Anda di halaman 1dari 110

Katalog BPS : 1101002.

34

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Statistik
2014

ht

tp

://

yo
gy

ak

Daerah Istimewa Yogyakarta

BADAN PUSAT STATISTIK


PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ar
ta
.b
ps

ak

yo
gy

://

tp

ht

id

.g
o.

id
.g
o.

ar
ta
.b
ps

Statistik

ht

tp

://

yo
gy

ak

Daerah Istimewa Yogyakarta

2014

STATISTIK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2014


978-602-1392-05-8
34.553.14.13
1101002.34
17,6 cm X 25 cm
110

id

:
:
:
:
:

ar
ta
.b
ps

.g
o.

ISBN
No. Publikasi
Katalog BPS
Ukuran Buku
Jumlah Halaman

Naskah :
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik

ak

Gambar kulit :

tp

://

Diterbitkan oleh :

yo
gy

Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik

ht

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya

STATISTIK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2014

: Mainil Asni, SE, ME

ar
ta
.b
ps

Editor

Mutijo, S.Si, M.Si

: Waluyo, SST, SE, M.Si

Pengolah Data

: Gita Oktavia, S.Si

yo
gy

ak

Naskah

Waluyo, SST, SE, M.Si

: Waluyo, SST, SE, M.Si

ht

tp

://


Layout

.g
o.

Penanggung Jawab : Y. Bambang Kristianto, MA

id

TIM PENYUSUN

ar
ta
.b
ps

ak

yo
gy

://

tp

ht

id

.g
o.

Kata Pengantar

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya buku
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 oleh Badan Pusat Statistik Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Publikasi ini memuat berbagai informasi
dan indikator terpilih seputar Daerah Istimewa Yogyakarta yang dianalisis
secara sederhana untuk membantu pengguna data dalam memahami
perkembangan pembangunan serta potensi yang ada di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta.

yo
gy

ak

Buku Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 diterbitkan secara rutin


setiap tahun untuk melengkapi publikasi-publikasi statistik yang sudah terbit
sebelumnya. Berbeda dengan publikasi-publikasi yang sudah ada, publikasi
ini lebih menekankan pada aspek analisis dalam membaca dan memahami
data BPS.

ht

tp

://

Materi yang disajikan dalam buku Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta


2014 berupa informasi dan indikator terpilih yang terkait dengan
pembangunan di berbagai sektor. Diharapkan informasi tersebut dapat
menjadi rujukan/kajian dalam perencanaan maupun evaluasi kegiatan
pembangunan.
Kritik dan saran konstruktif berbagai pihak kami harapkan untuk
penyempurnaan penerbitan di masa mendatang. Semoga publikasi ini
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan data statistik, baik oleh institusi
pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat luas.

Yogyakarta, Oktober 2014


Badan Pusat Statistik
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kepala

Y. Bambang Kristianto, MA
vii

ar
ta
.b
ps

ak

yo
gy

://

tp

ht

id

.g
o.

Daftar Isi
Kata Pengantar v

.g
o.

id

Daftar Isi vii


1. Geografi dan Iklim

ar
ta
.b
ps

2. Pemerintahan 4
3. Penduduk 10
4. Ketenagakerjaan 14
5. Pendidikan 20

ak

6. Kesehatan 26
30

8. Kemiskinan

34

yo
gy

7. Pembangunan Manusia

://

9. Pertanian 40

ht

tp

10. Pertambangan dan Energi


11 . Industri Pengolahan

50
54

12. Konstruksi 58
13 Hotel dan Pariwisata

60

14. Perbankan dan Investasi

66

15. Harga-harga 72
16. Pengeluaran Penduduk

76

17. Perdagangan 80
18 PDRB 82
19. Perbandingan Regional

86

Lampiran 90
ix

ar
ta
.b
ps

ak

yo
gy

://

tp

ht

id

.g
o.

ar
ta
.b
ps

ak

yo
gy

://

tp

ht

id

.g
o.

GEOGRAFI DAN IKLIM


DIY merupakan wilayah setingkat provinsi yang memiliki luas wilayah administrasi

terkecil kedua di Republik Indonesia dengan luas 0,17 persen dari wilayahNKRI

KONDISI GEOGRAFIS
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah setingkat provinsi yang memiliki
luas wilayah administrasi terkecil kedua di Republik Indonesia, setelah Provinsi DKI Jakarta.
Luas wilayah administrasi DIY mencapai 3.185,80 km2, atau 0,17 persen dari seluruh wilayah
daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara astronomis, wilayah DIY terletak
pada posisi 7o.33- 80.12 Lintang Selatan dan 110o.00-110o.50 Bujur Timur. Posisi geografis
DIY berada di bagian tengah Pulau Jawa, tepatnya sisi selatan. Seluruh wilayah daratan DIY
dikelilingi oleh wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah, yakni Kabupaten Purworejo di sisi
barat, Kabupaten Magelang dan Boyolali di sisi utara; serta Kabupaten Klaten dan Kabupaten
Wonogiri di sisi timur. Wilayah selatan DIY berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.
Gambar 1.1.

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Peta Wilayah Administrasi


Daerah Istimewa Yogyakarta

Sumber: Bakosurtanal, elantowow.wordpress.com

ht

tp

://

Bentang alam wilayah DIY merupakan kombinasi antara daerah pesisir pantai, dataran
dan perbukitan/pegunungan yang dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi.
Pertama, satuan fisiografi Gunung Merapi dengan ketinggian antara 80 m sampai 2.911
m di atas permukaan laut. Wilayah ini terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga
dataran fluvial gunung api serta bentang lahan vulkanik di wilayah Kabupaten Sleman, Kota
Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul. Kedua, satuan fisiografi Pegunungan Selatan
dengan ketinggian 150 m sampai 700 m. Wilayah ini menjadi bagian dari jalur Pegunungan
Seribu yang terletak di wilayah Kabupaten Gunungkidul dan bagian timur Kabupaten Bantul.
Kawasan ini didominasi oleh wilayah perbukitan batu kapur dan karst yang tandus dan
kekurangan air permukaan, sehingga kurang potensial untuk kegiatan budidaya komoditas
pertanian semusim.
Ketiga, satuan fisiografi Pegunungan Kulonprogo yang terletak di bagian utara
Kulonprogo. Kawasan ini menjadi bentang lahan dengan topografi wilayah berupa
perbukitan, sehingga cukup potensial untuk pengembangan komoditas perkebunan.
Keempat, satuan fisiografi Dataran Rendah dengan ketinggian 0-80 m di atas permukaan
laut. Kawasan ini membentang di bagian selatan wilayah DIY mulai dari daerah pesisir di
Kabupaten Kulonprogo sampai wilayah Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu.
Kawasan ini sangat subur, sehingga cukup potensial untuk kegiatan budidaya komoditas
pertanian semusim.
2

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Wilayah DIY termasuk dalam daerah yang beriklim tropis, sehingga memiliki curah
hujan dan kelembaban udara yang cukup tinggi

KONDISI IKLIM DAN CUACA


Wilayah DIY berada di sekitar garis khatulistiwa tepatnya pada posisi 7o.33- 80.12 LS,
sehingga termasuk daerah yang beriklim tropis atau memiliki dua musim dalam setahun
yakni musim penghujan dan kemarau. Secara umum, karakteristik cuaca di wilayah DIY
bertemperatur tinggi atau memiliki suhu udara yang panas serta memiliki kelembaban udara
dan curah hujan yang cukup tinggi. Ringkasan perkembangan kondisi cuaca di wilayah DIY
berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika Kelas
I Yogyakarta selama beberapa tahun terakhir disajikan dalam Tabel 1.1.

2010

2011

2012

2013

22

18

17

18

35

40

35

36

27

26

27

26

Curah Hujan Maksimum

mm

512

405

409

442

Rata-rata Curah Hujan/Bulan

mm

254

173

Rata-rata Hari Hujan

kali

17

14

Kelembaban Udara Minimum

41

42

Kelembaban Udara Maksimum

97

96

Rata-rata Kelembaban Udara

74

78

Suhu Udara Tertinggi

Rata-rata Suhu Udara

122

230

15

47

44

100

98

80

86

milibars

1.005

990

Tekanan Udara Maksimum

milibars

1.015

1.000

1.021

1.006

1.019

Rata-rata Tekanan Udara

milibars

1.010

995

1.014

1.015

ak

Tekanan Udara Minimum

yo
gy

id

Satuan

ar
ta
.b
ps

Indikator
Suhu Udara Terendah

Rata-rata
suhu
udara
di wilayah DIY selama tahun
2013 berada pada kisaran 260
Celsius. Suhu udara tertinggi
mencapai 360 Celsius dan terjadi
pada bulan Oktober. Sementara,
suhu udara terendah tercatat
sebesar 180 Celsius dan terjadi di
bulan Agustus. Intensitas hujan
yang diukur dari rata-rata curah
hujan per bulan pada tahun
2013 tercatat sebesar 230 mm
dan mengalami kenaikan yang
signifikan dibandingkan dengan
tahun 2012 yang sebesar 122
mm.

.g
o.

Tabel 1.1.
Ringkasan Kondisi Cuaca di Wilayah DIY, Tahun 2010-2013

1.010

Sumber: Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika


Kelas I Yogyakarta, diolah

ht

tp

://

Rata-rata hari hujan juga meningkat dari 9 kali per bulan menjadi 15 kali di tahun 2013.
Curah hujan yang tertinggi selama tahun 2013 terjadi di bulan Januari dengan intensitas
sebesar 442 mm selama 21 hari dan bulan Desember dengan intensitas 358 mm selama
20 hari. Sementara, intensitas hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dan September.
Bahkan, di kabupaten Gunungkidul, Bantul dan Kota Yogyakarta tidak terjadi hujan selama
dua bulan tersebut.
Rata-rata kelembaban udara pada tahun 2013 tercatat sebesar 86 persen dan
cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 80 persen.
Kelembaban udara minimum tercatat sebesar 44 persen yang terjadi pada bulan Oktober,
sementara kelembaban maksimum mencapai 98 persen yang terjadi pada bulan Februari,
Juni dan September. Secara rata-rata, kelembaban terendah terjadi pada bulan Oktober
sebesar 80 persen dan kelembaban tertinggi di bulan Juni sebesar 90 persen. Tekanan udara
rata-rata selama tahun 2013 tercatat sebesar 1.015 milibars dan mengalami peningkatan
dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 1.014 milibars. Tekanan udara terendah
tercatat sebesar 1.010 milibars yang terjadi di bulan Februari dan Juni, sementara tekanan
udara tertinggi sebesar 1.019 milibars yang terjadi selama bulan September. Selama bulan
Januari-Juni 2013, angin lebih banyak bergerak dari arah barat dengan rata-rata kecepatan
tertinggi sebesar 5,4 m/s pada bulan Januari dan kecepatan terendah sebesar 2,7 m/s pada
bulan Mei. Pada bulan Agustus-November angin lebih banyak bergerak dari arah selatan.
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

PEMERINTAHAN
Secara administratif, DIY terbagi menjadi lima kabupaten/kota dengan pusat
pemerintahan berada di Kota Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi wilayah yang memiliki keistimewaan


khusus dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka NKRI. Keistimewaan
yang dimaksud tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2012 yang mengatur tentang
kedudukan hukum DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul untuk mengatur dan
mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi tata
cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gurbernur dan Wakil Gubernur;
kelembagaan pemerintah daerah; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang. Dasar filosofi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di DIY adalah Hamemayu Hayuning
Bawana, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat
Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.

Tabel 2.1.

ak

Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di


DIY menurut Kabupaten/Kota, 2013

://

tp

ht

Kabupaten/
Kota

Luas
Wilayah

Jumlah
Kecamatan

Jumlah Status Desa/Kelurahan


Desa/
Kelurahan Perkotaan Perdesaan

Kulonprogo

(km2)
586,27

12

88

13

Bantul

506,85

17

75

47

28

1485,36

18

144

139

574,82

17

86

59

27

32,50

14

45

45

DIY
3185,80
Sumber : BPS DIY

78

438

169

269

yo
gy

Daerah yang memiliki wilayah


administrasi
yang terluas adalah
Kabupaten Gunungkidul dengan luas
1.485,36 km2 atau 46,62 persen dari
luas daratan DIY. Sementara, Kota
Yogyakarta memiliki luas administratif
yang terkecil sebesar 32,5 km2 atau
0,01 persen dari luas wilayah DIY.
Meskipun demikian, dengan status
sebagai ibukota provinsi kehidupan
sosial dan ekonomi di Kota Yogyakarta
lebih majemuk dan lebih dinamis
dibandingkan
dengan
keempat
kabupaten lainnya.

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Secara administratif, wilayah DIY terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota,
yakni Kabupaten Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Pusat
pemerintahan DIY berada di Kota Yogyakarta. Berbeda dengan provinsi lain yang banyak
mengalami pemekaran wilayah sejak pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001,
jumlah kabupaten/kota di DIY tidak mengalami perubahan. Demikian pula dengan jumlah
kecamatan dan desa/kelurahan, dalam beberapa tahun terakhir juga tidak mengalami
perubahan. Jumlah kecamatan pada tahun 2013 sebanyak 78 kecamatan yang terbagi
menjadi 438 desa/kelurahan.

Gunungkidul
Sleman
Yogyakarta

75

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Penyelenggara pemerintahan di DIY terdiri dari pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemerintah daerah berfungsi eksekutif yang dipimpin
oleh seorang Gubernur dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya. Dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, Gubernur juga
dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari Sekretaris Daerah (Sekda) dan Lembaga
Teknis Daerah seperti Dinas-dinas, Badan-badan dan Kantor-kantor.
Tahukah Anda ?
DIY adalah provinsi tertua kedua di NKRI setelah Jawa Timur yang
memiliki keistimewaan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan
4

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Gubernur dan wakil gubernur DIY tidak dipilih melalui mekanisme Pemiilukada, tetapi
melalui proses penetapan sebagai salah satu wujud keistimewaan DIY

Berbeda dengan provinsi lainnya, Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY tidak dipilih
melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal), namun melalui
proses penetapan Sultan Yogyakarta yang bertahta menjadi Gubernur dan Adipati Paku
Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur sebagai salah satu wujud keistimewaan DIY.
Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pembantu gubernur dalam pelaksanaan pemerintahan,
membawahi tiga asisten. Pertama, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat yang
membawahi Biro Tata Pemerintahan; Biro Hukum; serta Biro Administrasi Kesejahteraan
Rakyat dan Kemasyarakatan. Kedua, Asisten Perekonomian dan Pembangunan yang
membawahi Biro Administrasi Perekonomian dan SDA serta Biro Administrasi Pembangunan.
Ketiga, Asisten Administrasi Umum yang membawahi Biro Organisasi dan Biro Umum Humas
dan Protokol.

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPRD)


DPRD merupakan lembaga legislatif yang merepresentasikan perwakilan rakyat yang
dipilih melalui mekanisme Pemilu yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Komposisi
anggota DPRD DIY periode 2009-2014 hasil Pemilu Legislatif 2009 berjumlah 55 orang,
terdiri dari 42 anggota laki-laki (76,36 %) dan 13 anggota perempuan (23,64 %). Sementara,
komposisi hasil Pemilu Legislatif 2014 terdiri dari 48 anggota laki laki ( 87,27 persen) dan 7
anggota perempuan (12,73 persen). Komposisi hasil Pemilu 2014 tersebut mengindikasikan
proporsi keterwakilan perempuan dalam parlemen yang semakin menurun.
Komposisi anggota DPRD DIY hasil Pemilu Legislatif 2014 berdasarkan partai politik
pengusungnya didominasi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). PDIP berhasil
menempatkan wakilnya sebanyak 14 orang (25 persen anggota) atau meningkat 3 orang
dibandingkan hasil Pemilu 2009. Berikutnya adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai
Golkar yang menempatkan wakil masing-masing sebanyak 8 anggota, diikuti oleh Partai
Gerindra dan Partai keadilan Sejahtera (PKS) menempatkan wakil masing-masing sebanyak 7
dan 6 anggota. Sebaliknya, perolehan kursi Partai Demokrat mengalami kemerosotan tajam
dari 10 kursi menjadi 2 kursi.

ht

Gambar 2.1.
Komposisi Anggota DPRD DIY Periode 2009-2014 dan 2014-2019 menurut Partai Politik

Sumber : Sekretariat DPRD DIY

Tahukah Anda ?
Keterwakilan perempuan dalam parlemen DIY Hasil Pemilu legislatif
2014 semakin berkurang dibanding dengan Pemilu 2009

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Struktur birokrasi kepegawaian di lingkungan pemerintahan DIY didominasi oleh pegawai


yang berpendidikan sarjana dan mayoritas memiliki kepangkatan pada golongan III


Sebagai mitra kerja kepala daerah, DPRD memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi
yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah (Perda), fungsi pengawasan untuk
mengontrol pelaksanaan perda, peraturan lain serta kebijakan pemerintah daerah, dan fungsi
anggaran untuk menyusun dan mengesahkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD) bersama pemerintah daerah. Untuk mendukung fungsi tersebut, struktur
DPRD DIY dibagi menjadi empat komisi yang terdiri dari Komisi A (pemerintahan), Komisi
B (ekonomi dan keuangan), Komisi C (pembangunan) dan Komisi D (kesejahteraan rakyat)
serta alat kelengkapan dewan yang lain seperti fraksi dan pimpinan dewan. Selama tahun
2013, DPRD DIY mampu menghasilkan sebanyak 12 Perda. Jumlah ini sedikit berkurang
dibandingkan dengan tahun 2012 dan 2011 yang menghasilkan sebanyak 14 dan 16 Perda.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PEGAWAI NEGERI SIPIL


Komposisi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di lingkungan pemerintahan DIY
terdiri dari pegawai daerah dan pegawai pusat. Pegawai daerah mencakup semua PNS
yang sistem penggajiannya dicover oleh dana APBD, sementara pegawai pusat mencakup
semua PNS yang bekerja di institusi vertikal (perwakilan pemerintah pusat) dan sistem
penggajiannya dicover oleh dana APBN. Jumlah PNS daerah di DIY pada tahun 2013 tercatat
sebanyak 56.369 orang yang terdiri dari 28.118 pegawai laki laki (49,88 persen) dan 28.251
pegawai perempuan (50,12 persen). Fakta ini menggambarkan telah tercapainya kesetaraan
gender dari sisi komposisi dalam lingkungan birokrasi pemerintahan DIY.
Berdasarkan golongan kepangkatan, mayoritas PNS daerah DIY merupakan pegawai
golongan III dengan proporsi 43,09 persen. Komposisi selanjutnya adalah pegawai golongan
IV dan II dengan proporsi masing-masing sebesar 37,86 persen dan 16,16 persen. Jumlah
pegawai pada golongan I juga masih cukup banyak dengan porsi sebesar 2,88 persen. Dari
sisi pendidikan tertinggi yang ditamatkan, struktur PNS daerah didominasi oleh mereka
yang berpendidikan Sarjana/S1 (41,36 %). Komposisi berikutnya adalah pegawai yang
berpendidikan SLTA sederajat dan Diploma I/II/III/IV dengan porsi masing-masing sebesar
25,33 persen dan 25,69 persen. Sementara, jumlah pegawai yang berpendidikan SLTP ke
bawah memiliki proporsi sebesar 4,5 persen. Berdasarkan daerah penempatannya, maka
proporsi pegawai yang terbanyak ditempatkan di Pemda kabupaten Sleman dan Bantul
dengan jumlah masing-masing sebesar 20,93 persen dan 19,84 persen.
Gambar 2.1.
Komposisi PNS Daerah di DIY Berdasarkan Golongan Kepangkatan dan Pendidikan

Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Regional I Jawa Tengah dan DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Sumber utama pendapatan daerah dalam RAPBD DIY 2013 berasal dari Pendapatan Asli
Daerah khususnya pajak daerah dan dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum

://

Tabel 2.2.

