Anda di halaman 1dari 4

1. otak juga dapat menyebabkan perubahan kanal ion Tes Queckenstedt.

Tes Queckenstedt atau uji manometrik lumbal dapat dilakukan


dengan menekan vena jugularis eksterna pada masing-masing sisi leher
selama pungsi lumbal. Pada pemeriksaan queckendsted, jarum biasanya
dimasukan kedalam ruang subarkhnoid diantara tulang belakang daerah
lumbal ketiga dan keempat atau antara lumbal keempat dan kelima hingga
mencapai ruang subarachnoid dibawah medulla spinalis. Karena medula
spinalis membagi lagi dalam sebuah berkas saraf pada tulang belakang
bagian lumbal yang pertama maka jarum ditusukan di bawah tingkat
ketiga tulang belakang daerah lumbal , untuk mencegah medulla spinalis
tertusuk. Manometer dipasang diujung jarum via dua jalan sehingga cairan
serebrospinal memungkinkan mengalir ke manometer untuk mengetahui
tekanan intraspinal. Pada keadaan normal penekanan vena jugularis akan
meninggikan tekanan 10-20 cmH2O dan tekanan kembali ke asal dalam
waktu 10 detik. Bila ada penyumbatan, tak terlihat atau sedikit sekali
peninggian tekanan. Karena keadaan rongga kranium kaku, tekanan
intrakranial juga dapat meningkat, yang bisa disebabkan oleh karena
peningkatan volume dalam ruang kranial, peningkatan cairan serebrospinal
atau penurunan absorbsi, adanya masa intrakranial dan edema serebri.
Peninggian lambat dan turunnya tekanan merupakan indikasi adanya
hambatan sebagian karena penekanan sebuah lesi pada jalur subarkhnoid
spinal. Jika tidak ada perubahan tekanan merupakan indikasi adanya
hambatan total.
2. Perbedaan LCS pada meningitis bakteri, TB, dan virus
Penyakit meningitis memiliki berbagai jenis berdasarkan etiologi,
diantaraya adalah bakteri, virus dan tuberculosis (TB). Pada berbagai jenis
meningitis tersebut memiliki perbedaan pada pemeriksaan cairan
serebrospinal (LCS). Cairan serebrospinal normal hanya mengandung 0-5
leukosit/mm3. Pada pasien meningitis purulen (bakterial), dapat ditemukan
jumlah sel lebih dari 100-1000 leukosit/mm3. Jumlah sel lebih dari normal,
tapi kurang dari 100, dapat ditemukan pada meningitis viral. Penyebab
jumlah sel di cairan serebrospinal meningkat selain infeksi antara lain
penyakit keganasan, perdarahan intraserebral, dan setelah serangan kejang.
Dominasi sel netrofil atau sel polimorfonuklear (PMN) dapat ditemukan
pada meningitis bakterial stadium awal. Dominasi eosinofil cukup sering
berkaitan dengan meningitis atau ensefalitis oleh parasit. Sedangkan
dominasi limfosit-monosit (mononuklear / MN) ditemukan pada
meningitis viral, tuberkulosis, atau fungal. Protein pada cairan

serebrospinal normal mengandung 18-58 mg/dL protein. Peningkatan


protein dapat terjadi akibat infeksi, perdarahan, multiple sclerosis, dan
keganasan. Sedangkan protein yang rendah mungkin ditemukan pada bayi
atau anak berusia di bawah 2 tahun dan pada intoksikasi air.
Hipoproteinemia atau hipoalbuminemia tidak menyebabkan protein cairan
serebrospinal menurun. Glukosa pada cairan serebrospinal biasanya sama
dengan 2/3 kali glukosa darah orang yang bersangkutan 2-4 jam
sebelumnya. Satu-satunya penyebab peningkatan glukosa pada cairan
serebrospinal adalah diabetes melitus. Namun glukosa cairan dalam kasus
ini tidak pernah melebihi 300 mg/dL.
Penurunan glukosa cairan serebrospinal biasanya disebabkan infeksi.
Infeksi bakteri menyebabkan glukosa turun sampai sangat rendah, namun
infeksi virus yang hanya menyebabkan glukosa turun sedikit. Pemeriksaan
ini tidak selalu sensitif menyingkirkan infeksi karena 50% pasien
meningitis menunjukkan kadar glukosa cairan serebrospinal normal. Untuk
menyingkirkan atau mengkonfirmasi diagnosis infeksi, baik ensefalitis
maupun meningitis, dapat dilakukan kultur cairan serebrospinal terhadap
beberapa mikroorganisme. Mikroorganisme yang dimaksud antara lain
pneumococcus, meningococcus, Haemophilus influenza (bakteri),
Enterovirus (virus), Mycobacterium tuberculosis (tuberkulosis), dan
Cryptococcus neoformans (fungal). Dalam kasus tertentu mungkin juga
perlu diperiksa kemungkinan toksoplasmosis. Perbandingan hasil analisis
cairan serebrospinal pada meningitis dari berbagai penyebab dapat dilihat
pada tabel berikut:

