Anda di halaman 1dari 3

Petisi Para Ahli dan Aktivis Soal Krisis Ekologi ke Jokowi

Oleh Ahmad Arif (Kompas, 30 Desember 2015)


Ratusan akademisi, tokoh agama, aktivis lingkungan dan agraria, serta perwakilan
masyarakat adat mengirim petisi kepada Presiden Joko Widodo terkait krisis ekologi yang
mendera Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Krisis ini dipicu oleh arah pembangunan yang hanya
mengedepankan pertumbuhan ekonomi tetapi abai dengan daya dukung lingkungan serta
keadilan sosial.
Krisis Pulau Jawa, menurut para tokoh masyarakat ini, telah mencapai tahap parah.
Situasi tersebut diperburuk dengan banyaknya pembangunan industri semen, waduk, pembangkit
listrik tenaga uap, dan penambangan bahan mineral, terutama semen.
Soeryo Adiwibowo, ahli ekologi IPB yang menjadi koordinator gerakan ini, menyatakan,
"Kami berharap kepada Presiden untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dengan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk
mencegah berlanjutnya krisis sosial dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai
implementasi yang tepat."
Beberapa tokoh yang turut dalam petisi ini di antaranya Dr Myrna A Safitri (Sekretaris,
Universitas Pancasila), Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo (Institut Pertanian Bogor), Prof Dr
Sudharto P Hadi (Universitas Diponegoro), Prof Dr Ahmad Syafii Ma'arif (tokoh agama), Prof
Dr KH Mochammad Maksum Machfoedz (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia/PBNU), KH
Muhammad Imam Aziz (PBNU), tokoh Sedulur Sikep Gunretno, dan ratusan orang lain.
Masalah
Isi petisi yang disampaikan kepada Presiden adalah Mahkamah Konstitusi dalam
beberapa putusan telah memberikan penafsiran untuk ukuran "sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: (i)
kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (ii) pemerataan manfaat sumber daya alam bagi
rakyat; (iii) partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta; (iv)
penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya
alam.
Meningkatnya konsumsi bahan-bahan alam dan energi di Indonesia banyak terjadi bukan
karena kebutuhan lokal, melainkan karena perluasan industri ekstraktif dengan dukungan sektor
keuangan dan perbankan. Daratan kepulauan Indonesia beserta perairannya dan kesatuan sosial
ekologis yang ada telah secara sistematis mengalami perusakan.
Proyek-proyek pembangunan di Jawa, secara khusus industri semen, waduk, pembangkit
listrik tenaga uap berbasis batubara, dan penambangan mineral lain, ditengarai belum
memberikan keadilan lingkungan dan sosial kepada rakyat, khususnya masyarakat terdampak.
Beberapa bahkan masih belum menghormati hak-hak rakyat atas tanah permukiman dan
pertanian yang telah dikuasai turun-temurun.
Rencana pembangunan industri semen akan menyebabkan krisis ekologi dan
menimbulkan ketidakadilan lingkungan (environmental injustice).
Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di Kabupaten
Rembang, Pati, dan Grobogan, demikian juga pembangunan di Gombong, Jawa Tengah,
mengindikasikan hal ini. Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten
Rembang, sebagai misal, mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. CAT
itu merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air terbesar yang memasok
sumber-mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang dihasilkan oleh mata air-mata air yang
ada di pegunungan karst ini dalam satu hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. Sekitar 10
persen di antaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat. Sisanya didistribusikan ke lahan
pertanian. Jika nilai ini dievaluasi sebagai potensi ekonomi, nilai air yang dihasilkan akan
melebihi nilai yang didapat dari sektor pertambangan, yang justru berpotensi mengurangi bahkan
menghilangkan pasokan dan distribusi air pada sumber mata air yang ada.
Rencana pembangunan industri semen di Pati mengancam hak pangan warga. Lahan
yang akan digunakan untuk pabrik seluas 180 hektar, 95 hektar di antaranya berupa lahan
pertanian produktif milik 569 orang atau keluarga. Lahan untuk tapak pabrik dan tapak tambang
akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani seluas 484,96 hektar. Lahan
tersebut telah dikelola oleh 267 petani hutan (pesanggem) untuk budidaya pertanian. Dengan
produktivitas 6 ton padi per hektar per panen, pendapatan total dari satu kali panen di areal
budidaya pertanian yang akan terkena proyek diperkirakan mencapai Rp 2.137.500.000. Dengan
pembangunan pabrik semen, akan terjadi penurunan pendapatan.
Semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, longsor, dan
kekeringan yang tinggi. Sekitar 80 persen kabupaten/kota mempunyai risiko banjir tinggi; 93
persen mempunyai risiko kekeringan yang juga tinggi. Selain itu, kondisi hutan di Pulau Jawa
yang saat ini berada pada titik kritis perlu mendapat perhatian serius. Pulau Jawa hanya memiliki

