakan. Pada
kasus-kaus yang sangat sulit (CO rendah, hipertensi pulmoner, atau anomali
jantung kongenital), pengapungan kateter dapat ditingkatkan dengan membuat
pasien menarik nafas dalam, memposisikan pasien dengan kepala ke atas, posisi
miring lateral kanan; injeksi saline dingin melalui lumen proximal untuk membuat
kateter kaku (yang juga meningkatkan resiko perforasi); atau memberikan dosis
kecil agen inotropik untuk meningkatkan CO. Kadang, pemasukkan tersebut
mungkin memerlukan fluoroskopi atau TEE untuk panduan.
Setelah mendapatkan posisi PA, gerakan maju minimal pada kateter PA
menghasilkan bentuk gelombang tekanan oklusi arteri pulmoner (PAOP).
Pengusutan dapat muncul kembali ketika balon dikempiskan. Adanya wedging
sebelum inflasi balon maksimal memberi sinyal posisi overwedged, dan katerter
perlu sedikit ditarik (dengan balon kempis, tentu saja). Karena ruptur PA dapat
menyebabkan mortalitas dan dapat terjadi karena penggembungan balon yang
berlebihan, frekuensi pembacaan wedge perlu diminimalkan. Tekanan PA perlu
dimonitor

terus-menerus

untuk

mendeteksi

posisi

overwedge

yang

mengindikasikan migrasi kateter. Selanjutnya, jika kateter memiliki port


ventrikuler kanan 20 cm dari ujung, migrasi distal dapat sering terdeteksi dengan
perubahan pada pemeriksaan tekanan yang mengindikasikan lokai arteri
pulmoner.
Posisi kateter yang benar dapat dikonfirmasi dengan radiografi dada.

Berbagai komplikasi kateterisasi PA termasuk semua komplikasi yang


berkaitan

dengan

kanulasi

vena

sentral

plus

bakteremia,

endokarditis,

thrombogenesis, infark pumoner, ruptur PA, dan perdarahan (khususnya pada


pasien yang mendapatkan antikoagulan, usia lanjut, atau pasien wanita, atau
pasien dengan hipertensi pulmoner), kateter kusut, aritmia, abnormalitas
konduksi, dan kerusakan valvular pulmoner (Tabel 5-2). Bahkan hemoptysis yang
sedikit sebaiknya tidak diabaikan, karena dapat menandakan ruptur PA. Jika hal
tersebut dicurigai, penempatan yang tepat dari tube trakeal lumen-ganda dapat
mempertahankan oksigenasi adekuat oleh paru yang tidak terkena. Resiko
komplikasi meningkat dengan durasi kateterisasi, yang biasanya tidak melebihi 72
jam.
Pertimbangna Klinis
Penggunaan kateter PA dalam kamar operasi merevolusi manajemen intraoperatif
pada hampir semua pasian. Kateter PA memungkinkan estimasi yang lebih tepat
pada preload ventrikuler kiri daripada CVP atau pemeriksaan fisik, juga sampling
darah vena campuran. Kateter dengan thermistor di dalamnya (didiskusikan nanti
dalam bab ini) dapat digunakan untu mengukur CO, dari mana berbagai nilai
hemodinamik

dapat

diperoleh

(Tabel

5-3).

Beberapa

desain

kateter

menggabungkan elektroda yang memungkinkan pencatatan dan pacing ECG


intracavier. Berkar serat-optik opsional memungkinkan pengukuran kutaneus pada
saturasi oksigen darah vena campuran.
Starling mendemonstrasikan hubungan antara fungsi ventrikuler kiri dan
panjang serabut otot end-diastolik ventrikuler kiri, yang biasanya sebanding
dengan volume end-diastolik. Jika kompliansi tidak menurun dengan abnormal
(misalnya karena iskemia miokardia, overload, hipertrofi ventrikuler, atau
tamponade perikardial), LVEDP seharusnya mencerminkan panjang serabut. Pada
keadaan adanya katup mitral normal, tekanan atrial kiri mendekati tekanan
ventrikuler kiri selama pengisian diastolic. Atrium kiri berhubungan dengan sisi
kanan jantung melalui vaskulatur pulmoner. Lumen distal dari kateter PA wedge
yang benar adalah terisolasi dari tekanan sisi kanan dengan inflasi balon. Bukaan