Makroskopik
Protein
Glukosa
Chlorida
Sel
WBC
Kultur virus
Kultur bakteri

Bakteri
Purulenta
Tinggi
Sangat rendah
Rendah
PMN
1000 per mm3
(-)
(+) 90%

TB
Serosa
Sangat Tinggi
Rendah
Sangat rendah
Pleositosis
Tak tetap
(-)
(-)

Virus
Serosa
Agak tinggi
Normal
Normal
Limfosit
<100 per mm3
(+) 70%
(-)

3. Mekanisme meningitis menyebabkan terjadinya epilepsi, SIADH, retardasi


mental

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen (antara


selaput arachnoid dan piamater). Meningitis dimulai sebagai infeksi dari
orofaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak
dan medula spinalis bagian atas. Faktor predisposisi mencakup infeksi
jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan
hemoglobinopatis lain, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Adanya
cedera primer pada kepala akibat infeksi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya gliosis (jaringan parut), terjadinya kematian sel saraf, dan
pertumbuhan baru mossy fiber (akson sel granular), hal ini akan
menginduksi keluarnya mediator inflamasi seperti sitokin dan growth
factor. Reaksi radang di dalam meningen dan dibawah korteks tersebut
dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan
serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen,
vaskulitis dan hipoperfusi. Pada korteks serebral mengatur fungsi kognitif
manusia. Akibat inflamasi yang terjadi pada meningitis tersebut
menyebabkan gangguan fungsi kognitif pada manusia sehingga dapat
menimbulkan retardasi mental.
Eksudat yang terbentuk dari keluarnya mediator inflamasi dapat
menyebar pada beberapa bagian otak dan medula spinalis. Pada hipofisis
bagian posterior yang berfungsi menghasilkan hormon anti diuretik
(ADH). ADH adalah hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus dan
disekresi kedalam sirkulasi umum oleh kelenjar hifofisis posterior. Pada
meningitis dapat terjadi gangguan pada hipofisis bagian posterior sehingga
tidak dapat menghasilkan ADH. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya
SIADH.
Munculnya gliosis (jaringan parut), terjadinya kematian sel saraf,
dan pertumbuhan baru mossy fiber (akson sel granular) akan memicu
mediator inflamasi dari proses terjadinya radang selaput otak dan dapat
membentuk reseptor membentuk kontralateral baru, menginervasi dendrit
proksimal lapisan sel granular, lapisan molekular dalam girus dendriatus,
sel neuron inhibitorik. Hal ini dapat menyebabkan perubahan kanal ion
sehingga dapat mengganggu impuls elektrik, kemudian terjadi
hiperpolarisasi sel saraf yang pada akhirnya akan memicu terjadinya
kejang maupun epilepsi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wibisono, Yusuf. Status Migren. Dalam: Basuki, A., & Dian, S. 2009.
Kegawatdaruratan Neurologi. Bandung: Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD.
2. Prof.DR. Mahar Marjono & Prof .DR. Priguna Shidharta. 2008. Neurologi
Klinis Dasar, Edisi 12. Jakarta: Dian Rakyat.
3. Raka Sudewi dkk. 2011. Infeksi pada Sistem Saraf. Surabaya: Airlangga
University Press.
4. Sudoyo, Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5 Jakarta: Interna
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai