Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Perkembangani lmu pengetahuan dan tuntutan perekonomian modern semakin
membabibuta termasuk dalamme manfaatkan sesuatu. Jika pemanfaatan sesuatu masih dalam
batas tolerir dan tidak melanggar hukum yang berlaku masih dapat dipertahankan.Namun
akhir akhir ini banyak oknum yang memanfaatkan keadaan dengan ingin mendapatkan
keuntungan sebesar besarnya dengan pengeluaran yang tak seberapa. Kondisi ayam hidup
selama pendistribusian menuju wilayah kota dalam keadaan berdesakan, waktu tempuh
relative lama menyebabkan tingkat kematian ayam, ditambah wabah kondisi ayam yang
gampang terserang dan tertular penyakit dengan kondisi lingkungan yang berubah-ubah yang
mematikan ayam sehingga berpotensi memperbesar angka mortalitas ayam. Dari banyaknya
faktor-faktor tersebut terbukti bahwa selama proses pendistribusian ayam menujukota, angka
mortalitas ayam sangat tinggi. Banyaknya jumlah ayam yang mati menyebabkan kerugian
besar bagi penyuplai daging ayam, namun untuk mengatasi permasalahan tersebut mereka
tetap memperjual belikan daging ayam bangkai selayaknya daging ayam yang disembelih
normal, meskipun pada dasarnya hal tersebut sudah dilarang agama dan pemerintah. Daging
ayam bangkai haram hukumnya untuk: dikonsumsi tetapi keberadaannya dalam penjualan
daging ayam merupakan hal yang sulit untuk dihindarkan karena adanya motif ekonomi dari
sebagian masyarakat. Terdapatnya bangkai ayam karena kematian selama pemeliharaan
maupun selama transportasi sebelum dilakukan pemotongan. Bangkai ayam yang
mempunyai tenggang waktu cukup lama sebelum dilakukan pemrosesan akan menamparkan
tanda-tanda yang membedakan dengan daging ayam segar seperti terdapatnya warnahijau
disekitar perut ayam tetapi untuk bangkai yang langsung dilakukan pemrosesan akan sulit
dideteksi secara organoleptik.
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengkaji gambaran perubahan organoleptik pada daging ayam bangkai di bandingkan daging
ayam segar selama penyimpanan pada suhu kamar.

2. Mengevaluasi pengaruh beberapa perlakuan (pendinginan, pembekuan, perebusan dan


penggorengan) terhadap perubahan organoleptik daging ayam bangkai dibandingkan
daging ayam segar.

3. Mengkaji pola perturnbuhan bakteri dan jenis bakteri yang dominan pertumbuhannya
pada daging ayam bangkai.

ABSTRACT
Un-slaughtered chicken are haram to consume but still exist according to economic
motivation of some people. Un-slaughtered chicken are still available in the market due to
mortality during chicken growth also in transportation before slaughtering. Un- slaughtered
chicken have different characteristics to fresh chicken carcass such as green stomach color,
meanwhile it is very difficult to differentiate organoleptically as if the un-slaughtered chicken
were processed directly. The purpose of the study was to define the difference between fresh
chicken carcass and un-slaughtered chicken carcass through organoleptic detection including

color, smell, and texture of chicken carcass after refrigerating, freezing, boiling, frying and
without treatment. Also it was aimed to detect early deterioration test by Postma, bacterial
growth pattern, and identify the dominant bacteria.

The result showed that there was no

organoleptically difference between fresh and un-slaughtered chicken carcass after 0, 1, and 2
hours refrigeration, freezing, boiling, frying, and without treatment. Bacterial growth pattern in
the fresh and un- slaughtered chicken carcass were almost similar after 1 hour storage. There
was different bacterial growth pattern. The un-slaughtered chicken carcass deteriorated faster.
Two, 3, and 4 hours stored un-slaughtered chicken carcass had higher number of bacteria and
faster bacterial growth. Escherichia coli dan Staphylococcus aureus were the most common
bacteria in un-slaughtered chicken carcass.

PENDAHULUAN

Majelis Ulama Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa daging ayam bangkai adalah
haram hukumnya untuk dikonsumsi oleh umat Islam (Anonim, 2003; Anonymous, 2005).
Mengkonsumsi daging bangkai yang belum membusuk tidak akan menimbulkan dampak
terhadap kesehatan konsumen secara langsung, tetapi bagi umat Islam daging ayam bangkai
haram dikonsumsi

sehingga dampak psikologisnya sangat besar. Konsumen daging ayam

sebagian besar bermukim di kota sedangkan lahan kota terbatas sehingga tidak memungkinkan
untuk usaha peternakan ayam.

Peternakan ayam umumnya berlokasi di luar wilayah kota

sedangkan pemotongan ayam umumnya berlokasi di wilayah kota. Sebagai contoh, kebutuhan

daging ayam di wilayah DKI Jakarta kurang lebih 500.000 ekor ayam setiap hari. Dari jumlah
itu, sekitar 400.000 atau 80% dipenuhi oleh pemotongan ayam tradisional sedangkan sisanya
dipenuhi oleh perusahaan pemotongan ayam modern (Prayitno, 2003). Kondisi ayam dalam alat
transportasi yang berdesakan,

waktu tempuh yang lama, stres selama transportasi akan

memperbesar kemungkinan terjadinya kematian pada ayam.

Demikian juga adanya wabah

penyakit ayam yang mematikan sehingga dapat berpotensi memperbesar peluang untuk
terjadinya peredaran daging ayam bangkai.
Hasil penelitian dari Lembaga Penelitian Pengawasan Obat dan Makanan tahun 2002,
menyatakan bahwa masih terdapat penjualan daging ayam bangkai di pasar bebas (Anonim,
2002) Bangkai ayam yang tidak langsung dilakukan pemrosesan untuk pencabutan bulu dan
pengeluaran jerohan lebih mudah untuk dibedakan secara organoleptik karena terjadi proses
pembusukan yang terutama disebabkan pertumbuhan flora normal dalam saluran pencernaan
yang menghasilkan hidrogen sulfida berdifusi kedalam dinding usus sampai di jaringan otot.
Hidrogen sulfida ini bergabung dengan udara, pigmen darah dan pigmen jaringan akan
membentuk sulphaemoglobin yang berwarna hijau terutama di daerah sekitar perut ayam
(Gracey and Collins, 1992). Bangkai ayam yang langsung dilakukan pencabutan bulu dan
pengeluaran jerohan, hampir tidak mengalami proses pembusukan akibat flora normal pada
saluran pencernaan ayam sehingga warna kehijauan yang khas tidak akan nampak. Untuk kasus
bangkai yang cepat diproses inilah penentuan terhadap daging yang berasal dari bangkai atau
ayam hidup merupakan hal yang lebih sulit sehingga diperlukan pengamatan secara organoleptis
yang lebih teliti, perlakuan-perlakuan terhadap daging untuk membantu pengamatan
organoleptik, serta uji laboratorium yang. Perbedaan utama antara daging ayam bangkai dengan
daging ayam segar terletak pada kandungan darah dari kedua jenis daging ayam tersebut. Daging
ayam bangkai berasal dari ayam yang darahnya tidak keluar sama sekali, sehingga kandungan
hemoglobin sangat tinggi yang mengakibatkan warna daging berpotensi lebih gelap.

Akan

tetapi, menurut Asmara et al . (2006), warna merah pada daging ayam yang tidak disembelih
bersifat tidak konsisten. Terjadinya warna daging yang lebih gelap selain aktivitas bakteri juga
dipengaruhi oleh tegangan oksigen dan temperatur (Pearson and Dutson, 1994). Perlakuan pada
daging bangkai dengan pengaturan temperatur akan menghasilkan warna daging yang lebih
gelap sehingga lebih mudah untuk diidentifikasi. Kandungan gizi yang tinggi pada daging ayam
merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme.

Mikroorganisme yang sering mencemari daging ayam adalah bakteri. Menurut Jenis bakteri
yang biasanya mengkontaminasi daging ayam adalah Camplylobacter (Keener, e t a l ., 2004;
Mangen et al . 2005), dan Salmonella (FAO and WHO, 2009).
Kontaminasi bakteri dapat terjadi selama proses pengolahan daging ayam. Kontaminasi
daging diawali oleh adanya mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat
penyembelihan, yaitu apabila alat-alat yang digunakan untuk pemotongan tidak steril (Seeman,
1981). Mikroorganisme yang menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan
hidup (infeksi endogen) atau dengan kontaminasi daging pasca mati (infeksi eksogen). Infeksi
eksogen inilah yang dapat menurunkan kualitas daging tersebut. Kontaminasi daging ayam dari
luar terjadi terus menerus sejak pengeluaran darah sampai dikonsumsi. Ditempat pemotongan
hewan, dapat menjadi sumber infeksi yang potensial untuk hewan potong. Hal ini termasuk tanah
yang melekat, isi saluran pencernaan, kontaminasi dari udara, air yang digunakan untuk mencuci
karkas daging atau untuk membersihkan lantai dan alat yang digunakan dan sebagainya (Lawrie,
2003). Pengetahuan terhadap perubahan secara organoleptik pada daging ayam bangkai serta
perlakuan secara sederhana (pendinginan, pembekuan, pemanasan dan lain-lain) yang dapat
mempermudah deteksi terhadap keberadaan daging ayam bangkai sangat penting untuk diketahui
oleh konsumen agar dapat melindungi diri dan keluarganya dalam mencegah konsumsi daging
ayam bangkai. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan organoleptik pada daging
ayam bangkai dibandingkan daging ayam segar

selama penyimpanan pada suhu kamar;

mengevaluasi pengaruh beberapa perlakuan (pendinginan, pembekuan, perebusan dan


penggorengan) terhadap perubahan organoleptik daging ayam bangkai dibandingkan daging
ayam segar; serta mengkaji pola pertumbuhan bakteri dan jenis bakteri yang dominan pada
daging ayam bangkai.

