adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka
1[1] Decision 2/CP.13. Reducing emissions from deforestation in developing countries: approaches to stimulate
action. FCCC/CP/2007/6/Add.1, pp. 811.[2] Decision 2/CP.15. Copenhagen Accord. FCCC/CP/2009/11/Add, pp. 4
9.
[3]
http://www.norway.or.id/PageFiles/404362/Letter_of_Intent_Norway_Indonesia_26_May_2010.pdf.
Pengusahaan Hutan (HPH) baru untuk konversi kawasan lahan gambut dan hutan
Kedua, kalangan pemerhati lingkungan yang kecewa atas ruang lingkup moratorium yang
sempit dengan berbagai pengecualiannya. Mereka menyatakan bahwa moratorium tidak akan
efektif untuk mengurangi emisi karbon dan mengungkapkan kekhawatiran tentang lemahnya
3
rencana tata ruang/tata guna lahan dan tata kelola hutan, yang diperlukan secara lebih luas untuk
REDD+ merupakan satu dari beberapa skema yang hangat diperdebatkan dalam putaran
perundingan perubahan iklim. Skema ini awalnya dirancang oleh Papua Nugini dan Kosta Rika, dua
negara pemilik hutan tropis yang merasa tidak mendapat keuntungan apapun dari skema perubahan iklim
di bawah rezim Protokol Kyoto. Dua skema Protokol Kyoto, Emission Trading (ET) dan Joint
Implementation (JI) hanya berlaku untuk dan di kalangan negara maju (Annex I). Satu skema lain, Clean
Development Mechanism (CDM), melibatkan Negara berkembang tapi hanya dibatasi tidak lebih dari 1%
total emisi tahunan negara maju yang menginvestasikan proyek CDM-nya di negara berkembang. Jumlah
yang sangat kecil ini tidak lepas dari prinsip pengurangan emisi domestik sebagai tujuan utama Protokol
Kyoto. Artinya, mekanisme ET, JI maupun CDM hanya pelengkap (additional) dari tujuan utama
Protokol Kyoto yaitu mendesak negara Annex I mengurangi emisi domestik mereka (Murdiyarso, 2007:
48-59).
Gambar Sejarah Perjalanan Konsep RED, REDD dan REDD+ (DNPI, 2012)
(Sumber: Pengendalian Kebakaran Hutan
dan Lahan Berbasis Masyarakat,2014)
Sementara itu, P.36 merupakan peraturan mengenai Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PJL)
berupa penyerapan karbon (carbon sequestration) dan penyimpanan karbon (carbon sink).
Konsep PJL itu sendiri sudah dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik
secara langsung maupun tidak. Beberapa contoh peraturan tentang pemanfaatan jasa lingkungan
bisa dilihat sebagai berikut :
UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal
34 ayat 3:
Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak
pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
dengan mengikut sertakan rakyat.
UU No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan Pasal 26 ayat 1:
Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
PP No. 6 tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
Perencanaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Pasal 1 angka 6:
Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa
lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.
