Anda di halaman 1dari 31

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1

ANATOMI ANOREKTAL
Anus adalah muara dari rektum ke dunia luar. Rektum merupakan bagian caudal

dari intestinum crassum, terletak retroperitoneal, memanjang mulai setinggi corpus


vertebrae sacralis 3 sampai anus. Pada rectum terdapat flexura sacralis yang mengikuti
curvature os sacrum dan flexura perinealis yang mengikuti lengkungan perineum.
Bagian cranialis disebut pars ampularis recti dan bagian caudalis disebut pars analis
recti.(1)
Pada pars ampularis terdapat 3 buah plica transversalis yang dibentuk oleh
penebalan stratum circulare tunica muscularis. Plica yang tengah sangat tebal, disebut
plica transversalis Kohlraush berfungsi sebagai penahan isi rectum. Pada pars analis
terdapat plica yang arahnya longitudinal dan disebut columna rectalis Morgagni. Di
sebelah analis columna rectalis bersatu membentuk anulus rectalis (= anulus
haemorrhoidalis). Di sebelah profunda mucosa terdapat plexus venosus yang disebut
plexus haemorrhoidalis.(1)
Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm.
Sedangkan rektum berasal dari endoderm. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya
kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri. Kanalis
analis berukuran panjang kira-kira 3 cm sumbunya mengarah ke ventrokranial, yaitu ke
arah umbilikus dan membentuk sudut yang nyata ke dorsal dengan rektum dalam
keadaan istirahat pada saat defekasi sudut ini menjadi lebih besar. Batas atas kanalis
anus disebut garis anorektum, garis mukokutan, linea pektinata, atau linea dentata. Di
daerah ini terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Cincin
sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter interna dan sfingter
eksterna. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi sfingter interna, otot
longitudinal, bagian tengah dari otot levator (fuborektalis), dan komponen m. sfingter
eksternus. M. sfingter internus terdiri dari serabut otot polos, sedangkan m. sfingter
eksternus terdiri atas serabut otot lurik.(1.3)

Gambar 3.1. Anatomi anorecta(4)


Usus besar terdiri atas kolon, rectum, dan anus. Di dalam kolon tidak terjadi
pencernaan. Sisa makanan yang tidak dicerna di dorong ke bagian belakang dengan
gerakan peristaltik. Air dan garam mineral diabsorbsi kembali oleh dinding kolon yaitu
kolon ascendens. Sisa makanan berada pada kolon selama 1 sampai 4 hari. Proses
pembusukan dibantu oleh E. coli, selanjutnya dengan gerakan peristaltik, sisa makanan
terdorong sedikit demi sedikit ke tempat penampungan tinja, yaitu di rektum. Apabila
lambung dan usus halus telah terisi makanan kembali akan merangsang kolon untuk
melakukan defekasi (reflek gastrokolik). Peregangan rektum oleh feses akan
mencetuskan kontraksi reflek otot-otot rektum dan keinginan BAB pada saat tekanan
rektum meningkat sampai sekitar 18 mmHg.(1.2)
Sistem perdarahan pada anus dan rektal terdiri dari arteri dan vena. Arteri
hemoroidalis superior adalah kelanjutan dari a. mesenterika inferior membagi diri
menjadi dua cabang utama, yaitu kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis medialis
merupakan percabangan anterior dari a. iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior
adalah cabang dari arteri pudenda interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari
pleksus hemoroidalis internus berjalan ke arah kranial ke dalam v. mesenterika inferior
dan melalui v. lienalis ke vena porta. Vena hemoroidalis inferior, mengalirkan darah ke

dalam vena pudenda interna dan ke dalam v. illiaka interna dan sistem kava.(2.3)
Persarafan rektum, terdiri atas sistem simpatik yang berasal dari pleksus
mesentrikus inferior dan dari sistem parasakral yang terbentuk dari ganglion simpatis
L2, L3, dan L4. Unsur simpatis fleksus ini menuju ke arah struktur genital dan serabut
otot polos yang mengendalikan emisi air mani dan ejakulasi. Sistem parasimpatik
berasal dari saraf S2, S3, dan S4 untuk proses BAK dan BAB.(3.4)

Gambar 3.2 Hubungan normal antara kompleks otot striata pelvis dan rectum (2)
3.2