distalnya terbuka hanya terkena tekanan kapiler, yang pada keadaan tidak
adanya tekanan jalan nafas tinggi atau penyait vaskuler pulmoner sebanding
dengan tekanan atrial kiri. Faktanya, aspirasi melalui port distal selama inflasi
balon adalah sampel darah arterialis. PAOP adalah pengukuran LVEDP indirek
yang tergantung pada kompliansi ventrikuler mendekati volume end diastolik
ventrikuler kiri.
Walaupun tekanan vena sentral dapat mencerminkan fungsi ventrikler
kanan, kateter PA dapat diindikasikan jika salah satu ventrikel sangat menurun,
menyebabkan disasosiasi hemodinamik sisi kanan dan kiri. CVP buruk dalam
memprediksi tekanan kapiler pulmoner, khususnya pada pasien-pasien dengan
fungsi ventrikuler kiri abnormal. Bahkan PAOP tidak selalu memprediksi LVEDP.
Hubungan antara volume end diastolik ventrikuler kiri (preload sktual) dan PAOP
(preload estimasi) dapat menjadi tidak dapat diandalkan selama kondisi-kondisi
yang berhubungan dengan perubahan kompliansi atrial atau ventrikuler kiri,
fungsi valvula mitral, atau resistensi vena pulmoner. Kondisi-kondisi ini adalah
umum terjadi segera setelah pembedahan kardia atau vaskuler mayor dan pada
pasien yang sakit kritis yang menggunakan agen inotropik atau pada syok septik.
Terakhir, informasi yang disediakan oleh kateter PA adalah seperti
informasi dari monitor perioperatif lainnya yang tergantung pada interpretas yang
benar oleh orang yang merawat pasien tersebut. Dalam konteks ini, kateter PA
adalah peralatan yang digunakan untk membantu dalam terapi perioperatif
tujuan-terarah. Karena semakin banyaknya metode yang lebih tidak invasif yang
tersedia sekarang untk mendapatkan informasi yang serupa, kami menduga
kateterisasi PA utamanya akan menjadi minat sejarah.
OUTPUT KARDIA
Indikasi
Pengukuran CO untuk memungkinkan kalkulasi SV adalah salah satu alasan
utama untuk kateterisasi PA. saat ini, terdapat sejumlah metode alternatif yang
kurang invasif untuk mengestimasikan fungsi ventrikuler untuk membantu terapi
tujuan-terarah.

Teknik & Komplikasi


A. Thermodilusi
Injeksi sejumlah (2.5, 5, atau 10 mL) cairan yang di bawah temperaturt tubuh
(biasanya temperature ruang atau didinginkan) dalam atrium kanan meruba
temparatur darah yang berkontak dengan thermistor pada ujung kateter PA. derajat
perubahan berbanding terbalik dengan CO: Perubahan temperature adalah
minimal jika terdapat aliran darah yang tinggi, sedangkan perubahan temperature
lebih besar ketika aliran direduksi. Setelah injeksi, seseorang dapat memplotkan
temperature sebagai fungsi waktu untuk menghasilkan kurva thermodilusi
(Gambar 5-23). CO ditentukan dengan program computer yang menggabungkan
area di bawah kurva. Pengukuran CO yang akurat bergantung pada injeksi yang
cepat dan halus, temperature dan volume injectant yang diketahui dengan tepat,
pemasukkan faktor kalibrasi yang tepat untuk tipe kateter PA spesifik dalam
computer, dan menghindari pengukuran selama elektrokauter. Regurgitasi
tricuspid dan cardiac shunts menyebabkan hasil tidak valid karena hanya output
ventrikuler kanan ke dalam PA yang sebenarnya diukur. Infus cepat injectant
dingin jarang mengakibatkan aritmia kardia. Modifikasi teknik thermodilusi
memungkinkan pengukuran CO yang kontinyu dengan kateter khusus dan sistem
monitor. Kateter mengandung filament termal yang memberikan gelombang panas
kecil dalam darah proximal katup pulmonik dan sebuah thermistor yang
mengukur perubahan pada temperature darah PA. computer di monitor
menentukan CO dengan relasi-silang jumlah input panas dengan perubahan
temperatur darah.
Thermodilusi trasnpulmoner (sistem PiCCO) bergantung pada prinsip
thermodilusi yang sama, tetapi tidak memerlukan kateterisasi PA. Jalur sentral dan
kateter arterial yang dilengkapi dengan thermistor (biasanya ditempatkan di arteri
femoral) diperlukan untuk melakukan thermodilusi transpulmoner. Pengukuran
thermal melibatkan injeksi indikator dingin pada vena cava superior melalui jalur
sentral (Gambar 5-24). Thermistor menemukan perubahan pada temperatuf di

