Seorang ibu datang ke PSTW, Panti Sosial Tresna Werdha, tempat dimana lansia-lansia terlantar
dilayani oleh negara. Dia datang mengkonsultasikan orang tuanya yang bermasalah, dan
bermaksud menitipkannya di PSTW.Ini bukan pertama kali saya mendengarkan cerita yang
sama, curhat yang sama, keluhan yang sama, hingga akhirnya akan memberikan penjelasan yang
sama.
Ayahnya yang lansia, hidup sendirian setelah almarhum ibunya meninggal sekian tahun yang
lalu. Semakin lanjut persoalannya ada saja: sering marah-marah, memaksakan kehendak,
meminta makanan atau layanan yang aneh-aneh, kadang pergi jalan-jalan sampai ke tempat yang
jauh, pindah dari satu anak ke anak yang lain dan tidak pernah betah menetap di satu tempat.
Kalaupun dia diberi uang, pastilah tidak sampai sehari uang itu habis entah untuk apa. Tidak bisa
diirit-irit.
Capek mengurusnya, sementara yang di rumah tidak ada. Pada kerja semua, ataupun cucucucunya pada sekolah semua. Tidak ada yang merawat. Untuk itulah, apakah PSTW bisa
menerima dia sebagai klien? Sebenarnya mereka tidak tega dan ingin mengurus sendiri, tetapi ya
itulah..tidak sempat.
Jawaban saya mungkin sangat tidak mengenakkan: itu tandanya kita sudah tega melakukan
penelantaran kepada lansia.
Apa yang dilakukan lansia itu, orang tuanya itu, sesungguhnya adalah pelampiasan dari
persoalan hidupnya. Dia jajan, bepergian jauh ke mana-mana, meminta yang aneh-aneh, marahmarah dan lain-lain, sekali lagi: itu tidak lebih dari pelampiasan dari persoalan hidupnya.
Apa persoalan hidupnya? Bukankah semua kebutuhan makan terpenuhi? Bukankah cukup
baginya duduk, baca koran, nonton tivi, bercanda dengan cucu, berkebun atau sejenisnya,
bukankah semua itu sudah terpenuhi? Hm..itu kan menurut anda.
Tidak tahukah anda bahwa perasaan lansia itu semakin tua semakin sensitif? Dia begitu perasa.
Maka nada bicara anda, bisikan anda kepada pasangan anda, gerak-gerik sikap dan lain
sebagainya akan dia baca dengan penuh seksama dari hari ke hari sehingga dia bisa saja
mengambil kesimpulan bahwa anda sedang tidak suka ketika dia ada dekat dengan anda,
sekalipun barangkali anda menyatakan menolak.
Tidak tahukan anda bahwa dia sedang gelisah dikarenakan usia yang memakan kekuatan fisik
dan batinnya, dia seringkali frustrasi. Frustrasi karena gagal mengingat sesuatu, frustrasi karena
tangannya selalu bergetar ketika memegang sesuatu, frustrasi karena kehilangan kekuatan
bahkan untuk melakukan hal-hal sederhana, frustrasi karena kehilangan kecantikan dan
kegagahannya, atau mungkin seksualitasnya. Dia tidak mungkin jujur dihadapan anda perihal
kegelisahannya itu, karena bagaimanapun dia adalah orang tua. Tetapi anda ternyata tidak peka
dengan isyarat-isyarat yang dia tunjukkan itu.
Tidak tahukan anda bahwa dia sedang gelisah karena kesepian, tidak ada orang yang bisa diajak
untuk berbagi cerita. Semua teman seusianya sudah tidak ada. Banyak hal yang ingin dia
ceritakan, tetapi tidak ada yang mendengar. Mungkin anda sangat paham, bahwa untuk
mendengarkannya butuh waktu lebih dari satu jam sampai dia tertidur dan anda hanya
mengangguk-angguk. Mungkin, anda sangat paham bahwa cerita yang dia sampaikan isinya ituitu saja dari waktu-ke-waktu, sehingga anda sangat hapal bahkan titik koma yang disampaikan.
Anda bosan. Dia juga bosan, tetapi dia tak kuasa menahan hasrat untuk bercerita. Dia terabaikan.
Tidak tahukah anda bahwa terkadang rasa frustasi yang amat sangat, dia terkadang sangat putus
asa, menyesali mengapa diberi usia yang lebih panjang sementara dia begitu bergantung kepada
orang lain? Dia terkadang berharap kenapa tidak mati cepat.
Coba bayangkan, jika anda menjadi dia. Apalagi yang bisa dia lakukan kecuali melakukan yang
menurut anda "bikin gara-gara" dan "merepotkan"?
Menjadi lansia, sesungguhnya kembali menjadi anak-anak secara psikologis. Bedanya, kalau
anak-anak, dia berubah menjadi semakin dewasa dan tidak bergantung. Sebaliknya lansia, seiring
berjalannya waktu, dia akan semakin bergantung kepada orang lain. Itu jika anda memandang
dari sisi negatif. Apa sisi positifnya? Kalau anak-anak, mereka belum terbukti akan berbakti
kepada anda setelah mereka tua, sementara lansia, mereka sudah terbukti membesarkan anda
sampai dengan sekarang ini. Jika anda tega terhadap orang tua anda, mertua anda, bisa jadi anak
anda lebih tega daripada anda.
Masyarakat kita adalah masyarakat dengan kompososisi lanjut usia yang besar. DI DIY, dari 3,5
juta penduduk, 14% diantaranya adalah lansia. Prosentase itu semakin berlebih sehingga prediksi
BPS, pada tahun 2021 akan menjadi 16%. Sayangnya, banyak diantara kita tidak tahu bagaimana
memuliakan lansia di rumah kita sendiri, dan bahkan secara tidak sadar mulai menelantarkan
orang tua kita sendiri. Keterlantaran lansia, terkadang bukan karena faktor lansianya sendiri,
tetapi karena keluarga yang merasa berputus asa terhadap mereka. Sudah saatnya dari sekarang
mulai belajar untuk memberikan perhatian kepada orang tua, mulai dari hal-hal sederhana seperti
mengajak berbincang, memperhatikan perubahan perubahan fisik dan psikologis, mengajak
mereka untuk bersosialisasi dengan sesama umurnya, memberikan hiburan-hiburan dan segala
sesuatu yang sesuai dengan zamannya, dan mencukupkan waktu untuk membersamai mereka,
mendidik mereka untuk memiliki kegemaran yang positif di rumah: membaca, memelihara
tanaman, mengaji dll, serta jangan pernah berhenti untuk mengucapkan rasa syukur bahwa
mereka telah memelihara anda dari kecil hingga dewasa.
Lalu? Karena uanglah kemudian mereka kembali ke jalanan, karena di jalan masyarakat masih
sangat dermawan untuk memberikan dermanya kepada mereka sehingga penghasilan mereka
dalam sehari bisa berkisar antara 100 ribu sampai 500 ribu. Begitu kuatnya keyakinan ini
sehingga jika disuruh memilih apakah mereka harus hidup di PSTW dengan tercukupi segala
kebutuhannya, ataukah memilih hidup di jalan...maka jalanan adalah pilihan mereka.
Itulah mengapa dengan sangat gamblang kami melarang masyarakat memberikan dermanya
kepada pengemis atau siapapun di jalanan. Ketika Anda memberikan uang kepada mereka di
jalan, maka Anda sudah melestarikan budaya miskin di masyarakat, menanamkan keyakinan
yang kuat bahwa tidak ada yang menggantikan nikmatnya menjadi pengemis di jalanan.
Demikianlah. Maka sebelum Anda menyalahkan pemerintah dengan segala keterbatasannya, ya
karena tidak ada yang lebih bisa disalahkan oleh masyarakat kecuali pemerintah, mulai sekarang
stop memberikan sedekah kepada mereka di jalan. Mulailah tengok tetangga kiri kanan anda
karena itu yang lebih diutamakan menurut agama atau mulailah salurkan kepada lembaga sosial
yang anda percayai.
Berbuat baik saja tidak cukup, karena jika tanpa pengetahuan, perbuatan baik anda justru
menyesatkan.
Semoga bermanfaat. (*)
Feriawan Agung Nugroho
Pakem, 22 Desember 2015
punya keraguan ataupun kecurigaan bahwa nantinya anggota jemaat mereka akan diislamisasi
ataupun didiskriminasikan, mengingat PSTW adalah Panti Pemerintah. Tetapi biasanya
simbahnya yang sedikit khawatir bahwa nantinya aktifitas ibadah mereka yang rajin ke Gereja
akan terhambat karena status mereka sebagai klien PSTW. Sebagaimana biasa, saya pun
memberi jaminan bahwa bimbingan agama semingg dua kali diberikan sesuai dengan agama
masing-masing, karena di Panti ini ada tiga agama: Islam, Katolik dan Kristen. Bimbingan itu
pun diberikan oleh instruktur yang ditunjuk oleh Depag. Juga, pada hari Minggu, simbah-simbah
yang hendak ke gereja diijinkan dan difasilitasi dengan diantar kendaraan atau ambulans.
Fasilitas itu, biasanya tidak digunakan oleh klien, karena selain jaraknya dekat, klien juga kadang
mampir-mampir ke Pasar atau jalan-jalan.
Persoalan terkait agama dan menjalankan ibadah bagi lansia adalah persoalan yang penting untuk
disampaikan dan diberikan jaminan. Karena, di usia senja biasanya muncul kecemasankecemasan terkait dengan kematian dan sesudahnya, kesadaran akan kesalahan-kesalahan di
masa lalu, pertaubatan, dan atau keinginan untuk meraih ketenangan batin. Maka dari itu, dalam
setiap kunjungan calon klien, jaminan atas persoalan kebebasan beragama dan menjalankan
ibadah selalu saya sampaikan dalam rangkaian pembicaraan dengan calon klien.
Tanpa bermaksud menyindir pihak manapun, kadang saya merasa sedih (lho?) bahwa di tengah
persoalan yang karut marut di masyarakat yang begitu riil: ada kemiskinan, ada lansia terlantar,
ada anak yatim, ada kelaparan, kebodohan dll. Kita lebih memilih melihat runcingnya perbedaan
keyakinan untuk kemudian dijadikan alasan melawan yang berbeda itu dengan segenap energi
besar yang dimiliki. Buat apa.(*)
SURVIVAL MENTALITY
Dua lansia di Panti Werdha ini sama-sama pernah menikmati hidup serba berkecukupan. Samasama memiliki orang tua kaya raya, sama-sama berpendidikan tinggi, tetapi pada akhirnya samasama terlantar dan harus menghabiskan masa tua di Panti Werdha. Kekayaan orang tuanya
ternyata tidak menjamin bahwa mereka akan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya. Justru
sebaliknya, kekayaan malah menjerumuskan dan melenakan mereka sampai menjadi manusia
yang menderita. Keluarga mereka juga sama-sama berantakan, sama-sama saling berebut
warisan. Segala fasilitas, pelayanan dan kemudahan telah melenakan mereka, sehingga yang
dipahaminya hanyalah hidup enak. Ketika zaman berubah, orang tua mereka tiada, mereka tidak
punya mentalitas survive, survival mentality. Tidak pernah mengenal kata prihatin, tidak pernah
mengalami bagaimana susahnya hidup, tidak pernah tahu bagaimana mensyukuri hidup dan pada
akhirnya meratap-ratapi masa lalu yang gemilang dan pada sisi lain menyalahkan nasib.
Yang pertama, Mbah C. Perawakannya bersih terpelihara. Seorang lulusan universitas terkemuka
di Jakarta, jika pada zamannya tentulah dia setara dengan doktor di masa kini. Dari
perawakannya itu orang bisa menakar bahwa masa lalunya dia berasal dari keluarga priyayi yang
terpandang dan terpelajar. Sayang, bahwa bekal kesarjanaan itu tidak bisa membawa dia kepada
pekerjaan yang mapan. Alasannya ada saja: tidak cocok dengan rekan kerja, terlalu jauh, terlalu
ini dan itu.
Maka ketika umur menjelang habis dan orang tuanya sudah tiada, dia baru mendapatkan
pekerjaan yang relatif mapan, itupun hanya sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil.
Berhenti dari perusahaan kecil karena dinilai mertua penghasilannya tak seberapa, dia dipanggil
untuh hidup bersama mertua. Sayangnya, justru dari sini keluarganya makin tidak harmonis.
Tuduhannya sederhana, sebagai suami, dia lebih banyak merepotkan daripada menyangga
kehidupan keluarga. Diceraikan oleh istri dan kemudian didepak dari rumah mertua.
Harta sudah habis, harta keluarga pun rupanya tinggal rumah warisan orang tuanya yang kini
menjadi sengketa diantara dia dan saudara-saudaranya. Tidak ada yang bisa dilakukannya,
karena pendidikannya yang tinggi ternyata tidak menjamin kualitas kerjanya. Meski banyak
orang bersimpati dan memberikan dia pekerjaan, dia selalu pilih-pilih. Maka ketika penderitaan
semakin menekan dan dia tidak punya kemampuan untuk bekerja, dia menjadi klien di Panti
Werdha.
Ketika di Panti Werdha, mungkin karena merasa pendidikannya tinggi dan dia tidak memiliki
ruang untuk berekspresi, maka kehadirannya justru destruktif bagi klien lain. Tidak memiliki rasa
empati, tidak mudheng tentang pentingnya bekerja gotong royong, tidak tahu kapan harus begini
dan begitu, tidak tahu bagaimana bertindak yang pantas dll. Serba susah.
Simbah kedua, Mbah L, adalah anak dari dosen sekaligus insinyur sipil terkemuka dari
universitas terkemuka. Kegemilangan orang tuanya membuatnya selalu hidup berfoya-foya,
dilayani, dolan sana-sini, dan menghambur-hamburkan harta orang tuanya. Akibatnya kuliahnya
tidak lulus, tidak sempat berkeluarga dan ketika orang tuanya meninggal justru konflik dengan
sesama saudara yang lain, berebut warisan. Saking sengitnya perebutan warisan ini, Mbah L
justru masuk penjara karena melakukan tindak kekerasan kepada saudaranya yang bersengketa.
Karena sama-sama keras, saudaranya pun seolah bersumpah bahwa sampai dengan menjadi
mayat pun mereka tidak pernah mau melihat wajah Mbah L. Naudzubillah..
Lepas dari penjara, karena tidak ada tempat bernaung, maka dia menjadi klien di Panti Jompo. Di
panti jompo pun dia tidak lebih dari seorang pembuat onar. Selalu saja dia mengajak berdebat
dan berantem klien yang lain. Impiannya adalah ingin merebut hak waris atas tanah dan rumah
orang tuanya yang menurut dia dilanggar oleh saudaranya yang lain. Padahal, dari telisik pribadi
saya, rumah itu sekarang adalah rumah hantu yang berpenghuni. Dikatakan rumah hantu karena
penghuninya, saudaranya itu, tidak bisa merawat rumah dan kebun warisan orang tua. Rumah itu
bisa diterawang bahwa dulunya adalah rumah termegah di kampung itu, karena berdinding tebal
layaknya rumah jaman belanda, berjendela kokoh dari jati dan berarsitektur barat. Kini plafonnya
pada jebol, kotor, jendelanya kusam dan nyaris selama bertahun-tahun tampak tidak dibersihkan.
Kebun yang tadinya hijau pun sekarang tidak lebih dari halaman penuh semak belukar dan
rerumputan. Bisa ditebak bahwa dia dan keluarganya memang tidak punya kemampuan
mengelola rumah dan tanah, kecuali dulunya dikerjakan oleh tukang kebunnya.
Demikianlah. Mereka berdua sama-sama cerdas, berlatar belakang pendidikan tinggi, pernah
bergelimang materi dan selalu dilayani. Tetapi mereka berdua adalah anak-anak yang salah
didikan sehingga kecerdasan dan kekayaan sama sekali tidak menyelamatkan hidup mereka.
Ngomong-ngomong, hmm.., bukankah materi dan pendidikan yang tinggi untuk anak-anak kita
adalah yang kita kejar? (*)
Pakem, 8 November 2014
36 Likes 24 Comments 20 Shares
Kami akan kerepotan jika ternyata jumlah snack 80 buah, karena itu berarti kami harus belanja
lagi sejumlah snack yang kurang dengan kategori sama persis semuanya. Maka, kadang kami
menolak pemberian makanan ataupun snack ketika jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah klien
kami. Bukan karena nilainya atau harganya mahal/murah, tetapi justru akan mengakibatkan
kekacauan pada klien kami. Harap maklum. Murah tidak masalah, mahal tidak masalah asalkan
sesuai dengan jumlah klien. Syukur jika dilebihkan untuk kami pengasuh.
Keempat, harap diperhatikan bahwa bantuan langsung yang diberikan oleh anda kepada klien
tidak membahayakan klien. Klien di tempat kami, misalkan, sebagian besar buta huruf. Maka
banyak kasus kecolongan ketika ada yang memberikan bantuan langsung obat-obatan semacam
In*a, Para*ex, Bod*ex, dan obat-obatan pasaran justru kami sita. Banyak klien yang tidak tahu
indikasi, tidak tahu aturan pakai maka asal minum obat tersebut. Ada juga yang tidak akrab
dengan kertas tisue. Bingung juga buat apa kertas tissue di Panti Lansia. Akhirnya malah
dimakan. DIkira roti tawar. Ada juga yang berinisiatif memberikan pewangi cucian. Untungnya
ketahuan, karena dikira simbah itu sirup. Bahaya, kan? Maka perlu koordinasi dengan pengasuh
ataupun pekerja sosial di lokasi untuk apapun yang hendak anda berikan. Kami sebagai petugas
tidak punya hak menilai ataupun merendahkan anda ketika anda tidak percaya diri karena
mungkin jumlahnya sedikit, nilainya kecil dll, Bukan itu yang kami nilai, tetapi kemanfaatannya
yang kami sesuaikan.Klien itu tanggungjawab kami, jika sampai terjadi apa-apa dengan klien,
kamilah yang akan mendapat getahnya. Jangan sampai niat baik anda malah menimbulkan
dampak yang tidak mengenakkan.
Kelima, kepercayaan adalah hal yang utama dalam persoalan tali asih. Anda boleh memilih
untuk memberikan langsung tali asih kepada klien, tetapi anda juga bisa menitipkannya kepada
pengelola agar dihimpun bersama dengan tali asih dari pengunjung lainnya dan diwujudkan
dalam bentuk sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan klien.
Keenam, ini penting, sangat sedikit yang berpikir tentang kebutuhan produktif bagi klien. Ratarata semua konsumtif dan habis pakai. Jarang atau nyaris tidak pernah yang memberikan
sumbangan buku-buku materi bimbingan, materi pengetahuan, materi apapun yang terkadang
kami butuhkan untuk penyejahteraan klien. Bisa untuk bacaan klien langsung, ataupun bisa juga
untuk kami sebagai penasuhnya. Kami memberikan bimbingan psikologi dan bimbingan sosial,
katakanlah: terkadang harus cari di internet ataupun searching sana-sini tentang kasus tertentu.
Sangat miskin buku tentang pengetahuan klien lansia. Bimbingan agama: kami juga
mengandalkan comotan data internet dan buku-buku standard. Bimbingan keterampilan: nah ini
dia, terkadang kami butuh juga materi-materi pengayaan yang bisa diberikan kepada lansia
dalam keterampilan merajut, merangkai tali, membuat sulak, sapu dll. Kadang butuh
pengetahuan apakah lahan sedikit di sekitar panti bisa termanfaatkan untuk klien, misal untuk
membuat kebun hidroponik, kolam ikan dll. Bimbingan senam dll. Bahkan kadang, walaupun
jaman sudah internet, kami belum pernah mendapatkan satu tulisan pun tentang tata kelola panti
di luar negeri sebagai pembanding untuk peningkatan kualitas pelayanan kami. Susahnya, rata-
rata banyak mahasiswa ataupun peneliti yang menggunakan tempat kami sebagai lahan saja dan
tidak meninggalkan sesuatu yang bisa kami manfaatkan kecuali hanya secara akademis.
Point enam ini sangat strategis, tetapi nyaris tidak pernah ada yang merealisasikan. Bisa jadi
tidak terpikirkan karena rata-rata masyarakat di manapun ketika berpikir tentang kelompok
rentan, ya pikirannya hanya soal konsumtif, bukan sesuatu yang produktif.
Itu saja, semoga yang sedikit ini bermanfaat.(*)
HALIMUN SENJA DARI TIMUR JOGJA
oleh: Feriawan Agung N.
Harta yang paling berharga adalah keluarga. Penggalan kalimat di lirik lagu serial Keluarga
Cemara ini saya rasakan makin bermakna ketika saya diperkenankan oleh Allah menjadi saksi
atas riwayat hidup salah satu klien lansia di PSTW. Klien yang menjadi tanggungjawab saya
selama di PSTW hingga terakhir mendengar kabar beritanya bahwa dia sudah meninggal, Kamis
9 September 2015 kemarin.
Sebut saja namanya Lesmono (65 tahun). Dia adalah satu dari 5 bersaudara. Dari sulung:
Lesmonowati , Lesmono, Santo, Atik, Nanik. Mereka adalah anak dari Ir Harmoko (alm). Ir
Harmoko di negeri ini adalah salah seorang arsitek terkemuka yang diminta Ir Soekarno
membangun tempat bersejarah paling dikenal di Indonesia. Ir Harmoko juga adalah salah satu
dosen terkemuka di universitas paling tua di Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa Ir Harmoko
adalah keluarga terpandang yang memiliki kekayaan dan garis bobot keturunan yang masuk
golongan priyayi kala itu.
Diantara kesemua anaknya, Lesmono-lah yang paling disayang dan dimanja (jawa: diuja) oleh Ir
Harmoko dan istrinya. Apapun yang dia minta, segala sesuatunya dicukupi. Sayangnya Lesmono
tidak memanfaatkan kehidupan mewahnya ini dengan baik. Dia sering loyal, hidup boros dan
seenaknya. Hari-harinya diisi dengan bersenang-senang menghabiskan harta orang tuanya. Uang
keluarga dihambur-hamburkan, bahkan suatu ketika, pernah pergi ke Australia hanya untuk
dolan. Kuliahnya tidak terperhatikan.
Sampai suatu ketika, ketika orang tua Lesmono (Ir Harmoko dan Istri) meninggal dalam waktu
yang tidak terlalu lama (kurang dari setahun). Meskipun Ir Harmoko dan Istri meninggalkan
warisan keluarga yang sangat bernilai berupa rumah mewah di daerah klaten lengkap dengan
halaman dan sejumlah kekayaan lainnya, mereka gagal membuat anak-anaknya lulus menjadi
sarjana. Gagal pula melihat bahwa anak-anaknya ada yang jadi orang. Bahkan sebaliknya,
mereka sudah mulai melihat bibit-bibit permusuhan diantara anak-anak mereka. Permusuhan
itulah yang kemudian meledak sepeninggal mereka berdua.
Secara hukum, kesemua anak keluarga Ir Harmoko punya hak atas warisan rumah beserta isinya
di daerah Klaten. Tetapi tentu saja, membagi warisan berupa rumah tanah dan isinya tak
semudah memotong kue ulang tahun. Ada anak-anak yang keukeuh mempertahankan warisan
orang tua untuk tetap dijadikan aset keluarga tanpa dijual, ada yang berkeinginan menjual, ada
pula yang abstain. Dibandingkan dengan yang lain, Lesmono tentu saja berkeinginan menjual
dan meminta hak warisnya tunai. Tetapi. Tidak demikian dengan anak-anak lainnya. Anak-anak
lainnya tahu bahwa Lesmono cuma ingin menghambur-hamburkan harta warisan itu, padahal,
ketika Ir Harmoko masih hidup, Lesmono sudah sangat banyak menghabiskan harta orang
tuanya. Perseteruan itulah yang berujung konflik sehingga Lesmono seolah menjadi musuh
bersama bagi anak-anak Ir Harmoko lainnya. Tidak ada yang diributkan setiap hari kecuali soal
bagi waris. Anak-anak yang tidak betah, Lesmonowati dan Atik. Lesmonowati pilih hijrah ke
Jakarta, bekerja ala kadarnya dengan modal sedikit penjualan perabotan. Atik pindak ke Jogja
dengan berbekal sedikit harta pemberian langsung orang tuanya dan mendirikan rumah asuh bagi
anak yatim yang dibiayai yayasan berbasis agama. Rumah di Klaten kemudian menjadi
perseteruan antara Lesmono, Santoso dan Nanik yang meninggali rumah itu.
Hingga suatu ketika. Lesmono konflik dengan Santo soal keinginan Lesmono menjual suatu
perabotan di rumah mereka yang warisan orang tua. Santo, adalah adik Lesmono secara nalar
dan fisik terbelakang. Kecerdasannya di bawah rata-rata, cara berbicaranya kadang blank, rendah
diri, dan lebih banyak diam. Tetapi saat itu, katika Lesmono punya niat menjual salah satu
perabotan warisan orang tua, Santo memiliki keberanian untuk melawan kakaknya. Percekcokan
terjadi sampai dengan kontak fisik sehingga nyaris terjadi bunuh-bunuhan. Keributan yang akar
persoalannya adalah keinginan Lesmono untuk menjual barang-barang warisan orang tuanya.
Akibat kejadian itu, keduanya masuk rumah sakit. Lesmono sepanjang biaya perawatan di RS
ditanggung Atik. Sepanjang persoalan keluarga, Atik tidak ingin memihak. Akan tetapi, soal
mediasi diserahkan kepada yang nomor satu, Lesmonowati si anak pertama, karena sifatnya yang
sabar dan kalem.
Sekedar cerita, kehidupan Lesmonowati, sejak terpisah dari orang tua, pindah ke Jakarta
mengalami masa-masa sulit. Tidak menikah tetapi memiliki anak angkat 1 orang.
Lesmono ikut dengan Lesmonowati selepas dari RS, tetapi karena Lesmono tidak bekerja dan
hanya hidup seenaknya, maka dia justru menjadi beban Lesmonowati. Ketika kehidupannya sulit
di jakarta, Lesmono pindak ke Jogja, dengan secara ekonomi dibantu oleh Atik. Mereka
menempati rumah bersebelahan dengan Atik, yang dibeli dengan disokong bantuan dari Atik.
Tak lama setelah itu, terdengar kabar bahwa Lesmonowati di Jakarta meninggal.
Secara ekomomi, kebutuhan Lesmono ditopang oleh Titik. Sayangnya kebiasaan Lesmono yang
tidak mau bekerja tetap, seenaknya dan tidak rapi, tidak pernah berubah. Lesmono malah berulah
dengan bermain api terhadap salah satu anak asuh Atik. Lesmono mencintai Sani. Sani adalah
salah satu anak yang diasuh di rumah pelayanan yang dikelola Titik. Padahal, usia diantara
keduanya sudah terpaut jauh. Sani sendiri tidak menyukai Lesmono, tetapi entah mengapa dia
seperti memanfaatkan kecintaan Lesmono demi pemuas nafsunya pribadi, nafsu untuk memiliki
harta benda yang mungkin bisa dicapai ketika Lesmono di bawah kendalinya.
