Anda di halaman 1dari 41

SARI PUSTAKA

Kepada Yth.

dr. Handre Putra


Senin, 28 Desember 2015

Bapak/Ibu

SKORING INFEKSI DENGUE SEBAGAI PREDIKTOR DERAJAT


KEPARAHAN INFEKSI DENGUE

Oleh:
dr. Handre Putra

Pembimbing:
dr. Rinang Mariko, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat


karuniaNya sari pustaka yang berjudul Skoring Infeksi Dengue Sebagai Prediktor
Derajat Keparahan Infeksi Dengue dapat penulis selesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rinang Mariko, Sp.A(K)
sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan banyak
masukan dalam penyusunan sari pustaka ini. Terima kasih juga kepada guru-guru,
para senior, dan rekan-rekan sejawat yang ikut membantu sampai selesainya sari
pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa sari pustaka ini masih memiliki banyak
kekurangan, dan ilmu yang diangkat pada sari pustaka ini merupakan ilmu yang
senantiasa berubah dan berkembang. Untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran untuk perbaikan. Semoga sari pustaka ini dapat memberi manfaat
dan menambah khazanah ilmu pengetahuan.

Padang, 19 Desember 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... iv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
BAB II INFEKSI VIRUS DENGUE ........................................................................... 3
2.1 Definisi ............................................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi.................................................................................................... 3
2.3 Etiologi ............................................................................................................ 4
2.4 Patogenesis ..................................................................................................... 5
2.5 Manifestasi Klinis............................................................................................. 9
2.6 Diagnosis ...................................................................................................... 13
BAB III SKORING INFEKSI DENGUE .................................................................. 17
3.1 Indikator Parameter ........................................................................................ 17
3.2 Sistem Skoring ............................................................................................... 23
BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 29

ii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Struktur Virus Dengue ............................................................................ 5
Gambar 2.2. Patogenesis Multifaktorial pada Infeksi Dengue ....................................... 6
Gambar 2.3. Respon host awal setelah digigit nyamuk Aedes aegypti..................... 7
Gambar 2.4. Secondary heterologous dengue infection .......................................... 8
Gambar 2.5. Teori Enhancing antibody ................................................................... 9
Gambar 2.6. Spektrum klinis infeksi virus dengue ................................................ 10
Gambar 2.7. Perjalanan klinis infeksi dengue ....................................................... 12
Gambar 2.8. Tes diagnostik infeksi virus dengue .................................................. 14
Gambar 2.9. Respon Imunologi Pada Infeksi Dengue ........................................... 15
Gambar 3.1. Algoritma Tanner dkk menentukan derajat keparahan infeksi dengue ...... 24
Gambar 3.2. Algoritma Potts dkk menentukan derajat keparahan infeksi dengue ......... 24

iii

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011 ................................. 13
Tabel 3.1. Prediktor signifikan penentu derajat keparahan infeksi dengue ........... 26
Tabel 3.2. Skoring infeksi dengue ......................................................................... 26
Tabel 3.3. Level skor keparahan infeksi dengue dan risk estimation validity ........ 27

iv

DAFTAR SINGKATAN

ADCC
ADE
APC
APTT
CART
CI
DEN
DD
DBD
DNA
DIC
DSS
ICD-10
Ig G
Ig M
IL
NS
PAF
PCR
PEI
PELOD
PRISM III
prM
PT
PPV
OR
RNA
RT-PCR
SGOT
SGPT
TNF
WHO

Antibody dependent cell-medited cytotoxity


Antibody dependent enhancement
Antigen precenting cells
Partial thromplastin time
Classification and regression tree
Confidence interval
Dengue
Demam dengue
Demam berdarah dengue
Deoxyribonucleic acid
Disseminate intravascular coagulation
Dengue syok sindrom
International statistical classification of diseases 10
Imunoglobulin G
Imunoglobulin M
Interleukin
Nonstructural
Platelet activating factor
Polymerase chain reaction
Pleural effusion index
Pediatric logistic organ dysfunction
Pediatric risk of mortality III
Protein membran
Prothrombin time
Positive predictive value
Odds ratio
Ribonucleic acid
Reverse transcription polymerase chain reaction
Serum glutamic-oxaloacetic transaminase
Serum glutamine-pyruvic transaminase
Tumor necrosis factor
World Health Organization

BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus ini termasuk dalam genus
Flavivirus dan famili Flaviviridae, terdiri atas empat serotipe yaitu DEN-1, DEN2, DEN-3 dan DEN-4.1 Infeksi oleh salah satu dari empat serotipe akan
menyebabkan spektrum klinis penyakit dari demam dengue (DD), demam
berdarah dengue (DBD) serta dengue syok sindrom (DSS).2 Patofisiologi yang
membedakan antara DBD/DSS dengan DD adalah adanya gangguan hemostasis
dan

peningkatan

permeabilitas

vaskuler

yang

menyebabkan

terjadinya

perembesan plasma.3
Dalam 50 tahun terakhir, insiden infeksi virus dengue meningkat 30 kali
lipat. Diperkirakan 50 juta orang terinfeksi setiap tahun dan 2.5 milyar orang
tinggal di daerah endemis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita infeksi dengue setiap tahunnya. Sementara
itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization
(WHO) mencatat Indonesia sebagai negara dengan kasus tertinggi di Asia
Tenggara.4 Pada tahun 2013 ditemukan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang
dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita, sedangkan pada tahun 2014
sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita infeksi dengue di 34
provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal
dunia.5
Gejala awal infeksi virus dengue sering tidak khas sehingga sering terjadi
keterlambatan diagnosis dan pasien masuk dalam keadaan berat. 6 Overdiagnosis
juga sering terjadi sehingga pasien dengan infeksi dengue ringan lebih sering
dirawat untuk observasi. Idealnya hanya kasus berat yang dirawat untuk
mendapatkan monitoring.7 Oleh karena itu, diperlukan suatu alat prognostik
sederhana dan cepat untuk menentukan derajat keparahan infeksi dengue seperti
skoring infeksi dengue. Skoring infeksi dengue akan sangat bermanfaat pada
tahap awal karena sangat sulit membedakan infeksi dengue ringan dengan kasus
berat. Penggunaan sistem skoring merupakan hal yang baru dan belum banyak

digunakan sebagai standar dalam diagnosis infeksi dengue. Skoring infeksi


dengue diharapkan dapat digunakan sebagai deteksi dini sebelum menegakkan
diagnosis terutama di pusat layanan kesehatan primer dengan fasilitas terbatas,
sehingga menurunkan angka morbiditas dan mortalitas infeksi dengue.
Sistem skoring yang ada saat ini seperti PELOD score (Pediatric Logistic
Organ Dysfunction), PRISM III (Pediatric Risk of Mortality III) telah digunakan
untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas pada pasien DSS dan skor DIC
(Disseminate Intravascular Coagulation) telah digunakan untuk diagnosis DIC
pada DBB/DSS.8 Peneliti lain seperti Tanner dkk tahun 2008 dan Potts dkk tahun
2010 mengembangkan suatu algoritma untuk menegakkan diagnosis dan
mengkalsifikasikan derajat infeksi dengue dengan menggunakan analisis CART
(classification and regression tree). Diikuti oleh Pongpan dkk tahun 2013 yang
mengembangkan suatu sistem skoring untuk memprediksi derajat keparahan
infeksi dengue. Skoring Pongpan dkk menggunakan parameter klinis dan
pemeriksaan laboratorium sederhana yang rutin dilakukan sebagai variabel skor,
sehingga dapat diaplikasikan dalam praktek klinis sehari-hari.7,8
Sari pustaka ini membahas tentang skoring infeksi dengue sebagai
prediktor derajat keparahan infeksi dengue. Tujuannya adalah menambah
pengetahuan dan pemahaman tentang skoring infeksi dengue sebagai prediktor
derajat keparahan infeksi dengue.

BAB II
INFEKSI VIRUS DENGUE

2.1 Definisi
Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus ini termasuk dalam genus
Flavivirus dan famili Flaviviridae, terdiri atas empat serotipe yaitu DEN-1, DEN2, DEN-3 dan DEN-4.1

