Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

INFEKSI TORCH

Pembimbing:

Dr. Neza Puspita, Sp.OG


Oleh :

Lady Citra K.S.M


030.07.136
KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT OTORITA BATAM
PERIODE 8 OKTOBER 15 DESEMBER 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

LEMBAR PENGESAHAN
1

Referat dengan judul:


Telah diterima dan disahkan oleh :
Dr. Neza Puspita, Sp.OG

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan & Kandungan


Di Rumah Sakit Otorita Batam
Periode 8 Oktober 15 Desember 2012

Batam, November
Pembimbing:

( Dr. Neza Puspita, Sp.OG)

BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi dalam kehamilan adalah infeksi yang terjadi saat kehamilan berlangsung,
bisa didapatkan saat sebelum kehamilan terjadi atau didapatkan saat kehamilan. Besarnya
pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi agennya, umur kehamilan serta
imunitas ibu bersangkutan saat infeksi berlangsung. Dampak terhadap janin bisa berbeda
bila kuman penyakit masuk ditrimester yang berbeda pula .Ibu hamil dengan janin yang
dikandungnya sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya
meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak pada janin
dengan akibat antara lain abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam
kandungan, serta cacat bawaan. Kebanyakan penyakit infeksi diperparah dengan
terjadinya kehamilan. Dan ada pula Penyakit yang nampaknya tidak terlalu mengancam
jiwa ibu hamil bahkan tidak nampak gejala tetapi bisa membahayakan terhadap janin.
Penyakit-penyakit intrauterin yang sering menyebabkan dampak yang berbahaya pada
janin yaitu Penyakit TORCH merupakan singkatan dari T = Toksoplasmosis; R = Rubela
(campak Jerman); C = Cytomegalovirus; H = Herpes simpleks.1,3
Penyakit infeksi dalam kehamilan akan dibagi dalam penyakit akibat hubungan
seksual, dan penyakit lainnya terdiri dari infeksi oleh bakteri, virus serat infeksi parasit
dalam kehamilan. Infeksi dalam kehamilan berdampak pada janin bisa berasal dari infeksi
tersebut saat janin didalam kandungan atau saat janin setelah dilahirkan pervaginam
karena kontak langsung dengan tempat yang terinfeksi.1,3
Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat pada masa perinatal
yang berakibat sangat berat pada janin maupun bayi, bahkan mengakibatkan kematian
sehingga diperlukan diagnosa yang cepat dan tindakan pengobatan serta pencegahan baik
yang dapat dilakukan oleh wanita hamil, suami, keluarganya maupun dari pemerintah
sehingga diharapkan menurunkan angka kematian ibu maupun bayi.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toksoplasmosis
DEFINISI
Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasmosis Gondii. Yang
merupakan parasit penyebab penyakit pada manusia dan binatang.

Pada manusia

khususnya bayi dan anak-anak, dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan.


EPIDEMIOLOGY
Angka kejadian Toxoplasmosis di berbagai negara berbeda-beda dan lebih sering
ditemukan didaerah dataran rendah dengan kelembapan udara yang tinggi.
Insiden penyakit ini, dilaporkan di berbagai Negara cukup tinggi dan ada
hubungannya dengan pola makanan serta adanya hospes definitive. Namun, di Indonesia
khususnya belum ada angka pasti, dan beberapa hewan sudah banyak dilaporkan.
Sebagian besar penyakit ini asimtomatik dan bila ada, gejalanya sama dengan penyakit
lain sehingga diagnosis serologis sering dipakai sebagai patokan diagnosis penyakit ini.3
ETIOLOGI
Toxoplasma gondii, suatu protozoa intraseluler obligat. Takizoitnya oval atau
seperti bulan sabit, bermultiplikasi hanya dalam sel hidup, dan berukuran 2-4 x 4-7 m.
Kista jaringan, yang berdiameter 10-100 m, dapat mengandung beribu-ribu parasit dan
menetap dalam jaringan, terutama SSS dan otot skelet serta otot jantung, sepanjang umur
hospes tersebut.1-3
Cara Penularannya
Cara penularan dapat terjadi melalui beberapa jalur :
1. Transmisi congenital
Infeksi pada pada plasenta dipengaruhi boleh saat terjadinya infeksi pada
neonatus. Namun hanya 30% infeksi terjadi pada bayi dari ibu yang terinfeksi
saat kehamilan. Transmisi infeksi congenital sebagian besar (65%) terjadi pada
trismester ketiga dan makin muda usia kehamilan makin besar resiko terjadi
kelainan yang berat bahkan kadang-kadang berakhir dengan abortus.3 Seorang
ibu sering kali tidak mengetahui mendapat infeksi toxoplasma pada saat
4

kehamilan, walaupun kadang-kadang masih dapat ditemukan pembesaran


kelenjar servikal pada saat melahirkan.4
2. Transmisi melalui makanan
Transmisi kemungkinan besar melalui daging yang mengandung kista.
Transmisi melalui daging yang tidak atau kurang matang bukan merupakan
jalur penularan yang penting dibandingkan dengan penularan melalui makanan
yang tercemar kista dari tinja kucing.3,4
3. Melalui transfusi darah
Toxoplasma dapat ditemukan dalam darah donor yang asimtomatik dan parasit
ini dapat hidup dalam darah lengkap dengan sitrat pada suhu 30 C selama 50
hari. Penularan lain juga dapat terjadi melalui petugas laboratorium yang
bertgas memelihara binatang, dan alat suntik yang terkontaminasi..3,4
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis toxoplasmosis dibagi menjadi 2 bentuk :
1. Toksoplasmosis Kongenital
Diagnosis dapat dicurigai bila ditemukan gambaran klinis berupa, hidrosefalus,
korioretinitis dan kalsifikasi serebral (sindrom sabin). Namun, diagnosis sering sukar
ditegakkan karena 60% bayi lahir tidak menunjukkan gejala dan tanda klinis sehingga ada
yang membagi toxoplasmosis kongenital menjadi 4 bentuk: 3
1. Bayi lahir dengan gejala
2. Gejala timbul dalam bulan-bulan pertama
3. Gejala sisa atau relaps penyakit yang tidak terdiagnosis selama masa
kanak-kanak
4. infeksi subklinis

Sekitar 50% wanita yang tidak di obati yang mendapat infeksi selama kehamilan
menularkan parasit pada janinnya; insiden penularan paling sedikit pada awal kehamilan
5

dan paling besar pada kehamilan akhir, dan makin awal infeksi yang didapat oleh janin
pada kehamilan, makin lebih mungkin menimbulkan manifestasi janin yang berat. Tandatanda dan gejala-gejala yang terkait dengan infeksi Toxoplasma didapat akut pada wanita
hamil adalah sama seperti tanda-tanda dan gejala-gejala yang ditemukan pada anak yang
secara imunologis normal, paling sering adalah limfadenopati. Infeksi kongenital dapat
juga ditularkan oleh wanita asimtomatik dengan imunosupresi (misalnya, mereka yang
diobati dengan kortikoseroid dan mereka yang dengan infeksi HIV).1
2. Toxoplasmosis Akuisita
Hanya 10-20% dari infeksi akut toxoplasmosis memberikan gejala klinik.
Limfadenopati merupakan gejala klinis yang paling sering dijumpai, yaitu 90% kasus dan
biasanya tanpa disertai febris. Limfadenopati yang paling sering terdapat di daerah
servikalis. Pembesaran kelenjar dapat tunggal atau ganda serta dapat simtomatik atau
asimtomatik.
Pembesaran kelenjar disertai demam terjadi pada 40% kasus, hepatomegali 33%,
dan nyeri tenggorokan 20%. Penulis lain mengatakan bahwa gejala utama adalah demam
40%, mialgia 40%, dan rash makulopapular 10%. Gejala lain yang dapat ditemukan
adalah malaise, kelelahan, splenomegali, limfosit atipikal serta peningkatan enim hati.
Toxoplasmosis serebrospinal lebih banyak terjadi pada anak daripada orang
dewasa. Gambaran klinis yang bisa ditemukan ialah korioretinitis, pneumonitis,
miokarditis, pericardial effusion, hepatitis dan polioneuritis.
Spectrum klinis dan riwayat kelainan alamiah toksoplasmosis congenital yang
tidak di obati, yang secara klinis tampak pada tahun pertama, 80%

dari anak ini

mempunyai IQ kurang dari 70, dan banyak yang menderita kejang-kejang serta
penglihatan yang terganggu berat.
a. Kulit