EMBRIOLOGI ANOREKTAL
Sebagai hasil dari pelipatan mudigah ke arah sefalokaudal dan lateral, sebagian

dari rongga kantung kuning telur yang dilapisi endoderm bergabung ke dalam mudigah
membetuk usus primitif. Dua bagian lain dari rongga berlapis endoderm tersebut,
kantung kuning telur dan allantois, tetap berada di luar mudigah.1
Di bagian kepala dan ekor mudigah, usus primitif membentuk sebuah tabung
berujung buntu, masing-masing usus depan dan usus belakang. Bagian tengah, yaitu
usus tengah, untuk sementara tetap berhubungan dengan kantung kuning telur melalui
duktus vitellinus atau tangkai kuning telur. 1
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon
desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. Endoderm usus belakang ini juga
membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian akhir usus belakang
bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan
dengan ektodem permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm

membentuk kloaka. 1
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum
urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh ke arah
kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus urogenitalis
primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7
minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daerah ini terbentuklah
korpus perinealis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi membrana analis di
belakang, dan membrana urogenitalis di depan. 1
Sementara itu, membrana analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim, dan
pada minggu ke-8 selaput terletak di dasar cekungan ektoderm, yang dikenal sebagai
celah anus atau proktoderm. Pada minggu ke-9, membrana analis koyak, dan terbukalah
jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm dan
diperdarahi oleh pembuluh nadi usus belakang, yaitu arteri mesenterika inferior. Akan
tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari ektderm, dan diperdarahi oleh
aa. Rektales, yang merupakan cabang dari arteri pudenda interna. Tempat persambungan
antara bagian endoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat
di bawah kolumnaanalis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel
berlapis gepeng. 1
Jika terjadi pembentukan tak sempurna usus belakang, yang mengakibatkan
anus imperforata dengan atau tanpa fistula yang menghubungkan rektum dengan
perineum atau bagian-bagian dari sistem urogenital. 1

Gambar 3.3. Gambar daerah kloaka pada mudigah dengan tingkat perkembangan yang
berurutan. Perhatikan kanalis anorektalis dan perineum.

Gambar 3.4. C. Gambar anus imperforata. Membran analis menetap sebagai sebuah
sekat pemisah antara bagian atas dn bagian bawah kanalis analis. D. Gambar fistula
urorektalis bersama dengan atresia rekti yang disebabkan oleh cacat tinggi pada
pembentukan septum anorektal.
3.3

ATRESIA ANI

3.3.1 DEFINISI
Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau
makanan, yaitu keadaan tersumbatnya anus yang bersifat kongenital. Atresia ani atau
Anus imperforata merupakan suatu malformasi kongenital berupa tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau
dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus. Anus imperforata ini
dapat meliputi bagian anus, rektum, atau bagian diantara keduanya. Walaupun kelainan
lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak
ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.(3)
Atresia ani merupakan bentuk dari malformasi anorektal. Malformasi anorektal
merupakan penyakit spektrum luas, bisa mengenai laki-laki atau perempuan, dapat
mengenai anus bagian distal, rektum, bahkan saluran genitourinaria. Yang termasuk
malformasi anorektal adalah anus imperforata dan kloakan persisten.

Gambar 3.5. Berbagai jenis malformasi anorektal


( Sumber: www.pedisurg.com )

3.3.2 EPIDEMIOLOGI
Anus imperforata diperkirakan mempunyai insiden 1 di antara 3.000-5.000
kelahiran hidup. Secara umum, malformasi anorektal lebih banyak ditemukan pada lakilaki (60%) daripada perempuan (40%). Kelainan ini biasanya ditemukan segera setelah
lahir. Namun pada kasus tertentu, seperti kasus dengan fistula perianal, secara sekilas
mungkin anus terlihat normal. Gejala baru timbul beberapa bulan atau tahun kemudian
berkaitan dengan obstipasi atau infeksi saluran kemih.(6,7)
Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi
laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi
anorektal yang paling banyak ditemui adalah anus imperforata diikuti fistula
rektovestibular dan fistula perineal. Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester
menunjukkan bahwa malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan
dibandingkan malformasi anorektal letak tinggi. Anus imperforata yang disertai kelainan
traktus urinarius terlihat hingga 20 % kasus. Anus imperforata yang berhubungan
dengan kelainan pankreas terdapat 75 % kasus. (6,7)
3.3.3 ETIOLOGI
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan
kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi dan pembentukan
anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada

kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian, pada agenesis anus
sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli, masih
jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang
tua yang mempunyai gen carier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk
diturunkan pada anaknya. Saat kehamilan 30% anak yang mempunyai sindrom genetik,
kelainan kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia
ani. Sedangkan kelainan bawaan rektum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka
menjadi rektum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan
perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.(1)
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir
seperti: (1)
1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung,
trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe)
2. Kelainan sistem pencernaan.
3. Kelainan sistem pekemihan
4. Kelainan tulang belakang.
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir

tanpa lubang dubur.


