Anda di halaman 1dari 24

3.4.

1Moratorium/Jeda Tebang 10 30 Tahun


1. Pengertian Moratorium
Pengertian moratorium dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia) KBBI Online sebagai
berikut: penangguhan pembayaran utang didasarkan pada Undang-Undang agar dapat mencegah
krisis keuangan yang semakin hebat; 2 penundaan; penangguhan.
Pengertian moratorium berdasarkan KBBI Online secara jelas sangat berkaitan dengan
bidang ekonomi dan politik. Namun secara singkat istilah moratorium lebih tepat diartikan
sebagai penundaan atau penangguhan karena alasan tertentu. Sebagai contoh moratorium PNS
dilakukan karena beralasan untuk mengevaluasi jalannya proses pengadaan, seleksi, penempatan,
serta efisiensi anggaran belanja pegawai. Sehingga akan mudah untuk melakukan audit atau
penataan lembaga-lembaga pemerintahan yang ada.
Pada penulisan ini istilah moratorium digunakan untuk mengistilahkan jeda penebangan
hutan. Rumusan ataupun konsep kebijakan moratorium logging (moratorium penebangan hutan)
ini, dicetuskan oleh (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) WALHI melalui rapat Konsultasi
Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) yang diadakan WALHI pada tanggal 22 April tahun 2000 di
Jakarta. Secara definisi, moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI adalah berhenti
sejenak dari aktifitas penebangan dan konversi hutan.
Adapun definisi lainnya yaitu pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas
penebangan kayu skala besar (skala industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah
kondisi yang diinginkan tercapai. Menurut WALHI, moratorium logging ini dilaksanakan paling
sedikit selama 15 tahun. Lama atau masa diberlakukannya moratorium logging ini biasanya juga
ditentukan oleh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi tersebut. Tujuannya

adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka

panjang dan permanen.

2. Latar Belakang Moratorium di Indonesia


Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan , Reducing Emissions from
Deforestation and Degradation Forest (REDD) disepakati di Bali pada Sesi ke-13 Konferensi
Para Pihak, Conference of Parties (CoP 13) Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan
Iklim[1], United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), sebagai
mekanisme global untuk mitigasi perubahan iklim. Mekanisme yang sekarang disebut REDD+
ini meliputi rangkaian kegiatan yang lebih luas, termasuk konservasi hutan, pengelolaan hutan
secara lestari dan peningkatan cadangan karbon melalui penghutanan (aforestasi) dan
penghutanan kembali (reboisasi)[2]. Pada tanggal 26 Mei 2010, pemerintah Republik Indonesia
dan Kerajaan Norwegia menandatangani Surat Pernyataan Kehendak, Letter of Intent (LoI)
tentang REDD+[3].
Berdasarkan LoI ini, Indonesia sepakat untuk melakukan beberapa tindakan, antara lain:
a. Menyusun Strategi Nasional tentang REDD+
b. Menetapkan badan khusus untuk menerapkan strategi REDD+, termasuk sistem
pemantauan, pelaporan dan pembuktian (MRV) atas pengurangan emisi dan
instrumen keuangan untuk penyaluran dana; dan

1[1] Decision 2/CP.13. Reducing emissions from deforestation in developing countries: approaches to stimulate
action. FCCC/CP/2007/6/Add.1, pp. 811.[2] Decision 2/CP.15. Copenhagen Accord. FCCC/CP/2009/11/Add, pp. 4
9.
[3]
http://www.norway.or.id/PageFiles/404362/Letter_of_Intent_Norway_Indonesia_26_May_2010.pdf.

c. Mengembangkan dan menerapkan instrumen kebijakan serta kemampuan untuk


melaksanakannya, termasuk penundaan selama dua tahun bagi pemberian izin Hak
2

Pengusahaan Hutan (HPH) baru untuk konversi kawasan lahan gambut dan hutan

alam untuk penggunaan lainnya.