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

KEUANGAN DAERAH
Penerimaan daerah untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang
dikelola oleh pemerintah DIY berasal dari beberapa sumber, yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD),
dana perimbangan (dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana
Alokasi Khusus/DAK), serta penerimaan lain yang sah. Sampai saat ini, komponen PAD yang
bersumber dari pajak daerah dan komponen DAU menjadi sumber penerimaan terpenting bagi
pendapatan daerah DIY.
Berdasarkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DIY 2013, jumlah
nominal pendapatan yang direncanakan mencapai Rp 2,287 triliun dan meningkat sebesar
18,16 persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp1,94 triliun. Selama empat
tahun terakhir, nilai nominal pendapatan daerah yang direncanakan semakin meningkat secara
signifikan terutama pasca disahkannya Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
DIY yang salah satunya memuat tentang alokasi dana keistimewaan DIY yang mulai direalisasikan
pada tahun 2012. Dalam RAPBD 2013, semua sumber pendapatan yang baik PAD, dana
perimbangan maupun penerimaan lainnya yang sah mengalami peningkatan. Sumber utama
pendapatan dalam RAPBD 2013 berasal dari komponen PAD dengan proporsi sebesar 44,34
persen, sementara komponen dana perimbangan dan penerimaan lainnya yang sah masingmasing memiliki proporsi sebesar 42,03 persen dan 13,62 persen. Kondisi ini berbeda dengan
RAPBD tahun 2012 dimana komponen dana perimbangan memiliki proporsi yang lebih besar
dibandingkan dengan komponen PAD.
Secara nominal, nilai PAD dalam RAPBD 2013 mencapai Rp 1,01 triliun dengan sumber
penerimaan terbesar berasal dari pajak daerah dengan nilai nominal sebesar Rp 885,22 miliar.
Nilai penerimaan pajak daerah dalam RAPBD 2013 meningkat sebesar Rp 196 miliar dari tahun
sebelumnya dengan sumber utama dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan
bermotor. Komponen terbesar dana perimbangan berasal dari DAU dengan nilai Rp 828 milyar
atau 36,22 persen, sementara sumber utama penerimaan lainnya yang sah berasal dari dana
penyesuaian dan otonomi khusus atau dana keistimewaan dengan nilai Rp 302,76 milyar.

ht

tp

Rencana Anggaran Pendapatan Daerah DIY menurut Sumber Penerimaan, 2010-2013 (Rp Milyar)

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Cat : Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Struktur belanja daerah dalam RAPBD DIY 2013 didominasi oleh belanja pegawai,
sementara dari fungsinya sebagian besar digunakan untuk pelayanan umum

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Pengeluaran/belanja daerah dalam RAPBD DIY 2013 direncanakan sebesar Rp 2,45


triliun. Secara nominal, nilai tersebut meningkat sebesar Rp 330,78 miliar atau naik 15,57
persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp 2,12 triliun. Komposisi pengeluaran
daerah untuk belanja langsung sebesar Rp 1,03 triliun (41,85 %) atau meningkat 19,83 persen
dibandingkan dengan rencana pengeluaran 2012 yang sebesar Rp 587,26 milyar. Belanja
langsung yang terbesar digunakan untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal
dengan nilai masing-masing sebesar Rp 609,74 miliar (24,84 %) dan Rp 292,51 miliar (11,92
%). Sementara, jumlah belanja tidak langsung direncanakan sebesar Rp 1,43 triliun (58,15
%) atau meningkat 12,68 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Komposisi belanja tidak
langsung yang terbesar digunakan untuk belanja pegawai dengan nilai Rp 503,34 miliar
(20,50 persen) dan diikuti oleh belanja hibah dan bagi hasil dengan proporsi masing-masing
sebesar 19,04 persen dan 306,12 persen. Nilai belanja pegawai secara nominal meningkat
namun proporsinya justru menurun, sementara nilai nominal maupun proporsi dari belanja
hibah, bagi hasil, serta belanja modal justru semakin meningkat. Perubahan komposisi
dalam belanja daerah ini menunjukkan pengelolaan keuangan yang semakin berorientasi
pada pelayangan publik. Secara umum, RAPBD DIY tahun 2013 mengalami defisit sebesar
Rp 168,06 milyar.

yo
gy

ak

Berdasarkan fungsinya, pengeluaran terbesar dalam RAPBD 2013 digunakan untuk


pelayanan umum dengan nilai sebesar Rp 1.318,08 miliar (53,69 %). Proporsi terbesar
selanjutnya adalah pengeluaran bidang ekonomi (12,89 %), pendidikan (10,24 %), perumahan
dan fasilitas umum (9,90 %) serta kesehatan (6,89 %). Sementara, porsi pengeluaran untuk
kegiatan pariwisata dan budaya, perlindungan sosial, ketertiban dan ketentraman, serta
lingkungan hidup berada di bawah 5 persen.

ht

Tabel 2.3.

tp

://

Tahukah Anda ?
Dengan semakin meningkatnya sumber penerimaan daerah dari sumber
pendapatan asli daerah maka derajad ketergantungan fiskal DIY
semakin menurun.

Rencana Pengeluaran/Belanja Daerah dalam RAPBD DIY, 2010-2013 (Rp Milyar)

Sumber : DIY dalam Angka 2010-2013, BPS DIY

Cat : Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Kota Yogyakarta dan Sleman menjadi daerah dengan kemandirian fiskal tertinggi, sementara
rasio belanja modal/infrastruktur dalam RAPBD kabupaten/kota di DIY masih rendah.

.g
o.

id

Struktur pendapatan dan belanja dalam RAPBD tahun 2013 kabupaten/kota di DIY
cukup bervariasi. Dari sisi pendapatan, Kabupaten Sleman menjadi daerah yang memiliki
rencana pendapatan yang tertinggi sebesar Rp 1,67 triliun dan diikuti oleh Kabupaten Bantul
dengan rencana pendapatan sebesar Rp 1,34 triliun. Sementara, Kabupaten Kulonprogo
menjadi daerah yang memiliki rencana pendapatan yang terendah sebesar Rp 918,78 miliar.
Dari sisi pengeluaran atau belanja daerah juga memiliki pola yang sama. Kabupaten Sleman
menjadi daerah yang memiliki belanja yang tertinggi sebesar Rp 1,73 triliun, sementara
kabupaten Kulonprogo menjadi daerah dengan belanja terendah sebesar Rp 935,37 miliar.
Dalam RAPBD 2013, semua kabupaten/kota mengalami defisit anggaran atau memiliki nilai
belanja yang lebih besar dibandingkan dengan nilai pendapatan. Nilai defisit anggaran
yang terbesar dialami oleh Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp 93,92 miliar dan diikuti oleh
Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan defisit sebesar Rp 63,44 milyar dan Rp 63,06
milyar. Sementara, nilai defisit Kabupaten Bantul dan Kulonprogo masing-masing sebesar
Rp 17,44 milyar dan Rp 16,59 milyar.

Gambar 2.2.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

Komposisi pendapatan daerah dalam RAPBD 2013 kabupaten/kota DIY berdasarkan


sumbernya didominasi oleh komponen dana perimbangan terutama Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan proporsi antara 59,41-74,96 persen. Proporsi
dana perimbangan yang tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Gunungkidul, sementara yang
terendah dimiliki oleh Kabupaten Sleman. Semakin tinggi proporsi dana perimbangan dalam
struktur APBD kabupaten/kota menunjukkan derajat ketergantungan yang semakin besar
terhadap dana transfer dari pemerintah pusar sekaligus menunjukkan derajat kemandirian
yang semakin rendah. Sementara, komponen pendapatan asli daerah memberi andil antara
5,69-28,45 persen. Kota Yogyakarta menjadi daerah yang memiliki rasio PAD terhadap total
penerimaan yang terbesar, sehingga menjadi daerah yang kemandirian fiskalnya paling
baik. Sementara, Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo memiliki rasio PAD terhadap
total penerimaan yang terendah atau derajat ketergantungan fiskal terhadap transfer dana
dari pemerintah pusat tinggi. Dari sisi belanja, komponen yang terbesar digunakan untuk
belanja pegawai. Komponen pengeluaran untuk belanja barang dan jasa berkisar antara 1229 persen, sementara pengeluaran untuk belanja modal berkisar antara 10-15 persen.

Rencana Pendapatan Daerah menurut Sumber


dan Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Rp Milyar)

Gambar 2.3.
Rencana Pendapatan dan Belanja Daerah menurut
Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Rp Milyar)

Sumber : DIY dalam Angka 2013, BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

PENDUDUK
Laju pertumbuhan penduduk per tahun di DIY pada periode 2000-2010 kembali meningkat di
atas 1 persen, setelah dua dekade sebelumnya yang selalu di bawah 1 persen

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

JUMLAH PENDUDUK DAN PERTUMBUHANNYA


Hasil Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk yang tinggal di wilayah
DIY mencapai 3.457.491 jiwa, dengan komposisi 49,43 persen laki-laki dan 50,57 persen
perempuan yang tersebar di lima kabupaten/kota. Jumlah penduduk DIY semakin
bertambah setiap tahun dengan laju pertumbuhan yang berfluktuasi, namun masih cukup
terkendali. Hasil Sensus Penduduk tahun 1971 mencatat jumlah penduduk DIY sebanyak
2,49 juta jiwa dan terus meningkat menjadi 3,46 juta jiwa di tahun 2010. Laju pertumbuhan
penduduk selama periode 1971-1980 tercatat sebesar 1,10 persen per tahun. Laju ini
melambat menjadi 0,58 persen per tahun di periode 1980-1990 dan 0,72 persen per tahun di
periode 1990-2000 sebagai dampak keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan program
Keluarga Berencana (KB) maupun program perbaikan taraf kesehatan masyarakat lainnya.
Peningkatan taraf kesehatan masyarakat ditandai oleh membaiknya kesehatan ibu, anak dan
balita sehingga terjadi penurunan angka kematian bayi secara signifikan dan berpengaruh
terhadap menurunnya fertilitas (tingkat kelahiran). Meskipun demikian, dalam sepuluh
tahun terakhir (2000-2010) laju pertumbuhan penduduk kembali meningkat menjadi 1,04
persen per tahun. Fenomena ini berkaitan dengan semakin menurunnya angka kematian
dan meningkatnya angka harapan hidup serta semakin bertambahnya migrasi masuk ke DIY
dengan tujuan untuk bersekolah maupun bekerja.
Laju pertumbuhan penduduk yang tercepat selama empat dekade terakhir terjadi di
Kabupaten Sleman dan Bantul. Selama periode 2000-2010 kedua daerah ini memiliki laju
pertumbuhan penduduk per tahun masing-masing sebesar 1,92 persen dan 1,55 persen.
Sebaliknya, Kota Yogyakarta justru mengalami pertumbuhan penduduk negatif sebesar
0,21 persen. Sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan, Kota Yogyakarta pada tahun
2010 dihuni oleh 388.627 jiwa penduduk. Selama beberapa tahun terakhir, wilayah Kota
Yogyakarta sudah semakin jenuh untuk menampung penduduk akibat meningkatnya
aktivitas perekonomian, pemerintahan dan sosial. Hal ini membawa konsekuensi terhadap
perkembangan kawasan pemukiman dan peningkatan jumlah penduduk di wilayah
penyangganya, terutama di Kabupaten Sleman dan Bantul.

ht

Tahukah Anda ?
Laju pertumbuhan penduduk DIY per tahun pada periode 2000-2010 sebesar 1,04 persen, sehingga
tahun 2020 jumlah penduduk diproyeksikan mencapai 3,88 juta jiwa.
Tabel 3.1.
Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2013
Kabupaten/
Kota

Jumlah Penduduk (jiwa)

Laju Pertumbuhan per Tahun (%)

1971

1980

1990

2000

Kulonprogo

370.629

380.685

372.309

370.944

388.869

0,29

-0,22

-0,04

0,48

Bantul

568.618

634.442

696.905

781.013

911.503

1,21

0,94

1,19

1,57

Gunungkidul

620.085

659.486

651.004

670.433

675.382

0,68

-0,13

0,3

0,07

Sleman

588.304

677.323

780.334

901.377 1.093.110

1,56

1,43

1,5

1,96

Yogyakarta

340.908

398.192

412.059

396.711

388.627

1,72

0,34

-0,39

-0,21

2.488.544 2.750.128 2.912.611 3.120.478 3.457.491

1,10

0,58

0,72

1,04

DIY

2010 1971-1980 1980-1990 1990-2000 2000-2010

Sumber : Data Sensus Penduduk, BPS DIY

10

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Kepadatan penduduk DIY di tahun 2010 mencapai 1.085 jiwa/km2 dan ssebaran penduduk
yang terbesar terdapat di Kabupaten Sleman dan Bantul

PERSEBARAN PENDUDUK DAN KEPADATANNYA


Distribusi penduduk DIY selama empat dekade terakhir terpusat di Kabupaten Sleman,
Bantul dan Gunungkidul. Kabupaten Sleman dan Bantul menjadi dua daerah yang memiliki
distribusi penduduk terbesar dan memiliki pola yang cenderung meningkat dari waktu
ke waktu. Jumlah penduduk di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul juga semakin
meningkat dalam empat dekade terakhir, namun laju pertumbuhannya relatif lebih lambat
dibandingkan dengan kedua daerah sebelumnya sehingga andil distribusi penduduknya
semakin menurun. Sementara, Kota Yogyakarta menjadi potret wilayah yang populasi
penduduknya sudah jenuh dan semakin berkurang akibat terbatasnya wilayah administasi
yang digunakan untuk pemukiman dan tempat tinggal.
Kepadatan penduduk DIY pada tahun 2010 sebesar 1.085 jiwa per km2, artinya setiap
1 km wilayah DIY dihuni oleh 1.085 jiwa penduduk. Kepadatan penduduk ini berada pada
urutan ketiga secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, yang masing-masing
memiliki kepadatan penduduk 14.469 jiwa per km2 dan 1.217 jiwa per km2. Dibandingkan
dengan kepadatan penduduk pada tahun 2000 yang mencapai 979 jiwa per km2, kepadatan
penduduk pada tahun 2010 meningkat cukup tajam dengan selisih 106 jiwa per km2. Hal
ini berarti, selama rentang sepuluh tahun jumlah penduduk di setiap 1 km2 wilayah DIY
bertambah sebanyak 106 jiwa.

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

ht

tp

://

yo
gy

ak

Berdasarkan wilayah, kepadatan penduduk yang tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta.


Setiap 1 km2 wilayah Kota Yogyakarta dihuni oleh 11.958 jiwa penduduk. Tingginya kepadatan
penduduk di Kota Yogyakarta berkaitan dengan statusnya sebagai ibukota pemerintahan
provinsi maupun sebagai pusat perekonomian dan pendidikan yang menuntut ketersediaan
sarana dan infrastruktur sosial ekonomi yang lebih memadai. Faktor ini menjadi daya tarik
bagi sebagian penduduk dari luar daerah untuk bermigrasi dan melakukan aktivitas ekonomi
maupun aktivitas pendidikan di Kota Yogyakarta. Di sisi lain, luas wilayah administrasi Kota
Yogyakarta relatif terbatas untuk menampung kelebihan populasi penduduk sehingga
banyak di antara mereka yang tinggal di daerah pinggiran perkotaan yang menjadi
penyangga perkembangan kota Yogyakarta.

Tabel 3.2.

Tabel 3.3.

Distribusi Penduduk DIY menurut Kabupaten/ Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk DIY menurut
Kota Hasil SP Tahun 1971-2010 (Persen)
Kabupaten/Kota Hasil SP 1971-2010 (jiwa/km2)
Kab/Kota

Tahun Sensus Penduduk

Kab/Kota

Kepadatan Penduduk (Jiwa per Km2 )

Luas Wilayah
Km2

1971

1980

1990

2000

2010

11,25 Kulonprogo

586

18,4

632

649

635

633

663

25,03

26,36 Bantul

507

15,91

1.122

1.252

1.375

1.541

1.798

22,35

21,48

19,53 Gunungkidul

1.486

46,63

418

444

438

451

455

24,63

26,79

28,89

31,62 Sleman

575

18,04

1.024

1.178

1.358

1.568

1.902

13,7

14,48

14,15

12,71

11,24 Yogyakarta

100

100

100

100

1971

1980

1990

2000

2010

Kulonprogo

14,89

13,84

12,78

11,89

Bantul

22,85

23,07

23,93

Gunungkidul

24,92

23,98

Sleman

23,64

Yogyakarta
Jumlah

100

DIY

32
3.186

1,02 10.490 12.252 12.679 12.206 11.958


100

781

863

914

979

1.085

Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

11

Komposisi penduduk DIY menurut usia hasil Sensus Penduduk 2010 didominasi oleh
penduduk berusia muda (usia produktif)


Kabupaten Sleman dan Bantul menjadi dua daerah yang memiliki peningkatan
kepadatan penduduk tercepat dengan dengan tingkat kepadatan masing-masing sebesar
1.902 jiwa/km2 dan 1.798 jiwa/km2 pada tahun 2010. Sementara itu, Gunungkidul menjadi
daerah dengan kepadatan penduduk terendah yakni 445 jiwa/km2. Rendahnya kepadatan
penduduk di Gunungkidul berkaitan dengan karakteristik wilayah yang berupa pegunungan
kering dengan dukungan infrastruktur yang kurang memadai untuk dijadikan sebagai tempat
tinggal maupun tempat untuk melakukan aktivitas ekonomi, sehingga ada kecenderungan
kaum terdidik dari daerah ini yang justru bermigrasi keluar dengan motif mencari pekerjaan
dan penghidupan yang lebih layak.

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT USIA DAN JENIS KELAMIN



Komposisi penduduk DIY menurut kelompok usia berdasarkan hasil SP 2000 dan SP
2010 masih didominasi oleh kelompok penduduk berusia muda (15-34 tahun). Namun
demikian, komposisi penduduk selama kedua periode menunjukkan pergeseran secara
signifikan. Populasi penduduk berusia muda (kelompok usia 15-24 tahun) pada piramida
penduduk tahun 2000 terlihat cukup dominan, namun pada piramida penduduk tahun 2010
populasi penduduk yang dominan terdapat pada kelompok usia 15-44 tahun. Penduduk
pada kelompok umur rendah (0-9 tahun) di piramida penduduk tahun 2010 terlihat
meningkat, sementara pada kelompok usia produktif (25-54) terjadi penambahan populasi
yang cukup signifikan. Fenomena ini menunjukkan perkembangan kelompok penduduk
usia muda yang cukup progresif dan mendorong peningkatan jumlah angkatan kerja. Hal ini
menjadi sebuah potensi manakala penduduk yang mulai masuk pasar kerja memiliki keahlian
yang mumpuni dan didukung oleh tersedianya kesempatan kerja yang luas. Namun, jika
kesempatan kerja yang tersedia terbatas fenomena peningkatan penduduk berusia ini perlu
diantisipasi agar tidak berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran. Secara umum
juga terjadi peningkatan populasi penduduk berusia tua (>64 tahun) dan hal ini menandakan
adanya perbaikan kualitas kesehatan yang mendorong meningkatnya usia harapan hidup
penduduk.

ht

Gambar 3.1.
Piramida Penduduk DIY Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan 2010 (Ribu Jiwa)
SP 2000

SP 2010

Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY

12

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Rasio jenis kelamin penduduk DIY selama dua dekade terakhir didominasi oleh penduduk
perempuan, sementara rasio beban ketergantungannya berada pada level 45,9 persen


Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk laki-laki di DIY tercatat
sebanyak 1.708.910 jiwa dan perempuan 1.748.581 jiwa, sehingga nilai seks rasionya sebesar
97,73. Artinya, terdapat 98 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan
atau jumlah penduduk perempuan 2,27 persen lebih banyak dari penduduk laki-laki.
Dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk tahun 2000, seks rasio tahun 2010 mengalami
penurunan dari 98,3 menjadi 97,73. Seks rasio di hampir semua kabupaten/kota memiliki
nilai kurang dari 100, artinya jumlah penduduk perempuan lebih dominan dibandingkan
dengan penduduk laki-laki. Namun demikian, Kabupaten Sleman justru memiliki seks rasio
lebih dari 100 yang berarti jumlah penduduk laki-lakinya lebih banyak dari perempuan.
Hampir semua kabupaten/kota juga mengalami penurunan seks rasio, kecuali Bantul yang
meningkat dari 99 persen pada tahun 2000 menjadi 99,45 persen pada tahun 2010.

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Seks rasio berdasarkan kelompok umur menunjukkan pola yang semakin menurun
seiring dengan meningkatnya kelompok umur. Nilai seks rasio penduduk DIY mulai dari
lahir sampai umur 29 tahun berada di atas 100, artinya jumlah penduduk laki-laki pada usia
tersebut lebih dominan dari perempuan. Mulai usia 30 tahun, jumlah penduduk perempuan
cenderung lebih dominan dari laki-laki yang ditunjukkan oleh nilai sex rasio yang kurang dari
100. Namun, pada kelompok umur 55-59 nilai sex rasio berada di atas 100. Pada kelompok
umur 60 tahun ke atas, jumlah penduduk perempuan jauh lebih dominan. Fenomena ini
terjadi karena angka harapan hidup perempuan yang relatif lebih tinggi dari laki-laki yang
disebabkan oleh kecenderungan penduduk laki-laki untuk melakukan pekerjaan dan
aktivitas yang sifatnya lebih berat, kasar dan memiliki resiko lebih tinggi.

