PENDAHULUAN
prevalensinya
yang
terus
meningkat,
penyakit
ini
juga
menghabiskan biaya yang tidak sedikit dalam pengobatannya. Data tahun 2000
dari Amerika menunjukkan insidensi penyakit ini berkisar antara 0,4-1% dengan
prevalensi 10-12% dan telah menghabiskan biaya US$ 2,1 Miliar setiap tahunnya
(Pearle et al, 2005).
1
Penyakit ini sering terjadi pada seseorang dengan usia di atas dekade
ketiga dan keempat serta lebih banyak menyerang pria (Pinduli et al, 2006).
Perkembangan kebudayaan westernisasi di seluruh dunia menyebabkan lokasi
batu saluran kemih yang umumnya hanya terdapat di saluran kemih bagian bawah
kini juga terdapat saluran kemih bagian atas (Pearle dan Lotan, 2011).
Menurut penelitian terdahulu, prevalensi batu saluran kemih pada populasi
pria lebih banyak 1,5-3 kali dibanding populasi wanita. Namun, penelitian terbaru
menunjukkan telah terjadi perubahan prevalensi dengan perbandingan pria hampir
sama dengan wanita (Muslumanoglu et al, 2011). Perubahan distribusi gender ini
disebabkan karena adanya peningkatan indeks masa tubuh pada wanita
dibandingkan pria. Faktor risiko yang berkaitan dengan masalah metabolisme,
seperti peningkatan massa tubuh dan obesitas, memiliki hubungan dengan batu
saluran kemih (Ekeruo et al., 2004).
Riwayat keluarga juga merupakan faktor risiko dalam mencetuskan
terjadinya batu saluran kemih (Deyust dan Pirson, 2007). Individu yang memiliki
riwayat keluarga batu saluran kemih memiliki risiko 2,5 kali lebih besar terkena
penyakit ini. Namun, riwayat keluarga tidak selalu menyatakan adanya suatu gen
pencetus yang diwariskan kepada keturunannya. Hal ini disebabkan batu saluran
kemih juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang biasanya berhubungan
dengan pola makan dan gaya hidup yang dimiliki keluarga itu (Lopez dan Hoppe,
2008).
BAB II
STATUS PASIEN
2.1. IDENTIFIKASI
Nama
Umur
: 55 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Alamat
MRS
: 16 november 2015
No. MR
: 918936
2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
nyeri pada pinggang kanan sejak 2 bulan
menerus, seperti ditusuk tusuk (+), kencing berpasir (-), BAK kemerahan
(-), nyeri saat BAK (-), BAK putus-putus (-).
: Baik
: compos mentis
: 100/70 mmHg
: 84 x/menit
: 20x/menit
: 36,5 C
b. Keadaan Khusus
Kepala
: normochepali, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
pupil bulat, isokor, reflek cahaya (+/+), 3mm/3mm
Leher
: pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O
Thorax
Jantung
Paru
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas
: timpani
: bising usus (+) normal
c. Status Lokalis
Regio lumbal DS
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Regio suprapubik
Inspeksi
Palpasi
: nyeri tekan (-)
Regio
genitalia : massa (-), tanda-tanda radang (-), tanda-tanda
eksterna
RT
trauma (-)
: TSA baik
: 9,7 mg/dL
Kimia Klinik
Ureum
39 mg/dL
Eritrosit
: 4.190.000/mm3
Kreatinin
1,26 mg/dL
Leukosit
: 6900/mm3
Hematokrit
: 33%
Elektrolit
Trombosit
: 396.000/ L
:
0/5/55/34/8
Natrium
140 mg/dL
Kalium
4,0 mg/dL
Diff count
Pemeriksaan Radiologi
X foto polos & IVP (29/10/2015)
fotopolos
IVP
L2-3
: -Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal kiri baik, kanan tak
tervisualisasi sampai akhir pemeriksaan.
-System pelviocalyceal kiri tak melebar. kanan tak
tervisualisasi sampai akhir pemeriksaan.
-Ureter kiri baik, dinding tampak regular.
-Vesika urinaria baik, dinding regular, tak tampak filling
defeck/indentasi/ additional shadow.
-Post miksi, tampak sisa kontras pada VU.
Kesimpula
n
Kesimpulan
: Hidronefrosis dextra
Kolik abdomen
2.7. Tatalaksana
Pro nefrolitotomi
Diet ND
Pemeriksaan kultur urine
Pemeriksaan hasil lab
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
dengan ketebalan 3 cm, serta memiliki berat sekitar 150 gram pada pria dan 135
gram pada wanita (Stoller, 2012; Pearle dan Lotan, 2011).
Ginjal terdiri dari lapisan luar yang disebut korteks, lapisan tengah yang
disebut medula, dan lapisan dalam yang terdiri dari kaliks dan pelvis. Korteks
adalah lapisan yang homogen dan terdapat bagian yang tertuju ke arah papila dan
forniks. Bagian ini disebut kolumna Bertin. Lapisan tengah terdiri atas beberapa
piramida yang dibentuk oleh tubulus pengumpul dan memiliki fungsi mengalirkan
urin ke kaliks minor dan ujung papila (Stoller, 2012). Darah mengalir ke ginjal
dan difiltrasi oleh satuan unit fungsional terkecil yang dikenal dengan nefron.
Urin akan terbentuk pada akhir proses dan selanjutnya urin ini akan dialirkan
melalui ureter ke kandung kemih (Drake et al., 2010).
3.1.1.2. Ureter
Ureter adalah saluran yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih.
Memiliki panjang bervariasi tiap individu sekitar 30 cm dengan diameter 6 mm
dan memiliki bentuk seperti lengkungan huruf S. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya daerah yang relatif sempit, yakni: (1) perbatasan antara ureter
10
dengan pelvis renalis atau dikenal dengan ureteropelvic junction, (2) persilangan
antara ureter dengan arteri iliaka di rongga pelvis, dan (3) saat ureter masuk ke
dalam kandung kemih (Stoller, 2012). Ureter masuk dari belakang kandung kemih
dengan sudut tertentu untuk mencegah kembalinya urin ke ginjal. Ureter terdiri
atas tiga lapisan, yakni: mukosa yang dilapisi sel epitel transisional, otot polos
sirkuler, dan otot polos longitudinal. Kontraksi dan relaksasi kedua otot ini
menyebabkan gerakan yang dapat mengalirkan urin masuk ke dalam kandung
kemih (Drake et al., 2010).
3.1.2. Saluran Kemih Bagian Bawah
3.1.2.1. Kandung Kemih
Kandung kemih adalah organ berongga yang dilapisi oleh otot dan terletak
di posterior tulang pubis. Lapisan mukosa kandung kemih bagian dalam adalah
epitel transisional. Di atas lapisan ini terdapat lapisan otot detrusor yang saling
beranyaman dan berfungsi dalam kontraksi kandung kemih (Drake et al., 2010).
Ketika kosong, kandung kemih terletak di belakang simfisis pubis, ketika
penuh, kandung kemih dapat terllihat naik di atas simfisis pubis dan dapat
diperkusi serta dipalpasi dengan mudah (Stoller, 2012).
Pada bagian bawah kandung kemih terdapat daerah berbentuk segitiga
yang disebut trigon. Urin dari ureter masuk ke dalam kandung kemih melalui
bagian atas trigon dan keluar dari kandung kemih menuju uretra melalui bagian
bawah trigon (Drake et al., 2010).
11
Sfingter eksterna dipengaruhi oleh saraf somatis sehingga hanya terbuka ketika
seseorang memerintahkannya dengan sadar (Drake et al., 2010).
3.2.
14
Mineral
whewellite
wheddellite
uricite
Amonium urat
Magnesium amonium fosfat
struvite
dahllite
Calcium hydrogenphosphate
brushite
Cystine
15
Xanthine
2,8-dihydroxyadenine
Batu obat
Komposisi tidak diketahui
Sumber: Trk, C, Knoll, T, Petrik, A, Sarica, K, Seitz, C, Straub, M. (2011) Guidelines on
Urolithiasis, Belanda: European Association of Urology. Table 3: Stones Classified by Their
Composition; p. 291.
Batu Infeksi
Batu Genetik
Batu Obat
Magnesium
Kalsium oksalate
Kalsium fosfat
Asam urat
Indinavir
Sistin (Cystine)
amonium fosfat
Apatit
Amonium urat
Xanthine
2,8-dihydroxy-adenine
Kurang Radioopak
Kalsium oksalate
Magnesium amonium
dihidrat
Kalsium oksalate
fosfat
Radiolusen
Asam urat
monohidrat
Kalsium fosfat
Apatit
Amonium urat
Sistin (Cystine)
Xanthine
2,8-dihydroxy-adenine
Batu akibat obat-obatan
16
18
membentuk
batu
kalsium
oksalat.
Ada
faktor
lain
yang
20
atau penurunan berat badan yang cepat, dan pasien yang mendapat terapi obat
sitotoksik memiliki insiden yang tinggi terjasinya batu asam urat. Sebagian besar
pasien yang mengalami batu asam urat tidak mengalami hiperuricemia.
Peningkatan asam urat lebih disebabkan karena dehidrasi dan memakan makanan
yang mengandung banyak purin. Pasien yang mengalami batu asam urat memiliki
pH<5,5. Ketika pH urin berada di atas konstanta disosiasi (pKa 5,75), asam urat
akan berdisosiasi menjadi ion urat yang lebih larut dalam air. Oleh karena itu,
pengobatan lebih ditekankan pada pemberian cairan (volume urin >2L) dan pH
urin diusahakan di atas 6 (Stoller, 2012).
3.3. Faktor Epidemiologi
3.3.1. Jenis Kelamin
Batu saluran kemih biasanya terjadi pada pria dewasa daripada wanita
dewasa dengan perbandingan 3:1. Namun, saat ini terdapat perbedaan yang
semakin sempit antara angka kejadian pada pria dengan wanita. Data dari
Amerika menunjukkan bahwa meskipun angka kejadian dari tahun 1997-2002
terdapat peningkatan pada wanita sebesar 17% (Pearle dan Lotan, 2011).
3.3.2. Ras dan etnis
Batu saluran kemih lebih sering terjadi pada ras Kaukasia berkulit putih
daripada kulit hitam, terlepas dari daerah tempat tinggal geografinya. Di Amerika
dan Brasil, terdapat perbandingan 4:1 antara ras Kaukasia dengan Kulit Hitam.
Memang benar perbedaan ini tidak akan membawa langsung kepada kesimpulan
bahwa ras tertentu memiliki hubungan langsung terhadap risiko batu saluran
kemih. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa ketika orang Kulit Hitam
mengadopsi gaya hidup orang Kaukasia, terdapat peningkatan prevalensi yang
signifikan pada orang Kulit Hitam (Lopez dan Hoppe, 2008;Pearle dan Lotan,
2011).
3.3.3. Usia
Angka kejadian batu saluran kemih sangat jarang sebelum usia 20 tahun
21
dan meningkat pada usia 40-60 tahun. Ilmuwan telah mengamati bahwa wanita
memiliki model distribusi ganda kejadian batu saluran kemih pada usia 60 tahun
berkaitan dengan menopause. Temuan ini mungkin ada hubungannya dengan efek
estrogen yang dapat menghalangi pembentukan batu saluran kemih karena
hormon ini dapat meningkatkan penyerapan kalsium dan mencegah saturasi
kalsium di urin. Selain itu, batu saluran kemih lebih jarang pada wanita
dibandingkan dengan pria hingga mencapai usia 50 tahun (Pearle dan Lotan,
2011).
3.3.4. Distribusi Geografi
Distribusi geografi batu saluran kemih cenderung terjadi sesuai dengan
keadaan lingkingan. Prevalensi BSK yang tinggi sering ditemukan pada
lingkungan yang panas, gersang, atau iklim yang kering seperti pegunungan,
padang gurun, dan daerah tropis. Namun, faktor genetik dan pengaruh makanan
dapat mengalahkan efek fsktor risiko geografi (Pearle dan Lotan, 2011).
Ilmuwan berhasil mengungkapkan daerah dengan prevalensi terbanyak di
dunia. Daerah itu adalah: Amerika Serikat, Kepulauan Britania, Skandinavia dan
Mediterania, India Utara dan Pakistan, Australia Utara, Eropa Tengah, sebagian
Selat Malaya, dan Cina. Daerah-daerah di seluruh dunia yang memiliki prevalensi
batu saluran kemih yang tinggi dikenal dengan istilah sabuk batu (stone belt)
(Lopez dan Hoppe, 2008).
22
3.3.5. Iklim
Imsidensi batu ssaluran kemih lebih tinggi pada negara yang memiliki
iklim hangat dan panas. Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena
pengeluaran urin yang rendah dan kurangnya asupan cairan. Faktor inilah yang
menyebabkan pola geografi di Amerika Utara dan sabuk batu Afro-Asia (Lopez
dan Hoppe, 2008).
Selain itu, perbedaan musim juga berhubungan dengan suhu dan hilangnya
cairan tubuh akibat presipitasi dan juga mungkin karena peningkatan produksi
vitamin D akibat induksi dari sinar matahari. Angka kejadian batu saluran kemih
lebih tinggi pada musim panas dan gugur dibandingkan musim dingin dan semi.
Di Amerika Utara, prevalensi batu saluran kemih cenderung meningkat ketika
rerata suhu tahunan (5.2C di Dakota Utara hingga 22C di Florida) dan indeks
cahaya matahari (14.6 di Washington hingga 39.7 di Florida) meningkat (Lopez
dan Hoppe, 2008; Pearle dan Lotan, 2011).
23
urolithiasis, Pediatr Nephrol, 25, pp. 4959. Fig. 2 North American Stone Belt; p. 53.
3.3.6. Pekerjaan
Paparan panas dan dehidrasi yang dapat mengakibatkan batu saluran
kemih dapat terjadi pada pekerjaan. Juru masak dan ahli mesin, sering terkena
paparan suhu yang tinggi, memiliki tingkat kejadian batu saluran kemih tertinggi
dibandingkan personel lain. Orang yang bekerja di peleburan baja juga memiliki
tingkat insidensi yang tinggi karena terpapar dengan suhu tinggi dibanding dengan
orang yang bekerja di suhu normal. Pemeriksaan metabolik yang lebih dalam
selanjutnya mengungkapkan bahwa pekerja yang terpapar suhu tinggi memilliki
volume urin yang rendah dan hipositraturia. Penelitian lain yang dilakukan pada
pekerja pabrik kaca menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar dengan suhu
tinggi dalam jangka panjang mengalami persipitasi yang besar. Akibatnya, pekerja
yang terkena paparan suhu tinggi memiliki volum urin dan pH yang rendah, level
asam urat yang tinggi, massa jenis urin yang tinggi, sehingga menyebabkan
supersaturasi asam urat. Hal ini menyebabkan 38% pekerja di pabrik tersebut
mengalami batu asam urat (Pearle dan Lotan, 2011). Individu yang memiliki
pekerjaan kantoran seperti manager atau pegawai profesional memiliki risiko
tinggi terkena batu saluran kemih, namun penyebabnya masih belum jelas (Pearle
dan Lotan, 2011).
3.3.7. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga yang memiliki batu saluran kemih
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita batu saluran kemih yang
berulang, terlebih lagi jika orang tersebut memiliki riwayat gangguan saluran
cerna (terutama yang menyebabkan diare kronik), osteoporosis, infeksi saluran
kemih atau gout artritis (Pearle dan Lotan, 2011).
24
Insidensi batu saluran kemih akan meningkat sebanyak dua kali pada
pasien dengan riwayat keluarga tingkat pertama yang memiliki riwayat batu
saluran kemih (Stoller, 2012). Pasangan dari orang yang memiliki riwayat batu
kalsium oksalat juga memiliki risiko yang lebih tinggi menderita batu saluran
kemih dikarenakan adanya pengaruh lingkungan dan faktor makanan (Stoller,
2012).
Selain pengaruh lingkungan dan faktor makanan, genetik juga memiliki
peran besar (Stoller, 2012). Peran genetik seperti defek pada pengasaman urin,
cystinuria, ataupun defek pada gen yang mengatur jalur metabolisme kalsium
sehingga terjadi hiperkalsiuria menyumbangkan faktor risiko signifikan dalam
riwayat keluarga (Devuyst dan Pirson, 2007; Stoller, 2012; Mohsen et al., 2012).
3.3.8. Status Ekonomi
Dalam beberapa dekade terakhir ini, telah terjadi peningkatan kualitas
pangan dan asupan protein yang pararel terhadap peningkatan perekonomian
dunia sehingga standard hidup masyarakat juga mengalami perubahan Alpay et al.
(2013). Perubahan perilaku dan gaya hidup ini mengakibatkan pergeseran
kecendrungan lokasi terbentuknya batu dari kandung kemih menjadi batu ginjal
terutama pada negara berkembang (Alpay et al., 2013).
Penelitian secara epidemiologi dari berbagai negara telah menunjukkan
bahwa insidensi batu ginjal lebih tinggi pada populasi dengan konsumsi protein
hewani yang tinggi (Pearle dan Lotan, 2011). Asupan protein dapat meningkatkan
level kalsium urin, oksalat, dan eksresi asam urat yang pada akhirnya dapat
meningkatkan probabilitas pembentukan batu saluran kemih bahkan pada orang
yang normal sekalipun (Pearle dan Lotan, 2011).
3.4. Faktor Metabolik
3.4.1. Diabetes
Hubungan antara diabetes melitus dan batu saluran kemih telah diketahui
sejak 15 tahun terakhir ini. Namun, studi epidemiologi yang detail masih sedikit
25
dilakukan. Pada studi yang dilakukan oleh Meydan (2003) di Turki menunjukkan
bahwa pasien yang mengalami diabetes lebih sering terkena batu saluran kemih
dan memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. Penelitian prospektif telah
menunjukkan bahwa riwayat diabetes memiliki hubungan independen dengan
kejadian batu saluran kemih baik pada wanita usia muda dan tua, tapi tidak pada
pria. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan pasien diabetes yang mengalami batu
ginjal lebih sering terkena batu jenis asam urat dibandingkan dengan jenis batu
lain. Hal ini disebabkan pasien yang mengalami diabetes, khususnya diabetes
melitus tipe II, memiliki pH yang rendah. Hal ini menyebabkan batu dapat mudah
terbentuk. Selain itu, pasien dengan diabetes melitus mengeksresikan oksalat urin
lebih banyak daripada orang yang tidak menderita diabetes (Khan, 2012).
Diabetes nefropati, ditandai dengan akumulasi matriks ekstraselular di
matrik glomerular, tubulus interstisium, dan penebalan hyalin pembuluh darah
ginjal, sering dikenal sebagai komplikasi diabetes. Nefropati dimulai dengan
hiperglikemi. Glukosa dimetabolisme melalui berbagai jalur kaskade yang akan
megaktifkan jalur lainnya. Molekul seperti advance glycation end products
(AGE), protein kinase C (PKC), dan RAS akan diaktifkan. Hal ini akan
menghasilkan reactive oxygen species (ROS) yang pada akhirnya akan
mengaktifkan jalur mitogen activated protein kinase (MPK), transforming growth
factor-b (TGF-b), berbagai macam kemokin dan faktor transkripsi. Hal ini akan
menyebabkan ekspresi berlebih dari gen yang menyandi matriks ekstraselular
sehingga menyebabkan fibrosis. Kelainan ini disebut fibrosis kolagen tipe IV yang
ditandai dengan peningkatan marker reaksi inflamasi dan terjadi pada pasien
diabetes tipe II (Khan, 2012; Okonogi et al., 2001).
26
3.4.2. Hiperurikosuria
Batu asam urat dapat terjadi akibat gout artritis atau pada penyebab
sekunder dari kelebihan produksi purin. Penyebab sekunder dari batu ini termasuk
diare kronik yang diakibatkan oleh ileostomi, kolitis ulserasi, dan penyakit Chron.
Diare kronik ini menyebabkan orang tersebut terpapar dengan kondisi pH urin
yang rendah akibat hilangnya bikarbonat, berkurangnya eksresi amonia, dan
rendahnya volume urin (Colella et al., 2005).
Tabel 2.4 Faktor-Faktor yang Dapat Menyebabkan Pembentukan Batu Akibat
Hiperurikosuria
No
1
2
3
5
6
7
Faktor
Kelaparan yang menyebabkan keadaan oligouria kronik
Gout primer (25% populasi)
Gout Sekunder (50% populasi)
Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan sel dengan cepat. Sering
pada pasien yang menjalani pengobatan penyakin neoplastik
Leukemia akut
Anemia hemolitik/ penyakit myeloproliferatif
Olahraga yang berlebihan
Sumber:
Joan,
C,
Eileen,
K,
Bernadette,
G,
Ravi,
M.
(2005)
Urolithiasis/Nephrolithiasis: Whats It All About?, Urologic Nursing, 25(6), pp.
427-475. Table 3. Contributing Factors to Stone Development; p. 432.
petunjuk
mengenai
diagnosis
infeksi
saluran
kemih
dengan
pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis urethra-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis
seperti pada hyperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Mekanisme
pembentukan
batu
dapat
dibagi
menjadi
tahap
yang
infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks
ginjal. Batu yang mengisi pielum dan labih dari dua kaliks ginjal memeberikan
gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Batu yang
terbentuk dan menetap di ginjal (nefrolithiasis) jarang
menimbulkan gejala,
kalaupun ada batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai berat
29
karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis renalis, dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat .Batu yang ukurannya
kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan dan tidak menimbulkan nyeri.
Nyeri baru timbul ketika ukuran batu ginjal yang lebih besar dari 5 mm memasuki
ureter
(uretherolithiasis)
dan
menimbulkan
obstruksi
kronik
berupa
30
Terlihat tanda gagal ginjal dan retensi urin, jika disertai infeksi didapatkan
demam dan menggigil.
bersuhu
tinggi.
Keterbatasan
aktivitas/immobilisasi
31
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan pada kasus batu ginjal adalah
adalah foto polos abdomen, USG abdomen, CT-scan. Dari pemeriksaan radiologi
dapat menentukan jenis batu, letak batu, ukuran, dan keadaan anatomi traktus
urinarius. Secara radiologi, batu dapat berupa radio-opak dan radio-lusen.
a. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen ini bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu
radio-opak di saluran
bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai di antara batu jenis lain. Batu
Magnesium Ammoniak Phospat (MAP) memberikan gambaran semi-opak.
Sedangkan batu asam urat, batu matriks dan indinivar bersifat radio-lusen.
b. Pielografi Intra Vena (IVP)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan antomi dan fungsi ginjal, selain
itu IVP juga dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non-opak
yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Pada yang radiopak
pemeriksaan dengan foto polos sudah cukup untuk menduga adanya batu ginjal
bila diambil foto dua arah. Pada keadaan tertentu terkadang batu terletak di depan
bayangan tulang, sehingga dapat luput dari penglihatan. Oleh karena itu foto polos
sering perlu ditambah foto pielografi intravena (PIV/IVP). Pada batu radiolusen,
foto dengan bantuan kontras akan menyebabkan defek pengisian (filling defect) di
tempat batu berada. Yang menyulitkan adalah bila ginjal yang mengandung batu
tidak berfungsi lagi sehingga kontras ini tidak muncul. Dalam hal ini perlu
dilakukan pielografi retrograd.
c. USG
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP,
yaitu pada keadaan-keadaan : alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai
adanya batu di ginjal atau di buli-buli yang ditunjukkan dengan echoic shadow,
hidronefrosis dengan gambaran dilatasi pelvis dan kaliks ginjal, pionefrosis, atau
pengerutan ginjal. USG dapat mendeteksi adanya batu dan dilatasi sistem
kollektivus. Visualisasi hidronefrosis yaitu: derajat 1, dilatasi pelvis renalis tanpa
dilatasi kaliks, kaliks berbentuk blunting, alias tumpul. Derajat 2, kaliks berbentuk
flattening, mendatar, derajat 3, dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor, kaliks minor,
32
alias menonjol.
Derajat 4, ada penipisan korteks ginjal dan kaliks berbentuk balloonong, alias
menggembung.
Keterbatasan pemeriksaan ini adalah kesulitan menunjukkan batu ureter dan tidak
dapat membedakan batu kalsifikasi dan batu radiolusen.
3.7. Hidronefrosis Ginjal
Penyebab hidronefrosis adalah obstruksi kronis pada saluran kemih pada
traktus urinarius sehingga menyebabkan penimbunan cairan bertekanan dalam
pelvis ginjal dan ureter.
Gambaran CT-Scan pada hidronefrosis adalah hidronefrosis yang dini
memberikan gambaran flattening, yaitu kaliks-kaliks yang mendatar.
Perubahan ini reversibel. Pada stadium lanjut akan memeperlihatkan kalikskaliks yang berbentuk tongkat atau menonjol (clubbing) pada tingkat yang
lebih parah lagi akan terjadi destruksi parenkim ginjal dan pembesaran sistem
saluran kemih.
3.7.1
. Pemeriksaan laboratorium
- Urine analisis, volume urine, berat jenis urine, protein, reduksi, dan
sediment. Bertujuan menunjukkan adanya leukosituria, hematuria, dan
-
3.7.2
. Diagnosis Banding
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Kolelithiasis
33
3.8 Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
Terapi ini ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena
diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan
mengurangi
nyeri,
memperlancar
aliran
urin
dengan
pemberian
Bedah laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kenih saat ini
sedang berkembang. cara ini banyak dipaki untuk mengambil batu ureter.
Bedah terbuka
Di klinik-klinik yang belum memiliki fasilitas endourologi, laparaskopi,
maupun ESWL, pengambilan batu dilakukan dengan bedah terbuka,
antara lain: pielolitotomi dan nefrolitotomi untuk mengambil batu di
ginjal dan ureter.
3.9 Komplikasi
Batu ginjal yang hanya menimbulkan keluhan nyeri kolik renal mungkin
tidak mengalami masalah setelah nyeri berhasil diatasi. Apabila batu
tersebut menyababkan sumbatan atau infeksi. Sumbatan ini dapat menetap
dan batu berisiko menyebabkan gagal ginjal.
3.10 Prognosis
Prognosis tergantung pada besar batu, letak batu, adanya infeksi, dan
adanya obstruksi.
34
3.11 Pencegahan
Pencegahan berupa: menghindari dehidrasi dengan minum cukup air 2-3
liter per hari, diet rendah protein, rendah oksalat, rendah garam, rendah
purin untuk mengurangi kadar zat komponen pembentuk batu, aktivitas
harian yang cukup, dan pemberian medikamentosa.
BAB IV
ANALISIS KASUS
Seorang laki laki berusia 55 tahun, bekerja sebagai petani, datang dengan
keluhan nyeri pinggang kanan. Nyeri hebat dirasakan seperti ditusuk tusuk, hilang
timbul pada pinggang kanan. BAK darah (-), BAK berpasir (+). Riwayat BAK
mengedan (-), BAK putus-putus (-). Tidak terdapat muntah, demam, atau keringat
malam. Pasien mengaku gejala seperti ini timbul pertama dua bulan yang lalu.
Tidak terdapat riwayat keluarga batu saluran kemih.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital pasien baik, pasien tampak sakit
ringan. Pada pemeriksaan spesifik abdomen, tidak terdapat nyeri tekan pada
daerah suprapubik. Pada inspeksi, ditemukan bulging pada region lumbal dextra,
pada nyeri ketok CVA didapatkan negative pada kanan dan kiri.
Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan kadar kreatinin meningkat
dan ureum masih dalam batas normal; kadar leukosit dalam darah masih dalam
batas normal. Pada pemeriksaan urinalisis, didapatkan mikrohematuria karena
terdapatnya eritrosit yang sedikit lebih banyak dari normal pada urin. Tidak
didapatkan kristal pada urin. Dilakukan pemeriksaan radiografi, yaitu BNO, IVP
dan USG abdomen. Pada pemeriksaan BNO dan IVP pada tanggal 29 oktober
35
36
DAFTAR PUSTAKA
Alpay, H, Gokce, I, Ozen, A, Biyikh, N. (2013) Urinary stone disease in the first
year of life: is it dangerous?, Pediatr Surg Int, 29, pp. 311316
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
(2013), Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Bakti Husada.
Bak, M, Ural, R, Agin, H, Serdaroglu, E, Calkavur, S. (2009) The metabolic
etiology of urolithiasis in Turkish children, Int Urol Nephrol, 41(3), pp.
453-60.
Basiri, A, Shakhssalim, N, Khoshdel, A, Ghahestani, M, Basiri, H. (2010) The
demographic profile of urolithiasis in Iran: a nationwide epidemiologic
study, Int Urol Nephrol, 42, pp. 119126.
Colella, J, Kochis, E, Galli, B, Munver, R. (2005) Urolithiasis/Nephrolithiasis:
Whats It All About?, Urologic Nursing, 25(6), pp. 427-475.
Devuyst, T. & Pirson, Y. (2007) Genetics for hypercalciuric stone forming
diseases, Kidney Int, 72 , pp. 10651072.
37
Drake, R.L., Vogl, A.W., Mitchell, A.W.M. (2010) Grays Anatomy for Students
2nd Edition. Amerika Serikat: Elsevier.
Ekeruo, O, Tan, H, Young, D, Dahm, P, Maloney, E, Mathias, J, Albala, M,
Preminger, M. (2004) Metabolic risk factors and the impact of medical
therapy on the management of nephrolithia-sis in obese patients, J Urol,
172, pp. 159.
Ertan, P, Tekin, G, Oger, N, Alkan, S, Horasan, S. (2011) Metabolic and
demographic characteristics of children with urolithiasis in Western
Turkey, Urol Res, 39, pp. 105110.
Joan, C, Eileen, K, Bernadette, G, Ravi, M. (2005) Urolithiasis/Nephrolithiasis:
Whats It All About?, Urologic Nursing, 25(6), pp. 427-475.
Khan, S. (2012) Is oxidative stress, a link between nephrolithiasis and obesity,
hypertension, diabetes, chronic kidney disease, metabolic syndrome?,
Urol Res, 40, pp. 95112.
Knoll, T, Schubert, A, Fahlenkamp, D, Leusmann, D, Wendt-Nordahl, G,
Schubert, G. (2010) Urolithiasis Through the Ages: Data on More Than
200,000 Urinary Stone Analyses, J Urol, 185(4), pp. 13041311.
Koyuncu, H, Yencilek, F, Eryilirim, B, Sarica, K. (2010) Family history in stone
disease: how important is it for the onset of the disease and the incidence
of recurrence?, Urol Res, 38, pp. 105109.
Lpez, M. & Bernd, H. (2008) History, epidemiology and regional diversities of
urolithiasis, Pediatr Nephrol, 25, pp. 4959.
Meydan, N, Barutca, S, Caliskan, S. (2003) Urinary stonedisease in diabetes
mellitus, Scand J Urol Nephrol, 37, pp. 64.
Mohsen, A, Mostafa, S, Maasumeh, M, Mahdi. V, Shamsaddin, H. (2012)
Biochemical Risk Factors for Stone Formation in Healthy School
Children, Acta Medica Iranica, 50, pp. 814-818.
38
39
40
41