MATERI DAN METODE

A. Materi

Ayam merupakan jenis Unggas yang terbear populasinya. Nenek moyang ayam yang kini
diternakan manusia adalah ayam hutan yang dikenal sebagai Gallus gallus, yang konon berasal
dari Asia Tenggara.
Asal mula ayam diternakan bukan untuk tujuan konsumsi tetapi untuk maksud rekreasi,
yaitu adu jago atau sabung ayam, yang erat kaitannya dengan perjudian. Sejak dilarangnya
praktik sabung ayam di inggris dan berbagai negara lain, perhatian manusia beralih ke teknik
peternakan komersial untuk produksi dagimg dan telur bagi konsumsi manusia. (Winarno,1993)
Industri Unggas di Indonesia secara tegas dapat dibagi menjadi 2 sektor besar, Sektor
pertama didasarkan pada ayam kampung asli yang diperkirakan berjumlah 90 juta ekor yang
menghasilkan 24% dari persediaan telur nasional, Sektor kedua didasarkan pada turunan yang
lebih baik yang diimpor dari luar negeri yang mana jumlahnya hanya 3.5 juta tetapi
menghasilkan 75% dari jumlah telur nasional. Sektor ini meluas dengan cepat dan telah
meningkat menjadi 75% selama 5 tahun. Dari tahun 1968-1973 dan 60% dari tahun 1973 dan
1974. Rencana Bimus Ayam yang dimulai pemerintah jelas berpengaruh seperti adanya
permintaan ekonimis yang tinggi pada telur unggas. (Bucle et al,2010)
Perlu dicatat bahwa Unggas nampaknya lebih menguntungkan daripada jenis ternak lain
karena mereka lebih produktif dan jarak waktu perkembangbiakan mereka yang lebih singkat,
sehingga usaha pengembangan dan perbaikan produktifitasnya oleh cara-cara genetika dapat
dilaksanakan secara tepat (Bucle et al, 2010). Selain itu, bagi penduduk yang Beragama Budha
dengan pantangan mengkonsumsi daging sapi, maka daging ayam merupakan pilihan pertama
bagi meereka.
Daging ayam mengandung zat gizi yang baik bagi tubuh. Informasi rinci komposisi Zat
gizi yang terdapat pada ayam (per 100 gram ayam, BDD 58%) adalah sebagai berikut :

No.

Zat gizi

Jumlah

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Energi
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kalsium
Fosfor

203 kkal
18,2 gram
25 gram
0 gram
14 mg
200 mg

7.
8.
9.

Zat besi
Vit.A
Vit.B1

2 mg
810 IU
0,08 mg

(Sumber: Berbagai Publikasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia serta Sumber Lainnya)
Gizi daging ayam pada prinsipnya tidak banyak bedanya dengan gizi daging-daging lain.
Proteinnya memiliki kandungan asam amino yang lengkap dan seimbang. Daging pada dada
ayam ternyata banyak mengandung vitamin niasin dibandingkan dengan daging tak berlemak
lainnya. Karena tingginya kandungan niasin, daging dada sebagai sumber niasin dapat
disamakan dengan hati. Daging ayam atau unggas yang berwarna gelap lebih tinggi kandungan
vitamin Riboflavin dan Tiamin dibandingkan dengan yang lebih putih.(Winarno,1993)
Kandungan gizi yang tinggi pada daging ayam merupakan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Mikroorganisme yang sering mencemari
daging ayam adalah bakteri. Menurut jenis bakteri yang biasanya mengontaminasi daging ayam
adalah Camplylobacter (Keener,etalo,2004; Mangen et al,2005) dan salmonella (FAO dan
WHO,2009). Pencemaran awal dari Mikroorganisme harus dikurangi agar daya tahan daging
dapat dicapai secara maksimum karena daging tersebut akan didistribusikan dan dipasarkan
dalam keadaan segar. Sebelum dikonsumsi, penampakan karkas dari luar tentu sangat
menetukan. Karkas dalah daging ayam yang masih bersama kulit dan tulang-tulangnya sebagai
hasil dari penyembelihan setelah dipisahkan kepala, kaki dan isi rongga perutnya. Kesan yang
baik terhadap keseragaman kerkas dan bagian-bagiannya, warna kulit, tidak adanya cacat, tidak
ada bulu yang tertinggal, tulang patah dan terpisah juga banyak mempengaruhi penerimaan
konsumen. Jadi, untuk memakan daging ayam yang baik mutunya adalah dengan melihat
penampakan karkasnya.(winarno,1993)
Dalam upaya pencegahan kerusakan pangan, pertumbuhan mikroorganisme harus
dicegah. Ini dapat dicapai dengan menghilangkan satu atau lebih kondisi yang diperlukan untuk
pertumbuhan

atau

dengan

pengetahuan

kondisi

yang

mempengaruhi

metabolisme

mikroorganisme. Beberapa metode pengawetan pangan bertumpu pada lebih dari satu metode
pengendalian pertumbuhan mikroorganisme. seperti pengurangan kadar air, pengubahan dan
penghilangan suhu, pengaturan pH radiasi dan penambahan bahan kimia.

B. Metode
Kedua kelompok sampel daging (daging ayam segar dan daging ayam bangkai) berasal
dari ayam yang sehat untuk menghasilkan daging ayam segar, penyembelihan ayam dilakukan
secara islami, sedangkan daging ayam bangkai diperoleh dengan cara membunuh ayam sehat
dengan menggunakan kloroform diberika tenggang waktu 0, 1, 2, 3,dan 4 jam sebelum dilakukan
pemotongan, pencabutan bulu, dan pengeluaran jeroan untuk memperoleh daging ayam bangkai.
Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap penelitian (Gambar 1 dan Gambar 2)