Pada Juni 2012, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ merumuskan Strategi
Nasional REDD+ yang memuat :
- Visi, Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Keterkaitan REDD+ dengan Program lain
- Kerangka dan Pilar-Pilar Strategi Nasional REDD+
- Pembangunan Sistem Kelembagaan REDD+
- Pengkajian Ulang dan penguatan kebijakan dan Peraturan
- Peluncuran Program-Program Strategis
- Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja
- Melibatkan para Pihak
- Arahan Pelaksanaan
- Fase-fase Pelaksanaan
- Pelaksanaan REDD+ di tingkat sub-Nasional (Provinsi Percontohan dan Pengembangan
Implementasi di Tingkat sub-Nasional)
- Penyusunan Rencana Aksi
- Penyusunan Rencana Bisnis
- Reformasi Kerangka Hukum
Visi, Misi, Tujuan, dan Ruang Lingkup REDD + di Indonesia
Visi :
Pengelolaan sumber daya alam hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan sebagai aset nasional
yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Misi :
- Mewujudkan visi pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan melalui tata kelola yang efektif
yang dicapai dengan :
- Penciptaan manfaat tambahan bersama dengan peningkatan manfaat dari karbon melalui :
Peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal
Peningkatan kelestarian keanekaragaman hayati
Peningkatan kelestarian produksi jasa ekosistem lain
Secara hukum sesuai dengan pasal 1(b) dan 1(c) dari UU no 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, skema REDD+ dilaksanakan dalam kawasan lahan berhutan (termasuk hutan
mangrove) dan lahan bergambut di dalam kawasan hutan dan kawasan APL (Area Penggunaan
Lahan) di seluruh wilayah Indonesia baik yang sudah maupun belum tercatat dalam daftar hutan
Indonesia ketika Strategi Nasional REDD+. Sebagaimana gambar berikut:
Strategi nasional REDD+ dilaksanakan dengan berlandaskan pada lima pilar sebagaimana
Gambar , yaitu :
- Kelembagaan dan proses
- Hukum dan peraturan
- Program-program strategis
sebagai sumber pendanaan merupakan bentuk penyimpangan dari fungsi CSR. Seharusnya, CSR
dikembalikan ke mandatnya sebagai salah satu kontribusi perusahaan bagi pengembangan
kehidupan karyawan maupun komunitas di sekitar lokasi operasi perusahaan.
Logika yang sama berlaku untuk sumber pendanaan berupa hibah. Hakikat hibah adalah
fungsi sosial bukan komersial. Jika pemanfaatannya dipakai untuk tujuan menghasilkan sertifikat
karbon yang diperjualbelikan untuk mendapat untung maka fungsi sosial tersebut berubah total
menjadi komersial.
Jika dilihat ke belakang, disorientasi sumber pendanaan tampaknya bersumber dari
ketidaktegasan perbedaan antara sumber pendanaan yang berbasis pasar dan dana publik. Jika
skema pasar yang diterima maka secara etis komersialisasi akan dikategorikan sebagai kepatutan
karena arena pasar hakikatnya merupakan wilayah komersial terutama untuk tujuan privat.
Berbeda dengan dana publik yang memiliki fungsi mendukung kinerja untuk tujuan publik.
Dalam hal ini, dana hibah dan CSR yang memiliki fungsi publik tidak akan dibelokan untuk
tujuan privat-komersial tapi dikelola untuk kepentingan publik, antara lain kelestarian hutan dan
pemulihan fungsi ekologis.
Nasional, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
4
Nasional dan lembaga yang dibentuk untuk mengelola REDD+), serta para gubernur dan bupati.
Inpres ini menjelaskan tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga selama dua tahun
sejak dikeluarkannya Inpres.
Dua kementerian penting yang sangat terkait dengan deforestasi dan emisi berbasis lahan
tidak disebutkan dalam Inpres, yaitu: Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral. Kedua lembaga ini tidak dimasukkan dalam Inpres mungkin karena
terkait dengan peran mereka dalam program ketahanan pangan dan energi nasional. Pembatasan
penerapan moratorium pada kegiatan di sektor-sektor ini dapat melemahkan kemampuan
pemerintah untuk memenuhi tujuan Inpres itu sendiri, serta komitmen Presiden untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca.
Inpres ini berlaku bagi hutan alam primer dan lahan gambut. Istilah yang baru saja
diperkenalkan hutan alam primer dan bukan hutan alam, sebagaimana digunakan dalam LoI
telah ditafsirkan berbeda oleh berbagai pemangku kepentingan. Istilah baru dalam Inpres ini
menguatkan penafsiran bahwa sasaran moratorium hanya hutan yang tidak tersentuh, tidak
terkelola dan tidak terganggu. Sedangkan sebagian pihak menafsirkan bahwa LoI mencakup
kisaran hutan yang lebih luas. Penggunaan istilah hutan alam primer juga mempengaruhi ruang
lingkup moratorium karena tidak memasukkan hutan alam sekunder atau hutan bekas tebangan.