sistem arterial setelah transit indikator dingin melalui jantung dan paru dan
menentukan CO.
Thermodiluasi transpulmoner juga memungkinkan kalkulasi volume
diastolik akhir-global (GEDV) dan air paru ekstravaskuler (EVLW). Melalui
analisis matematis dan ekstrapolasi kurva thermodilusi, adalah ungkin untuk
computer thermodilusi untuk menghitung mean waktu transit dari indikator dan
waktu

penghancuran

eksponensialnya

(Gambar

5-25).

Volume

thermal

intrathoraksis (ITTV) adalah produk dari CO dan mean waktu transit (MTT).
ITTV termasuk volume darah pulmoner (PBV), EVLW, dan darah yang
terkandung dalam jantung. Volume thermal pulmoner (PTV) termasuk EVLW dan
PBV dan didapatkan dengan mengkalikan CO dengan waktu penghancuran
eksponensial (EDT). Mengurangi PTV dari ITTV memberikan GEDV (Gambar 526). GEDV adalah volume hipotetis yang mengasumsikan bahwa semua ruang
jantung terisi terus-menerus saat diastole. Dengan indeks normal antara 640 dan
800 mL/m2, GEDV dapat membantu dalam menentukan status volume. Indeks air
paru ekstra vaskuler kurang dari 10 mL/kg adalah normatif. EVLW adalah ITTV
minus volume darah intrathoraksis (ITBV). ITBV = GEDV 1.25.
Dengan demikian EVLW = ITTV ITBV. Peningkatan EVLW dapat
mengindikasikan overload cairan. Dengan demikian, melalui analisis matematis
pada kurva thermodilusi pulmoner, dimungkinkan untuk mendapatkan indeks
volumetrik untuk memandu terapi penggantian cairan. Terlebih lagi, sistem
PiCCO R menghitung variasi SV dan variasi tekanan nadi melalui analisis kontur
nadi, dimana keduanya dapat digunakan untuk menentukan reponsifitas cairan.
Baik SV dan tekanan nadi menurun selama ventilasi tekanan positif. Semakin
besar variasi selama perjalanan inspirasi dan ekspirasi tekanan positif, semakin
mungkin pasien memperbaiki pengukuran hemodinamik setelah pemberian
volume.
B. Dilusi Pewarna
Jika pewarna indocyanine green (atau indikator lainnya seperti lithium)
dinjeksikan melalui kateter vena sentral, tampilannya dalam sirkulasi arterial

sistemik dapat diukur dengan menganalisis sampel arterial dengan detektor yang
sesuai (misalnya, densitometer untuk indocyanine green). Area di bawah kurva
indikator pewarna yang dihasilkan berhubungan dengan CO. Dengan
menganalisistekanan darah arterial dan mengintegrasikannya dengan CO, sistem
yang menggunakan lithium (LiDCO TM) juga menghitung SV denyut-ke-denyut.
Pada sistem LiDCO TM, bolus sedikit lithium chloride diinjeksikan ke dalam
sirkulasi. Elektroda sensitif-lithium dalam kateter arterial mengukur penghancuran
konsentrasi lithium seiring waktu. Menggabungkan konsentrasi seiring waktu
memungkinkan mesin untuk menghitung CO. Peralatan LiDCO TM, seperti alat
thermodilusi PiCCO R, menggunakan analisis kontur nadi pada bentuk
gelombang arterial untuk menyediakan penentuan CO denyut-ke-denyut yang
terjadi dan parameter lain yang dihitung. Penentuan dilusi lithium dapat dilakukan
pada pasien-pasien yang memiliki akses vena perifer saja. Lithium tidak boleh
diberikan pada pasien pada trimester pertama kehamilan. Teknik dilusi pewarna,
memberikan permasalahan resirkulasi indikator, sampling darah arterial, dan
penumpukan tracer latar belakang, yang berpotensi membatasi penggunaan
pendekatan-pendekatan

tersebut

pada

perioperatif.

Nondepolarizing

neuromuscular blockers dapat memperngaruhi sensor lithium.


