Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Batu saluran kemih adalah penyakit yang sudah dikenal sejak berabadabad silam. Hal ini dibuktikan dengan berbagai macam penemuan di bidang
arkeologi, seperti penemuan batu saluran kemih pada mumi berusia 5000 tahun di
Mesir pada tahun 1901 oleh arkeolog berkebangsaan Inggris. (Lopez dan Hoppe,
2008). Meskipun batu saluran kemih sudah dikenal sejak lama, faktor-faktor
penyebab penyakit ini masih dalam perdebatan (Stoller, 2012).
Saat ini, batu saluran kemih merupakan masalah terbesar ketiga pada
saluran kemih setelah infeksi saluran kemih dan prostat yang patologis (Stoller,
2012). Batu saluran kemih merupakan penyakit yang cukup umum ditemukan
pada negara maju dan berkembang. Meskipun prevalensi batu saluran kemih
berbeda dari satu negara ke negara lainnya di seluruh dunia, prevalensinya
semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir (Sun et al, 2010; Safarinejad,
2006).
Data dari Riskesdas (2013) menunjukkan prevalensi penyakit batu saluran
kemih di Indonesia meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Secara
nasional, prevalensi batu saluran kemih adalah 0,6%. Tertinggi pada kelompok
umur 55-64 tahun (1,3%), menurun sedikit pada kelompok umur 65-74 tahun
(1,2%) dan umur
75 tahun (1,1%). Prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki (0,8%) dibanding
perempuan (0,4%).
Selain

prevalensinya

yang

terus

meningkat,

penyakit

ini

juga

menghabiskan biaya yang tidak sedikit dalam pengobatannya. Data tahun 2000
dari Amerika menunjukkan insidensi penyakit ini berkisar antara 0,4-1% dengan
prevalensi 10-12% dan telah menghabiskan biaya US$ 2,1 Miliar setiap tahunnya
(Pearle et al, 2005).
1

Penyakit ini sering terjadi pada seseorang dengan usia di atas dekade
ketiga dan keempat serta lebih banyak menyerang pria (Pinduli et al, 2006).
Perkembangan kebudayaan westernisasi di seluruh dunia menyebabkan lokasi
batu saluran kemih yang umumnya hanya terdapat di saluran kemih bagian bawah
kini juga terdapat saluran kemih bagian atas (Pearle dan Lotan, 2011).
Menurut penelitian terdahulu, prevalensi batu saluran kemih pada populasi
pria lebih banyak 1,5-3 kali dibanding populasi wanita. Namun, penelitian terbaru
menunjukkan telah terjadi perubahan prevalensi dengan perbandingan pria hampir
sama dengan wanita (Muslumanoglu et al, 2011). Perubahan distribusi gender ini
disebabkan karena adanya peningkatan indeks masa tubuh pada wanita
dibandingkan pria. Faktor risiko yang berkaitan dengan masalah metabolisme,
seperti peningkatan massa tubuh dan obesitas, memiliki hubungan dengan batu
saluran kemih (Ekeruo et al., 2004).
Riwayat keluarga juga merupakan faktor risiko dalam mencetuskan
terjadinya batu saluran kemih (Deyust dan Pirson, 2007). Individu yang memiliki
riwayat keluarga batu saluran kemih memiliki risiko 2,5 kali lebih besar terkena
penyakit ini. Namun, riwayat keluarga tidak selalu menyatakan adanya suatu gen
pencetus yang diwariskan kepada keturunannya. Hal ini disebabkan batu saluran
kemih juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang biasanya berhubungan
dengan pola makan dan gaya hidup yang dimiliki keluarga itu (Lopez dan Hoppe,
2008).

BAB II
STATUS PASIEN

2.1. IDENTIFIKASI
Nama

: Ali bin Zakaria

Umur

: 55 tahun

Jenis kelamin

: laki-laki

Alamat

: Harapan mulia, Muara Belinda. Kab. Muara enim

MRS

: 16 november 2015

No. MR

: 918936

2.2. ANAMNESIS

Keluhan Utama :
nyeri pada pinggang kanan sejak 2 bulan

Riwayat Perjalanan Penyakit


2 bulan SMRS pasien merasa nyeri pinggang bagian kanan. Keluhan
terjadi secara mendadak, seperti ditusuk tusuk, nyeri hilang timbul (+),
kencing berpasir (+), BAK putus-putus (-), BAK kemerahan (-), nyeri saat
BAK (-), Riwayat BAK mengedan (-). Penderita sempat berobat ke RS
Bayangkara, di katakan sakit batu ginjal, pasien hanya diberi obat
analgetik dan pasien di rujuk ke RSMH.
1 hari SMRS pasien mengeluh nyeri pinggang

bagian kanan terus

menerus, seperti ditusuk tusuk (+), kencing berpasir (-), BAK kemerahan
(-), nyeri saat BAK (-), BAK putus-putus (-).

Riwayat penyakit dahulu


- Kencing manis disangkal
- Darah tinggi disangkal
- Riwayat sakit batu ginjal disangkal
3

Riwayat trauma yang mencederai abdomen disangkal


Riwayat infeksi saluran kemih disangkal
Riwayat pernah operasi disangkal

Riwayat penyakit dikeluarga


- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga di sangkal

Riwayat sosial dan lingkungan


- Penderita bekerja sebagai petani. Penderita mengaku jarang meminum
air putih.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan Umum
- Kesan
- Sensorium
- Tekanan darah
- Nadi
- Respiratory rate
- Temprature

: Baik
: compos mentis
: 100/70 mmHg
: 84 x/menit
: 20x/menit
: 36,5 C

b. Keadaan Khusus
Kepala
: normochepali, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
pupil bulat, isokor, reflek cahaya (+/+), 3mm/3mm
Leher
: pembesaran KGB (-), JVP (5-2) cmH2O

Thorax
Jantung

Paru

: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Abdomen

: Inspeksi
Palpasi

: iktus kordis tidak terlihat


: iktus kordis tidak teraba
: batas jantung normal
: BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
: simetris, statis dan dinamis pergerakan
dinding dada kanan = kiri
: stemfremitus kanan = kiri
: sonor di kedua lapang paru
: vesikuler (+) normal, rhonki (-),
Wheezing (-)
: datar
: lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba

Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas

: timpani
: bising usus (+) normal

: akral hangat (+), edem pretibia (-)

c. Status Lokalis
Regio lumbal DS
Inspeksi

: bulging (+/-), tanda radang (-)

Palpasi

: massa (-/-), nyeri tekan (-/-), ginjal tidak teraba

Perkusi
Regio suprapubik
Inspeksi

: nyeri ketok CVA (-/-)


: bulging (-)

Palpasi
: nyeri tekan (-)
Regio
genitalia : massa (-), tanda-tanda radang (-), tanda-tanda
eksterna
RT

trauma (-)
: TSA baik

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium (17-11-2015)
Hematologi
Hemoglobin

: 9,7 mg/dL

Kimia Klinik
Ureum

39 mg/dL

Eritrosit

: 4.190.000/mm3

Kreatinin

1,26 mg/dL

Leukosit

: 6900/mm3

Hematokrit

: 33%

Elektrolit

Trombosit

: 396.000/ L
:
0/5/55/34/8

Natrium

140 mg/dL

Kalium

4,0 mg/dL

Diff count

Pemeriksaan Radiologi
X foto polos & IVP (29/10/2015)

: Tampak opasitas pada paravertebra kanan setinggi L1,

fotopolos
IVP

L2-3
: -Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal kiri baik, kanan tak
tervisualisasi sampai akhir pemeriksaan.
-System pelviocalyceal kiri tak melebar. kanan tak
tervisualisasi sampai akhir pemeriksaan.
-Ureter kiri baik, dinding tampak regular.
-Vesika urinaria baik, dinding regular, tak tampak filling
defeck/indentasi/ additional shadow.
-Post miksi, tampak sisa kontras pada VU.