2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,

rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.
Sekitar 60% dari pasien memiliki anomali yang berasosiasi. Yang paling sering
adalah defek pada saluran urin, yang terjadi sekitar 50% dari pasien. Defek pada
skeletal juga sering. Banyak dari anomali asosiasi merupakan hal yang serius dan
prognosis jangka panjang dari anak dengan malformasi anorektal lebih bergantung pada
keadaan anomali yang berasosiasi ini dibandingkan dengan malformasi anorektal itu
sendiri. Jadi deteksi dini dari anomali ini sangatlah penting. Periode embriologi pada
saat ujung kaudal dari fetus berdiferensiasi (5-24 minggu) merupakan waktu dimana
sistem tubuh lainnya juga sedang berkembang.

Sehingga tidak sulit untuk

membayangkan jika terjadi defek embriologi pada waktu ini yang menyebabkan

malformasi anorektal juga akan

menyebabkan insidensi yang tinggi dari anomali

lainnya. Istilah asosiasi VACTERL telah ditentukan untuk menunjukkan grup nonacak dari anomali yang berkaitan.
V Vertebral anomalies
A Anal atresia
C Cardiovascular anomalies
T Tracheoesophageal fistula
E Esophageal atresia
R Renal
L Limb defect
3.3.4 KLASIFIKASI
MELBOURNE membagi berdasarkan garis pubococcygeus dan garis yang
melewati ischii.(4.5.9)
Terdapat tiga macam letak pada atresia ani:
1. Tinggi (supralevator) : Rektum berakhir di atas m. levator ani (m. puborektalis)
dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak
supralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran
genital.
2. Intermediate : Rektum terletak pada m. levator ani tapi tidak menembusnya.
3. Rendah : Rektum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rectum paling jauh 1 cm. Pada wanita 90% dengan fistula ke
vagina/perineum. Pada laki-laki umumnya letak tinggi bila ada fistula ke traktus
urinarius.
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu:
a. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinalis
dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutama melibatkan bayi
perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar,
dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan
dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
b. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus sehingga tidak adekuat untuk jalan keluar
tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan

dekompresi spontan kolon dan memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah


segera.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu:
a.

Anomali rendah. Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot


puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik
dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius.

b.

Anomali intermediet. Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot


puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.

c.

Anomali tinggi. Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal
tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistula genitourinarius
retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu
rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.
Wingspread (1984), membagi atresia ani dalam 2 golongan yang dikelompokkan

menurut jenis kelamin.


a.

Laki-laki
Golongan I, dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum,

perineum datar dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari
orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria.
Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter
terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila
dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi
feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rectum
tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan
udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.

Gambar 3.3 Fistel rektouretra(5)

Gambar 3.4 Atresia ani dengan fistel rectovestibular(5)


Golongan II, dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal,
stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya
terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan
mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi
definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan
definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara.

Gambar 3.5 Atresia ani dengan fistel perineal(6)

b.

Perempuan

Golongan I, dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel
rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina, mekonium
tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya
dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya
evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat
saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila

penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara
traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak
sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak
normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm.
Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak
ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan
kolostomi.(6.7)

Gambar 3.6 Atresia ani dengan fistel perineal perempuan (6)

Golongan II, dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus dan
fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat
letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada
stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.
Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive.
Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara.(5)
LAKI-LAKI
Kelompok I
Kelainan
Fistel urin
Atresia rectum
Perineum datar
Fistel datar
Invertogram: udara > 1 cm dari kulit
Kelompok II
Kelainan
Fistel perineum

Tindakan
Kolostomi neonates
Operasi definitive
Pada usia 4-6 bulan
Tindakan
Operasi langsung pada nonatus

Membrane anal
Stenosis anus
Fistel tidak ada
Invertogram : udara < 1 cm dari kulit
PEREMPUAN
Kelompok I
Kelainan
Kloaka
Fistel anovestibuler atau rektovestibuler
Atresia rectum
Fistel tidak ada
Invertrogram: udara > 1 cm dari kulit
Kelompok II
Fistel perineum
Stenosis anus
Fistel tidak ada
Invertrogram: udara > 1 cm dari kulit

Tindakan
Kolostomi neonates

Operasi

langsung

pada

neonates

Tabel 3.1 Klasifikasi Wingspread (6.7)

Sedangkan PENA mengklasifikasikan malformasi anorektal sebagai berikut:

Tabel 3.2 Klasifikasi PENA (8)