C. Peralatan Kontur Nadi
Peralatan kontur nadi menggunakan pengusutan tekanan arterial untuk
memastikan CO dan parameter dinamik lainnya, seperti tekanan nadi dan variasi
SV dengan ventilasi mekanis. Indeks-indeks ini digunakan untuk membantu
menentukan jika hipotensi kemungkinan akan merespon terhadap terapi cairan.
Peralatan kontur nadi bergantung pada alogarisma yang mengukur area-area
bagian sistolik tekanan arterial yang diikuti dari end diastole ke akhir ejeks
ventrikuler. Peralatan tersebut kemudian menggabungkan faktor kalibrasi untu
kompliansi vaskuler pasien, yang adalah dinamik dan tidak statik. Beberapa
peralatan kontur nadi bergantung pertama-tama pada thermodilusi transpulmoner
atau thermodilusi lithium untuk mengkalibrasi mesin untuk pengukuran kontur
nadi selanjutnya. FloTrac (Edwards Life Sciences) tidak memerlukan kalibrasi

dengan pengukuran lainnya dan bergantung pada analiis statistikan dari


alogarismanya untuk menghitung perubahan pada kompliansi vaskuler yang
terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan tonus vaskuler.
D. Doppler Esofageal
Doppler esophageal bergantung pada prinsip Doppler untuk mengukur kecepatan
aliran darah dalam aorta thoraksis descenden. Prinsip Doppler adalah integral
dalam echokardiografi perioperatif, seperti didiskusikan di bawah ini. Efek
Doppler telah dideskripsikan sebelumnya di bab ini dan merupakan hasil dari
perubahan yang muncul pada frekuensi suara ketika sumber gelombang suara dan
pengamat gelombag suara dalam gerakan relatif. Darah dalam aorta bergerak
relatif dibandingkan dengan probe Doppler di esophagus. Ketika sel darah merah
mengalir, mereka memantulkan pergeseran frekuensi, tergantung pada arah dan
kecepatan gerakannya. Ketika aliran darah mendekati transduser, frekunsi yang
dipantulkan lebih tinggi daripada yang ditransmisikan oleh probe. Ketika sel
darah menjauh dari transduser, frekuensinya lebih rendah daripada yang awalnya
dikirimkan oleh probe. Dengan menggunakan persamaan Doppler, adalah
mungkin untuk menentukan kecepatan airan darah dalam aorta. Persamaannya
adalah:
Kecepatan aliran darah = {perubahan frekuensi/cosinus sudut insidensi
antara sinar Doppler dan aliran darah} {kecepatan suara di jaringan /2
(frekuensi sumber)}
Agar Doppler dapat memberikan estimasi kecepatan yang dapat
diandalkan sudut insidensi harus sedekat mungkin dengan nol, karena cosinus 0
adalah 1. ketika sudut mendekati 90, pengukuran Doppler tidak dapat
diandalkan, karena cosinus 90 adalah 0.
Peralatan Doppler esophageal menghitung kecepatan aliran di aorta.
Karena kecepatan sel dalam aorta berjalan dengan kecepatan yang berbeda-beda
selama siklus kardia, mesin mendapatkan pengukuran semua kecepatan sel yang
bergerak seiring waktu. Secara matematis mengintegrasikan kecepatan yang
menunjukkan jarak yang dilalui darah. Selanjutnya, dengan menggunakan

normogram, monitor memperkirakan area aorta descenden. Dengan demikian


monitor menghitung jarak yang dilalui darah, juga area: area panjang = volume.
Sebagai konsekuensinya, SV darah pada aorta descenden dihitung.
Mengetahui HR memungkinkan penghitungan bagian CO tersebut yang mengalir
melalui aorta thoraksis descenden, yang kira-kira adalah 70% dari total CO.
Dengan koreksi ini untuk 30% memungkinkan monitor untuk mengestimasi total
CO pasien.Doppler esophageal tergantung pada banyak asumsi dan nomogram,
yang dapat menghalangi kemampuannya untuk mencerminkan CO dengan akurat
dalam berbagai situasi klinis.
E. Bioimpedansi Thoraxis
Peruahan pada volume thoraksis menyebabkan perubahan pada resistensi
thoraksis (bioimpedensi) ke arus amplitude rendah, frekuensi tinggi. Jika
perubahan thoraksis pada bioimpedensi diukut setelah depolarisasi ventrikuler, SV
dapat ditentukan secara kontinyu. Teknik noninvasive ini memelukan enam
elektroda untuk injeksi microcurrents dan untuk merasakan bioimpedansi pada
kedua sisi dada. Peningkatan cairan pada dada mengakibatkan bioempedensi
elektris yang lebih sedikit. Asumsi matematis dan korelasi kemudian dibuat untuk
menghitung CO dari perubahan pada bioimpedensi. Kerugian dari bioimpedensi
thoraksis termasuk kerentanan terhadap gangguan elektris dan bergantung pada
posisi elektroda yang tepat. Akurasi teknik ini dipertanyakan dalam beberapa grup
pasien, termasuk mereka dengan penyakit katup aortik, pembedahan jantung
sebelumnya, atau perubahan akut pada fungsi nervus simpatis thoraksis (misalnya,
mereka yang menjalani anestesi spinal).
F. Prinsip Fick
Jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh individu (V O2) sebanding dengan perbedaan
antara kandungan oksigen (C) arterial dan vena (av) (CaO2 dan CvO2) dikali CO.
Dengan demikian
CO =

Konsumsi oksigen
Perbedaan kandungan O2 a-v

VO2
CaO2 CvO2

Campuran kandungan oksigen vena dan arterial mudah ditentukan jika


kateter PA dan jalur arterial ditempatkan. Konsumsi oksigen juga dapat dihitung
dari perbedaan antara kandungan oksigen pada gas inspirasi dan ekspirasi. Variasi
prinsip Fick adalah basis dari semua indikator metode dilusi dalam penentuan
CO.
G. Echokardiografi
Tidak ada peralatan yang lebih kuat untuk diagnosis dan menilai fungsi kardia
perioperatif dari ada transthoracic echocardiography (TTE) dan transesophageal
echocardiography

(TEE).

Kedua

pendekatan

tersebut

semakin

banyak

dipergunakan dalam kondisi operatif. Dalam kamar operasi, akses yang terbatas
pada dada membuat TEE menjadi pilihan yang ideal untuk memvisualisasi
jantung. Baik TTE dan TEE dapat digunakan pada perioperatif dan postoperatif.
TTE

memiliki

keuntungan

karena

sepenuhnya

nonivasif;

akan

tetapi,

mendapatkan jendela untuk melihat jantung dapat menjadi sulit. Probe TEE
sekali pakai sekarang tersedia yang dapat tetap di posisinya pada pasien sakit
kritis selama berhari-hari, pada waktu dimana pemeriksaan TEE intermiten dapat
dilakukan.
Echokardiografi dapat digunakan oleh staff anestesia dalam dua cara,
tergantung pada derajat pelatihan dan sertifikasi. TEE dasar (atau hemodinamik)
memungkinkan anestesiologi untuk membedakan sumber primer dari instabilitas
hemodinamik pasien. Walaupun dalam beberapa decade terakhir kateter flotasi PA
akan digunakan untuk menentukan mengapa pasien dapat menjadi hipotensif,
anestesiologis yang melakukan TEE hemodinamik berusaha untuk menentukan
jika jantung terisi dengan adekuat, berkontraksi dengan baik, tidak terkompresi
eksternal, dan tidak ada defek structural yang nyata. Sepanjang waktu, informasi
yang didapatkan dari TEE hemodinamik dapat dikaitkan dengan informasi lain
tentang kondisi umum pasien.
Anestesiologis yang melakukan TEE lanjutan membuat rekomendasi
terapiutik dan bedah berdasarkan pada interpretasi TEE mereka. Berbagai
organisasi dan dewan telah ditetapkan di seluruh dunia untuk sertifikasi individu-

individu pada semua tingat echokardiografi perioperatif. Lebih penting, individu


yang dapat melakukan echokardiografi harus menyadari persyaratan kredensial
dari masing-masing institusi mereka.
Echokardiografi memiliki banyak kegunaam, termasuk di antaranya:

Diagnosis sumber instabilitas hemodinamik, termasuk iskemi miokardia,


gagal jantung sistolik dan diastolik, abnormalitas valvuler, hipovolemia,
dan tamponade perikardia.

Estimasi parameter hemodinamik, seperti SV, CO, dan tekanan


intracaviter.

Diagnosis struktural penyakit jantung, seperti penyakit jantung vaskuler,


shunts, penyakit aortik.

Memandu intervensi bedah, seperti perbaikan katup mitral.


Berbagai modalitas echokardiografi telah digunakan pada perioperatif oleh

anestesiologis termasuk TTE, TEE, ultrasound epiaortik dan epikardia, dan


echokardiografi tiga-dimensional. Beberapa keuntungan dan kerugian dari
modalitas-modalitas tersebut adalah sebagai berikut:

TTE memiliki keuntungan karena noninvasif dan pada dasarnya bebas


resiko. Pemeriksaan TTE cakupan terbatas sekarang semakin umum di
unit perawatan intensif (Gambar 5-27).