Kesimpula
n

: -Non visualized ginjal kanan


-Nephrolithiasis kanan setinggi L1, L2-3

-Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal kiri baik


-Tak tampak batu/tanda bendungan ginjal kiri
-Fungsi pengosongan vesical urinaria baik

USG Abdomen (19/10/2015)

Kesimpulan

: Hidronefrosis dextra

2.5. Diagnosis Banding

Kolik abdomen

2.6. Diagnosis Kerja

Batu ginjal kanan + hidronefrosis dextra + non visualized ginjal kanan

2.7. Tatalaksana

Pro nefrolitotomi
Diet ND
Pemeriksaan kultur urine
Pemeriksaan hasil lab

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Saluran Kemih


Saluran Kemih dibagi atas dua bagian yakni bagian atas dan bagian
bawah. Saluran kemih bagian atas terdiri atas ginjal dan saluran yang disebut
ureter. Fungsi saluran ini adalah menghubungkan ginjal dengan kandung kemih.
Masing-masing ginjal memiliki sebuah ureter (Drake et al., 2010).
Saluran kemih bagian bawah terdiri atas kandung kemih dan saluran yang
disebut uretra. Fungsi uretra adalah mengalirkan urin dari kandung kemih keluar
tubuh (Stoller, 2012).
3.1.1. Saluran Kemih Bagian Atas
3.1.1.1. Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ berbentuk seperti kacang dan terletak di
bagian posterior kiri dan kanan rongga abdomen. Ginjal dilindungi oleh lapisan
tebal yang terdiri dari otot perut bagian posterior dan lateral. Tulang iga ke-10, ke11, serta iga ke-12 memberikan perlindungan tambahan di bagian atas ruang
retroperitoneal (Pearle dan Lotan, 2011). Ginjal sebelah kanan letaknya lebih
rendah dibandingkan dengan ginjal sebelah kiri karena terdapat hati di sebelah
kanan. Ginjal pada orang dewasa memiliki panjang sekitar 10 cm, lebar 6 cm

dengan ketebalan 3 cm, serta memiliki berat sekitar 150 gram pada pria dan 135
gram pada wanita (Stoller, 2012; Pearle dan Lotan, 2011).
Ginjal terdiri dari lapisan luar yang disebut korteks, lapisan tengah yang
disebut medula, dan lapisan dalam yang terdiri dari kaliks dan pelvis. Korteks
adalah lapisan yang homogen dan terdapat bagian yang tertuju ke arah papila dan
forniks. Bagian ini disebut kolumna Bertin. Lapisan tengah terdiri atas beberapa
piramida yang dibentuk oleh tubulus pengumpul dan memiliki fungsi mengalirkan
urin ke kaliks minor dan ujung papila (Stoller, 2012). Darah mengalir ke ginjal
dan difiltrasi oleh satuan unit fungsional terkecil yang dikenal dengan nefron.
Urin akan terbentuk pada akhir proses dan selanjutnya urin ini akan dialirkan
melalui ureter ke kandung kemih (Drake et al., 2010).

Gambar 2.1 Permukaan Ginjal Tampak Posterior


Sumber: Drake, RL, Vogl, AW, Mitchell, AWM. (2010) Grays Anatomy for Students 2nd
Edition. Amerika Serikat: Elsevier. Fig. 4.137 Structures related to the posterior surface of each
kidney; p.357.

3.1.1.2. Ureter
Ureter adalah saluran yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih.
Memiliki panjang bervariasi tiap individu sekitar 30 cm dengan diameter 6 mm
dan memiliki bentuk seperti lengkungan huruf S. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya daerah yang relatif sempit, yakni: (1) perbatasan antara ureter

10

dengan pelvis renalis atau dikenal dengan ureteropelvic junction, (2) persilangan
antara ureter dengan arteri iliaka di rongga pelvis, dan (3) saat ureter masuk ke
dalam kandung kemih (Stoller, 2012). Ureter masuk dari belakang kandung kemih
dengan sudut tertentu untuk mencegah kembalinya urin ke ginjal. Ureter terdiri
atas tiga lapisan, yakni: mukosa yang dilapisi sel epitel transisional, otot polos
sirkuler, dan otot polos longitudinal. Kontraksi dan relaksasi kedua otot ini
menyebabkan gerakan yang dapat mengalirkan urin masuk ke dalam kandung
kemih (Drake et al., 2010).
3.1.2. Saluran Kemih Bagian Bawah
3.1.2.1. Kandung Kemih
Kandung kemih adalah organ berongga yang dilapisi oleh otot dan terletak
di posterior tulang pubis. Lapisan mukosa kandung kemih bagian dalam adalah
epitel transisional. Di atas lapisan ini terdapat lapisan otot detrusor yang saling
beranyaman dan berfungsi dalam kontraksi kandung kemih (Drake et al., 2010).
Ketika kosong, kandung kemih terletak di belakang simfisis pubis, ketika
penuh, kandung kemih dapat terllihat naik di atas simfisis pubis dan dapat
diperkusi serta dipalpasi dengan mudah (Stoller, 2012).
Pada bagian bawah kandung kemih terdapat daerah berbentuk segitiga
yang disebut trigon. Urin dari ureter masuk ke dalam kandung kemih melalui
bagian atas trigon dan keluar dari kandung kemih menuju uretra melalui bagian
bawah trigon (Drake et al., 2010).

11

Gambar 2.2 Kandung Kemih Pria Tampak Posterior


Sumber: Drake, RL, Vogl, AW, Mitchell, AWM. (2010) Grays Anatomy for Students 2nd
Edition. Amerika Serikat: Elsevier. Fig. 5.40 Posterior Part of Bladder; p.442.

Leher kandung kemih berbentuk seperti corong yang memanjang dan


berhubungan langsung dengan uretra. Sfingter internal yang terdapat di leher
kandung kemih adalah bagian otot yang menebal.
Sfingter ini dibentuk dari jalinan dan kumpulan serat-serat otot detrusor
bagian distal yang selanjutnya akan membentuk uretra. Sfingter ini menutup
dengan kuat dalam keadaan normal untuk mencegah agar urin tidak mengalir
keluar dari kandung kemih (Stoller, 2012).
3.1.2.2. Uretra
Uretra adalah saluran yang berfungsi membuang urin dari kandung kemih
ke luar tubuh. Pada pria, uretra terhubung dengan sistem saluran yang membawa
sperma. Panjang uretra pria sekitar 20-25 cm. Pada bagian bawah uretra, terdapat
sfingter eksterna yang terdiri dari dua kelompok otot yang membungkus sekeliling
uretra. Otot yang pertama berasal dari otot pelvis dan berfungsi untuk
menghambat urin yang keluar ketika terjadi kenaikan tekanan secara mendadak,
misalnya ketika sedang batuk, bersin, atau mengangkat beban berat. Otot yang
kedua berasal dari dinding uretra itu sendiri. Komponen ini memberikan
kemampuan untuk menghambat menetesnya urin secara terus menerus (Drake et
al., 2010).
Uretra wanita, memiliki panjang 4 cm, lebih pendek daripada pria. Wanita
juga memiliki sfingter eksterna yang terdiri dari dua kelompok otot. Namun, otot
yang berfungsi paling penting dalam menghentikan urin adalah otot pelvis.
12

Sfingter eksterna dipengaruhi oleh saraf somatis sehingga hanya terbuka ketika
seseorang memerintahkannya dengan sadar (Drake et al., 2010).
3.2.

Batu Saluran Kemih

3.2.1 Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih


Proses pembentukan batu saluran kemih melibatkan berbagai macam jalur
yang rumit dan panjang. Proses ini dimulai ketika filtrat glomerular melintasi
nefron. Suatu larutan yang mengandung ion atau molekul garam dalam bentuk
terlarut dinyatakan sebagai produk konsentrasi. Suatu larutan garam dinyatakan
jenuh ketika penambahan garam lebih banyak tidak dapat melarutkan garam
tersebut. Produk konsentrasi pada keadaan jenuhnya disebut produk kelarutan
termodinamik (thermodynamic solubility product), Ksp, yakni titik ketika
komponen kristal terlarut pada keadaan tertentu berada dalam keseimbangan. Jika
kristal garam ditambahkan pada larutan jenuh ini, akan terjadi pengendapan
kristal, kecuali variabel tertentu seperti pH atau temperatur diubah (Pearle dan
Lotan, 2011).
Batu saluran kemih merupakan agregat polikristalin yang terdiri dari
berbagai jenis kristaloid dan matriks organik. Pembentukan batu saluran kemih
melibatkan urin yang supersaturasi. Keadaan supersaturasi bergantung pada pH
urin, jenis ion, konsentrasi zat terlarut,dan pembentukan senyawa (complexation)
(Stoller, 2012).
Pada urin, meskipun produk konsentrasi zat yang dapat menyebabkan
pembentukan batu, seperti kalsium oksalat, melebihi nilai Ksp, kristalisasi tidak
terjadi karena terdapat senyawa inhibitor yang menyebabkan kalsium oksalat
dalam jumlah besar tetap dalam keadaan terlarut sehingga mencegah terjadinya
pengendapan dan kristalisasi. Namun, jika konsentrasi garam ditingkatkan hingga
melebihi titik tertentu, akan terjadi pengendapan dan kristalisasi. Keadaan ini
disebut formation product (Kf). Supersaturasi yang terjadi di atas titik ini
menyebabkan keadaan yang tidak stabil sehingga nukleasi spontan dapat terjadi
(Pearle dan Lotan, 2011; dan Stoller, 2012).Namun, jika terdapat senyawa
13

inhibito, pengendapan senyawa kalsium oksalat hanya terjadi jika supersaturasi


melebihi titik jenih kelarutan 7-11 kali lebih tinggi (Pearle dan Lotan, 2011).
Inhibitor, seperti sitrat, dapat mengganggu stabilitas nuklei, sedangkan promoter,
seperti phospholipid, lemak, cell debris, dapat mempermudah terjadinya nukleasi
dengan cara memberikan tempat pengikatan bagi senyawa kristal lainnya sehingga
nuklei menjadi stabil (Tiselius, 2011; Pearle dan Lotan, 2011).