Manifestasi kulit pada bayi dengan toksoplasmosis congenital meliputi petekie,


ekimosis, atau pendarahan luas akibat trombositopenia, dan ruam. Ruam mungkin
merupakan bintik-bintik halus ; makulopapular difus ; lentikuler, macula merah-kebiruan
tua, berbatas tegas ; dan papula biru difus.
Ruam makuler mengakibatkan seluruh tubuh, termasuk telapak tangan dan telapak
kaki. Ikterus karena keterlibatan hati dengan T. gondii dan/atau hemolisis, sianosis karena
pneumonitis interstisial akibat infeksi kogenital ini, dan edema akibat miokarditis atau
sindrom nefrotik mungkin ditemui. Ikterus dan hiperbilirubinemia terkonjugasi dapat
menetap selam berbulan-bulan.
b. Tanda-tanda sistemik
Dua puluh lima hingga lebih dari 50% bayi dengan penyakit yang tampak secara
klinis pada saat lahir, dilahirkan secara premature. Skor apgar rendah juga biasa.
Retardasi pertumbuhan intrauterine dan ketidakstabilan pengaturan suhu dapat terjadi.
Manifestasi sistemik lain meliputi limfadenopati ; hepatosplenomegali ; tanda-tanda
miokarditis, pneumonitis, dan sindrom nefrotik ; muntah ; diare ; dan masalah makan.
c. Kelainan endokrin
Kelainan endokrin dapat terjadi akibat keterlibatan hypothalamus atau pituitary
atau keterlibatan organ akhir (end-organ). Yang berikut ini telah dilaporkan. Miksedema,
hipernatremia persisten dengan diabetes insipidus vasopressin-sensitif tanpa poliuria dan
polidipsia, seksual prekoks, dan hipopituitarisme anterior sebagian.
d. Sistem saraf sentral
Manifestasi neurologis toksoplasmosis congenital bervariasi dari ensefalopati
masih akut ke sindrom neurologis yang tidak kentara. Toxoplasmosis harus dipikirkan
sebagai penyebab setiap penyakit neurologis yang tidak terdiagnosis pada anak dibawah
umur 1 tahun, terutama jika ada lesi retina.
Hidrosefalus mungkin merupakan satu-satunya manifestasi neurologist klinis
toksoplasmosis congenital dan mungkin terkompensasi atau memerlukan koreksi dengan
pemasangan shunt. Hidrosefalus mungkin muncul pada masa perinatal, berkembang
sesudah masa perinatal, atau jarang, muncul dikemudian hari. Pola kejang-kejang
berubah-ubah (protean) dan meliputi kejang motorik fokal, kejang-kejang petit mal dan
grand mal, otot menyentak-nyentak (twitching), opistotonus dan hipsaritmia (yang dapat
sembuh dengan terapi hormon adrenokortikotropik {ACTH}). Keterlibatan spinal
mungkin dimanifestasikan oleh paralysis tungkai, kesukaran dalam menelan, dan distress
pernapasan. Mikrosefali biasanya menggambarkan kerusakan otak yang berat, tetapi
7

beberapa anak dengan mikrosefali karena toksoplamisis congenital yang telah diobati
tampak berfungsi secara normal pada umur tahun-tahun pertama toksoplamisis congenital
yang tidak diobati yang bergejala pada umur 1 tahun, dapat menyebabkan pengurangan
yang banyak pada fungsi kognitif dan keterlambatan perkembangan. Gangguan
intelektual juga terjadi pada beberapa anak dengan infeksi subklinis walaupun dilakukan
pengobatan dengan primentamin dan sulfonamid selama 1 bulan. Kejang-kejang dan
cacat motorik fokal dapat menjadi nyata setelah masa neonatus, walaupun infeksi pada
saat lahir subklinis.
Kelainan cairan serebrospinal (CSS) terjadi pada sekurang-kurangnya sepertiga
bayi dengan toksoplamisis congenital. Produksi local antibody spesifik T. gondii dapat
ditunjukan pada cairan CSS individu dengan infeksi congenital. CT scan otak yang
diperkuat dengan kontras berguna untuk mendeteksi kalsifikasi, menentukan ukuran
ventrikel, mencitra lesi radang aktif, dan menggambarkan struktur kistik porensefalik
(Gb. 244-3). Kalsifikasi terjadi diseluruh otak, tetapi tampaknya terdapat kecenderungan
khusus perkembangan lesi demikian pada nucleus kaudatus (yaitu, terutama area ganglia
basalis), pleksus koroid dan subependim. Ultrasonografi mungkin berguna untuk
memantau ukuran vertikel pada bayi dengan infeksi congenital. Pencitraan resonansi
magnetk (MRI), CT dengan penguatan kontras, dan skenradionukleotid otak dapat
berguna untuk mendeteksi lesi radang aktif.
e. Mata
Hampir pada semua individu dengan infeksi congenital yang tidak di obati akan
berkembang lesi korioretina pada masa dewasa, dan sekitar 50% akan menderita
gangguan penglihatan berat T. gondii menyebabkan retinitis nekrotisasi setempat pada
individu dengan infeksi congenital. Kontraktur dapat terjadi dengan pelepasan retina.
Setiap bagian retina dapat terlibat, unilateral atau bilateral, termasuk macula. Saraf
optikus mungkin terlibat, dan lesi toksoplasma yang melibatkan proyeksi jalur visual
dalam otak atau korteks visual juga menyebabkan gangguan penglihatan. Dalam
kaitannya dengan lesi retina dan vitritis, uvea anterior dapat sangat meradang,
menyebabkan eritema pada mata luar. Penemuan okuler lain meliputi sel dan protein
dalam ruangan anterior (kamera okuli anterior), endapan keratin luas, sinekia posterior,
nodulus pada irisdan pembentukan neovaskuler pada permukaan iris, kadang-kadang
disertai dengan kenaikan tekanan intraokuler dan perkembangan glaucoma. Otot-otot
ekstraokuler dapat juga terlihat secara langsung, bermanifetasi sebagai strabismus,
nistagmus, gangguan visus, dan mikro oftalmia.
8

f. Telinga
Kehilangan pendengaran sensorineural, baik ringan maupun berat, dapat terjadi.
Belum diketahui apakah keadaan ini merupakan gangguan statis atau progresif.

DIAGNOSIS
Toxoplasmosis congenital harus dicurigai pada bayi baru lahir dengan
hidrosefalus atau mikrosefalus, korioretinitis dan adanya focus kalsifikasi intra serebral
pada gambaran radiology. Pada anak yang lebih besar, gangguan penglihatan atau
kebutaan karena korioretinitis, retardasi mental dengan atau tanpa hidrosefalus juga harus
dicurigai.
Untuk mendapatkan diagnosis pasti dapat digunakan beberapa cara sebagai berikut :
1. Pemeriksaan langsung tropozoit atau kista
2. isolasi parasit
3. Biopsi kelenjar
4. Pemeriksaan serologis
5. Pemeriksaan radiologist
Diagnosis infeksi Toxoplasma akut dapat dibuat dengan isolasi T. gondii dari
darah atau cairan tubuh dan juga dengan gambaran takizoit pada potongan atau preparat
jaringan dan cairan tubuh, kista pada plasenta atau jaringan janin atau neonatus, dan
histologi limfonodi yang khas. Uji serologis juga amat berguna untuk diagnosis. CSS
sering abnormal pada bayi dengan Toxoplasmasmosis congenital.
T. gondii dapat juga diisolasikan dengan biakan jaringan. Pada pemeriksaan
mikroskop, plak pada preparat ini ditemukan berisi sel nekrosis, terinfeksi berat dengan
banyak takizoit straseluler. Isolasi T. gondii dari darah atau dari cairan tubuh
menggambarkan infeksi akut, kecuali pada janin atau neonatus, biasanya tidak mungkin
memperagakan infeksi akut dengan isolasi T. gondii dari jaringan seperti otot rangka,
paruh-paruh, otak, atau mata yang diperoleh melalui biopsy atau pada saat autopsy.
Pemeriksaan Serologis
1. Uji pewarnaan Sabin Feldman adalah sensitive dan spesifik. Uji ini terutama
mengukur antibody IgG. Hasilnya harus dinyatakan dalam Unit Internasional (UI /
mL), hal ini didasarkan pada rujukan standar internasional serum dari Organisasi
Kesehatan Sedunia (WHO). Tidak dipakai lagi karena pelaksanaannya sulit.
9

2. Uji antibody fluoresens IgG (IgG IFA) mengukur antibody yang sama seperti pada
uji pewarnaan, dan titernya cenderung parallel. Anti body ini biasanya tampak 1-2
minggu sesudah infeksi, mencapai titer tinggi (>1:1000) sesudah 6-8 minggu, dan
kemudian menurun dalam waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Titer rendah
(1:4 sampai 1:64) biasanya menetap seumur hidup. Titer antibody tidak berkorelasi
dengan keparahan penyakit. Kira-kira setengah dari kit IFA (yang telah di uji) yang
ada dipasaran ditemukan telah distandarisasi secara tidak tepat dan dapat
menghasilkan angka-angka hasil positif palsu & negative palsu.
3. Uji aglutinasi ( Bio Merieux, Lyon, Prancis ) tersedia di pasaran Eropa (misalnya,
formalin, preserved whole parasite digunakan untuk mendeteksi IgG). Uji ini tepat,
sederhana untuk dilakukan, dan tidak mahal.
4. Uji antibody fluoresens IgM ( IgM IFA ) berguna untuk diagnosis infeksi T. gondii
akut pada anak yang lebih tua karena antibody IgM tampak lebih awal ( sering pada 5
hari sesudah infeksi) dan menghilang lebih cepat dari pada antibody IgG. Pada
kebnyakan keadaan, uji antibody IgM IFA naik dengan cepat ( sampai ke kadar 1:50
sampai >1:1000) dan turun sampai titer rendah (1:10 atau 1:20) atau menghilang
dalam waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Namun pada beberapa
penderita, antibody IgM tetap positif pada titer rendah selama beberapa tahun. Uji
IgM IFA mendeteksi IgM spesifik Toxoplasma kurang lebih hanya pada 25% bayi
yang terinfeksi secara congenital pada saat lahir. Antibody IgM juga sering tidak
ditemui dalam serum penderita imunodefisiensi dengan toksoplasmosis akut atau pada
kebanyakan penderita dengan toksoplasmosis aktif yang hanya ada dimata. Baik uji
IgG IFA maupun IgM IFA dapat menunjukan hasil positif palsu yang disebabkan
oleh factor rheumatoid.
5. Double sandwich enzyme linked immunosorbent assay (ELISA IgM) lebih
sensitive dan spesifik dari pada uji IgM IFA untuk deteksi antibody IgM
Toxoplasma. Pada anak yang lebih tua, kadar antibody IgM terhadap Toxoplasma
dalam serum 1,7 atau lebih besar ( nilai dari salah satu labolatorium rujukan ; setiap
labolatorium harus menegakan nilainya sendiri) menunjukan bahwa kemungkinan
orang itu baru saja mendapat infeksi toxoplasma. ELISA IgM mendeteksi sekitar
75% bayi dengan infeksi congenital. ELISA IgM menghindarkan terjadinya, baik
hasil positif palsu karena factor rematuid yang dihasilkan oleh bayi yang tidak
terinfeksidalam rahim maupun hasil negative palsu karma tingginya kadar antibody