3.3.5 PATOFISIOLOGI
Embriogenesis malformasi ini tidak jelas. Rektum dan anus berkembang dari

bagian dorsal usus ketika mesenkim bertumbuh ke dalam membentuk septum


anorectum pada midline. Septum ini memisahkan rectum dan canalis anus secara dorsal
dari vesica urinaria dan uretra. Ductus cloaca adalah penghubung kecil antara 2 usus.
Pertumbuhan ke bawah septum urorectalis menutup ductus ini selama 7 minggu
kehamilan. Selama itu, bagian ventral urogenital berhubungan dengan dunia luar dan
membran analis dorsalis terbuka. Anus berkembang dengan penyatuan tuberculum
analis dan invaginasi external, diketahui sebagai proctodeum, yang mengarah ke rectum
tetapi terpisah oleh membran anal. Membran pemisah ini akan terpisahkan pada usia 8
minggu kehamilan.(8)

Tabel 3.3 atresia ani pada perempuan (5)

Tabel 3.5 atresia ani pada laki-laki (5)


Gangguan perkembangan struktur anorectum pada tingkat bermacam-macam
menjadi berbagai kelainan, berawal dari stenosis anus, anus imperforate, atau agenesis
anus dan gagalnya invaginasi proctodeum. Hubungan antara tractus urogenital dan
bagian rectum menyebabkan fistula rectourethralis atau rectovestibularis.(8)

3.3.6 MANIFESTASI KLINIS

Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.

Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.

Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada
fistula).

Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

Pada pemeriksaan rectal touch terdapat adanya membran anal.

Perut kembung

3.3.7 GAMBARAN RADIOLOGIS


1. Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen dibuat dengan kepala anak terletak ke bawah dan
anus di sebelah atas, disebut Wangensteen foto atau inverted foto. Penderita
dibalik dengan kepala di bawah, anus di atas, kemudian dibuat foto daerah
rectosigmoid atau sekaligus foto abdomen seluruhnya. Di daerah anus diberi
sebuah marker yakni uang logam, untuk dapat mengetahui tebal dari bagian
yang tertutup tersebut, yakni jarak antara udara dalam rectum dengan marker
yang dipasang tadi.(2)

Gambar 3.7. Gambaran radiologi Atresia Ani (3)

2. Radiografi Barium Enema

Gambar 3.8. Radiografi barium enema menunjukkan tanda anus imperforata


dan fistula vagina. Barium ada dalam vagina (tanda panah).(3)
Pada garis tengah sagital, jarak antara akhir kantong rektum distal dan
perineum adalah 6,3 13,0 mm pada imperforata anus tipe rendah dan 11,5
14,0 mm pada imperforata anus tipe tinggi. Sering rektum berakhir di dalam
fistula. Pada tipe tinggi dari atresia ani, fistula kadang berakhir dalam uretra
prostatik pada laki-laki dan dalam vagina pada wanita.(3.8.9)
3. Ultrasonografi (USG)

Pada ultrasonogram fistula interna diartikan sebagai bidang hypoechoic,


terkadang sekelompok garis echogenic menghalangi udara dalam fistula
hypoechoic. Hypoechogenic yang berjalan secara anterior, mengganggu bidang
echogenic antara rektum dan urethra (vagina atau vesica urinaria). Pada pasien
wanita, fistula rectovestibular menghubungkan rektum dengan vestibulum yang
ujungnya di anterior normal posisi anus.(3.9)
3.3.7 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
a. Asidosis hiperkloremia
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang.

Eversi mukosa anal

Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)

e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.


f. nkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g. Prolaps mukosa anorektal
3.3.8 DIAGNOSIS
Berdasarkan gambaran klinis, lesi intermediet diperlakukan sebagai malformasi
letak tinggi, dengan demikian dua kelompok tersebut dipertimbangkan secara bersamasama, karena tindakan pembedahan pada malformasi letak tinggi ataupun intermediet
sangat berbeda dari lesi letak rendah. Tujuan diagnosis primer untuk mengetahui apakah
pasien dengan anus imperforate tersebut menderita malformasi letak tinggi atau letak
rendah. Tujuan diagnostic sekunder untuk mengetahui jenis malformasi anorektal yang
lebih spesifik yang berhubungan dengan fistula rectouretral ataupun rectourinary. Bayi
dengan anus imperforate juga harus dinilai secara komprehensif sebagai anomaly
congenital yang berhubungan. (2,3)

Gambar 3.9. The rectal pouch ends cephalad to the pubococcygeal line, This location
of the rectourethral fistula is typical (2)

Gambar 3.10. Coronal view showing incomplete development of the rectal pouch within
the striated muscle complex. The rectourethral fistula is shown. (2)
Untuk menegakkan diagnosis atresia ani adalah dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti, PENA menggunakan cara sebagai berikut:
1. Pada bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila:
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis, atau anal membran
berarti atresia letak rendah, minimal PSARP tanpa kolostomi
b. Mekonium (+), atresia letak tinggi, dilakukan kolostomi terlebih dahulu
dan delapan minggu kemudian dilakukan tindakan definitif
Apabila pemeriksaan di atas meragukan dilakukan foto rontgen dengan knee chest
position. Bila:
a.