Nukleasi homogen adalah proses yang melibatkan pembentukan inti


(nuklei) pada larutan murni. Nuklei adalah struktur kristal paling awal yang tidak
dapat larut dan tidak stabil. Jika ukuran nuklei sangat kecil, nuklei akan larut
kembali sehingga proses pembentukan batu tidak terjadi. Jika supersaturasi terus
berlanjut, nuklei stabil, dan waktu yang diperlukan untuk proses nukleasi relatif
singkat, nuklei akan menetap sehingga proses pembentukan akan berlanjut. Pada
urin, pembentukan kristal nuklei biasanya terbentuk melalui proses nukleasi
heterogen yang melibatkan adsorpsi ke dalam permukaan sel epitel, sel debris,
atau kristal lainnya (Pearle dan Lotan, 2011).
3.2.1.1. Komponen Kristal
Komponen utama penyusun batu saluran kemih adalah kristalin.Kristalin
terbentuk melalui serangkaian proses nukleasi, pertumbuhan, dan agregasi.
Selama tahap nukleasi, kristalin dapat diawali dengan berbagai substansi seperti
kalsium, fosfat, dan matriks protein (Stoller, 2012). Dengan meneliti bentuk dan
komposisi batu, ilmuwan dapat mengetahui asal mula terbentuknya batu
tersebut.Contohnya, sebuah studi morfologi mendapati sebuah batu kalsium
oksalat berbentuk konkaf dan terdapat kalsiun fosfat dalam jumlah kecil. Melalui
pengamatan dasar ini dapat diketahui bentuk konkaf pada batu berasal dari sisi
perlekatan dengan papila ginjal dan dapat diambil asumsi bahwa pembentukan
batu berhubungan dengan kalsium fosfat (Tiselius, 2011).
3.2.1.2. Komponen Matriks

14

Matriks adalah komponen penyusun batu yang masuk ke dalam kelompok


non-kristalin. Komponen matriks tiap batu bervariasi menurut jenis batunya mulai
dari 2% sampai dengan 10% dari beratnya. Matriks tersusun atas 65% protein, 9%
gula non-amino, 5% glukosamin, 10% air, dan 12% abu organik. Protein
penyusun matriks dapat terdiri dari Tamm-Horsfall protein, nefrokalsin, asam karboksiglutamik, lithostatin, albumin, glikosaminoglikan, karbohidrat, dan
mukoprotein yang disebut matrix substans A (Stoller, 2012; Pearle dan Lotan,
2011).
Peran matriks dalam pembentukan batu masih perlu dilakukan
penyelidikan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan matriks dapat berfungsi sebagai
tempat awal agregasi kristal atau komponen yang mengikat kristal lain sehingga
ukurannya bertambah besar dan menyebabkan pembentukan batu lebih lanjut.
Matriks dapat pula memainkan peran sebagai molekul inhibitor yang menghambat
pembentukan batu atau hanya molekul pasif yang kebetulan terperangkap saat
proses pembentukan batu (Stoller, 2012).
3.2.2. Jenis Batu Saluran Kemih
Batu saluran kemih dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni :
menurut sifatnya terhadap sinar X, menurut etiologinya, dan menurut komponen
penyusunnya (Trk et al., 2011).
Berikut ini adalah tabel pengelompokan batu saluran kemih :
Tabel 2.1 Jenis Batu Menurut Komposisi
Komposisi Kimia

Mineral

Kalsium oksalate monohidrat

whewellite

Kalsium oksalate dihidrat

wheddellite

Asam urat dihidrat

uricite

Amonium urat
Magnesium amonium fosfat

struvite

Carbonate apatite (phosphate)

dahllite

Calcium hydrogenphosphate

brushite

Cystine
15

Xanthine
2,8-dihydroxyadenine
Batu obat
Komposisi tidak diketahui
Sumber: Trk, C, Knoll, T, Petrik, A, Sarica, K, Seitz, C, Straub, M. (2011) Guidelines on
Urolithiasis, Belanda: European Association of Urology. Table 3: Stones Classified by Their
Composition; p. 291.

Tabel 2.2 Jenis Batu Menurut Etiologi


Batu Non-infeksi

Batu Infeksi

Batu Genetik

Batu Obat

Magnesium
Kalsium oksalate
Kalsium fosfat
Asam urat

Indinavir
Sistin (Cystine)

amonium fosfat
Apatit
Amonium urat

Xanthine
2,8-dihydroxy-adenine

Sumber: Trk, C, Knoll, T, Petrik, A, Sarica, K, Seitz, C, Straub, M. (2011) Guidelines on


Urolithiasis, Belanda: European Association of Urology. Table 2: Stones Classified According to
Their Aetiology; p. 290.

Tabel 2.3 Jenis Batu Menurut Karakteristik Sinar X


Radioopak

Kurang Radioopak

Kalsium oksalate

Magnesium amonium

dihidrat
Kalsium oksalate

fosfat

Radiolusen
Asam urat

monohidrat
Kalsium fosfat

Apatit

Amonium urat

Sistin (Cystine)

Xanthine
2,8-dihydroxy-adenine
Batu akibat obat-obatan

Sumber: Trk, C, Knoll, T, Petrik, A, Sarica, K, Seitz, C, Straub, M. (2011) Guidelines on

16

Urolithiasis, Belanda: European Association of Urology. Table 1: X-ray Characteristics; p. 290.

3.2.2.1. Batu Kalsium


a) Hiperkalsiuria
Hiperkalsiuria adalah kelainan yang paling sering dijumpai pada penderita
batu kalsium. Konsentrasi kalsium urin yang tinggi menyebabkan peningkatan
saturasi garam kalsium dan mengurangi aktivitas senyawa inhibitor seperti sitrat
dan sulfat. Hiperkalsiuria didefiniskan sebagai jumlah kalsium yang dikeluarkan
melalui urin lebih besar dari 4 mg/kg/hari atau lebih dari 7 mmol/hari pada pria
dan 6 mmol/hari pada wanita (Pearle dan Lotan, 2011).
Kalsium yang berasal dari makanan diabsorpsi dari usus halus sebanyak
30-40 % dan 10% melalui usus besar setiap harinya. Penyarapan kalsium dapat
bervariasi tergantung dari jumlah kalsium yang dimakan. Ketika asupan kalsium
sedikit, penyerapan meningkat, sedangkan ketika asupan kalsium banyak,
penyerapan berkurang. Jalur transelular yang bergantung pada vitamin D (vitamin
D-dependent trancellular pathway) mengatur jalur utama penyerapan kalsium
melalui saluran cerna ketika asupan kalsium sedikit dan menerima feedback
negatif ketika asupan kalsium melimpah (Pearle dan Lotan, 2011).

Gambar 2.3 Patofisiologi pembentukan batu kalsium


17

Sumber: Tiselius, H. (2011) A hypothesis of calcium stone formation: an interpretation of stone


research during the past decades, Urol Res, 39, pp. 231243. Fig. 1A Simplified Summary of the
Various Steps Resulting in a CaOx Renal Stone; p. 233.