A
Pdapa
u
mpy
p
dd
k(a
an

y
sa0bm
ak
0:(8p
r4jd

m
oi

mp

e i n ba nm g i y a r i r o m k s p a e a n s n a a n n
i a n
a d d a a
s u h u

ey
j
a

ap i a m g e
gt i
ya
k

m i n a c r a b s ue t l a a m n
e u, 1 l l a , u 2 m d, 3 a a , n 4 , 5 , 6
an

e , l 1 j o m a, 2 m i s , 3 a h d a a n n
eo f j r a o m a n )
r
)

o
t
o
n
g
Gambar 1 Diagram Penelitian Tahap I

, 7

aAPdp y e i b a n
mOpy r ea l r d m
yd(ka a wp kai e am
madbsm u e a au a l nl
t n i k
mdp0 p e a a , 1 mg
a n
j4d d e j r
( k l
i a
os r o
p d
f o r
emo a g )
th i n
og

i g a u r j k i aa nn
g a a r no s os u el h e s u p a t n i k
n i an c r c a b k u u
au mw d a a r n n

t l ia t n
a

, 2i i n s , g 3 a ) h d a a n n
ao ma n )

a
n
tg

Gambar 2. Diagram penelitian Tahap 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 1. Hasil pemeriksaan organoleptik dan uji Postma pada daging ayam segar
Waktu
Pemeriksaan
0 jam
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
5 jam
6 jam
7 jam
8 jam

Warna

Pemeriksaan Organoleptik
Bau
Konsistensi

Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan

Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Agak anyir
Agak anyir
Agak anyir

Kenyal
Kenyal
Kenyal
Kenyal
Kenyal
Kenyal
Lembek berlendir
Lembek berlendir
Lembek berlendir

Uji Postma
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif

Tabel 2. Hasil pemeriksaan organoleptik dan uji Postma pada daging ayam bangkai 0 jam
Waktu
Pemerisaan
0 jam
1 jam
2jam
3jam
4jam
5jam
6jam
7jam
8jam

Warna

Pemeriksaan Organoleptik
Bau
konsistensi

Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan

Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Anyir
Anyir
Anyir

Kenyal
Kenyal
Kenyal
Kenyal
Kenyal
Kenyal
Agak Lembek
Lembek
Lembek berlendir

Uji Postma
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif

Tabel 3. Hasil pemeriksaan organoleptik dan uji Postma pada daging ayam bangkai 1 jam
Waktu
Warna

Pemeriksaan Organoleptik
Bau
Konsistensi

Uji Postma

pemeriksaan
0jam
1jam
2jam
3jam
4jam
5jam
6jam
7jam
8 jam

Putih Kekuningan
Putih Kekuningan
Putih Kekuningan
Putih Kekuningan
Putih Kekuningan
Putih Kekuningan
Putih Kekuningan
Putih Kekuningan
Putih Kekuningan

Normal
Normal
Normal
Anyir
Anyir
Anyir
Anyir
Anyir
Anyir

Kenyal
Kenyal
Kenyal
Agak Lembek
Agak Lembek
Agak Lembek
Lembek
Lembek
Lembek Berlendir

Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif

Tabel 4. Hasil pemeriksaan organoleptik dan uji Postma pada daging ayam bangkai 2 jam
Waktu
Pemerisaan
0 jam
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
5 jam
6 jam
7 jam
8 jam

Warna

Pemeriksaan organoleptik
Bau

Putih pucat agak kemerahan


Putih pucat agak kemerahan
Putih pucat agak kemerahan
Putih pucat agak kemerahan
Putih pucat agak kemerahan
Putih pucat agak kemerahan
Putih pucat agak kemerahan
Putih pucat agak kemerahan
Putih pucat agak kemerahan

Normal
Normal
Anyir
Anyir
Anyir
Anyir
Anyir
Anyir
Anyir

Uji
Konsistensi
Kenyal
Kenyal
Agak Lembek
Agak Lembek
Lembek
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir

Postma
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif

Tabel 5. Hasil pemeriksaan organoleptik dan uji Postma pada daging ayam bangkai 3 jam
Waktu
Pemerisaan
0 jam
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
5 jam
6 jam
7 jam
8 jam

Warna

Pemeriksaan Organoleptik
Bau
Konsistensi

Putih kemerahan
Putih kemerahan
Putih kemerahan
Putih kemerahan
Putih kemerahan
Putih kemerahan
Putih kemerahan
Putih kemerahan
Putih kemerahan

Normal
Anyir
Busuk
Busuk
Busuk
Busuk
Busuk
Busuk
Busuk

Kenyal
Agak Lembek
Sangat Lembek
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir

Uji Postma
Dubius
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif

Tabel 6. Hasil pemeriksaan organoleptik dan uji Postma pada daging ayam bangkai 4 jam

Waktu
Pemeriksaan
0 jam
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
5 jam
6 jam
7 jam
8 jam

Warna

Pemeriksaan Organoleptik
Bau
Konsistensi

Merah Gelap
Merah Gelap
Merah Gelap
Merah Gelap
Merah Gelap
Merah Gelap
Merah Gelap
Merah Gelap
Merah Gelap

Anyir
Busuk
Busuk
Busuk
Busuk
Busuk
Busuk
Busuk
Busuk

Uji postma

Lembek
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir
Lembek Berlendir

Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif

Tabel 7. Hasil pemeriksaan organoleptik pada bagian paha daging ayam segar

dan daging

ayam bangkai setelah perlakuan pembekuan


Bagian Paha Ayam
Ayam Segar
Ayam Bangkai 0 jam
Ayam Bangkai 1 jam
Ayam Bangkai 2 jam
Ayam Bangkai 3 jam
Ayam Bangkai 4 jam

Warna Kulit
Kuning Terang
Kuning Terang
Kuning Pucat
Kuning Pucat
Kuning Pucat Kemerahan
Kuning Pucat Kemerahan