Akhiran rektum < 1 cm dari kulit, disebut letak rendah

b.

Akhiran rektum > 1 cm dari kulit, disebut letak tinggi

2. Pada bayi perempuan 90% atresia ani disertai dengan fistel. Bila ditemukan:
a. Fistel perianal (+), minimal PSARP tanpa kolostomi
b. Fistel rektovaginal atau rektovestibuler, kolostomi terlebih dahulu
c. Fistel (-), foto rontgen dengan knee chest position :

Akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan PSARP

Akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi terlebih dahulu

LEAPE (1987)

menyatakan bila mekonium didapatkan

pada perineum,

vestibulum atau fistel perianal, letak rendah. Bila pada pemeriksaan fistel (-), letak

tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah bayi lahir agar
usus terisi udara, dengan cara Wangenstein & Rais (kedua kaki dipegang posisi badan
vertikal dengan kepala di bawah ) atau knee chest position (sujud), bertujuan agar udara
berkumpul di daerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.
Pemeriksaan khusus untuk kelainan anorektal:
a. Wanita
Umumnya pada 80-90% wanita ditemukan fistula ke vestibulum atau vagina,
hanya pada10-20% tidak ditemukan fistel.
Golongan I
1. Kloaka. Pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia dan traktus

digestivus tidak terjadi. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga


perlu cepat dilakukan kolostomi.
2. Fistel vagina. Mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feses bisa tidak

lancar, sebaiknya cepat dilakukan kolostomi.


3. Fistel vestibulum. Muara fistel di vulva di bawah vagina. Umumnya evakuasi feses

lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita
mulai makan makanan padat.Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam
keadaan optimal.
4. Atresia rekti. Kelainan

dimana

anus

tampak

normal,

tetapi

pada

pemeriksaan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada
evakuasi sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
5. Tanpa fistel. Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga

perlu segeradilakukan kolostomi.


Golongan II
1.

Fistel perineum. Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana lokasi anus
normal. Dapat berbentuk anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marks
anus yang rapat ada di posteriornya. Umumnya menimbulkan obstipasi.

2.

Stenosis ani. Lubang anus terletak di lokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi

feses tidak lancar.Sebaiknya secepat mungkin lakukan tetapi definitif.


3.

Tanpa Fistel. Udara < 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi
sehingga perlu segeradilakukan kolostomi.

b. Laki-laki
Golongan I
1.

Fistel urine. Tampak mekonium keluar dari orificium urethrae eksternum. Fistula
dapat terjadi bila terdapat fistula baik ke urethra maupun ke vesika urinaria. Cara
praktis untuk membedakan lokasi fistel ialah dengan memasang kateter urine.
Bila keteter terpasang danurine jernih, berarti fistel terletak di urethra yang
terhalang kateter. Bila dengan kateter,urine berwarna hijau, berarti fistel ke vesika
urinaria. Evakuasi feses tidak lancar, dan penderita mernerlukan kolostomi segera.

2.

Atresia rekti. Sama dengan wanita, perineum datar dan menunjukkan bahwa otot
yang berfungsi untuk kontinensi tidak terbentuk sempurna.

3.

Tanpa Fistel. Udara >1 cm dari kulit pada invertogram. Oleh karena
tidak ada evakuasi feses, maka perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II
1.

Fistel perineum. Sama dengan wanita.

2.

Membran anal

3.

Stenosis ani. Sama dengan wanita.

4.

Bucket handle (gagang ember). Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang
berbentuk gagang ember. Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan
terapi definitif.

5.

Tanpa fistel. Udara < 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi feses,
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

3.3.8 PENATALAKSANAAN
Pasien dengan anus imperforata biasanya stabil, dan diagnosis mudah terlihat.
Selain obstruksi, awalnya abdomen tidak membuncit, dan jarang terjadi urgency secara
bersamaan. Prinsip-prinsip pusat manajemen sekitar mendiagnosis jenis anomaly yang
ada (tinggi versus rendah), dan mengevaluasi adanya anomali terkait. Hal Ini dapat
memakan waktu hingga 24 jam sebelumny adanya fistula pada kulit, dan dengan
demikian penting untuk mengobservasi neonatus selama beberapa waktu sebelum
operasi definitif dilakukan. (3,5)
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak
tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan
atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini
banyak menimbulkan inkontinensia feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi.
Pena dan Defries pada tahun 1982 memeperkenalkan

metode operasi dengan

pendekatan postero sagital anorectoplasty (PSA), yaitu dengan cara membelah m.


sphincter eksternus dan m. levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantung rektum
dan pemotongan fistel.(5.7)
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka
panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi
trauma psikis. Sebagai tujuan utamanya adalah defekasi teratur dan konsistensinya
baik. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukan ketinggian akhiran rektum yang
dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis,
dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, serta keterampilan operator yang kurang serta
perawatan post operasi yang

buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya

berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.(3.5.7)
LEAPE 1987 menganjurkan pada :
Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD terlebih
dahulu, setelah 6-12 bulan baru dilakukan tindakan definitif (PSARP)
Atresia letak rendah dilakukan perianal anoplasty, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sphincter ani eksternus
Bila terdapat fistula dilakukan cut-back incicion

Stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan pena dimana dikerjakan
minimal PSARP tanpa kolostomi.