Ibu Atik tidak rela anak asuhnya diganggu oleh Lesmono. Dia menegur Lesmono. Lesmono
emosi, sampai akhirnya tidak mau lagi memakan kiriman makanan dari Atik. Lesmono kemudian
menjual barang-barang peninggalan Lesmonowati yang dipasrahkan pada Lesmono demi tidak
bergantung ekonomi dengan Anik, demi harga dirinya. Bukan hanya itu, Lesmono menyebarkan
kabar buruk tentang Atik di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, walaupun penyebaran kabar
buruk itu bisa jadi tidak berimbas apapun, karena warga sekitar lebih mengenal kebaikan Titik
dan tahu keburukan Lesmono.
Emosi memuncak sehingga Lesmono berniat menjual rumah peninggalan orang tua yang
menjadi hak kakaknya, Lesmonowati. Tentu saja hal itu mendapat reaksi keras dari semua anakanak Ir Harmoko yang lain. Perlawanan dilakukan sehingga Lesmono tidak bisa berbuat banyak.
Karena gagal memenuhi keinginannya menjual rumah, gagal pula mendapat simpati dari Sani,
Lesmono minggat ke Jakarta. Lesmono menggelandang di Jakarta, beredar dari satu tempat
temannya ke tempat temannya yang lain, tanpa tujuan dan kehidupan yang jelas.
Selang beberapa waktu di Jakarta, terdengar kabar di Jakarta Lesmono sakit. Karenanya
mendengar kabar itu, Atik luluh. Atik menyuruh anak-anak di rumah pelayanan untuk menengok
Lesmono di Jakarta. Selama itu pula Atik membiayai kebutuhan perawatan di RS di Jakarta.
Hingga kemudian Lesmono sembuh dan berniat pulang ke Jawa.
Karena malu tinggal di Jogja, maka dia tinggal di Klaten. Klaten adalah tempat dimana Ir
Harmoko tinggal dalam rumah mewah, termewah di lingkungannya ketika itu. Nanik yang paling
bungsu dan Santo yang pernah berkonflik dengan Lesmono, tentu saja tidak bisa menerima
dengan senang kembalinya Lesmono. Di paviliyun atau garasi rumah Lesmono nekat tidur di
situ. Nanik mengijinkan walau Santo tidak bisa menerima kehadirannya. Tetapi karena Santo
terbelakang secara mental dan tunduk pada adiknya Nanik, dia tidak bisa berbuat banyak.
Lesmono hidup serumah dengan mereka, meski hidup dengan permusuhan.
Persoalan terjadi, suatu hari Lesmono mau jual ukir-ukiran warisan keluarga secara sepihak.
Nanik dan Atik (yang di Jogja mendapat kabar itu) tidak terima karena bagaimanapun itu harta
warisan yang sebisa mungkin dirawat. Lesmono marah besar dan mengata-ngatai Nanik karena
sering kerja lewat tengah malam. Pelecehan terjadi lewat kata-kata Lesmono. Nanik tidak terima
dan bersikap makin keras. Hingga terjadilan insiden. Lesmono memukul kepala Nanik dengan
batu-bata hingga kepala Nanik berdarah dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Nanik di RS dirawat hingga 3 hari. Dengan bukti visum, Nanik memejahijaukan Lesmono.
Pengadilan memberikan vonis penjara selama beberapa bulan kepada Lesmono.
Lesmono menjalani kehidupannya sebagai narapidana dengan dendam yang dalam kepada
Nanik. Ketika dipenjara, keadaan Lesmono semakin buruk. Lesmono kerap sakit, kurus, stress
dan serba tertekan. Lesmono meminta bantuan Atik agar bisa secepatnya keluar dari penjara.
Atik luluh. Demi membebaskan Lesmono, Atik berjuang menggadaikan apapun demi urusan
pengadilan, polisi, pengacara dan lobbi lobbi lainnya supaya Lesmono bisa bebas. Walhasil
setelah putusan pengadilan, Lesmono bisa bebas bersyarat dengan tebusan 50 juta. Uang 50 juta
adalah usaha Atik menjual kekayaanya demi pembebasan Lesmono.
Tanpa sepengetahuan Atik, keberadaan Lesmono selama dipenjara ternyata melahirkan persoalan
baru. Sani, anak yang dulu dicintai Lesmono, ternyata termakan buaian asmara rekan Lesmono
di Penjara, sebut saja Mr X, yang divonis karena menjadi bandar judi togel. Mr X ini konon
memiliki banyak usaha seperti peternakan babi dan usaha lainnya, tetapi memperdaya Sani untuk
bisa mengambil keuntungan demi penebusan Lesmono. Sani yang menjadi penghubung antara
Anik dan Lesmono, mencederai kepercayaan mereka demi nafsunya sendiri dan hubungannya
dengan Mr X. Apalagi, Mr X keluar penjara duluan sebelum Lesmono.
Sesungguhnya, track record Sani di rumah pelayanan yang dikelola Bu Atik tidak terlalu bagus
juga, walaupun memiliki wajah jelita dan sikap ramah dan keibuan, tetapi Sani sudah terbiasa
berbohong kecil-kecilan. Hal itu sudah diketahui lama. Hanya saja, semenjak berhubungan
dengan Mr X, kebohongannya semakin menjadi-jadi sehingga barang-barang di rumah
pelayanan dikuras untuk kepentingan pribadinya, mengontrak sebuah rumah dan hidup bersama
Mr X. Padahal, diantara harta-harta yang digunakan itu banyak yang dijadikan jaminan hutang
atas nama Atik, dengan asumsi demi pembebasan Lesmono. Atik semakin terlilit hutang.
Lewat penyelidikan anak-anak angkat Atik yang lain, ternyata diketahui Mr X sudah
berkeluarga. Mereka juga menemukan rumah kontrakan Sani yang menjadi rumah maksiat antara
Sani dan MrX. Mendapat data itu, Sani dipanggil dan diinterogasi oleh Atik dan anak-anak
asuhannya. Entah bagaimana ceritanya, Sani bungkam dan bahkan pingsan ketika hendak
diinterogasi.
Atik mengusir Sani. Keluarga Sani datang untuk meminta maaf dan berjanji untuk membayar
utang yang selama ini dipikul oleh Atik dikarenakan perbuatan Sani.
Sepeninggal Sani, Lesmono keluar dari penjara. Lesmono mendengar kisah tentang Sani. Tetapi
Lesmono rupanya tidak rela mendengar Atik memperlakukan Sani sedemikian rupa. Lesmono
masih berpikir bahwa Sani adalah gadis polos yang tak tahu apa-apa. Lesmono berpikir bahwa
semua yang terjadi atas Sani adalah akal-akalan Atik yang tidak merestui hubungan mereka.
Mengingat utang yang semakin melilit, Atik mendapat tekanan psikologis dari para penagih
utang. Maka, rumah warisan Lesmonowati direncanakan hendak dijual. Mendengar rumah itu
akan dijual, Lesmono meledak lagi marahnya. Dia tidak bisa memahami jalan pikiran Atik. Dia
masih ingat, dulu Atik melarang menjual rumah, kenapa sekarang berubah pikiran dan mau
digunakan secara sepihak.? Lesmono mengancam akan melakukan tindakan kekerasan jika Atik
nekat menjual rumah.
Bagaimana hubungan Lesmono dengan Nanik? Semenjak kasus pengadilan, Lesmono sudah
putus kontak dengan Nanik. Nanik sendiri sudah tidak peduli dengan Lesmono. Demikian
dendamnya Nanik kepada Lesmono, dia bahkan bersumpah tidak akan melihat Lesmono seumur
hidupnya, bahkan sekalipun Lesmono sudah menjadi bangkai sekalipun, dia tidak akan pernah
mau menerima jasadnya. Baginya, dia adalah biang kerok, duri dalam daging dan akar dari
segala persoalan keluarga yang selama ini menjadi prahara besarnya.
Saking dendamnya kepada Lesmono, dia membenci siapapun yang membela Lesmono dalam
persoalan keluarganya. Untuk itulah dia menjadi tidak suka kepada Atik. Nanik kecewa berat
dengan Atik dan bahkan menganggap Atik srigala berbulu domba karena sudah membantu
Lesmono keluar dari penjara. Atik juga dituduhnya ikut mengungkit-ungkit persoalan tanah dan
rumah yang semestinya bisa dirembug dengan baik tanpa melibatkan Lesmono. Atik menjadi
saudara yang dibencinya setelah Lesmono.
Dikarenakan tidak ada keluarga yang bisa menerimanya, Lesmono pindah dari satu tempat teman
ke tempat lainnya di Jogja. Sampai kemudian dia dirujuk ke Panti Sosial Tresna Werdha di
bawah asuhan saya. Kepada saya lah dia curhat tentang kehidupannya.
Kehidupan di Panti Werdha tidak berjalan mulus bagi Lesmono. Dia kerap berkonflik dengan
klien lainnya dikarenakan sikapnya yang kerap memaksakan kehendak. Setiap ada persoalan
apapun, Lesmono tidak mau mengalah dan selalu mendebat. Seolah-olah, siapapun yang
mendebatnya atau berpersoalan dengannya laksana keluarganya yang demikian membencinya.
Keributan kerap saja terjadi karena dia menyalakan TV sampai tengah malam demi melihat
Indonesian Lawyers Club dengan volume keras dan komentar-komentar keras, sementara jam itu
semestinya klien tidur. Dia juga kerap mengatur klien lain, menghardik dan bahkan menakutnakutinya sebagai mantan narapidana.
Sayalah yang kemudian harus cukup jeli untuk mengambil hatinya tanpa membuatnya
tersinggung. Lewat usaha-usaha, dia bisa jujur dan baik kepada saya sehingga kerap berbagi rasa.
Dalam setiap ceritanya, dia masih berusaha menggugat Nanik atas kepemilikan rumah. Dia
masih berharap bahwa dia mendapatkan hak waris yang menjadi jatahnya, yang akan dia
gunakan sebagai modal usaha agar dia bisa mandir dan tidak hidup di Panti lagi.
Untuk itulah dia kerap pergi tanpa pamit dari panti demi menghubungi teman-teman dia,
khususnya yang menjadi pengacara agar bisa membantunya dalam usaha menggugat hak
warisnya. Tentu saja hal itu menyulitkan saya, karena dalam aturannya, setiap klien di PSTW
tidak boleh keluar masuk panti ataupun pergi tanpa ijin. Melihat saya yang kerepotan
mempertahankannya, dia menyampaikan keinginan untuk mengundurkan diri dari Panti. Tentu
saja saya tidak dengan mudah meluluskan permintaanya itu. Dalam pandangan saya, sebisa
mungkin dia bisa berkumpul dengan keluarganya, mengurus soal waris dan lain sebagainya
secara baik-baik, sehingga di masa tuanya anak-anak dari Ir Harmoko itu bisa hidup rukun satu
sama lain. Jika saya gagal, saya ijinkan Lesmono meninggalkan panti. Itu janji saya.
Usaha saya lakukan dengan menghubungi masing masing pihak, sehingga kisah di atas itu
berhasil saya himpun dan saya tarik benang merah. Hingga pada satu kesimpulan yaitu:
Kemungkinan untuk Atik dan Anik menerima kembali Lesmono, sama sekali tidak ada, apalagi
sampai saat ini sifat dan sikap Lesmono belum berubah. Ibarat kaca, sudah pecah dan tidak bisa
lagi disatukan. Lesmono tidak diterima oleh keluarga.
Kegagalan saya untuk merayu keluarga sudah diprediksi Lesmono. Untuk itulah setahun lalu dia
resmi mengundurkan diri dari Panti, memilih hidup di tempat temannya dan mencari usaha untuk
bisa mendapatkan hak waris.
Selesai? Belum.
Sabtu kemarin, Nanik, mengabarkan kepada saya bahwa Lesmono meninggal. Bukan
meninggalnya yang membuat saya sedih, tetapi cerita di balik itu yang sangat memperihatinkan.
Berikut adalah cerita dari Nanik kepada saya:
Setelah lepas dari Panti Wredha, Lesmono mencoba peruntungan dengan tinggal di beberapa
tempat saudara dan temannya di Jogja. Sayang beribu sayang, kehadirannya di beberapa rumah
teman ternyata tak diinginkan. Ada yang menentang secara terang-terangan, ada yang menerima
tetapi untuk kemudian menolak karena menimbulkan perselisihan pendapat di keluarga
temannya, ada yang menghindar, ada pula yang sudah tiada di tempat. Lesmono patah arang,
sehingga dia hanya menyandarkan diri pada salah satu sahabatnya di daerah Kaliurang yang
biasa dia boleh mondok. Sayang, ketika dia datang, didapati kabar sahabatnya sudah meninggal.
Lesmono patah arang. Dia hidup di jalanan. Menggelandang tak tentu arah. Mau kembali ke
Panti dia sudah terlanjur jaga gengsi, mau pulang kepada keluarganya,kepada saudaranya, dia
tahu bahwa dia sudah tidak diterima. Tidak ada lagi kekayaan, tidak ada lagi kebanggaan, malah
justru sebaliknya, kehinaan yang dia dapati. Hari demi hari dia lalui sebagai gelandangan.