Hanya satu minggu sebelum setahun penandatanganan LoI tersebut, pada 20 Mei 2011,
Instruksi Presiden, yang dikenal dengan Inpres No. 10/2011 diterbitkan. Inpres ini
mengumumkan moratorium hutan yang akan memenuhi salah satu tindakan kesepakatan dalam
LoI yang paling banyak menarik perhatian publik[4]. Inpres ini bertujuan untuk menunda
pemberian izin HPH baru untuk penebangan dan konversi hutan dan lahan gambut selama dua
tahun sejak tanggal diundangkannya. Penundaan ini memungkinkan pembenahan tata kelola
hutan yang lebih baik melalui pelembagaan proses koordinasi dan pengumpulan data dan
kemungkinan juga peraturan-peraturan baru yang diperlukan. Sementara Center for
International Forestry Reaserch (CIFOR)[5] dan sejumlah pihak lain menyambut baik
moratorium ini sebagai langkah maju, dua kelompok pemangku kepentingan tertentu menyambut
pengumuman ini dengan kecemasan yang berbeda alasannya[6].
Pertama, kalangan pengusaha (dan sebagian anggota dewan dan birokrat) yang
mengungkapkan kekhawatirannya bahwa dengan membatasi peluang pembangunan berbasis
lahan, moratorium akan menghambat pertumbuhan ekonomi[7]. Mereka menegaskan bahwa
moratorium dapat membahayakan strategi pembangunan yang mampu menciptakan lapangan
kerja dan yang berpihak pada rakyat miskin yang telah diterima secara luas.

2[4] http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17176/INPRES0102011.pdf.[5] CIFOR press release, 20 Mei 2011. Ban on new


forest concessions in Indonesia is good news for climate change, but many challenges remain.
[6]
The Jakarta Globe, 22 Mei 2011. Forest moratorium too harsh for some, too weak for others.
[7]
Antara, 22 Mei 2011. GAPKI menganggap Inpres moratorium akan memicu perselisihan.

Kedua, kalangan pemerhati lingkungan yang kecewa atas ruang lingkup moratorium yang
sempit dengan berbagai pengecualiannya. Mereka menyatakan bahwa moratorium tidak akan
efektif untuk mengurangi emisi karbon dan mengungkapkan kekhawatiran tentang lemahnya
3

rencana tata ruang/tata guna lahan dan tata kelola hutan, yang diperlukan secara lebih luas untuk

mendukung pelaksanaan moratorium ini[8].


3. Konsep REDD+ dan Implementasinya
a. Latar Belakang REDD+
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reduction of Emission from
Deforestation and Degradation Plus) (REDD+) dilandasi ide utama yaitu menghargai individu,
masyarakat, proyek dan Negara yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca GRK (green
house gas GHG) yang dihasilkan hutan. REDD+ berpotensi mengurangi emisi GRK dengan
biaya rendah dan waktu yang singkat, dan pada saat bersamaan membantu mengurangi tingkat
kemiskinan dan memungkinkan pembangunan berkelanjutan.
Apa perbedaan deforestasi dan degradasi hutan?

Gambar Perbedaan Deforestasi dan Degradasi Hutan


(Sumber: Pengendalian Kebakaran Hutan
dan Lahan Berbasis Masyarakat,2014)

3[8] Kompas, 26 Mei 2011. Inpres, kompromi politik-ekonomi.

REDD+ merupakan satu dari beberapa skema yang hangat diperdebatkan dalam putaran
perundingan perubahan iklim. Skema ini awalnya dirancang oleh Papua Nugini dan Kosta Rika, dua
negara pemilik hutan tropis yang merasa tidak mendapat keuntungan apapun dari skema perubahan iklim
di bawah rezim Protokol Kyoto. Dua skema Protokol Kyoto, Emission Trading (ET) dan Joint
Implementation (JI) hanya berlaku untuk dan di kalangan negara maju (Annex I). Satu skema lain, Clean
Development Mechanism (CDM), melibatkan Negara berkembang tapi hanya dibatasi tidak lebih dari 1%
total emisi tahunan negara maju yang menginvestasikan proyek CDM-nya di negara berkembang. Jumlah
yang sangat kecil ini tidak lepas dari prinsip pengurangan emisi domestik sebagai tujuan utama Protokol
Kyoto. Artinya, mekanisme ET, JI maupun CDM hanya pelengkap (additional) dari tujuan utama
Protokol Kyoto yaitu mendesak negara Annex I mengurangi emisi domestik mereka (Murdiyarso, 2007:
48-59).

Gambar Latar Belakang Terbentuknya Skema REDD+


b. Sejarah REDD dan REDD+
Perdebatan mengenai REDD+ berawal dari perdebatan mengenai kerangka implementasi
konvensi perubahan iklim, terutama Protokol Kyoto.
Pada konvensi perubahan iklim selanjutnya perdebatan kerangka implementasi ini
diperbaiki dan disempurnakan setelah melewati berbagai perubahan pada tiap konvensi
perubahan iklim, perbaikan kerangka implementasi ini menghasilkan skema REDD+.