Warna Daging Bagian Luar


Putih pucat
Putih Pucat
Putih sedikit gelap
Putih gelap
Merah gelap
Merah gelap

Tabel 8. Hasil pemeriksaan organoleptik pada bagian paha daging ayam segar dan daging ayam
bangkai setelah perlakuan perebusan
Bagian Paha ayam

Warna Kulit

Warna Daging

Warna Daging

Bagian Luar

Bagian Dalam

Ayam segar
Ayam Bangkai 0 jam
Ayam Bangkai 1 jam

Kuning terang
Kuning terang
Kuning sedikit

putih
Putih
Putih

Putih
Putih
Putih

Ayam Bangkai 2 jam

kemerahan
Kuning sedikit

putih

Putih

Ayam Bangkai 3 jam


Ayam Bangkai 4 jam

kemerahan
Merah sedikit gelap
Merah kehitaman

Putih kehitaman
Putih kahitaman

Putih kecoklatan
Putih kecoklatan

Tabel 9.

Hasil pemeriksaan organoleptik pada bagian paha daging ayam segar dan daging

ayam bangkai setelah perlakuan penggorengan


Bagian paha ayam
Ayam segar
Ayam bangkai 0 jam
Ayam bangkai 1 jam
Ayam bangkai 2 jam
Ayam bangkai 3 jam
Ayam bangkai 4 jam

Warna kulit

Warna daging

Warna daging

Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Coklat gelap
Coklat gelap
Coklat gelap

bagian luar
Kuning kecoklatan
Coklat kehitaman
Coklat kehitaman
Coklat kehitaman
Coklat kehitaman
Coklat kehitaman

bagian dalam
Putih
Putih
Putih
Putih
Putih
Putih kecoklatan

B. Pembahasan
1. Pemeriksaan Organoleptik dan Uji Awal Pembusukan
Pemeriksaan organoleptik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna daging ayam segar, daging ayam bangkai 0
jam, dan daging ayam bangkai 1 jam adalah sama (sulit dibedakan) yaitu putih kekuningan;
sedangkan daging ayam bangkai 2 jam berwarna putih pucat agak kemerahan. Daging ayam
bangkai 3 jam berwarna putih kemerahan dan daging ayam bangkai 4 jam berwarna merah
agelap. Hasil penelitian Asmara et al . (2006) menunjukkan bahwa daging ayam yang tidak
disembelih mempunyai warna kemerahan.
Warna daging ayam segar adalah putih kekuning-kuningan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Cross (1988), bahwa warna daging ayam disebabkan provitamin A yang terdapat
pada lemak daging dan pigmen oksimioglobin. Lawrie (2003) menyebutkan bahwa pigmen
oksimioglobin adalah pigmen penting pada daging segar, pigmen ini hanya terdapat di
permukaan saja dan menggambarkan warna daging yang diinginkan konsumen. Warna pada
daging ayam akibat pengeluaran darah yang tidak sempurna disebabkan oleh pigmen
haemoglobin (Lawrie, 2003).
Daging ayam bangkai pada penelitian ini berasal dari ayam sehat tetapi dimatikan dulu
dengan menggunakan kloroform, sehingga pada saat pemotongan pengeluaran darah menjadi
tidak sempurna. Pigmen haemoglobin yang masih terdapat di dalam daging ayam inilah yang
menyebabkan perubahan warna daging. Konsentrasi pigmen haemoglobin pada daging ayam

bangkai 0 jam dan 1 jam sedikit karena pengeluaran darah pada ayam hampir tuntas; sedangkan
konsentrasi pigmen haemoglobin pada daging ayam bangkai 2, 3 dan 4 jam masih banyak akibat
pengeluaran darah yang tidak sempurna, sehingga berakibat warna daging ayam menjadi
kemerahan.
Konsistensi pada daging ayam segar dan daging ayam bangkai 0, 1, dan 2 jam adalah
kenyal. Hal ini disebabkan karena setelah proses pemotongan terjadi proses rigor mortis
sehingga otot menjadi kaku. Konsistensi daging ayam bangkai 3 dan 4 jam sudah tidak kenyal
lagi. Hal ini disebabkan ayam bangkai telah mengalami proses rigor mortis pada saat mati dan
telah mencapai tahap dekomposisi. Pada saat dekomposisi maka jaringan-jaringan bagian dalam
seperti usus, hati, dan paru akan cepat mengalami penguraian. Secara organoleptik kerusakan
daging ayam ditandai oleh adanya bau yang menyimpang yang diikuti terbentuknya lendir yang
lengket pada permukaan daging. Lendir pada permukaan daging terbentuk akibat pertumbuhan
massa bakteri dan lepasnya struktur protein daging.

Gambar 3. Pengamatan organoleptik pada jam ke-0 pada daging ayam segar (kontrol)
dan ayam bangkai 0 jam, 1 jam, 2 jam, 3 jam dan 4 jam

Uji awal pembusukan


Hasil pemeriksaan laboratorius untuk uji awal pembusukan pada daging ayam dengan
metode Postma menunjukkan hasil yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan dengan uji
organoleptik yang meliputi uji bau, kekenyalan dan ada tidaknya lendir yang terbentuk. Prinsip
dasar uji Postma adalah dengan mendeteksi pelepasan NH3 akibat denaturasi protein daging
dengan menggunakan indikator kertas lakmus.