luasan hutan sebesar 3,38 persen dari seluruh kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut,
sebesar 85,37 persen dikelola oleh Perum Perhutani.
Luas tutupan hutan dari tahun ke tahun makin berkurang. Tahun 2000 luas tutupan
hutan Jawa masih 2,2 juta hektar, tetapi tahun 2009 merosot tinggal 800.000 hektar. Total luas
tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23,1 persen. Sebanyak 123 titik DAS
dan sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus
berlangsung, 10,7 juta hektar DAS dan sub-DAS di Pulau Jawa akan semakin terancam.
Kebijakan tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa bukan solusi yang tepat untuk
menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis ekologis yang berlangsung saat ini. Tukar-menukar itu
diduga dapat memicu konflik agraria karena belum adanya jaminan clear and clean dari lahan
pengganti yang disediakan. Tukar-menukar juga tidak dapat mengganti hilangnya fungsi ekologis
pada lahan yang ditukar.
Konflik agraria di Pulau Jawa, khususnya di areal Perum Perhutani, relatif tinggi dalam
hal jumlah dan frekuensi. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang
terjadi di Indonesia, 41 konflik hutan terjadi di Jawa yang notabene diurus oleh Perum Perhutani.
Menurut LSM yang bergerak pada pembaruan hukum di bidang sumber daya alam itu, dalam
satu dasawarsa terakhir ini setidaknya 108 warga desa hutan mengalami kekerasan dan
kriminalisasi.
Persentase keluarga miskin yang bermukim di desa hutan lebih besar daripada persentase
keluarga miskin di Indonesia. Di Jawa-Madura saat ini terdapat 5.400 Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH) yang terdiri atas 5 juta keluarga dan 60 persen di antaranya masuk kategori desa
miskin dan tertinggal. Berdasarkan data BPS (2012), jumlah penduduk miskin di desa pada
Pulau Jawa adalah 8.703.350 orang. Jumlah ini sangat menonjol jika dibandingkan pulau-pulau
besar lain di Indonesia.
Pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi,
keadilan sosial, dan pelestarian fungsi lingkungan tidak akan terwujud jika konflik agraria tidak
diselesaikan atau diselesaikan hanya dengan cara represif. Pembangunan ekonomi yang sehat
memerlukan penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang adil,
penguatan ekonomi rakyat dan partisipasi masyarakat yang hakiki. Untuk mewujudkan hal
tersebut, diperlukan kemauan politik serta jaminan perlindungan hukum yang nyata terhadap
kelompok masyarakat yang rentan, utamanya masyarakat tak bertanah serta tidak memiliki akses
terhadap tanah dan sumber daya alam.
Harapan
Terkait dengan butir-butir pandangan di atas, para ahli dan aktivis itu berharap Presiden
bisa menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, dan di Pulau Jawa
khususnya. Dengan dukungan pemuka agama, akademisi dan masyarakat sipil, mereka berharap
Presiden segera mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah berlanjutnya krisis
sosial dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai implementasinya yang tepat.
Petisi itu mengusulkan agar Presiden memimpin pelaksanaan Ketetapan MPR RI No
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan
membentuk jaringan pemantau yang beranggotakan unsur pemangku kepentingan, secara
transparan dan akuntabel.
Menugaskan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menghentikan
proses tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa dengan tidak menerbitkan keputusan
mengenai tukar-menukar tersebut kecuali untuk kepentingan bencana alam. Selain itu,
menugaskan Menteri LHK untuk memeriksa izin lingkungan dan tukar-menukar kawasan hutan
guna memastikan adanya partisipasi dan penghormatan hak-hak rakyat.
Menugaskan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR)
untuk mengkaji ulang perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Provinsi yang diduga
dilakukan untuk memuluskan proyek-proyek infrastruktur yang tidak mengindahkan prinsip
keadilan lingkungan. Selain itu, menugaskan Menteri ATR untuk mengkaji ulang proses
pengadaan tanah di lokasi-lokasi proyek tersebut yang patut diduga berjalan di luar ketentuan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
Menugaskan Menteri Badan Urusan Milik Negara untuk mengevaluasi praktik
penanganan konflik yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan badan-badan usaha milik negara
lain terkait keabsahan tukar-menukar dan pinjam pakai kawasan hutan.
Menugaskan Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri LHK untuk memeriksa
kembali kelayakan lingkungan seluruh rencana industri semen, penambangan emas dan pasir
besi, waduk dan pembangkit listrik tenaga uap di Pulau Jawa.
Memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengusut tuntas tindakan-tindakan
kekerasan terhadap masyarakat, lebih khusus pada kasus-kasus konflik agraria dan sumber daya

alam yang dilakukan oleh oknum aparat Polri/TNI, dan membawanya ke proses hukum yang
terbuka dan independen.

Anda mungkin juga menyukai