Gambar Sejarah Perjalanan Konsep RED, REDD dan REDD+ (DNPI, 2012)
(Sumber: Pengendalian Kebakaran Hutan
dan Lahan Berbasis Masyarakat,2014)

c. Konsep REDD+ di Indonesia


Perangkat Hukum REDD + di Indonesia
Ada tiga peraturan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan yang langsung
berhubungan dengan REDD, yaitu:
(1) P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaran Demonstration Activities Pengurangan
Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan,
(2) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara
Pengurangan Emisi
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
(3) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara
Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan
Produksi dan Hutan Lindung.
Meski berhubungan dengan REDD+, ketiga peraturan tersebut memiliki acuan
pembentukan yang berbeda. Dua peraturan yang pertama merupakan tindak lanjut dari keputusan
SBSTA dalam COP 13 di Bali yang mendorong penyelenggaraan berbagai demonstration
activities atau aktivitas uji coba, untuk menemukan metodologi REDD+ yang memadai. Di sisi
lain, menurut Nur Masripatin, anggota Pokja REDD Kementerian Kehutanan, kehadiran P.30
juga dipicu oleh semakin merajalelanya inisiatif REDD+ di daerah yang berpotensi
menggadaikan aset bangsa (baca: hutan) tanpa kendali memadai dari kerangka hukum yang ada.
Karena itu, Permenhut REDD+ dibentuk ala kadarnya agar bisa mengatur lalu lintas REDD+
yang terdiri dari berbagai warna proposal, baik skema sharing benefit, jangka waktu, bentuk
hubungan hukum, penyelesaian sengketa dan sebagainya.

Sementara itu, P.36 merupakan peraturan mengenai Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PJL)
berupa penyerapan karbon (carbon sequestration) dan penyimpanan karbon (carbon sink).
Konsep PJL itu sendiri sudah dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik
secara langsung maupun tidak. Beberapa contoh peraturan tentang pemanfaatan jasa lingkungan
bisa dilihat sebagai berikut :
UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal
34 ayat 3:
Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak
pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
dengan mengikut sertakan rakyat.
UU No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan Pasal 26 ayat 1:
Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
PP No. 6 tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
Perencanaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Pasal 1 angka 6:
Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa
lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.

Strategi Nasional REDD+


Menindak lanjuti LoI Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia, Presiden
membentuk Satuan Tugas REDD+ dengan membawa 10 kementerian dan lembaga lainnya ke
dalam proses koordinasi berdasarkan 4 bidang penting yaitu strategi dan perencanaan,
membangun institusi, implementasi taktis dan dukungan keseluruhan.

Pada Juni 2012, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ merumuskan Strategi
Nasional REDD+ yang memuat :
- Visi, Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Keterkaitan REDD+ dengan Program lain
- Kerangka dan Pilar-Pilar Strategi Nasional REDD+
- Pembangunan Sistem Kelembagaan REDD+
- Pengkajian Ulang dan penguatan kebijakan dan Peraturan
- Peluncuran Program-Program Strategis
- Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja
- Melibatkan para Pihak
- Arahan Pelaksanaan
- Fase-fase Pelaksanaan
- Pelaksanaan REDD+ di tingkat sub-Nasional (Provinsi Percontohan dan Pengembangan
Implementasi di Tingkat sub-Nasional)
- Penyusunan Rencana Aksi
- Penyusunan Rencana Bisnis
- Reformasi Kerangka Hukum
Visi, Misi, Tujuan, dan Ruang Lingkup REDD + di Indonesia
Visi :
Pengelolaan sumber daya alam hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan sebagai aset nasional
yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Misi :
- Mewujudkan visi pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan melalui tata kelola yang efektif
yang dicapai dengan :

- Memantapkan fungsi lembaga pengelolaan hutan dan lahan gambut


- Menyempurnakan peraturan/perundangan dan meningkatkan penegakan hukum
- Meningkatkan kapasitas pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan gambut Tujuan
- Tujuan Jangka Pendek (2012-2014)
Perbaikan kondisi tata kelola, kelembagaan, tata ruang dan iklim investasi secara strategis agar
dapat mencapai komitmen Indonesia dalam penurunan emisi dengan tetap menjaga pertumbuhan
ekonomi.
- Tujuan Jangka Menengah (2012-2020)
Pelaksanaan tata kelola sesuai kebijakan dan tata cara yang dibangun pada lembaga pengelolaan
hutan dan lahan gambut, serta pada ruang dan mekanisme keuangan yang telah ditetapkan dan
dikembangkan dalam tahap sebelumnya agar target-target penurunan emisi 26-41% pada tahun
2020 dapat dicapai.
- Tujuan Jangka Panjang (2012-2030)
Hutan dan lahan Indonesia menjadi net carbon sink pada tahun 2030 sebagai hasil pelaksanaan
kebijakan yang benar untuk keberlanjutan fungsi ekonomi dan jasa ekosistem dari hutan.