Saluran cerna, tulang, dan ginjal memainkan peranan penting dalam


metabolisme kalsium yang dipengaruhi oleh makanan, forsfor, cairan,
keseimbangan elektrolit, hormon paratiroid, dan calcitonin. Penyerapan kalsium
dari lumen usus secara transelular diperantarai oleh 1,25(OH)2D3(calcitriol), yang
berfungsi meningkatkan permeabilitas kalsium di brush border sel epitel.
Calcitriol adalah bentuk aktif vitamin D yang telah mengalami transformasi dari
bentuk inaktif (provitamin) dengan bantuan sinar matahari, hormon paratiroid,
dan hipofosfatemia. Hormon paratiroid berfungsi meningkatkan absorpsi kalsium
dan mengurangi reabsorpsi fosfat di tubulus ginjal (Pearle dan Lotan, 2011; Zhang
et al., 2013).
Jadi, keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan eksresi kalsium dalam
urin adalah:(1) penyerapan kalsium dari saluran cerna yang berlebihan
(idiopatikm kelebihan vitamin D), (2) kerusakan reabsorpsi di tubulus ginjal
(tubular asidosis, loop diuretik), (3) resorpsi tulang (imobilisasi, hiperparatiroid,
penggunaan steroid, neoplasma). (4) kebocoran fosfat dari tubulus ginjal, (5)
peningkatan sintesis 1,25(OH)2D3 (calcitriol) (sarkoidosis, neoplasma), (6)
peningkatan produksi prostaglandin E2 di ginjal (idiopatik, sindrom Barterr), dan
(7) kelebihan asupan garan dan kekurangan asupan kalium (Srivastava dan Alon,
2005).
b) Hiperoksaluria
Hiperoksaluria adalah keadaan oksalat yang terdapat di urin lebih dari 40
mg/hari yang dapat menyebabkan saturasi kalsium-oksalat di urin sehingga dapat
menyebabkan pembentukan batu kalsium oksalat (Stoller, 2012). Kerusakan di sel
tubulus ginjal yang diakibatkan oleh lipid peroxidation dan radikal bebas memiliki
peran dalam pembentukan kristal oksalat. Kerusakan membran membantu fiksasi
dan pertumbuhan kristal kalsium oksalat (Pearle dan Lotan, 2011).

18

Diare kronik dapat mengubah metabolisme oksalat. Malabsorpsi


menyebabkan peningkatan lemak dan empedu di saluran cerna. Kalsium yang
terdapat di saluran cerna dapat mengikat lemak sehingga menyebabkan reaksi
penyabunan (saponifikasi). Hal ini akan menyebabkan jumlah kalsium yang
berikatan dengan oksalat di saluran cerna menurun. Oksalat yang tidak terikat ini
akan diabsorpsi melalui dinding saluran cerna secara pasif, terlebih lagi dengan
adanya garam empedu. Peningkatan kecil dalam penyerapan oksalat akan
menyebabkan pembentukan kalsium oksalat secara signifikan di ginjal. Hal ini
akan menyebabkan potensi nukleasi heterogen dan pertumbuhan kristal (Stoller,
2012).
Orang yang mengalami peningkatan kadar oksalat urin tidak secara
otomatis

membentuk

batu

kalsium

oksalat.

Ada

faktor

lain

yang

mempengaruhinya seperti kelainan metabolisme, peran bakteri Oxalobacter


formigenes,anion transporter Slc26a6,dehidrasi, hipositraturia, kadar inhibitor
yang rendah, dan malabsorpsi (Stoller, 2012; Sakhaee, 2009)
c) Hipositraturia
Hipositraturia adalah sebuah keadaan dimana kadar sitrat urin kurang dari
320 mg/hari atau kurang dari 0,6 mmol/hari pada pria atau 1,03 mmol/hari pada
wanita. Keseimbangan asam basa memiliki peranan penting dalam mengatur
eksresi sitrat. Pada keadaan metabolik asidosis, terjadi penurunan kadar sitrat urin
akibat peningkatan penyerapan tubulus dan penurunan sintesis sitrat di sel
peritubular (Pearle dan Lotan, 2011).
Sitrat dapat membentuk senyawa dengan kalsium sehingga menurunkan
konsentrasi ion kalsium dan menurunkan aktivitas produk sehingga dapat
menurunkan potensi pembentukan kristal. Sitrat dapat menurunkan agglomerasi,
nukleasi spontan, dan pertumbuhan kristal kalsium oksalat. Sitrat juga dapat
menurunkan kadar mononatrium urat, suatu substansi yang dapat menyerap
inhibitor dan membantu nukleasi heterogen, sehingga dapat mengecilkan batu
kalsium oksalat (Stoller, 2012).
19

Penurunan kadar sitrat dapat diakibatkan oleh berbagai keadaan


patologisyang berhubungan dengan asidosis. Distal renal tubular acidosis (RTA)
memiliki ciri pH urin yang tinggi (>6,8), serum klorida yang tinggi, dan serum
bikarbonat dan kalium yang sendah. Ketidakmampuan mengasamkan urin ketika
diberikan asupan oral amonium klorida menegakkan diagnosis RTA (Pearle dan
Lotan, 2011; Srivastava dan Alon, 2005). Diare kronik juga dapat menyebabkan
tubuh kehilangan basa dari saluran cerna yang akan membawa ke asidosis
sistemik dan hipsitraturia. Asupan protein hewani yang berlebihan dan diet rendah
karbohidrat menyebabkan penurunan kadar sitrat secara signifikan di urin.
Diuretik seperti thiazide dapat menyebabkan hipokalemia dan intraselular asidosis
(Pearle dan Lotan, 2011; Stoller, 2012).
3.2.2.2. Batu Struvit
Batu struvit terdiri atas magnesium, amonium, dan fosfat (MAP) dengan
rumus kimia magnesium ammonium phosphate hexahydrate (MgNH4PO4
6H2O) dan terdapat pula serpihan kalsium fosfat dalam bentuk karbonat apatit
(Ca10[PO4]6 CO3). Batu ini sering ditemukan pada wanita dan dapat terbentuk
dengan cepat (Pearle dan Lotan, 2011; Stoller, 2012).
Teori yang berkembang saat ini berawal dari Brown (1901) yang
menyatakan bahwa terdapat suatu bakteri yang dapat memecah urea sehingga
mampu menimbulkan keadaan yang mendukung terbentuknya batu. Beliau
kemudian menemukan bajteru yang disebut Proteus vulgaris dari batu tersebut.
Teori ini terus berkembang dan ditemukanlah suatu enzim pada bakteri yang
mampu menghidrolisa urea. Nama enzim ini adalah urease dan pertama kali
diisolasi dari bakteri Canavalia ensiformis. Kini, ilmuwan menyimpulkan bahwa
batu MAP hanya dapat jika terdapat hubungan dengan infeksi saluran kemih yang
diakibatkan oleh bakteri pemecah urea (Pearle dan Lotan, 2011).
3.2.2.3. Batu Asam Urat
Batu asam urat hanya terjadi pada <5% kasus batu saluran kemih dan
biasanya terdapat pada pria. Pasien dengan rematik, penyakit myeloproliferatif,

20

atau penurunan berat badan yang cepat, dan pasien yang mendapat terapi obat
sitotoksik memiliki insiden yang tinggi terjasinya batu asam urat. Sebagian besar
pasien yang mengalami batu asam urat tidak mengalami hiperuricemia.
Peningkatan asam urat lebih disebabkan karena dehidrasi dan memakan makanan
yang mengandung banyak purin. Pasien yang mengalami batu asam urat memiliki
pH<5,5. Ketika pH urin berada di atas konstanta disosiasi (pKa 5,75), asam urat
akan berdisosiasi menjadi ion urat yang lebih larut dalam air. Oleh karena itu,
pengobatan lebih ditekankan pada pemberian cairan (volume urin >2L) dan pH
urin diusahakan di atas 6 (Stoller, 2012).
3.3. Faktor Epidemiologi
3.3.1. Jenis Kelamin
Batu saluran kemih biasanya terjadi pada pria dewasa daripada wanita
dewasa dengan perbandingan 3:1. Namun, saat ini terdapat perbedaan yang
semakin sempit antara angka kejadian pada pria dengan wanita. Data dari
Amerika menunjukkan bahwa meskipun angka kejadian dari tahun 1997-2002
terdapat peningkatan pada wanita sebesar 17% (Pearle dan Lotan, 2011).
3.3.2. Ras dan etnis
Batu saluran kemih lebih sering terjadi pada ras Kaukasia berkulit putih
daripada kulit hitam, terlepas dari daerah tempat tinggal geografinya. Di Amerika
dan Brasil, terdapat perbandingan 4:1 antara ras Kaukasia dengan Kulit Hitam.
Memang benar perbedaan ini tidak akan membawa langsung kepada kesimpulan
bahwa ras tertentu memiliki hubungan langsung terhadap risiko batu saluran
kemih. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa ketika orang Kulit Hitam
mengadopsi gaya hidup orang Kaukasia, terdapat peningkatan prevalensi yang
signifikan pada orang Kulit Hitam (Lopez dan Hoppe, 2008;Pearle dan Lotan,
2011).
3.3.3. Usia
Angka kejadian batu saluran kemih sangat jarang sebelum usia 20 tahun