3.3.9 TINDAKAN KOLOSTOMI PADA ATRESIA ANI


Kolostomi adalah insisi pada kolon untuk membuat sebuah pembukaan buatan
atau stoma ke luar dari abdomen yang berfungsi sebagai pengganti anus untuk
mengeluarkan feses yang akan ditampung oleh sebuah kantong atau stoma bag hingga
kolon sembuh atau operasi korektif lainnya dapat dilakukan.8

Gambar 2.5 Colostomy


(Sumber: http://www.pedisurg.com/pteduc/colostomy.htm)

Pembagian Kolostomi
A. Berdasarkan Penggunaannya
1. Kolostomi Permanen
Kolostomi permanen diperlukan ketika tidak terdapat lagi segmen usus bagian
distal setelah dilakukan reseksi atau untuk alasan tertentu usus tidak dapat disambung
lagi. Kolostomi dibuat untuk menggantikan fungsi anus bila anus dan rectum harus
diangkat. Kolostomi permanen harus hati-hati ditempatkan untuk memudahkan dalam
penanganan jangka panjang. Kolostomi permanen biasanya dibuat pada kolon kiri pada
fossa iliaka kiri. Kolostomi permanen dilakukan pada beberapa kondisi tertentu,
termasuk sekitar 15% oleh karena kasus kanker kolon. Kolostomi ini biasanya
digunakan saat rektum perlu diangkat akibat suatu penyakit ataupun kanker.

2. Kolostomi Sementara
Kolostomi sementara sering dilakukan untuk mengalihkan aliran feses dari
daerah distal usus. Setelah masalah pada usus bagian distal telah teratasi, maka
kolostomi dapat ditutup kembali.
Kolostomi sementara berguna untuk:
1.

Mengatasi obstruksi pada operasi elektif maupun tindakan darurat. Kolostomi


dilakukan untuk mencegah obstruksi komplit usus besar bagian distal yang
menyebabkan dilatasi bagian proksimal.

2.

Melakukan proteksi terhadap anastomosis kolon setelah reseksi. Kolostomi


sementara dibuat, misalnya pada penderita gawat abdomen dengan peritonitis yang
telah dilakukan reseksi sebagian kolon. Pada keadaan demikian, membebani
anastomosis baru dengan pasase feses merupakan tindakan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, untuk pengamanan anastomosis, aliran
feses dialihkan sementara melalui kolostomi dua stoma yang disebut stoma double
barrel. Dengan cara Hartman, pembuatan anastomosis ditunda sampai radang di
perut telah reda.

3.

Kolostomi sementara dapat berguna untuk mengistirahatkan segmen usus bagian


distal yang terlibat pada proses inflamasi misalnya abses perikolik, fistula
anorektal.

B. Berdasarkan bentuk
1. Kolostomi loop (gelung)
Jenis kolostomi ini dibuat sehingga baik segmen distal maupun proksimal usus
terdapat pada permukaan kulit. Gelung usus dikeluarkan melalui insisi pada dinding
abdomen yang ditempatkan diatas benang atau pita plastik untuk mencegahnya kembali
ke kavitas peritonealis. Gelung usus yang dieksteriorisasi kemudian dibuka.
2. End colostomy (kolostomi ujung)
Memerlukan pemotongan kolon dengan pengeluaran ujung proximal melalui
insisi kecil ke dalam dinding abdomen dengan anastomosis ke kulit. Ujung distal bisa
secara sama dobawa melalui lubang terpisah dalam dinding abdomen sebagai fistula
mukosa, kombinasi yang disebut double-barrel
3. Kolostomi double barrel