Ruang Lingkup REDD + di Indonesia


- Penurunan emisi dari deforestasi
- Penurunan emisi dari degradasi hutan/dan atau degradasi lahan gambut
- Pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon melalui :
- Konservasi hutan
- Pengelolaan hutan yang berkelanjutan (SFM)
- Rehabilitasi dan restorasi kawasan yang rusak

- Penciptaan manfaat tambahan bersama dengan peningkatan manfaat dari karbon melalui :
Peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal
Peningkatan kelestarian keanekaragaman hayati
Peningkatan kelestarian produksi jasa ekosistem lain
Secara hukum sesuai dengan pasal 1(b) dan 1(c) dari UU no 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, skema REDD+ dilaksanakan dalam kawasan lahan berhutan (termasuk hutan
mangrove) dan lahan bergambut di dalam kawasan hutan dan kawasan APL (Area Penggunaan
Lahan) di seluruh wilayah Indonesia baik yang sudah maupun belum tercatat dalam daftar hutan
Indonesia ketika Strategi Nasional REDD+. Sebagaimana gambar berikut:

Gambar : Ruang Lingkup Kegiatan REDD+ (NRDC-TNC, 2013)


(Sumber: Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat,2014)

Strategi nasional REDD+ dilaksanakan dengan berlandaskan pada lima pilar sebagaimana
Gambar , yaitu :
- Kelembagaan dan proses
- Hukum dan peraturan
- Program-program strategis

- Perubahan paradigma & budaya kerja


- Melibatkan para pihak

Gambar 9. Lima Pilar Strategi Nasional REDD+ di Indonesia(Sumber: Pengendalian


Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat,2014)

Sumber Pendanaan REDD +


Permenhut 30/2009 tidak menyebut secara tegas sumber pendanaan, tapi secara implisit
menggambarkan perdagangan sertifikat yang merupakan bagian dari skema pasar. Penyebutan
secara tegas muncul dalam Permenhut 36/2009, dimana sumber pendanaan adalah:
(1) Dana sendiri;
(2) Corporate Social responsibility (CSR),
(3) Dana hibah.
Dalam tulisannya berjudul Quo Vadis REDD di Indonesia, Steni (2009) menyatakan
bahwa skema sumber pendanaan REDD menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor No.
36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung agak membingungkan secara
hukum. Pertama, izin usaha karbon merupakan skema pemanfaatan jasa yang pasti mendapat
kontraprestasi atau keuntungan langsung. Dalam hal ini, penyebutan CSR sebagai sumber
pendanaan sangat berbeda dengan ketentuan mengenai fungsi CSR dalam UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam pasal 74 ayat (1) disebutkan bahwa Perseroan yang
menjalan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan. Selanjutnya dalam pasal 1 angka 3 menyebutkan tanggung jawab
sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat,
baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Secara konseptual dan sejarah CSR adalah investasi sosial untuk pemberdayaan
masyarakat, bukan investasi komersial. Sementara itu izin usaha karbon adalah investasi
komersial yang berusaha mencari keuntungan ekonomi langsung. Karena itu, menempatkan CSR

sebagai sumber pendanaan merupakan bentuk penyimpangan dari fungsi CSR. Seharusnya, CSR
dikembalikan ke mandatnya sebagai salah satu kontribusi perusahaan bagi pengembangan
kehidupan karyawan maupun komunitas di sekitar lokasi operasi perusahaan.
Logika yang sama berlaku untuk sumber pendanaan berupa hibah. Hakikat hibah adalah
fungsi sosial bukan komersial. Jika pemanfaatannya dipakai untuk tujuan menghasilkan sertifikat
karbon yang diperjualbelikan untuk mendapat untung maka fungsi sosial tersebut berubah total
menjadi komersial.
Jika dilihat ke belakang, disorientasi sumber pendanaan tampaknya bersumber dari
ketidaktegasan perbedaan antara sumber pendanaan yang berbasis pasar dan dana publik. Jika
skema pasar yang diterima maka secara etis komersialisasi akan dikategorikan sebagai kepatutan
karena arena pasar hakikatnya merupakan wilayah komersial terutama untuk tujuan privat.
Berbeda dengan dana publik yang memiliki fungsi mendukung kinerja untuk tujuan publik.
Dalam hal ini, dana hibah dan CSR yang memiliki fungsi publik tidak akan dibelokan untuk
tujuan privat-komersial tapi dikelola untuk kepentingan publik, antara lain kelestarian hutan dan
pemulihan fungsi ekologis.