2.2 Epidemiologi
Istilah Demam Berdarah di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina
pada tahun 1953. Setelah tahun 1958, penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam
bentuk epidemik di beberapa negara lain di Asia Tenggara. Di Indonesia pertama
kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru
diperoleh pada tahun 1970. Pada saat ini infeksi dengue telah menyebar luas ke
seluruh provinsi di Indonesia.9
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropis dan
subtropis bahkan cenderung terus meningkat dan menimbulkan kematian pada
anak.1 Penelitian Karyanti dkk, 2014 menjelaskan kejadian DBD di Indonesia
meningkat dari 0.05/100.000 pada tahun 1968 menjadi 34-40/100.000 pada tahun
2013. Kejadian epidemik tertinggi terjadi pada tahun 2010, ditemukan 86/100.000
kasus. Kejadian outbreak DBD terjadi pada tahun 1973, 1988, 1998, 2007 dan
2010. Akan tetapi terdapat penurunan case fatality ratio dari 41% tahun 1968
menjadi 0.73% tahun 2013.10
Morbiditas dan mortalitas DBD dilaporkan di berbagai negara bervariasi
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan
vektor, tingkat penyebaran dengue, prevalensi serotipe virus dengue, dan kondisi
cuaca.12 Penelitian Karyanti dkk, 2014 mendapatkan angka kejadian DBD lebih
sering pada anak usia 5 hingga 14 tahun.13 Kepadatan vektor dihubungkan dengan
transmisi virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus sebagai vektor primer dan Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris serta
Aedes niveus sebagai vektor sekunder. Risiko penularan dan penyebaran

terpengaruh oleh iklim, frekuensi gigitan nyamuk perhari, serta kepadatan


manusia.1 Prevalensi serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan di Jakarta
dan Palembang tahun 2004 dan banyak berhubungan dengan kasus berat.12
Penelitian yang dilakukan Fahri dkk, 2012 di Semarang diperoleh penemuan
serotipe predominan pada 31 serum pasien, yaitu serotipe DEN-1 dengan 35,5%,
diikuti dengan DEN-2 dan DEN-3 12,9% dan DEN-4 9,7%.11 Penelitian Sasmono
dkk, 2015 di Makasar dari tahun 2007-2010 pada 455 pasien ditemukan serotipe
DEN-1 predominan diikuti dengan DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.12 Di Indonesia
pengaruh musim terhadap DBD tidak jelas, namun secara garis besar jumlah
kasus meningkat antara September sampai Februari dengan puncaknya bulan
Januari.12
2.3 Etiologi
Virus dengue berbentuk ikosahedral simetris yang ditutupi oleh envelope
berkapsul berdiameter 4850 nm dengan inti kepadatan elektron sekitar 30 nm
dilapisi oleh envelope lemak.13 Genom virus dengue terdiri atas 11 kb rantai RNA
positif yang mengkode 3 protein struktural, yaitu protein C (lipid), protein E, dan
protein M/prM (glikoprotein), serta 7 protein nonstruktural (NS1, NS2a, NS2b,
NS3, NS4a, NS4b, dan NS5). Terdapat dua tipe virion, yaitu: virion ekstraselular
matur yang mengandung protein M, dan virion imatur intraselular yang
mengandung protein membran (prM) yang membelah selama maturasi
membentuk protein M.14 Envelope terdiri atas protein E dan M. Protein E
merupakan glikoprotein yang bertanggung jawab untuk penempelan reseptor sel
dan membran sel serta merupakan epitop utama yang dikenali oleh antibodi
netralisasi.15

Gambar 2.1 Struktur virus dengue.13

2.4 Patogenesis
Patogenesis infeksi virus dengue merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor
agen atau penyebab, faktor lingkungan dan faktor host. Faktor agen meliputi
serotipe, jumlah, dan virulensi virus, faktor lingkungan dipengaruhi oleh
kelembapan, musim, suhu udara, curah hujan, kepadatan penduduk, mobilitas
penduduk, dan perilaku masyarakat, sedangkan faktor host terdiri dari status gizi,
umur, jenis kelamin, kerentanan genetik atau etnis, status imun, penyakit
penyerta/komorbiditas dan interaksi antara virus dengan penjamu.16, 17

Gambar 2.2 Patogenesis multifaktorial pada infeksi dengue.17

Infeksi dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, saat


nyamuk menggigit orang dengan infeksi dengue, maka virus dengue masuk ke
dalam tubuh nyamuk bersama darah yang diisapnya. Di dalam tubuh nyamuk,
virus berkembang biak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan
sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya ketika nyamuk menggigit
orang lain, air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah
yang akan dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke
orang lain. Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistem
retikuloendotelial, dengan target utama APC (Antigen Presenting Cells) berupa
monosit atau makrofag jaringan, seperti sel kupffer hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru.Viremia berlansung
selama 5-7 hari. Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktivasi sel T
helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit virus lebih banyak. Sel T
helper akan mengaktivasi sel T sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
memfagosit virus, disamping itu juga akan mengaktifkan sel B sehingga terjadi
pelepasan antibodi.17

Gambar 2.3 Respon host awal setelah digigit nyamuk Aedes aegypti.18

Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis:


netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibody Dependent Cell-mediated
Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement (ADE). Antibodi
terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda,
yaitu antibodi netralisasi (neutralizing antibodies) memiliki serotipe spesifik yang
dapat mencegah infeksi virus. Dan antibodi non-neutralizing dari serotipe yang
berbeda memiliki peran reaksi silang dan dapat meningkatkan infeksi yang
berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.17
Imunopatogenesis infeksi dengue masih merupakan masalah yang
kontroversial. Banyak teori yang menjelaskan tentang patogenesis DBD antara
lain: teori antigen antibodi, teori imunopatologi, teori antibody dependent
enhancement, teori mediator, teori apoptosis, dan secondary heterologous
infection. Namun dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis
infeksi dengue adalah teori infeksi sekunder dan ADE.16 Teori infeksi sekunder
menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu

jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap jenis virus tersebut untuk
jangka waktu yang lama (homologous antibody). Pada infeksi selanjutnya,
heterologous antibody yang telah terbentuk dari infeksi primer, membentuk
kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda. Namun tidak
dapat dinetralisasi bahkan membentuk kompleks yang infeksius.17
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan
serotipe lain) karena adanya non-neutralizing antibody maka partikel virus DEN
dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara
kompleks imun dengan reseptor Fc- pada sel melalui bagian Fc dari IgG.
Kompleks imun selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan
komplemen terutama C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini
terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan
terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada pasien dengan syok berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48
jam. Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis
dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, tatalaksana syok sangat
penting guna mencegah kematian.17

Gambar 2.4 Secondary heterologous dengue infection.17

Sedangkan teori immune enhancement menyatakan secara tidak langsung


bahwa pasien yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang ada
akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang
berikatan dengan Fc- reseptor dari membran leukosit terutama makrofag.
Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.17

Gambar 2.5 Teori Enhancing antibody.17

2.5 Manifestasi Klinis


Menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi asimtomatik
dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated fever
(sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan;
sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan
expanded dengue syndrome atau isolated organopathy. Kebocoran plasma
merupakan tanda patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta
manifestasi yang tidak lazim dikelompokkan ke dalam expanded dengue
syndrome atau isolated organopathy. Secara klinis DD dapat disertai dengan
perdarahan atau tidak, sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak.19
9

Gambar 2.6 Spektrum klinis infeksi virus dengue.19


Gambaran klinis infeksi virus dengue pada undifferentiated fever (sindrom
infeksi virus) ditemukan demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan
penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul
saat demam reda. Gejala pada saluran pernafasan dan saluran cerna juga sering
ditemukan.24 Undifferentiated fever akan sembuh sendiri (self limited), namun
apabila terjadi infeksi sekunder, manifestasi klinis anak akan lebih berat berupa
DD, DBD, atau expanded dengue syndrome.16
DD muncul setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari
(rentang 3-14 hari), timbul gejala berupa demam, mialgia, sakit punggung, dan
gejala konstitusional lainnya yang tidak spesifik seperti rasa lemah (malaise),
anoreksia, dan gangguan pengecapan. Demam pada umumnya timbul mendadak,
tinggi (39-400C), terus menerus (pola demam continuous), bifasik, biasanya
berlansung antara 2-7 hari. Demam diserta dengan myalgia, nyeri punggung, nyeri
persendian, muntah, dan kadang diikuti nyeri retroorbital saat mata digerakkan.
Gejala lain dapat ditemukan berupa gangguan saluran pencernaan (diare atau
konstipasi), nyeri perut, dan nyeri menelan.19 Pada hari ketiga atau keempat
ditemukan ruam makulopapular atau rubeliformis, ruam ini cepat menghilang

10

sehingga tidak disadari oleh orang tua. Pada masa penyembuhan akan muncul
ruam konvalesens di kaki dan tangan berupa ruam makulopapular dan petekie
diselingi oleh bercak putih (white islands in the sea of red), dapat disertai rasa
gatal. Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet
positif ( 10 petekie dalam area 2,8 x2,8 cm) atau petekie spontan.16
Pada DBD terdapat tiga fase dalam perjalanan infeksi virus dengue, yaitu
fase demam, kritis dan penyembuhan. Setiap fase memerlukan pemantauan yang
cermat, karena setiap fase mempunyai risiko yang dapat memperberat penyakit.
Pada fase demam ditemukan demam yang serupa dengan DD, namun pada akhir
fase demam terjadi penurunan demam secara cepat ditandai dengan suhu tubuh
menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam disertai dengan
berkeringat dan perubahan laju nadi dan tekanan darah, hal ini merupakan
gangguan sirkulasi ringan akibat kebocoran plasma. Pada kasus infeksi dengue
sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga
menimbulkan hipovolemia dan bisa berakhir dengan mortalitas.19
Pada fase kritis (fase syok) diawali dengan time fever of defervescence dan
terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi.
Pada fase ini dikenal istilah warning signs terjadi pada hari ke-3 hingga ke-7.
Muntah terus menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk awal
perembesan plasma dan bertambah berat saat pasien masuk dalam keadaan syok.
Pasien tampak semakin lesu tetapi pada umumnya tetap sadar. Petekie spontan,
perdarahan spontan (epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna,
hematuria, menorrhagia) atau perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan
manifestasi perdarahan penting. Hepatomegali sering ditemukan pada pasien
DBD. Penurunan jumlah trombosit progresif <100.000/mm3 serta kenaikan
hematokrit 10-20% di atas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma.
Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke ekstravaskular, seperti
efusi pleura, asites dan penebalan dinding vesica felea. Peningkatan hematokrit
(hemokonsentrasi) merupakan salah satu tanda paling awal untuk mendeteksi
kebocoran plasma yang biasanya berlansung 24-48 jam. Hemokonsentrasi
mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi. Oleh karena itu,
pemeriksaan hematokrit berkala sangatlah penting.16

