Anda di halaman 1dari 4

Meninjau Farmasi dari Kacamata Filsafati

-Raditya Weka Nugraheni*Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang komprehensif yang


berusaha
memahami
persoalan-persoalan yang timbul di dalam
keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian filsafat
dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaanpertanyaan
yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia, termasuk
masalah kehidupan dalam bidang pendidikan. Jawaban hasil pemikiran
filsafat bersifat sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Filsafat
dalam
mencari
jawaban
dilakukan
dengan cara ilmiah, objektif,
memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi
manusia (Jalaludin, 2007).
Pada
prinsipnya
filsafat
menempatkan
sesuatu
berdasarkan
kemampuan daya nalar manusia. Kebenaran dalam konteks filsafat adalah
kebenaran yang tergantung sepenuhnya pada kemampuan daya nalar
manusia.
Kemampuan berpikir atau bernalar merupakan satu bentuk
kegiatan akal manusia melalui pengetahuan yang diterima melalui
panca indera, diolah dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran.
Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam
bidang ontologi, epistemologi dan aksiologi (Jalaludin, 2007). Ontologi
seringkali diidentifikasikan dengan metafisika, yang juga disebut dengan
proto-filsafat atau filsafat yang pertama. Persoalan tentang ontologi
menjadi pembahasan yang utama dalam bidang filsafat, yang
membahas tentang realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya
menjurus pada sesuatu kebenaran. Realitas dalam ontologi ini melahirkan
pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya hakikat realitas yang ada
ini?;
Menilai farmasi dari kacamata ontologis, tentu harus kembali kepada
definisi farmasi itu sendiri. Definisi farmasi dari berbagai pustaka
diantaranya adalah: Pharmacy is the art, practice, or profession of
preparing, preserving, compounding, and dispensing medical drugs
(Merriam Webster Dictionary). Farmasi ialah seni, praktik, atau profesi dalam
hal penyiapan, pengawetan, peracikan, dan penyerahan obat-obat medis.
Dalam Remington disebutkan bahwa: Pharmacy is the science, art, and
practice of preparing, preserving, compounding, and dispensing medicinal
drugs and giving instructions for their use (Allen, 2006). Farmasi adalah
sains, seni, dan praktik dalam penyiapan, pengawetan, peracikan, dan
penyerahan obat, serta pemberian instruksi untuk penggunaannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa aspek penting


yang membangun farmasi adalah art (seni), practice (praktik), science
(sains), dan profession (profesi) tentang segala hal yang berkaitan dengan
obat mulai penyiapan hingga sampai ke tangan pasien plus informasi
penggunaannya. Keempat hal ini bukanlah entitas yang terpisah. Sebagai
contoh, praktik profesi farmasi senantiasa akan dilandasi oleh science dan
art. Tidak mungkin seorang apoteker menjalankan praktik profesinya tanpa
dasar ilmu pengetahuan yang mantap. Hal ini sejatinya telah tercermin
dalam ungkapan pendek m.f.l.a., misce fac lege artis. Seorang praktisi
maupun akademisi farmasi memerlukan proses yang teramat panjang untuk
mencapai frase lege artis, with the law of arts.
Selanjutnya adalah tinjauan dari aspek epistemologi. Epistemologi
adalah nama lain dari logika material atau logika mayor yang
membahas dari isi pikiran manusia, yaitu pengetahuan. Epistemologi
merupakan studi tentang pengetahuan, bagaimana mengetahui bendabenda. Pengetahuan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti: cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan
jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan
manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda
hingga akhirnya diketahui manusia.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang
justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Menurut AR Lacey,
untuk menemukan kebenaran dilakukan hal berikut antara lain (1)
Menemukan kebenaran dari masalah; (2) Pengamatan dan teori untuk
menemukan kebenaran; (3) Pengamatan dan eksperimen untuk menemukan
kebenaran; (4) Falsification atau operasionalism (experimental operation,
operation research); (5) Konfirmasi kemungkinan untuk menemukan
kebenaran;
(6)
Metode
hipotetico

deduktif;
(7)Induksi
dan
presupposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta.
Farmasi berkembang melalui pengematan dan eksperimen. Kebenaran
ilmiah dalam ilmu farmasi dihasilkan dari hasil pengamatan berulang-ulang
dan pembuktian sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. Berbagai hasil
penelitian menyokong perkembangan ilmu farmasi membentuk bangunan
utuh dari ilmu farmasi.
Sementara itu, aksiologi adalah bidang yang menyelidiki nilai-nilai
(value). Pertanyaan yang berkaitan dengan aksiologi adalah apakah yang
baik atau bagus? (Jalaludin, 2007). Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu
yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang secara
harfiah berarti teori tentang nilai. Aksiologi menjawab pertanyaan-

pertanyaan berikut (1) Untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? (2)
Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral?
(3) Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? (4) Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan normanorma moral dan professional? (filsafat etika).
Dari sudut pandang aksiologi, farmasi sebagai suatu ilmu pengetahuan
memiliki manfaat yang sangat besar dalam kehidupan manusia karena
farmasi merupakan cabang dari ilmu-ilmu medis dan kesehatan. Dapat
dibayangkan betapa besar kerugian yang akan diderita manusia bila ilmu
farmasi tidak berkembang. Contoh yang sangat memorable dalam catatan
sejarah adalah penemuan penisilin oleh Alexander Fleming pada tahun 1928.
Antibiotika pertama dalam sejarah yang secara fenomenal menjadi titik balik
sejarah manusia, ketika pada akhirnya dokter memiliki obat untuk infeksi
mematikan kala itu (Markel, 2013) Penisilin dengan segala sifat
fisikokimianya yang tidak stabil, sukar diabsorbsi, dan bahkan di kemudian
hari menimbulkan resistensi mikroba terhadap antibiotik, justru menjadi
pemicu utama dalam pengembangan derivate-derivat antibiotika lain yang
hari ini dapat kita lihat berjajar rapi di rak-rak penyimpanan apotek.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tidak jarang akan terjadi
gesekan atau bahkan tabrakan dengan nilai-nilai moral dan etika yang
berlaku di masyarakat. Sebagai contoh yang paling umum adalah
penggunaan hewan coba dalam berbagai eksperimen. Dalam proses drug
discovery, pastilah harus dilakukan suatu uji pre-klinis terhadap hewan coba.
Tujuan utamanya adalah untuk menguji keamanan suatu obat baru sebelum
diberikan kepada manusia serta melihat korelasi invitro-invivo obat tersebut.
Maka, agar tidak terjadi pembunuhan yang serampangan terhadap hewan,
suatu protocol uji pre-klinis harus lolos uji etik (ethical clearance) sebelum
diterapkan pada hewan. Bahkan proses pembunuhannya pun harus
manusiawi tanpa menyakiti hewan coba tersebut. Usaha ini dilakukan agar
ilmu pengetahuan berkembang dengan tetap mengindahkan nilai moral dan
etis.
Referensi:
Markel, Howard. 2013. The Real Story behind the worlds first
antibiotic. diakses online pada
http://www.pbs.org/newshour/rundown/the-real-story-behind-the-worldsfirst-antibiotic/
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.

Allen, Loyd V. 2006. Extemporanous Prescription Compounding. In


Remington: The Science and Practice of Pharmacy. Lippincott Williams &
Wilkins.

Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar,


Jakarta: Indeks.

*Penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Farmasi Universitas Airlangga


dengan Nomor induk mahasiswa 051514153014

Anda mungkin juga menyukai