4. Ruang Lingkup Moratorium


Inpres merupakan seperangkat perintah presiden kepada kementerian dan lembaga
pemerintahanlain yang terkait. Sebagai dokumen nonlegislatif, Inpres tidak memiliki
konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan. Inpres No. 10/2011 memberi perintah kepada tiga
menteri (Kehutanan, Dalam Negeri dan Lingkungan Hidup) dan kepala lima lembaga (Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pertanahan

Nasional, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
4

Nasional dan lembaga yang dibentuk untuk mengelola REDD+), serta para gubernur dan bupati.

Inpres ini menjelaskan tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga selama dua tahun
sejak dikeluarkannya Inpres.
Dua kementerian penting yang sangat terkait dengan deforestasi dan emisi berbasis lahan
tidak disebutkan dalam Inpres, yaitu: Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral. Kedua lembaga ini tidak dimasukkan dalam Inpres mungkin karena
terkait dengan peran mereka dalam program ketahanan pangan dan energi nasional. Pembatasan
penerapan moratorium pada kegiatan di sektor-sektor ini dapat melemahkan kemampuan
pemerintah untuk memenuhi tujuan Inpres itu sendiri, serta komitmen Presiden untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca.
Inpres ini berlaku bagi hutan alam primer dan lahan gambut. Istilah yang baru saja
diperkenalkan hutan alam primer dan bukan hutan alam, sebagaimana digunakan dalam LoI
telah ditafsirkan berbeda oleh berbagai pemangku kepentingan. Istilah baru dalam Inpres ini
menguatkan penafsiran bahwa sasaran moratorium hanya hutan yang tidak tersentuh, tidak
terkelola dan tidak terganggu. Sedangkan sebagian pihak menafsirkan bahwa LoI mencakup
kisaran hutan yang lebih luas. Penggunaan istilah hutan alam primer juga mempengaruhi ruang
lingkup moratorium karena tidak memasukkan hutan alam sekunder atau hutan bekas tebangan.
Perbedaannya besar sekali

sebagaimana diuraikan lebih lanjut di bawah ini, karena jika

4[9] Luas seluruh lahan berhutan di Indonesia pada tahun 2009 ialah 91,9 juta ha (paling sedikit 85,6 juta
ha lahan hutan negara dan 6,2 juta ha lahan untuk areal penggunaan lain, atau APL). Di antara luas ini,
hutan primer mencakup 45,2 juta ha. Banyak di antara hutan primer ini telah dilindungi oleh hokum yang
ada, yang selanjutnya mengurangi daerah tambahan yang dilindungi berdasarkan moratorium. Bahkan,
seandainya sekitar 46,7 juta ha hutan nonprimer telah dilindungi, daerah yang tercakup dalam moratorium
tersebut semestinya telah bertambah cukup besar.

menggunakan istilah hutan alam luas kawasan yang tercakup moratorium dapat mencapai dua
kali lipat, bergantung pada berapa bagian dari luas hutan ini yang telah diberi HPH[9].5
Namun demikian, teks tentang lahan gambut dalam Inpres ini menyiratkan bahwa

moratorium mencakup seluruh lahan gambut tanpa membedakan jenis, kedalaman, letak,
wilayah administrasi dan tingkat kerusakannya. Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Menteri
Pertanian (No. 14/Permentan/FL.110/2/2009), hanya lahan gambut dengan kedalaman lebih dari
3 m yang dilindungi dari konversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Gubernur dan bupati, yang menerbitkan izin pengembangan kelapa sawit, perlu
menafsirkan Inpres lebih bijaksana setelah sekian lama memegang peraturan menteri tersebut
sebagai acuan bahwa lahan yang tercakup moratorium adalah seluas 64 juta ha [10]. Kemudian
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa lahan yang tercakup kira-kira 72
juta ha, yang terdiri dari 55 juta ha hutan primer dan 17 juta ha lahan gambut yang jauh lebih
kecil dari pengumuman sebelumnya, 96 juta ha[11]. (Wells dan Paoli 2011).
Interpretasi independen secara digital terhadap PIPIB yang melampiri Inpres
menunjukkan bahwa moratorium mencakup luas yang tidak lebih dari 46 juta ha [12]. Sementara
itu analisis yang dilakukan terhadap PIPIB tersedia bagi umum pada tanggal 5 Agustus 2011
menunjukkan bahwa luas cakupan Inpres adalah 66,4 juta ha. Berbagai manfaat lingkungan yang
akan diperoleh dari moratorium diperkirakan lebih kecil daripada yang mungkin diharapkan.