Mungkin, pada akhirnya dia sadar bahwa tidak ada lagi harapan tempat dia bergantung kecuali
adalah keluarga. Sejelek-jeleknya, seburuk-buruknya adik-adiknya di matanya, pada akhirnya dia
tahu bahwa dia tidak bisa lepas dari mereka. Bahwa mereka, adalah tempatnya bergantung untuk
terakhir kalinya. Maka entah dari mana keberaniannya, dia memutuskan untuk kembali ke
Klaten, pulang ke rumah warisan orang tuanya yang sekarang ditinggali Nanik dan Santo.
Sekalipun dia tahu, pasti Nanik dan Santo tidak akan senang, tidak akan berkenan menerimanya.
Tetapi dia tahu pasti, dia tidak punya pilihan. Merekapun, tentu juga tidak punya pilihan. Apapun
yang akan terjadi, dia siap. Dia sangat siap dan dia sudah capek untuk ribut.
Saat menginjakkan kaki di halaman rumah, Santo memandanginya untuk kemudian
mmberitahukan Nanik. Nanik tidak bereaksi, tidak berniat menemuinya, masih mengingat
sumpahnya. Tidak ada sepatah kata pun yang saling terucap. Santo dan Nanik tidak menghalangi
kepulangan Lesmono, dibiarkannya Lesmono memasuki ruang paviliun atau garasi, tempat dulu
sekali dia meninggali rumah itu. Seolah, segala konflik masih tergambar jelas, ketika dia
bercekcok, ketika dia berkelahi dengan Santo, ketika memukul Nanik, dan semua peristiwa itu.
Dia tahu bahwa tidak ada yang lebih baik saat itu kecuali meminta maaf, tetapi dia tidak punya
kekuatan untuk mengucapkannya. Dia juga sangat tahu bahwa adiknya tidak mungkin bisa
menerima permintaanya. Dia hanya berlalu dari mereka, lalu duduk di ruang paviliun.
Hari-hari terlalu sibuk bagi Nanik berurusan dengan pekerjaanya. Santo yang cacat mental tidak
pula punya pikiran macam-macam kecuali menjaga rumah. Hingga kemudian tercium bau busuk
menyengat di rumah itu. Apa yang terjadi? Paviliun yang terkunci dibuka oleh aparat setempat.
Polisi, Pak Lurah dan petugas dari Dinkes menjadi saksi bahwa Lesmono sudah menjadi mayat
yang membusuk, meninggal tanpa diketahui segera. Mayatnya segera diperiksa dan dievakuasi
oleh aparat untuk kemudian dikuburkan. Nanik setia dengan sumpahnya, tidak akan pernah
melihat jenazah Lesmono. Dia tidak menyesal, dia sudah menunaikan sumpahnya, walau dalam
hati dia merasa kasihan dengan nasib kakaknya itu.
Demikianlah, kisah ini saya tuliskan semoga menjadi pelajaran untuk kita semua.(*)
Pakem, 14 September 2015
Faktanya, Anda bisa temukan lansia-lansia terlantar seperti Mbah Sukami di berbagai tempat di
DIY. Saya memang PNS dan representasi dari negara, tetapi minta maaf bahwa saya bertugas
sesuai dengan tupoksi yang saya terima. Untuk melakukan perubahan besar, kita harus
memahami sistem penganggaran di Indonesia. Kebutuhan mendirikan nursing home adalah
kebijakan yang nantinya terkait dengan anggaran, khususnya dalam hal perencanaan
pembangunan baik di tingkat pusat maupun regional. Tarik ulur politis, top down-bottom up,
teknokratis maupun partisipatif di dalamnya terlalu jauh untuk saya pribadi dalam mewujudkan
penyejahteraan orang-orang seperti Mbah Sukami ini.
Justru sebaliknya, Anda adalah masyarakat yang memiliki keterwakilan baik di dewan, di partai,
di dalam menekan pemegang kebijakan, jika memang anda memiliki kepedulian dengan orangorang seperti Mbah SUkami, maka di era demokrasi ini suara anda sangat berpengaruh.
Bisa jadi persoalan Mbah Sukami hanyalah urusan dia dan keluarga, tetapi kita harus ingat,
bahwa kita (semoga) akan tua juga, kan? Mari bayangkan jika setua kita kelak, kita tergolek
terlantar seperti beliau.
Feriawan
Pakem, 4 Agustus 2015
SEPERTI BIASA
Dia biasa duduk di depan pintu. Dengan mata kosong memandangi lorong panjang yang sama.
Seolah-olah dia berharap, tetapi tak seorangpun tahu, apa yang dia harapkan. Seolah-olah
menunggu, tetapi tak seorangpun tahu apa yang dia tunggu. Ruang lebar dengan empat tempat
tidur, ketika matahari sudah terlalu tinggi untuk disebut pagi. Seberang tempat tidurnya, sosok
lain tidak terlalu peduli seberapa kencang waktu berlalu. Pelupuk matanya jauh lebih berat, dan
tak lagi berpikir dimana bantalnya atau di mana selimutnya, dan tak peduli akan dia yang tetap
duduk di depan pintu.
Saat hawa dingin menyelimuti pagi tadi, petugas datang untuk memandikannya, mengganti
bajunya yang sudah kotor oleh sampah tubuh dan air seninya. Dia sudah terlalu lupa untuk tahu
apa yang harus dilakukan, bahkan dia tidak tahu kapan dia makan dan kapan makanan itu keluar.
Membiarkan tubuhnya diseka dan dimandikan. Walau mungkin baru lima menit handuk
menempel, air seninya sudah mengalir lagi. Biasa. Dia benar-benar sudah tidak ingat. Dia sudah
tidak membutuhkannya. Sampai kemudian makanan datang, dia hanya hafal bagaimana caranya
makan. Hingga selesai, dia duduk di depan pintu, memperhatikan lorong yang sama.
Di depannya, petugas mengepel lantai. Sesekali rekannya yang lain datang berteriak-teriak
mengeluhkan bahwa dia tidak diberi makan, tepat dua menit, ketika piring makan pagi berpindah
ke perutnya.Dia tidak terlalu berpikir ketika sekian umpatan keluar. Telinganya sudah terlalu
lama tak mendengar suara.
Waktu yang berlalu, hingga entah beberapa kali malaikat maut mendatangi ruangan itu,
mengambil satu persatu rekan di kamarnya hingga berganti sosok. Dia tidak sempat bertanya,
kapan dia dijemput Dia tidak lagi punya rasa takut, meskipun di hadapannya adalah ruang
pemandian mayat yang tidak kenal waktu kapan dia di gunakan. Pagi, siang, malam bahkan
dinihari. Dia tidak pernah bertanya.
Hingga kamera datang untuk membidiknya, dia tidak terlalu butuh apakah dia harus selfie atau
harus grogi. Dia tidak peduli. Seperti biasa, semua hanya berjalan seperti biasa. Walaupun
mungkin bukan hal biasa bagi mereka yang di luar sana.
Feriawan
Pakem, 3 Agustus 2015
umat Islam, tetapi kita tidak pernah belajar bagaimana keagungan itu bisa tergapai, justru
sebaliknya, kita mengurus persoalan konflik intern umat Islam yang terus dilestarikan berabadabad tanpa rasa malu sedikitpun. Sementara khotbah di masjid-masjid tidak berisi karena hanya
menjadi rutinitas tanpa pembacaan terhadap persoalan keumatan faktual.
Apakah kita adalah umat yang pelit? Tidak, karena faktanya setiap kali terjadi pengumpulan dana
ketika ada bencana ataupun kasus mengenaskan di televisi, sangat cepat dan masif kita
melakukan penggalangan dana. Setiap jumat tidak pernah ada kotak infaq masjid yang sama
sekali kosong. Betapa mampunya umat ini membangun masjid dan mushola sehingga jumlahnya
demikian banyak sekalipun umat yang sholat di dalamnya kadang tak lebih dari separuhnya. Kita
bukan umat yang pelit, tetapi mungkin saja kita tidak sedang benar-benar berhimpun dalam satu
jamaah.
Ada yang kosong dalam persoalan dakwah, yaitu mulai bertumbangannya para pemikir-pemikir
muslim ataupun cendekiawan muslim. itulah yang mungkin sekarang kosong. Coba lihat di
sekitar kita: bukankah telah banyak bank-bank syariah, lembaga keuangan syariah, perdagangan
syariah dll bahkan hotel syariah berdiri dan laku keras. Bukankah semua itu tidak terjadi dengan
tiba-tiba karena jauh 20 tahun lalu, segala sesuatu yang berbau syariah adalah yang paling
menakutkan di Indonesia. Coba lihat perempuan berkerudung yang mudah kita temui di sanasini, bahkan di kepolisian dengan polwan berjilbab, bukankah 20 tahun lalu fenomena jilbab
adalah sesuatu yang jarang ditemui? Masih banyak contoh lain yang sebenarnya intinya satu: ada
sebagian dari umat Islam yang memiliki jangkauan kecerdasan pada masa lalu sehingga
kenikmatan kehidupan umat Islam di Indonesia bisa kita lihat seperti sekarang ini. Bukankah
fenomena gerakan dakwah di Kampus di seluruh Indonesia menjadi sesuatu yang biasa, padahal
30 tahun lalu hal itu menjadi sesuatu yang patut dicurigai oleh penguasa. Umat Islam yang
berpikir jangka panjang dan memiliki jangkauan berpikir jauh. Lalu mengapa jumlahnya menjadi
semakin berkurang?
Sudah saatnya sebagian dari kita bisa jauh berpikir. Faktanya, persoalan sosial keumatan bukan
semakin baik tetapi justru semakin banyak. Tantangannya adalah persoalan sosial di sekitar kita
yang tidak hanya membutuhkan uluran finansial, uluran uang atau fasilitas, tetapi kehadiran kita
lah yang diperlukan, kasih sayang kita lah yang diperlukan, dan kecerdasan kita lah yang
diperlukan. Bagaimana kita belajar peduli kepada para difabel di sekitar kita bukan dengan
memberikan mereka uang dan belas kasihan, tetapi berpikirlah bagaimana membuat tempat
wudlu yang ramah difabel sehingga tidak membuat terpeleset, mudah diakses dan nyaman,
tempat sholat yang ramah difabel sehingga kursi roda bisa masuk, ada titian, dll. Penyediaan
Quran untuk mereka yang difabel, baik Quran braille ataupun Quran murottal. Bagaimana kita
belajar peduli dengan lansia terlantar ataupun orang gila di sekitar kita dengan mendampingi
mereka, memandikan mereka, menyantuni mereka dll. Bagaimana kita meringankan persoalan
pendidikan bagi orang-orang di sekitar kita yang kiranya memiliki anak usia sekolah tidak saja
dengan bantuan finansial, tetapi bisa jadi membimbing mereka dalam belajar, karena seringkali
kesulitan mereka belajar di sekolah tidak bisa terselesaikan di sekolah dan di rumah. Hingga
akhirnya kita bisa saling berhimpun untuk mendirikan yayasan-yayasan sosial, panti-panti sosial,
kelompok-kelompok sosial di masyarakat dan menjadikan agama ini benar-benar rahmatal lil
alamin.
Tentu saja persoalan sosial bukan satu-satunya tantangan. Dalam era mendatang, perkembangan
teknologi sudah semakin hebat. Bayangkan bahwa uang kertas yang kita pegang selama ini bisa
jadi akan tidak berlaku dikarenakan transaksi digital sangat luar biasa hebat perkembangannya.
Uang sudah berubah bentuk menjadi paypal, egold, google wallet, dan entah apa lagi. Perbankan
bisa jadi tidak diperlukan dikarenakan transaksi keuangan sudah tidak lagi membutuhkan bank
sebagai sirkulasi kebutuhan orang untuk meminjam ataupun menyimpan uang. Itu hanya salah
satu contoh. Tetapi sudahkah kita sebagai umat Islam berpikir sejauh mana hal itu menjadi
peluang dan tantangan bagi umat Islam di masa mendatang? Maka berhentilah menyalahkan
keadaan, tetapi bangunlah dari selimut dan berilah peringatan untuk kemudian mengajak
mengagungkan Allah, sembari mengevaluasi diri terhadap apa yang ada di dalam diri umat Islam
(Lihat QS Muddatsir). Wallahu alam
Feriawan Agung Nugroho
Tempel, 12 Juli 2015
Pak Dar ada di atas ranjangnya, dalam ruangan yang gelap dan lembab, lantai yang jemek
dengan cairan warna hitam dan sejuta sampah jamur dan apapun itu. Tanpa lalat, karena mungkin
lalatpun akan mutah atau bahkan mati ketika masuk kamar itu. Ketebalan lapisan jemek dalam
ruang gelap itu lumayan tebal, kisaran satu sampai lima senti.
Tanpa ba bi bu, segera saya bujuk Pak Dar untuk duduk di ruang tengah untuk saya mandikan.
Orang ini, menurut warga, akan berontak atau menolak jika dipaksa mandi. Entah kenapa hari itu
dia mau bekerjasama. Tidak menolak mandi. Dibantu dua orang warga kami mendudukkan Pak
Dar di ruang tengah, melucuti pakaiannya yang segera dibuang di belakang rumah.
Astaghfirullahal Adzim...ternyata dia sakit hernia, bengkak buah pelirnya dan mungkin sudah
bernanah. Pelan-pelan kami guyur mulai dari tangannya supaya dia tidak kaget menerima air,
kemudian naik ke pundak, leher dan kaki-kakinya. Entah kekuatan dari mana, alhamdulillah saya
cukup tega untuk mengusap semua bagian tubuhnya dengan sabun, jenggotnya, kakinya,
lehernya dan semua bagian, sampai bagian pantatnya. Tetangga yang lain juga tampaknya diberi
keberanian untuk memotong kukunya, merapikan rambutnya dan membantu mengangkatkan
kaki dan tangan ketika dibutuhkan.
Beberapa tetangga lain yang tadinya hanya melihat, ternyata cukup tergerak untuk membantu
mengangkat barang-barang yang tidak berguna untuk dibuang ke luar, meyenthor ruangan,
mengoseknya, menyusruk dengan sekop lapisan-lapisan jemek yang menimbulkan bau busuk
terdahsyat.
Tentu saja hal ini tidak bisa dikatakan mudah. Saya mendengar setidaknya ada tiga orang yang
muntah-muntah saat membersihkan ruangan. Tetapi begitulah, setelah memakan waktu total
sekitar satu jam, urusan selesai.
Pak Dar sudah bersih, berparfum, dan sudah menjadi manusia yang layak. Warga cukup puas,
karena yang terlibat ternyata cukup banyak. Ruangan yang tadinya penuh dengan benda busuk,
sekarang sudah sebagian besar dibuang untuk dipendam dan sebagian lainnya dibakar. Tempat
tidur sudah dibersihkan. Lewat sumbangan warga, sudah diberikan kasur bekas dan lapisan
perlak. Hingga saya mengantarkan ke ranjangnya yang baru, saya pamit untuk pulang, seiring
dengan adzan ashar.
Sesampai di rumah, bau busuk itu seperti tidak hilang dari hidung saya. Seolah traumatis, badan
saya sendiri sudah saya kosok sabun hingga tiga kali, seperti masih belum hilang juga.
Malam hari, kami, beberapa warga yang ditunjuk Pak RT merumuskan tindak lanjut untuk Pak
Dar, diantaranya adalah bagaimana caranya agar kebutuhan minimalis untuk Pak Dar, seperti
makan minum, bisa disangga oleh warga, serta hal-hal lain yang dianggap perlu. Semisal,
melengkapi rumahnya dengan MCK yang sesuai, memperbaiki ventilasi dan penerangan, sampai
dengan pembersihan berkala, dan memandikan Pak Dar secara berkala.
Dalam sebuah keterangan Pak RT, saya cukup prihatin. Menurutnya, sesungguhnya fenomena
seperti Pak Dar ada di tiap-tiap RT. Hanya saja yang kurang adalah inisiatif warga untuk
bertindak. Warga terkadang hanya menggerutu, memarahi, ataupun melaporkan orang-orang
seperti Pak Dar kepada pemerintah desa, tetapi tidak bertindak langsung sebagaimana yang kami
lakukan kepada Pak Dar. Maka masalah seperti itu tidak pernah selesai kecuali menunggu ajal
dari yang bersangkutan. Harapan Pak RT, bahwa apa yang dilakukan saat ini bisa menjadi
semacam rangsangan kepada siapapun yang mengetahui fenomena yang sama di sekitarnya
untuk mau bertindak. Harapannya..
Lewat tulisan ini pun saya bermaksud untuk mengajak siapapun yang mengetahui persoalan
semacam ini untuk mau bertindak. Percayalah, bahwa ini bukan sekedar karena saya adalah
orang dari Dinas Sosial DIY.
Kalau Anda bertanya kepada saya, apakah saya memang mau untuk melakukan pekerjaan ini
(karena biasa, barangkali)? Dengan sangat tegas saya akan menjawab, bahwa sekalipun anda
membayar saya dengan satu juta rupiah, saya tidak terbersit sedikitpun pikiran untuk mau
melakukan tugas menjadi jendral lapangan membersihkan orang seperti Pak Dar. Jangankan Pak
Dar, orang tua saya sendiri yang sudah terbukti mengasihi saya pun belum pernah saya muliakan
seperti itu. Kalau boleh memilih, tentu saja saya lebih memilih pekerjaan lain yang lebih nyaman
seperti membuat web atau membuat software yang sekali kontrak bisa sekitar satu sampai dua
puluh lima juta.
Kalau hal itu semata karena alasan ibadah, kalau boleh memilih, kan banyak ibadah lain yang
lebih bersih, lebih nyaman dan pahalanya jauh lebih jelas, dibandingkan dengan membersihkan
dan memandikan orang seperti Pak Dar. Lalu alasan apa?
Sederhana saja, karena belum ada orang yang melakukannya, padahal hal itu penting untuk
dilakukan demi kebaikan orang banyak. Bisa jadi ini karena bentuk "sholat" kami yang tanpa
sajadah. Tidak penting karena faktanya pekerjaan ini tidak akan mendapatkan kalpataru atau
tanda jasa. Inilah kewajiban yang tidak butuh mikir bertele-tele kecuali mengerjakannya, mampu
atau tidak mampu. Karena menunggu atau menyalahkan seseorang, itu tidak menyelesaikan
masalah.
Demikian sekedar sharing pengalaman, semoga bermanfaat.
Tempel, 6 Oktober 2014
Inilah salah satu sudut Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta unit Abiyoso, Pakem. Bunga anggrek peliharaan Simbah sedang
mekar-mekarnya, tetapi bukan untuk dijual.
Ah, ya. Menarik untuk membicarakan bunga, tetapi bukan itu maksud postingan saya. Salah satu lansia yang terambil gambarnya di
sini, itulah yang saya maksudkan. Baru empat hari lalu gambar ini diambil, secara tak sengaja Simbah ini terpotret. Siapa dia?
Dialah Mbah Suyatno.
Mbah Suyatno dan istrinya baru sekitar 3 bulan menjadi klien di PSTW. Tadinya, beliau tinggal terlantar di bawah Jembatan Tempel.
Beritanya ada di sini: http://jogja.tribunnews.com//kakek-nenek-tinggal-di-gubuk-
Sekarang, beliau dan istrinya sudah lebih berbahagia karena kebutuhannya sudah dipenuhi sejak menjadi Klien di PSTW.
Badannya jauh lebih segar dibandingkan dengan awal mulai ketika masuk, meskipun sesak di dadanya akibat cedera jatuh
bertahun-tahun lalu masih sering kambuh. Istrinya, sudah mulai terbiasa dengan lingkungan Panti dan mampu berjalan dari kamar
ke toilet tanpa perlu dipapah sang suami. Penampakannya jauh lebih bersih dan segar.
Dulu, saya membaca publikasi beliau di jejaring media sosial di grup info cegatan jogja. Lewat info grup itu pula akhirnya
penjangkauan dilakukan hingga keadaanya menjadi lebih baik seperti di foto itu.(*)
KENTUNG:
Hidup Memang Bukan Sinetron
Kalau Anda ingat dengan sinetron Tuyul dan Mbak Yul, pastilah sosok ini dulu sangat akrab di
ingatan Anda. Dia adalah Kentung. Jin paling gemuk di serial itu. Kemarin, 24 Desember 2014,
saya bertemu dengan dia. Bukan dalam kapasitas penggemar dengan artis, tetapi antara seorang
pekerja sosial dari Dinsos DIY dengan seorang calon klien. Lansia terlantar.
Kaget? Ya, sangat, seperti saya ketika sehari sebelumnya mendapatkan sms forward bahwa dia
adalah calon klien yang dulu pernah main sinetron Tuyul dan Mbak yul. Benarkah dia Kentung
yang itu? Ataukah cumi? Ataukah KW2? Kalau memang benar apa yang sedang terjadi?
Tinggal di salah satu kamar kos-kosan di RT 5 RW 15, Ngangkruk, Sardonoharjo, Sleman, dia
memang Kentung. Saya ke sana diantar oleh salah seorang relawan dari Forkom Lanjut Usia.
Satu kamar yang menjadi terkesan sempit ukuran 3x4, sedikit bau tak sedap, saya benar-benar
bertemu Bambang Triyono, pemeran Kentung. Manusia gemuk itu sudah tidak bisa berdiri lagi,
hanya duduk di kamar dan kalau mau berpindah tempat, dia glundang -glundung. Memang
benar, dia dirujuk ke Dinas Sosial karena keterlantaran hidupnya. Kamar sempit itu sudah
ditinggalinya 3 bulan, itu pun lewat biaya yang ditanggung relawan. Kentung benar-benar miskin
dan terpuruk.
Sebagai profesional, sudah semestinya saya memasang wajah ceria dan jabat tangan mantap,
mencoba mencari tempat duduk yang tidak terlalu berjarak dan posisi tubuh yang dicondongkan
ke depan sebagai posisi seseorang yang siap memperhatikan lawan bicaranya. Susah untuk
menemukan yang tak berjarak karena di situ hanya ada satu kasur yang 3/4 nya sudah terisi oleh
tubuh si Kentung. Dari tetangga kami mendapat pinjaman kursi plastik.
Wajahnya ceria, tanpa perlu saya pantik dengan kalimat-kalimat pembuka atau basa basi sebagai
peluruh suasana dia sudah bocor bercerita ngalor-ngidul. Sesungguhnya saya merasa nggak
nyaman, karena apa yang dia bicarakan hampir seluruhnya adalah kisah-kisah sukses dia,
riwayat-riwayat karier dia ketika sukses, kenalan-kenalan dia yang dari berbagai lapisan, dan
saya sama sekali tidak menangkap apa yang saya butuhkan: mengapa dia sampai di sini dan
berstatus sebagai orang terlantar?
Walhasil, seperti merangkai mozaik, lewat pemotongan pembicaraan agar sesuai rel, saya
berhasil meraba benang merahnya.
Kentung memang terlahir sebagai artis. Sejak kecil dia sudah terkenal karena kegemukannya.
Pernah dimuat di harian lokal, sampai kemudian masuk MURI sebagai manusia tergemuk. Dari
situ dia ditarik untuk ikut meramaikan panggung komedian seperti Srimulat, sekitar tahun 68,
dan juga panggilan-panggilan sebagai artis pembantu untuk beberapa film. Uang bukan perkara
susah baginya. Ibaratkan saat ini, sehari mengeruk lima juta rupiah atau bahkan lebih, sudah
biasa. Sayang, bahwa rupiah yang mengalir ke kantongnya seolah tanpa berkah. Sehari dia
mendapat uang, sehari itu pun uang bisa habis tanpa sisa. Sangat royal. Kebiasaan buruk dia
adalah mabuk, entah sebelum manggung ataupun sesudah manggung, atau kapanpun dia
diundang. Ibaratkan, mabuk pun dia dibayari. Urusan mabuk bagi dia merupakan kebiasaan
umum bagi para selebritis, termasuk pelawak. Maka bagi dia, ketika ada artis masuk bui garagara narkoba, dia tidak heran. Sudah bukan rahasia lagi kalau pelawak-pelawak yang dia kenal
memang pecandu narkoba semua.
Kebiasaan buruk lainnya adalah, mental dia yang memang bukan mental seorang terhormat. Dia
biasa tidur dari satu terminal ke terminal, dari stasiun ke stasiun tanpa pernah nyaman untuk
hidup normal dengan punya rumah.
Dia menikah, punya istri dan kemudian punya anak. Istri yang polos dan tidak pernah menuntut
macam-macam. Sampai suatu ketika, kelumpuhan yang mungkin karena jatuh stroke, segalanya
berubah. Tahun 2010 dia sudah tidak bisa lagi beraktifitas termasuk dalam pemenuhan hasrat
biologis. Istrinya menceraikannya tahun 2011. Sejak saat itulah dia frustrasi. Tanpa penghasilan,
dia menggelandang dari satu tempat ke tempat lain dan melakukan pekerjaan apapun. Kadang
meramal, kadang pijit, di tempat apapun, termasuk dari terminal ke terminal. Keinginan bunuh
diri sudah berulangkali terjadi. Teman-teman, relasi dan siapapun yang berduit yang dia
harapkan bisa mengangkat kehidupannya, semuanya pergi. Pertemanan dalam dunia selebritis itu
kejam, karena segala keakraban tidak lebih dari sekedar show bisnis, cari proyek, ataupun cari
sensasi untuk mendongkrak popularitas. Ketika seseorang sudah terpuruk seperti dia, ibarat
sampah, jangankan ditolong, semisal ketemu di jalan, menoleh pun tidak. Diusir dari satu tempat
ke tempat lain, akhirnya dia ditemukan kader lansia dan ditempatkan di kost sederhana ini.
Makan apa adanya, kalaupun sehari hanya bisa masuk tiga sendok nasi, itu sudah alhamdulillah.
Anaknya sesekali mengunjunginya, anaknya tak bisa banyak menolongnya karena penghasilan
sebagai tukang cuci piring tentulah tak seberapa. Sekarang, dia mengharap kami dari pemerintah
untuk mengulurkan tangan kepadanya.
Demikian yang berhasil saya rangkum, karena selalu dan selalu dia meloncat pada peristiwaperistiwa heboh yang ada dalam hidupnya.
(Sungguh, telinga saya paling capek kalau harus mendengar kisah sukses seseorang yang
sekarang ini jadi terpuruk, dengan harapan untuk disanjung atau dipuji. Tak ada hikmahnya.
Akan lebih berharga jika dia bisa bercerita jujur, mengapa dia terpuruk, sebagai hikmah yang
mungkin bisa berharga bagi orang lain. Tetapi begitulah, entah mereka yang jatuh terpuruk, atau
lansia yang sudah tak beraktifitas, rata-rata akan rajin mengulang dan mengulang dan mengulang
dan mengulang.....kisah-kisah hebatnya..sebagai katarsis atau sebagai penghibur hatinya, tanpa
peduli betapa capeknya mereka yang mendengar. Sebagai pekerja sosial profesional, kuping
harus tahan dan harus dilatih untuk seperti itu. Masa lalu yang gemilang adalah hiasan kisah
hidup terindah bagi mereka yang terpuruk, tetapi sungguh menguras energi bagi mereka yang
mendengarkan.)