10

IgG ibu yang dipindahkan secara pasif pada serum janin, seperti yang terjadi pada uji
IgM IFA.
6. Reaksi rantai polymerase (PCR) digunakan untuk memperbesar DNA T. gondii, yang
kemudian dapat di deteksi dengan menggunakan probe DNA. Deteksi gen T. gondii
repetitif, yaitu gen B1, pada cairan amnion terutama berguna untuk menegakan
diagnosis infeksi Toxoplasma congenital pada janin. Sensitivitas dan spesifitas uji ini
dengan menggunakan cairan amnion yang diambil pada kehamilan > 18 minggu
mendeteksi 100%. Pada pemeriksaan ini penderita korioretinitis akibat toxoplasmosis
biasanya terdapat titer IgG yang rendah dan IgM yang negative. Dengan pemeriksaan
ini PCR, titer antibody rendahpun dapat dideteksi.
Pemeriksaan Radiologis
Kalsifikasi serebral merupakan salah satu tanda toxoplasmosis congenital.
Gambaran ini dapat noduler atau linier. Pemeriksaan CT scan akan lebih jelas
menunjukkan tingkat beratnya kerusakan terjadi
PENCEGAHAN
Pencegahan terutama untuk ibu hamil, yaitu dengan cara :

Mencegah terjadinya infeksi primer pada ibu-ibu hamil


-

Memasak daging sampai 60 C

Jangan menyentuh mukosa mulut bila sedang memegang daging


mentah

Mencuci buah ayau sayur sebelum dimakan

Kebersihan dapur

Cegah kontak dengan kotoran kucing

Siram bekas piring makanan kucing dengan air panas

Mencegah infeksi terhadap janin dengan jalan :


-

Seleksi wanita hamil dengan tes serologis

Pengobatan adekwat bila ada infeksi selama hamil

Tindakan abortus terapeutik pada trimester I/II

Vaksinasi pada kucing dengan tujuan untuk mencegah sporulasi dan


pelepasan ookista ke lingkungan, dapat menurunkan secara drastis
angka infeksi toxoplasma pada binatang dan manusia.
11

Penyuluhan wanita tentang metode ini menghindari penularan T.gondii selama


kehamilan dapat sangat mengurangi kasus infeksi akuisita selama kehamilan. Wanita
yang tidak mempunyai antibody spesifik terhadap T. gondii sebelum kehamilannya hanya
boleh makan daging matang selama hamil dan menghindari kontak dengan ooksita yang
di ekskresikan oleh kucing. Kucing yang dipelihara di dalam rumah, dipertahankan pada
diet yang disiapkan, dan dengan tidak memberi makan daging segar yang tidak dimasak
tidak akan berkontak dengan kista T. gondii dan melepaskan ooksita. Skrining serologis,
pemantauan ultrasonografi, dan pengobatan wanita hamil selama kehamilan dapat juga
mengurangi insidens dan mungkin manifestasi Toxoplasmosis congenital.
PENGOBATAN
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine dengan
trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan menghambat siklus pamino asam benzoat dan siklus asam folat.
Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25 50 mg per hari selama
sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 6.000 mg sehari selama sebulan.
Karena efek samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan
untuk menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan.
Trimetoprinm juga ternyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila
dibandingkan dengan kombinasi antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata
trimetoprim masih kalah efektifitasnya.

Spiramycin merupakan obat pilihan lain

walaupun kurang efektif tetapi efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obatobat sebelumnya.
Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2 4 gram sehari yang di bagi dalam 2
atau 4 kali pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2 3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu kemudian
disusl 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh. Pengobatan juga
ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang lahir dari ibu
penderita toxoplasmosis.
II.2 Cytomegalovirus
EPIDEMIOLOGI
Cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab infeksi kongenital dan perinatal
yang paling umum di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi luas di

12

antara populasi yang berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,2 3% 5, ada pula sebesar
0,7 sampai 4,1%. Peneliti lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh kehamilan.
TRANSMISI CMV
Risiko mendapatkan sitomegalovirus (CMV) melalui kontak biasa sangat kecil.
Virus ini biasanya ditularkan dari orang yang terinfeksi kepada orang lain melalui kontak
langsung dari cairan tubuh, seperti urin, air liur, atau ASI. CMV ditularkan secara seksual
dan dapat menyebar melalui organ-organ transplantasi dan transfusi darah (Karger,
2001).5
Meskipun CMV dapat ditularkan melalui ASI, infeksi yang terjadi dari pemberian
ASI biasanya tidak menimbulkan gejala atau penyakit pada bayi. Karena infeksi CMV
setelah lahir dapat menyebabkan penyakit pada bayi lahir prematur atau rendah sangat
berat, ibu bayi tersebut harus berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan mereka
tentang menyusui
Transmisi CMV selama Kehamilan
Untuk wanita hamil, dua transmisi yang paling umum untuk CMV melalui
hubungan seksual dan melalui kontak dengan urin atau air liur yang terinfeksi CMV.5
Penularan CMV ke Bayi sebelum Lahir
CMV dapat menular dari ibu hamil ke janinnya selama kehamilan. Virus dalam
darah ibu masuk lewat plasenta dan menginfeksi darah janin.
Antara bayi yang lahir dengan infeksi CMV (infeksi CMV kongenital), sekitar 1
dari 5 akan memiliki cacat permanen, seperti cacat perkembangan atau gangguan
pendengaran
PATOGENESIS
CMV adalah virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vitro dan in vivo.
Efek patologis infeksi CMV adalah sel yang membesar dengan badan inklusi virus (viral
inclusion bodies). Secara mikroskopis, sebutan bagi sel ini adalah mata burung hantu.
Walaupun merupakan suatu dasar diagnosis, tampilan histologis seperti ini hanya ada
sedikit atau tidak ada pada organ terinfeksi (Akhter & Wills, 2010).6

13

Gambar 2. Pewarnaan hematoxylin-eosin pada potongan paru menunjukan inklusi mata


burung hantu yang tipikal (Wiedbrauk, dalam Akhter & Wills, 2010)
Virus CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di
permukaan sel inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di
sitoplasma, lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel
inang (uncoating) (Budipardigdo, 2007)7
Riwayat infeksi CMV sangat kompleks, setelah infeksi primer, virus diekskresi
melalui beberapa tempat dan ekskresi virus dapat menetap beberapa minggu, bulan,
bahkan tahun sebelum virus hidup laten. Episode infeksi ulang sering terjadi, karena
reaktivasi dari keadaan laten dan terjadi pelepasan virus lagi. Infeksi ulang juga dapat
terjadi eksogen dengan strain lain dari CMV. Infeksi CMV dapat terjadi setiap saat dan
menetap sepanjang hidup. Sekali terinfeksi, tetap terinfeksi, virus hidup dormant dalam
sel inang tanpa menimbulkan keluhan atau hanya keluhan ringan seperti common cold.
Replikasi virus merupakan faktor risiko penting untuk penyakit dengan manifestasi klinik
infeksi CMV. Penyakit yang timbul melibatkan peran dari banyak molekul baik yang
dimiliki oleh CMV sendiri maupun molekul tubuh inang yang terpacu aktivasi atau
pembentukannya akibat infeksi CMV. CMV dapat hidup di dalam bermacam sel seperti
sel epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag yang berasal dari
monosit, sel dendritik, limfosit T (CD4+ , CD8+), limfosit B, sel progenitor granulositmonosit. Dengan demikian berarti CMV menyebabkan infeksi sistemik dan menyerang
banyak macam organ antara lain kelenjar ludah, tenggorokan, paru, saluran cerna, hati,
kantong empedu, limpa, pankreas, ginjal, adrenal, otak atau sistem syaraf pusat. Virus
dapat ditemukan dalam saliva, air mata, darah, urin, semen, sekret vagina, air susu ibu,
cairan amnion dan lain-lain cairan tubuh. Ekskresi yang paling umum ialah melalui
14