Tabel 3.4.

ht

tp

://

yo
gy

ak

Rasio beban ketergantungan (Dependency Ratio) dihitung dari perbandingan antara


banyaknya penduduk yang belum/tidak produktif secara ekonomi (usia dibawah 15 tahun
dan 65 tahun ke atas) dengan banyaknya penduduk yang berusia produktif (usia 15-64
tahun). Rasio ketergantungan penduduk DIY pada tahun 2010 tercatat sebesar 45,9 persen.
Secara kasar, hal ini berarti setiap 100 penduduk produktif menanggung sekitar 46 orang
yang belum produktif dan sudah tidak produktif. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan tahun 2000 yang sebesar 44,7 persen. Semakin tinggi rasio ketergantungan
menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif.
Gambar 3.2.
Sex Ratio Penduduk DIY menurut Kabupaten/ Sex Ratio Penduduk DIY menurut Kelompok
Kota Hasil SP 2000 dan 2010
Umur Hasil SP 2010

Sumber : Profil Kependudukan DIY Hasil SP 2010, BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

13

KETENAGAKERJAAN
Terbatasnya penciptaan kesempatan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah
angkatan kerja menyebabkan terjadinya pengangguran

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi yang memiliki peran sentral dalam
menggerakkan aktivitas perekonomian. Sebagai faktor produksi, tenaga kerja merupakan
unsur manusia yang memiliki tingkat keahlian dan perilaku yang berbeda-beda. Setiap
pekerja akan berharap mendapat balas jasa yang memadai sesuai pekerjaan yang telah
dilakukannya. Namun, sistem dan struktur upah dalam pasar tenaga kerja ditentukan
berdasarkan banyak pertimbangan seperti besarnya kebutuhan hidup minimum di wilayah
yang bersangkutan maupun variabel individu dari angkatan kerja seperti pendidikan yang
ditamatkan, masa kerja, jenis dan resiko pekerjaan, produktivitas, lokasi kerja, pengalaman
kerja, usia, posisi/jabatan yang bersangkutan di tempat kerja maupun kemampuan
perusahaan dalam membayar upah.
Pertumbuhan jumlah angkatan kerja setiap tahun sebanding dengan pertumbuhan
penduduk, sementara kesempatan kerja yang tersedia relatif terbatas. Terbatasnya
kesempatan kerja yang tersedia ini menyebabkan tidak semua angkatan kerja dapat terserap
oleh pasar kerja atau terjadi ketidakseimbangan antara supply dan demand tenaga kerja,
sehingga terjadi pengangguran. Penyebab lain dari pengangguran lebih bersifat struktural
seperti kebijakan penetapan upah minimum maupun bersifat friksional akibat adanya
jeda atau lama waktu menunggu kesempatan kerja yang sesuai dengan pendidikan dan
keterampilan yang dimiliki. Beberapa aspek ketenagakerjaan yang dikaji dalam sub bab ini
menyangkut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
serta karakteristik penduduk bekerja.
Konsep ketenagakerjaan yang digunakan oleh BPS merujuk pada rekomendasi dari
International Labor Organization (ILO) yang membagi penduduk berusia produktif (15
tahun ke atas) berdasarkan aktivitas utamanya menjadi dua kelompok yakni angkatan
kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari dua bagian yakni bekerja dan
pengangguran, sementara bukan angkatan kerja mencakup bersekolah, mengurus rumah
tangga dan lainnya. Komposisi penduduk berusia kerja hasil Sakernas di DIY dalam beberapa
tahun terakhir disajikan dalam Tabel 3.4. Jumlah penduduk berusia kerja meningkat dari 2,70
juta jiwa di bulan Agustus 2010 menjadi 2,83 juta jiwa di bulan Februari 2014.

ht

Tabel 4.1.

Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kegiatan Utama di DIY, 2010-2013


Kegiatan
(1)
Angkatan Kerja
Bekerja
Pengangguran

2011

2010

2012

2013

2014

Agustus

Februari

Agustus

Februari

Agustus

Februari

Agustus

Februari

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(8)

1.882.296 1.991.350 1.933.917 1.970.200 1.988.539 1.958.084 1.949.243 2.032.896


1.775.148 1.881.310 1.850.436 1.892.303 1.911.720 1.885.040 1.886.071 1.988.912
107.148

110.040

83.481

77.897

76.819

73.044

63.172

43.984

815.838

739.052

813.549

793.422

791.920

838.726

863.845

796.887

Sekolah

279.420

262.569

269.226

324.537

280.427

306.151

201.760

349.639

Mengurus Rumah Tangga

437.630

365.924

433.602

360.161

404.800

466.843

479.109

352.183

98.788

110.559

110.721

108.724

106.693

65.732

182.976

95.065

Bukan Angkatan Kerja

Lainnya
Jumlah

2.698.134 2.730.402 2.747.466 2.763.622 2.780.459 2.796.810 2.813.088 2.829.783

Sumber : Sakernas, BPS DIY

14

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Tingkat partisipasi angkatan kerja di DIY selama sepuluh tahun terakhir berada pada
kisaran 68-73 persen dan ada kecenderungan partisipasi angkatan kerja laki-laki lebih tinggi
dari perempuan dan partisipasi angkatan kerja di perdesaan lebih tinggi dari perkotaan.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA (TPAK)


Perkembangan jumlah angkatan kerja di DIY semakin bertambah seiring dengan
pertumbuhan penduduk. Selama periode Februari 2005 sampai Februari 2014, TPAK di DIY
terlihat berfluktuasi dengan kisaran antara 68 sampai 73 persen. Angka ini menggambarkan
besarnya proporsi atau bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat aktif dalam
kegiatan perekonomian baik yang berstatus bekerja maupun sebagai pencari kerja atau
penganggur. Secara umum, terdapat pola TPAK di bulan Februari yang cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan TPAK bulan Agustus. Fenomena ini berkaitan dengan periode
musiman puncak panen komoditas tanaman padi yang terjadi selama triwulan pertama
di setiap tahun. Periode panen ini mendorong meningkatnya TPAK di daerah perdesaan,
terutama pada sektor pertanian tanaman pangan yang secara tidak langsung juga
mendorong peningkatan TKAK secara umum. Pada bulan Februari 2014 TPAK DIY tercatat
sebesar 71,84 persen atau meningkat 2,55 poin dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Secara umum, pola perkembangan TPAK di DIY menurut jenis kelamin menunjukkan
TPAK penduduk laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan TPAK penduduk perempuan.
TPAK lak-laki berfluktuasi pada kisaran 77-82 persen, sementara TPAK perempuan berada
pada kisaran 57-67 persen. Fenomena ini mengindikasikan keterlibatan penduduk laki-laki
dalam aktivitas perekonomian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini
terjadi karena sebagian besar aktivitas mengurus rumah tangga dilakukan oleh perempuan
serta adanya pandangan bahwa kewajiban mencari nafkah adalah tanggung jawab laki-laki
sehingga lebih sedikit perempuan yang masuk dalam angkatan kerja.
Pola perkembangan TPAK menurut wilayah menunjukkan kecenderungan TPAK daerah
perdesaan yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan. TPAK daerah
perdesaan memiliki pola yang berfluktuasi antara 73-82 persen, sementara TPAK daerah
perkotaan berfluktuasi pada kisaran 62-72 persen. Fenomena ini berkaitan dengan adanya
kecenderungan penduduk perkotaan yang lebih memilih untuk menyelesaikan pendidikan
sampai jenjang yang setinggi-tingginya sebelum memasuki pasar tenaga kerja. Sementara,
penduduk perdesaan memiliki lama bersekolah yang lebih singkat dan merasa sudah cukup
untuk menyelesaikan jenjang pendidikan dasar kemudian masuk pasar tenaga kerja untuk
membantu ekonomi keluarga meski statusnya hanya sebagai pekerja keluarga atau pekerja
tak dibayar dan bekerja di sektor informal dengan jumlah jam kerja yang relatif pendek.
Gambar 4.1.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) DIY menurut Jenis Kelamin dan Wilayah, 2005-2014 (Persen)
90

90
85

80,26

80
75 71,95

79,00

70,30

81,25

71,69

70

81,33

79,82

71,70

69,95

81,17

80,18

72,93

71,41

80,84

71,29

85
79,72

70,01

77,70
71,84

81,29

75

60 63,87

61,95

62,64

62,06

66,24

65,08
62,65

62,17

60,15

55

60,73

65

77,98

71,95

69,83

77,99

77,04

71,69
70,30

70

65

79,95

78,26

80

68,56 69,95

75,78

70,51

Feb'05

Feb'06

71,84
69,29

71,50
68,72

67,44
64,96

77,39

75,85

72,93
71,29 71,52
70,39
70,01

71,41
71,70
70,23
69,76

69,20

65,67

76,42

67,01

66,09

65,21

67,09

69,06

60
55

50

45
Feb'05

Feb'06

Feb'07

Feb'08

P
Feb'09

L+P
Feb'10

Feb'11

Feb'12

Feb'13

Feb'14

K+D

50
Feb'07

Feb'08

Feb'09

Feb'10

Feb'11

Feb'12

Feb'13

Feb'14

Sumber : Sakernas, BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

15

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di DIY selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan
pola yang semakin menurun dan terdapat kecenderungan TPT di perkotaan lebih tinggi dari
perdesaan, sementara TPT menurut jenis kelamin lebih berfluktuasi

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT)


Bagian dari angkatan kerja yang tidak terserap oleh pasar tenaga kerja termasuk dalam
kategori pengangguran terbuka (TPT). TPT DIY selama periode Februari 2005-Februari 2014
memiliki pola yang berfluktuasi pada kisaran 2,16-7,59 persen dan memiliki kecenderungan
yang semakin menurun. Pada bulan Februari 2005, TPT DIY tercatat sebesar 5,05 persen dan
meningkat tajam hingga mencapai 7,59 persen di bulan November sebagai dampak dari
keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM di tahun 2005 yang memberi tekanan
negatif terhadap kondisi perekonomian DIY secara makro. Pada periode berikutnya, secara
bertahap angka TPT di DIY semakin menurun hingga mencapai level 2,16 persen di bulan
Februari 2014.
Perkembangan TPT menurut wilayah perkotaan dan perdesaan menunjukkan pola
yang hampir sama dan terdapat kecenderungan TPT di daerah perkotaan selalu lebih tinggi
dibandingkan TPT di daerah perdesaan. Meskipun demikian, gap atau selisih antara kedua
wilayah menunjukkan pola yang semakin mengecil. Secara kasar, fenomena ini menunjukkan
bahwa penduduk berusia kerja di daerah perdesaan yang lebih mudah terserap dalam pasar
kerja karena pada umumnya mereka akan menerima jenis pekerjaan apa saja termasuk di
sektor informal maupun bekerja dengan status sebagai pekerja keluarga atau pekerja tak
dibayar, meskipun pasar tenaga kerja di daerah perdesaan relatif terbatas dengan struktur
homogen dan dominan pada sektor pertanian. Sebaliknya, penduduk di daerah perkotaan
lebih selektif dalam memilih lapangan usaha dan jenis pekerjaan yang sesuai dengan
pendidikan maupun upah. Lamanya waktu dalam mencocokkan jenis pekerjaan inilah
yang mendorong TPT daerah perkotaan menjadi lebih tinggi. Level TPT yang tertinggi di
daerah perkotaan terjadi pada bulan Agustus 2005 dengan nilai TPT mencapai 10,37 persen,
sementara level TPT tertinggi di daerah perdesaan terjadi di bulan Februari 2011 dengan
nilai sebesar 4,90 persen. Pada bulan Februari 2014, TPT di daerah perkotaan dan perdesaan
mengalami penurunan dengan nilai masing-masing mencapai 2,68 persen dan 1,24 persen.
Perbandingan TPT menurut jenis kelamin tampak lebih dinamis dan polanya juga lebih
berfluktuasi, meski secara umum keduanya terlihat memiliki kecenderungan yang semakin
menurun. Mulai periode Februari 2005 sampai Agustus 2008 TPT penduduk perempuan
tercatat lebih tinggi, namun di periode Februari 2009-Februari 2011 TPY penduduk laki-laki
tercatat lebih tinggi. Pada kondisi Februari 2014, TPT laki-laki tercatat sebesar 2,67 persen
dan TPT perempuan tercatat sebesar 1,62 persen.
Gambar 4.2.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY menurut Wilayah dan Jenis Kelamin, 2005-2014 (Persen)
10

11
10

9
8,36

9
8

8,42

7,62

7,06

7
6

8,41

6,25

6,08

6,04

7,42

6,00

7
5,86
5,53

6,02

5,05

5
4

3,64

3,11

2,63

Feb'06

Feb'07

4,45
3,73

4,21

4
2,68
2,16

3,03

0
Feb'05

3,95

2,36

16

4,90

4,03

6
4,84

Feb'08

D
Feb'09

2,47

Feb'11

1,24

Feb'12

2
1

K+D
Feb'10

Feb'13

Feb'14

L+P

0
Feb'05 Feb'06 Feb'07 Feb'08 Feb'09 Feb'10 Feb'11 Feb'12 Feb'13 Feb'14

Sumber : Sakernas, BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Struktur angkatan kerja di DIY menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan didominasi
oleh mereka yang berpendidikan menengah, namun komposisi yang berpendidikan kurang dari
SD juga masih cukup besar meskipun proporsinya semakin berkurang

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

STRUKTUR ANGKATAN KERJA MENURUT PENDIDIKAN


Struktur angkatan kerja di DIY berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi yang

ditamatkan menunjukkan bahwa mayoritas telah mengenyam pendidikan sampai tingkat
menengah baik SLTA umum maupun kejuruan. Pada kondisi bulan Februari 2014, komposisi
angkatan kerja yang berpendidikan SLTA mencapai 36,30 persen yang terdiri dari SLTA umum
sebesar 16,27 persen dan kejuruan 20,03 persen. Sementara, komposisi angkatan kerja yang
berpendidikan SLTP dan Diploma/Universitas masing-masing mencapai 17,54 persen dan
16,57 persen. Di sisi lain, masih terdapat komposisi angkatan kerja yang berpendidikan SD ke
bawah dalam jumlah yang cukup besar yakni mencapai 29,59 persen. Komposisi angkatan
kerja ini didominasi oleh penduduk yang tinggal di daerah perdesaan dan berjenis kelamin
perempuan. Perkembangan struktur angkatan kerja menurut pendidikan dalam beberapa
periode terakhir menunjukkan pola yang cukup dinamis. Komposisi angkatan kerja yang
berpendidikan SD ke bawah cenderung berkurang, sementara yang berpendidikan SLTP
relatif stabil dan yang berpendidikan SLTA ke atas cenderung meningkat dari waktu ke
waktu. Secara kasar, hal ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas angkatan kerja dari
sisi pendidikan.
Komposisi penduduk bekerja di DIY secara umum juga memiliki pola yang sama dengan
komposisi angkatan kerja. Mayoritas penduduk yang bekerja telah menamatkan pendidikan
pada jenjang SLTA, namun masih cukup banyak pekerja yang berpendidikan SD ke bawah.
Pola perkembangan komposisi jumlah pekerja yang berpendidikan SLTA ke atas dalam
beberapa tahun terakhir juga menunjukkan peningkatan, sementara yang berpendidikan
SD ke bawah cenderung menurun. Persoalan ketenagakerjaan yang cukup serius adalah
semakin meningkatnya komposisi penganggur atau pencari kerja yang berpendidikan tinggi
atau penganggur terdidik. Berdasarkan hasil Sakernas, komposisi jumlah penganggur pada
bulan Februari 2014 didominasi oleh mereka yang berpendidikan SLTA sederajat dengan
jumlah mencapai 55,28 persen. Sementara, jumlah penganggur yang berpendidikan
Diploma/Universitas tercatat sebanyak 26,17 persen dan sisanya adalah penganggur yang
berpendidikan SLTP ke bawah dengan jumlah 18,55 persen. Fenomena tersebur berkaitan
dengan persoalan pertumbuhan jumlah angkatan kerja baru yang berpendidikan tinggi
melebihi pertumbuhan kesempatan kerja yang tercipta serta persoalan friksional dimana
angkatan kerja baru yang berpendidikan tinggi cenderung lebih selektif dalam memilih
pekerjaan yang sesuai dengan bidang pendidikannya.
Tabel 4.2.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DIY menurut Wilayah dan Jenis Kelamin, 2005-2014 (Persen)
Pendidikan

Bekerja
Feb'12

Ags'12

Feb'13

Angkatan Kerja
Ags'13

Feb'14

Feb'12

Ags'12

Feb'13

Ags'13

Feb'14

SD ke Bawah

35,93

36,49

31,85

35,20

29,99

35,27

35,45

31,22

34,27

29,59

SLTP

17,30

17,68

17,12

17,78

17,78

17,27

17,73

16,57

17,67

17,54

SLTA Umum

14,78

16,74

16,93

15,85

16,41

15,27

16,89

16,89

16,01

16,27

SLTA Kejuruan

17,45

16,06

18,52

16,94

19,47

17,46

16,63

18,45

17,68

20,03

Diploma I/II/III

4,58

3,49

4,72

4,15

4,21

4,72

3,61

5,02

4,05

4,23

Universitas

9,96

9,53

10,86

10,08

12,14

10,01

9,69

11,85

10,30

12,34

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

Jumlah

Sumber : Sakernas, BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

17

Struktur penduduk bekerja di DIY didominasi oleh lapangan usaha pada sektor perdagangan,
hotel dan restoran serta sektor pertanian

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

STRUKTUR PENDUDUK BEKERJA MENURUT LAPANGAN USAHA


Pasar tenaga kerja di DIY didominasi oleh empat lapangan usaha, yakni sektor

perdagangan, hotel dan restoran; sektor pertanian; sektor jasa-jasa; dan sektor industri
pengolahan. Sektor pertanian yang pada awalnya paling dominan dalam menyerap angkatan
kerja secara berangsur-angsur perannya mulai tergantikan oleh sektor perdagangan, hotel
dan restoran yang mampu menyerap angkatan kerja sebesar 26,64 persen di bulan Februari
2014. Meskipun peranannya semakin menurun, sektor pertanian masih menjadi andalan
utama untuk menyerap angkatan kerja terutama di daerah perdesaan dan di bulan Februari
2014 mampu menyerap angkatan kerja sebesar 25,42 persen. Sektor jasa-jasa dan sektor
industri pengolahan masing-masing menyerap angkatan 20,75 persen dan 14,91 persen.
Kedua sektor ini mengalami peningkatan peranan yang cukup signifikan dalam menyerap
angkatan kerja. Keempat sektor yang lainnya (pertambangan, listrik, gas dan air bersih;
konstruksi; angkutan dan komunikasi; dan keuangan) memiliki peranan yang relatif rendah,
tetapi perkembangan andilnya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan status dalam pekerjaan utama, mayoritas penduduk bekerja di DIY
melakukan kegiatan kerja sebagai buruh/karyawan. Pada bulan Februari 2014, komposisi
pekerja yang berstatus sebagai buruh/karyawan mencapai 41,81 persen dan selama
beberapa tahun terakhir proporsinya cenderung meningkat. Proporsi pekerja yang statusnya
berusaha mencapai 36,21 persen, terdiri dari berusaha sendiri (12,14 %), berusaha dibantu
buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar (19,97 %) dan berusaha dibantu buruh tetap (4,1 %).
Perkembangan proporsi pekerja yang berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh tidak
tetap/tidak dibayar selama lima tahun terakhir menunjukkan pola yang semakin menurun.
Proporsi penduduk bekerja yang berstatus sebagai pekerja bebas/lepas di sektor
pertanian selama lima tahun terakhir semakin menurun hingga menjadi 1,28 persen,
sementara proporsi pekerja bebas non pertanian juga menurun hingga sebesar 3,85 persen.
Secara kasar, penurunan proporsi pekerja bebas di sektor pertanian menggambarkan kondisi
sektor pertanian yang semakin jenuh untuk menampung kelebihan angkatan kerja karena
lambatnya peningkatan produktivitas dan penyempitan lahan pertanian. Akibatnya, terjadi
perpindahan status dari pekerja bebas di sektor pertanian menjadi pekerja lepas di sektor
lainnya atau berubah menjadi pekerja tetap/buruh/pegawai atau pekerja tak dibayar.
Gambar 4.3.

Gambar 4.4.

Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut


Status Pekerjaan Utama, Februari 2014 (Persen)

Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut


Lapangan Usaha, Februari 2014 (Persen)

3,85

3,78
Berusaha Sendiri

1,28
16,85
12,14

41,81

19,97

Berusaha Dibantu Buruh


Tidak Tetap/Tidak Dibayar
Berusaha Dibantu Buruh
Tetap/Buruh Dibayar
Buruh/ Karyawan

3,37

Penggalian dan LGA

4,84

26,64

Industri Pengolahan
Konstruksi
20,75

14,91

Pekerja Bebas Pertanian


Pekerja Bebas non
Pertanian
Pekerja Tak Dibayar

4,10

Pertanian

25,42

0,29

Perdagangan, Hotel dan


Restoran
Transportasi dan
Komunikasi
Keuangan, Real Estat dan
Jasa Perusahaan

Sumber : Sakernas Februari 2014, BPS DIY

18

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Tingkat pengangguran terbuka di DIY dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun,
sementara tingkat setengah penganggurannya justru meningkat

id

Hal lain yang cukup menarik untuk dicermati adalah struktur pekerja menurut jam
kerja per minggu. Jumlah pekerja dengan jumlah jam kerja di atas jam kerja normal (35
jam per minggu) hasil Sakernas Februari 2014 tercatat sebesar 71,10 persen. Sementara,
jumlah pekerja dengan jam kerja kurang dari jam kerja normal tercatat sebesar 28,90
persen yang terdiri dari 1-14 jam sebanyak 7,36 persen dan 15-34 jam 21,54 persen. Hal
ini mengindikasikan masih cukup banyak pekerja yang termasuk dalam kategori setengah
pengangguran (under unemployment) karena memiliki jumlah jam kerja kurang dari jam
kerja normal. Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan proporsi pekerja yang
memiliki jumlah jam kerja lebih dari 35 jam per minggu semakin berkurang, sementara
proporsi yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu justru semakin meningkat. Fenomena
ini menunjukkan tingkat setengah pengangguran yang semakin meningkat meskipun TPT
menurun secara signifikan. Artinya, penduduk yang berubah status dari pengangguran
terbuka menjadi bekerja sebagian besar masih memiliki jam kerja di bawah jam kerja normal.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

UPAH MINIMUM PROVINSI (UMP)


UMP merupakan standar upah minimal yang harus dibayarkan oleh pengusaha/
perusahaan kepada karyawan/ buruh/pegawai sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup
minimum yang layak (KHL) yang berlaku di provinsi yang bersangkutan. Tujuan utama
penetapan upah minimum adalah untuk menjaga daya beli penduduk akibat adanya
kenaikan harga atau inflasi. Penentuan UMP dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah
yang terdiri dari perwakilan birokrat, akademisi dan serikat pekerja melalui survei kebutuhan
hidup minimum yang dilakukan setiap tahun. UMP DIY diambil dari nilai Upah Minimum
Kabupaten (UMK) yang terendah di DIY yakni UMK Kabupaten Gunungkidul.
UMP menjadi isu yang sensitif karena dalam realita tidak semua perusahaan mau dan
mampu melakukan pembayaran upah sesuai dengan ketentuan, sementara nilai UMP yang
ditetapkan dinilai masih jauh dari kebutuhan hidup minimum yang layak dari sisi pekerja.
Pada tahun 2013, UMP DIY secara nominal ditetapkan sebesar Rp 947 ribu per bulan dan
meningkat menjadi Rp 989 ribu di tahun 2014. Secara nominal UMP dalam beberapa tahun
terakhir menunjukkan peningkatan, meskipun dari sisi KHL cenderung berfluktuasi dan
sangat tergantung pada tingkat harga yang berlaku.
Gambar 4.5.

Gambar 4.6.
Perkembangan Nilai Upah Minumum Provinsi
(UMP) DIY , 2007-2014 (Rp 000)

Komposisi Penduduk Bekerja di DIY menurut


Jumlah Jam Kerja per Minggu, 2011-2014 (Persen)
100

1200
1-14 Jam

90
76,05

80

15-34 Jam

73,35

1000

75,73

71,66

66,27

70

0 dan 35+ Jam


893

71,10
800

60,18

60

600

50

700

746

947

989

808

586
500

40
26,06

30
20
10

18,80

18,05
5,90

7,68

7,84

21,65
6,69

400

26,49
17,68

21,54

13,32
7,36

6,59

200

0
Feb'11

Ags'11

Feb'12

Ags'12

Feb'13

Ags'13

Feb'14

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Sumber : Sakernas Februari 2011-2014, BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

19

PENDIDIKAN
Perkembangan beberapa indokator pendidikan di DIY menggambarkan kondisi pendidikan
penduduk yang semakin meningkat, baik dari sisi capaian maupun partisipasi

Salah satu tujuan negara yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Langkah yang ditempuh oleh pemerintah untuk
mewujudkannya adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur
pendidikan baik pendidikan di dalam sekolah (formal) maupun di luar sekolah (non formal).
Dalam beberapa kurun waktu terakhir, pembangunan pendidikan yang dilaksanakan telah
menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun,
yang didukung dengan pembangunan infrastruktur sekolah dan penyediaan tenaga
pendidik yang mencukupi serta pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen
dari APBN/APBD menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melaksanakan amanah UUD
1945. Beberapa indikator pendidikan yang dikaji dalam sub-Bab ini diantaranya adalah rasio
murid-guru, rasio murid-kelas, angka partisipasi sekolah menurut tingkatan, angka melek
huruf dan rata-rata lama bersekolah penduduk.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

RASIO MUDIR GURU DAN RASIO MURID KELAS


Rata-rata jumlah murid dan guru per sekolah semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya jenjang pendidikan. Pada tahun ajaran 2013/2014, setiap sekolah pada level
SD rata-rata menampung sebanyak 151 murid, level SLTP 290 murid, level SLTA 302 murid
dan level SMK 368 murid. Rasio murid-guru memiliki pola yang semakin menurun seiring
dengan meningkatnya jenjang pendidikan, sehingga rasio murid-guru pada tingkat SD
lebih tinggi dari SLTP dan rasio murid-guru di tingkat SLTP lebih tinggi dari SLTA dan SMK.
Pada tahun ajaran 2013/2014, seorang guru SD rata-rata memiliki beban untuk mengajar
sebanyak 13 murid. Sementara, pada tingkat SLTP; SLTA dan SMK masing masing memiliki
beban mengajar sebanyak 12, 9 dan 9 murid. Perkembangan rasio murid guru pada semua
tingkatan pendidikan selama delapan tahun terakhir masih berada dalam kondisi ideal dan
hal ini menjadi indikasi yang baik karena ketersediaan tenaga pendidik masih tercukupi.
Rasio murid-kelas pada tingkat SD berada pada kisaran 21 murid per kelas dan angka ini
menggambarkan daya tampung kelas pada tingkat SD yang masih lebih rendah dibanding
dengan tingkat SLTP maupun SLTA. Sementara, daya tampung pada tingkat SLTP, SLTA dan
SMK di tahun 2013/2014 berada pada kisaran 26 murid per kelas. Secara umum, rasio muridkelas pada semua tingkatan kelas masih cukup ideal, karena berada pada kisaran 20-30
murid per kelas.
Tabel 5.1.
Rata-rata Murid dan Guru per Sekolah, Rasio Murid-Guru dan Murid-Kelas menurut Tingkat Pendidikan
SD/MI (Negeri+Swasta)
Tahun
Ajaran

SLTP/MTS (Negeri+Swasta)

SLTA/MA (Negeri/Swasta)

SMK (Negeri/Swasta)

Rata-rata per Rasio Rasio Rata-rata per Rasio Rasio Rata-rata per Rasio Rasio Rata-rata per Rasio Rasio
Sekolah
Sekolah
Sekolah
Sekolah
Murid Murid
Murid Murid
Murid Murid
Murid Murid
Murid Guru Guru Kelas Murid Guru Guru Kelas Murid Guru Guru Kelas Murid Guru Guru Kelas

2013/2014

151

11

13

21

290

24

12

27

302

33

26

368

39

26

2012/2013

153

12

13

21

283

24

12

29

300

32

26

378

39

10

27

2011/2012

153

12

13

18

284

25

11

28

299

34

27

388

40

10

29

2010/2011

153

12

13

21

294

26

11

29

297

35

28

395

41

10

30

2009/2010

153

12

13

22

296

26

11

30

288

34

28

387

41

30

2008/2009

152

12

13

21

295

26

11

33

292

35

29

347

38

30

2007/2008

152

11

13

22

292

26

11

33

300

35

30

327

35

31

Sumber : Diolah dari data Dinas Pendidikan DIY

20

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Angka partisipasi sekolah pada berbagai kelompok usia mencerminkan akses dan kesempatan
penduduk berusia sekolah terhadap institusi pendidikan sesuai dengan kelompok usianya

Gambar 5.1.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH


Angka partisipasi sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan
terhadap penduduk usia sekolah yang dihitung dari rasio antara jumlah penduduk pada
kelompok usia tertentu sekolah yang bersekolah pada berbagai tingkatan dengan jumlah
penduduk pada kelompok usia yang sesuai. Indikator ini berguna untuk mengetahui
seberapa besar akses penduduk usia sekolah terhadap institusi pendidikan yang tersedia.
Semakin tinggi nilai APS maka secara kasar mencerminkan semakin besar pula penduduk usia
sekolah yang mendapat kesempatan bersekolah. APS memperhitungkan adanya perubahan
komposisi penduduk terutama pada kelompok usia muda. Selain APS, partisipasi sekolah
juga dapat diukur dengan angka partisipasi sekolah kasar (APK) dan murni (APM). Angka
partisipasi sekolah kasar (APK) mencerminkan tingkat partisipasi penduduk secara umum
pada suatu tingkat pendidikan. Sama halnya dengan APK, angka partisipasi sekolah murni
(APM) juga menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan
tertentu, namun angka APM lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok
usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut.
Berdasarkan Gambar 5.1, APS di DIY selama periode 2003-2013 memiliki pola yang
menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur, sehingga partisipasi sekolah
penduduk berusia 7-12 tahun > APS 13-15 tahun > APS 16-18 tahun>19-24 tahun. APS
penduduk berusia 7-12 tahun selama satu dekade terakhir sudah stabil mendekati 100
persen dan nilai pada tahun 2013 mencapai 99,96 persen. Fenomena ini mengindikasikan
masih terdapat 0,04 persen penduduk pada usia 7-12 tahun yang belum/tidak mendapat
kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah atau sudah putus sekolah.
APS penduduk berusia 13-15 tahun (usia SLTP) dalam beberapa tahun terakhir juga
semakin meningkat mendekati 100 persen. Pada tahun 2013, masih terdapat sekitar 3
persen penduduk berusia 13-15 tahun yang tidak/belum pernah bersekolah atau sudah
putus sekolah karena berbagai alasan, meskipun kebijakan wajib belajar sembilah tahun
telah dicanangkan sejak tahun 2004. Berbagai permasalahan seperti biaya pendidikan, jarak
ke sekolah, membantu ekonomi keluarga atau tidak mau bersekolah karena alasan tidak
mampu mengikuti menjadi alibi bagi mereka yang tidak berpartisipasi dalam sekolah.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Kelompok Penduduk Berusia
Sekolah di DIY, 2003-2013 (Persen)

100

98,67

98,77

99,05

95,10

95,02

95,16

75,96

74,86

80
73,58

60
42,29

99,35

99,29

99,62

99,65

99,69

90,55

92,62

92,91

93,42

94,02

71,82

72,46

72,26

73,06

43,38

43,47

43,30

44,03

71,18

47,00
41,21

39,71

99,46

99,77

99,96

97,59

98,32

96,71

80,22

81,50

75,85

41,73

44,32

Tahukah Anda ?
Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam
hal partisipasi sekolah
antara penduduk lakilaki dan perempuan
pada semua jenjang
pendidikan di DIY

46,73

40
7-12
20
2002

2003

2004

2005

13-15
2006

2007

16-18
2008

2009

19-24
2010

2011

2012

2013

2014

Sumber : BPS RI

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

21

Kesetaraan gender dalam hal mengakses pendidikan yang diukur dari angka partisipasi sekolah
sampai tingkat menengah semakin mendekati harapan

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

APS penduduk berusia 16-18 tahun selama satu dekade terakhir menunjukkan pola
peningkatan lebih tajam dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, meskipun dari sisi
level masih jauh di bawah kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun. Pada tahun 2003, APS
penduduk berusia 16-18 tahun tercatar sebesar 73,58 persen dan secara bertahap meningkat
menjadi 81,50 persen di tahun 2013. Hal ini berarti masih terdapat sekitar 19,50 persen
penduduk berusia 16-18 tahun yang tidak berpartisipasi atau berkesempatan mengenyam
pendidikan sekolah pada berbagai tingkatan. Tingginya angka ini lebih banyak berkaitan
dengan persoalan ekonomi seperti mahalnya biaya pendidikan pada tingkat SLTA/SMK dan
belum adanya mekanisme BOS maupun keterbatasan ekonomi keluarga yang menuntut
peran penduduk pada kelompok usia tersebut untuk berpartisipasi sebagai aset produksi
dalam membantu ekonomi rumah tangga. Adanya pandangan dalam rumah tangga yang
menganggap bahwa bersekolah sampai jenjang pendidikan dasar sembilan tahun sudah
cukup juga menjadi penyebab lain. Di samping itu, persoalan aksibilitas seperti terpusatnya
infrastruktur pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK) di pusat kecamatan atau daerah
perkotaan sehingga masih ada penduduk yang kesulitan untuk mengakses karena faktor
jarak maupun sarana transportasi menuju sekolah juga menjadi sebab masih banyaknya
penduduk pada kelompok usia ini yang tidak berpartisipasi sekolah. Sementara, level APS
penduduk berusia 19-24 tahun tercatat pada kisaran 45 persen.
Tingkat partisipasi sekolah juga dapat dikaji dari angka partisipasi murni yang dihitung
berdasarkan jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada jenjang sekolah yang sesuai
dengan usianya dibagi dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama. Indikator
ini berguna untuk melihat proporsi penduduk sekolah yang tepat waktu. Secara umum,
nilai APM lebih rendah dari APK, karena APK mencakup penduduk di luar kelompok usia
pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. APM penduduk berusia SD pada tahun
2013 mencapai 98,72 persen, artinya jumlah penduduk yang berusia SD (7-12 tahun) yang
sedang bersekolah pada tingkat SD mencapai 98,72 persen. Sisanya, sebanyak 1,28 persen
kemungkinan belum bersekolah pada tingkat SD atau sudah bersekolah pada tingkat
SLTP atau sudah putus sekolah. Selama satu dekade terakhir APM penduduk berusia SD
cenderung meningkat, meskipun terlihat ada penurunan di tahun 2011 sebagai akibat dari
perubahan metodologi dalam pengumpulan data Susenas dari tahunan menjadi triwulanan.
Gambar 5.1.
APM Penduduk DIY menurut Tingkatan, 2003-2013 (Persen)

100

80

91,98
79,06

92,55

95,46

94,38

93,53

94,32

94,38

94,76

74,94

75,31

75,34

75,55

91,98

96,03

98,72

Tahukah Anda ?

83,27
77,37

60
59,77

61,51

2003

2004

72,30

62,45
55,85

69,15

57,88

58,96

2007

2008

58,69

59,35

2009

2010

59,68

72,64

75,82

64,02

64,92

2012

2013

40
SD
20
2002

2005

2006

SLTP

SLTA
2011

2014

Partisipasi sekolah
murni penduduk usiaSD
di DIY menjadi yang
tertinggi secara nasional,
sementara pada usia
SLTA berada di
peringkat kedua setelah
Provinsi Bali

Sumber : BPS RI

22

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Masih tingginya tingkat buta huruf di DIY dipengaruhi oleh tingginya tingkat melek huruf
pada kelompok penduduk di atas 45 tahun, sementara pada kelompok usia 15-45 tahun sudah
mendekati nol persen

APM pada tingkat SLTP dan SLTA di tahun 2013 masing-masing sebesar 75,82 persen
dan 64,92 persen. Secara umum, nilai APM semakin menurun seiring dengan meningkatnya
jenjang pendidikan sehingga APM SD>SLTP>SLTA. Berdasarkan jenis kelamin, APM di semua
tingkatan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini mencerminkan telah
tercapainya kesetaraan jender dalam hal memperoleh kesempatan pendidikan sampai level
pendidikan menengah di DIY.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

ANGKA MELEK HURUF


Angka Melek Huruf (AMH) menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan
pendidikan di masa lampau yang sekaligus mencerminkan kualitas pencapaian stok
modal manusia di suatu wilayah. Indikator ini menggambarkan tingkat kecerdasan dan
kemampuan dasar penduduk suatu wilayah dalam berkomunikasi baik secara lisan (verbal)
dan secara tertulis maupun kemampuan untuk menyerap informasi dari berbagai media.
AMH diukur dari proporsi penduduk 15 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis
sebuah kalimat sederhana baik dalam huruf latin maupun huruf lainnya.
Perkembangan AMH di DIY selama periode 2003-2013 menunjukkan pola yang

semakin meningkat. Pada tahun 2003, AMH tercatat sebesar 85,75 persen dan secara
bertahap meningkat hingga menjadi 92,86 persen di tahun 2013. Hal ini berarti sebanyak 93
persen penduduk berusia 15 tahun ke atas telah memiliki kemampuan baca tulis, sementara
sisanya sebesar 7 persen masih berstatus buta huruf (tidak memiliki kemampuan baca tulis).
Berdasarkan jenis kelaminnya, secara umum AMH penduduk laki-laki selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan AMH wanita. AMH penduduk laki laki pada tahun 2012 mencapai
96 persen, sementara AMH penduduk wanita baru mencapai 86,7 persen. Secara tidak
langsung, fenomena tersebut menggambarkan adanya gap atau ketimpangan antar jender
dalam memperoleh kesempatan pendidikan pada masa lampau. Namun demikian, selama
periode satu dekade terakhir besarnya gap antara kedua kelompok sudah semakin mengecil.
Dibandingkan dengan AMH secara nasional, maka AMH di DIY selama satu dekade
terakhir selalu lebih rendah. Pada tahun 2003, AMH DIY tercatat sebesar 85,75 persen dan
AMH nasional sebesar 89,79 persen sehingga terjadi gap sebesar 4,04 persen. Sementara,
Tabel 5.2

Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas di DIY dan Nasional, 2003-2013 (Persen)

Kelompok Umur
(1)

15+

15-44

45+

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

DIY

85,75 85,78 86,72 86,43 87,78 89,45 90,18 90,84 91,49 92,02 92,86

Indonesia

89,79 90,38 90,91 91,45 91,87 92,19 92,58 92,91 92,81 93,25 94,14

DIY

97,54 97,79 97,90 97,71 98,47 99,26 99,33 99,38 99,40 99,67 99,80

Indonesia

96,12 96,70 96,91 97,11 97,04 98,05 98,20 98,29 97,70 98,00 98,39

DIY

64,93 65,49 68,72 68,66 71,24 75,13 77,19 78,05 79,51 80,44 82,18

Indonesia

74,57 75,13 77,17 78,91 81,06 80,41 81,32 81,75 82,11 82,80 84,76

Sumber : BPS RI

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

23

Pencapaian rata-rata lama sekolah penduduk berada pada level 9,38 tahun. sehingga secara
rata-rata penduduk telah menyelesaikan pendidikan setingkat lulus SLTP

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

AMH DIY pada tahun 2013 tercatat sebesar 92,86 persen dan AMH nasional sebesar 94,14
persen atau terjadi gap sebesar 1,28 persen. Fenomena tersebut menggambarkan secara
level AMH di DIY memang lebih rendah tetapi gap dari waktu ke waktu menunjukkan pola
yang semakin menurun.
Jika dilihat berdasarkan kelompok usia, maka terlihat cukup jelas penyebab tingginya
AMH di DIY adalah andil dari AMH pada kelompok penduduk tua (>45 tahun). Pada tahun
2013, AMH pada kelompok ini tercatat sebesar 82,18 persen dan jauh lebih rendah dari AMH
nasional pada kelompok umur yang sama yang sebesar 84,76 persen. Sementara, AMH
penduduk DIY pada kelompok usia15-44 tahun tercatat sebesar 99,80 persen dan lebih tinggi
dibandingkan dengan AMH nasional pada kelompok umur yang sama yang sebesar 98,39
persen. Jadi persoalan tingginya tingkat buta huruf di DIY lebit terkait dengan komposisi
penduduk berusia tua. Di satu sisi komposisi penduduk berusia tua cukup besar sebagai
hasil dari angka harapan hidup yang tinggi, sementara di sisi yang lain sebagian besar dari
penduduk tersebut berstatus belum melek huruf sebagai akibat program pendidikan yang
belum menjangkau mereka pada masa lalu. Secara alamiah, komposisi penduduk berusia
tua tersebut akan semakin berkurang sehingga nilai AMH secara umum akan semakin
meningkat.

ht

tp

://

yo
gy

ak

RATA-RATA LAMA SEKOLAH


Kualitas modal manusia juga dapat dilihat dari Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang
ditempuh oleh penduduk berusia produktif (15 tahun ke atas). Semakin tinggi RLS di
suatu daerah menggambarkan kualitas modal manusia yang semakin membaik, sehingga
produktivitas perekonomian daerah juga bisa meningkat.
Perkembangan RLS penduduk berusia 15 tahun ke atas di DIY selama periode 20042013 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2004, RLS tercatat
sebesar 8,22 tahun atau setara dengan kelas 8 SLTP. Angka tersebut meningkat hingga
mencapai 9,33 tahun atau setara dengan lulus jenjang SLTP sederajad pada tahun 2013.
Angka tersebut menggambarkan secara-rata-rata penduduk berusia produktif di DIY telah
menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun.
Gambar 5.2

Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas di DIY dan


Nasional, 2004-2013 (Tahun)
10

DIY

Nasional

8
7,24

7,30

7,40

7,47

Tahukah Anda ?