Saya tidak bisa menjanjikan apapun. Secara, usia dia belum termasuk lansia, dan perhatian yang
semestinya dia butuhkan tak bisa dipenuhi oleh PSTW (butuh tempat tidur khusus, butuh 4 orang
untuk membantu dia bergerak, butuh kursi roda khusus).
Lewat ijin dia, saya diperkenankan untuk meliput kisah hidupnya ini dan harapannya agar ada
pihak yang berempati. Apapun itu, bisa langsung ke TKP untuk bertemu yang bersangkutan.
Bantulah dia...(*)
Tanya: Lha terus siapa dong yang tanggung jawab kalau begitu? Terus Dinsos kerjanya apa
dong? Masa tidak dipikir jika nanti mereka sakit dan berminggu-minggu di jalan, sampai mati.
Apa tidak malah menampar kerja Negara? Bagaimana dong UUD yang bunyinya: Fakir miskin
dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Jawab: Yang berwenang adalah kepolisian, Satpol PP, pemerintahan desa/kelurahan setempat,
atau justru keluarga yang bersangkutan. Merekalah yang punya kewenangan, yang ditugaskan
negara untuk itu. Cara kerjanya begini: mereka, pejabat berwenang itu, adalah mereka yang akan
bertanggungjawab tentang apa dan siapa yang mereka rujuk ke DInsos, atau ke PSTW. Proses di
mereka kan macam-macam, mulai dari diidentifikasi, dilacak punyakah keluarga, punyakah
penyakit menular, punyakah sindikat dll. Nah kalau sudah clear, baru dibawa ke kami. Kalau
udah gini gampang, itu dah jadi tanggungjawab kami. Kalau ada apa-apa terkait urusan hukum,
kan bisa diserahkan pada si penanggungjawab. Well, soal kerja Dinsos silakan aja cek di web.
Termasuk, soal fakir miskin dan anak terlantar, tentu saja itu butuh diskusi yang panjang sebelum
memberikan justifikasi, siapakah yang lalai dalam melaksanakan tugas UUD itu.
Tanya: Lalu gimana dong konkritnya jika ada lansia terlantar?
Jawab: Jika ada keluarga, pemerintah desa, atau aparatur setempat yang melaporkan kepada
kami, Panti Werdha, dan merupakan penanggungjawab dari si lansia terlantar itu, laporan akan
kami terima dan kemudian kami akan lakukan visit kepada calon klien. Calon tersebut harus
memenuhi syarat: lansia, sehat jasmani rohani, mandiri dan mau tinggal di Panti. Dan juga,
kapasitas panti memang ada/kosong. Ada 126 klien di PSTW. Jika full, maka calon klien harus
menunggu/ masuk daftar tunggu. Jika tidak memenuhi syarat, misalkan gangguan jiwa atau
bedrest, maka tidak bisa kami terima.
Tanya: Lah kalau memang ternyata bedrest atau gangguan jiwa gimana?
Jawab: Sampai di sini saya tidak bisa menjawab. Maaf karena kapasitas saya hanya sampai pada
menjawab hal-hal terkait lansia terlantar dan PSTW. Maaf jika ada salah respon, salah kata
ataupun yang tidak berkenan lainnya. Adapun soal puas atau tidak puas, itu sepenuhnya hak
masyarakat yang juga menjadi evaluasi kami dan pemerintah secara keseluruhan. Terima kasih
(*)
Feriawan A.N.
Memberikan penyuluhan kepada lansia terlantar itu tidak sama halnya dengan memberikan
penyuluhan kepada masyarakat umum, apalagi memperlakukan layaknya mahasiswa. Mereka,
para lansia terlantar itu, rata-rata buta huruf, biasa berbahasa daerah (jawa), tidak mau mumet
berpikir tentang metode ilmiah atau paparan yang sistematis. Maka ketika mahasiswa terbaik
dari universitas terbaik datang ke PSTW ini dan memberikan penyuluhan kesehatan kepada
lansia, bisa jadi roaming berat dan mati gaya.
Saya kerap menyarankan kepada para mahasiswa praktikan itu beberapa metode yang bisa
dipakai diantaranya: Pertama, menggunakan alat peraga berupa gambar-gambar. Misalkan saja
menjelaskan tentang tekanan darah tinggi dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Maka
sebaiknya disiapkan beberapa gambar yang mendukung: makanan yang memicu dan makanan
yang diijinkan dikonsumsi pada penderita darah tinggi, gambar aktifitas yang positif mendukung
terkendalinya darah: orang senam, orang rekreasi, orang beraktifitas, untuk diperbandingkan
dengan gambar aktifitas negatif yang memicu peningkatan tekanan darah: bermalas-malasan,
merokok, dll. Begitu pula dengan paparan lain yang sekiranya akan disampaikan.
Metode kedua, adalah dengan mendongeng. Jangan disangka bahwa lansia itu layaknya simbah
yang demen mendongengkan sesuatu kepada cucu. Mereka juga senang didongengkan, maka
walaupun terkantuk-kantuk mereka masih menyimaknya. Bisa lewat cerita daerah, bisa lewat
wayang, bisa lewat dongeng fabel. Misalkan saja, cerita ande-ande lumut yang diplesetkan pada
persoalan hygine. Ande-ande lumut menangguhkan cinta kleting kuning, karena tahu kleting
kuning kemproh bin jorok. Maka, untuk diterimanya cinta, butuh kebersihan diri. Apa saja yang
perlu dipersihkan? Nah itulah misi yang perlu disampikan, apakah gigi, apakah badan, apakah
pakaian, apakah lingkungan, terserah..
Begitulah, cakupan bahasan persoalan fisik lansia yang harus diketahui oleh mereka yang
memerlukannya, itu kalau dikumpulkan bisa sampai satu perpustakaan. Lihat saja dari
kebutuhannya: makanan, harus diperhatikan makanan apa saja yang dibolehkan dan tidak
dibolehkan, apakah itu memicu darah tinggi atau tidak, memicu penurunan tekanan darah
ataukah tidak, membuat sakit perut ataukah tidak, membuat repot giginya atau tidak, dll.
Bagaimana cara mengkonsumsinya, apakah dia bisa mengkonsumsi sendiri ataukah dibantu,
ataukah harus dihaluskan agar bisa langsung ditelan.
Selain makanan juga aktifitas yang harus dikontrol, jangan sampai lansia absen dari aktifitas
fisik. Setiap pagi harus bersenam agar tekanan darah teratur, otot menjadi lentur, lemak terbakar
dan manfaat positif lainnya. Nah senamnya pun harus senam lansia, jangan sampai senam
aerobik, taebo, disco apalagi gangnam style.
Perhatikan pula pola kebiasaan lansia. Jangan sampai waktunya hanya habis di depan televisi
ataupun di kursi malas sambil baca koran. Harus ada aktifitas yang melibatkan fisiknya seperti
jalan-jalan, berkebun, beternak, mengembangkan hobi, dll.Jika mereka hanya hidup dari tempat
tidur, makan, nonton dan tidur lagi, sudah bisa dipastikan mereka akan berteman dengan
penyakit yang memboroskan anggaran keluarga, dan merepotkan anggota keluarga lainnya. Jika
ada lansia yang cenderung suka bermalas-malasan, anggota keluarga harus tegas untuk
mengajaknya beraktifitas, bagaimanapun caranya. Bukan sekedar digrenengi, digrundeli atau
dirasani. Kecuali kalau anda adalah anak yang tidak berbakti yang menginginkan lansia mati
cepat dan anda berkeinginan memperoleh warisan cepat (eh..ada lho orang yang seperti ini, gitu
kok disebut manusia yaa..)
Kebersihan diri dan lingkungan juga perlu dijaga. Banyak diantara lansia itu yang kegemarannya
nyusuh. Nyusuh itu bahasa jawa yang kurang lebih maknanya adalah mengumpulkan barangbarang di kamar. Baju, perabotan, buku, foto, makanan, dan semua antah berantah itu dikoleksi
di kamar yang berakibat kamar jadi tidak karuan mirip tempat sampah, bau dan memungkinkan
mahluk hidup seperti tikus bersarang. Anda harus tegas untuk membimbingnya agar tidak
nyusuh.Termasuk diantaranya mencuci baju, mengganti sprei, menyapu kamar dll.
Kalau lansia sudah mulai kesulitan mobilitas, ada baiknya kamar dirancang agar kotoran lansia
tidak memicu penyakit, misalkan dengan menyediakan pispot, merancang kamar dengan
memiliki saluran pembuangan, atau dengan urukan pasir agar tetap kering dan bisa diganti
dengan pasir yang baru. Atau minimal dekat dengan toilet agar lansia mudah menjangkaunya.
Saya belum menemukan referensi yang detil tentang rancangan kamar ideal untuk lansia bedrest.
Selain hal-hal di atas, yang pasti rutin dan perlu adalah pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Semakin tua umur seseorang semakin rentan terhadap persoalan kesehatan. Maka jangan segansegan untuk mengajak lansia memeriksakan diri, membantunya mengontrol konsumsi obat
sesuai aturan dan tepat waktu, serta memotivasi lansia agar memiliki semangat hidup dan tidak
menyerah kepada penyakit.
Terakhir, kehidupan yang ceria, rileks dan jauh dari stress membantu mendukung kebugaran
lansia. Khususnya dalam hal spiritual, bagaimana lansia menjadi dekat dengan Tuhannya agar
terhindar dari kecemasan-kecemasan akan kematian.
Demikian, semoga yang sedikit ini bermanfaat. Lain kali kita akan membahas persoalan yang
lain seperti persoalan psikologis, persoalan sosial, dan persoalan spiritual.
Feriawan A.N.
Pakem, 24 September 2014
Mari anda bayangkan bahwa anda harus memilih ketika disodori dua kucing untuk anda pelihara
salah satu. Yang satu adalah kucing rumahan yang bersih, penurut, jinak, diberi makan gampang,
dan terbiasa hidup di dalam ruangan. Yang satu lagi adalah kucing jalanan yang kotor, dekil,
giras/liar, dikasih makan berlagak serakah dan masih gemar kluyuran.
Maaf jika analoginya terlalu kasar. Tetapi setidaknya demikianlah gambaran lansia terlantar yang
masuk ke Panti Sosial Tresna Werdha. Ada lansia rumahan, ada lansia yang hidup di jalanan.
Mudah untuk mereka yang rumahan, karena diorientasi sedikit saja untuk menyesuaikan diri di
Panti dalam seminggu sudah dapat beradaptasi. Lain ceritanya jika lansia berasal dari jalanan.
Penampakan sudah dipastikan bahwa dia terbiasa jorok, betah untuk tidak mandi berhari-hari,
cara makan jorok karena kadang tidak cuci tangan, tidak membersihkan piring, makan dengan
mengecap seperti kuda dengan kaki pethangkringan, kentut sembarangan, buang hajat besar
kadang tidak terlalu bersih dan buang air kecil kadang tidak disentor, kamarnya berantakan dan
bajunya tidak pernah dicuci, dengan petugas ogah-ogahan dan senang kluyuran untuk mengemis.
Dan masih banyak lagi.
Itulah persoalan yang harus kami urus. Sebagai PNS yang memiliki jabatan Pekerja Sosial, kami
harus memperkenalkan dan membentuk tata nilai dalam diri klien yang tadinya adalah lansia
jalanan, untuk bisa sedikit banyak menyesuaikan dengan kehidupan di Panti. Inilah langkah
pemanusiaan baginya. Tidak mudah, karena tata nilai yang tertanam dalam dirinya itu berasal
dari proses yang bertahun-tahun dan kami menerimanya dalam kondisi sudah kadung tua. Kami
perlu memotivasi, menegur, memberi konseling, membimbing dan mengarahkan supaya mereka
berubah. Faktanya, memang banyak diantara mereka yang berubah (dan harus berubah), tetapi
sangat sedikit yang bisa menikmati perubahan itu. Kadang kalau tidak ada petugas mereka
berlaku natural lumrahnya mereka, dan saat ada petugas mereka bertindak seolah-olah sebaikbaiknya sifat mereka. Munafik.
Sekalipun kebutuhan mereka terpenuhi, banyak diantara mereka yang kangen untuk kembali ke
jalan. Mengemis, atau memulung. Walaupun di Panti semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi.
Ketika diharapkan mereka bisa bertaubat untuk mempersiapkan hari akhirnya guna bertemu
Sang Khalik, walaupun sudah diberi sarana dan prasarana ibadah, mereka tetap saja malas untuk
beribadah, bahkan cenderung menuruti hasrat maksiat.
Yah, dari mereka saya bisa belajar bahwa persoalan bangsa ini sesungguhnya adalah tata nilai.
Tata nilai yang kadang tidak bisa diubah sekalipun dengan pemenuhan materi. Entah di DPR,
entah di PNS, entah di masyarakat kita, bahwa yang membedakan antara negara kita dengan
negara maju adalah persoalan tata nilai. Bukan persoalan keterpenuhan kebutuhan ekonomi
semata. Gaji boleh cukup, jabatan boleh tinggi, tetapi kalau mereka tidak memiliki tata nilai yang
nggenah, apa bedanya dengan kucing jalanan...(*)
Feriawan A.N.