Pada kolostomi double barrel, dibuat dua stoma yang terpisah pada dinding
abdomen. Stoma bagian proksimal berhubungan dengan traktus gastrointestinal yang
lebih atas dan akan menjadi saluran pengeluaran feses. Stoma bagian distal
berhubungan dengan rectum. Kolostomi double barrel termasuk jenis kolostomi
sementara. Kolostomi double barrel mudah dan aman digunakan pada neonatus dan
bayi.
C. Menurut letaknya
1. Kolostomi ascenden
Colostomy jenis ini terletak pada sebelah kanan abdomen dan cairan yang
dihasilkan sangat encer.Colostomy tipe ini jarang digunakan karena lebih sering
dilakukan ileostomy pada cairan usus yang encer.
2. Kolostomi transversum
Colostomy transversum dilakukan pada pasien pasien dengan diverticulitis,
penyakit inflamasi usus, keganasan, obstruksi usus, kecelakaan atau kelainan
congenital.Colostomy jenis ini membolehkan feses keluar dari kolon sebelum sampai ke
kolon desendens. Kolostoma pada kolon transversum mengeluarkan isi usus beberapa
kali sehari karena isi kolon transversum tidak padat, sehingga lebih mudah diatur.
3. Kolostomi descenden/ colostomy sigmoid
Lokasinya terletak pada bagian kiri bawah abdomen dan merupakan jenis
colostomy yang paling sering dilakukan. Feses yang dikeluarkan pada colostomy jenis
ini lebih padat dibanding dengan feses pada colostomy transversum. Pengeluaran feses
terjadi pada basis reguler dan intervalnya bisa diprediksi. Pergerakan usus terjadi setelah
sejumlah feses terkumpul dalam usus yang terletak di atas tempat colostomy. Pada
kolostoma sigmoid biasanya pola defekasi sama dengan semula. Banyak penderita
mengadakan pembilasan sekali sehari sehingga mereka tidak terganggu oleh
pengeluaran feses dari stomanya.

Gambar 2.6 Stoma


(Sumber: www.netterimages.com)

Loop colostomy kontraindikasi pada anak dengan malformasi anorektal. Hal itu
dikarenakan loop colostomy memiliki kecenderungan untuk prolaps dan tinja dapat
masuk ke dalam distal stoma yang akan menimbulkan impaksi fecal dalam rektum distal
serta mengkontaminasi traktus urinarius dengan feses.4
Kolostomi yang disarankan dalam menangani kasus malformasi anorektal adalah
descending colostomy.1,4 Kolon pada bagian distal stoma akan mengalami penurunan
fungsi dan umumnya menjadi atrofi karena tidak digunakan. Oleh karena itu,
descending colostomy menjadi pilihan karena segmen kolon yang akan mengalami
penurunan fungsi hanya sedikit.4 Atrofi kolon distal menyebabkan feses cair sementara
waktu setelah dilakukan penutupan kolostomi, dan ini dapat diminimalisasi dengan
dibentuknya kolostomi pada kolon desending kiri.4
Pena secara tegas menjelaskan bahwa atresia ani letak tinggi dan intermediet
dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi. Operasi definitive setelah 4-8
minggu. Saat ini tehnik yang paling banyak dipakai adalah PSARP, baik minimal,
limited atau full postero sagital anorectoplasty.
Postero Sagital Anorectoplasty (PSARP)
Suatu tindakan operasi definitif pada pasien atresia ani dengan tehnik operasi
menggunakan irisan kulit secara sagital mulai dari tulang koksigeus sampai batas

anterior bakal anus. Metode ini diperkenalkan oleh Pena dan de Vries pada tahun 1982.
Prosedur ini memeberikan beberapa keuntungan seperti kemudahan dalam operasi
fistula rektourinaria maupun rektovaginal dengan cara membelah otot dasar pelvis,
sling, dan sfingter.
Indikasi PSARP:

Atresia ani letak tinggi

Fistel rektouretral

Fistel rektovesikal

Fistel rektovestibular

Fistel rektovaginal

Macam-macam PSARP

Minimal PSARP
Pada tindakan ini tidak dilakukan pemotongan otot levator maupun vertical
fibre, yang penting adalah memisahkan common wall untuk memisahkan
rektum dengan vagina dan yang dibelah hanya otot sfingter eksternus. indikasi :
dilakukan pada fistula perineal, anal stenosis, anal membran, bucket handle dan
atresia ani tanpa fistula yang akhrian rektum kurang dari 1 cm dari kulit.

Limited PSARP
Pada tindakan ini yang dibelah adalah otot sfingter eksterns, muscle fiber,
muscle complex serta tidak membelah tulang coccygeus. Yang penting adalah
diseksi rektum agar tidak merusak vagina. indikasi : atresia ani dengan fistula
rektovestibuler.

Full PSARP
Yang dibelah otot sfingter eksternus, muscle complex, dan coccygeus indikasi :
atresia ani letak tinggi dengan gambaran invertogram gambaran akhiran rektum
lebih dari 1 cm dari kulit, pada fistula rektovaginalis, fistula rektouretralis,

atresia rektum dan stenosis rektum.