8,78

8,71

8,59

8,50

8,38

8,22

9,33

9,21

9,20

9,07

7,52

7,72

7,92

7,94

8,08

8,14

Rata-rata lama sekolah


penduduk DIY berada
di peringkat keempat
secara nasional setelah
Provinsi DKI Jakarta,
Kepulauan Riau dan
Kalimantan Timur

6
2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Data IPM, BPS RI

24

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Capaian rata-rata lama sekolah penduduk DIY yang lebih tinggi dari level nasional
menggmbarkan kualitas modal manusia di DIY yang lebih baik

Selama periode 2004-2013, RLS penduduk DIY cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan RLS penduduk pada level nasional. RLS penduduk pada level nasional di tahun 2004
tercatat sebesar 7,24 tahun, sehingga gap dengan RLS penduduk DIY sebesar 0,98 tahun.
Selama tahun 2013, RLS penduduk pada level nasional meningkat hingga 8,14 tahun. Namun
peningkatan RLS penduduk nasional tersebut masih lebih lambat dibandingkan peningkatan
RLS penduduk DIY sehingga gapnya meningkat hingga sebesar 1,19 tahun. Fenomena ini
secara kasar menggambarkan kualitas modal manusia di DIY yang lebih baik dibandingkan
dengan kualitas modal manusia secara nasional. Dibandingkan dengan provinsi-provinsi
lain, RLS penduduk DIY di tahun 2013 berada diperingkat keempat tertinggi setelah Provinsi
DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur.

Gambar 5.3

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Universitas Gajah Mada (Institusi Pendidikan Tinggi Kebanggaan Masyarakat DIY)

ht

Sumber : www.cimpa2011.ugm.ac.id

Sumber : wradarsuperindo.wordpress.com

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

25

KESEHATAN
Misi pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang
berkualitas, merata dan terjangkau

Misi pembangunan di bidang kesehatan adalah untuk meningkatkan pelayanan


kesehatan yang berkualitas, merata dan terjangkau dengan sasaran terwujudnya masyarakat
yang hidup dalam lingkungan sehat dan berperilaku hidup sehat serta meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas secara
adil dan merata di seluruh wilayah Republik Indonesia. Beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk mengkaji implementasi dari program pembangunan kesehatan yang telah
dilakukan diantaranya adalah melalui ketersediaan infrastruktur dan tenaga kesehatan,
kemudahan penduduk dalam mengakses sarana yang tersedia, angka kematian bayi, angka
harapan hidup, angka kesakitan dan lainnya.

Tabel 6.1.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

INFRASTRUKTUR DAN AKSES KESEHATAN


Infrastruktur kesehatan yang tersedia di DIY mencakup rumah sakit, rumah bersalin,
puskesmas/puskesmas pembantu/puskesmas keliling, balai pengobatan dan apotek.
Tenaga kesehatan yang tersedia terdiri dari dokter, bidan, perawat, mantra, tabib, dan
lainnya. Pada tahun 2013, jumlah rumah sakit tercatat sebanyak 72 unit yang terdiri dari 13
rumah sakit pemerintah dan 59 swasta, termasuk rumah sakit khusus. Total kapasitas tempat
tidur yang tersedia sebanyak 6.393 unit. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk,
maka tuntutan penyediaan rumah sakit maupun kapasitas tempat tidur menjadi sebuah
keharusan untuk menjaga standar pelayanan kepada masyarakat. Dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, jumlah rumah sakit bertambah sebanyak 6 unit terdiri dari rumah sakit
swasta. Kapasitas tempat tidur di rumah sakit juga meningkat sebesar 8,58 persen.
Dari sisi aksibilitas, rasio rumah sakit per 100.000 penduduk mencapai 2 unit. Artinya,
terdapat 2 unit rumah sakit untuk setiap 100.000 penduduk atau satu rumah sakit rata-rata
menanggung pelayanan 49.929 jiwa penduduk. Rasio kapasitas tempat tidur per 100.000
penduduk mencapai 178 tempat tidur atau satu tempat tidur rata-rata digunakan untuk
melayani sebanyak 562 orang. Kondisi ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Namun demikian, persebaran fasilitas kesehatan rumah sakit di DIY masih
belum merata dan terpusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan jumlah
masing-masing sebanyak 19 dan 26 unit. Sementara, keberadaan rumuh sakit di Kabupaten
Kulonprogo dan Gunungkidul masih terbatas dengan jumlah masing-masing 8 dan 5 unit.

Jumlah Fasilitas/Sarana Kesehatan di DIY , Rasio per 100.000 Penduduk dan Jangkauan per Fasilitas

2009
Rumah Sakit

Rasio Per 100 000


Penduduk

Jumlah Sarana/Fasilitas

Fasilitas Kesehatan

2010

2011

2012

2013

2011

2011

2012

2013

2,00

55.354

53.254

49.929

6.393 160,24 167,52 177,84

624

597

562

63

63

66

3.751

5.191

5.588

5.888

53

71

71

70

70

2,04

1,99

1,95

49.117

50.211

51.356

Balai Pengobatan

177

181

181

181

181

5,19

5,15

5,03

19.267

19.419

19.861

Puskesmas/Puskestu
/Puskesling

580

558

578

576

579

16,57

16,39

16,11

6.033

6.102

6.209

Apotek

381

428

428

464

526

12,27

13,20

14,63

8.148

7.575

6.834

Rumah Bersalin

1,81

1,88

2013

60

Kapasitas Tempat
Tidur Rumah Sakit

72

2012

Jangkauan Pelayanan Per


Fasilitas

Sumber : Diolah dari data Dinas Kesehatan DIY

26

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Angka kematian bayi yang semakin menurun dan harapan hidup yang semakin meningkat
menggambarkan derajat kesehatan penduduk terutama ibu dan anak yang semakin meningkat

.g
o.

id

Tidak semua orang yang sakit mampu dilayani oleh rumah sakit akibat keterbatasan
sarana maupun tingkat penyebarannya yang tidak merata. Untuk mengurangi beban rumah
sakit dalam memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dasar pemerintah mendirikan fasilitas
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di daerah setingkat kecamatan. Sementara, untuk
melayani penduduk di daerah yang terpencil juga didirikan puskesmas pembantu dan
puskesmas keliling serta mengaktifkan peran posyandu pada level pedukuhan.
Pada tahun 2013, terdapat 579 unit puskesmas/puskestu/puskesling yang tersebar di
lima kabupaten/kota di DIY dengan rincian puskesmas sebanyak 121 unit, puskestu sebanyak
321 unit dan puskesling sebanyak 137 unit. Kemudahan dalam mengakses puskesmas
dapat dilihat dari nilai rasio puskesmas/puskestu/puskesling per 100.000 penduduk. Pada
tahun 2013, nilai rasionya mencapai 16,11 yang berarti setiap satu unit sarana yang tersedia
memiliki beban untuk melayani penduduk sebanyak 6.209 jiwa penduduk. Dibandingkan
dengan beberapa tahun sebelumnya ketersediaan saran puskesmas semakin tercukupi dan
beban pelayanannya juga masih tercukupi.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

ANGKA KEMATIAN BAYI


Selain infrastruktur kesehatan, Indikator lain yang sering digunakan untuk mengkaji
derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi/AKB (Infant Mortality Rate/IMR)
dan angka harapan hidup (AHH). Nilai kedua indikator tersebut paling ideal dihitung dari
hasil sensus penduduk, namun sensus penduduk dilakukan sepuluh tahun sekali sehingga
penghitungan kedua indikator dapat dilakukan melalui metode tidak langsung. Indikator
lain yang dapat digunakan untuk mengkaji perkembangan di bidang kesehatan adalah
kondisi persalinan, pola pemberian ASI, imunisasidan angka kesakitan (morbidity rate).
Perkembangan angka kematian bayi selama kurun waktu satu dekade terakhir
menunjukkan tren yang semakin menurun. Secara tidak langsung, fenomena ini
mengindikasikan adanya peningkatan derajat kesehatan masyarakat terutama ibu dan bayi.
Penurunan tren kematian bayi sangat berkaitan dengan meningkatnya pengetahuan ibu
tentang kehamilan, kesehatan serta gizi bayi dan balita maupun fasilitas dan kualitas tenaga
penolong persalinan. Hasil SP 2010 mencatat angka kematian bayi di DIY sebesar 16, artinya
terdapat 16 kasus kematian bayi dari setiap 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut lebih
Gambar 6.1.

Gambar 6.2.

Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Hidup


di DIY, 2000-2010 (Jiwa)

Penolong Persalinan Pertama di DIY, 2009-2013


(Persen)

30
25

Non Medis
100%

24
20

20

Tenaga Medis
3,47

0,40

4,10

2,78

2,19

95,90

97,22

97,81

96,53

99,60

2009

2010

2011

2012

2013

90%

19
16

15

80%
70%

10

60%

50%

40%
SP 2000

SDKI 2002

SDKI 2007

SP 2010

Sumber : Sensus Penduduk, BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Sumber : Susenas, BPS

27

Turunnya angka kematian bayi di DIY didorong oleh perbaikan kualitas persalinan, gizi balita,
imunisasi dan meningkatnya pengetahuan ibu terkait dengan perawatan balita

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

rendah dibandingkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 yang
sebanyak 19 per 1000 kelahiran hidup maupun hasil SP 2000 yang sebanyak 24 per kelahiran
hidup. Sebagian besar kasus kematian bayi tersebut terjadi pada bulan pertama setelah bayi
tersebut lahir (kematian neonatal) dengan jumlah mencapai 79 persen (SDKI 2007). Hal ini
membawa implikasi pentingnya penanganan persalinan oleh tenaga penolong persalinan
yang terdidik serta peningkatan pengetahuan ibu tentang tata cara perawatan bayi pasca
kelahiran maupun pada masa kehamilan.
Berdasarkan hasil Susenas, mayoritas proses persalinan di DIY ditangani oleh tenaga
medis, seperti dokter, bidan dan tenaga medis lainnya (Gambar 6.2). Sampai dengan tahun
2013, proses persalinan pertama telah mendekati seratus persen ditangani oleh tenaga
medis baik dokter, bidan maupun tenaga medis lain. Sementara, proses persalinan yang
ditangani oleh tenaga non medis atau tenaga tradisional seperti dukun, keluarga dan lainnya
jumlahnya sebesar 0,4 persen. Perubahan preferensi masyarakat dalam memilih tenaga
penolong persalinan menjadi salah satu sebab penurunan angka kematian bayi dan hal ini
juga mengindikasikan adanya kemajuan dalam pelayanan kesehatan dasar di wilayah DIY.
Peran pendidikan ibu dalam menunjang kesehatan bayi dan balita juga dapat dikaji
menggunakan indikator lamanya menyusui balita. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan
terbaik bagi pertumbuhan dan kesehatan bayi karena mengandung nilai gizi yang tinggi
serta zat pembentuk kekebalan tubuh, sehingga semakin lama seorang bayi mendapat
asupan ASI maka daya tahan tubuhnya menjadi semakin baik. Selama periode 2009-2013,
sebagian besar balita berusia 2-4 tahun di DIY telah mendapat asupan ASI lebih dari 24 bulan
(2 tahun) dan porsinya juga semakin meningkat dari 53,71 persen di tahun 2009 menjadi
62 persen di tahun 2013. Semakin besarnya porsi balita berusia 2-4 tahun yang mendapat
asupan ASI lebih dari 24 bulan menjadi fenomena yang sangat baik dan secara tidak langsung
mencerminkan peningkatan pengetahuan ibu menyusui terkait dengan manfaat ASI bagi
bayi mereka. Porsi terbesar selanjutnya adalah mereka yang mendapat asupan ASI antara 1823 bulan, jumlahnya sebesar 20,40 persen. Hal yang harus menjadi perhatian adalah masih
terdapat balita berusia 2-4 tahun yang mendapat asupan ASI kurang dari 5 bulan dengan
porsi sebesar 5,18 persen.
Gambar 6.3.

Gambar 6.4.

Komposisi Balita Berusia 2-4 Tahun di DIY menurut


Lamanya Disusui, 2009-2013 (Bulan)
<=5

6-11

12-17

18-23

>=24

Lamanya Diberi ASI

100%

25

80%

20

53,71

55,66

56,78

54,77

40%
20%
0%

19,76

20,51

20,53

21,19

16,39

15,38
12,25

12,17

10
20,40
5

15,78

12,08

11,91

12,29

4,20
5,97

5,91
6,59

5,86
4,93

5,26
7,15

7,55
4,86
5,18

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Diolah dari Data Susenas, BPS

ASI dengan Makanan Pendamping

16,73

15

20,35

ASI Eksklusif

19,90
16,50

62,00

60%

28

Rata-rata Pemberian ASI dan Makanan Tambahan


Balita Berusia 2-4 Tahun di DIY, 2010-2013 (Bulan)

4,33

4,48

4,52

4,81

2010

2011

2012

2013

Sumber : Diolah dari Data Susenas, BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Secara level angka harapan hidup di DIY termasuk dalam kategori tinggi, sehingga mendorong
tingginya level pencapaian pembangunan manusia

Rata-rata lama periode menyusui balita berusia 2-4 tahun di DIY pada tahun 2013
tercatat sebesar 21,19 bulan. Angka ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan beberapa periode sebelumnya yang masih berada pada level 16,5
bulan. Secara umum, lama periode menyusui bagi balita dapat dibagi menjadi dua yakni
pemberian ASI saja tanpa makanan tambahan (ASI eksklusif ) dan pemberian ASI ditambah
dengan makanan tambahan. Periode pemberian ASI eksklusif bagi balita berusia 2-4 tahun
selama beberapa tahun terakhir memiliki rata-rata di atas empat bulan, artinya sudah lebih
dari ketentuan Departemen Kesehatan. Sementara, periode pemberian ASI dengan makanan
tambahan memiliki rata-rata sebesar 16 bulan. Fenomena ini secara umum menggambarkan
pengetahuan kaum ibu terkait dengan manfaat ASI eksklusif bagi pembentukan kekebalan
tubuh alami balita yang semakin meningkat.

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

USIA HARAPAN HIDUP PENDUDUK


Meningkatnya derajat kesehatan penduduk akan ditandai oleh semakin bertambahnya
usia harapan hidup penduduk pada saat lahir (e0). Pada tahun 2002, angka harapan hidup
penduduk DIY mencapai 72,4 tahun. Hal ini berarti perkiraan rata-rata yang usia akan
dijalani oleh seorang bayi yang dilahirkan hidup pada tahun 2002 hingga akhir hayatnya
adalah 72,4 tahun. Secara bertahap, usia harapan hidup penduduk DIY terus meningkat
hingga mencapai 73,62 tahun pada tahun 2013. Dibandingkan dengan provinsi-provinsi
lain atau rata-rata secara nasional, maka angka harapan hidup penduduk DIY termasuk
dalam kelompok yang tertinggi. Angka Harapan hidup pada level nasional di tahun 2013
tercatat sebesar 70,07 tahun atau memiliki gap 3,55 tahun dengan angka harapan hidup DIY.
Secara umum, tingginya angka harapan hidup penduduk DIY disebabkan oleh faktor gaya
hidup (life style) yang dikenal low profile disamping faktor perbaikan kualitas kesehatan dan
gizi masyarakat yang mendorong penurunan angka kematian bayi dan balita maupun aspek
kemudahan dalam mengakses sarana/fasilitas dan tenaga kesehatan yang tersedia.

tp

Gambar 6.5.

ht

Angka Harapan Hidup Penduduk Saat lahir (e0) di DIY dan Nasional, 2004-2013 (Tahun)
80
75
70

72,6
67,6

72,90
68,08

DIY

73,00
68,47

73,10
68,70

Nasional
73,11
69,00

73,16
69,21

73,22
69,43

73,27
69,65

73,33
69,87

73,62
70,07

65
60
55
50
2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : IPM 2004-2013, BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

29

PEMBANGUNAN MANUSIA
Pembangunan manusia dimaknai sebagai upaya perluasan pilihan bagi penduduk sekaligus
sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Pembangunan manusia menjadi isu utama yang mewarnai proses pembangunan sosial
ekonomi di level nasional maupun regional selama lebih dari dua dekade terakhir. Bahkan
pada level internasional, pembangunan manusia juga menjadi topik sentral sesuai dengan
amanat Millenium Development Goals (MDGs). Deklarasi MDGs ditandatangani oleh 124
negara pada September tahun 2000 dan menghasilkan delapan butir kesepakatan. Dalam
deklarasi tersebut tersirat bahwa penanggulangan kemiskinan dan upaya pemenuhan
kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan merupakan prioritas utama dengan
menempatkan manusia menjadi obyek sasarannya. Keberpihakan ini tentu saja tidak cukup
tertuang dalam komitmen, namun memerlukan implementasi yang nyata.
Pemerintah Republik Indonesia dalam sekup nasional maupun regional sangat gencar
melaksanakan program pembangunan yang menyangkut pembiayaan untuk mengangkat
kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya yang berpendapatan rendah. Program yang
bersifat intervensi dianggap sangat perlu mengingat terbatasnya akses penduduk miskin
terhadap faktor-faktor produksi maupun layanan pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang
pendidikan, pemerintah mengalokasikan anggaran minimal sebesar 20 persen dari APBN
pusat maupun APBD daerah provinsi/kabupaten/kota. Salah satu program yang dilakukan
adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membantu penyelenggaraan pendidikan
di level pendidikan dasar sembilan tahun. Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan
program jaminan kesehatan bagi keluarga miskin (Jamkeskin), sehingga masyarakat
berpendapatan rendah dapat memperoleh layanan kesehatan secara gratis di puskesmas
ataupun fasilitas kelas III pada rumah sakit pemerintah. Untuk mengevaluasi perkembangan
capaian pembangunan tersebut dibutuhkan sebuah indikator yang mampu merangkum
semua aspek dari pembangunan manusia dan salah satu dari indikator tersebut adalah
Indeks Pembangunan manusia (IPM).
Gambar 7.1.

ht

tp

://

Delapan Butir Komitmen dalam Millenium Development Goals

30

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

IPM merupakan indeks komposit yang mewakili tiga dimensi pembangunan, yakni panjang
umur, dimensi pengetahuan dan dimensi penghidupan yang layak

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Pada awalnya, banyak pihak yang menganggap pembangunan identik dengan


pertumbuhan ekonomi. Pada era 1970-an dunia mengenal indeks PDB atau Produk Nasional
Bruto (PNB) yang digunakan sebagai indikator tunggal untuk menilai besarnya kekayaan
negara. Logikanya, semakin tinggi PDB suatu negara maka semakin besar pula penghasilan
penduduk dan semakin sejahtera negara itu. Namun, ternyata ada kesenjangan antara
skala PDB dengan kondisi nyata dalam masyarakat. Beberapa negara mencatat indeks PDB
dan pertumbuhan yang cukup mengesankan, namun kemudian diketahui masih banyak
penduduknya yang tidak bisa membaca. Dalam perkembangannya, muncul pandangan
proses pembangunan tidak sekedar merepresentasikan aspek ekonomi dalam mengejar
akselerasi pertumbuhan, namun memiliki aspek yang lebih luas yakni menyangkut
transformasi struktur perekonomian, sosial dan kultural, kelembagaan, serta sikap dan mental
berfikir masyarakat. Tujuan terpenting dari proses pembangunan adalah meningkatkan
standar kehidupan masyarakat, mengurangi kemiskinan serta memperluas pilihan ekonomi
dan sosial yang membebaskan dari sifat ketergantungan (Todaro dan Smith, 2006).
Stewart, Streeten, dan Hicks (1981) merumuskan metode pengukuran kebutuhan
dasar manusia, yang dipertegas oleh Amartya Sen (1985) melalui kritiknya terhadap
skala Pendapatan Nasional Bruto (GNP). Menurut Sen, taraf hidup manusia tidak boleh
hanya dipandang dari sekedar tingkat pendapatan, namun juga kualitas hidup yang
dimilikinya. Akhirnya tahun 1995, Mahbub Ul-Haq, ilmuwan Pakistan yang bekerja di UNDP
mengembangkan pemikiran Sen menjadi sebuah indikator progres ekonomi baru yang
dikenal dengan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia. IPM
merupakan indeks gabungan antara indikator sosial yang terdiri dari angka harapan hidup
pada saat lahir (dimensi kesehatan), angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah penduduk
berusia 15 tahun ke atas (dimensi pendidikan) dan indikator ekonomi yang diukur dengan
pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan (dimensi daya beli). Salah satu kegunaan dari
angka indeks ini adalah untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan manusia di suatu
wilayah/negara serta membandingkannya dengan wilayah lain.
IPM mempunyai ruang lingkup yang jauh lebih sempit dan hanya dapat mengukur
sebagian kecil dari aspek pembangunan manusia. Masih banyak aspek yang sangat sulit
diukur atau dikumpulkan datanya, bahkan kalaupun itu bisa dikumpulkan akan sulit untuk
menggabungkan informasi tersebut menjadi indeks gabungan. IPM juga dikritik karena
ketidakmampuannya dalam mengukur dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan
proses pembangunan.
Tabel 7.1.
Dimensi Indeks Pembangunan Manusia dan Indikator Penyusunnya