21

dan meningkat pada usia 40-60 tahun. Ilmuwan telah mengamati bahwa wanita
memiliki model distribusi ganda kejadian batu saluran kemih pada usia 60 tahun
berkaitan dengan menopause. Temuan ini mungkin ada hubungannya dengan efek
estrogen yang dapat menghalangi pembentukan batu saluran kemih karena
hormon ini dapat meningkatkan penyerapan kalsium dan mencegah saturasi
kalsium di urin. Selain itu, batu saluran kemih lebih jarang pada wanita
dibandingkan dengan pria hingga mencapai usia 50 tahun (Pearle dan Lotan,
2011).
3.3.4. Distribusi Geografi
Distribusi geografi batu saluran kemih cenderung terjadi sesuai dengan
keadaan lingkingan. Prevalensi BSK yang tinggi sering ditemukan pada
lingkungan yang panas, gersang, atau iklim yang kering seperti pegunungan,
padang gurun, dan daerah tropis. Namun, faktor genetik dan pengaruh makanan
dapat mengalahkan efek fsktor risiko geografi (Pearle dan Lotan, 2011).
Ilmuwan berhasil mengungkapkan daerah dengan prevalensi terbanyak di
dunia. Daerah itu adalah: Amerika Serikat, Kepulauan Britania, Skandinavia dan
Mediterania, India Utara dan Pakistan, Australia Utara, Eropa Tengah, sebagian
Selat Malaya, dan Cina. Daerah-daerah di seluruh dunia yang memiliki prevalensi
batu saluran kemih yang tinggi dikenal dengan istilah sabuk batu (stone belt)
(Lopez dan Hoppe, 2008).

22

Gambar 2.4 Sabuk Batu Afrika-Asia


Sumber: Lpez, M. & Bernd, H. (2008) History, epidemiology and regional diversities of
urolithiasis, Pediatr Nephrol, 25, pp. 4959. Fig. 1 North AfricanAsian Stone Belt; p. 53.

3.3.5. Iklim
Imsidensi batu ssaluran kemih lebih tinggi pada negara yang memiliki
iklim hangat dan panas. Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena
pengeluaran urin yang rendah dan kurangnya asupan cairan. Faktor inilah yang
menyebabkan pola geografi di Amerika Utara dan sabuk batu Afro-Asia (Lopez
dan Hoppe, 2008).
Selain itu, perbedaan musim juga berhubungan dengan suhu dan hilangnya
cairan tubuh akibat presipitasi dan juga mungkin karena peningkatan produksi
vitamin D akibat induksi dari sinar matahari. Angka kejadian batu saluran kemih
lebih tinggi pada musim panas dan gugur dibandingkan musim dingin dan semi.
Di Amerika Utara, prevalensi batu saluran kemih cenderung meningkat ketika
rerata suhu tahunan (5.2C di Dakota Utara hingga 22C di Florida) dan indeks
cahaya matahari (14.6 di Washington hingga 39.7 di Florida) meningkat (Lopez
dan Hoppe, 2008; Pearle dan Lotan, 2011).

Gambar 2.5 Sabuk batu Amerika Utara


Sumber: Lpez, M. & Bernd, H. (2008) History, epidemiology and regional diversities of

23

urolithiasis, Pediatr Nephrol, 25, pp. 4959. Fig. 2 North American Stone Belt; p. 53.

3.3.6. Pekerjaan
Paparan panas dan dehidrasi yang dapat mengakibatkan batu saluran
kemih dapat terjadi pada pekerjaan. Juru masak dan ahli mesin, sering terkena
paparan suhu yang tinggi, memiliki tingkat kejadian batu saluran kemih tertinggi
dibandingkan personel lain. Orang yang bekerja di peleburan baja juga memiliki
tingkat insidensi yang tinggi karena terpapar dengan suhu tinggi dibanding dengan
orang yang bekerja di suhu normal. Pemeriksaan metabolik yang lebih dalam
selanjutnya mengungkapkan bahwa pekerja yang terpapar suhu tinggi memilliki
volume urin yang rendah dan hipositraturia. Penelitian lain yang dilakukan pada
pekerja pabrik kaca menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar dengan suhu
tinggi dalam jangka panjang mengalami persipitasi yang besar. Akibatnya, pekerja
yang terkena paparan suhu tinggi memiliki volum urin dan pH yang rendah, level
asam urat yang tinggi, massa jenis urin yang tinggi, sehingga menyebabkan
supersaturasi asam urat. Hal ini menyebabkan 38% pekerja di pabrik tersebut
mengalami batu asam urat (Pearle dan Lotan, 2011). Individu yang memiliki
pekerjaan kantoran seperti manager atau pegawai profesional memiliki risiko
tinggi terkena batu saluran kemih, namun penyebabnya masih belum jelas (Pearle
dan Lotan, 2011).
3.3.7. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga yang memiliki batu saluran kemih
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita batu saluran kemih yang
berulang, terlebih lagi jika orang tersebut memiliki riwayat gangguan saluran
cerna (terutama yang menyebabkan diare kronik), osteoporosis, infeksi saluran
kemih atau gout artritis (Pearle dan Lotan, 2011).

24

Insidensi batu saluran kemih akan meningkat sebanyak dua kali pada
pasien dengan riwayat keluarga tingkat pertama yang memiliki riwayat batu
saluran kemih (Stoller, 2012). Pasangan dari orang yang memiliki riwayat batu
kalsium oksalat juga memiliki risiko yang lebih tinggi menderita batu saluran
kemih dikarenakan adanya pengaruh lingkungan dan faktor makanan (Stoller,
2012).
Selain pengaruh lingkungan dan faktor makanan, genetik juga memiliki
peran besar (Stoller, 2012). Peran genetik seperti defek pada pengasaman urin,
cystinuria, ataupun defek pada gen yang mengatur jalur metabolisme kalsium
sehingga terjadi hiperkalsiuria menyumbangkan faktor risiko signifikan dalam
riwayat keluarga (Devuyst dan Pirson, 2007; Stoller, 2012; Mohsen et al., 2012).
3.3.8. Status Ekonomi
Dalam beberapa dekade terakhir ini, telah terjadi peningkatan kualitas
pangan dan asupan protein yang pararel terhadap peningkatan perekonomian
dunia sehingga standard hidup masyarakat juga mengalami perubahan Alpay et al.
(2013). Perubahan perilaku dan gaya hidup ini mengakibatkan pergeseran
kecendrungan lokasi terbentuknya batu dari kandung kemih menjadi batu ginjal
terutama pada negara berkembang (Alpay et al., 2013).
Penelitian secara epidemiologi dari berbagai negara telah menunjukkan
bahwa insidensi batu ginjal lebih tinggi pada populasi dengan konsumsi protein
hewani yang tinggi (Pearle dan Lotan, 2011). Asupan protein dapat meningkatkan
level kalsium urin, oksalat, dan eksresi asam urat yang pada akhirnya dapat
meningkatkan probabilitas pembentukan batu saluran kemih bahkan pada orang
yang normal sekalipun (Pearle dan Lotan, 2011).
3.4. Faktor Metabolik
3.4.1. Diabetes
Hubungan antara diabetes melitus dan batu saluran kemih telah diketahui
sejak 15 tahun terakhir ini. Namun, studi epidemiologi yang detail masih sedikit
25

dilakukan. Pada studi yang dilakukan oleh Meydan (2003) di Turki menunjukkan
bahwa pasien yang mengalami diabetes lebih sering terkena batu saluran kemih
dan memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. Penelitian prospektif telah
menunjukkan bahwa riwayat diabetes memiliki hubungan independen dengan
kejadian batu saluran kemih baik pada wanita usia muda dan tua, tapi tidak pada
pria. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan pasien diabetes yang mengalami batu
ginjal lebih sering terkena batu jenis asam urat dibandingkan dengan jenis batu
lain. Hal ini disebabkan pasien yang mengalami diabetes, khususnya diabetes
melitus tipe II, memiliki pH yang rendah. Hal ini menyebabkan batu dapat mudah
terbentuk. Selain itu, pasien dengan diabetes melitus mengeksresikan oksalat urin
lebih banyak daripada orang yang tidak menderita diabetes (Khan, 2012).
Diabetes nefropati, ditandai dengan akumulasi matriks ekstraselular di
matrik glomerular, tubulus interstisium, dan penebalan hyalin pembuluh darah
ginjal, sering dikenal sebagai komplikasi diabetes. Nefropati dimulai dengan
hiperglikemi. Glukosa dimetabolisme melalui berbagai jalur kaskade yang akan
megaktifkan jalur lainnya. Molekul seperti advance glycation end products
(AGE), protein kinase C (PKC), dan RAS akan diaktifkan. Hal ini akan
menghasilkan reactive oxygen species (ROS) yang pada akhirnya akan
mengaktifkan jalur mitogen activated protein kinase (MPK), transforming growth
factor-b (TGF-b), berbagai macam kemokin dan faktor transkripsi. Hal ini akan
menyebabkan ekspresi berlebih dari gen yang menyandi matriks ekstraselular
sehingga menyebabkan fibrosis. Kelainan ini disebut fibrosis kolagen tipe IV yang
ditandai dengan peningkatan marker reaksi inflamasi dan terjadi pada pasien
diabetes tipe II (Khan, 2012; Okonogi et al., 2001).

26

Gambar 2.6 Patofisiologi Diabetes dan Mekanisme Inflamasi


Sumber: Khan, S. (2012) Is oxidative stress, a link between nephrolithiasis and
obesity, hypertension, diabetes, chronic kidney disease, metabolic
syndrome?, Urol Res, 40, pp. 95112. Fig. 2Signalling Pathways Associated
With Nephrolithiasis As Deter-Mined By Animal Model And Tissue Culture
Studies; p. 105.

3.4.2. Hiperurikosuria
Batu asam urat dapat terjadi akibat gout artritis atau pada penyebab
sekunder dari kelebihan produksi purin. Penyebab sekunder dari batu ini termasuk
diare kronik yang diakibatkan oleh ileostomi, kolitis ulserasi, dan penyakit Chron.
Diare kronik ini menyebabkan orang tersebut terpapar dengan kondisi pH urin
yang rendah akibat hilangnya bikarbonat, berkurangnya eksresi amonia, dan
rendahnya volume urin (Colella et al., 2005).
Tabel 2.4 Faktor-Faktor yang Dapat Menyebabkan Pembentukan Batu Akibat
Hiperurikosuria
No
1
2
3

5
6
7

Faktor
Kelaparan yang menyebabkan keadaan oligouria kronik
Gout primer (25% populasi)
Gout Sekunder (50% populasi)
Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan sel dengan cepat. Sering
pada pasien yang menjalani pengobatan penyakin neoplastik
Leukemia akut
Anemia hemolitik/ penyakit myeloproliferatif
Olahraga yang berlebihan

Sumber:
Joan,
C,
Eileen,
K,
Bernadette,
G,
Ravi,
M.
(2005)
Urolithiasis/Nephrolithiasis: Whats It All About?, Urologic Nursing, 25(6), pp.
427-475. Table 3. Contributing Factors to Stone Development; p. 432.

3.4.3. Derajat Keasaman (pH)


Pada pH urin yang rendah (pH<5,5), asam urat yang belum berdisosiasi
27

masih mendominasi urin sehingga dapat menyebabkan pembentukan batu asam


urat dan/atau kalsium. Batu kalsium oksalat terbentuk akibat nukleasi heterogen
dengan kristal asam urat. Setiap kelainan yang dapat menyebabkan rendahnya pH
urin akan menjadi faktor predisposisi terhadap pembentukan batu. Penderita
metabolik asidosis kronik dapat menyebabkan rendahnya pH urin, hiperkalsiuria,
dan hipositraturia. Asidosis dapat menyebabkan peningkatan resorpsi kalsium dari
tulang dan menyebabkan peningkatan kalsium urin (Pearle dan Lotan, 2011).
3.4.4. Infeksi Saluran Kemih
Batu magnesium amonium fosfat (struvite) sangat erat kaitannya dengan
batu infeksi. Batu ini sering dihubungkan dengan infeksi dari organisme seperti
Proteus, Pseudomonas, Providencia, Klebsiella, Staphylococcus, dan E. coli
(Stoller, 2012). Kalsium fosfat adalah varian terbanyak kedua yang dihubungkan
dengan infeksi. Kalsium fosfat terbentuk ketika pH urin berada <6,4 dan sering
disebut sebagai batu brusit, sedangkan batu infeksi apatit dihubungkan dengan pH
urin >6,4 (Stoller, 2012).
Infeksi juga dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi urin dan keadaan
statis pada bagian kalkulus proksimal (Stoller, 2012). Infeksi juga dapat menjadi
faktor penyebab persepsi rasa nyeri pada pasien karena bakteri dapat
menghasilkan eksotoksin maupun endotoksin yang akan mengubah aktivitas
peristaltik otot saluran kemih (Stoller, 2012). Inflamasi lokal dapat menyebabkan
aktivasi kemoreseptor dan persepsi nyeri yang mengikuti pola referal pattern
(Stoller, 2012).
Keadaan tertentu seperti pyuria, demam, leukositosis, atau bakteri dapat
memberi

petunjuk

mengenai

diagnosis

infeksi

saluran

kemih

dengan

kemungkinan obstruksi atau pyonephrosis (Yilmaz et al., 2012).


3.5. Patofisiologi
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada
tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (statis urine), yaitu
28

pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis urethra-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis
seperti pada hyperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Mekanisme

pembentukan

batu

dapat

dibagi

menjadi

tahap

yang

berkesinambungan, yaitu: (a) kejenuhan urin, (b) adanya kondisi yang


memungkinkan terjadinya nukleasi, dan (c) adanya inhibitor. Dalam pembentukan
batu, urin yang jenuh merupakan suatu prasyarat absolut untuk pengendapan
kristal. Semakin besar konsentrasi dari ion-ion, semakin mudah ion-ion tersebut
mengendap. Konsentrasi ion yang rendah menimbulkan keadaan undersaturation
dan peningkatan kelarutan. Seiring dengan peningkatan konsentrasi ion, suatu saat
ion-ion tersebut akan mencapai satu titik yang disebut solubility product (Ksp).
Konsentrasi di atas titik ini disebut keadaan metastable dan berpotensi untuk
memulai pembentukan endapan. Ketika konsentrasi larutan menjadi semakin
tinggi, ion-ion akan mencapai formation product (Kfp). Tingkat kejenuhan di atas
Kfp ini disebut keadaan unstable, dan dapat terjadi pembentukan endapan secara
spontan. Endapan ini tersusun atas kristal-kristal yang terdiri dari bahan-bahan
organik dan non-organik yang terlarut dalam urin. Kristal-kristal tersebut berada
dalam keadaan metastable (tetap larut) dalam urin jika tidak ada keadaan tertentu
yang

menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal ini saling

mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan


menjadi agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang
lebih besar. Agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk
retensi kristal), dan bersama bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga
memebentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.
Batu ginjal

terbentuk pada tubuli ginjal

kemudian berada di kaliks,

infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks
ginjal. Batu yang mengisi pielum dan labih dari dua kaliks ginjal memeberikan
gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Batu yang
terbentuk dan menetap di ginjal (nefrolithiasis) jarang

menimbulkan gejala,

kalaupun ada batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai berat

29

karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis renalis, dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat .Batu yang ukurannya
kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan dan tidak menimbulkan nyeri.
Nyeri baru timbul ketika ukuran batu ginjal yang lebih besar dari 5 mm memasuki
ureter

(uretherolithiasis)

dan

menimbulkan

obstruksi

kronik

berupa

hidroureter/hidronefrosis. Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri


pada pinggang. Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan
kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises
ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran
kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya
meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan
sensasi nyeri. Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat
saluran kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter (ureteropelvic
junction), dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di daerah pinggang (flank)
yang sering menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan pada batu ureter distal
sering ke kemaluan. Mual dan muntah sering menyertai keadaan ini.
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan
nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit akibat
hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan jika disertai
infeksi didapatkan demam-menggigil.
3.6. Penegakan diagnosis
3.6.1 Anamnesis
Anamnesa harus dilakukan secara menyeluruh. Keluhan nyeri harus dikejar
mengenai onset kejadian, karakteristik nyeri, penyebaran nyeri, aktivitas yang
dapat membuat bertambahnya nyeri ataupun berkurangnya nyeri. Keluhan yang
disampaikan pasien tergantung pada posisi, letak, ukuran batu. Keluhan paling
sering adalah nyeri pinggang. Nyeri bisa kolik atau bukan kolik. riwayat muntah,
gross hematuria, dan riwayat nyeri yang sama sebelumnya. Penderita dengan
riwayat batu sebelumnya sering mempunyai tipe nyeri yang sama.

30

3.6.2 Pemeriksaan Fisik


Penderita dengan keluhan nyeri kolik hebat, pada didapatkan nyeri ketok pada
daerah kostovertebra (CVA), dapat disertai takikardi, berkeringat, dan nausea.

Teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis.

Terlihat tanda gagal ginjal dan retensi urin, jika disertai infeksi didapatkan
demam dan menggigil.

Selain itu, dapat pula dilakukan pengkajian :


1. Aktivitas istirahat
Gejala : pekerjaan monoton, pekerjaan dimana pasien terpajang pada
lingkungan

bersuhu

tinggi.

Keterbatasan

aktivitas/immobilisasi

sehubungan dengan kondisi sebelumnya.


2. Sirkulasi
Tanda : peningkatan TD/nadi (nyeri, ansietas, gagal jantung). Kulit hangat
dan kemerahan, pucat.
3. Eliminasi
Gejala : riwayat adanya ISK kronis, obstruksi sebelumnya (kalkulus),
penurunan keluaran urine, kandung kemih penuh, rasa terbakar, dorongan
berkemih, diare. Tanda : oliguria, hematuria, piuria, dan perubahan pola
berkemih
4. Makanan/cairan
Gejala : mual/muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium
oksalat, dan atau fosfat, ketidakcukupan pemasukan cairan, tidak minum
air dengan cukup. Tanda : distensi abdominal, penurunan atau tak adanya
bising usus, dan muntah.

3.6.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Radiologi

31

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan pada kasus batu ginjal adalah
adalah foto polos abdomen, USG abdomen, CT-scan. Dari pemeriksaan radiologi
dapat menentukan jenis batu, letak batu, ukuran, dan keadaan anatomi traktus
urinarius. Secara radiologi, batu dapat berupa radio-opak dan radio-lusen.
a. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen ini bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu
radio-opak di saluran

kemih. Batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat

bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai di antara batu jenis lain. Batu
Magnesium Ammoniak Phospat (MAP) memberikan gambaran semi-opak.
Sedangkan batu asam urat, batu matriks dan indinivar bersifat radio-lusen.
b. Pielografi Intra Vena (IVP)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan antomi dan fungsi ginjal, selain
itu IVP juga dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non-opak
yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Pada yang radiopak
pemeriksaan dengan foto polos sudah cukup untuk menduga adanya batu ginjal
bila diambil foto dua arah. Pada keadaan tertentu terkadang batu terletak di depan
bayangan tulang, sehingga dapat luput dari penglihatan. Oleh karena itu foto polos
sering perlu ditambah foto pielografi intravena (PIV/IVP). Pada batu radiolusen,
foto dengan bantuan kontras akan menyebabkan defek pengisian (filling defect) di
tempat batu berada. Yang menyulitkan adalah bila ginjal yang mengandung batu
tidak berfungsi lagi sehingga kontras ini tidak muncul. Dalam hal ini perlu
dilakukan pielografi retrograd.
c. USG
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP,
yaitu pada keadaan-keadaan : alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai
adanya batu di ginjal atau di buli-buli yang ditunjukkan dengan echoic shadow,
hidronefrosis dengan gambaran dilatasi pelvis dan kaliks ginjal, pionefrosis, atau
pengerutan ginjal. USG dapat mendeteksi adanya batu dan dilatasi sistem
kollektivus. Visualisasi hidronefrosis yaitu: derajat 1, dilatasi pelvis renalis tanpa
dilatasi kaliks, kaliks berbentuk blunting, alias tumpul. Derajat 2, kaliks berbentuk
flattening, mendatar, derajat 3, dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor, kaliks minor,
32

tanpa adanya penipisan korteks. Kaliks berbentuk clubbing,

alias menonjol.

Derajat 4, ada penipisan korteks ginjal dan kaliks berbentuk balloonong, alias
menggembung.
Keterbatasan pemeriksaan ini adalah kesulitan menunjukkan batu ureter dan tidak
dapat membedakan batu kalsifikasi dan batu radiolusen.
3.7. Hidronefrosis Ginjal
Penyebab hidronefrosis adalah obstruksi kronis pada saluran kemih pada
traktus urinarius sehingga menyebabkan penimbunan cairan bertekanan dalam
pelvis ginjal dan ureter.
Gambaran CT-Scan pada hidronefrosis adalah hidronefrosis yang dini
memberikan gambaran flattening, yaitu kaliks-kaliks yang mendatar.
Perubahan ini reversibel. Pada stadium lanjut akan memeperlihatkan kalikskaliks yang berbentuk tongkat atau menonjol (clubbing) pada tingkat yang
lebih parah lagi akan terjadi destruksi parenkim ginjal dan pembesaran sistem
saluran kemih.
3.7.1
. Pemeriksaan laboratorium
- Urine analisis, volume urine, berat jenis urine, protein, reduksi, dan
sediment. Bertujuan menunjukkan adanya leukosituria, hematuria, dan
-

dijumpai kristal-kristal pembentuk batu.


Urine kultur meliputi: mikroorganisme adanya pertumbuhan kuman
pemecah urea, sensitivity test
Pemeriksaan darah lengkap, leuco, diff, LED,
Pemeriksaan kadar serum elektrolit, ureum, kreatinin, penting untuk
menilai fungsi ginjal, untuk mempersiapkan pasien menjalani
pemeriksaan foto IVU dan asam urat, Parathyroid Hormone (PTH),
dan fosfat sebagai faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih
(antara lain: kalsium, oksalat, fosfat, maupun asaam urat di dalma
darah atau di dalam urin) serta untuk menilai risiko pembentukan batu
berulang.

3.7.2

. Diagnosis Banding
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Kolelithiasis

33

3.8 Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
Terapi ini ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena
diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan
mengurangi

nyeri,

memperlancar

aliran

urin

dengan

pemberian

diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong keluar batu


saluran kemih.
2) Intervensi bedah
ESWL (Extracorporal Shock Wave Lithotrypsi)
Teknik ini menggunakan getaran yang dapat memecah batu ginjal
menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah keluar melalui saluran

kemih tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan.


PNL (Percutaneus Litholapaxy)
Usaha mengeluarkan batu dengan memasukkan alat endoskopi ke sistem
kalises melalui insisi kulit. Batu kemudian dikelaurkan dengan memecah
terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.

Bedah laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kenih saat ini
sedang berkembang. cara ini banyak dipaki untuk mengambil batu ureter.
Bedah terbuka
Di klinik-klinik yang belum memiliki fasilitas endourologi, laparaskopi,
maupun ESWL, pengambilan batu dilakukan dengan bedah terbuka,
antara lain: pielolitotomi dan nefrolitotomi untuk mengambil batu di
ginjal dan ureter.

3.9 Komplikasi
Batu ginjal yang hanya menimbulkan keluhan nyeri kolik renal mungkin
tidak mengalami masalah setelah nyeri berhasil diatasi. Apabila batu
tersebut menyababkan sumbatan atau infeksi. Sumbatan ini dapat menetap
dan batu berisiko menyebabkan gagal ginjal.
3.10 Prognosis
Prognosis tergantung pada besar batu, letak batu, adanya infeksi, dan
adanya obstruksi.

34

3.11 Pencegahan
Pencegahan berupa: menghindari dehidrasi dengan minum cukup air 2-3
liter per hari, diet rendah protein, rendah oksalat, rendah garam, rendah
purin untuk mengurangi kadar zat komponen pembentuk batu, aktivitas
harian yang cukup, dan pemberian medikamentosa.

BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang laki laki berusia 55 tahun, bekerja sebagai petani, datang dengan
keluhan nyeri pinggang kanan. Nyeri hebat dirasakan seperti ditusuk tusuk, hilang
timbul pada pinggang kanan. BAK darah (-), BAK berpasir (+). Riwayat BAK
mengedan (-), BAK putus-putus (-). Tidak terdapat muntah, demam, atau keringat
malam. Pasien mengaku gejala seperti ini timbul pertama dua bulan yang lalu.
Tidak terdapat riwayat keluarga batu saluran kemih.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital pasien baik, pasien tampak sakit
ringan. Pada pemeriksaan spesifik abdomen, tidak terdapat nyeri tekan pada
daerah suprapubik. Pada inspeksi, ditemukan bulging pada region lumbal dextra,
pada nyeri ketok CVA didapatkan negative pada kanan dan kiri.
Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan kadar kreatinin meningkat
dan ureum masih dalam batas normal; kadar leukosit dalam darah masih dalam
batas normal. Pada pemeriksaan urinalisis, didapatkan mikrohematuria karena
terdapatnya eritrosit yang sedikit lebih banyak dari normal pada urin. Tidak
didapatkan kristal pada urin. Dilakukan pemeriksaan radiografi, yaitu BNO, IVP
dan USG abdomen. Pada pemeriksaan BNO dan IVP pada tanggal 29 oktober
35

2015, didapatkan kesimpulan Non visualized ginjal kanan, nefrolithiasis kanan


setinggi L1, L2-3, Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal kiri baik. Sedangkan pada
pemeriksaan USG abdomen pada tanggal 19 oktober 2015, didapatkan
kesimpulan hindonefrosis dextra dengan organ-organ abdomen lainnya normal.
Berdasarkan etiologi, dimana angka kejadian lebih banyak terjadi pada
laki-laki di banding perempuan, dan meningkat pada usia 40-60 tahun. Pada kasus
ini, pasien berjenis kelamin laki-laki dan usia 55 tahun. Pasien bekerja sebagai
petani, dimana tentunya sering terkena paparan panas dan sering mengalami
dehidrasi. Dari hasil anamnesis, pasien mengaku tidak ada penyakit yang sama
pada keluarga nya dan penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.
Penyebab hidronefrosis adalah obstruksi kronis pada saluran kemih pada
traktus urinarius sehingga menyebabkan penimbunan cairan bertekanan dalam
pelvis ginjal dan ureter.
Karena pasien tersebut datang dengan batu ginjal kanan setinggi L1, L2-3
keadaan tersebut dapat ditatalaksana dengan bedah terbuka. antara lain :
pielolitotomi dan nefrolitotomi untuk mengambil batu di ginjal dan ureter.

36

DAFTAR PUSTAKA

Alpay, H, Gokce, I, Ozen, A, Biyikh, N. (2013) Urinary stone disease in the first
year of life: is it dangerous?, Pediatr Surg Int, 29, pp. 311316
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
(2013), Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Bakti Husada.
Bak, M, Ural, R, Agin, H, Serdaroglu, E, Calkavur, S. (2009) The metabolic
etiology of urolithiasis in Turkish children, Int Urol Nephrol, 41(3), pp.
453-60.
Basiri, A, Shakhssalim, N, Khoshdel, A, Ghahestani, M, Basiri, H. (2010) The
demographic profile of urolithiasis in Iran: a nationwide epidemiologic
study, Int Urol Nephrol, 42, pp. 119126.
Colella, J, Kochis, E, Galli, B, Munver, R. (2005) Urolithiasis/Nephrolithiasis:
Whats It All About?, Urologic Nursing, 25(6), pp. 427-475.
Devuyst, T. & Pirson, Y. (2007) Genetics for hypercalciuric stone forming
diseases, Kidney Int, 72 , pp. 10651072.

37

Drake, R.L., Vogl, A.W., Mitchell, A.W.M. (2010) Grays Anatomy for Students
2nd Edition. Amerika Serikat: Elsevier.
Ekeruo, O, Tan, H, Young, D, Dahm, P, Maloney, E, Mathias, J, Albala, M,
Preminger, M. (2004) Metabolic risk factors and the impact of medical
therapy on the management of nephrolithia-sis in obese patients, J Urol,
172, pp. 159.
Ertan, P, Tekin, G, Oger, N, Alkan, S, Horasan, S. (2011) Metabolic and
demographic characteristics of children with urolithiasis in Western
Turkey, Urol Res, 39, pp. 105110.
Joan, C, Eileen, K, Bernadette, G, Ravi, M. (2005) Urolithiasis/Nephrolithiasis:
Whats It All About?, Urologic Nursing, 25(6), pp. 427-475.
Khan, S. (2012) Is oxidative stress, a link between nephrolithiasis and obesity,
hypertension, diabetes, chronic kidney disease, metabolic syndrome?,
Urol Res, 40, pp. 95112.
Knoll, T, Schubert, A, Fahlenkamp, D, Leusmann, D, Wendt-Nordahl, G,
Schubert, G. (2010) Urolithiasis Through the Ages: Data on More Than
200,000 Urinary Stone Analyses, J Urol, 185(4), pp. 13041311.
Koyuncu, H, Yencilek, F, Eryilirim, B, Sarica, K. (2010) Family history in stone
disease: how important is it for the onset of the disease and the incidence
of recurrence?, Urol Res, 38, pp. 105109.
Lpez, M. & Bernd, H. (2008) History, epidemiology and regional diversities of
urolithiasis, Pediatr Nephrol, 25, pp. 4959.
Meydan, N, Barutca, S, Caliskan, S. (2003) Urinary stonedisease in diabetes
mellitus, Scand J Urol Nephrol, 37, pp. 64.
Mohsen, A, Mostafa, S, Maasumeh, M, Mahdi. V, Shamsaddin, H. (2012)
Biochemical Risk Factors for Stone Formation in Healthy School
Children, Acta Medica Iranica, 50, pp. 814-818.

38

Muslumanoglu, Y, Binbay, M, Yuruk, E, Akman, T, Tepeler, A, Esen, T, Tefekli,


H. (2011) Updated epidemiologic study of urolithiasis in Turkey. I:
Changing characteristics of urolithiasis, Urol Res, 39, pp. 309314.
Okonogi, H, Nishimura, M, Utsunomiya, Y. (2001) Urinary type IV collagen
excretion reflects renal morphological altera-tions and type IV collagen
expression in patients with type 2 diabetes mellitus, Clin Nephrol, 55, pp.
357.
Pearle, S. & Lotan, Y. (2011) Urinary Lithiasis: Etiology,Epidemiology, and
Pathogenesis. In: Wein, A. et al. eds. Campbell Walsh Urology 10th
Edition. Amerika Serikat: Saunders Elsevier
Pinduli, I, Spivacow, R, del Valle, E, Vidal, S, Negri, L, Previgliano, H, Faras, R,
Andrade, H, Negri, M, Boffi-Boggero, J. (2006) Prevalence of urolithiasis
in the autonomous city of Buenos Aires, Argentina, Urol Res, 34(1), pp.
8-11.
Rodgers, A. (2013) Race, ethnicity and urolithiasis: a critical review,
Urolithiasis, 41, pp. 99103.
Safarinejad, R. (2007) Adult urolithiasis in a population-based study in Iran:
prevalence, incidence, and associated risk factors, Urol Res, 35, pp. 7382.
Sakhaee, K. (2009) Recent advances in the pathophysiology of nephrolithiasis,
Kidney International, 75, pp. 585595.
Sastroasmoro,S, Ismael, S. (2013) Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis
Edisi ke-4. Jakarta: Sagung Seto.
Seitz, C, Fajkovic, H. (2013) Epidemiological gender-specific aspects in
urolithiasis, World J Urol, 31, pp. 10871092.
Srivastava, T. & Alon, S. (2005) Urolithiasis in Adolescent Children, Adolescent
Medicine Clinics, 16(1), pp. 87.

39

Stoller, L. (2012) Urinary Stone Disease. In: McAnich, J &Tanagho, E. eds.


Smiths General Urology 18th Edition. Amerika Serikat: McGraw Hill.
Sun, X, Shen, L, Cong, X, Zhu, H, He, L, Lu, J. (2011) Infrared spectroscopic
analysis of 5,248 urinary stones from Chinese patients presenting with the
first stone episode, Urol Res, 39, pp. 339343.
Taylor, N, Stampfer, J, Curhan, C. (2005) Diabetes mellitus and the risk of
Nephrolithiasis, Kidney Int, 68, pp. 12301235.
Tiselius, H. (2011) A hypothesis of calcium stone formation: an interpretation of
stone research during the past decades, Urol Res, 39, pp. 231243.
Trk, C, Knoll, T, Petrik, A, Sarica, K, Seitz, C, Straub, M. (2011) Guidelines on
Urolithiasis, Belanda: European Association of Urology.
Valle, E, Negri, A, Spivacow, F, Rosende, G, Forrester, M, Pinduli, I. (2012)
Metabolic diagnosis in stone formers in relation to body mass index,
Urol Res, 40, pp. 4752.
Wei, M, Chou, Y, Ching, C, Chia, L, Huang, S, Wu, W, Chen, C, Su, C, Lee, M.
(2009) Association of body mass index and urine pH in patients with
urolithiasis, Urol Res, 37, pp. 193196.
Yilmaz, S, Pekdemir, M, Aksu, N, Koyuncu, N, Cinar, O. (2012) A multicenter
casecontrol study of diagnostic tests for urinary tract infection in the
presence of urolithiasis, Urol Res, 40, pp. 6165.
Zhang, P, Nie, W, Jiang, H. (2013) Effects of vitamin D receptor polymorphisms
on urolithiasis risk: a meta-analysis, BMC Medical Genetics, 14, pp. 104.

40

41

Anda mungkin juga menyukai