Yogyakarta, 22 Sep 2014
Secara garis besar, ada dua jenis lansia terlantar: terlantar secara ekonomi dan terlantar secara
sosial. Disebut terlantar secara ekonomi jika kebutuhan-kebutuhannya itu terhambat karena
kemiskinannya. Dia tidak bisa mendapatkan ketercukupan nutrisi karena tidak mampu membeli
sembako, dia tidak tinggal di tempat yang layak karena tak ada biaya atau keluarga yang
menyokongnya, dia tidak mampu ke dokter untuk mengobati sakit encoknya, asam uratnya,
darah tingginya, gulanya, dan penyakit yang biasa menghinggapi lansia. Dia tidak memiliki
biaya untuk mendapatkan akses memperoleh hiburan, transportasi, komunikasi yang
memungkinkan dia bertemu dengan teman-teman seumurannya. Intinya adalah faktor ekonomi.
Disebut lansia yang terlantar secara sosial jika dia dalam kondisi: kesepian, karena mungkin
ditinggal oleh pasangannya, anaknya, cucunya atau teman-temannya yang barangkali sudah
meninggal duluan. Ketiadaan aktifitas, hanya membakar waktu dari hari ke hari tanpa ada yang
bisa dilakukan. Kekurangan perhatian, karena mungkin orang-orang di sekitarnya tidak ada yang
bisa diajak curhat, diajak bernostalgia, atau mungkin diajarkan sesuatu yang dimilikinya.
Keputusasaan, karena mungkin dia sudah kehilangan kedudukannya sebagai orang yang dulu
dihormati, disegani atau ditaati. Keterpurukan imannya, karena mungkin ketiadaan bimbingan
rohani yang bisa menenangkan batinnya agar mampu menghadapi kematian dengan tenang.
Tidak banyak orang-orang atau anak-anak yang cukup siap ketika orang tuanya kelak menjadi
lansia. Seringkali yang dipikiran hanyalah ketika orang tuanya atau kakek-neneknya sehat.
Sehingga ketika mereka menghadapi masa tua, pensiun, yang dilakukan hanyalah membiarkan si
lansia makan, tidur, tenguk-tenguk (nongkrong) di depan tivi atau membaca koran. Lalu apakah
yang perlu dipersiapkan agar anak-anak atau cucu-cucu tersebut bisa membalas kasih sayang
lansia? Next time dibahas yaa....(*)
20 September 2014
kebutuhan. Sehingga semacam makan atau minum, kita tidak akan pernah merasa sebagai
manusia utuh jika tidak melakukan ini.
Saya ingin membuat permisalan sederhana tentang gambaran kasih sayang seorang ibu.
Bayangkan bahwa seorang ibu yang hamil, untuk kemudian melahirkan anaknya, menyusui,
melihatnya merangkak, mencandainya, hingga anak ini kemudian belajar berdiri, tersenyum,
menangis dan berpolah lainnya. Dalam gambaran itu, siapa membutuhkan siapa? Benar bahwa
secara fakta bayilah yang membutuhkan kasih sayang ibu karena dia mustahil mencukupi
kebutuhannya sendiri tanpa kasih sayang ibu. Tetapi bayangkan jika ibu tersebut diambil
bayinya. Bisakah dia menjalani hidup seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa? Well, kecuali ibu
yang sakit jiwa atau depresi atau kehilangan kemanusiaan hingga tega untuk aborsi, misalkan,
saya pikir tidak ada seorang ibu begitu mudahnya menerima kehilangan buah hatinya.
Ya. Itulah kebutuhan kasih sayang, kebutuhan untuk menyayangi dan mengasihi yang bisa jadi
lebih kuat daripada kebutuhan untuk disayangi atau dikasihi.
Percayalah, bahwa setiap orang atau manusia normal punya hasrat untuk mengasihi dan
memberikan kasih sayang kepada sesamanya. Tetapi memang perdaban manusia terkadang
begitu kejam sehingga pola pikir materialistik tidak menangkap bahwa kasih sayang ini
merupakan kebutuhan setiap jiwa untuk menjadi manusia utuh. Pola pikir ini yang menjadikan
adanya pengkastaan bahwa yang memberi itu lebih baik daripada yang menerima, bahwa yang
berbuat baik itu layak semacam dapat "like" atau jempol di facebook karena telah melakukan
perbuatan yang luar biasa terpuji dibandingkan manusia pada umumnya, ataupun hal-hal yang
barangkali sekedar bahan untuk termehek-mehek. Faktanya ternyata tidak begitu, bahwa
mengasihi dan menyayangi adalah sebuah kebutuhan.
Maka inilah jawaban mengapa mereka-mereka yang dikenal sebagai pejuang kaum dhuafa,
penderma, pekerja sosial, dan mereka yang mengabdikan dirinya untuk lingkungan serta hal-hal
pilantropis lainnya begitu mencintai pekerjaannya bahkan sampai mereka menyabung nyawa.
Tidak lain karena sebuah perasaan bahwa apa yang mereka lakukan itu itu sebagai kebutuhan
hidup mereka sebagai manusia.
Tentu saja, apa yang saya kemukakan tadi lebih berlaku universal, tidak harus ke Panti Jompo
semacam PSTW. Tetapi barangkali, anda akan menemukan hal yang berbeda di sini.
Ketika saya mengudang anda untuk datang ke PSTW, jangan berpikir bahwa anda akan
direpotkan untuk siap-siap membawa cenderamata atau sumbangan atau tali asih. Percayalah,
bukan itu. Tanpa bantuan anda pun Panti ini sudah sejahtera karena disokong oleh dana APBD.
Saya hanya sekedar berbagi, bahwa saya menemukan banyak cerita-cerita dari lansia yang
tinggal di sini, menjalani kehidupan bersama mereka, hingga akhirnya bisa menceritakan kisahkisah, yang dalam harapan saya, menyentuh sesuatu dalam diri Anda. Datanglah, karena sangat
mungkin panggilan jiwa anda memang butuh untuk datang ke sini tetapi anda tidak
mengetahuinya.
Demikian. Saya tunggu kedatangan Anda dengan segudang cerita tentang lansia.
Yogyakarta, 11 September 2014
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY telah membuka ruang guna
menampung usulan program Danais melalui situ JogjaPlan.com . Dari situ masyarakat
bisa mencermati keragaan anggaran DIY yang bisa menjawab secara jelas tentang mau
dibawa kemana DIY sekarang ini. Saat ini, masyarakat sudah bisa melihat KUAPPAS
2015 (KUAPPAS: Kebijakan Umum Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara).
Sedikit mencermati itu mari melihat berapa besaran dana untuk lansia terlantar yang di
DIY, menurut data Dinas Sosial yang juga disampaikan Kepala Dinas Sosial DIY, jumlah lansia
terlantar tahun 2014 adalah 36.728 orang. (Lihat: http://dinsos.jogjaprov.go.id/lansia-terlantar-didiy-sebanyak-36-728-orang/). Secara terperinci ada dua post alokasi anggaran untuk lansia
terlantar yaitu yang ada pada post EKSEKUTIF RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah)
dengan rincian sebagai berikut:
Jika ditotal, maka post anggaran untuk program pelayanan dan perlindungan lanjut usia
terlantar adalah sebesar: Rp 2.476.032.000 untuk 3750 orang lansia terlantar.
Selanjutnya, kita bisa melihat dari KUAPPAS, dapat kita temukan data sebagai berikut:
Bisa kita lihat bahwa untuk Program Pelayanan dan Perlindungan Lanjut Usia Terlantar
mendapat porsi Rp. 3.484.944.150,- yang dialokasikan untuk 2000 orang Lanjut Usia Terlantar.
Maka, jika ditotal jendral, Program Pelayanan dan Perlindungan Lanjut Usia Terlantar adalah Rp.
5.960.976.150,- untuk 5.750 orang lansia terlantar.
Jika kita berhitung kasar, maka dapat ditemukan bahwa dari angka tersebut di atas, per lansia
terlantar akan mendapat jatah pada tahun anggaran 2015 sebesar: (Rp. 5.960.976.150,- : 5.750
orang)= Rp 1.036.691,50/orang per tahun. Sangat kecil.
Jika yang terkaver program itu adalah sebesar 5.750 orang lansia, maka masih ada lansia
terlantar yang belum dijangkau oleh anggaran daerah sebesar: 36.728 5.750 = 30.978 orang
lansia, atau hanya mengcover sekitar 15% saja.
Mengapa persoalan lansia ini penting, karena DIY adalah kota yang sangat identik dengan
lansia. Di kota ini tercatat umur harapan hidup lansia tertinggi di Indonesia yaitu hampir
mencapai 75 tahun. Tercatat juga jumlah penduduk DIY tahun 2012 tercatat 3.514.762 jiwa
jumlah lanjut usia DIY berdasarkan data Susenas BPS tahun 2012 yaitu umur 60 tahun ke atas
sebesar 13,38 persen dari total penduduk DIY 3.514.762, yang berarti total lansia DIY sejumlah
470.275 orang. Tidak salah bahwa dengan angka sedemikian, semestinya persoalan lansia DIY
menjadi salah satu prioritas pembangunan.
Mari kita lihat sedikit angka fantastis pada post anggaran yang lain. Tanpa bermaksud
sentimen terhadap para seniman, ternyata para seniman di DIY mendapatkan kesejahteraan
maksimal untuk mengenyam pendidikan formal. Pada post anggaran di Dinas Pendidikan,
Pemuda dan Olahraga tercatat adanya anggaran untu Memberikan pendidikan Formal pada para
seniman dan pelaku budaya di AKSENIBUDYO sebesar Rp. 6.665.200.000,00 untuk 120 orang
seniman.
Itu berarti per seniman yang dijangkau program itu secara kasar memperoleh Rp
55.543.333,33 per tahun. Dahsyat!
Sungguh kesenjangan yang semoga bisa menjadi perenungan bersama.
Secara lebih makro, dari situs jogjaplan.com bisa disebutkan sebagai berikut: di DIY,
17,07% dana APBD digunakan untuk peningkatan akuntabilitas kinerja pemerintah daerah,
17,74% untuk peningkatan akses pendidikan, 24,27% (termasuk danais) untuk pengembangan
budaya. Pada sisi lain, layanan publik terutama pada penataan transportasi dan akses masyarakat
pedesaan mendapat porsi sebesar 4,14%. Luar biasa.
Demikian catatan saya hari ini, dan semoga Yogyakarta tetap istimewa.
simbah-simbah tak terperhatikan, mengingat ada tiga lansia bedrest. Kasihan jika dikit-dikit
harus merepotkan pramurukti dan perawat, karena bisa jadi di jam yang sama mereka sedang
melayani klien lain. Kamu harus siap, karena mereka klien kamu. Pramurukti dan perawat itu,
beberapa diantaranya honorer dan yang gagal ikut ujian CPNS K2, merekalah yang sungguh
sabar melayani simbah-simbah.
Melanjutkan pekerjaan, sembari berdoa sambil melayangkan benak ke suatu tempat yang jauh,
yang sangat mencekam, bahwa keadaan di sini jauh lebih baik daripada di Palestina sana. (*)
Feriawan
12 Juli 2014
Seringkali ada protes dari masyarakat, semisal seseorang calon klien yang bedrest atau maaf:
ngobrok. atau mungkin gangguan jiwa, kok tidak bisa diterima? Lha kalau Dinas Sosial atau
Panti Jompo tidak mengurusnya lalu siapa yang mengurusnya? Apakah dibiarkan berkeliaran di
jalan? Maaf jika bukan kapasitas saya untuk menjawab yang tidak terkait dengan Panti, tetapi
jika bicara Panti Sosial, maka kita bicara bahwa di Panti itu bukan semacam penampungan
ternak dimana manusia cukup dikasih makan, digemukkan lalu selesai. Bukan. Di Panti klien
lansia diajak untuk hidup bermasyarakat diantara sesamanya, berkegiatan, dan bagaimana
menikmati kesejahteraannya lahir dan batin. Untuk itulah kami hanya menerima klien yang
masih potensial dan memenuhi persyaratan untuk bisa bermasyarakat di lingkungan panti.
Adapun ketika sudah sekian lama hidup di panti kemudian klien menjadi bedrest atau gangguan
jiwa, itu lain soal. Baik pekerja sosial atau sesama klien sudah terkondisikan untuk saling
bekerjasama. Bayangkan jika belum-belum sudah memasukkan klien tak dikenal dan ada
gangguan jiwa, yang terjadi malah menyusahkan klien-klien yang sudah sekian lama tinggal.
Atau katakanlah memasukkan klien yang bedrest, maka manajemen panti akan berubah menjadi
manajemen rumah sakit.
Tak jarang, dalam proses visit ini banyak hal yang miss. Di luar dugaan. Klien yang kami lihat
sehat ternyata suspect penyakit menular, gangguan jiwa, dll. Atau seperti minggu kemarin, klien
sudah punya kemauan sendiri tinggal di panti, sudah dibantu oleh induk semangnya, sudah
divisit, eeeh giliran disediakan kamar malah ybs minggat tak tentu rimbanya.
Ketika klien baru datang ke Panti, kami bertanggungjawab untuk memastikan wisma dan kamar
(sprei, selimut, bantal, dll), fasilitas (pakaian, hygine kit: sikat gigi, sabun, handuk dll), food kit
(piring, cangkir, sendok dll), sandal, perlengkapan ibadah, dll. Lewat masa orientasi kami
membimbing klien untuk diperkenalkan dengan kegiatan di Panti Sosial.