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

31

Pencapaian IPM Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013 berada pada level 77,37 dan
menduduki peringkat kedua tertinggi setelah DKI Jakarta

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Perkembangan nilai IPM DIY selama periode 1996-2013 menunjukkan pola yang
semakin meningkat. Pada tahun 1996, nilai IPM DIY tercatat sebesar 71,8 dan menempati
peringkat kedua secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta. Nilai IPM DIY pada tahun
1999 mengalami penurunan yang cukup tajam hingga mencapai level 68,7 sebagai
dampak dari krisis ekonomi 1997/1998. Krisis ekonomi yang melanda wilayah Indonesia
mulai pertengahan tahun 1997 memberi dampak yang luar biasa terhadap kondisi sosial
ekonomi penduduk sampai di wilayah regional DIY. Selama masa itu nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi tajam hingga menyentuh level Rp 15.000,- per 1 US$, laju inflasi Kota
Yogyakarta tercatat mencapai level 17,72 persen di tahun 1997 kemudian meningkat tajam
menjadi 77,46 persen di tahun 1998 dan pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi atau
pertumbuhan negatif. Hal ini berpengaruh besar terhadap penurunan daya beli (paritas)
penduduk terhadap komoditas barang dan jasa kebutuhan rumah tangga, sehingga tingkat
konsumsi riil penduduk juga menurun dan indeks daya beli juga menurun.
Pasca krisis ekonomi 1997/1998, kondisi perekonomian sedikit membaik meskipun
belum sepenuhnya pulih. Hal ini berpengaruh terhadap pencapain IPM DIY tahun 2002
yang sedikit meningkat menjadi 70,8. Mulai titik itu, secara berangsur-angsur IPM DIY
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat hingga mencapai level 77,37 di
tahun 2013. Fenomena ini menggambarkan kualitas pembangunan manusia yang semakin
membaik dari waktu ke waktu. UNDP membagi status wilayah berdasarkan angka IPM yang
dimilikinya menjadi empat kategori, rendah (angka IPM < 50), menengah bawah (IPM antara
50-66), menengah atas (IPM antara 66-80) serta tinggi (IPM lebih dari 80). Sejak tahun 19962013 angka IPM DIY berada pada kategori menengah atas.
Secara umum, perkembangan IPM DIY selama tahun 1996-2013 memiliki pola yang
sama dengan dengan angka IPM nasional. Namun demikian, level IPM DIY masih jauh di atas
level IPM nasional. Hal ini mengisyaratkan level pencapaian pembangunan manusia di DIY
yang relatif lebih baik dibandingkan dengan rata-rata pencapaian pembangunan manusia
secara nasional. Berdasarkan levelnya, angka IPM DIY pada tahun 2013 berada di peringkat

tp

Gambar 7.2.

ht

Perkembangan IPM DIY dan Nasional, 1996-2013


85

DIY

NAS

80

75

73,50

73,70

74,15

75,77

76,31

72,27

72,77

73,29

73,81

2010

2011

2012

2013

70,8
68,7

70

65

72,9

71,8

68,7

67,7
64,3

77,37

75,23

76,75

74,88

70,1

71,17

69,57

70,59

71,76

2005

2006

2007

2008

2009

65,8

60

55
1996

1999

2002

2004

Sumber : IPM 1996-2013, BPS

32

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Pencapaian IPM pada level kabupaten/kota di DIY memberi gambaran yang kontras, satu
sisi ada daerah yang memiliki level IPM tinggi dan di sisi yang lain ada yang masih rendah

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

kedua tertinggi secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta. Peringkat ini membaik setelah
sebelumnya selalu berada di peringkat keempat tertinggi sesudah Provinsi DKI Jakarta,
Sulawesi Utara serta Riau sejak tahun 2008. Perbedaan laju perubahan IPM selama periode
waktu tertentu dapat diukur menggunakan rata-rata reduksi shortfall per tahun. Nilai shortfall
mengukur keberhasilan dipandang dari segi jarak antara apa yang telah dicapai dengan apa
yang harus dicapai, yaitu jarak dengan nilai maksimum. Nilai reduksi shortfall IPM DIY selama
periode 2012-2013 tercatat sebesar 2,67.
Pencapaian pembangunan manusia di semua kabupaten/kota DIY pasca krisis ekonomi
1997/1998 menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Hal ini terlihat dari nilai
IPM selama periode 1999-2012 di semua kabupaten/kota yang cenderung meningkat
secara bertahap. Secara umum, kualitas pembangunan manusia yang tertinggi dicapai oleh
Kota Yogyakarta dan diikuti oleh Kabupaten Sleman dan Bantul. Sebaliknya, pencapaian
pembangunan manusia di Kabupaten Gunungkidul selama satu dekade terakhir selalu
berada di peringkat terakhir. Pencapaian IPM di seluruh kabupaten di DIY sampai dengan
tahun 2013 termasuk dalam kategori menengah sedang atau memiliki nilai IPM antara 6680, bahkan khusus untuk Kota Yogyakarta termasuk dalam kategori tinggi karena memiliki
nilai IPM di atas 80.
IPM tertinggi tahun 2013 masih disandang oleh Kota Yogyakarta dengan nilai 80,51.
Posisi selanjutnya adalah Kabupaten Sleman (IPM sebesar 79,97) dan Bantul (IPM sebesar
76,01). Sebaliknya, IPM terendah terjadi di Gunungkidul dengan nilai 71,64. Gambaran
perbandingan pencapaian IPM Kabupaten Gunungkidul dengan Kota Yogyakarta menjadi
sebuah perbandingan yang kontras. Fenomena ini secara tidak langsung menggambarkan
adanya kesenjangan yang cukup lebar dalam hal pembangunan ekonomi dan sosial antar
wilayah di DIY. Ke depan, perlu dipikirkan upaya-upaya yang lebih intensif untuk mengurangi
kesenjangan ini. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melalui pengembangan
infrastruktur dan ekonomi yang berbasis lokal. Gunungkidul dikenal sebagai wilayah yang
memiliki potensi wisata alam yang luar biasa, sehingga jalinan kerja sama antara pemerintah
selaku fasilitator dengan pihak swasta maupun masyarakat untuk pengembangan potensi ini
menjadi penting untuk dilakukan. Kegiatan investasi yang masih terpusat di Kota Yogyakarta
dan sekitarnya harus diperluas cakupannya dan diarahkan untuk pengembangan wilayahwilayah yang memiliki potensi tetapi infrastrukturnya masih tertinggal.
Tabel 7.2.
Perkembangan IPM menurut Kabupaten/Kota di DIY, 1999-2013
Kabupaten/Kota 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Kulonprogo

66,39 69,41 70,92 71,50 72,01 72,76 73,26 73,77 74,49 75,04 75,33 75,95

Bantul

65,83 68,41 71,50 71,95 71,96 72,78 73,38 73,75 74,53 75,05 75,51 76,01

Gunungkidul

63,58 67,10 68,86 69,27 69,44 69,68 70,00 70,17 70,45 70,84 71,11 71,64

Sleman

69,83 72,70 75,10 75,57 76,22 76,70 77,24 77,70 78,20 78,79 79,39 79,97

KotaYogyakarta

73,40 75,30 77,42 77,70 77,81 78,14 78,95 79,28 79,52 79,89 80,24 80,51

DIY

68,67 70,78 72,91 73,50 73,70 74,15 74,88 75,23 75,77 76,31 76,75 77,37

Sumber : IPM 1999-2013, BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

33

KEMISKINAN
Pengukuran kemiskinan di Indonesia menggunakan pendekatan ekonomi, garis kemiskinan
absolut merepresentasikan nilai kebutuhan miniimum makanan dan minuman yang diperlukan
untuk dapat hidup secara layak

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Proses pembangunan yang dilakukan di semua wilayah bertujuan untuk meningkatkan


kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan yang dimaksud tidak semata-mata diukur dari aspek
tinggi atau rendahnya pendapatan perkapita maupun tingkat pertumbuhannya, tetapi
juga menyangkut aspek penurunan tingkat kemiskinan dan pemerataan pendapatan yang
diterima penduduk. Tingkat kemiskinan menjadi tolok ukur utama kesejahteraan penduduk
di suatu wilayah, semakin tinggi tingkat kemiskinan mencerminkan tingkat kesejahteraan
yang semakin memburuk dan semakin rendah tingkat kemiskinan mencerminkan
kesejahteraan penduduk yang semakin membaik. Deklarasi MDGs yang ditandatangani
di pertengahan tahun 2000 menempatkan penanggulangan kemiskinan dan kelaparan
sebagai komitmen pertama dengan sasaran mengurangi hingga setengah dari jumlah orang
yang berpenghasilan di bawah US $1 sampai US $2 per hari dan mereka yang menderita
kelaparan di akhir tahun 2015. Fakta ini menyiratkan bahwa kemiskinan merupakan masalah
yang sangat mendesak untuk diatasi dan ditanggulangi.
Dimensi kemiskinan tidak hanya menyangkut aspek ekonomi saja, namun juga
menyangkut aspek sosial dan kultural, dengan kata lain kemiskinan bersifat multidimensional.
Meskipun demikian, metode pengukuran kemiskinan yang digunakan di banyak negara
termasuk Indonesia sampai saat ini masih bertumpu pada pendekatan ekonomi baik
pendekatan income/kekayaan maupun pengeluaran/konsumsi. Konsep kemiskinan yang
digunakan di Indonesia mengacu pada pendekatan pengeluaran yang didasarkan pada
pendekatan kebutuhan dasar minimum (basic needs approach). Kebutuhan pokok minimum
diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang yang mencakup kebutuhan
makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita per hari ditambah dengan
kebutuhan non makanan (pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan
dasar lainnya) yang disebut dengan garis kemiskinan. Seseorang dikatakan miskin apabila
memiliki pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung dalam
bentuk absolut berdasarkan survei pengeluaran rumah tangga (Susenas) modul konsumsi,
sementara dan angka kemiskinan diestimasi berdasarkan data Susenas kor secara berkala.

ht

tp

PERKEMBANGAN GARIS KEMISKINAN DIY


Perkembangan garis kemiskinan di DIY selama periode 2002-2014 menunjukkan
tren yang semakin meningkat seiring dengan kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan
rumah tangga atau inflasi. Pada tahun 2002, nilai nominal kebutuhan dasar minimum (garis
Tabel 8.1.
Perkembangan Garis Kemiskinan DIY dan Nasional menurut Wilayah, 2002-2013 (Rp 000)
Daerah

DIY

Indonesia

Mar'02 Mar'03 Mar'04 Mar'05 Mar'06 Mar'07 Mar'08 Mar'09 Mar'10 Mar'11 Sep'11 Mar'12 Sep'12 Mar'13 Sep'13 Mar'14
K

123,90 137,13 148,25 160,69 196,41 200,86 208,66 228,24 240,28 265,75 273,68 274,66 284,55 297,39 317,93 327,27

103,01 106,80 114,67 130,81 148,52 156,35 169,93 182,71 195,41 217,92 226,77 231,86 241,98 256,56 275,79 286,14

K+D

113,00 127,09 134,37 148,48 170,72 184,97 194,83 211,98 244,26 249,63 257,91 260,17 270,11 283,45 303,84 313,45

130,50 138,80 143,46 150,80 174,29 187,94 204,90 222,12 232,99 253,02 263,59 267,41 277,38 289,04 308,83 318,51

96,51 105,89 108,73 117,26 130,58 146,84 161,83 179,84 192,35 213,40 223,18 229,23 240,44 253,27 275,78 286,10

K+D

108,89 118,55 122,78 129,11 152,00 166,70 182,64 200,26 211,73 233,74 243,73 248,71 259,52 271,63 292,95 302,74

Sumber : BPS, Beberapa Terbitan

34

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Masih tingginya level kemiskinan di DIY dan lambatnya pengentasan kemiskinan salah
satunya disebebkan oleh heterogenitas karakteristik kemiskinan pada level kabupaten/kota

id

kemiskinan) di DIY ditetapkan sebesar Rp 113,- ribu per kapita per bulan. Nilai ini terus
meningkat menjadi Rp 313,- ribu di bulan Maret 2014. Secara umum, garis kemiskinan di
DIY selalu lebih tinggi dari garis kemiskinan pada level nasional.
Berdasarkan wilayah, nilai nominal garis kemiskinan juga menunjukkan perkembangan
yang semakin meningkat baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Peningkatan ini
terkait dengan kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga (inflasi) yang
terjadi setiap tahun. Tabel 8.1 menggambarkan garis kemiskinan yang memiliki pola
semakin meningkat, dan nilai nominal garis kemiskinan di daerah perkotaan selalu lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan. Secara umum, garis kemiskinan di DIY baik
di wilayah perkotaan maupun perdesaan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan garis
kemiskinan nasional. Faktor ini menjadi salah satu penyebab level kemiskinan (persentase
penduduk miskin) di DIY yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional,
karena ukuran kemiskinan sangat sensitif dengan garis kemiskinan yang digunakan.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DIY


Pola perkembangan jumlah penduduk miskin atau headcount (jiwa) di DIY selama
periode 2000-2014 menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun
2000, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 1.035,8 ribu jiwa dengan persentase (HCI)
sebesar 33,39 persen. Tingginya level kemiskinan pada saat itu dipengaruhi oleh dampak
krisis ekonomi 1997/1998 yang belum sepenuhnya pulih. Secara bertahap, jumlah penduduk
miskin maupun persentasenya semakin menurun hingga mencapai jumlah 544,9 ribu jiwa
atau sebesar 15,0 persen di bulan Maret 2014. Meskipun demikian, berdasarkan data series
selama periode 2000-2014 jumlah penduduk miskin terlihat beberapa kali mengalami
peningkatan. Pada tahun 2003, 2005 dan 2006 jumlah penduduk miskin meningkat cukup
signifikan sebagai dampak dari fenomena kenaikan harga/inflasi yang cukup tinggi terutama
berkaitan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak/energi. Tingginya laju inflasi
berimplikasi pada kenaikan garis kemiskinan, sehingga secara otomatis jumlah penduduk
miskin (jiwa) juga meningkat. Sejak tahun 2008, persentase penduduk miskin menunjukkan
pola yang semakin menurun hingga tahun 2014, namun jumlahnya terlihat meningkat di
bulan September 2011, Maret 2012 dan Maret 2014.
Tabel 8.2.
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin/Head Count-HC(000 Jiwa) dan Persentase (Head Count Index-HCI)
di DIY menurut Wilayah, Maret 2000-Maret 2014
Tahun

Perkotaan (K)

Perdesaan (D)

Kota + Desa (K+D)

HC (000) HCI (%) HC (000) HCI (%) HC (000) HCI (%)

Tahun

Perkotaan (K)

Perdesaan (D)

Kota + Desa (K+D)

HC (000) HCI (%) HC (000) HCI (%) HC (000) HCI (%)

Mar 2000

436,6

24,58

599,2

45,17

1.035,8

33,39

Mar 2009

311,5

14,25

274,3

22,60

585,8

17,23

Mar 2001

266,8

14,56

500,8

38,65

767,6

24,53

Mar 2010

308,4

13,98

268,9

21,95

577,3

16,83

Mar 2002

303,8

16,17

331,9

25,96

635,7

20,14

Mar 2011

304,3

13,16

256,6

21,82

560,9

16,08

Mar 2003

303,3

16,44

333,5

24,48

636,8

19,86

Sep 2011

298,9

12,88

265,3

22,57

564,2

16,14

Mar 2004

301,4

15,96

314,8

23,65

616,2

19,14

Mar 2012

305,9

13,13

259,4

21,76

565,3

16,05

Mar 2005

340,3

16,02

285,5

24,23

625,8

18,95

Sep 2012

306,5

13,10

255,6

21,29

562,1

15,88

Mar 2006

346,0

17,85

302,7

27,64

648,7

19,15

Mar 2013

315,5

13,43

234,7

19,29

550,2

15,43

Mar 2007

335,3

15,63

298,2

25,03

633,5

18,99

Sep 2013

325,5

13,73

209,7

17,62

535,2

15,03

Mar 2008

324,2

14,99

292,1

24,32

616,3

18,32

Mar 2014

333,0

13,81

211,8

17,36

544,9

15,00

Sumber : BPS, Beberapa Terbitan

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

35

Sebaran populasi penduduk miskin di DIY sebagian besar terdapat di kawasan perdesaan
terutama di Kabupaten Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Berdasarkan penyebarannya, selama lebih dari satu dekade terakhir tingkat kemiskinan
(persen) di daerah perdesaan selalu lebih dominan dibandingkan dengan kemiskinan di
daerah perkotaan. Hal ini terlihat dari persentase penduduk miskin di daerah perdesaaan
yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan, meskipun dari sisi jumlah
penduduk miskin (jiwa) di daerah perkotaan sudah melampaui daerah perdesaan sejak tahun
2005. Perkembangan kemiskinan di daerah perkotaan mencapai level tertinggi pada tahun
2000 sebesar 24,58 persen dan menurun secara bertahap hingga menjadi 13,73 persen di
bulan September 2013. Dalam rentang waktu 2000-2013 kemiskinan perkotaan mengalami
kenaikan sebanyak tiga kali, yakni tahun 2002/2003 sebagai akibat dari meningkatnya harga
pangan dunia di tahun 2002, pada tahun 2005/2006 sebagai dampak kenaikan harga BBM
di akhir tahun 2005 dan di tahun 2013 sebagai dampak kenaikan harga BBM di pertengahan
tahun 2013.
Tingkat kemiskinan daerah perdesaan mencapai level tertinggi pada tahun 2000
sebesar 45,17 persen dan menurun secara bertahap hingga mencapai 23,65 persen di tahun
2004. Dampak kenaikan harga BBM di tahun 2005 memiliki pengaruh yang cukup signifikan
dalam meningkatkan level kemiskinan di daerah perdesaan hingga mencapai 27,4 persen
di tahun 2006. Pada periode berikutnya, secara bertahap tingkat kemiskinan menunjukkan
pola penurunan hingga mencapai level 17,62 persen di tahun 2013.