11

Fase penyembuhan terjadi setelah 24-48 jam fase syok, ditandai dengan
reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular kembali ke intravaskular yang
berlansung bertahap. Fase ini ditandai dengan dengan keadaan umum, nafsu
makan, diuresis yang membaik, gejala gastrointestinal yang mereda, dan status
hemodinamik yang stabil. Pada fase ini akan ditemukan ruam konvalesens dan
hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan
yang direabsorbsi.16

Gambar 2.7 Perjalanan klinis infeksi dengue.4

DSS merupakan syok hipovolemi yang terjadi pada DBD diakibatkan oleh
peningkatan permeabilitas kapiler diserta perembesan plasma. Syok dengue terjadi
pada fase kritis, yatu pada hari ke-4 dan 5 dan sering didahului oleh warning
signs. Secara klinis ditemukan ekstremitas dingin dan lembab, sianosis, kulit
tubuh bercak-bercak (mottled skin), pengisian waktu kapiler >2 detik. Akibat
vasokontriksi perifer terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan
diastolik meningkat sedangkan tekanan sistolik tetap. Perbedaan tekanan antara
sistolik dan diastolik menyempit menjadi <20 mmHg (tekanan nadi). Pada
keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis tubuh mempertahankan organ vital
gagal, tekanan sistolik dan diastolik menurun, disebut dengan syok hipotensif.
12

Apabila keadaan ini terlambat terdiagnosis dan mendapat terapi cairan adekuat,
akan terjadi profound shock ditandai dengan nadi tidak teraba, tekanan darah tidak
terukur, sianosis yang semakin jelas.16

2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan
laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam penapisan kasus, tatalaksana
kasus, memperkirakan prognosis kasus, survelaince. Kriteria diagnostik
laboratoris yaitu kriteria diagnosis dengan konfirmasi laboratorium yang penting
dalam pelaporan, surveilance dan langkah-langkah tindakan preventif dan
promotif.16
Tabel 2.1 Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011.19
DBD
DD

Derajat

Tanda dan gejala


Demam disertai minimal dengan 2 gejala
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Nyeri otot
Nyeri sendi/ tulang
Ruam kulit makulopapular
Manifestasi perdarahan
Tidak ada tanda perembesan plasma

Laboratorium
Leukopenia (jumlah
leukosit 4000
sel/mm3)
Trombositopenia
(jumlah trombosit
<100.000 sel/mm3)
Peningkatan
hematokrit (5%-10%)
Tidak ada bukti
perembesan plasma
DBD
I
Demam dan manifestasi perdarahan (uji
Trombositopenia
bendung positif) dan tanda perembesan
<100.000 sel/mm3;
plasma
peningkatan hematokrit
20%
DBD
II
Seperti derajat I ditambah perdarahan
Trombositopenia
spontan
<100.000 sel/mm3;
peningkatan hematokrit
20%
DBD*
III
Seperti derajat I atau II ditambah
Trombositopenia
kegagalan sirkulasi (nadi lemah, tekanan <100.000 sel/mm3;
nadi 20 mmHg, hipotensi, gelisah,
peningkatan hematokrit
diuresis menurun
20%
DBD*
IV
Syok hebat dengan tekanan darah dan
Trombositopenia
nadi yang tidak terdeteksi
<100.000 sel/mm3;
peningkatan hematokrit
20%
Diagnosis infeksi dengue: Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi
dengan deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau dan uji serologi anti dengue positif (IgM anti
dengue atau IgM/IgG anti dengue positif)

13

Terdapat beberapa tes diagnostik yang dapat dilakukan untuk mendeteksi


adanya infeksi virus Dengue (DENV) termasuk deteksi virus hidup, RNA virus,
antigen virus di perifer, dan antibodi host.20

Gambar 2.8 Tes diagnostik infeksi virus dengue.21

1. Isolasi virus
Penelitian Darwish dkk, 2015 menyebutkan isolasi virus dapat digunakan
untuk menganalisis virus, mendapatkan informasi epidemiologik molekular
dari analisis virus. Teknik ini memiliki spesifitas mencapai 100%, akan tetapi
sensitivitas masih lemah, yaitu 53%, selain itu proses pengerjaan yang rumit
dan harga pemeriksaan yang mahal.22
2. Polymerase chain reaction (PCR)
Polymerase chain reaction adalah proses amplifikasi dari DNA untuk
memproduksi cDNA dari RNA target dengan menggunakan teknik reaksi
reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR).20
Secara umum RT-PCR memiliki 2 kelemahan, yaitu adanya false-negatif
akibat variasi dari serotipe DENV dan tidak adanya protokol standar dalam
melakukan RT-PCR. Pemeriksaan ini hanya bisa mendeteksi pada fase infeksi
dan tidak lagi efisien jika dilakukan setelah hari ke 5-7, selain itu pemeriksaan
RT-PCR tidak tepat jika dilakukan di daerah endemis karena memerlukan
biaya yang besar, serta tenaga analis yang terlatih.20

14

3. Deteksi antigen NS1 (nonstructural glycoprotein 1)


NS1 merupakan glikoprotein dengan berat 43-48 kDa diekspresikan oleh sel
yang terinfeksi sebagai monomer terlarut di dalam sistem retikuloendotelial.
NS1 disekresikan oleh sel terinfeksi ke dalam aliran darah dalam 9 hari
demam. Sensitivitas NS1 yang tinggi pada fase awal demam karena protein
NS1 bersirkulasi dalam konsentrasi tinggi dalam darah selama awal fase akut,
baik pada infeksi primer maupun sekunder.23 Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Dussart dkk, 200624, dan Datta dkk, 201025.
Penelitian lain dilakukan oleh Kumarasamy dkk, 2007 diperoleh hasil bahwa
sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan ini cukup tinggi, yaitu 93,4% dan
spesifisitas 100%.26 Begitu juga dengan penelitian oleh Megariani dkk, 2014 di
Padang mendapatkan sensitivitas dan spesifitas cukup tinggi, yaitu 92,3% dan
95,8%.6
4. IgM dan IgG antidengue.
Infeksi virus dengue pada tubuh manusia menyebabkan munculnya respon
imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, antihemaglutinin, dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya
adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan
pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster
effect).27

Gambar 2.9 Respon imunologi pada infeksi dengue.26

15

IgM terdeteksi pada hari ke 5 pada 80% pasien, dan 90% pasien pada
hari ke 10. Titer tertinggi di observasi pada hari ke 15 dan menurun hingga tak
terdeteksi dalam 2 hingga 3 bulan sesudah infeksi. Sedangkan antibodi IgG
pada infeksi primer meningkat sekitar demam hari ke-14 dan pada infeksi
sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosis
dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM
setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih
dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.18

16

BAB III
SKORING INFEKSI DENGUE

3.1 Indikator Parameter


Berbagai parameter klinis dan laboratorium telah diteliti berpotensi dalam
memprediksi tingkat kegawatan infeksi dengue. Diantaranya adalah jenis kelamin,
usia muda, hepatomegali, nyeri perut, letargi, perabaan dingin pada tangan dan
kaki, perdarahan abnormal, obesitas atau overweight, malnutrisi, asites, efusi
pleura, leukopenia, trombositopenia, hemokosentrasi, pemanjangan PT dan PTT,
peningkatan enzim SGOT dan SGPT. Tetapi tidak semua parameter diatas
digunakan dalam praktek klinis sehari-hari. Dibutuhkan parameter klinis dan
laboratorium yang digunakan secara rutin dan mudah diperiksa yang dapat
digunakan sebagai indikator dalam menentukan tingkat kegawatan infeksi
dengue.7,28 Parameter klinis dan laboratorium yang berpotensi sebagai faktor
prognostik infeksi dengue adalah :
1. Demografi: jenis kelamin dan usia.
Penelitian Phubhakdi dkk, 2008 di Thailand prevalensi dan angka kejadian
DBD lebih tinggi terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.28 Penelitian
Anders dkk, 2011 juga menemukan perempuan lebih rentan terkena DSS
dibanding laki-laki.29 Hal ini mungkin disebabkan oleh respon imun
perempuan lebih sensitif terhadap sekresi sitokin sehingga lebih rentan untuk
terjadi kebocoran plasma dibandingkan pada laki-laki.26 Sebaliknya penelitian
Anker dkk, 2011 pada enam negara di Asia yang berbeda secara kultural dan
ekonomi, yaitu Laos, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Malaysia dan Kamboja
selama kurun waktu 6-10 tahun diperoleh hasil laki-laki lebih banyak
dilaporkan menderita DBD dibandingkan perempuan. Hasil ini berbanding
terbalik dengan temuan di negara Amerika Selatan yang tidak menemukan
pengaruh jenis kelamin terhadap tingkat keparahan infeksi dengue. 30 Sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Pongpan dkk, 2013 pada 777 pasien tidak
menemukan perbedaan jenis kelamin sebagai faktor risiko infeksi dengue.28
Penelitian yang dilakukan Hammond, dkk 2005 terdapat korelasi umur
dengan keparahan infeksi dengue terhadap 3 kelompok umur, yaitu bayi, anak