Perbedaannya besar sekali
4[9] Luas seluruh lahan berhutan di Indonesia pada tahun 2009 ialah 91,9 juta ha (paling sedikit 85,6 juta
ha lahan hutan negara dan 6,2 juta ha lahan untuk areal penggunaan lain, atau APL). Di antara luas ini,
hutan primer mencakup 45,2 juta ha. Banyak di antara hutan primer ini telah dilindungi oleh hokum yang
ada, yang selanjutnya mengurangi daerah tambahan yang dilindungi berdasarkan moratorium. Bahkan,
seandainya sekitar 46,7 juta ha hutan nonprimer telah dilindungi, daerah yang tercakup dalam moratorium
tersebut semestinya telah bertambah cukup besar.
menggunakan istilah hutan alam luas kawasan yang tercakup moratorium dapat mencapai dua
kali lipat, bergantung pada berapa bagian dari luas hutan ini yang telah diberi HPH[9].5
Namun demikian, teks tentang lahan gambut dalam Inpres ini menyiratkan bahwa
moratorium mencakup seluruh lahan gambut tanpa membedakan jenis, kedalaman, letak,
wilayah administrasi dan tingkat kerusakannya. Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Menteri
Pertanian (No. 14/Permentan/FL.110/2/2009), hanya lahan gambut dengan kedalaman lebih dari
3 m yang dilindungi dari konversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Gubernur dan bupati, yang menerbitkan izin pengembangan kelapa sawit, perlu
menafsirkan Inpres lebih bijaksana setelah sekian lama memegang peraturan menteri tersebut
sebagai acuan bahwa lahan yang tercakup moratorium adalah seluas 64 juta ha [10]. Kemudian
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa lahan yang tercakup kira-kira 72
juta ha, yang terdiri dari 55 juta ha hutan primer dan 17 juta ha lahan gambut yang jauh lebih
kecil dari pengumuman sebelumnya, 96 juta ha[11]. (Wells dan Paoli 2011).
Interpretasi independen secara digital terhadap PIPIB yang melampiri Inpres
menunjukkan bahwa moratorium mencakup luas yang tidak lebih dari 46 juta ha [12]. Sementara
itu analisis yang dilakukan terhadap PIPIB tersedia bagi umum pada tanggal 5 Agustus 2011
menunjukkan bahwa luas cakupan Inpres adalah 66,4 juta ha. Berbagai manfaat lingkungan yang
akan diperoleh dari moratorium diperkirakan lebih kecil daripada yang mungkin diharapkan.
5
6[10] The Jakarta Globe, 20 Mei 2011. SBY signs decree on 2-year deforestation moratorium; The Jakarta Post, 20
Mei 2011. Moratorium issued to protect primary forests, peatland.[11] The Jakarta Post, 5 Juli 2011. Govt reduces area
of forests protected by moratorium.
[12]
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/pak-presidensby-kami-akan-memberitahu-siapa-/blog/35150p.
Luas kawasan yang belum dilindungi masih sangat luas dan emisi yang dapat dihindari masih
terlalu kecil.
sebesar 2,2% per tahun, jauh lebih tinggi dari laju deforestasi tahunan di hutan hujan
dataran rendah sebesar 1,2% (Miettinen dkk. 2011).
Pengeringan lahan gambut dapat menyebabkan kubah gambut runtuh dan emisi gas
rumah kaca meningkat. Di daerah pesisir, runtuhnya gambut telah menyebabkan intrusi
air laut sehingga memaksa petani pindah dari lahan pertanian mereka (Joshi dkk. 2010).