://

yo
gy

ak

PERKEMBANGAN INDEKS KEDALAMAN DAN KEPARAHAN KEMISKINAN


Persoalan kemiskinan tidak sekedar mencakup urusan jumlah dan persentase penduduk
miskin, tetapi juga menyangkut dimensi kedalaman (poverty gap index) dan keparahan
(poverty severity index) dari kemiskinan maupun sifatnya baik persisten maupun transitory.
Secara sederhana, indeks kedalaman kemiskinan (P1) menggambarkan sejauh mana
pendapatan kelompok penduduk miskin menyimpang dari garis kemiskinan. Sementara,
indeks keparahan kemiskinan (P2) menyatakan ketimpangan pendapatan di antara penduduk
miskin. Semakin tinggi nilai indeks kedalaman dan keparahan menunjukkan persoalan
kemiskinan yang semakin kronis.

ht

tp

Berdasarkan data series selama 2007-2014, terdapat kecenderungan penurunan indeks


kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan secara rata-rata maupun di daerah perkotaan
dan perdesaan. Penurunan ini menjadi sinyal yang cukup mengembirakan bagi pengentasan
Tabel 8.3.
Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) di DIY menurut Wilayah
Mar'07 Mar'08 Mar'09 Mar'10 Mar'11

Tahun
Indeks
Kedalaman
Kemiskinan
(P1 , %)
Indeks
Keparahan
Kemiskinan
(P2 , %)

Sep'11 Mar'12

Sep'12 Mar'13

Sep'13 Mar'14

Perkotaan (K)

3,08

2,72

2,84

2,27

1,93

1,93

3,56

2,29

2,08

2,18

2,22

Perdesaan (D)

5,08

4,49

4,74

3,89

3,67

3,54

3,29

4,07

3,02

2,03

2,11

K+D

3,80

3,35

3,52

2,85

2,51

2,48

3,47

2,89

2,40

2,13

2,19

Perkotaan (K)

0,88

0,71

0,81

0,56

0,50

0,48

1,32

0,58

0,50

0,52

0,53

Perdesaan (D)

1,55

1,29

1,46

1,02

0,93

0,81

0,79

1,09

0,63

0,34

0,40

K+D

1,12

0,92

1,04

0,73

0,65

0,59

1,14

0,75

0,55

0,46

0,48

Sumber : BPS, Beberapa Terbitan

36

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Lambatnya pengentasan kemiskinan menyebabkan indeks kedalan dan indeks keparahan


kemiskinan juga turun secara lambat

kemiskinan. Meskipun demikian, nilai kedua indeks sedikit meningkat di bulan Maret 2009
dan 2012. Penyebabnya adalah naiknya nilai kedua indeks di daerah perkotaan, sementara
di daerah perdesaan cenderung menurun. Selama periode tersebut, indeks kedalaman dan
keparahan kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih tinggi dari daerah perkotaan, tetapi
pada bulan Maret 2012, September 2013 dan maret 2014 nilai kedua indeks di daerah perdesaan
justru lebih rendah. Secara umum, fenomena tingginya nilai kedua indeks di daerah perdesaan
menjadi gambaran kemiskinan di perdesaan yang jauh lebih kompleks. Nilai indeks kedalaman
kemiskinan dan keparahan kemiskinan DIY pada bulan Maret 2014 masing-masing mencapai
2,19 dan 0,48. Nilai ini menurun cukup signifikan dibandingkan periode bulan yang sama di
tahun 2013, sehingga secara rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin mendekati garis
kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin menyempit.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

SEBARAN DAN PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN MENURUT KABUPATEN/KOTA


Distribusi penduduk miskin menurut wilayah kabupaten/kota di DIY menunjukkan
pola yang tidak merata. Ketidakmerataan ini ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin
(HC) maupun persentasenya (HCI) yang sangat bervariasi. Berdasarkan jumlahnya, sebaran
penduduk miskin sebagian besar terdapat di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul dengan
jumlah masing-masing sebesar 152,2 ribu dan 156,6 ribu jiwa. Sementara populasi penduduk
miskin yang terendah terdapat di Kota Yogyakarta sebesar 35,6 ribu jiwa. Berdasarkan
persentasenya, maka Kabupaten Gunungkidul (21,70 persen) dan Kulonprogo (21,39 persen)
menjadi daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi. Sementara, Kota Yogyakarta
(8,82 %) dan Sleman (9,68 %) menjadi dua daerah dengan persentase kemiskinan terendah.
Secara umum, perbedaan tersebut merepresentasikan tingkat kesejahteraan
penduduk antar wilayah yang cukup heterogen. Perbedaan kuantitas infrastruktur terutama
pendidikan, kesehatan serta infrastruktur perekonomian seperti pasar, baik dari sisi
ketersediaan maupun kemudahan dalam mengakses menjadi penjelas perbedaan kualitas
kesejahteraan masyarakat yang cukup mencolok tersebut. Perkembangan kemiskinan di
kabupaten/kota selama lima tahun terakhir secara umum menunjukkan pola yang menurun.
Penurunan jumlah penduduk miskin terbesar terjadi di Kabupaten Gunungkidul, sementara
dari sisi persentase penurunan yang terbesar terjadi di Kabupaten Kulonprogo.
Tabel 8.4.

Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) di DIY menurut Wilayah
2009
Kab/Kota

GK (Rp)

2010

2011

2012

2013

HC
HC
HC
HC
HC
HCI (%) GK (Rp)
HCI (%) GK (Rp)
HCI (%) GK (Rp)
HCI (%) GK (Rp)
HCI (%)
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)

Kulonprogo

205.585

89,9

Bantul

224.373 158,5

17,64 245.626 146,9

16,09 264.546 159,4

Gunungkidul

186.232 163,7

24,44 203.873 148,7

Sleman

226.256 117,5

Yogyakarta

265.168

DIY

220.830 574,9

45,3

24,65 225.059

90,0

86,5

21,39

17,28 284.923 159,2

16,97 292.639 156,6

16,48

22,05 220.479 157,1

23,03 238.438 157,8

22,71 238.056 152,2

21,70

11,45 247.688 117,0

10,7 267.107 117,3

10,61 288.048 118,2

10,44 297.170 110,8

9,68

10,05 290.286

9,75 314.311

37,8

16,86 234.282 540,4

23,15 240.301

92,8

37,7

15,63 257.909 564,3

23,62 256.575

9,62 340.324

93,2

37,4

16,14 270.110 565,7

23,31 259.945

9,38 353.602

35,6

8,82

15,88 303.843 541,9

15,03

Sumber : BPS, Beberapa Terbitan

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

37

Lambatnya penurunan kemiskinan di DIY disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi


yang tidak dikompensasi oleh aspek pemerataan dalam distribusi pendapatan

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Upaya Penurunan Kemiskinan


Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan di
suatu wilayah, antara lain adalah kenaikan pendapatan atau upah riil, kesempatan kerja yang
lebih luas dan pendapatan masyarakat yang semakin merata. Kenaikan upah buruh yang
diindikasikan dengan upah minimum provinsi (UMP) pada tahun 2013 meningkat sebesar
6,05 persen. Jika dibandingkan dengan laju inflasi Kota Yogyakarta yang sebesar 7,32 persen,
kenaikan upah masih jauh lebih rendah. Tingginya inflasi selama 2013 sangat dipengaruhi
oleh kenaikan harga BBM dipertengahan tahun serta kenaikan tarif dasar listrik. Dengan
asumsi bahwa penetapan UMP tersebut diikuti oleh sebagian besar perusahaan DIY, maka
rata-rata pendapatan riil penduduk tidak meningkat secara signifikan. UMP yang meningkat
secara nominal tidak menjadi gambaran yang baik bagi pekerja manakala laju inflasi barang
dan jasa meningkat tak terkendali.
Tingkat kesempatan kerja (TKK) sebagai gambaran persentase angkatan kerja
yang terserap di pasar kerja pada bulan September 2013 meningkat sangat signifikan
dibandingkan bulan yang sama pada tahun 2012, yakni dari 96,17 persen menjadi 96,46
persen. Penyerapan angkatan kerja yang besar ini akan berdampak tidak langsung terhadap
berkurangnya persentase penduduk miskin, meskipun dari sisi produktivitas jam kerja masih
banyak yang termasuk kategori underunemployment.

ht

tp

://

yo
gy

ak

KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN


Kebijakan pemerintah untuk mendorong dan mengejar akselerasi pertumbuhan
ekonomi di satu sisi berdampak baik bagi peningkatan kesejahteraan penduduk secara ratarata, namun di sisi lain juga membawa trade off berupa meningkatnya ketimpangan dalam
distribusi hasil pertumbuhan yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena distribusi aset dan skill
yang tidak tersebar secara merata antar penduduk, sehingga pendapatan yang diperoleh pun
sangat bervariasi. Beberapa indikator yang sering digunakan untuk mengukur ketimpangan
dalam distribusi pendapatan (distribusi ukuran) adalah ukuran Bank Dunia, Rasio Kuznets
dan Gini Rasio.
Berdasarkan data Susenas tahun 2009-2013, distribusi pendapatan yang diterima
penduduk menunjukkan perkembangan ke arah yang semakin tidak merata/timpang. Pada
Gambar 8.1.

Gambar 8.2.

Pertumbuhan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan


Inflasi DIY, 2005-2013

Perkembangan Tingkat Kesempatan Kerja (TKK)


DIY, 2005-2013

25

UMP

98

Inflasi

17,20

14,98
8,70

8,31

7,99

2,93

2006

Sumber : BPS

2007

6,05

7,38

38

6,57

9,88

2008

2009

2010

7,32
3,88

4,31

2011

2012

93,69

94

10,52
10,4

2005

94,62

95

15

95,68

96

15,00

10

96,76

97

19,45

20

93

94,00

93,90

96,14

94,31

92,41

92
91

2013

90
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Selain persoalan distribusi pendapatan antar penduduk yang semakin timpang, persoalan di
DIY juga diwarnai oleh ketimpangan pendapatan regional yang semakin meningkat

tahun 2013, 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima 18,47 persen dari total
pendapatan, sementara 20 persen penduduk golongan pendapatan tertinggi memperoleh
porsi sebesar 46,93 persen. Jika dihitung dengan rasio Kuznets maka total pendapatan
20 persen penduduk berberpendapatan tertinggi besarnya 2,5 kali lipat dari jumlah
pendapatan dari 40 persen penduduk golongan berpendapatan terendah. Fenomena ini
menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup lebar dan diperjelas oleh nilai koefisien
Gini pada bulan Maret 2013 yang sebesar 0,44 dan lebih meningkat dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 0,43. Peningkatan indeks ketimpangan
ini menggambarkan distribusi pendapatan antar penduduk yang bergerak semakin tidak
merata, meskipun secara level masih termasuk dalam kategori ketimpangan sedang.

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Selain ketimpangan pendapatan antar penduduk, isu ketimpangan pendapatan


antar wilayah kabupaten/kota (ketimpangn regional) juga menjadi persoalan yang
cukup krusial di wilayah DIY. Salah satu pendekatan metode untuk mengukurnya adalah
menggunakan indeks Williamson. Semakin tinggi nilai indeks ini menunjukkan ketimpangan
pendapatan antar wilayah yang semakin melebar. Perkembangan nilai indeks Williamson
di DIY selama periode 2000-2013 menunjukkan pola yang semakin meningkat dari 0,39 di
tahun 2000 menjadi 0,47 di tahun 2013. Fenomena ini menggambarkan kesenjangan atau
ketimpangan pendapatan antar wilayah yang semakin tidak merata. Salah satu pemicunya
adalah terpusatnya kegiatan ekonomi terutama investasi di daerah perkotaan, sementara
perkembangan kawasan perdesaan jauh lebih lambat dan kurang mendapat perhatian
serius. Persoalan infrastruktur yang kurang merata juga menjadi penyebab lain dari tingginya
ketimpangan pendapatan antar wilayah.
Gambar 8.3.

Tabel 8.5.

://

Perkembangan Indek Williamson di DIY, 2000-2013

0,45
0,415

0,40

0,390

0,394

0,435

0,439

0,437

0,441

0,470
0,443

0,443

0,452

0,472

0,442

ht

0,431

tp

0,50

Perkembangan Indeks Ketimpangan


Pendapatan di DIY, 2009-2013

0,35

0,30

2009

2010

2011

2012

2013

40 % Berpendapatan Terendah

Golongan Pendapatan

18,87

18,79

16,46

15,29

18,47

40 % Berpendapatan Menengah

36,48

35,20

34,22

33,15

34,60

20 % Berpendapatan Tertinggi

44,65

46,01

49,32

51,56

46,93

Rasio Kuznets

2,37

2,45

3,00

3,37

2,54

Gini Rasio

0,38

0,41

0,40

0,43

0,44

Sumber : BPS DIY

0,25

0,20
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Sumber : BPS DIY

Tahukah Anda ?
Lambatnya penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin di DIY terjadi
karena pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tidak dikompensasi oleh
perbaikan distribusi pendapatan penduduk ke arah yang lebih merata

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

39

PERTANIAN
Pemanfaatan lahan pertanian di DIY sebagian besar digunakan untuk budidaya komoditas
tanaman bahan makanan, khususnya padi, palawija dan hortikultura

Tabel 9.1.

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PENGGUNAAN LAHAN
Faktor penting yang menopang kelangsungan dan keberlanjutan budidaya komoditas
pertanian adalah ketersediaan lahan. Sampai tahun 2013, pemanfaatan lahan di DIY sebagian
besar digunakan untuk lahan pertanian dengan luas 240.066 hektar atau 75,36 persen.
Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah seluas 56.327 hektar (17,69 persen) dan lahan
bukan sawah seluas 183.739 hektar (52,72 persen). Dibandingkan dengan tahun 2012, lahan
pertanian sawah berkurang sebesar 37 hektar dan lahan bukan sawah berkurang sebesar
139 hektar. Lahan pertanian tersebut berubah status penggunaannya menjadi lahan bukan
pertanian seperti pemukiman, pertokoan, maupun infrastruktur yang lain. Pada tahun 2013,
lahan yang peruntukannya bukan untuk lahan pertanian mencapai 78.514 hektar atau 24,64
persen dari luas wilayah DIY.
Berdasarkan wilayahnya, distribusi lahan sawah yang terbesar terdapat di Kabupaten
Sleman dan Bantul dengan luas masing masing mencapai 22,62 ribu hektar dan 15,47 ribu
hektar. Untuk lahan bukan sawah, distribusi terbesar terdapat di Kabupaten Gunungkidul
dengan luas mencapai 117,83 ribu hektar. Sebagai catatan, sekitar 79 persen wilayah
Gunungkidul merupakan lahan pertanian bukan sawah. Sementara, area pertanian terkecil
terdapat di Kota Yogyakarta dengan luas 8,06 persen dari seluruh wilayah.
Luas Lahan Pertanian dan Bukan Pertanian di DIY, 2013 (Ha)
Lahan Pertanian
Sawah

Lahan Bukan
Pertanian

Bukan Sawah

Jumlah

ak

Kabupaten/Kota

10.297 (17,56)

35.027 (59,75)

13.303 (22,69)

58.627

15.471 (30,52)

14.125 (27,87)

21.089 (41,61)

50.685

(5,30)

117.829 (79,33)

22.842 (15,38)

148.536

22.623 (39,36)

16.567 (28,82)

18.292 (31,82)

57.482

7.865

Yogyakarta
DIY

71

(2,18)

191

56.327 (17,68)

Tabel 9.2.

2.988 (91,94)

3.250

78.514 (24,64)

318.580

Cat: Angka dalam kurung menunjukkan %

ht

Sumber: Dinas Pertanian DIY

(5,88)

183.739 (57,67)

://

Sleman

tp

Gunungkidul

yo
gy

Kulonprogo
Bantul

Komposisi Penggunaan Lahan di DIY, 2008-2013 (Persen)


Penggunaan Lahan
Lahan Pertanian
Lahan Sawah
Berpengairan
Tadah Hujan
Bukan lahan Sawah
Tegal/Kebun
Sementara Tidak Diusahakan

Persentase Luas
2008

2009

76,60 76,80

Jumlah

2011

76,31 76,21

2012

2013

75,41 75,36 240.066

17,92 17,80

17,75 17,73

17,69 17,68 56.327

15,04 14,91

14,89 14,85

14,76 14,73 46.926

2,88

2,89

2,86

2,88

2,93

2,95

9.401

58,68 59,00

58,56 58,48

57,72 57,67 183.739

30,15 30,06

29,94 29,77

29,69 31,67 100.896

0,36

0,34

Lainnya (Hutan Rakyat, Perkebunan,


28,17 28,60
Tambak, Kolam, Empang, dll)
Lahan Bukan Pertanian

2010

Luas
2013
(Ha)

23,40 23,21
100

100

0,32

0,32

0,25

0,29

922

28,30 28,39

27,78 25,71 81.921

23,71 23,79

24,59 24,64 78.514

100

100

100

100 318.580

Pola perkembangan lahan


pertanian di DIY selama tahun
2008-2013 menunjukkan tren yang
semakin menurun. Pada tahun
2008 persentase lahan pertanian
mencapai 76,60 persen dan terus
menurun menjadi 75,36 persen
di tahun 2013 akibat alih fungsi
menjadi lahan bukan pertanian.
Hal yang perlu mendapat perhatian
serius dari pemerintah adalah
semakin
berkurangnya
lahan
pertanian produktif terutama
lahan sawah yang berpengairan
irigasi dan beralih fungsi menjadi
lahan bukan pertanian seperti
pemukiman
maupun
tempat
usaha. Selama periode 2008-2013,
luas lahan sawah di DIY berkurang
sebanyak 763 hektar atau setiap
tahun berkurang dengan rata-rata
sebesar 153 hektar. Jika konversi
lahan sawah produktif terus
berlangsung dalam jangka waktu
yang lama, maka akan menganggu
stabilitas dan ketahanan pangan di
masa yang akan datang.

Sumber : SP-VA, Dinas Pertanian DIY

40

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Perkembangan produksi padi DIY selama dua dekade terakhir menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan, meskipun terjadi sedikit penurunan di tahun 2013 sebagai akibat dari
penurunan produktivitas

TANAMAN BAHAN MAKANAN


Tanaman bahan makanan terdiri dari komoditas padi, palawija dan hortikultura.
Tanaman padi terdiri dari padi sawah dan padi ladang, sementara palawija terdiri dari
jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, dan cantel.
Dari kedelapan komoditas tersebut, tanaman padi menjadi komoditas paling dominan di
DIY karena merupakan bahan makanan pokok penduduk. Tanaman hortikultura mencakup
sayur-sayuran dan buah-buahan, baik yang berupa tanaman semusim maupun tanaman
tahunan.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Produksi Tanaman Padi


Sampai saat ini, beras menjadi komoditas yang memiliki nilai sangat strategis dalam
kehidupan maupun perekonomian. Hal ini tidak lepas dari peran beras yang menjadi
sumber makanan pokok bagi sebagian besar penduduk DIY. Akibatnya, output tanaman
padi ini mempunyai bobot yang tinggi dalam penghitungan angka inflasi yaitu sebesar
3,29 persen. Apabila terjadi gejolak harga beras, akan berdampak pada inflasi atau deflasi
yang berpengaruh terhadap perekonomian DIY secara umum. Kenaikan harga beras dapat
mendongkrak inflasi barang dan jasa lainnya, sehingga stabilitas harga beras harus terjaga
dan terkendali. Jaminan ketersediaan dan kestabilan harga beras menjadi bidang intervensi
pemerintah baik menyangkut aspek produksi, aspek konsumsi maupun distribusi.
Produksi beras atau padi tidak terlepas dari peran pelaku usaha tanaman padi,
ketersediaan lahan maupun peran pemerintah. Pelaku utama atau produsen padi adalah
rumah tangga yang mengusahakan tanaman padi. Rumah tangga usaha tanaman padi inilah
yang memegang peran penting dalam proses produksi tanaman padi. Dalam pelaksanaan
proses tersebut petani tentu saja dihadapkan berbagai keterbatasan faktor produksi. Peran
pemerintah dalam meningkatkan produksi padi dilakukan dengan cara ekstensifikasi dan
intensifikasi padi secara terus-menerus.
Produksi padi DIY selama dua puluh tahun terakhir menunjukkan pola yang cukup
berfluktuasi. Secara umum, produksi sampai tahun 2007 berfluktuasi di bawah 700 ribu ton.
Produksi ini kemudian meningkat secara bertahap hingga mencapai 946.244 ton di tahun
2012. Peningkatan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh bertambahnya luas panen
Tabel 9.3.
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Padi di DIY, 1993-2013
Tahun

Luas
Produktivitas Produksi
Panen (Ha)
(Ku/Ha)
(Ton)

Tahun

Luas
Produktivitas Produksi
Panen (Ha)
(Ku/Ha)
(Ton)

Tahun

Luas
Produktivitas Produksi
Panen (Ha)
(Ku/Ha)
(Ton)

1993

136.534

47,21

644.642

2000

137.849

47,46

654.289

2007

133.369

53,18

709.294

1994

135.838

47,36

643.266

2001

137.259

48,22

661.802

2008

140.167

56,95

798.232

1995

135.346

47,44

642.120

2002

134.848

48,47

653.577

2009

145.424

57,62

837.930

1996

137.402

48,12

661.179

2003

130.681

49,91

652.280

2010

147.058

56,02

823.887

1997

134.204

48,22

647.198

2004

132.869

53,05

692.998

2011

150.827

55,89

842.934

1998

137.771

45,12

621.605

2005

130.973

51,21

670.703

2012

152.912

61,88

946.224

1999

134.570

45,51

612.393

2006

132.374

53,5

708.163

2013

159.266

57,88

921.824

Sumber : BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

41

Produksi padi di DIY masih dipengaruhi oleh pola musiman, produksi mencapai puncaknya
selama sub round pertama (Januari-April) setiap tahun bersamaan dengan musim penghujan

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

tanaman padi sebagai implementasi dari kebijakan swasembada beras secara nasional.
Kebijakan ini mampu mendorong kenaikan produktivitas hingga mencapai level 61,88
kuintal/hektar di tahun 2012. Angka produktivitas ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun 1993 yang sebesar 42,21 kuintal/hektar. Dari sisi luas panen, terjadi peningkatan
dari 136,53 ribu hektar di tahun 1993 menjadi 159,27 ribu hektar di tahun 2013. Namun
demikian, di tahun 2013 terjadi sedikit penurunan produksi hingga mencapai 921.824 ton
karena penurunan produktivitas akibat kondisi cuaca yang kurang mendukung, meskipun
dari sisi luas panen terjadi peningkatan. Program kebijakan pemerintah melalui pemberian
subsidi atau bantuan benih, pupuk dan obat-obatan, pemberian kredit usaha tani, kebijakan
menstabilkan harga gabah di tingkat padi melalui program Lembaga Usaha Ekonomi
Perdesaan (LUEP) turut menunjang peningkatatan produksi padi. Sebaliknya, fenomena alih
fungsi lahan sawah memberi andil dalam mengurangi luas tanam maupun jumlah petani
padi yang tentunya mempengaruhi jumlah produksi padi.
Produksi tanaman padi juga sangat ditentukan oleh faktor musim dan kondisi cuaca.
Faktor musim dan cuaca menentukan curah hujan dan supplai air yang menjadi unsur
terpenting dalam budidaya tanaman padi. Secara umum, masa penanaman padi secara
masal di DIY dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember atau pada saat
memasuki musim penghujan. Akibatnya, panen raya tanaman padi setiap tahun akan
berlangsung selama bulan Januari sampai dengan bulan Maret.
Kondisi tersebut tercermin dalam Gambar 9.1 yang memperlihatkan bahwa luas panen
pada setiap subround I (Januari s.d April) menjadi yang tertinggi. Rata-rata luas panen
tanaman padi di bulan Januari-April dua kali lipat luas panen bulan Mei-Agustus, sementara
luas panen bulan Mei-Agustus rata-rata dua kali lipat luas panen bulan September-Desember.
Fenomena ini berkaitan dengan curah hujan dan supplai air yang semakin menurun dan
sebagai penggantinya petani mulai mengusahakan tanaman palawija.