Hasil uji awal pembusukan (dengan uji Postma) pada daging ayam segar dan daging
ayam bangkai 0 jam adalah negatif selama 6 jam. Hal ini disebabkan bakteri yang terdapat
dalam daging belum mampu melakukan proses fermentasi sehingga belum terbentuk amonia.
Tidak adanya amonia pada daging inilah yang menyebabkan kertas lakmus tidak berubah warna
sehingga hasilnya dikatakan negatif.
Hasil uji awal pembusukan (dengan uji Postma) pada daging ayam bangkai 1 jam
adalah positif pada pemeriksaan jam keempat dan daging ayam bangkai 2 jam adalah positif
pada pemeriksaan jam kedua. Hal ini disebabkan karena sejumlah bakteri yang terdapat dalam
daging mampu melakukan proses fermentasi dan menghasilkan amonia.

Jay (1986)

menyebutkan bahwa tanda- tanda kebusukan adalah permukaan kulit yang basah dan berlendir
dengan jumlah bakteri kurang lebih 6 x 107. Hasil uji Postma dikatakan positif apabila bahan
yang diuji menghasilkan NH3, indol, metilamin, dan H2S yang terjadi kaibat dekomposisi dari
protein menghasilkan merkaptan, amina dan asam- asam lemak yang menimbulkan bau busuk.

Pola pertumbuhan bakteri


Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang terkecil. Bakteri adalah kelompok
mikroorganisme yang sangat penting karena penngaruhnya yang membahayakan manusia.
Bakteri dalam bahan pangan dapat memepercepat proses pembusukan yang tidak diinginkan atau
menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan (Buckle,et.al).
Gambar 4 menunjukkan bahwa jumlah bakteri awal pada daging ayam bangkai 0 jam
terlihat tidak berbeda nyata dengan jumlah bakteri awal pada daging ayam segar (kontrol). Hal
ini disebabkan pada daging ayam bangkai 0 jam tidak terdapat selang waktu untuk pertumbuhan
bakteri yang berasal dari flora normal dalam usus maupun bakteri yang ada di kulit ayam karena
langsung dilakukan pencelupan pada air panas untuk proses pencabutan bulu. Jumlah bakteri
awal pada daging ayam bangkai 1, 2, 3, dan 4 jam terlihat lebih banyak dan mempunyai fase
pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan jumlah bakteri pada daging ayam
segar. Keadaan ini disebabkan adanya selang waktu untuk terjadinya pertumbuhan bakteri yang
berasal dari dalam saluran cerna ayam maupun bakteri yang sudah ada pada kulit ayam.

Gambar 4. Pola pertumbuhan bakteri pada daging ayam segar (kontrol) dan daging ayam bangkai
setelah penyimpanan selama 0 sampai 8 jam pada suhu kamar

Kerusakan pada daging ayam terutama terjadi pada permukaan dari karkas, hal ini
terjadi disebabkan bagian dalam jaringan daging umumnya steril atau hanya mengandung sedikit
mikrobia. Mikrobia pembusuk terbatas pada permukaan maupun kulit dari karkas, mikrob ini
berasal dari air yang digunakan, selama prosesing dan penanganan. Kulit ayam memberikan
suport pertumbuhan terhadap mikrob pembusuk yang lebih baik dibandingkan dengan daging
ayam. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan daya simpan antara daging ayam
segar dan daging ayam bangkai.
Menurut Buckle, et.al (1987) pertumbuhan atau perkembangan bakteri pada bahan
pangan sangat dipengaruhi oleh kadar gizi bahan yaitu protein, kadar air, mineraldan karbohidrat.
Pada daging ayam mempunyai kadar protein yang tinggi yaitu sekitar 23% dengan kadar air
sekitar 68- 76% sehingga menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Selain itu,
pertumbuhan bakteri pembusuk juga dipengaruhi oleh PH yang optimum (sekitar PH 7), karena
PH optimum turut mendukung bakteri untuk berkembangbiak.
Daging ayam bangkai yang berasal dari ayam mati dan langsung dilakukan pemrosesan
(daging ayam bangkai 0 jam) mempunyai kemampuan daya simpan yang relatif sama dengan
daging ayam segar; sedangkan daging ayam bangkai yang tidak langsung dilakukan pemrosesan
(daging ayam bangkai 1 jam, 2 jam, 3 jam dan 4 jam) mempunyai daya simpan yang sangat
pendek dalam lingkungan suhu kamar. Hal ini disebabkan bangkai ayam yang tidak langsung
dilakukan pemrosesan untuk pencabutan bulu dan pengeluaran jerohan akan terjadi proses
pembusukan akibat pertumbuhan flora normal dari dalam saluran pencernaan (Gracey and

Collins, 1992), serta kondisi bangkai sendiri yang belum dilakukan pembersihan sehingga
jumlah awal bakteri pembusuk lebih banyak jika dibandingkan dengan karkas yang sudah
mengalami proses pencabutan bulu dan proses pembersihan lainnya.
Menurut Gamman dan Sherrington (1994) selain dipengaruhi olh waktu dan nutrien,
pertumbuhan bateri pada bahan pangan dipengaruhi juga oleh kelembaban suhu dan ketersediaan
oksigen yang optiamal akan memeberi ruang emas bagi bakteri dalam melakukan pembaelahan
biner.

Bakteri dominan pada daging ayam bangkai


Bakteri yang tumbuh dominan pada daging ayam bangkai adalah Escherichia coli dan

Staphylococcus aureus. Kedua bakteri ini didapatkan lebih dominan dibanding dengan bakteri
yang lain, hal ini disebabkan S. aureus banyak terdapat pada kulit dan pH awal yang tinggi akan
meningkatkan percepatan pertumbuhan Staphylococcus aureus ini (Genigeorgis, 1987, Baron et
al , 1994). Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk bola yang umumnya tersusun
berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini tidak bergerak, fakultatif anaerob dan dapat
tumbuh pada produk produk yang mengandung NaCl sampai 16% dalam saluran tenggorokan,
yaitu hidung dan tenggorokan. Dari sini organisme dengan mudah dipindah kuliti terutama
tangan, dan ke rambut (Bucle etal).
Staphyococcus aureus disebarkan oleh para pengelola pangan , selama pemasakan dan
penyerapannya. Penanganan pangan dengan tangan yang tidak menggunakan peralatan memadai,
barangkali merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika orang yang menangani
pangan mengalami infeksi/luka pada tangannya. Batuk dan bersin dekat pangan dapat
menyebabkan kontaminasi , dan rambut yang jauh pada makanan / menggantung (terurai) dekat
dengan makanan juga dapat menimbulkan bahaya (Gamman dan Sherrington, 1994)
Buckle et.al menyebutkan bahwa gejala-gejala dari keracunan bahan pangan yang
tercemar oleh Staphylococcus aureus adalah yang bersifat intoksisasi. Pertumbuhan organisme
ini dalam bahan pangan menghasilkan racun enterotoksin, Staphylococcus aureus tidak
membentuk spora, namun toksinnya tahan terhadap pemanasan . Jadi meskipun bakterinya mati

(pada pemanasan 66 C selama 10 menit) toksinnya masih bertahan pada 100 0 C selama 30 menit
mendadak seperti kejang perut, muntah, bahkan diare. Untuk mencegah kontaminasi S. Aureus
dilakukan tindakan sebagai berikut:
1. Standar hygine haus dipelihara
2. Gunakan penjepit saat mengambil daging yang telah dimasak
3. Bahan pangan yanng mudah dikontaminasi harus disimpan dalam pendingin.

Gambar bakteri Staphylococcus aureus


Escherichia coli merupakan bakteri yang bersifat flora normal dalam saluran
pencernaan, tetapi juga merupakan bakteri yang patogen untuk strain-strain tertentu. Karena
bakteri ini banyak terdapat pada saluran pencernaan, maka sangat dimungkinkan untuk
mencemari air yang digunakan untuk prosesing ayam dengan penggunaan berulang kali (Baron
et al , 1994). E.Coli adalah bakteri gram negatif , berbentuk batang dan bersifat fakultatif
anaerob, serotipe tertentu bakteri ini dapat menimbulkan diare pada bayi dan orang dewasa.
Organisme ini berada di dapur dan tempat tempat persiapan bahan pangan melalui bahan baku
dan selanjutnya masuk makanan yang telah dimasak melalui tangan, permukaan alat-alat dan
tempat masakan. Masa inkubasi adalah 1-3 hari dan gejala-gejalanya menyerupai gejala
keracunan bahan pangan yang tercemar oleh Salmonella atau Disentri.

Gambar bakteri Escherichia coli

2. Pemeriksaan Organoleptik setelah Pengolahan (Pembekuan, Perebusan, Penggorengan)


Tabel 7, 8, dan 9 menunjukkan bahwa setelah perlakuan pembekuan tidak terlihat
perbedaan yang nyata antara warna kulit. dan warna daging bagian paha karkas ayam segar
dengan ayam bangkai 0 jam, ayam bangkai 1 jam dan ayam bangkai 2 jam; tetapi berbeda
nyata dengan daging ayam bangkai 3 jam dan 4 jam.

Setelah perlakuan perebusan dan

penggorengan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara warna kulit, warna daging
bagian luar dan bagian dalam antara daging ayam segar dengan daging ayam bangkai.

Gambar 5. Pemeriksaan organoleptik pada daging ayam segar (kontrol) dan daging ayam
bangkai setelah perlakuan pembekuan, perebusan dan penggorengan

Menurut Gamman and Sherrington (1992), selama proses pemasakan (perebusan dan
penggorengan) mioglobin akan berubah menjadi senyawa berwarna coklat. Hal inilah yang
menyebabkan daging segar akan berwarna coklat dan daging ayam bangkai akan berwarna
cokelat tua setelah dilakukan proses pemasakan tetapi kedua perbedaan warna ini tidak selalu
konstan dan sulit untuk dibedakan secara organoleptik.

MASALAH PEREDARAN AYAM TIREN (BANGKAI) YANG MERESAHKAN


MASYARAKAT
Ayam tiren adalah ayam mati kemarin yang dipotong dan dijual dalam bentuk karkas
/daging. Ayam tiren banyak beredar dipasaran apalagi menjelang perayaan tahun baru dan harihari besar yang lain seperti idul fitri dan idul adha. Oleh sebab itu dibutuhkan pengetahuan
khusus untuk bisa membedakan daging ayam tiren dan daging ayam segar.

Untuk mengetahui karkas daging ayam yang dibeli sehat dan tidka sehat dan tidak ada
penyimpangan atau kelainan adalah dengan cara mengetahui ciri-ciri karkas daging ayam
seperti :
1.
2.
3.
4.

Kulit berwarna putih bersih dan mengkilat dan tidak dijumpai memar
Bau spesifik daging ayam
Pembuluh darah diseluruh tubuh tidak terlihat
Serabut otot berwarna agak pucat bekas tempat pemotongan dileher regangannya besar dan

5.
6.
7.
8.

tidak merata
Konfirmasi sempurna dan tidak dijumpai pucat
Dijual di tempat-tempat yang memakai pendingin dan penutup
Karkas masih utuh dan bersih dari kotoran
Tidak dijumpai bulu jarum pada karkas atau daging ayam

Daging ayam bangkai atau daging ayam mati dipotong selain tidak halal juga berbahaya bagi
konsumen, karena dikhawatirkan mengandung penyakit dapat menular kepada manusia. Ciriciri karkas daging ayam bangkai adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kulit bercak-bercak merah, berdarah pada bagian kepala dan leher


Bagian dalam karkas berwarna merah
Bau anyir
Otot dada dan paha agak lembek
Serabut otot berwarna agak kemerahan
Pembuluh darah dileher dan dibawah sayap dengan darah
Berkas tempat pemotongan dileher regangannya kecil dan rata
Semakin lama bercak warna merah berubah menjadi kebiruan

KESIMPULAN

Perubahan organoleptik selama penyimpanan pada suhu kamar pada daging ayam segar
tidak berbeda nyata dengan daging ayam bangkai 0 dan 1 jam, tetapi berbeda nyata dengan
daging ayam bangkai 2, 3, dan 4 jam. Uji awal pembusukan pada daging ayam dengan metode
Postma menunjukkan hasil yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan dengan uji organoleptik
(uji warna, bau dan konsistensi). Perlakuan pembekuan, perebusan dan penggorengan sulit
untuk membedakan perubahan organoleptik antara daging ayam bangkai dengan daging ayam
segar. Jumlah bakteri awal, pola pertumbuhan bakteri serta daya simpan pada suhu kamar untuk
daging ayam segar tidak berbeda nyata dengan daging ayam bangkai 0 jam, tetapi berbeda nyata
dengan daging ayam bangkai 2, 3 dan 4 jam. Jumlah bakteri awal pada daging ayam bangkai 1
jam hampir sama dengan daging ayam segar namun mempunyai pola pertumbuhan yang lebih
cepat sehingga lebih cepat mengalami pembusukan. Daging ayam bangkai 2, 3, dan 4 jam
mempunyai jumlah awal bakteri yang lebih tinggi dengan pola pertumbuhan yang lebih cepat
sehingga semakin cepat mengalami pembusukan. Bakteri yang tumbuh dominan pada daging
ayam bangkai adalah Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Segarkah Ayam yang Kita Makan? Jakarta http://www. Republika.co.id
Anonim. 2003. Efek Makan Ayam Bangkai Bervariasi. Jakarta. http://www. Mediaindo.co.id/
cetak/berita.asp?id
Anonymous. 2005. The Issues of Halal Carcass. www.islambase.tk
Asmara, A.S., A.B.Z. Zuki, B. Mohd. Hair, and A.I. Awang-Hazmi.

2006.

Gross and

histological evaluation of fresh chicken carcass: comparison between slaughtered and cervical
dislocated methods. Journal of Animal and Veterinary Advances 5(11): 1039-1042
Baron E.J., L.R. Peterson, and S.M. Finegold, 1994. Bailey and Scotts Diagnostic
Microbiology. 9th ed. Mosby. Baltimore
Cross H.R. 1988. Carcass Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher,
New York
FAO and WHO. 2009. Salmonella and Campylobacter in Chicken Carcass. Meeting Report.
Microbial Assessment Series. ftp://ftp.fao.org/ag/agn/jemra/M RA1911Nov09.pdf
Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington, 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta p 188-190
Genigeorgis C. 1987. The Risk of Transmision of Zoonosis and Human Disease by Carcass and
Carcass Product. Dalam F.J.M. Smulders (ed). Elimination of Pathogenic Organisms from
Carcass and Poultry. Proceeding of the International Symposium: Prevention of Contamination,

and Decontamination in the Carcass Industry Zeist, The Netherlands, 2 4 June 1986. p 111
145
Gracey J. F. and D. S. Collins. 1992. Carcass Hygiene 9th Ed. ELBS with Bailliere Tindall,
London
Jay J. M. 1986. Modern Food Microbiology. Van Nostrand Reinhold Company, New York, USA
Keener, K.M., M.P. Bashor, P.A. Curtis, B.W. Sheldon, and S. Kathariou. 2004. Comprehensive
Review of Campylobacter and Poultry Processing. Comprehensive Reviews in Food Science and
Food Safety 3: 105-116
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Edisi Kelima. Universitas Indonesia Press, Jakarta
Mangen, M.-J.J., A.H. Havelaar, and K.J. Poppe. 2005. Controlling Campylobacter In The
Chicken Carcass Chain: Estimation of Intervention Costs. The Hague, Agricultural Economics
Research Institute (LEI), Report 6.05.01 ISBN 90-5242-990-1
Pearson A.M. and T.R. Dutson. 1994. Quality Attribute and Their Measurement in Carcass,
Poultry and Fish Products. Blackie Academic & Professional, London
Prayitno M.A. 2003. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Penebar Swadaya, Jakarta
Seeman, G. 1981. The Influence of Age, Sex and Strain on Yield and Cuthing of Broiler. Quality
of Poultry Carcass. Spelderhelt Institute for Poultry Research, Beekberge

Anda mungkin juga menyukai