saliva, dan urin dan berlangsung lama, sehingga bahaya penularan dan penyebaran infeksi
mudah terjadi. Ekskresi CMV pada infeksi kongenital sama seperti pada ibu, juga
berlangsung lama
Reaktivasi, replikasi dan reinfeksi umum terjadi secara intermiten, meskipun tanpa
menimbulkan keluhan atau kerusakan jaringan. Replikasi DNA virus dan pembentukan
kapsid terjadi di dalam nukleus sel inang. Sel-sel terinfeksi CMV dapat berfusi satu
dengan yang lain, membentuk satu sel besar dengan nukleus yang banyak. Endothelial
giant cells (multinucleated cells) dapat dijumpai dalam sirkulasi selama infeksi CMV
menyebar. Sel berinti ganda yang membesar ini sangat berarti untuk menunjukkan
replikasi virus, yaitu apabila mengandung inklusi intranukleus berukuran besar seperti
mata burung hantu (owl eye)
Respons imun seseorang memegang peran penting untuk mengeliminasi virus
yang telah menyebabkan infeksi. Pada kondisi kompetensi imun yang baik
(imunokompeten), infeksi CMV akut jarang menimbulkan komplikasi, namun penyakit
dapat menjadi berat bila individu berada dalam keadaan immature (belum matang),
immunosuppressed (respons imun tertekan) atau immunocompromised (respons imun
lemah), termasuk ibu hamil dan neonatus, penderita HIV (human immunodeficiency
virus), penderita yang mendapatkan transplantasi organ atau pengobatan imunosupresan
dan yang menderita penyakit keganasan. Pada kondisi tersebut, sistem imun yang tertekan
atau lemah, belum mampu membangun respons baik seluler maupun humoral yang
efektif, sehingga dapat mengakibatkan nekrosis atau kematian jaringan yang berat,
bahkan fatal.
CMV kongenital terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu
menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5 1% dari
kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren. Viremia pada ibu hamil dapat menyebar
melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada
infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin
akan menimbulkan risiko 6 tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang serius. Risiko
pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi.
Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena sel terinfeksi membawa virus dengan
muatan tinggi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun
infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih
berat.

15

Respons imun pada fetus dan anak diperantarai sel yang terbentuk 1 minggu
sebelum respons humoral, mencapai puncak sama dengan respons humoral. Respons
imun seluler mulai dapat terdeteksi dengan baik pada umur fetus 22 minggu. Aktivasi dan
diferensiasi sel T CD4+ dapat terjadi, meskipun kemampuan untuk menghasilkan IFN-
masih lemah. Hasil suatu studi menyatakan bahwa peran sel T CD4+ spesifik dengan
frekuensi yang tinggi pada neonatus memungkinkan terjadi stimulasi terhadap imunitas
seluler, sehingga infeksi CMV kongenital bersifat asimtomatik. Respons imun humoral
dimulai pada 9 11 minggu kehamilan, namun kadar antibodi dalam sirkulasi tetap
rendah sampai pertengahan kehamilan, kecuali terdapat virus dalam titer tinggi dan ada
perkembangan reseptor antigen di permukaan sel keadaan ini, kadar antibodi meningkat
dengan predominan IgM. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat menembus plasenta
masuk ke sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang terdeteksi pada darah tali pusat
neonatus, menunjukkan bahwa antibodi tersebut diproduksi oleh fetus atau bayi sendiri
yang terinfeksi secara vertikal dari ibu. Pada reaktivasi, antibodi anti-CMV terbentuk
adekuat, sebaliknya terjadi defek imunitas yang diperantarai sel dengan penurunan jumlah
sel NK dan T CD8+.
MANIFESTASI KLINIS DAN KOMPLIKASI
1. Manifestasi klinis pada Ibu Hamil :
Umumnya >90% infeksi CMV pada ibu hamil asimpomatik, tidak terdeteksi
secara klinis. Gejala yang timbul tidak spesifik, yaitu: demam, lesu, sakit kepala,
sakit otot dan nyeri tenggorok. Wanita hamil yang terinfeksi CMV akan
menyalurkan pada bayi yang dikandungnya, sehingga bayi yang dikandungnya
akan mendapatkan kelainan kongenital. Selain itu wanita yang hamil dapat
mengalami keguguran akibat infeksi CMV.
2. Manifestasi Klinis pada Bayi
Transmisi dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan, Infeksi pada
kehamilan sebelum 16 minggu dapat mengakibatkan kelainan kongenital berat.
Gejala klinik infeksi CMV pada bayi baru lahir jarang ditemukan. Dari hasil
pemeriksaan virologis, CMV hanya didapat 5-10% dari seluruh kasus infeksi
kongenital CMV. Kasus infeksi kongenital CMV hanya 30-40% saja yang disertai
persalinan prematur. Dari semua yang prematur setengahnya disertai Pertumbuhan
Janin Terhambat (PJT). 10% dari janin yang menunjukkan tanda-tanda infeksi
kongenital mati dalam dua minggu pertama. infeksi kongenital pada anak baru
16

lahir jelas gejalanya. Gejala infeksi pada bayi baru lahir bermacam-macam, dari
yang tanpa gejala apa pun sampai berupa demam, kuning (jaundice), gangguan
paru, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran hati dan limpa, bintik merah di
sekujur tubuh, serta hambatan perkembangan otak (microcephaly). Hal ini bisa
menyebabkan buta, tuli, retardasi mental bahkan kematian. Tetapi ada juga yang
baru tampak gejalanya pada masa pertumbuhan dengan memperlihatkan gangguan
neurologis, mental, ketulian dan visual. Komplikasi yang dapat muncul pada
infeksi CMV antara lain:8
a. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) antara lain: meningoencephalitis,
kalsifikasi, mikrosefali, gangguan migrasi neuronal, kista matriks germinal,
ventriculomegaly dan hypoplasia cerebellar). Penyakit SSP biasanya
menunjukan gejala dan tanda berupa: kelesuan, hypotonia, kejang, dan
pendengaran defisit.
b. Kelainan pada mata meliputi korioretinitis, neuritis optik, katarak, koloboma,
dan mikroftalmia.
c. Sensorineural hearing defisit (SNHD) atau kelainan pendengaran dapat terjadi
pada kelahiran, baik unilateral atau bilateral, atau dapat terjadi kemudian pada
masa kanak-kanak. Beberapa pasien memiliki pendengaran normal untuk
pertama 6 tahun hidup, tetapi mereka kemudian dapat mengalami perubahan
tiba-tiba atau terjadi gangguan pendengaran. Di antara anak-anak dengan
defisit pendengaran, kerusakan lebih lanjut dari pendengaran terjadi pada
50%, dengan usia rata-rata perkembangan pertama pada usia 18 bulan
(kisaran usia 2-70 bulan). Gangguan pendengaran merupakan hasil dari
replikasi virus dalam telinga bagian dalam.
d. Hepatomegali dengan kadar bilirubin direk transaminase serum meningkat.
Secara patologis dijumpai kolangitis intralobar, kolestasis obstruktif yang
akan menetap selama masa anak. Inclusian dijumpai pada sel kupffer dan
epitel saluran empedu.
Bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tingkat mortalitas 20-30%.
Kematian biasanya disebabkan disfungsi hati, perdarahan, dan intravaskuler
koagulopati atau infeksi bakteri sekunder.
DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinis
17

a. Riwayat Klinis
CMV adalah virus herpes double-stranded DNA dan merupakan
infeksi yang paling umum virus bawaan. Tingkat seropositif CMV
meningkat dengan usia. Lokasi geografis, kelas sosial ekonomi dan bekerja
pameran faktor lain yang mempengaruhi risiko infeksi. Infeksi CMV
membutuhkan kontak dekat melalui air liur, urin dan cairan tubuh lainnya.
Kemungkinan rute transmisi termasuk kontak seksual, transplantasi organ,
transmisi transplasenta, penularan melalui ASI dan transfusi darah (jarang).9
Reaktivasi primer atau infeksi berulang dapat terjadi selama kehamilan
dan dapat menyebabkan infeksi CMV kongenital. Infeksi transplasental
dapat mengakibatkan pembatasan pertumbuhan intrauterin, gangguan
pendengaran

sensorineural,

kalsifikasi

intrakranial,

mikrosefali,

hidrosefalus, hepatosplenomegali, psikomotorik keterbelakangan dan atrofi


optic.
Masa inkubasi infeksi perinatal bervariasi antara 4 dan 12 minggu
(rata-rata, 8 minggu). Jumlah virus pada bayi dengan infeksi perinatal lebih
sedikit dibandingkan yang berkembang di infeksi kongenital, infeksi ini
bersifat kronis, virus dapat bertahan selama bertahun-tahun. Kebanyakan
bayi dengan infeksi perinatal adalah asimtomatik, karena bayi memiliki
antibodi ibu (IgG) terhadap CMV. Sebaliknya, 15-25% bayi prematur yang
terinfeksi dapat mengembangkan penyakit klinis, seperti pneumonia,
hepatitis

atau

penyakit

sepsis

dengan

gejala

apnea,

bradikardia,

hepatosplenomegali, distensi usus, anemia, trombositopenia dan fungsi hati


yang abnormal. Infeksi CMV yang didapat karena tranfusi pada bayi
prematur dengan bayi lahir sangat rendah berat badan mungkin mengalami
gejala-gejala menyerupai CID.
Infeksi maternal lebih mungkin disebabkan reaktivasi virus laten dan
dengan demikian tidak menimbulkan gejala atau bermanifestasi sebagai
demam rendah, malaise dan mialgia. Infeksi primer CMV biasanya tanpa
gejala, tetapi nyata bisa sebagai gambar mononukleosislike, dengan demam,
kelelahan dan limfadenopati. Perempuan yang berada dalam kontak yang
dekat dengan anak-anak atau anak-anak di prasekolah, pekerja penitipan
atau pekerja kesehatan berisiko lebih tinggi terhadap infeksi.
b. Pemeriksaan Penunjang