Tidak seperti TTE, TEE adalah prosedur invasif dengan potensi


komplikasi yang mengancam nyawa (ruptur esofageal dan mediastinitis)
(Gambar 5-28). Dekatnya esofagus kiri dengan atrium kiri mengeliminasi
permasalahan dalam mendapatkan jendela untuk melihat jantung dan
memungkinkan detail yang baik. TEE telah sering digunakan dalam kamar
operasi bedah jantung selama beberapa dekade terakhir. Penggunaannya
untuk memandu terapi pada kasus-kasus umum telah terbataas oleh karena
biaya peralatan dan diperlukan pembelajaran untuk menginterpretasikan
gambar dengan tepat. Baik TTE maupun TEE menghasilkan gambar dua
dimensional dari jantung yang tiga dimensional. Sebagai konsekuensinya,

adalah perlu untuk melihat jantung melalui berbagai bidang gambar dan
jendela dua dimensional untuk secara mental menciptakan kembali
anatomi tiga dimensional. Kemampuan untuk menginterpretasikan
gambar-gambar ini pada tingkat sertifikasi lanjutan memerlukan banyak
latihan.

Teknik pencitraan ultrasound epiaortik dan epikardia menggunakan probe


gema yang terbungkus dalam selubung steril dan dapat dimanipulsi oleh
doter bedah pada intraoperatif untuk mendapatkan pandangan pada aorta
dan jatung. Trakea yang berisi udara menceggah pencitraan TEE pada
aorta descenden. Karena aorta dimanpulasi selama bedah kardia, deteksi
plak atherosclerotik memungkinkan dokter bedah untuk berpotensi
meminimalkan insidensi stroke embolik. Pencitraan jantung dengan
ultrasound

epicardial

ultrasound

memungkinkan

echokardiografi

intraoperatif ketika TEE dikontraindikasikan karena patologi esofageal


atau gastrik.

Echokardiografi tiga dimensional (TTE dan TEE) telah terseda dalam


beberaa tahun terakhir (Gambar 5-29). Teknik-teknik ini memberikan
pandangn tiga dimensional pada struktur jantung. Khususnya, gambar tiga
dimensional dapat menghitung volume jantung dengan lebih baik dan
dapat menghasilkan pandangan dokter bedah pada katup mitral untuk
membantu dalam perbaikan katuup.
Echokardiografi menggunakan ultrasound (suara pada frekuensi lebih dari

pendengaran normal) dari 2 sampai 10 MHz. Piezoelectrode pada transduser


probe mengubah tenaga alektris yang diberikan pada probe menjadi gelombang
ultrasound. Gelombang-gelombang ini kemudian berjalan melalui jaringan,
bertemu dengan darah, jatung, dan struktur-struktur lainnya. Gelombang suara
langsung melewati jaringan dengan impedansi yang mirip; akan tetapi, ketika
menemukan jaringan yang berbeda, gelombang tersebut terpencar, membelok,
atau memantul balik ke probe ultrasound. Gelombang gema kemudian
berinteraksi dengan probe ultrasound, menghasilkan sinyal elektris yang dapat

direkonstruksi sebagai sebuah gambar. Mesin mengetahui jeda waktu antara


gelombang suara yang ditransmisikan dan dipantulkan. Dengan mengetahui jeda
waktu, lokasi sumber dari gelombang yang dipantulkan dapat ditentukan dan
dapat dihasilkan sebuah gambar. Probe TEE mengandung banyak kristal yang
menghailkan dan memprose gelombang, yang kemudian menciptakan gelombang
gema. Probe TEE dapat menghasilkan gambar melalui berbagai bidang dan dapat
dimanipulasi secara fisik dalam perut dan esofagus, memungkinkan visualisasi
struktur jantung (Gambar 5-30). Pandangan ini dapat digunakan untuk
menentukan jika dinding jantung mendapatkan suplai darah yang adekuat
(Gambar 5-31). Pada jantung sehat, dinding jantung menebal dan bergerak lebih
ke dalam dengan masing-masing denyutan. Abnormalitas gerak dinding, dimana
dinding jantung gagal untuk menebal selama sistole atau bergerak dengan cara
diskinetik, dapat dikaitkan dengan iskemia miokardia.
Efek Doppler digunakan secara rutin dalam pemeriksaan echokardiografi
untuk menentukan fungsi jantung. Pada jantung, baik aliran darah yang melalui
jantung maupun jaringan jantung bergerak relatif terhadap probe gema di esofagus
atau pada dinding dada. Dengan menggunakan efek Doppler, dimungkinkan bagi
echokardiografer untuk menentukan arah dan kecepatan aliran darah dan gerakan
jaringan.
Aliran darah dalam jantung memungkinkan hukum konversi massa.
Dengan demikian, volume darah yang mengalir melalui satu titik (misalnya,
traktus outflow ventrikuler kiri). Ketika jalur yang dilewati darah menyempit
(misalnya,

stenosis

aortik),

kecepatan

darah

harus

meningkat

untuk

memungkinkan volume lewat. Peningkatan kecepatan ketika darah bergerak ke


arah probe gema esofageal terdeteksi. Persamaan Bernoulli (perubahan tekanan =
4V2) memungkinkan echokardiografer untuk menentukan gradien tekanan antara
area-area dengan kecepatan yang berbeda (Gambar 5-32). Dengan menggunakan
Doppler gelombang kontinyu, adalah mungkin untuk menentukan kecepatan
maksimum ketika darah berakselerasi melalui struktur jantung patologis. Sebagai
contoh, aliran darah sebesar 4 m/detik mencerminkan gradien tekanan sebesar 84

mmHg antara area kecepatan rendah (traktur outflow ventrikuler kiri) dan regio
dengan kecepatan tinggi (katup aorta stenotik).
Demikian juga, persamaan Bernoulli memungkinkan echokardiografer
untuk mengestimasi PA dan tekanan intrakaviter lainnya, jika diasumsikan.
Asumsikan P1 >> P2
Darah mengalir dari area tekanan tinggi P1 ke area tekanan rendah P2.
Gradien tekanan = 4V2, dimana V adalah kecepatan maksimal yang diuur
dalam meter per detik.
Dengan demikian,
4V2 = P1 - P2
Dengan demikian, mengasumsikan bahwa terdapat jet regurgitan aliran
darah dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dan yang meninggalkan tekanan
sistolik ventrikuler kiri (P1) adalah sama dengan tekanan darah sistemik (yaitu,
tidak ada stenosis aortik), adalah mungkin untuk menghitung tekanan atrial kiri
(P2). Dengan cara ini, echokardiografer dapat memperkirakan tekanan intracaviter
ketika terdapat gradien tekanan, kecepatan aliran yang dapat diukur antara areaarea tekanan tinggi dan rendah, dan pengetahuan P1 atau P2 (Gambar 5-33).
Prinsip

Doppler

juga

digunakan

oleh

echokardiografer

untuk

mengidentifikasi area-area aliran abnormal dengan menggunakan Doppler aliran


warna. Doppler aliran warna menciptakan gambaran visual dari aliran darah
jantung dengan memberikan kode warna pada kecepatan di jantung. Aliran darah
yang arahnya menjauh dari transduser echokardiografi berkode warna biru,
sedangkan yang bergerak mendekati probe adalah merah. Semakin tinggi
kecepatan aliran, semakin terang warnanya (Gambar 5-34). Ketika kecepatan
aliran darah menjadi lebih besar daripada yang dapat diukur oleh mesin, aliran ke
arah probe salah diartikan sebagai aliran menjauh dari probe, menciptakan
gambaran aliran turbulensi dan membuat alias dari gambar tersebut. Perubahan
dalam

pola

aliran

tersebut

mengidentifikasi area-area patologi.

digunakan

oleh

echokardiografer

untuk

Doppler juga dapat digunakan untuk memberikan estimasi SC dan CO.