17

dan dewasa selama 3 tahun di Nicaragua. Hasil penelitian Hammond dkk,


2005 berupa distribusi kasus lebih sering terjadi pada kelompok umur dewasa
akan tetapi tingkat kerentanan meningkat pada kelompok umur bayi 4-9 bulan
dan anak usia 5-9 tahun.32 Bayi kelompok umur 4-9 bulan menunjukkan
manifestasi klinis yang berat karena antibodi dari ibu memicu timbulnya
enhancing antibody.31 Fragilitas vaskuler terjadi pada kelompok umur 5-9
tahun sehingga lebih rentan mengalami kebocoran plasma.32 Menurut
penelitian Junia dkk, 200733, Pham dkk, 200734 dan Gupta dkk, 201135 anak
usia > 6 tahun berisiko menderita DBD dan DSS. Pada dua dekade terakhir
terjadi perubahan tren kelompok umur pada usia yang lebih muda. Penelitian
Junia dkk, usia 5-9 tahun berisiko 1,6 kali lebih tinggi menjadi DSS.33 Pham
dkk, 2007 mendapatkan usia 7-12 tahun lebih sering menderita infeksi
sekunder dengue dan DSS.33 Usia rata-rata anak dengan DSS dan DHF pada
penelitian Gupta dkk, 2011 adalah 12,2 tahun dan 11,4 tahun.34
2. Tampilan klinis: hepatomegali, nyeri perut, efusi pleura, dan perdarahan.
Keterlibatan hepar ditandai dengan manifestasi hepatomegali (secara klinis)
dan atau peningkatan enzim hepar (biokimia). Hepatomegali adalah bagian
dari warning sign infeksi dengue berat yang ditetapkan oleh WHO. Penelitian
yang dilakukan oleh Petdachai tahun 2005 hepatomegali ditemukan 100%
pada semua pasien DSS.H35 Falconar dkk, 2011 meneliti 40 pasien DSS,
hepatomegali dimulai pada fase demam akut < 72 jam dan berlanjut sampai
fase kritis.36 Sesuai dengan Penelitian Roy dkk, 2013 pada 120 kasus infeksi
dengue, 80,8 % ditemukan hepatomegali dengan 93,1 % terjadi pada pasien
DSS dan 84,4 % pada pasien DBD.37 Hal ini sesuai dengan penelitian Ledika
dkk, 2015 di Bandung bahwa hepatomegali berhubungan dengan infeksi
dengue berat (OR 21.72 95% CI 7.73-61.01). Hepatomegali terjadi sebagai
akibat kerja berlebihan dari hepar dalam replikasi virus, detruksi trombosit
dan menghasilkan albumin. Batas pembesaran hepar 3 cm anak usia < 5
tahun karena keadaan normal anak usia < 5 tahun hepar dapat teraba sampai 2
cm.38 Studi Kittigul, dkk 2007 menemukan pembesaran hepar adalah respon
normal dalam infeksi dengue akan tetapi lebih sering dihubungkan dengan
prevalensi DBD dan DSS dibandingkan DD.39

18

Di antara warning sign, nyeri perut ditemukan sebagai akibat


keterlibatan disfungsi hepar, penebalan dinding vesica felea, perdarahan
gastrointestinal dan peregangan kapsul hepar.40 Penelitian Junia dkk, 2007
menemukan nyeri perut sebagai salah satu indikator prognostik infeksi
dengue. Pasien dengan nyeri perut 2 kali lebih tinggi berpotensi untuk
menjadi DSS dibandingkan dengan tanpa nyeri perut.33 Sebaliknya Pongpan
dkk, 2013 tidak menemukan nyeri perut sebagai indikator prognostik infeksi
dengue. Nyeri perut lebih banyak didapatkan pada pasien DBD (181 pasien)
diikuti dengan DD (166) dan DSS (60 pasien).28 Sesuai dengan penelitian
Khanna dkk, 2005 bahwa etiologi dari nyeri perut pasien infeksi dengue tidak
hanya disebabkan oleh keterlibatan hepar saja, tapi juga oleh keterlibatan
organ lain, seperti kolesistitis akut, pankreatitis, appendisitis, dan ulkus
peptik. Kolesistitis akut pada pasein DBD disebabkan oleh mikroangiopati
lokal pada dinding vesica felea dan mekanisme terjadinya belum jelas.
Biasanya melibatkan peranan dari infeksi bakteri sekunder sehingga pasien
juga membutuhkan antibiotik dalam tatalaksana. Begitu juga dengan
pankreatitis, appendisitis, dan ulkus peptik yang belum dimengerti
patogenesisnya pada pasien DBD. Penemuan kasus ini lebih sering terjadi
pada DBD dibandingkan DSS dan DD.41
Tanda klinis kebocoran plasma yang paling sering terjadi adalah efusi
pleura (62% kasus DBD) yang terjadi satu hari setelah time fever of
defervescence, sedangkan penebalan dinding kantong empedu dan ascites
frekuensinya lebih sedikit (43% dan 52% kasus DBD) serta lebih cepat
menghilang dibandingkan dengan efusi pleura.42 Penelitian yang dilakukan
oleh Hawarini dkk, 2012 di RS Kariadi, Semarang menunjukkan hubungan
antara kebocoran plasma dengan pleural effusion index (PEI) pada pasien
DSS. PEI diukur dari chest x-ray lateral decubitus dengan PEI >15% adalah
faktor risiko untuk kematian pada anak dengan DSS. Hasil penelitian
Hawarini dkk, 2012 adalah efusi pleura ditemukan 22 dari 46 pasien DSS
dengan PEI rata-rata 18,29%.43 Efusi pleura yang signifikan sering
dihubungkan dengan syok dan kematian pada pasien DSS. Untuk
menegakkan diagnosis efusi pleura diperlukan tambahan pemeriksaan

19

radiologis selain chest x-ray, yaitu ultrasonografi akan tetapi kedua


pemeriksaan ini tidak praktis digunakan pada daerah dengan fasilitas
terbatas.44
Perdarahan ringan yang paling sering muncul pada pasien DBD
berupa petekie dan perdarahan mukosa, sedangkan perdarahan berat berupa
melena, hematemesis, hematuria, dan atau menorrhagia.4 Gupta dkk, 2007
mendapatkan melena sebagai manifestasi perdarahan internal yang paling
sering dan berhubungan DBD/DSS. Perdarahan berat yang berlansung
spontan secara signifikan sangat berhubungan dengan DSS.43 Espinosa dkk,
2005 menemukan perdarahan berat pada DSS disebabkan oleh disseminated
intravascular coagulation (DIC), trombositopenia, dan vaskulopati.45
Sedangkan ruam kemerahan yang muncul pada fase akut demam bersamaan
dengan gejala lain tidak berhubungan dengan faktor prognostik infeksi
dengue.42
3. Profil hemodinamik: tekanan nadi, tekanan sistolik dan tekanan diastolik.
Pasien dianggap syok jika tekanan nadi 20 mmHg atau perfusi kapiler
buruk (ekstremitas dingin, pengisian kapiler lambat, atau takikardi).4 Pongpan
dkk, 2013 meneliti 90 kasus DSS didapatkan penurunan tekanan sistolik 90
mmHg.28 Penelitian Lam dkk, 2015 kriteria pasien syok berdasarkan
hemodinamik indeks, yaitu tekanan nadi 20 mmHg (syok terkompensasi),
tekanan sistolik 80 mmHg anak usia < 5 tahun atau 90 mmHg anak usia
5 tahun (hipotensi), dan tekanan darah tidak terukur (profound shock).46
4. Profil hematologi: hematokrit, leukosit, dan trombosit.
Salah satu kriteria laboratorium kebocoran plasma oleh WHO adalah
hemokonsentrasi, ditandai dengan peningkatan hematokrit 20% dari normal
atau penurunan hematokrit >20% setelah pemberian terapi cairan.4 Penentuan
derajat hemokonsentrasi sangat sulit pada pemeriksaan pertama, oleh karena
itu diperlukan pemeriksaan serial hematokrit. Penelitian yang dilakukan
Balasubramania S, dkk tahun 2005 di Chennai, India diperoleh hasil nilai cutoff hematokrit 34.8 % usia <5 tahun dan 37.5 % usia >5 tahun merupakan
indikator prediksi hemokonsentrasi pada pasien DBD. Sensitivitas dan
spesifitas masing-masing nilai cut-off 71 % dan 74 % usia < 5 tahun serta 76

20

% dan 73 % usia > 5 tahun.47 Penelitian Pongpan dkk, 2013 hematokrit >
40% merupakan salah satu faktor prognostik infeksi dengue. Pongpan dkk
2013, meneliti 386 dari 777 pasien diperoleh hematokrit > 40% dengan nilai
hematokrit 40.5 4.8 pasien DBD dan 42.4 5.4 pasien DSS.28 Sesuai
dengan penelitian Singhi dkk, 2007 di Brazil peningkatan hematokrit > 30%
dari normal atau hematokrit > 40% diperkirakan dapat berkembang menjadi
infeksi dengue berat.48
Perubahan paling awal pada profil hematologi infeksi dengue adalah
penurunan progresif leukosit.1 Pada saat permulaan sakit DBD terjadi
leukopenia (leukosit < 5.000/mm3) diserta dengan limfositosis relatif (> 15%
limfosit atipik). Akan tetapi leukopenia sebagai penanda awal infeksi dengue
bukan sebagai prognostik, leukosit > 5.000/mm3 lebih sering ditemukan pada
pasien syok. Pada pasien syok dapat terjadi leukositosis sebagai suatu respon
awal terhadap stress metabolik.42 Penelitian Mayetti, 2010 mendapatkan
kejadian syok lebih banyak ditemui pada pasien dengan jumlah leukosit >
5.000/mm3.49 Penelitian Ledika, dkk 2015 terdapat hubungan antara leukosit
5.000/mm3 dengan infeksi dengue berat pada anak (OR 4.25 95% CI 1.5511.65).39
Jumlah trombosit mengalami penurunan secara progresif selama fase
akut infeksi dengue, mencapai jumlah terendah saat pasien DBD sebelum
memasuki time fever of defervescence bersamaan dengan kebocoran plasma.
Jumlah trombosit pada infeksi dengue mengalami penurunan pada hari ke-3
sampai dengan hari ke-7 kemudian mencapai normal kembali pada hari ke-8
atau ke-9. Mekanisme yang terlibat dalam trombositopenia dan perdarahan
selama infeksi dengue belum sepenuhnya dimengerti. Virus DENV dapat
secara lansung dan tidak lansung mempengaruhi sel induk hematopoietik
sehingga mengurangi proliferasi sel hematopoietik, termasuk megakariosit.
Infeksi dengue juga menginisiasi konsumsi yang berlebihan trombosit karena
DIC, dan destruksi trombosit karena proses apoptosis, aktivasi komplemen
serta keterlibatan antibodi anti-platelet.50 Penelitian yang dilakukan
Narayanan dkk, 200351, Wichman dkk, 200452, dan Dewi dkk, 200653 bahwa
syok lebih sering terjadi apabila jumlah trombosit 50.000/mm3. Penelitian

21

oleh Mayetti, 2010 menyimpulkan bahwa kadar hematokrit saat masuk >
42%, leukosit > 5000/mm3 dan trombosit 50.000/mm3 kemungkinan akan
berisiko mengalami syok dua kali lebih besar.50 Sesuai dengan penelitian
Ledika dkk, 2015 terdapat hubungan antara trombosit 50.000/mm3 dengan
infeksi dengue berat (OR 26.54 95% CI 8.59 81.88). Anak yang
menunjukkan jumlah trombosit 50.000/mm3 atau dengan penurunan jumlah
trombosit secara cepat membutuhkan perhatian khusus karena dapat
berkembang menjadi infeksi dengue berat. Jumlah trombosit pada hari
pertama rawatan menjadi parameter penting dalam pemantauan dan
tatalaksana infeksi dengue.39
5. Profil biokimia: SGOT (Serum glutamic-oxaloacetic transaminase), SGPT
(Serum glutamine-pyruvic transaminase), PT (Prothrombin time) dan APTT
(Activated partial thromplastin time).
Kerusakan hepar ditandai salah satunya oleh peningkatan enzim hepar, yaitu
SGOT/SGPT. Peningkatan SGOT terjadi pada 63-97% pasien infeksi dengue
dan SGPT 45-96% pasien infeksi dengue. SGOT tidak hanya dihasilkan oleh
hepar tapi juga dihasilkan oleh jantung, otot, sumsum tulang sedangkan
SGPT hanya dihasilkan hepar. Oleh karena itu, peningkatan SGOT tidak
selalu menggambarkan keterlibatan hepar. Nilai rata-rata peningkatan SGOT
93.9-174 U/L sedangkan SGPT 86-88.5 U/L. Peningkatan SGOT/SGPT
terjadi pada hari ketiga demam dan mencapai puncaknya hari ketujuh/delapan
demam dan menurun secara bertahap kembali normal dalam 3-8 minggu.
Kadar SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT terutama pada infeksi dengue
berat.54
Pemanjangan PT dan APTT termasuk salah satu faktor prognostik
DBD dan DSS menurut Shah dkk, 2004.55 Akan tetapi Pongpan dkk, 2013
tidak menemukan peningkatan enzim hepar dan pemanjangan PT/APTT
sebagai faktor risiko syok dengue. Disebabkan oleh peningkatan faal hepar
dan pemanjangan PT/APTT dianggap sebagai bagian respon setelah syok. Di
samping itu, pemeriksaan SGOT, SGPT, PT dan APTT tidak rutin diperiksa
dan tidak semua fasilitas tersedia pemeriksaan ini.28

22

3.2 Sistem Skoring


Beberapa tahun terakhir telah banyak dilakukan penelitian yang mengembangkan
sistem skoring untuk memprediksi infeksi dengue. Seperti skor PELOD (Pediatric
Logistic Organ Dysfunction), PRISM III (Pediatric Risk of Mortality III) yang
digunakan untuk mengevaluasi angka mortalitas, dan skor DIC (Disseminate
Intravascular Coagulation) untuk mendiagnosis DIC. Untuk skrining awal
prediktor derajat infeksi dengue, beberapa peneliti mengembangkan sistem
skoring berdasarkan indikator parameter klinis dan pemeriksaan laboratorium
sederhana dan dapat digunakan di tempat pelayanan kesehatan primer.7, 28
Tanner dkk tahun 2008 mengembangkan suatu algoritma untuk
menegakkan diagnosis dengue dan memprediksi derajat keparahan dari infeksi
dengue tersebut dengan menggunakan analisis CART (classification and
regression tree), parameter klinis dan laboratorium yang digunakan antara lain
trombosit, leukosit, suhu tubuh, hematokrit, hitung jenis leukosit (limfosit dan
netrofil) yang diambil 72 jam pertama dari onset sakit. Sedangkan untuk
memprediksi derajat keparahan infeksi dengue, Tanner dkk menambahkan
parameter RT-PCR dan IgG anti dengue di samping jumlah trombosit, data
diambil saat pasien pertama kali datang. Tetapi Tanner dkk menggabungkan
sampel anak-anak dan dewasa yang digunakan dalam penelitiannya, disamping
parameter yang digunakan tidak rutin diperiksa.57 Sedangkan Potts dkk tahun
2010 juga melakukan hal yang sama dengan parameter yang berbeda. Parameter
yang digunakan antara lain jumlah leukosit, persen hitung jenis leukosit, jumlah
trombosit, peningkatan enzim SGOT/AST, hematokrit dan usia. Kelemahan
dalam algoritme ini adalah data diambil dalam 72 jam sejak onset sakit,
sedangkan kebanyakan pasien biasanya datang setelah onset tersebut. Selain itu
penelitian Potts tidak dilakukan validasi sehingga belum dapat digunakan pada
populasi lain dengan kondisi yang sama.8

23

Gambar 3.1 Algoritma Tanner dkk menentukan derajat keparahan infeksi


dengue57

Gambar 3.2 Algoritma Potts dkk dalam menentukan derajat keparahan infeksi
dengue 8
24

Pongpan dkk mengembangkan suatu skoring berdasarkan indikator


parameter klinis dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Pongpan dkk pada
tahun 2013 meneliti pada tiga rumah sakit afiliasi di Thailand yang dipilih acak,
satu rumah sakit umum Kamphang Phet di Kamphaeng Phet dan dua rumah sakit
rujukan Sawanpracharak di Nakon Sawan dan rumah sakit Uttaradit di Uttaradit.
Metode penelitian yang dipilih adalah retrospektif dengan menggunakan catatan
rekam medis pasien berusia 1-15 tahun yang dirawat antara 2007 sampai dengan
2010 dengan DD, DBD, dan DSS. Data yang digunakan diambil saat pasien
datang baik saat rawat jalan maupun di unit gawat darurat. Kriteria yang dipilih
untuk menentukan derajat keparahan infeksi dengue adalah kriteria WHO tahun
1997.7
Sebanyak 777 pasien dengan infeksi dengue diteliti dan diklasifikasikan
dalam 3 derajat keparahan infeksi dengue, yaitu DD (n=391), DBD (n=296) dan
DSS (n=90). Pongpan dkk menggunakan indikator parameter klinis dan
laboratorium yang telah dipelajari berisiko mempengaruhi derajat keparahan
infeksi dengue, yaitu demografi (jenis kelamin dan umur), presentasi klinis
(hepatomegali, nyeri kepala, myalgia, muntah, batuk, nyeri perut, ruam
kemerahan, efusi pleura, ptekie, dan perdarahan), hemodinamik (tekanan nadi,
tekanan sistolik, tekanan diastolik), hematologi (hematokrit, hemoglobin, leukosit,
limfosit, neutrofil, dan trombosit), biokimia (SGOT, SGPT, PT, APTT). Dari
semua

faktor

risiko

klinis

dan

laboratorium

dianalisa

menggunakan

nonparametric test for trend. Kemudian dilakukan analisis multivariable ordinal


logistic regression diperoleh karakteristik klinik dengan signifikan prediktor
adalah usia > 6 tahun (OR = 1.46, 95% CI = 1.12-1.91, P value = 0.005),
hepatomegali (OR = 12.31, 95% CI = 8.84-17.15, P value < 0.001), hematokrit
40% (OR = 1.34, 95% CI = 1.10-1.64, P value = 0.003), tekanan sistolik < 90
mmHg (OR = 1.70, 95% CI = 1.32-2.17, P value < 0.001), leukosit >5.000/mm3
(OR = 1.40, 95% CI = 1.13-1.75, P value = 0.002), dan jumlah trombosit
50.000/mm3 (OR = 3.95, 95% CI = 3.14-4.96, P value < 0.001). Indikator
parameter dengan prediktor terkuat adalah hepatomegali (OR = 12.31) dan jumlah
trombosit 50.000/mm3 (OR = 3.95).7

25

Tabel 3.1 Prediktor signifikan penentu derajat keparahan infeksi dengue.7


Prediktor
Usia (tahun)
Hepatomegali
Hematokrit (%)
Tekanan sistolik
(mmHg)
Leukosit (/mm3)
Trombosit (/mm3)

Kategori
>6
6
Ya
Tidak
40
<40
<90
90
>5000
5000
50.000
>50.000

OR
1.46

95% CI
1.12-1.91
Ref
8.84-17.15
Ref
1.32-2.17
Ref
1.32-2.17
Ref
1.13-1.75
Ref
3.14-4.96
Ref

12.31
1.70
1.70
1.40
3.95

P value
0.005

Koefesien
0.38

<0.001

2.51

0.003

0.30

<0.001

0.53

0.002

0.34

<0.001

1.37

Indikator parameter di atas ditransformasi dalam bentuk sistem skoring. Nilai skor
dikonversi dengan koefesien, model koefesien terkecil (0.30) dan dibulatkan
menjadi 0.5. Rentang nilai skor 0- 8.5 dan total skor 0-18. 7
Tabel 3.2 Skoring infeksi dengue.7
Karakteristik Klinis
Usia (tahun)
Hepatomegali
Hematokrit (%)
Tekanan sistolik (mmHg)
Leukosit (/mm3)
Trombosit

Kriteria
>6
6
Ada
Tidak
>40
<40
<90
90
>5.000
5.000
50.000
>5.000

Skor
1
0
8.5
0
1
0
2
0
1
0
4.5
0

Sistem skoring di atas membagi derajat infeksi dengue menjadi 3 klasifikasi: DD,
DBD dan DSS. Cut-off points klasifikasi pasien berdasarkan derajat keparahan
infeksi dengue:7
1. Skor <2.5 (DD)
Pongpan dkk memprediksi DD dengan benar 297 dari 391 pasien, dengan
underestimation 19.8% (154 pasien). Berdasarkan hasil skor, pasien tidak
memerlukan rawat inap di rumah sakit bahkan jika pasien dalam keadaan
demam. Pasien dapat diobservasi di rumah, rawat jalan dengan terapi

26

simptomatis dan diedukasi kepada pasien apabila ditemukan perubahan


tanda dan gejala.
2. Skor 2.5-11.5 (DBD)
Pasien dengan skor ini termasuk dalam grup berisiko untuk DBD.
Pongpan dkk memprediksi dengan benar 136 dari 296 pasien, dengan
underestimation 5.9% (46 pasien) dan overestimation 12.1% (94 pasien).
Pasien sebaiknya diobservasi secara ketat untuk kebocoran plasma,
hemokonsentrasi, trombositopenia
3. Skor >11.5 (DSS).
Pasien dengan skor ini berisiko tinggi menjadi DSS. Pongpan dkk
memprediksi dengan benar 39 dari 90 pasien, dengan overestimation 1.4%
(1 pasien). Pasien ini segera dirawat untuk pemantauan tanda awal syok.
Tabel 3.3 Level skor keparahan infeksi dengue dan risk estimation validity.7
Tingkat
keparahan
Mean SD
IQR
DD
(n=451)
DBD
(n=276)
DSS
(n=50)

Rentang
skor

<2.5

Tingkat keparahan
DD
DBD
DSS
(n=391)
(n=296)
(n = 90)
3.6 2.1 5.1 3.2 11.0 4.1
2.0-4.8
3.8-5.8
6.8-13.3
297
149
3

Risk Estimation Validity


Over
Correct
Under
(%)
(%)
(%)

38.2

19.8

2.5-11.5

94

136

46

12.1

17.5

5.9

>11.5

11

39

1.4

5.0

Total

13.5

60.7

25.7

Sistem skoring oleh Pongpan dkk memprediksi DSS dengan benar, nilai
positive predictive value (PPV) yaitu 88% dan hasil ini sama dengan PPV dari
skor PELOD, PRISM III dan analisis CART, yaitu 82-95%.7 Sistem skoring ini
sudah dilakukan validasi pada tahun 2014 dengan hasil kurang akurat pada data
validasi, hal ini mungkin disebabkan pasien pada data validasi lebih atau kurang
derajat keparahannya daripada pasien dari data sebelumnya. Akan tetapi dari
perspektif klinis skoring ini sangat berguna bila diaplikasikan dalam praktek klinis
sehari-hari, karena hanya membutuhkan data klinis sederhana yang biasa
diperiksa secara rutin. 58

27

KESIMPULAN

Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue yang terdiri atas empat serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Infeksi oleh salah satu dari empat serotipe di
atas akan menyebabkan spektrum klinis yang berbeda. Kebocoran plasma
merupakan faktor utama yang membedakan tingkat keparahan penyakit akibat
infeksi virus dengue.
Pada awal infeksi sangat sulit membedakan infeksi dengue ringan dengan
kasus berat, sehingga sering terjadi underdiagnosis maupun overdiagnosis infeksi
dengue. Untuk itu diperlukan alat prognostik sederhana seperti sistem skoring
yang diperoleh berdasarkan faktor risiko klinis dan laboratorium sederhana yang
telah diteliti memiliki peranan dalam menentukan derajat keparahan infeksi
dengue. Skoring infeksi dengue yang dikembangkan Pongpan dkk tahun 2013
menggunakan parameter klinis dan pemeriksaan labor rutin sederhana untuk
menentukan derajat keparahan infeksi dengue. Parameter yang digunakan antara
lain usia, hepatomegali, hematokrit, tekanan darah sistolik, leukosit dan trombosit.
Parameter ini sangat sederhana dan mudah digunakan pada layanan kesehatan
primer dengan fasilitas terbatas. Sehingga dapat diaplikasikan dalam praktek
klinis sehari-hari dan dapat membantu untuk mengurangi rawatan yang tidak
diperlukan

karena

overdiagnosis

serta

underdiagnosis.

28

mengurangi

mortalitas

akibat

DAFTAR PUSTAKA

1.
2.
3.

4.
5.

6.

7.

8.

9.
10.

11.

12.

13.
14.
15.
16.

Candra A. Demam berdarah dengue: epidemiologi, pathogenesis, dan faktor


risiko penularan. Aspirator. 2010;2:110-9
Srikiatkhatchorn A, Green S. Markers of dengue disease severity. Current
topic in microbiology and Immunology. 2010;338:67-79
Leong AS, Wong KT, Leong TY, Tan PH, Wannakrairot P. The pathology
of dengue hemorrhagic fever. Seminars in Diagnostic Pathology.
2007;24:227-36
World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control new edition. Geneva. WHO. 2009
Aditama TY. Demam berdarah biasanya mulai meningkat di Januari.
Diunduh dari http://www.depkes.go.id. Diunduh pada tanggal 29 November
2015
Megariani, Mariko R, Alkamar A, Putra AE. Uji diagnostik pemeriksaan
antigen nonstruktural 1 untuk deteksi dini infeksi virus dengue pada anak.
Sari Pediatri. 2014;16(2):121-7
Pongpan S, Wisitwong A, Tawichasri C, Patumanond J, Namwongprom S.
Clinical study development of dengue infection severity score. Hindawi
Publishing Corporation ISRN Pediatrics. 2013;6:1-6
Potts JA, Gibbons RV, Rothman AL, Srikiatkachorn A, Thomas SJ,
Supradish PO, dkk. Prediction of dengue disease severity among pediatric
Thai patients using early clinical laboratory indicators. PLoS Neglected
Tropical Diseases. 2010;4(8):1-7
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Infeksi Virus Dengue
dalam Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. 2008. IDAI;2:155-81
Karyanti MR, Uiterwaal CSPM, Kusriastuti R, Hadinegoro SR, Rovers
MM, Heesterbeek H, et all. The changing incidence of dengue haemorrgahic
fever in Indonesia: a 45-year registry-base analysis. BMC Infectious
disease. 2014;14:1-7
Fahri S, Yohan B, Trimarsanto H, Sayono S, Hadisaputro S, Dharmana E, et
all. Molecular surveillance of dengue in Semarang, Indonesia revealed the
circulation of an old genotype of dengue virus serotype-1. PLOS.
2013;7(8):1-12
Sasmono RT, Wahid I, Trimarsanto H, Yohan B, Wahyunu S, Hertanto M,
et all. Genomic analysis and growth characteristic of dengue viruses from
Makassar, Indonesia. Infection, Genetics and Evolution-Elsevier.
2015;32:165-77
Gubler DJ, John AS. Dengue Viruses. Elsevier. 2014:1-14
Guzman MG, Vazquez S. The complexity of antibody dependent
enhanchement of dengue virus infection. Viruses. 2010;2:2649-62
Kurane I. Dengue hemorrhagic fever with special emphasis on
immunopathogenesis. Microbiol Infect Dis. 2006;30:329-40
Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Patogenesis Infeksi Dengue
dalam Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Virus Dengue pada
Anak Edisi 1. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014;(1):7-12

29

17.
18.

19.

20.

21.
22.
23.
24.

25.
26.

27.

28.
29.

30.

31.

32.

33.