18

CMV biasanya diisolasi dari urin dan air liur, tetapi dapat diisolasi dari
cairan tubuh lainnya, termasuk ASI, sekresi leher rahim, cairan ketuban, selsel darah putih, cairan serebrospinal, sampel tinja dan biopsi. Tes terbaik
untuk diagnosis infeksi bawaan atau perinatal adalah isolasi virus atau
demonstrasi reaksi berantai materi CMV genetik (PCR) dari urin atau air liur
bayi baru lahir. Sensitivitas PCR dengan spesimen urin adalah 89% dan
spesifisitas 96%. Sampel urine dapat didinginkan (4) tetapi tidak boleh
beku dan disimpan pada suhu kamar. Tingkat pemulihan virus 93% dalam
urin setelah 7 hari pendinginan, kemudian menurun menjadi 50% setelah 1
bulan.
Peningkatan titer IgG empat kali lipat di dalam sera pasangan atau antiCMV IgM yang positif kuat berguna mendiagnosis infeksi, tes serologis
tidak dianjurkan untuk diagnosis infeksi pada bayi baru lahir. Hal ini
dikarenakan deteksi IgG anti-CMV pada bayi baru lahir mencerminkan
antibodi yang diperoleh dari ibu melalui transplasental dan antibodi tersebut
dapat bertahan sampai 18 bulan. Uji IgM juga dapat bernilai positif palsu
dan negatif palsu, Computed tomography (CT) lebih sensitif untuk
mendeteksi kalsifikasi intracranial. MRI dapat digunakan untuk mendeteksi
gangguan migrasi neuronal dan lesi parenkim serebral.
Amniosentesis merupakan tes diagnostik prenatal tunggal yang paling
berharga, sedangkan PCR atau kultur virus dari cairan ketuban, mempunyai
tingkat

spesifisitas

dan

sensitivitas

yang

sama.

Kuantitatif

PCR

menunjukkan 105 genom/mL cairan ketuban yang mungkin mengandung


prediktor gejala infeksi congenital. Ultrasonografi kelainan janin pada
wanita hamil dengan infeksi primer atau berulang biasanya menunjukkan
gejala infeksi janin. Kelainan sonografi janin yang dilaporkan termasuk
oligohidroamnios, pembatasan pertumbuhan intrauterin, microcephaly,
ventriculomegaly, kalsifikasi intrakranial, hipoplasia corpus callosum, asites,
hepatosplenomegali, hypoechogenic bowel, efusi pleura dan pericardial.
PENATALAKSANAAN
Pilihan terapi terbaik dan pencegahan penyakit CMV yaitu gansiklovir dan
valgansiklovir. Pilihan lainnya merupakan lini kedua antara lain foscarnet dan cidofovir.
Konsensus yang menyatakan hal yang lebih baik antara profilaksis dengan terapi

19

preemptive yang lebih baik untuk pencegahan infeksi CMV pada penerima organ
transplan solid.10
Terapi medikamentosa
1. Gansiklovir
Gansiklovir terlisensi untuk terapi infeksi CMV. Nukleotida asiklik sintetik secara
struktural serupa dengan guanin. Struktur tersebut serupa pada acyclovir yang
membutuhkan fosforilasi aktivitas antiviral. Enzim yang bertanggung jawab untuk
fosforilasi adalah produk gen UL97 virus, sebuah protein kinase. Resistensi dapat
terjadi pada penggunaan jangka panjang, secara umum terjadi karena mutasi gen
ini. Indikasi obat ini untuk anak immunocompromised seperti infeksi HIV,
postransplan, dan lain-lain jika secara klinis dan virologis membuktikan penyakit
spesifik berakhirnya organ yang spesifik.
Pada balita, terapi antiviral dengan gansiklovir mungkin berguna menurunkan
prevalensi sekuel perkembangan neural, umumnya tuli sensorineural. Sebuah
penelitian mengenai penyakit alergi dan infeksiinstitusi nasional di negara peneliti
menunjukkan perbaikan relatif pada pendengaran pada tuli simtomatik kongenital
CMV yang diterapi dengan gansiklovir. Meskipun demikian, terapi pada neonatus
harus dikonsultasikan oleh ahlinya.
2. Immunoglobulin
Imunoglobulin digunakan sebagai imunisasi pasif untuk mencegah penyakit
Cytomegalovirus simtomatik. Bukti pada kehamilan menyarankan infus Ig CMV
pada wanita dengan infeksi primer dapat mencegah transmisi dan memeperbaiki
kondisi kelahiran.
3. Valgansiklovir (VGCV)
Valgansiklovir (VGCV) adalah sebuah prodrug turunan valyl dari gansiklovir.
Setelah absorbsi di intestinum, moase valine cepat diurai oleh hepar menghasilkan
GCV. Zat ini inaktif dan membutuhkan trifosforilasi untuk aktivitas virostatis.
PENCEGAHAN
Seorang calon ibu hendaknya menunda untuk hamil apabila secara laboratorik
dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari ibu yang menderita infeksi
CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk mengetahui infeksi kongenital.
II.3 Rubella
20

DEFINISI
Campak Jerman (Rubella, Campak 3 hari) adalah suatu infeksi virus menular,
yang menimbulkan gejala yang ringan (misalnya nyeri sendi dan ruam kulit). Berbeda
dengan campak, rubella tidak terlalu menular dan jarang menyerang anak-anak. Jika
menyerang wanita hamil (terutama pada saat kehamilan berusia 8-10 minggu), bisa
menyebabkan keguguran, kematian bayi dalam kandungan atau kelainan bawaan pada
bayi.
ETIOLOGI
Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, famili Togaviridae.
Virus dapat diisolasi dari biakan jaringan penderita. Infeksi terjadi melalui droplet atau
kontak langsung dengan penderita. Penyebab rubella atau campak Jerman adalah virus
rubella. Meski virus penyebabnya berbeda, namun rubella dan campak (rubeola)
mempunyai beberapa persamaan. Rubella dan campak merupakan infeksi yang
menyebabkan kemerahan pada kulit pada penderitanya. Perbedaannya, rubella atau
campak Jerman tidak terlalu menular dibandingkan campak yang cepat sekali
penularannya. Penularan rubella dari penderitanya ke orang lain terjadi melalui percikan
ludah ketika batuk, bersin dan udara yang terkontaminasi. Virus ini cepat menular,
penularan dapat terjadi sepekan (1 minggu) sebelum timbul bintik-bintik merah pada kulit
si penderita, sampai lebih kurang sepekan setelah bintik tersebut menghilang. Namun bila
seseorang tertular, gejala penyakit tidak langsung tampak. Gejala baru timbul kira-kira 14
21 hari kemudian. Selain itu, campak lebih lama proses penyembuhannya sementara
rubella hanya 3 hari, karena itu pula rubella sering disebut campak 3 hari.
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan yang dirasakan biasanya lebih ringan dari penyakit campak. Bercakbercak mungkin juga akan timbul tapi warnanya lebih muda dari campak biasa. Biasanya,
bercak timbul pertama kali di muka dan leher, berupa titik-titik kecil berwarna merah
muda. Dalam waktu 24 jam, bercak tersebut menyebar ke badan, lengan, tungkai, dan
warnanya menjadi lebih gelap. Bercak-bercak ini biasanya hilang dalam waktu 1 sampai
4 hari.
Tanda-tanda dan gejala Infeksi rubella dimulai dengan adanya demam ringan
selama 1 atau 2 hari (37.2 - 37.8 derajat celcius) dan kelenjar getah bening yang
21

membengkak dan perih, biasanya di bagian belakang leher atau di belakang telinga. Pada
hari kedua atau ketiga, bintik-bintik (ruam) muncul di wajah dan menjalar ke arah bawah.
Di saat bintik ini menjalar ke bawah, wajah kembali bersih dari bintik-bintik. Bintikbintik ini biasanya menjadi tanda pertama yang dikenali oleh para orang tua. Ruam
rubella dapat terlihat seperti kebanyakan ruam yang diakibatkan oleh virus lain. Terlihat
sebagai titik merah atau merah muda, yang dapat berbaur menyatu menjadi sehingga
terbentuk tambalan berwarna yang merata. Bintik ini dapat terasa gatal dan terjadi hingga
tiga hari. Dengan berlalunya bintik-bintik ini, kulit yang terkena kadangkala megelupas
halus. Gejala lain dari rubella, yang sering ditemui pada remaja dan orang dewasa,
termasuk: sakit kepala, kurang nafsu makan, conjunctivitis ringan (pembengkakan pada
kelopak mata dan bola mata), hidung yang sesak dan basah, kelenjar getah bening yang
membengkak di bagian lain tubuh, serta adanya rasa sakit dan bengkak pada persendian
(terutama pada wanita muda). Banyak orang yang terkena rubella tanpa menunjukkan
adanya gejala apa-apa.
Ketika rubella terjadi pada wanita hamil, dapat terjadi sindrom rubella bawaan,
yang potensial menimbulkan kerusakan pada janin yang sedang tumbuh. Anak yang
terkena

rubella

sebelum

dilahirkan

beresiko

tinggi

mengalami

keterlambatan

pertumbuhan, keterlambatan mental, kesalahan bentuk jantung dan mata, tuli, dan
kelainan pada organ hati, limpa dan sumsum tulang.
Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada
trisemester I. mula-mula replikasi virus terjadi dalam jaringan janin, dan menetap dalam
kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin sehingga menimbulkan
kecacatan atau kelainan yang lain. Infeksi ibu pada trisemester kedua juga dapat
menyebabkan kelainan yang luas pada organ. Menetapnya virus dan interaksi antara virus
dan sel di dalam uterus dapat menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal,
seperti anemia hemolitika dengan hematopoiesis ekstra meduler, hepatitis, nefritis
interstitial, ensefalitis, pankreatitis interstitial dan osteomielitis.
Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori :
1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu :
a

Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi


terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat
merupakan satu-satunya gejala yang timbul.

Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis katup


pulmonal.
22

Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang berdiri


sendiri.

Retardasimental dan beberapa kelainan lain antara lain:

Purpura trombositopeni (Blueberry muffin rash)

Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan lainlain

2. Extended sindroma rubella kongenital.. Meliputi cerebral palsy, retardasi


mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang, ikterus dan
gangguan imunologi (hipogamaglobulin).
3. Delayed - sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan Diabetes
Mellitus tipe-1, gangguan pada mata dan pendengaran yang baru muncul
bertahun-tahun kemudian.
Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah 14-21 hari. Tanda yang paling khas adalah adenopati
retroaurikuler, servikal posterior, dan di belakang oksipital. Ruam ini terdiri dari bintikbintik merah tersendiri pada palatum molle yang dapat menyatu menjadi warna
kemerahan jelas pada sekitar 24 jam sebelum ruam.
Masa prodromal
Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya; jarang disertai gejala
dan tanda masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda masa prodromal
berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala, nyeri tenggorok,
kemerahan pada konjungtiva, rinitis, batuk dan limfadenopati. Gejala ini segera
menghilang pada waktu erupsi timbul. Gejala dan tanda prodromal biasanya mendahului
1-5 hari erupsi di kulit. Pada beberapa penderita dewasa gejala dan tanda tersebut dapat
menetap lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada 20% penderita selama masa prodromal
atau hari pertama adanya tanda Forschheimer, yaitu makula atau petekiia pada palatum
molle. Pembesaran kelenjar limfe bisa timbul 5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas
mengenai kelenjar suboksipital, postaurikular dan servikal dan disertai nyeri tekan.
Masa eksantema
Seperti pada rubeola, eksantema mulai retro-aurikular atau pada muka dan dengan
cepat meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh. Mula-mula berupa makula
yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan menyatu, memberikan
bentuk morbiliform. Pada hari kedua eksantem di muka menghilang, diikuti hari ke-3 di
23

tubuh dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40% kasus infeksi rubela terjadi tanpa
eksantema. Meskipun sangat jarang, dapat terjadi deskuamasi posteksantematik.
Limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada rubela. Biasanya
pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari.
Pada penyakit rubela yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita
sudah dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3. sebagian kecil penderita masih
terganggu dengan nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10 hari.
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis sering kali sukar dibuat untuk seorang penderita oleh karena tidak
ada tanda atau gejala yang patognomik untuk rubela. Seperti dengan penyakit eksantema
lainnya, diagnosis dapat dibuat dengan anamnesis yang cermat. Rubela merupakan
penyakit yang epidemik sehingga bila diselidiki dengan cermat, dapat ditemukan kasus
kontak atau kasus lain di dalam lingkungan penderita. Sifat demam dapat membantu
dalam menegakkan diagnosis, oleh karena demam pada rubela jarang sekali di atas
38,5C. Pada infeksi tipikal, makula merah muda yang menyatu menjadi eritema difus
pada muka dan badan serta artralgia pada tangan penderita dewasa merupakan petunjuk
diagnosis rubela. Perubahan hematologik hanya sedikit membantu penegakan diagnosis.
Peningkatan sel plasma 5-20% merupakan tanda yang khas. Kadang-kadang terdapat
leukopenia pada awal penyakit yang dengan segera segera diikuti limfositosis relatif.
Sering terjadi penurunan ringan jumlah trombosit.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan serologik yaitu adanya
peningkatan titer anibodi 4 kali pada hemaglutination inhibition test (HAIR) atau
ditemukannya antibodi Ig M yang spesifik untuk rubela. Titer antibodi mulai meningkat
24-48 jam setelah permulaan erupsi dan mencapai puncaknya pada hari ke 6-12. selain
pada infeksi primer, antibodi Ig M spesifik rubela dapat ditemukan pula pada reinfeksi.
Dalam hal ini adanya antibodi Ig M spesifik rubela harus di interpretasi dengan hati-hati.
Suatu penelitian telah menunjukkan bahwa telah tejadi reaktivitas spesifik terhadapp
rubela dari sera yang dikoleksi, setelah kena infeksi virus lain.
Diagnosa klinis rubella kadang tidak akurat. Konfirmasi laboratorium hanya bisa
dipercaya untuk infeksi akut. Infeksi rubella dapat dipastikan dengan adanya peningkatan
signifikan titer antibodi fase akut dan konvalesens dengan tes ELISA, HAI, pasif HA atau
tes LA, atau dengan adanya IgM spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella
sedang terjadi.
24

Diagnosa pada bayi baru lahir dipastikan dengan ditemukan adanya antibodi IgM
spesifik pada spesimen tunggal, dengan titer antibodi spesifik terhadap rubella diluar
waktu yang diperkirakan titer antibodi maternal IgG masih ada, atau melalui isolasi virus
yang mungkin berkembang biak pada tenggorokan dan urin paling tidak selama 1 tahun.
Virus juga bisa dideteksi dari katarak kongenital hingga bayi berumur 3 tahun.
Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin
melalui CVS (chorionoc villus sampling) atau kordosentesis. Konfirmasi infeksi fetus
pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella dan RNA
pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil konsepsi.
Berdasarkan gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella kongenital (CRS,
Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :

Virus rubella yang dapat diisolasi.

Adanya IgM spesifik rubella

Menetapnya IgG spesifik rubella.

2. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium tidak lengkap.


Didapatkan 2 defek dari item a , atau masing-masing satu dari item a dan b.
a. Katarak dan/ atau glaukoma kongenital, penyakit jantung kongenital, tuli,
retinopati.
1. Purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi mental, meningo
ensefalitis, penyakit tulang radiolusen.
2. CRS possible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria untuk CRS
compatible.
3. CRI ( Congenital Rubella Infection ). Temuan serologi tanpa defek.
4. Stillbirths. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal
5. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai dengan CRS:
Tidak adanya antibodi rubella pada anak umur < 24 bulan dan pada ibu.
Kecepatan penurunan antibodi sesuai penurunan pasif dari antibodi
didapat.
PENGOBATAN
Jika

tidak

terjadi

komplikasi

bakteri,

pengobatan

adalah

simtomatis.

Adamantanamin hidrokhlorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro dalam


menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakkan. Upaya untuk
25

mengobati anak yang sedang menderita rubela kongenital dengan obat ini tidak berhasil.
Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil, penggunaannya amat terbatas.
Interferon dan isoprinosin telah digunakan dengan hasil yang terbatas.
IV. Herpes Simplex
DEFINISI
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks
(virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh adanya vesikel yang
berkelompok di atas kulit eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi
dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.
Virus herpes simpleks tipe 1 sebagian besar terkait dengan penyakit orofacial,
sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 biasanya terkait dengan infeksi perigenital. Tetapi,
keduanya dapat menginfeksi daerah oral dan genital.
EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak berumur kurang dari 10 tahun, infeksi herpes sering asimtomatik
dan dengan type tersering adalah HSV-1 (80-90%). Analisis yang dilakukan secara global
telah menunjukkan adanya antibodi HSV-1 pada sekitar 90% dari individu berumur 20-40
tahun. HSV-2 merupakan penyebab infeksi herpes genital yang paling banyak (70-90%),
meskipun studi terbaru menunjukkan peningkatan kejadian dapat disebabkan oleh HSV-1
(10-30%). Antibodi untuk HSV-2 jarang ditemukan sebelum masa remaja karena asosiasi
HSV-2 terkait dengan aktivitas seksual.
HSV dapat menginfeksi janin dan menyebabkan kelainan. Seorang ibu yang
terinfeksi HSV dapat menularkan virus itu padanya baru lahir selama persalinan vagina,
terutama jika ibu memiliki infeksi aktif pada saat pengiriman. Namun, 60 - 80% dari
infeksi HSV didapat oleh bayi yang baru lahir terjadi pada wanita yang tidak memiliki
gejala infeksi HSV atau riwayat infeksi HSV genital.
Usia dan jenis kelamin merupakan faktor risiko penting yang terkait dengan
didapatkannya infeksi genital HSV-2. Bahkan, prevalensi infeksi HSV sangat rendah di
masa kanak-kanak dan remaja awal tetapi meningkat dengan usia, mencapai maksimum
sekitar 40 tahun.
ETIOLOGI
26

Kelompok virus herpes sebagian besar terdiri dari virus DNA. Melakukan
replikasi secara intranuklear dan menghasilkan inklusi intranuklear khas yang terdeteksi
dalam preparat pewarnaan. HSV-1 dan HSV-2 adalah virus double-stranded DNA yang
termasuk dalam Alphaherpesvirinae,

subfamily

dari Herpes viridae. Kedua virus,

bertransmisi melalui sel epitel mukosa, serta melalui gangguan kulit, bermigrasi ke
jaringan saraf, di mana mereka tetap dalam keadaan laten. HSV-1 lebih dominan pada
lesi orofacial dan biasanya ditemukan di ganglia trigeminal, sedangkan HSV-2 lebih
dominan pada lesi genital dan paling sering ditemukan di ganglia lumbosakral. Namun
virus ini dapat menginfeksi kedua daerah orofacial dan saluran genital melalui infeksi
silang HSV-1 dan HSV-2 melalui kontak oral-genital.
Transmisi dapat terjadi tidak hanya saat gejala manifestasi HSV aktif, tetapi juga
dari pengeluaran virus dari kulit dalam keadaan asimptomatis. Puncak beban DNA virus
telah dilaporkan terjadi setelah 48 jam, dengan tidak ada virus terdeteksi di luar 96 jam
setelah permulaan gejala. Secara umum, gejala muncul 3-6 hari setelah kontak dengan
virus, namun mungkin tidak muncul sampai untuk satu bulan atau lebih setelah infeksi.
Manusia adalah reservoir alami dan tidak ada vektor yang terlibat dalam transmisi.
HSV ditularkan melalui kontak pribadi yang erat dan infeksi terjadi melalui inokulasi
virus ke permukaan mukosa yang rentan (misalnya, oropharynx, serviks, konjungtiva)
atau melalui luka kecil di kulit. Virus ini mudah dilemahkan pada suhu kamar dan
pengeringan.
PATOGENESIS
Infeksi virus Herpes simpleks ditularkan oleh dua spesies virus, yaitu virus Herpes
simpleks-I (HSV-1) dan virus Herpes simpleks II (HSV-2). Virus ini merupakan
kelompok virus DNA rantai ganda. Infeksi terjadi melalui kontak kulit secara langsung
dengan orang yang terinfeksi virus tersebut. Transmisi tidak hanya terjadi pada saat gejala
manifestasi HSV muncul, akan tetapi dapat juga berasal dari virus shedding dari kulit
dalam keadaan asimptomatis.
Pada infeksi primer, kedua virus Herpeks simpleks , HSV 1 dan HSV-2 bertahan
di ganglia saraf sensoris . Virus kemudian akan mengalami masa laten, dimana pada masa
ini virus Herpes simpleks inib tidak menghasilkan protein virus, oleh karena itu virus
tidak dapat terdeteksi oleh mekanisme pertahanan tubuh host. Setelah masa laten, virus
bereplikasi disepanjang serabut saraf perifer dan dapat menyebabkan infeksi berulang
pada kulit atau mukosa.
27

Virus Herpes simpleks ini dapat ditularkan melalui sekret kelenjar dan secret
genital dari individu yang asimptomatik, terutama di bulan-bulan setelah episode pertama
penyakit, meskipun jumlah dari lesi aktif 100-1000 kali lebih besar.

Gambar 1: Herpes labialis.


A. Infeksi virus herpes simpleks primer, virus bereplikasi di orofaringeal dan naik
dari saraf sensoris perifer ke ganglion trigeminal.
B. Herpes simplex virus dalam fase latent dalam ganglion trigeminal
C. Berbagai rangsangan memicu reaktivasi virus laten, yang kemudian turun dari
saraf sensorik ke daerah bibir atau perioral menyebabkan herpes labialis rekuren.
Dikutip Dari Kepustakaan 2
Herpes simplex virus sangat

menular dan disebarkan langsung oleh kontak

dengan individu yang terinfeksi virus tersebut. Virus Herpes simpleks ini dapat
menembus epidermis atau mukosa dan bereplikasi di dalam sel epitel.
Virus Herpes simpleks 1 (HSV-1) biasanya menyerang daerah wajah (non
genitalia) dan virus Herpes simpleks 2 (HSV-2) biasanya menyerang alat kelamin.
perubahan patologis sel epidermis merupakan hasil invasi virus herpes dalam vesikel
intraepidermal dan multinukleat sel raksasa. Sel yang terinfeksi mungkin menunjukkan
inklusi intranuklear.

28

MANIFESTASI KLINIS
Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang
serius, karna melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat
menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatus mempunyai angka
mortalitas 60%, separuh dari yang hidup, menderita cacat neurologik atau kelainan pada
mata.
Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, keratokonjungtivis, atau
hepatitis; disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli kandungan
mengambil sikap partus secara seksio Caesaria, bila pada saat melahirkan sang ibu
menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketubah pecah atau
paling lambat enam jam setelah ketuban pecah.
Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus; sedangkan bila
pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat
intrapartum.
Infeksi HSV pada bayi baru lahir mungkin didapat selama dalam kandungan,
selama persalinan atau setelah lahir. Ibu merupakan sumber infeksi tersering pada semua
kasus. Herpes neonatus diperkirakan terjadi pada sekitar satu dari 5.000 kelahiran setiap
tahun. Bayi baru lahir tampaknya tidak mampu membatasi replikasi dan penyebaran HSV
sehingga cenderung berkembang menjadi penyakit yang berat.
Jalur infeksi yang paling sering adalah penularan HSV bayi selama pelahiran
melalui kontak dengan lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk menghindari infeksi,
dilakukan persalinan dengan seksio sesarea pada perempuan hamil yang memilik herpes
genital. Namun lebih banyak terjadi infeksi HSV neonatal dari pada kasus herpes genital
rekuren meskipun virus ditemukan pada bayi cukup bulan.
Herpes neonatus dapat diperoleh pascalahir melalui pajanan terhadap HSV-1
maupun HSV-2. Sumber infeksi mencakup anggota keluarga dan petugas rumah sakit
yang menyebarkan virus. Sekitar 75% infeksi herpes neonatal disebabkan oleh HSV-2.
Tidak tampak adanya perbedaan antara sifat dan derajat berat herpes neonatus pada bayi
prematur atau cukup bulan, pada infeksi yang disebabkan ileh HSV-1 atau HSV-2, atau
pada penyakit ketika virus didapatkan selama persalinan atau pasca persalinan.
Infeksi herpes neonatus hampir selalu simtomatik. Angka mortalitas keseluruhan
pada penyakit yang tidak diobati adalah 50%. Bayi dengan herpes neonatus terdiri dari
29

tiga katagori penyakit : (1) lesi setempat di kulit, mata dan mulut; (2) ensefalitis dengan
atau tanpa terkenanya kulit setempat; (3) penyakit diseminata yang mengenai banyak
organ, termasuk sistem saraf pusat. Prognosis terburuk (angka mortalitas sekitar 80%)
terdapat pada bayi dengan infeksi diseminata; banyak diantaranya mengalami ensefalitis.
Penyebab kematian bayi dengan penyakit diseminata biasanya pneumonitis virus atau
koagulopati intravaskular. Banyak yang selamat dari infeksi berat dapat hidup dengan
gangguan neurologi menetap.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan sitologik untuk perubahan sel dari infeksi herpes virus tidak
sensitive dan tidak spesifik baik menggunakan pemeriksaan Tzank (lesi genital) dan
apusan serviks Papanicolaou dan tidak dapat diandalkan untuk diagnosis konklusif infeksi
herpes simpleks.
Jenis yang lebih tua dari pengujian virologi, tes Pap Tzanck, mengorek dari lesi
herpes kemudian menggunakan pewarnaan Wright dan Giemsa. Pada pemeriksaan
ditemukan sel raksasa khusus dengan banyak nukleus atau partikel khusus yang
membawa virus (inklusi) mengindikasikan infeksi herpes. Tes ini cepat tapi akurat 5070% dari waktu. Hal ini tidak dapat membedakan antara jenis virus atau antara herpes
simpleks dan herpes zoster.
Tes kultur virus dilakukan dengan mengambil sampel cairan, dari luka sedini
mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama manifestasi. Virus, jika ada, akan bereproduksi
dalam sampel cairan namun mungkin berlangsung selama 1 - 10 hari untuk
melakukannya. Jika infeksi parah, pengujian teknologi dapat mempersingkat periode ini
sampai 24 jam, tapi mempercepat jangka waktu selama tes ini mungkin membuat hasil
yang kurang akurat. Kultur virus sangat akurat jika lesi masih dalam tahap blister jelas,
tetapi tidak bekerja dengan baik untuk luka ulserasi tua, lesi berulang, atau latency. Pada
tahap ini virus mungkin tidak cukup aktif.
Tes PCR yang jauh lebih akurat daripada kultur

virus, dan CDC

merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi herpes dalam cairan serebrospinal ketika
mendiagnosa herpes ensefalitis .PCR dapat membuat banyak salinan DNA virus sehingga
bahkan sejumlah kecil DNA dalam sampel dapat dideteksi.
Tes serologi dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik untuk virus dan jenis,
Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) atau Virus Herpes Simpleks 2 (HSV-2). Ketika herpes
virus menginfeksi seseorang, sistem kekebalan tubuh tersebut menghasilkan antibodi
30

spesifik untuk melawan infeksi. Adanya antibodi terhadap herpes juga menunjukkan
bahwa seseorang adalah pembawa virus dan mungkin mengirimkan kepada orang lain.
Tes tes antibodi terhadap dua protein yang berbeda yang berkaitan dengan virus
herpes yaitu Glikoprotein GG-1 dikaitkan dengan HSV-1 dan Glikoprotein GG-2
berhubungan dengan HSV-2.
Meskipun glikoprotein (GG) jenis tes-spesifik telah tersedia sejak tahun 1999,
banyak tes khusus nontipe tua masih di pasar. CDC merekomendasikan hanya tipespesifik glikoprotein (GG) tes untuk diagnosis herpes.
Pemeriksaan serologi yang paling akurat bila diberikan 12-16 minggu setelah
terpapar virus. Fitur tes meliputi:

ELISA (immunosorbent assay enzim-link) atau Immunoblot. Tes sangat akurat


dalam mendeteksi kedua jenis virus herpes simpleks.