mirip dengan probe Doppler esofageal yang dideskripskan sebelumnya, TTE dan
TEE dapat digunakan untuk mengestimasi CO. Mengasumsikan bahwa traktus
outflow ventrikuler kiri adalah silinder, dimungkinkan untuk mengukur
diameternya (Gambar 5-35). Dengan mengetahui hal ini, adalah mungkin untuk
menghitung area dimana darah mengalir dengan menggunakan persamaan berikut:
Area = r2 = 0.785 x diameter2
Selanjutnya, integral kecepatan waktu ditentukan. Sinar Doppler
diluruskan paralel dengan traktur outflow ventrikuler kiri (Gambar 5-36).
Kecepatan yang melewati traktur outflow ventrikuler kiri dicatat, dan mesin
mengintegrasikan kurva kecepatan/waktu untuk menentukan jarak darah yang
dilalui.
Area panjang = volume
Dalam contoh ini, SV dihitung:
SV HR = CO
Terakhir, Doppler dapat digunakan untuk memeriksa gerakan jaringan
miokardia. Kecepatan jaringan normalnya adalah 815 cm/detik (jauh lebih kecil
daripada kecepatan darah, yaitu 100 cm/detik). Menggunakan fungsi Doppler
jaringan pada mesin echo, adalah mungkin untuk membedakan arah dan
kecepatan gerak jantung. Selama pengisian diastolik, miokardium annulus lateral
akan bergerak ke arah probe TEE. Penurunan kecepatan miokardial (<8 cm/detik)
berkaitan dengan gangguan fungsi diastolik dan tekanan diastolik-akhir
ventrikuler kiri yang lebih tinggi.
Pada

akhirnya,

echokardiografi

dapat

memberikan

monitoring

kardiovaskuler komprehensif. Pemakaian rutinnya di luar kamar operasi kardia


terhalang oleh biaya dan peralatan dan pelatihan yang diperlukan untuk
menginterpretasikan gambar dengan benar. Ketika peralatan semakin tersedia,
kemungkinan staff anestesia akan semakin banyak melakukan pemeriksaan

echokardiografi untuk monitoring hemodinamik perioperatif. Ketika muncul


pertanyaan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan panduan hemodinamik,
diperlukan interpretasi oleh individu yang telah mendapatka kredensial dalam
echokardiografi perioperatif lanjutan.
DISKUSI KASUS
Monitoring Hemodinamik dan Mnajemen Pasien dengan Komplikasi
Seorang laki-laki usia 68 tahun datang dengan perforasi kolon sekunder
karena divertikulitis. Tanda-tanda vitalnya: denyut nadi, 120 kali/menit;
tekanan darah, 80 mmHg/55 mmHg; frekuensi nafas, 28 kali/menit; dan
temperatur tubuh, 38 C. Dia dijadwalkan untuk menjalani laparotomi
eksploratorik darurat. Di riwayatnya dahulu terdapat penempatan stent
elusif-obat di tarteri arterior kiri dua minggu termasuk penempatan stent
obat-elusif di arteri descenden anterior kiri dua minggu sebelumnya.
Pengobatannya termasuk metoprolol dan clopidogrel.
Apakah monitor hemodinamik yang perlu digunakan?
Pasien ini datang dengan permasalahan medis multipel yang dapat menyebabkan
instabilitas hemodinamik perioperatif. Dia memiliki riwayat penyakit arteri
koroner yang telah diberikan stent. ECG yang lalu dan saat ini perlu dilihat
kembali untuk tanda-tandaperubahan gelombang ST dan T, yang menandakan
iskemia. Dia takikardi dan febris, dan, sebagai konsekuensinya, dapat mengalami
iskemi, vasodilatasi, dan hipovolemik secara bersamaan. Semua kondisi tersebut
dapat menyebabkan komplikasi manajemen perioperatif.
Kanulasi dan monitoring arterial akan memberikan penentuan tekanan
darah denyut-demi-denyut pada intraoperatif dan juga akan memberikan
pengukuran gas darah pada pasien yang kemungkinan acidotic dan tidak stabil
hemodinamiknya. Akses vena sentral didapatkan untuk memungkinkan resusitasi
volume dan untuk menyediakan port untuk pemberian cairan untuk pengukuran
variasi CO dan SV transpulmoner. Sebagai alternatifnya, analisis kontur nadi
dapat digunakan dari trace arterial untuk menentukan responsifitas volume, bila

pasien menjadi tidak stabil hemodinamiknya. Echokardiografi dapat digunakan


untuk menentukan fungsi ventrikuler, tekanan pengisi, dan CO untuk memberikan
pengawasan untuk terjadinya abnormalitas gerak dinding akibat induksi iskemia.
Kateter PA juga dapat dtempatkan untuk mengukur CO dan tekanan oklusi
kapiler pulmoner.
Pilihan monitor hemodinamik tetapi dengan dokter individual dan
ketersediaan

berbagai

teknik

monitoring.

Adalah

penting

untuk

juga

mempertimbangkan monitor yang akan tersedia dalam seting postoperatif untuk


memastikan kelanjutan terapi terarah-tujuan.

Anda mungkin juga menyukai