PENDAHULUAN
Guillain Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun, dimana proses
imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadangkadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi
otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati
rasa.1
Fase awal dimulai dengan munculnya tanda tanda kelemahan dan biasanya tampak
secara lengkap dalam 2 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini
tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan
mungkin berakhir 4 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan
adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala
neurologis, sisa dapat menetap.1
Angka kejadian Guillain Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu
banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia
adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki
dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dari pada laki-laki
dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini
menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara
15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai
dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun.1,2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
GBS adalah suatu polineuropati demielinasi inflamasi akut ditandai dengan
kelemahan otot yang progresif simetric ascending, kelumpuhan, dan hyporeflexia
dengan atau tanpa gejala sensorik atau otonomik. SGB merupakan suatu sindroma
klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis.1
2.2. Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Frekwensi
tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus
influenza. Pada penelitian didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap
saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus
terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Penelitian menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,
III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki
dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April
s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.2
2.3. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului
dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain2:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Penyakit sistematik:
o keganasan
o systemic lupus erythematosus
o tiroiditis
o penyakit Addison
2.4. Patofiologi
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus. Peran imunitas seluler dalam sistem kekebalan seluler, sel
limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel
limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) stem cell yang mengalami
pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran. Sebelum
respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada
limposit T (CD4) melalui makrofag.2
Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen
atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen
(antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada
limposit T (CD4). Setelah itulimposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker
dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel
limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang
dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.2
Pada penyakit GBS, mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau
faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum
diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf
yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi seperti
penerangan di atas. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah2:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi sehingga adanya inflamasi
dari endoneurial di spinal nerves roots, nervus segmen distal, atau sekitar nervus
yang berpotensi untuk terjepit.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
2.5. Klassifikasi
Beberapa varian dari Sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu2:
2.5.1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
AIDP subtipe adalah umumnya didahului oleh infeksi bakteri atau virus dan
seropositif untuk Campylobacter jejuni.2
2.5.2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2.5.5.Fishers Syndrome
Miller-Fisher syndrome (MFS) adalah varian dengan klasik TRIAS serangkai yaitu
ataksia, areflexia, dan ophthalmoplegia. Gambaran kardinale adalah onset akut
ophthalmoplegia eksternal. Diplopia biasanya gejala awal, diikuti oleh anggota badan
atau ataxia gait. Ataksia cenderung untuk keluar dari proporsi tingkat kehilangan
sensori. Kadang-kadang mungkin ada gejala sensorik ringan, menelan. Pasien juga
mungkin memiliki kelemahan tungkai ringan, ptosis, bells palsy, atau kelumpuhan
bulbar.2
2.5.6. Acute Pandysautonomia
Neuropati akut panautonomic melibatkan kedua sistem saraf simpatik dan
parasimpatik.2
ii.
iii.
2.6.8. Dysautonomia
Terjadi pada sekitar 65% kasus. Lebih sering pada pasien dengan kelumpuhan berat
dan kesulitan ventilasi tapi bisa terjadi pada kasus-kasus ringan. Manifestasi paling
umum termasuk disfungsi jantung seperti sinus takikardia, sinus bradikardia, sinus
arrest dan lainnya supraventrikuler aritmia, hipertensi paroksismal, dan hipotensi
(terutama postural).Pemantauan ICU diperlukan karena kemungkinan komplikasi
jantung. Retensio urin dan ileus paralitik. Puncak deficit untuk gambaran klinis GBS
dicapaikan dalam waktu 4minggu dan recovery biasanya dimulai 2-4minggu.3
2.7. Diagnosis
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu4:
2.7.1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis4:
Hiporefleksi
2.7.2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB : 4
a. Ciri-ciri klinis:
Relatif simetris
Varian:
o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
Systemic vasculitis
10
2.9. Komplikasi4
Komplikasi yang tersering pada penderita GBS adalah gangguan otot pernafasan
yaitu respiratory failure.
2.10. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)
cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas (imunoterapi).4
2.10.1 Tujuan Supportif:Monitor Airway, Breathing, Circulation
Monitor kapasitas vital, tidal volume and negative inspiratory force .
Intubation may be necessary in patients with substantial oropharyngeal
dysfunction to prevent aspiration.4,5
2.10.2.Tujuan Kausatif:Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.4,5
2.10.3. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan
dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).4,5
11
6 merkaptopurin (6-MP)
Azathioprine
Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.
America Academy of Neurology (AAN) telah mengeluarkan pedoman baru yaitu
Guideline Summary for Clinicians Immunotherapy for Guillain-Barre Syndrome
dalam menangani pasien-pasien GBS secara praktis.Antara pedoman yang
disimpulkan oleh AAN adalah5,6:
i.
ii.
PE dan IVIG sama-sama efektif pada pasien dengan gejala GBS yang
lanjut.
iii.
PE dapat membawa efek samping yang lebih besar dan lebih sulit.
iv.
v.
12
Prognosis
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita
meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar
antara 2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan,
gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar
penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan.
Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan
motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki (2,3). Kira-kira 35 % penderita mengalami relaps.6
13
BAB III
KESIMPULAN
Guillain Barre Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik
yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya bertanggungjawab atas
terjadinya sindrom ini.terapi farmakoterapi dan terapi fisik, prognosis GBS
tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien
Guillain - Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Manifestasi klinis
berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko
komplikasi pencernaan.
Masalah utama yang biasanya muncul pada pasien adalah tangan kesemutan dan kaki
tidak dapat digerakkan yang memerlukan penatalaksanaan khususnya latihan rentang
gerak pasif untuk menghindari atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, dan mencegah
kontraktur. Tindakan perlu dilakukan secara rutin dan kontinu, mengingat GBS
memerlukan waktu yang lama dalam penyembuhannya.
14
DAFTAR PUSTAKA
(Accesed
10
December 2015)
3. Fokke. C., Berg, BV. 2014. Diagnosis of Gullain Barre Syndrome. Netherland.
A Journal of Neurology, 137 : 33-43
4. Winner, JB. 2014. An update in Gullain Barre Syndrome. Creative Commons
Attribution License. Hindawi Publish Cooperation., 10. 11: 37-9
5. Yuki. N., 2012. Gullain Barre Syndrome. The New England of Medicine; 366 :
2294-2304.
6. Lannello. S., 2004. Prognosis. In : Gullain Barre Syndrome: Pathological,
15