5
6[10] The Jakarta Globe, 20 Mei 2011. SBY signs decree on 2-year deforestation moratorium; The Jakarta Post, 20
Mei 2011. Moratorium issued to protect primary forests, peatland.[11] The Jakarta Post, 5 Juli 2011. Govt reduces area
of forests protected by moratorium.
[12]
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/pak-presidensby-kami-akan-memberitahu-siapa-/blog/35150p.

Luas kawasan yang belum dilindungi masih sangat luas dan emisi yang dapat dihindari masih
terlalu kecil.

5. Kemungkinan Dampak Moratorium


a. Dampak Lingkungan
Lahan gambut mendapat perhatian khusus dalam moratorium karena peran pentingnya
dalam menyimpan karbon dan menyediakan jasa lingkungan lain, termasuk konservasi air
dan keanekaragaman hayati. Sesungguhnya, dampak lingkungan positif utama dari
moratorium adalah dari perlindungan tambahan yang diberikan kepada ekosistem ini.
Kepadatan karbon di lahan gambut berhutan dapat mencapai 5-10 kali lipat dibandingkan
dengan tanah mineral berhutan dalam satuan luas yang sama bergantung pada kedalaman
gambutnya. Oleh karena itu, melindungi lahan gambut merupakan upaya nyata dalam hal
pengurangan emisi dan manfaat lingkungan lainnya. Namun hanya 4,2 juta ha gambut
yang tercakup dalam moratorium masih berada di dalam tutupan hutan primer.
Bergantung pada pengendalian kebakaran hutan dan perubahan tata air dari lahan gambut
yang terganggu, emisi karbon dioksida (CO2) akan terus berlanjut sekalipun moratorium
membatasi kerusakan lebih jauh terhadap hutan yang tumbuh di atasnya. Oleh karena itu,
pelaksanaan moratorium dan revisi PIPIB semestinya mengutamakan perlindungan
terhadap hutan gambut dan lahan gambut bekas tebangan yang berada dalam kewenangan
Kementerian Kehutanan.
Laju deforestasi di lahan gambut berhutan selama 2000-2005 adalah sekitar 100 000 ha
per tahun. Sebagian besar gambut dalam yang telah gundul dan rusak terletak di Provinsi
Riau (Kementerian Kehutanan 2008). Kajian terbaru menunjukkan bahwa laju deforestasi
di hutan gambut di Asia Tenggara kepulauan (terutama Indonesia) selama 2000-2010

sebesar 2,2% per tahun, jauh lebih tinggi dari laju deforestasi tahunan di hutan hujan
dataran rendah sebesar 1,2% (Miettinen dkk. 2011).
Pengeringan lahan gambut dapat menyebabkan kubah gambut runtuh dan emisi gas
rumah kaca meningkat. Di daerah pesisir, runtuhnya gambut telah menyebabkan intrusi
air laut sehingga memaksa petani pindah dari lahan pertanian mereka (Joshi dkk. 2010).
Dampak langsung akibat kesalahan pengelolaan lahan gambut ini menimbulkan
tantangan baru dalam hal penghidupan masyarakat yang melampaui persoalan perubahan
iklim. Sehingga untuk mendukung pengelolaan lahan gambut yang berkesinambungan
diperlukan penyempurnaan tata kelola lahan gambut, termasuk memperjelas sistem
pemilikan atau penguasaan lahan, peningkatan kapasitas dan penegakan hukum.
b. Dampak Ekonomi
Pemegang HPH dan pengusaha perkebunan kelapa sawit khawatir bahwa moratorium
akan mengancam penyediaan lapangan kerja karena dapat mengganggu program peluasan
mereka. Keabsahan klaim seperti ini perlu dicermati. Menurut telaah Reuters,
perusahaan-perusahaan perkebunan besar kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia telah
melakukan peluasan dengan laju 10 000 ha per perusahaan per tahun (Koswanage dan
Taylor 2011). Bagi perusahaan-perusahaan ini, penguasaan lahan terkecil sekalipun cukup
bagi mereka untuk meneruskan peluasan selama dua tahun ke depan. Perusahaanperusahaan besar diduga telah menguasai lahan dalam jumlah yang cukup, dengan izin
ataupun izin prinsip sehingga masih memungkinkan mereka melakukan peluasan dengan
laju tersebut hingga jauh melampaui jangka waktu dua tahun moratorium. Jika temuan
dalam laporan Reuters benar, moratorium berdampak minimal terhadap lapangan kerja
yang berkaitan dengan peluasan kebun sawit.

Moratorium dua tahun justru dapat dimanfaatkan pengembang untuk menggeser kegiatan
mereka dari peluasan lahan produksi prioritas menjadi peningkatan produksi dari kebun
yang ada. Produktivitas per satuan luas pada kebanyakan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan potensinya. Rerata produktivitas minyak sawit
saat ini adalah 3,5 ton per ha, yaitu 40% lebih rendah daripada rerata produksi Malaysia
sebesar 6,4 ton per ha (KPPU 2007). Pilihan untuk meningkatkan produktivitas dapat
dibuat sambil memperbaiki prasarana, yang dengan sendirinya menciptakan lapangan
pekerjaan dan menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat setempat.
Perusahaan juga dapat merehabilitasi ekosistem pada hutan gambut yang terdegradasi dan
telah dikuasainya. Walaupun cadangan karbon di atas permukaan tanah di daerah ini
mungkin rendah, karbon di bawah tanahnya masih tinggi. Perusahaan-perusahaan ini
harus didorong untuk mengajukan izin baru bagi rehabilitasi ekosistem yang dikecualikan
dalam Inpres moratorium ini. Jika skema seperti ini baik secara ekonomis maka tidak
tertutup kemungkinan menarik investasi sektor swasta.

Gambar 3.9 Daerah Hutan Mortorium di Indonesia Tahun 2015


Sumber: Global Forest Watch, 27 Oktober 2015

6. Evaluasi Kebijakan Moratorium di Indonesia


Masa jeda tebang telah berjalan selama 3 tahun, namun dalam praktiknya pemerintah
gagal melindungi hutan Indonesia, bahkan sebalikya menggunakan moratorium sebagai
instrumen untuk melegalkan perusakan hutan dengan memberikan kemudahan izin konsesi
kehutanan. Hal tersebut mengakibatkan tekanan dan kerusakan pada hutan dan konflik semakin
luas.
Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan, di sisi lain memasukkan wilayah
kelola

masyarakat sebagai obyek moratorium serta membatasi hak-hak masyarakat dalam

mengelola hasil hutan. Sering kali ditemukan bahwa wilayah kelola masyarakat dimasukkan
dalam cakupan moratorium, sementara konsesi yang dimiliki korporasi dapat dengan mudah
keluar dan masuk dalam cakupan moratorium. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa kasus di
kabupaten Merauke dengan melihat pada PIPIB.
Sementara itu, kebakaran hutan yang seharusnya bisa diminimalkan ternyata malah
mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan di tahun 2014. Hingga Februari 2014, telah
terjadi kebakaran lahan gambut di Provinsi Riau seluas lebih dari 7.972 hektar dengan 1,089
titik api, di mana 414 titik (38,02%) terdapat di wilayah PIPIB revisi (Greenpeace, 2014).
Selain kebakaran hutan, alih fungsi kawasan hutan untuk alasan pembangunan
dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat adat/lokal juga terus terjadi di beberapa
tempat di Indonesia.
Ada banyak celah yang membuat moratorium menjadi tidak efektif dan sesuai dengan
apa yang diharapkan, di antaranya :
a. Pemberlakuan kebijakan jeda tebang semenjak awal terlalu banyak memberikan
ruang kompromi yang justru mengancam perlindungan hutan dan lahan gambut

Indonesia. Hal ini terlihat daribanyaknya pengecualian yang diatur dalam kebijakan
tersebut.
b. Kebijakan moratorium tidak menyentuh akar persoalan kehutanan dan tidak
implementatif.
c. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Satgas REDD+ dalam mengisi periode
moratorium lebih banyak berupa kajian, namun belum tercermin dalam kebijakan
formal yang memiliki landasan hukum kuat.
d. Terdapat beberapa capaian positif dalam upaya penyelamatan hutan seperti
penandatanganan MOU antar penegak hukum dan MoU antara BP REDD+ dengan
pemerintah daerah. Namun, hal tersebut kalah cepat dengan laju pelanggaran dan
perusakan hutan. Sebagai contoh, keberhasilan penegakan hukum pada kasus PT.
Kalista di Aceh, tidak diikuti oleh kasus Labora Sitorus di Papua Barat. Hal ini
menunjukkan masih lemahnya penegakan hukum dalam kasus perusakan hutan dan
lingkungan.
e. Mekanisme monitoring dan pengaduan terhadap pelanggaran izin tidak efektif
dan

tidak mudah dilaksanakan

masyarakat.