Biokit HSV-2 (juga dipasarkan sebagai SureVue HSV-2). Tes ini mendeteksi HSV2 saja. Keunggulan utamanya adalah bahwa hanya membutuhkan tusukan jari dan
hasil yang disediakan dalam waktu kurang dari 10 menit. Hal ini juga lebih
murah.

Western Blot Test adalah standar emas untuk peneliti dengan tingkat akurasi
sebesar 99%. Tes ini mahal, memakan waktu lama, dan tidak tersedia secara luas
sebagaimana tes lainnya.

Tes serologi herpes terutama dianjurkan untuk:

Orang yang memiliki gejala genital berulang tapi tidak ada kultur virus negatif.

Konfirmasi infeksi pada orang yang memiliki gejala yang terlihat herpes genital.

Menentukan jika pasangan seseorang didiagnosa menderita herpes genital.

Orang-orang yang memiliki banyak pasangan seks dan yang perlu diuji untuk
berbagai jenis PMS (Penyakit Menular Seksual).

DIAGNOSIS
Dalam kebanyakan kasus, diagnosis didasarkan pada karakteristik tampilan klinis
lesi. Diagnosis klinis dapat dibuat secara akurat ketika beberapa karakteristik lesi
vesikuler pada dasar eritema dan bersifat rekuren. Namun, ulserasi herpes dapat
menyerupai ulserasi kulit dengan etiologi lainnya. Infeksi mukosa HSV juga dapat hadir
sebagai uretritis atau faringitis tanpa lesi kulit. Tanda-tanda dan simptom yang
berhubungan dengan HSV-II dapat sangat berbeda-beda. Ketersediaan pelayanan
31

kesehatan dapat mendiagnosa herpes genital dengan inspeksi visual jika perjangkitannya
khas, dan dengan mengambil sampel dari luka kemudian mengetesnya di laboratorium.
Tes darah untuk mendeteksi infeksi HSV-I atau HSV-II, meskipun hasil-hasilnya tidak
selalu jelas. Kultur dikerjakan dengan kerokan untuk memperoleh material yang akan
dipelajari dari luka yang dicurigai sebagai herpes.
PENATALAKSANAAN
Edukasi
Pasien dengan herpes genital harus dinasehati untuk menghindari hubungan seksual
selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari setelahnya dan menggunakan kondom
antara perjangkitan gejala. Terapi antiviral supressidapat menjadi pilihan untuk individu
yang peduli transmisi pada pasangannya.
Agen Antiviral
Pengobatan dapat mengurangi simptom, mengurangi nyeri dan ketidak nyamanan
secara cepat yang berhubungan dengan perjangkitan, serta dapat mempercepat waktu
penyembuhan. Tiga agen oral yang akhir-akhir ini diresepkan, yaitu Acyclovir,
Famciclovir, dan Valacyclovir. Ketiga obat ini mencegah multiplikasi virus dan
memperpendek lama erupsi. Pengobatan peroral, dan pada kasus berat secara intravena
adalah lebih efektif. Pengobatan hanya untuk menurunkan durasi perjangkitan.
Acyclovir menghambat aktivitas HSV 1 dan HSV-2. Pasien mengalami rasa sakit
yang lebih kurang dan resolusi yang lebih cepat dari lesi kulit bila digunakan dalam
waktu 48 jam dari onset ruam. Mungkin dapat mencegah rekurensi.

Infeksi Primer HSV: 200 mg peroral 5 kali/hari untuk 10 hari atau 5 mg/kg/hari
IV setiap 8 jam.

Herpes oral atau genital rekuren : 200 mg peroral 5 kali/hari untuk 5 hari (nonFDA : 400 mg peroral 3 kali/hari untuk 5 hari)

Supresi herpes genital : 400 mg peroral 2 kali/hari

Disseminated disease: 5-10 mg/kg IV setiap 8 jam untuk 7 hari jika >12 tahun.

Famciclovir

Herpes labialis rekuren : 1500 mg peroral dosis tunggal pada saat onset gejala.
Episode primer herpes Genitalis :250 mg peroral 3 kali/hari selama10 hari
Episode primer herpes Genitalis :1000 mg peroral setiap 12 jam selama 24 jam
pada saat onst gejala (dalam 6 hari gejala pertama)
Supressi jangka panjang: 250 mg peroral 2kali/hari

32

HIV-positive individuals dengan infeksi HSV orolabial atau genital rekuren : 500
mg peroral 2 kali/hari untuk 7 hari (sesuaikan dosis untuk insufisiensi ginjal)
Supresi herpes simplex genital rekuren (pasien terinfeksi HIV): 500 mg peroral 2
kali/hari19

Valacyclovir

Herpes labialis: 2000 mg peroral setiap 12 jam selama 24 jam (harus diberikan
pada gejala pertama/prodromal)

Genital herpes, episode primer: 1000 mg peroral 2kali/hari selama 10 hari.

Herpes genital rekuren: 500 mg peroral 2 kali/hari selama 3 hari.


Suppressi herpes Genital (9 atau lebih rekurensi per tahun atau HIV-positif): 500
mg peroral 1 kali/hari.

Herpes simplex genital rekuren , suppressi( pasien terinfeksi HIV): 500 mg


peroral 2kali/hari, jika >9 rekurensi pertahun : 1000 mg peroral peroral 1 kali/hari.

Foscarnet

HSV resisten Acyclovir: 40 mg/kg IV setiap 8-10 jam selama 10-21 hari

Mucocutaneous, resisten acyclovir: 40 mg/kg IV, selama 1 jam, setiap 8-12 jam
selama 2-3 minggu atau hingga sembuh.

Topikal
Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Acyclovir krim 5% (5 kali
sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah munculnya gejala,
meskipun juga pemberian yang terlambat juga dilaporkan masih efektif dalam
mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah lesi.

33

BAB III
KESIMPULAN
Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat peka terhadap infeksi dan
penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi
dapat menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain abortus, pertumbuhan
janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Kebanyakan penyakit
infeksi diperparah dengan terjadinya kehamilan. Dan ada pula Penyakit yang nampaknya
tidak terlalu mengancam jiwa ibu hamil bahkan tidak nampak gejala tetapi bisa
membahayakan terhadap janin. Penyakit-penyakit intrauterin yang sering menyebabkan
dampak yang berbahaya pada janin yaitu Penyakit TORCH ; merupakan singkatan dari
T = Toksoplasmosis ; R = Rubela (campak Jerman); C = Cytomegalovirus; H = Herpes
simpleks.

1,2,3

Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat pada masa perinatal
yang berakibat sangat berat pada janin maupun bayi, bahkan mengakibatkan kematian
sehingga diperlukan diagnosa yang cepat dan tindakan pengobatan serta pencegahan
dengan vaksinasi maupun hubungan seksual yang sehat dan baik yang dapat dilakukan
oleh wanita hamil dan suami sehingga diharapkan menurunkan angka kematian ibu
maupun bayi.2

34

Daftar Pustaka
1. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 volume II @ 1996 Penerbit Buku
Kedokteran EGC hal, 1204 - 1214.
2. Prof. Dr. T. H. Rampengan, SpA(K), Penyakit Infeksi Tropik pada Anak edisi 2 @
2005 Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 263 272
3. Sarwono Prawirohadjo, Ilmu Kebidanan edisi 3 cetakan 6 @ 2002 Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, hal 572 574
4. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
edisi II @ 2002 Badan Penerbit IDAI Jakarta, hal 458 465
5. Griffiths PD, 2002: Emery VC. Cytomegalovirus. Dalam: Clinical Virology.
Washington: ASM Press. h.433-55
6. Akhter, Kauser dan Wills, Todd S. 2010. Cytomegalovirus. eMedicine Infectious
Disease. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/215702-overview.
Diakses 29 September 2010.
7. Budipardigdo S, Lisyani. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi Cytomegalovirus
Serta Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik. Universitas Diponegoro: Semarang
8. Marino T, B Laartz, SE Smith, SG Gompf, K Allaboun, JE Marinez, et al. 2010.
Viral

Infections

and

Pregnancy.

http://emedicine.medscape.com/article/235213-overview.

Diunduh
Diakses

dari:
pada

28

September 2010
9. Schleiss, M.R., 2010. Cytomegalovirus Infection: Treatment & Medication.
Diunduh

dari: http://emedicine.medscape.com/article/963090-treatment. Diakses

pada 29 September 2010


10. Kim CS. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection. Korean
Journal of Pediatrics. 53(1): 14-20.
11. Wiknojosastro H. , Saifudin B. A. dan Rachimhadhi T., Ilmu Kebidanan. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Edisi 3 cetakan Kesembilan. Jakarta 2007.
12. Muchlastriningsih E.

Pengaruh Infeksi TORCH terhadap Kehamilan .Pusat

Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran 2006 .(151).

35

13. Infeksi

dalam

kehamilan

http://spesial-torch.com/index2.php?

option=com_content&do_pdf=1&id=129
14. Judarwanto W. Infeksi TORCH Pada kehamilan : Bahaya bagi Janin dan
Pentingnya

Pemeriksaan

Laboratorium

Saat

Kehamilan

http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/03/infeksi-torch-padakehamilan-bahaya-bagi-janin-dan-pentingnya-pemeriksaan-laboratorium-saatkehamilan/
15. Infeksi

dalam

kehamilan

option=com_content&do_pdf=1&id=129

36

http://spesial-torch.com/index2.php?

Anda mungkin juga menyukai