Soegijanto S. Patogenesa infeksi virus dengue recent update. Management


of Dengue Viral Infection in Children. 2010;10:11-45
John ALS, Abraham SN, Gubler D. Barriers to preclinical investigations of
anti-dengue immunity and dengue pathogenesis J. Nature Macmilan
Publisher. 2013;11:420-6
World Health Organization-South East Asia Regional Office.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011
Wright WF, Pritt BS. Update: the diagnosis and managementof dengue
virus infection in North American.Diagnostic Microbiology and Infectious
Disease. 2012;73:215-20
Peeling RW, Artsob H, Pelegrino JL, Buchy P, Cardosa MJ, Devi S, et al.
Evaluation of diagnostic tests: dengue. 2010;8(12 Suppl):30-8.
Darwish NT, Alias YB, Khor SM. An introduction to dengue-disease
diagnostic. Trends in Analytical Chemistry. 2015;67:45-55
Amorim JH, Alves RDS, Boscardin SB, Ferreira LSDS. The dengue virus
non-structural 1 protein: risks and benefits. Virus Research. 2014;181:53-60
Dussart P, Labeau B, Lagathu G. Evaluation of an enzyme immunoassay for
detection of dengue virus NS1 antigen in human serum. Plos.
2006;13:11859
Datta S, Wattal C. Dengue NS1 antigen detection: A useful tool in early
diagnosis of dengue virus infection.Indian J Med Microbiol 2010;28:107-10
Kumarasamy V, Chua SK, Hassan Z, Wahab AH, Chem YK, Mohamad M,
dkk. Evaluating the sensitivity of a commercial dengue NS1 antigen-capture
Elisa for early diagnosis of acute dengue infection. Singapore Med J
2007;48:669-73
Garcia CJA, Guzman GFJ, Alejandro QVM, Ruiz MCG, Sachez HM,
Lemarroy CRC. Dengue hemorrhagic fever in infant after
primoinfection.Bol Med Hosp Infant Mex. 2010;67:355-8.
Pongpan S, Wisitwong A, Tawichasri C, Patumanond J. Prognostic
indicators for dengue infection severity. Int K Clin Pediatr. 2013;2(1):12-8
Phubhakdi CB, Hemungkorn M, Thisyakorn U, Thisyakorn C. Risk factors
influencing severity in pediatric dengue infection. Asian Biomedicine.
2008;2(5):409-13
Anders KL, Nguyet NM,Chau NVV, Hung NT, Thuy TT, Lien LB, et all.
Epidemiological factors associated with dengue shock syndrome and
mortality in hospitalized dengue patients in Ho Chi Minh city, Vietnam.
2011;123-34
Anker M, Arima Y. Male-female differences in the number of reported
incident dengue fever cases in six Asian countries. Western Pacific
Surveillance and Response Journal. 2011;2(2):17-23
Hammond SN, Balmaseda A, Perez L, Tellez Y, Saborio SI, Mercado JC, et
al. Differences in dengue severity in infants, children, and adults in a 3-year
hospital-based study in Nicaragua. Am J Trop Med Hyg. 2005;73(6):106370
Junia J, Garna H, Setiabudi D. Clinical risk factors for dengue shock
syndrome in children. Paediatr Indones. 2007;47(1):7-11

30

34.

35.

36.
37.

38.

39.

40.

41.

42.
43.

44.

45.
46.

47.

48.

49.

50.

Pham Tb, Nguyen TH, Vu TQ, Nguyen TL, Malvy D. Predictive factors of
dengue shock syndrome at the children hospital No. 1, Ho-Chi-Minh City,
Vietnam. 2007;100(1):43-7
Gupta V, Yadav TP, Pandey RM, Singh A, Gupta M, Kanaujiya P, et al.
Risk factors of dengue shock syndrome. Journal of Tropical Pediatrics.
2011;57:451-6
Petdachai W. Hepatic dysfunction in children with dengue shock syndrome.
Dengue Bull 2005;29:112-7
Falconar AKI, Romero-vivas CME. Simple prognostic criteria can
definitely identify patients who develop severe versus non-severe dengue
disease, or have other febrile illnesses. J Clin Med Res. 2011;4(1):33-44
Roy A, Sarkar D, Chakraborty S, Chaudhuri J, Ghosh P, Chakraborty S.
Profile of hepatic involvement by dengue virus in dengue infected children.
2013. North American Journal of Medical Sciences. 2013;5(8):480-5
Ledika Ma, Setiabudi D, Dhamayanti M. Association between clinical
profiles and severe dengue infection in children in developing country.
American Journal of Epidemiology and Infectious Disease. 2015;3(3):45-9
Kittigul L, Pitakarnjanakul P, Sujirarat D, Siripanichgon K. The differences
of clinical manifestations and laboratory findings in children and adults with
dengue virus infection. J Clin Virol. 2007;39(2):76-81.
Weerakoon KGAD, Chandrasekaram S, Jayabahu JPSNK, Gunasena S,
Kularatne SAM. Acute abdominal pain in dengue haemorrhagic fever: A
study in Sri Lanka. Dengue Bulletin. 2009;33:70-4
Khanna S, Vij JC, Kumar A, Singal D, Tandon R. Etiology of Abdominal
Pain in Dengue Fever. Dengue Bulletin. 2005;29:85-9
Srikiatkachorn A, Krautrachue A, Ratanaprakarn W, Wongtapradit L,
Nithipaya N, Kalayanarooj S, et al. Natural history of plasma leakage in
dengue hemorrhagic fever: a serial ultrasonographic study. Pediatric
Infectious Disease Journal. 2007;26(4):283-90
Hawarini N, Kosim MS, Supriatna M, Istanti Y, Sudjianto E. The
relationship between pleural effusion index and mortality in children with
dengue shock syndrome. 2012;52(4):239-42
Ejaz K, Khursheed M, Raza A. Pleural effusion in dengue. 2011;32(1):46-9
Espinosa JN, Dantes HG, Quintal JGC, Martinez JLV. Clinical profile of
dengue hemorrhagic fever cases in Mexico. Salud Publica de Mexico 2005;
47:193-200
Lam PK, Tam DTH, Dung NM, Tien NTH, Kleu NTT, Simmons C, et al. A
Prognostic Model for Development of Profound Shock among Children
Presenting with Dengue Shock Syndrome. PLOS one. 2015;10(5):1-13
Balasubramania S, Anandnathan K, Shivabalan SO, Data M, Amalraj E.
Cut-off hematocrit value for hemoconcentration in dengue hemorrhagic
fever. Journal pf Tropical Pediatrics Oxford University Press.
2005;50(2):123-4
Singhi S, KissoonN, Bansal A. Dengue and dengue hemorrhagic fever:
management issues in an intensive care unit. J Pediatr (Rio J).2007;83(2
Suppl):S22-35
Mayetti. Hubungan klinis dan laboratorium sebagai faktor risiko syok pada
DBD. Sari Pediatri. 2010;11(5):367-72

31

51.

52.

53.

54.
55.
56.

57.

58.

Azeredo ELD, Monteiro RQ, Pinto LMDO. Thrombocytopenia in dengue:


interrelationship between virus and the imbalance between coagulation and
fibrinolysis and inflammatory mediators. Hindawi Publishing Corporation
Mediators of Inflammation. 2015;10:1-17
Narayanan M, Aravind MA, Ambikapathy P. Dengue fever-clinical and
laboratory parameters associated with complications. Dengue Bulletin 2003;
27:108-15
Wichmann O, Hongsiriwon S, Bowonwatanuwong C, Chotivanich K,
Sukhtana Y, Pukrittayakamee. Risk factors and clinical features associated
with severe dengue infection in adults and children during the 2001
epidemic in Chonburi, Thailand. Trop Med and Int Health 2004;9:1022-9
Dewi R, Tumbelaka AR, Sjarif DR. Clinical features of dengue hemorrhagic
fever and risk factors of shock event. Pediatr Indones. 2006;46:144-8
Samanta J, Sharma V. Dengue and its effect on liver. World J Clin Cases.
2015;3(2):12531
Shah I, Deshpande GC, Tardeja PN. Outbreak of dengue in Mumbai and
predictive markers for dengue shock syndrome. J Trop Pediatr.
2004;50(5):301-305
Tanner L, Schreiber M, Low JGH, Ong A, Tolfvenstam T, Lai YL, et al.
Decision tree algorithms predict the diagnosis and outcome of dengue fever
in the early phase of illness. Plos Negl Trop Dis. 2008;2;1-8
Pongpan S, Patumanond J, Wisitwong A, Tawichasri C, Namwongprom S.
Validation of dengue infection severity score. Dovepress. 2014;3:45-9

32

Candra A. Demam berdarah dengue: epidemiologi, pathogenesis, dan faktor risiko penularan.
Aspirator. 2010;2:110-9
1

Srikiatkhatchorn A, Green S. Markers of dengue disease severity. Current topic in


microbiology and Immunology. 2010;338:67-79

Leong AS, Wong KT, Leong TY, Tan PH, Wannakrairot P. The pathology of dengue hemorrhagic
fever. Seminars in Diagnostic Pathology. 2007;24:227-36
3

World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment,


prevention and control new edition. 2009. Geneva.