Mekanisme

ini

hanya

efektif

digunakan oleh instansi terkait dan perusahaan sehingga sebagian besar pengaduan
hanya berasal dari pihak perusahaan.

Moratorium yang efektif dapat memperbaiki proses pemberian izin dan perencanaan
penggunaan lahan yang mendukung target pembangunan ekonomi nasional dan menghormati
hak-hak masyarakat setempat. Diharapkan efek moratorium ini bisa dirasakan lebih dari dua
tahun.

Persepsi salah yang sering disebut dalam media adalah moratorium ini dibuat untuk
menghentikan semua penebangan hutan di Indonesia dan menghambat ekspansi industri-industri
seperti industri kelapa sawit, HTI, dan tambang. Namun, menurut isi dari kesepakatan IndonesiaNorwegia, moratorium ini adalah suspensi atas pemberian izin baru konversi hutan alam dan
lahan gambut.
Pencabutan izin-izin yang sudah dikeluarkan banyak di antaranya yang mungkin ilegal
sepertinya berada di luar rancangan moratorium ini. Selain itu, karena moratorium hanya
diberlakukan pada izin baru konversi hutan alam dan lahan gambut, kemungkinan besar
peraturan ini tidak mencakup izin penebangan pohon selektif (selective logging permits) atau izin
perkebunan kelapa sawit di daerah APL.
Jangka waktu dua tahun, di mana tidak ada izin baru konversi hutan, memberi
kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk mulai menjalankan kebijakan REDD+, seperti
memperbaiki perencanaan penggunaan lahan, mengkaji dan mencabut izin ilegal, mendorong
ekspansi perkebunan kelapa sawit yang berkesinambungan di lahan terdegredasi, dan
mengembangkan insentif untuk melakukan landswap untuk pembangunan antara daerah
berhutan dengan lahan yang tingkat karbonnya rendah.
Walaupun terbatas dalam hal waktu dan cakupan areal, moratorium ini berpotensi untuk
mendukung perbaikan tata kelola hutan, yang

merupakan penentu untuk mencapai

penguranganemisi berbasis lahan dalam jangka panjang.


Moratorium memberikan pesan yang jelas dan tegas mengenai pentingnya melindungi
lahan gambut khususnya; menerjemahkan pesan Inpres ini dalam bentuk tindakan nyata akan
mendorong pengurangan emisi dalam jumlah sangat besar. Namun demikian, Inpres ini tidak
menetapkan sanksi sehingga dalam pelaksanaannya masih tetap menghadapi tantangan.

Arah yang diberikan dalam Inpres untuk hutan nongambut dapat dikategorikan sebagai
kesempatan yang hilang. Revisi selama proses pelaksanaan masih memberi kesempatan kedua
untuk mengalihkan pembangunan ke luar dari lahan berkarbon tinggi, termasuk hutan sekunder
yang tidak dapat dikategorikan sebagai hutan alam primer, yang sejalan dengan strategi
pemerintah untuk kegiatan pembangunan beremisi rendah. Pemaduan rencana tata ruang pada
tingkat provinsi dan kabupaten untuk menghasilkan revisi PIPIB secara berkala akan menuntut
kepemimpinan yang tegas, keterbukaan dan pendekatan partisipatif.
Moratorium semestinya tidak dipandang sebagai tujuan untuk mencapai sasaran
pengurangan emisi seperti yang dicanangkan Presiden. Moratorium adalah alat untuk
menciptakan keadaan yang memungkinkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut, yang
diperlukan untuk menunjang strategi pembangunan berkarbon rendah dan keikutsertaan dalam
mekanisme global seperti REDD+ dalam jangka panjang. Moratorium dapat membuka jalan bagi
keberhasilan pembaruan kebijakan jauh melampaui masa berlakunya yang hanya dua tahun.

Anda mungkin juga menyukai