Dampak langsung akibat kesalahan pengelolaan lahan gambut ini menimbulkan
tantangan baru dalam hal penghidupan masyarakat yang melampaui persoalan perubahan
iklim. Sehingga untuk mendukung pengelolaan lahan gambut yang berkesinambungan
diperlukan penyempurnaan tata kelola lahan gambut, termasuk memperjelas sistem
pemilikan atau penguasaan lahan, peningkatan kapasitas dan penegakan hukum.
b. Dampak Ekonomi
Pemegang HPH dan pengusaha perkebunan kelapa sawit khawatir bahwa moratorium
akan mengancam penyediaan lapangan kerja karena dapat mengganggu program peluasan
mereka. Keabsahan klaim seperti ini perlu dicermati. Menurut telaah Reuters,
perusahaan-perusahaan perkebunan besar kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia telah
melakukan peluasan dengan laju 10 000 ha per perusahaan per tahun (Koswanage dan
Taylor 2011). Bagi perusahaan-perusahaan ini, penguasaan lahan terkecil sekalipun cukup
bagi mereka untuk meneruskan peluasan selama dua tahun ke depan. Perusahaanperusahaan besar diduga telah menguasai lahan dalam jumlah yang cukup, dengan izin
ataupun izin prinsip sehingga masih memungkinkan mereka melakukan peluasan dengan
laju tersebut hingga jauh melampaui jangka waktu dua tahun moratorium. Jika temuan
dalam laporan Reuters benar, moratorium berdampak minimal terhadap lapangan kerja
yang berkaitan dengan peluasan kebun sawit.
Moratorium dua tahun justru dapat dimanfaatkan pengembang untuk menggeser kegiatan
mereka dari peluasan lahan produksi prioritas menjadi peningkatan produksi dari kebun
yang ada. Produktivitas per satuan luas pada kebanyakan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan potensinya. Rerata produktivitas minyak sawit
saat ini adalah 3,5 ton per ha, yaitu 40% lebih rendah daripada rerata produksi Malaysia
sebesar 6,4 ton per ha (KPPU 2007). Pilihan untuk meningkatkan produktivitas dapat
dibuat sambil memperbaiki prasarana, yang dengan sendirinya menciptakan lapangan
pekerjaan dan menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat setempat.
Perusahaan juga dapat merehabilitasi ekosistem pada hutan gambut yang terdegradasi dan
telah dikuasainya. Walaupun cadangan karbon di atas permukaan tanah di daerah ini
mungkin rendah, karbon di bawah tanahnya masih tinggi. Perusahaan-perusahaan ini
harus didorong untuk mengajukan izin baru bagi rehabilitasi ekosistem yang dikecualikan
dalam Inpres moratorium ini. Jika skema seperti ini baik secara ekonomis maka tidak
tertutup kemungkinan menarik investasi sektor swasta.
mengelola hasil hutan. Sering kali ditemukan bahwa wilayah kelola masyarakat dimasukkan
dalam cakupan moratorium, sementara konsesi yang dimiliki korporasi dapat dengan mudah
keluar dan masuk dalam cakupan moratorium. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa kasus di
kabupaten Merauke dengan melihat pada PIPIB.
Sementara itu, kebakaran hutan yang seharusnya bisa diminimalkan ternyata malah
mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan di tahun 2014. Hingga Februari 2014, telah
terjadi kebakaran lahan gambut di Provinsi Riau seluas lebih dari 7.972 hektar dengan 1,089
titik api, di mana 414 titik (38,02%) terdapat di wilayah PIPIB revisi (Greenpeace, 2014).
Selain kebakaran hutan, alih fungsi kawasan hutan untuk alasan pembangunan
dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat adat/lokal juga terus terjadi di beberapa
tempat di Indonesia.
Ada banyak celah yang membuat moratorium menjadi tidak efektif dan sesuai dengan
apa yang diharapkan, di antaranya :
a. Pemberlakuan kebijakan jeda tebang semenjak awal terlalu banyak memberikan
ruang kompromi yang justru mengancam perlindungan hutan dan lahan gambut
Indonesia. Hal ini terlihat daribanyaknya pengecualian yang diatur dalam kebijakan
tersebut.
b. Kebijakan moratorium tidak menyentuh akar persoalan kehutanan dan tidak
implementatif.
c. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Satgas REDD+ dalam mengisi periode
moratorium lebih banyak berupa kajian, namun belum tercermin dalam kebijakan
formal yang memiliki landasan hukum kuat.
d. Terdapat beberapa capaian positif dalam upaya penyelamatan hutan seperti
penandatanganan MOU antar penegak hukum dan MoU antara BP REDD+ dengan
pemerintah daerah. Namun, hal tersebut kalah cepat dengan laju pelanggaran dan
perusakan hutan. Sebagai contoh, keberhasilan penegakan hukum pada kasus PT.