Aditama TY. Demam berdarah biasanya mulai meningkat di Januari. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id. Diunduh pada tanggal 29 November 2015
6
Megariani, Mariko R, Alkamar A, Putra AE. Uji diagnostik pemeriksaan antigen nonstruktural 1
untuk deteksi dini infeksi virus dengue pada anak. Sari Pediatri. 2014;16(2):121-7
7
Potts JA, Gibbons RV, Rothman AL, Srikiatkachorn A, Thomas SJ, Supradish PO, dkk. Prediction of
dengue disease severity among pediatric Thai patients using early clinical laboratory indicators.
PLoS Neglected Tropical Diseases. 2010;4(8):1-7
5

Pongpan S, Wisitwong A, Tawichasri C, Patumanond J, Namwongprom S. Clinical study


development of dengue infection severity score. Hindawi Publishing Corporation ISRN Pediatrics.
2013;6:1-6
9
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Infeksi Virus Dengue dalam Buku Ajar Infeksi
& Pediatri Tropis. 2008. IDAI;2:155-81
10
Karyanti MR, Uiterwaal CSPM, Kusriastuti R, Hadinegoro SR, Rovers MM, Heesterbeek H, et all.
The changing incidence of dengue haemorrgahic fever in Indonesia: a 45-year registry-base
analysis. BMC Infectious disease. 2014;14:1-7
11
Fahri S, Yohan B, Trimarsanto H, Sayono S, Hadisaputro S, Dharmana E, et all. Molecular
surveillance of dengue in SemarangIndonesia revealed the circulation of an old genotype of
dengue virus serotype-1. PLOS. 2013;7(8):1-12
12
Sasmono RT, Wahid I, Trimarsanto H, Yohan B, Wahyunu S, Hertanto M, et all. Genomic
analysis and growth characteristic of dengue viruses from Makassar, Indonesia. Infection,
Genetics and Evolution-Elsevier. 2015;32:165-77
13
Gubler DJ, John AS. Dengue Viruses. Elsevier. 2014:1-14
14
Guzman MG, Vazquez S. The complexity of antibody dependent enhanchement of dengue virus
infection. Viruses. 2010;2:2649-62.
15
Kurane I. Dengue hemorrhagic fever with special emphasis on immunopathogenesis. Microbiol
Infect Dis. 2006;30:329-40.
8

33

Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Patogenesis Infeksi Dengue dalam Pedoman


Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Virus Dengue pada Anak Edisi 1. Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2014;(1):7-12
16

17

Soegijanto S. Patogenesa infeksi virus dengue recent update. Management of


Dengue Viral Infection in Children. 2010;10:11-45.

John ALS, Abraham SN, Gubler D. Barriers to preclinical investigations of anti-dengue immunity
and dengue pathogenesis J. Nature Macmilan Publisher. 2013;11:420-6
19
World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.
20
Wright WF, Pritt BS. Update: the diagnosis and managementof dengue virus infection in North
American.Diagnostic Microbiology and Infectious Disease. 2012;73:215-20
21
Peeling RW, Artsob H, Pelegrino JL, Buchy P, Cardosa MJ, Devi S, et al. Evaluation of diagnostic
tests: dengue. 2010;8(12 Suppl):30-8.
22
Darwish NT, Alias YB, Khor SM. An introduction to dengue-disease diagnostic. Trends in
Analytical Chemistry. 2015;67:45-55
23
Amorim JH, Alves RDS, Boscardin SB, Ferreira LSDS. The dengue virus non-structural 1 protein:
risks and benefits. Virus Research. 2014;181:53-60
24
Dussart P, Labeau B, Lagathu G. Evaluation of an enzyme immunoassay for detection of dengue
virus NS1 antigen in human serum. Plos. 2006;13:11859.
25
Datta S, Wattal C. Dengue NS1 antigen detection: A useful tool in early diagnosis of dengue
virus infection.Indian J Med Microbiol 2010;28:107-10.
26
Kumarasamy V, Chua SK, Hassan Z, Wahab AH, Chem YK, Mohamad M, dkk. Evaluating the
sensitivity of a commercial dengue NS1 antigen-capture Elisa for early diagnosis of acute dengue
infection. Singapore Med J 2007;48:669-73.
27
Garcia CJA, Guzman GFJ, Alejandro QVM, Ruiz MCG, Sachez HM, Lemarroy CRC. Dengue
hemorrhagic fever in infant after primoinfection.Bol Med Hosp Infant Mex. 2010;67:355-8.
28
Phubhakdi CB, Hemungkorn M, Thisyakorn U, Thisyakorn C. Risk factors influencing severity in
pediatric dengue infection. Asian Biomedicine. 2008;2(5):409-13
29
Anders KL, Nguyet NM,Chau NVV, Hung NT, Thuy TT, Lien LB, et all. Epidemiological factors
associated with dengue shock syndrome and mortality in hospitalized dengue patients in Ho Chi
Minh city, Vietnam. 2011;123-34
30
Anker M, Arima Y. Male-female differences in the number of reported incident dengue fever
cases in six Asian countries. Western Pacific Surveillance and Response Journal. 2011;2(2):17-23
31
Hammond SN, Balmaseda A, Perez L, Tellez Y, Saborio SI, Mercado JC, et al. Differences in
dengue severity in infants, children, and adults in a 3-year hospital-based study in Nicaragua. Am
J Trop Med Hyg. 2005;73(6):1063-70
32
Junia J, Garna H, Setiabudi D. Clinical risk factors for dengue shock syndrome in children.
Paediatr Indones. 2007;47(1):7-11.
33
Pham Tb, Nguyen TH, Vu TQ, Nguyen TL, Malvy D. Predictive factors of dengue shock syndrome
at the children hospital No. 1, Ho-Chi-Minh City, Vietnam. 2007;100(1):43-7
34
Gupta V, Yadav TP, Pandey RM, Singh A, Gupta M, Kanaujiya P, et al. Risk factors of dengue
shock syndrome. Journal of Tropical Pediatrics. 2011;57:451-6
35
Petdachai W. Hepatic dysfunction in children with dengue shock syndrome. Dengue Bull
2005;29:112-7
36
Falconar AKI, Romero-vivas CME. Simple prognostic criteria can definitely identify patients who
develop severe versus non-severe dengue disease, or have other febrile illnesses. J Clin Med Res.
2011;4(1):33-44
37
Roy A, Sarkar D, Chakraborty S, Chaudhuri J, Ghosh P, Chakraborty S. Profile of hepatic
involvement by dengue virus in dengue infected children. 2013. North American Journal of
Medical Sciences. 2013;5(8):480-5
18

34

Ledika Ma, Setiabudi D, Dhamayanti M. Association between clinical profiles and severe
dengue infection in children in developing country. American Journal of Epidemiology and
Infectious Disease. 2015;3(3):45-9
39
Kittigul L, Pitakarnjanakul P, Sujirarat D, Siripanichgon K. The differences of clinical
manifestations and laboratory findings in children and adults with dengue virus infection. J Clin
Virol. 2007;39(2):76-81.
40
Weerakoon KGAD, Chandrasekaram S, Jayabahu JPSNK, Gunasena S, Kularatne SAM. Acute
abdominal pain in dengue haemorrhagic fever: A study in Sri Lanka. Dengue Bulletin. 2009;33:704
41
Khanna S, Vij JC, Kumar A, Singal D, Tandon R. Etiology of Abdominal Pain in Dengue Fever.
Dengue Bulletin. 2005;29:85-9
42
Srikiatkachorn A, Krautrachue A, Ratanaprakarn W, Wongtapradit L, Nithipaya N, Kalayanarooj
S, et al. Natural history of plasma leakage in dengue hemorrhagic fever: a serial ultrasonographic
study. Pediatric Infectious Disease Journal. 2007;26(4):283-90
43
Hawarini N, Kosim MS, Supriatna M, Istanti Y, Sudjianto E. The relationship between pleural
effusion index and mortality in children with dengue shock syndrome. 2012;52(4):239-42
44
Ejaz K, Khursheed M, Raza A. Pleural effusion in dengue. 2011;32(1):46-9
45
Espinosa JN, Dantes HG, Quintal JGC, Martinez JLV. Clinical profile of dengue hemorrhagic fever
cases in Mexico. Salud Publica de Mexico 2005; 47:193-200.
46
Lam PK, Tam DTH, Dung NM, Tien NTH, Kleu NTT, Simmons C, et al. A Prognostic Model for
Development of Profound Shock among Children Presenting with Dengue Shock Syndrome. PLOS
one. 2015;10(5):1-13
47
Balasubramania S, Anandnathan K, Shivabalan SO, Data M, Amalraj E. Cut-off hematocrit value
for hemoconcentration in dengue hemorrhagic fever. Journal pf Tropical Pediatrics Oxford
University Press. 2005;50(2):123-4
48
Singhi S, KissoonN, Bansal A. Dengue and dengue hemorrhagic fever: management issues in an
intensive care unit. J Pediatr (Rio J).2007;83(2 Suppl):S22-35.
49
Mayetti. Hubungan klinis dan laboratorium sebagai faktor risiko syok pada DBD. Sari Pediatri.
2010;11(5):367-72
50
Azeredo ELD, Monteiro RQ, Pinto LMDO. Thrombocytopenia in dengue: interrelationship
between virus and the imbalance between coagulation and fibrinolysis and inflammatory
mediators. Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflammation. 2015;10:1-17
51
Narayanan M, Aravind MA, Ambikapathy P. Dengue fever-clinical and laboratory parameters
associated with complications. Dengue Bulletin 2003; 27:108-15.
52
Wichmann O, Hongsiriwon S, Bowonwatanuwong C, Chotivanich K, Sukhtana Y,
Pukrittayakamee. Risk factors and clinical features associated with severe dengue infection in
adults and children during the 2001 epidemic in Chonburi, Thailand. Trop Med and Int Health
2004;9:1022-9.
53
Dewi R, Tumbelaka AR, Sjarif DR. Clinical features of dengue hemorrhagic fever and risk factors
of shock event. Pediatr Indones. 2006;46:144-8
54
Samanta J, Sharma V. Dengue and its effect on liver. World J Clin Cases. 2015;3(2):12531.
55
Shah I, Deshpande GC, Tardeja PN. Outbreak of dengue in Mumbai and predictive markers for
dengue shock syndrome. J Trop Pediatr. 2004;50(5):301-305.
57
Pongpan S, Patumanond J, Wisitwong A, Tawichasri C, Namwongprom S. Validation of dengue
infection severity score. Dovepress. 2014;3:45-9
38

35

Anda mungkin juga menyukai