Tabel 3.6 Teknik repair yang dianjurkan pada atresia ani berdasarkan jenis
fistel(8)
Teknik operasi

Pasien dalam keadaan general anestesi, posisi pasien pronasi dan pelvis

ditinggikan (jack prone)

A dan antiseptik

Identifikasi sfingter ani ekstena

Insisi Posterosagital

Identifikasi otot perineum stimulator elektrik

Insisi diperdalam dengan memotong sfingter ani dan otot levator sampai

mencapai rectum

Dinding rektum diinsisi dan dijahit dengan beberapa benang sutra 6-0

Fistel dicari, dipisahkan, dan diligasi dengan benang absorbable 6-0

Diseksi melingkari rektum sampai rektum mencapai perineum

Otot levator dan sfingter ani dijahit dengan mengikutsertakan sebagian

dinding rektum

Fiksasi rektum di perineum

Perawatan pasca operasi PSARP

Antibiotik (ampicillin, gentamicin, clindamycin) intravena diberikan selama 2472 jam. Dapat juga diberikan antibiotik salep (bacitracin) pada luka post op tiga
kali sehari.1,4 Jika tidak ada infeksi, antibiotik intravena dapat dihentikan dan
diganti dengan ampicillin per oral. Jika terdapat infeksi maka dapat diteruskan
antibiotik intravena selama seminggu.1

Dua minggu pasca operasi dilakukan pembukaan jahitan main subcuticular


nylon dan anus didilatasi menggunakan Hegar dilators dengan peningkatan
ukuran hingga menemukan ukuran yang pas dengan anus. Awalnya dilakukan 2
kali sehari, dimana setiap minggu ukuran Hegar dilators diubah ke ukuran
berikutnya.1,4
Umur
1-4 bulan
4-8 bulan
8-12 bulan
1.3 Tahun
3-12 tahun
>12 tahun

Ukuran
# 12
# 13
#14
#15
#16
#17

Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengerjakan serta
tidak ada rasa nyeri dilakukan 2 kali seminggu selama 3-4 minggu merupakan indikasi
tutup kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.
Frekuensi

Dilatasi

1x/hari
3 hari sekali
2x/minggu
1x/minggu
1x/bulan

Selama 1 bulan
Selama 1 bulan
Selama 1 bulan
Selama 1 bulan
Selama 3 bulan

Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak untuk melakukan pembedahan pada kasus
atresia ani. Adapun hal-hal yang dapat menunda rekonstruksi kolorektal definitif yaitu
adanya malformasi yang berhubungan dengan keadaan seperti prematuritas dan
penyakit jantung bawaan.

Gambar 2.7 Fistula Rectovestibular Post PSARP


(Sumber: Pediatric Surgery, Springer Surgery Atlas Series; 2006)
3.3.9 PROGNOSIS
1. Dengan menggunakan klasifikasi di atas dapat dilakukan evaluasi fungsi klinis:
a. Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar
b. Sensasi rektal dan soiling;
c. Kontraksi otot yang baik pada colok dubur.
2. Evaluasi psikologis.
Fungsi kontinensi tidak hanya tergantung integritas atau kekuatan sfingter atau
sensasi saja,tetapi tergantung juga pada bantuan orang tua dan kooperasi serta keadaan
mental penderita.(9.10)

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidayat, R. Jong, WD. Buku ajar ilmu bedah edisi 2: anorektum

Jakarta: EGC. 2003


2. Mulholland, Michael W,

Lillemoe, Keith D. Anorectal Malformation in:

Greenfield's Surgery: Scintific Principles and Practice, 4th Edition. New York:
Mc-Graw Hill.2006
3. Nelson, G Rosen, MD. Pediatric Imperforate Anus. 25 januari 2010 (cited 08
juni 2012). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/929904overview.
4. Carpenito, Lynda Juall. Buku Saku Diagnosa Kedokteran Klinis, Edisi 6.
Jakarta : EGC. 2000
5. Adams, CBT. Adili Farzin. Ahrendt, Steven. Oxford Textbook of Surgery. USA :
Oxford University Press. 2002
6. Bagian Bedah Staf Pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta:
Binarupa Aksara. 1995
7. Chandler, LR. Congenital Malformations Of The Rectum And Anus: Their
Surgical Treatment. California And Western Medicine Journal Vol. 51. 2005.
8. Joseph, D. Management Of Anorectal Malformations And Hirschsprung Disease
In Guyana. Dept. of Pediatric Surgery Georgetown: Public Hospital Corporation.
2005.
9. De Jong W, Sjamsuhidajat R, (ed). Buku Ajar Ilmu Bedah, 2005 edisi 2, 667670, (Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta).
10. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, et
al. Anorectal Malformations in Schwartz Principles of Surgery. 8th ed. United
States of America; 2005.p.1497-1499.

Anda mungkin juga menyukai