Kalista di Aceh, tidak diikuti oleh kasus Labora Sitorus di Papua Barat. Hal ini
menunjukkan masih lemahnya penegakan hukum dalam kasus perusakan hutan dan
lingkungan.
e. Mekanisme monitoring dan pengaduan terhadap pelanggaran izin tidak efektif
dan
masyarakat.
Mekanisme
ini
hanya
efektif
digunakan oleh instansi terkait dan perusahaan sehingga sebagian besar pengaduan
hanya berasal dari pihak perusahaan.
Moratorium yang efektif dapat memperbaiki proses pemberian izin dan perencanaan
penggunaan lahan yang mendukung target pembangunan ekonomi nasional dan menghormati
hak-hak masyarakat setempat. Diharapkan efek moratorium ini bisa dirasakan lebih dari dua
tahun.
Persepsi salah yang sering disebut dalam media adalah moratorium ini dibuat untuk
menghentikan semua penebangan hutan di Indonesia dan menghambat ekspansi industri-industri
seperti industri kelapa sawit, HTI, dan tambang. Namun, menurut isi dari kesepakatan IndonesiaNorwegia, moratorium ini adalah suspensi atas pemberian izin baru konversi hutan alam dan
lahan gambut.
Pencabutan izin-izin yang sudah dikeluarkan banyak di antaranya yang mungkin ilegal
sepertinya berada di luar rancangan moratorium ini. Selain itu, karena moratorium hanya
diberlakukan pada izin baru konversi hutan alam dan lahan gambut, kemungkinan besar
peraturan ini tidak mencakup izin penebangan pohon selektif (selective logging permits) atau izin
perkebunan kelapa sawit di daerah APL.
Jangka waktu dua tahun, di mana tidak ada izin baru konversi hutan, memberi
kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk mulai menjalankan kebijakan REDD+, seperti
memperbaiki perencanaan penggunaan lahan, mengkaji dan mencabut izin ilegal, mendorong
ekspansi perkebunan kelapa sawit yang berkesinambungan di lahan terdegredasi, dan
mengembangkan insentif untuk melakukan landswap untuk pembangunan antara daerah
berhutan dengan lahan yang tingkat karbonnya rendah.
Walaupun terbatas dalam hal waktu dan cakupan areal, moratorium ini berpotensi untuk
mendukung perbaikan tata kelola hutan, yang
Arah yang diberikan dalam Inpres untuk hutan nongambut dapat dikategorikan sebagai
kesempatan yang hilang. Revisi selama proses pelaksanaan masih memberi kesempatan kedua
untuk mengalihkan pembangunan ke luar dari lahan berkarbon tinggi, termasuk hutan sekunder
yang tidak dapat dikategorikan sebagai hutan alam primer, yang sejalan dengan strategi
pemerintah untuk kegiatan pembangunan beremisi rendah. Pemaduan rencana tata ruang pada
tingkat provinsi dan kabupaten untuk menghasilkan revisi PIPIB secara berkala akan menuntut
kepemimpinan yang tegas, keterbukaan dan pendekatan partisipatif.
Moratorium semestinya tidak dipandang sebagai tujuan untuk mencapai sasaran
pengurangan emisi seperti yang dicanangkan Presiden. Moratorium adalah alat untuk
menciptakan keadaan yang memungkinkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut, yang
diperlukan untuk menunjang strategi pembangunan berkarbon rendah dan keikutsertaan dalam
mekanisme global seperti REDD+ dalam jangka panjang. Moratorium dapat membuka jalan bagi
keberhasilan pembaruan kebijakan jauh melampaui masa berlakunya yang hanya dua tahun.