Pada hari-hari awal klien ada di Panti, kami memantau klien terkait dengan aktifitasnya,
potensinya, interaksi, komunikasi dan semua hal yang perlu diassessmen. Hal ini penting bagi
kami untuk menakar dan memutuskan tindak lanjut agar di kemudian hari klien benar-benar
terpenuhi kesejahteraanya. Kami mendengarkan curhatnya, kami memperkenalkan kegiatan di
panti, kami mengajari adab dan kebiasaan di panti, kami memotivasi, kami memfasilitasi. Bisa
jadi proses ini mulus adanya, tetapi lebih sering tak mulus. Misal saja, klien dari keluarga yang
jorok ataupun berkebiasaan jorok (biasanya mereka yang dari gelandangan pengemis), klien
memiliki sifat egois, klien rendah diri, dll. Maka butuh keterampilan bagaimana memproses
klien agar bisa menjadi seperti yang diharapkan. Tak jarang pada minggu atau bulan-bulan awal
klien merasa tak betah, berkonflik, bingung dll. Wajar. Tinggal bagaimana membimbingnya.
Sebagaimana klien yang lama, klien baru akan menjalani hari-hari di PSTW (Panti Sosial Tresna
Werdha) dengan kegiatan-kegiatan: Senam pagi setiap hari, mengikuti bimbingan klasikal pada
jam pagi sampai siang, pemeriksaan kesehatan pada hari-hari tertentu, pendampingan per wisma
dan per pribadi oleh pengasuh dan pekerja sosial, dan hal-hal lain terkait dengan kebutuhan
pribadinya seperti makan, mandi, ibadah, mencuci pakaian dan perlengkapan pribadi dll. Klien
diajak juga untuk menjadikan panti dan wismanya seperti layaknya rumah sendiri, sehingga
merekalah yang bertanggungjawab bersih-bersih, menolong sesama klien, merawat tanaman, dan
lain sebagainya. Setiap pagi hari ada senam. Ketika senam, saya mendapat jatah menjadi
instruktur senam pada hari Rabu. Bimbingan klasikal, biasanya dilakukan oleh instruktur yang
ditunjuk. Pada hari senin, ada bimbingan rohani sesuai dengan agama dan kepercayaan klien,
hari selasa bimbingan kesenian: organ tunggal, hari rabu bimbingan keterampilan, hari kamis
bimbingan rohani (lagi), hari jumat kerja bakti, dan hari sabtu bimbingan kesenian (karawitan).
Secara berkala dilakukan dalam sebulan: bimbingan psikologi dan sarasehan. Pada hari rabu,
dilakukan juga pemeriksaan kesehatan oleh Dokter dari RS atau Puskesmas setempat yang
didampingi oleh Perawat Panti. Perawat panti bekerja setiap hari bertanggungjawab untuk
memantau kesehatan klien.
Itulah gambaran kehidupan sehari-hari klien di Panti. Secara insidental, akan ada acara-acara
yang dikemas untuk klien. Misalkan saja rekreasi, lomba-lomba, kedatangan tamu, kedatangan
praktikan atau mahasiswa praktek, dll. Kami, Pekerja Sosial, menjadi bagian dari mereka yang
mendampingi kegiatan tersebut.
Persoalan klien? Ya itulah makanan kami. Jika memang penting, dilakukan CC (Case
Conference). CC membahas kasus atau klien yang unik, atau yang "keterlaluan" sehingga
membutuhkan pembahasan bukan hanya oleh Pekerja Sosial, tetapi oleh keseluruhan unsur yang
terlibat dalam Panti.
Begitulah gambarannya. Dari waktu ke waktu kami mengontrol dan mengevaluasi
perkembangan klien. Memberikan reward kepada mereka yang progresnya bagus dan
memberikan motivasi dan bimbingan ketika mereka mengalami penurunan. Melakukan
penyelesaian kasus ketika mereka bermasalah.
Kami, biasa bertugas sesuai jam kerja Senin-Kamis jam 07.30-15.30, Jumat 07.30 - 11.30, dan
Sabtu 07.30 - 14.00. Diantara hari-hari itu, ada juga shift sore dan shift malam. Yang lelaki yang
biasa tugas shift malam. Kami melakukan shifting karena memang yang kami urusi adalah
manusia. Bisa jadi diantara jam-jam itu ada kasus, konflik, klien sakit, atau bahkan meninggal.
Kami harus menghubungi keluarga, kami harus berkoordinasi mengantar klien ke RS, atau kami
harus berkoordinasi memandikan jenazah. Bisa jadi pula ada hal-hal teknis: mati lampu, gas
bocor, atau bahkan bencana alam. Atau, mungkin pula pada malah hari ada keadaan darurat:
klien datang, keluarganya datang, klien kabur dll. Itu tanggungjawab kami.
Ketika klien ternyata dipandang tidak mampu hidup di Panti, maka dia dikembalikan kepada
keluarganya ataupun penanggungjawabnya. Ketika meninggal, jika klien punya keluarga atau
penanggungjawab, maka jasadnya yang sudah dimandikan dan dipeti, akan kami kembalikan ke
keluarga. Tanpa dipungut biaya. Ketika klien tidak ada keluarga, maka dia kami makamkan di
pemakaman Panti yang area tanah untuk pekuburan yang dibeli oleh Dinas Sosial.
Selain mengurus klien, kami juga membimbing mahasiswa praktek. Bimbingan dilakukan
seputar profil Panti, profil klien, dan informasi lainnya. Kami juga bertugas menguji laporan
praktek dari mereka.
Demikian gambaran sekilas terkait profesi saya sebagai Pekerja Sosial di Panti Werdha. Semoga
bermanfaat (*)
Feriawan Agung Nugroho
September 1, 2013 Yogyakarta
Saudaraku, jumlah lansia terlantar di DIY dari data Dinas Sosial DIY sampai dengan akhir
Desember 2012 adalah 37.199 orang, tertinggi di Kabupaten Gunungkidul. Jumlah itu akan terus
bertambah. Diprediksikan DIY pada tahun 2015, satu dari lima orang di DIY adalah Lansia.
Mungkin inilah istimewanya DIY, yang masih menyandang peringkat propinsi ke 24 termiskin
dengan angka kemiskinan 15,88 persen, sekitar dua persen dari angka kemiskinan nasional,
tetapi pada sisi lain pernah disebutkan dalam suatu forum di antara kami PNS bahwa DIY adalah
salah satu provinsi paling sejahtera, bahkan versi worldbank (saya tidak tahu persis angkanya).
Indikator salah satunya adalah angka harapan hidup di provinsi kita ini tertinggi di Indonesia.
Angka harapan hidup ini termasuk di dalamnya adalah jumlah lansianya. Dari indikator lain,
yang mungkin sangat ironi, adalah jumlah sertifikat hunian yang di Sleman (belum tahu
kabupaten lainnya) lebih banyak daripada jumlah penduduk. Walaupun dari jumlah penduduk
itu, termasuk saya, bukan merupakan orang yang memiliki tanah alias penduduk tidak tetap
(rumah masih kontrak). Mungkin dalam angka statistik ini kita bisa mengeksplor lebih luas lagi
dengan hal istimewa-istimewa yang lain seperti kerentanan bencana, indeks kesehatan dll. Tetapi
inti dari angka-angka yang saya paparkan di atas, saya hendak mengembalikan dalam konteks
lansia: apakah jogja sudah cukup siap dengan ledakan jumlah lansia.
Sependek usia saya jadi peksos (pekerja sosial) yang baru sekitar 2 tahun bergelut dengan
persoalan lansia, banyak orang yang saya temui belum cukup siap untuk menerima kenyataan
bahwa esok, suatu hari nanti, akan ada anggota keluarga yang mereka sayangi akan
membutuhkan perawatan sebagaimana layaknya bayi, tetapi dengan persoalan yang lebih
kompleks, yakni lansia. Seandainya kehidupan seseorang berjalan lurus, barangkali masa tuanya
adalah masa paling indah dengan anak cucu berkumpul dan sekedar beraktifitas ringan hingga
pada akhirnya menutup mata. Tetapi bagaimana jika kondisi menghendaki lain: menjadi tua
dengan keadaan kesehatan yang memburuk, misalkan saja terkena stroke, diabetes, dll sehingga
tidak cukup si tua ini merawat dirinya sendiri. Bagaimana jika penyakit pikun melanda sehingga
dia bisa saja suatu saat pipis di celana, berkeliaran di jalan, disoraki atau bahkan diumpat oleh
orang-orang. Bagaimana jika dia punya kebiasaan buruk seperti keluar kata-kata kotor, amarah
dan kejengkelan yang bisa jadi tidak layak didengar oleh anak-anak. Bagaimana jika kemudian
kondisi di atas itu harus bisa dikompromikan dengan istri atau suami kita, dengan biaya,
perhatian, dan ketelatenan kita, sebagai orang yang pernah dibesarkan mereka dan inilah saatnya
harus membalas budi. Pengetahuan-pengetahuan seperti ini tidak pernah diajarkan dan bahkan
tidak pernah terbayangkan untuk didapatkan dan harus dikerjakan. Bahkan, ironinya, kita tidak
cukup siap merawat jenazah orang tua kita kelak entah karena alasan tidak bisa, deg-degan,
belum pernah menyentuh mayat dll. Anak macam apakah kita ini? Tentang lansia, uraian saya ini
tentunya tidak cukup untuk menggambarkan tentang persoalan lansia itu sendiri mulai dari
kecemasan, kondisi psikologis, kondisi sosial dan lain sebagainya. Seorang lansia biasa
mengidap kecemasan karena kehilangan pekerjaan, karena berkurangnya kerja fungsi tubuhnya,
karena merasa sendiri ketika teman-temannya meninggal(dan dia kesepian), karena tidak adanya
orang yang bisa dia ajak bicara (mungkin memang tidak ada atau topik pembicaraan yang sudah
tidak sesuai zaman), dan ketakutan mungkin karena bisa jadi akhirat tidak bisa menerimanya
kelak. Kondisi-kondisi inilah yang biasanya menjadi pemicu ketidaksejahteraan lansia.Bahwa
lansia itu tergolong usia yang dikatakan tidak produktif lagi, maka secara sosial ekonomi dia
menjadi pihak yang bergantung pada usia produktif untuk mencukupi kehidupannya. Itu
teorinya. Maka kejadian di panti kami, seseorang bisa saja bilang: "uang bukan masalah", ketika
hendak menitipkan lansianya untuk bisa dikelola di Panti Jompo. Tetapi benarkah uang adalah
penyelesaian? Apakah dengan mudah kita menyerahkan orang tua kita yang lansia dengan
segenap persoalannya untuk, seperti barang, diserahterimakan kepada mereka yang dianggap
bisa mengasuh? Beberapa di antara lansia tersebut sering curhat yang intinya: dia tidak
membayangkan bahwa detik detik terakhir kehidupannya harus dilalui sebagai penghuni panti
jompo. Itulah. Pada akhirnya apa yang diniatkan teman-teman Pondok menjadi salah satu titik
terang dalam upaya penyejahteraan lansia. Ustad sendiri sebelumnya mengatakan bahwa
kegiatan terkait dengan lansia, sebagaimana materi kuliah yang pernah saya paparkan, menjadi
bagian dari birrul walidain, berbakti kepada orang tua. Itu gambarannya nanti menjadi terapi bagi
para santri yang notabene mahasiswa-mahasiswa untuk memiliki tujuan hidup, yang salah
satunya adalah bagaimana membahagiakan orang tua mereka. Bahwa kelak, mereka harus
mengasuh orang tua mereka sendiri dan jangan sampai terlantar.
Kelompok pengajian lansia, barangkali sebuah kalimat sederhana bahwa lansia akan berkumpul
di suatu tempat untuk kemudian mendengarkan pengajian. Itu saja? Tidak.Pada sisi lain ini
menjadi sebuah forum untuk mereka menjadi di-penting-kan atau dihargai, menjadi alasan untuk
mereka bahwa ada aktifitas yang harus mereka lakukan, ada teman-teman seumuran yang sedang
menanti, ada progres yang bisa mereka buat. Dan jika itu digabung dengan pemeriksaan
kesehatan dan konseling, pada akhirnya ada sesuatu yang bisa membuat mereka tenang lahir dan
batin.
Lewat tulisan ini, saya berdoa dan memohon doa kepada anda, meminta dukungan dari anda,
semoga apa yang dicita-citakan oleh PP Budi Mulia ini menjadi awal yang indah, bukan saja
untuk para santrinya, tetapi juga untuk kesejahteraan lansia-lansia di manapun berada. Bisa jadi,
gagasan ini memicu munculnya gagasan-gagasan serupa. Sebagaimana yang saya garis bawahi
ketika mengisi kuliah, kegiatan-kegiatan terkait lansia seperti ini sudah bukan lagi wilayah
wacana. Bukan lagi wilayah teori, tetapi tindakan. Wacana apa lagi? Mengganti pampers lansia,
menyentuh punggung mereka, mendengarkan celoteh nostalgia, mengajak menari, itu sama
sekali bukan wacana. Hanya tindakan yang butuh ketelatenan, kesabaran, kebahagiaan dan
kegembiraan dengan reward yang belum tentu termaterialkan. Semoga apa yang diniatkan ini
mendapatkan reward yang lebih dari sekedar sepadan dari Allah SWT. Syukur juga, apabila hal
ini menjadi virus yang menyebar ke banyak pihak, sehingga gagasan-gagasan ini direalisasikan
di banyak tempat. Amiin.
Feriawan Agung Nugroho published a note.
February 4, 2013