://

Gambar 9.1.

ht

tp

Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Padi di DIY, 1993-2013


100
80
70

87,09

85,42

90

90,54

88,98

85,56

88,63

70,05

60
44,86

50

42,37

40,90

48,45

44,58

44,44

42,32

40
30

18,46

20

19,18

15,96

13,84

22,19

17,79

17,42

10

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Sep-Des

Mei-Ags

Jan-Apr

Sep-Des

Mei-Ags

Jan-Apr

Sep-Des

Mei-Ags

Jan-Apr

Sep-Des

Mei-Ags

Jan-Apr

Sep-Des

Mei-Ags

Jan-Apr

Sep-Des

Mei-Ags

Jan-Apr

Sep-Des

Mei-Ags

Jan-Apr

2013

Sumber : BPS

42

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Jagung dan ubi kayu menjadi komoditas palawija yang potensial dibudidayakan di wilayah
DIY pada saat musim kemarau

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

TProduksi Tanaman Palawija


Komoditas tanaman palawija yang cukup potensial dibudidayakan di DIY adalah jagung,
ubi kayu, kacang tanah dan kedelai. Hal ini terlihat dari luas panen keempat komoditas
selama tahun 2013 yang masing-masing sebesar 70.772 ha, 58.777 ha, 65.680 dan 23.290 ha.
Pola perkembangan luas panen maupun produksi tanaman palawija selama periode
2000-2013 relatif berfluktuasi. Luas panen tanaman jagung mencapai puncak pada tahun
2010 sebesar 86,84 ribu hektar dengan total produksi sebesar 345,58 ribu ton. Namun
demikian, produksi jagung di tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 13,97 persen
akibat penurunan luas panen dan produktivitas. Produksi tanaman kedelai menunjukkan
pola yang semakin menurun dari 68,10 ribu ton di tahun 2000 menjadi 31,68 ribu ton di
tahun 2013, sebagai akibat dari penurunan luas panen meskipun dari sisi produktivitas
terus menunjukkan peningkatan. Fenomena ini menggambarkan minat petani di DIY dalam
mengusahakan komoditas kedelai yang semakin berkurang dan cenderung memilih kacang
tanah atau komoditas sayuran sebagai penggantinya.
Perkembangan luas panen tanaman kacang tanah relatif berfluktuasi pada kisaran 60
ribu hektar, sementara produktivitasnya menunjukkan peningkatan secara signifikan dari
tahun ke tahun. Hal ini memberi pengaruh terhadap produksi yang cukup berfluktuasi dan
cenderung meningkat. Pada tahun 2013, produksi kacang tanah mencapai 70,83 ribu ton dan
meningkat 12,61 persen dari tahun sebelumnya. Komoditas palawija lainnya yang memiliki
kenaikan produksi selama tahun 2013 adalah ubi kayu dengan produksi sebesar 1,01 juta ton
dan luas panensebesar 58,77 ribu hektar. Komoditas palawija lainnya yang cukup banyak
diusahakan adalah ubi jalar dan kacang hijau. Produksi ubi jalar selama tahun 2013 sedikit
menurun dari tahun sebelumnya, karena luas panen yang berkurang. Sementara, produksi
kacang hijau mengalami peningkatan akibat pertambahan luas panen.
Tabel 9.4.

tp

Tahun

Luas
Panen
(Ha)

ht

Jagung

://

Luas Panen (Hektar) dan Produksi (Ton) Tanaman Palawija di DIY, 2000-2013

2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

65.953
71.374
62.309
65.062
67.645
72.714
70.270
70.216
71.164
74.563
86.837
69.768
73.766
70.772

Kedelai

Prod
(Ton)

Luas
Panen
(Ha)

173.536
187.577
170.753
204.129
211.730
248.960
223.620
258.187
285.372
314.937
345.576
291.596
336.608
289.580

54.248
45.405
42.937
36.327
33.552
33.297
33.419
27.628
32.514
31.666
33.572
28.988
28.554
23.290

Kacang Tanah

Prod
(Ton)

Luas
Panen
(Ha)

Prod
(Ton)

68.102
50.202
50.981
35.562
35.729
34.670
39.545
29.692
34.998
40.278
38.244
32.795
36.033
31.677

54.355
58.869
61.713
69.803
68.010
70.362
68.031
66.527
64.087
62.539
58.780
59.533
60.725
65.680

53.918
50.552
58.482
57.767
61.048
60.324
66.359
56.667
63.240
65.893
58.918
64.084
62.901
70.834

Kacang Hijau

Ubi Kayu

Ubi Jalar

Luas
Prod
Panen
(Ton)
(Ha)

Luas
Panen
(Ha)

Luas
Produksi
Prod
Panen
(Ton)
(Ton)
(Ha)

870
727
752
876
942
967
967
874
769
745
1.024
614
501
552

55.901
58.221
59.182
59.270
59.521
60.695
60.926
61.237
62.543
63.275
62.563
62.414
61.815
58.777

701.314
736.316
750.205
764.409
817.398
920.909
1.016.270
976.610
892.907
1.047.684
1.114.665
867.596
866.357
1.013.565

341
293
462
563
617
651
563
571
514
473
610
371
300
318

751
764
741
699
602
617
611
515
610
574
599
413
440
419

7.724
7.906
7.100
7.578
6.439
6.522
6.236
5.496
7.656
6.687
6.484
4.584
5.047
4.951

Sumber : BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

43

Cabai merah dan bawang merah menjadi komoditas sayuran semusim unggulan yang sangat
potensial dibudidayakan di sepanjang pesisir Pantai Selatan Kulonprogo dan Bantul

Tabel 9.5.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Produksi Tanaman Sayur-sayuran


Komoditas tanaman sayuran semusim yang cukup potensial dikembangkan di wilayah
DIY adalah cabe merah dan bawang merah. Kedua komoditas ini menjadi produk unggulan
yang banyak dibudidayakan di sepanjang Pesisir Selatan Kabupaten Bantul dan Kulonprogo.
Produksi bawang merah selama tahun 2013 mencapai 96.406 kuintal dengan luas panen
sebanyak 893 hektar. Dibandingkan dengan tahun 2012, produksi bawang merah turun
sebesar 18,68 persen. Penyebab utama penurunan produksi adalah berkurangnya luas panen
dari 1.180 hektar menjadi 893 hektar di tahun 2013 karena pengalihan lahan untuk budidaya
komoditas hortikultura lainnya terutama cabe merah. Meskipun demikian, produktivitas
bawang merah di DIY justru meningkat dari 100,47 kw/ha menjadi 107,96 kw/ha.
Berbeda dengan bawang merah yang produksinya turun, produksi tanaman cabe baik
cabe besar maupun cabe rawit justru semakin meningkat. Produksi tanaman cabe besar
selama tahun 2013 mencapai 171.335 kuintal, sementara cabe rawit mencapai 32.288 kuintal.
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya produksi keduanya masing-masing meningkat
sebesar 4,11 persen dan 39,23 persen. Peningkatan produksi cabe besar dan cabe rawit terjadi
karena meningkatnya luas tanam/panen masing-masing sebesar 135 hektar dan 181 hektar.
Dari sisi produktivitas, cabe merah mengalami sedikit penurunan akibat faktor musim/cuaca
dengan curah hujan tinggi pada saat budidaya dilakukan sehingga banyak tanaman yang
rusak, sementara produktivitas cabe rawit masih mampu mengalami peningkatan yang
cukup signifikan.
Tanaman sayuran lainnya yang mengalami peningkatan produksi adalah kacang
panjang, terung, kangkung dan bayam. Sementara, produksi tanaman sawi justrumengalami
penurunan. Dibandingkan dengan bawang merah dan cabe, luas area budidaya kelima
tanaman tersebut memang jauh lebih kecil. Pada tahun 2013, luas panen tanaman kacang
panjang sebesar 462 hektar dengan produksi mencapai 24.311 kuintal. Luas panen tanaman
sawi tercatat sebesar 525 hektar dengan produksi mencapai 64.470 kuintal. Luas panen dan
produksi beberapa tanaman sayuran yang lainnya (terung, kangkung dan bayam) disajikan
dalam Tabel 9.5.

Luas Panen (Ha), Produktivitas (Ku/Ha) dan Produksi (Kuintal) Beberapa Tanaman Sayuran di DIY, 2010-2013
2010
Komoditas

2011

2012

2013

Luas Produkt
Luas Produkt
Luas Produkt
Luas Produkt
Produksi
Produksi
Produksi
Produksi
ivitas
Panen ivitas
Panen ivitas
Panen ivitas
Panen
(Kw)
(Kw)
(Kw)
(Kw)
(Ha) (Kw/Ha)
(Ha) (Kw/Ha)
(Ha) (Kw/Ha)
(Ha) (Kw/Ha)

Bawang Merah

2.027

98,42 199.503 1.271 113,36 144.086 1.180 100,47 118.550

893 107,96

96.406

Cabe Besar

2.239

58,28 130.489 2.541

56,71 144.101 2.683

61,34 164.574 2.818

60,80 171.335

Cabe Rawit

613

33,72

20.673

746

28,98

21.620

708

32,76

23.191

889

36,32

32.288

Kacang Panjang

677

44,82

30.342

557

38,88

21.655

451

41,28

18.616

462

52,62

24.311

Sawi

613 110,22

67.562

635 112,72

71.580

604 109,32

66.029

525 122,80

64.470

Terung

160 109,59

17.535

237

13.146

203

11.052

393

36.507

55,47

54,44

92,89

Kangkung

377

74,51

28.092

335

78,65

26.347

275

77,11

21.205

321

97,50

31.296

Bayam

566

43,46

24.600

396

36,43

14.425

323

38,91

12.568

376

41,28

15.521

Sumber : BPS

44

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Beberapa komoditas perkebunan unggulan DIY seperti kelapa, tebu, tembakau rakyat dan
kakao mengalami penurunan produksi selama tahun 2013

Tabel 9.6.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PRODUKSI TANAMAN PERKEBUNAN


Beberapa tanaman perkebunan yang cukup berpotensi dan banyak dibudidayakan di
DIY antara lain adalah kelapa, cengkeh, jambu mete, coklat, tembakau rakyat dan tebu rakyat.
Berdasarkan luas tanamannya selama tahun 2013, kelapa merupakan tanaman perkebunan
yang paling banyak diusahakan dengan luas tanaman mencapai 41.591 hektar dan luas
panen mencapai 34.207 hektar. Produksi kelapa selama tahun 2013 mencapai 55.751 ton
atau turun 1,50 persen dibandingkan dengan produksi tahun 2012 yang mencapai 56.600
ton. Penyebab penurunan produksi kelapa adalah berkurangnya produktivitas, meskipun
dari sisi luas panen sedikit meningkat.
Tanaman tembakau rakyat yang sebagian besar diusahakan di wilayah Kabupaten
Sleman dan Bantul selama tahun 2013 mampu menghasilkan produksi sebesar 560 ton.
Produksi ini mengalami penurunan yang cukup signifikan sebesar 60 persen dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Penurunan produksi secara tajam di 2013 disebabkan oleh
penurunan luas tanam dan luas panen sebagai akibat faktor musim yang sesuai serta
kurangnya rangsangan berupa kenaikan harga tembakau yang mengurangi minat petani
untuk membudidayakannya.
Produksi tanaman tebu rakyat yang banyak diusahakan di Kabupaten Sleman dan
Bantul selama tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 5,72 persen dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang mencapai 16.928 ton. Jika dikaitkan dengan kebutuhan
konsumsi gula oleh masyarakat yang cukup tinggi dan masih tergantung pada produk
impor, seharusnya produksi tanaman tebu dapat ditingkatkan melalui tata niaga yang lebih
baik. Permasalahan keterbatasan lahan untuk budidaya tebu harus diintervensi dengan
memperhatikan nilai ekonomis dalam pemanfaatan lahan untuk budidaya tanaman lainnya.
Beberapa tanaman perkebunan juga mengalami penurunan produksi, seperti cengkeh,
jambu mete dan jarak pagar. Produksi cengkeh di tahun 2013 mencapai 364 ton atau turun
37 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Produksi jambu mete menurun 23,65
persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 484 ton. Sementara, komoditas yang
mengalami kenaikan produksi adalah kopi dari 362 ton di tahun 2011 menjadi 736 ton di
tahun 2013.

Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Komoditas Perkebunan di DIY, 2011-2013
2011
Komoditas

Luas
Tanaman
(ha)

2012

Luas
Rata-rata
Luas
Produksi
Panen
Produksi Tanaman
(ton)
(ha)
(ton/ha)
(ha)

2013

Luas
Rata-rata
Luas
Produksi
Panen
Produksi Tanaman
(ton)
(ha)
(ton/ha)
(ha)

Luas
Rata-rata
Produksi
Panen
Produksi
(ton)
(ha)
(ton/ha)

Kelapa

42.904 33.467

56.149

1,68

43.371 32.314

56.600

1,75

41.591 34.207

55.753

1,63

Jambu mete

19.349

6.427

577

0,09

19.197

6.161

484

0,08

15.015

4.343

261

0,06

Coklat

4.693

3.078

1.143

0,37

4.811

2.902

1.367

0,47

4.812

2.859

1.124

0,39

Tebu rakyat

3.621

3.576

15.812

4,42

3.613

3.613

16.928

4,69

3.585

3.604

15.961

4,43

Cengkeh

2.818

1.656

395

0,24

3.241

1.813

667

0,37

3.058

1.569

364

0,23

Jarak pagar

1.921

319

70

0,22

1.779

1.004

793

0,79

1.597

243

43

0,18

Tembakau

2.155

2.163

1.268

0,59

2.210

2.210

1.384

0,63

1.293

1.235

560

0,45

Kopi

1.407

867

362

0,42

1.859

1.386

77

0,06

1.726

1.037

736

0,71

Sumber : BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

45

Sapi menjadi komoditas ternak besar unggulan yang banyak dibudidayakan di wilayah
Gunungkidul, namun jumlah populasinya mengalami penurunan yang cukup signifikan selama
tahun 2013

id

PRODUKSI TERNAK DAN UNGGAS


Beberapa jenis hewan ternak besar dan kecil yang cukup banyak dibudidayakan di
wilayah DIY adalah sapi, kambing dan domba. Sampai saat ini, sapi masih menjadi komoditas
ternak unggulan di DIY yang dibudidayakan oleh rumah tangga usaha peternakan. Namun
demikian, jumlah populasi sapi dalam dua tahun terakhir justru semakin menurun. Pada
tahun 2009, populasi sapi tercatat mencapai 283.043 ekor dan secara bertahap meningkat
menjadi 385.370 ekor pada tahun 2011. Pada saat itu, capaian ke arah swasembada daging
semakin mendekati harapan sehingga keran impor sapi secara bertahap mulai dikurangi.
Namun, persoalan menjadi cukup rumit manakala impor daging dikurangi sementara
permintaan daging cukup tinggi menyebabkan permintaan jauh melebihi supplainya
sehingga harga melambung tinggi. Akibatnya, selama tahun 2011-2012 banyak sapi lokal
yang dipotong termasuk sapi betina sehingga terjadi penurunan jumlah populasi secara
signifikan di tahun 2012 dan 2013 hingga menjadi 272.794 ekor.

Jenis Ternak

2010

2011

2012

2013

1.222

1.360

1.508

1.626

1.776

283.043

290.949

385.370

358.387

272.794

Sapi perah

5.495

3.466

3.888

3.934

4.326

Kerbau

4.312

4.277

1.238

1.143

Kambing

308.353

331.147

343.647

352.223

369.730

Domba

132.872

136.657

147.773

151.772

156.860

12.038

12.695

13.056

12.782

13.579

Babi

980

ak

Sapi

yo
gy

Kuda

2009

Ayam kampung

3.916.636 3.861.676 4.019.960 4.060.722 3.274.886

Ayam ras

8.501.005 8.234.703 8.931.529 9.161.499 9.320.591


446.704

498.237

516.525

tp

Sumber : BPS

://

Itik

542.209

Sampai tahun 2013, Kabupaten


Gunungkidul masih menjadi daerah
utama untuk kegiatan budidaya sapi,
diikuti oleh Kabupaten Bantul dan
Kulonprogo. Lebih dari 50 persen
populasi sapi di DIY terdapat di
Gunungkidul. Sementara, budidaya
sapi perah terpusat di Kabupaten
Sleman dengan populasi mencapai
91 persen. Kegiatan budidaya sapi
di Kabupaten Sleman yang sempat
terganggu oleh aktivitas erupsi
Gunung Merapi secara perlahan juga
mulai menunjukkan peningkatan,
termasuk budidaya sapi perah.

ar
ta
.b
ps

Populasi Ternak Besar, Ternak Kecil dan Unggas di DIY,


2009-2013 (Ekor)

.g
o.

Tabel 9.7.

524.887

ht

Pada tahun 2013, jumlah populasi sapi perah di DIY mencapai 4.326 ekor dan meningkat
sebesar 9,96 persen dibandingkan dengan populasi pada tahun 2012. Populasi ternak besar
lainnya yang semakin bertambah adalah kuda dengan jumlah populasi 1.776 ekor dan
meningkat 9,23 persen dari tahun 2012, sementara populasi kerbau dalam beberapa tahun
terakhir justru semakin berkurang.
Populasi ternak kecil terutama kambing dan domba dalam tiga tahun terakhir juga
semakin meningkat dengan jumlah masing-masing sebanyak 369.730 ekor dan 156.860
ekor di tahun 2013. Dibandingkan dengan tahun 2012, populasi kedua jenis ternak
tersebut masing-masing meningkat sebesar 4,97 persen dan 3,35 persen. Demikian pula
dengan populasi babi, setelah menurun di tahun 2012 hingga menjadi 12.782 ekor jumlah
populasi di tahun 2013 bertambah menjadi 13.579 ekor. Dari tiga jenis unggas yang banyak
dibudidayakan di DIY, ayam ras memiliki populasi terbesar dengan jumlah mencapai 9,32
juta ekor. Sementara populasi ayam kampung dan itik masing-masing mencapai 3,27 juta
ekor dan 524,89 ribu ekor. Populasi ayam ras mengalami peningkatan dibandingkan dengan
tahun 2012, sementara populasi ayam kampung (bukan ras) dan unggas justru menurun
sebesar 19,35 persen dan 3,19 persen.
46

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Produksi daging sapi dan domba selama tahun 2013 mengalami penurunan, namun produksi
daging kambing dan unggas justru meningkat

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Produksi daging dari beberapa komoditas ternak dan unggas selama dua dekade
terakhir terlihat cukup berfluktuasi (Grafik 9.3). Produksi daging sapi mencapai puncaknya
pada tahun 2012 sebesar 8.583 ton dan meningkat 12,10 persen dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, meskipun di tahun 2013 terjadi sedikit penurunan. Peningkatan
produksi daging memiliki korelasi positif dengan jumlah ternak yang dipotong, sehingga
alasan jumlah populasi ternak sapi yang berkurang cukup signifikan disebabkan karena
peningkatan jumlah ternak yang dipotong.
Pola yang lebih berfluktuasi terjadi pada produksi komoditas kambing dan domba.
Meskipun tren produksi selama dua dekade terakhir cenderung menurun, jumlah produksi
daging kambing di tahun 2013 sedikit mengalami peningkatan menjadi 1.490 ton.
Sementara produksi daging domba di tahun 2013 menurun 0,17 persen dibandingkan
dengan tahun 2012. Hal yang sebaliknya terjadi pada produksi daging unggas. Produksi
daging unggas yang terdiri dari daging ayam ras, daging ayam bukan ras dan daging itik
selama dua dekade terakhir terakhir menunjukkan tren yang semakin meningkat, meskipun
terdapat pola yang sedikit berfluktuasi. Produksi daging unggas mencapai puncaknya pada
tahun 2007 dan 2012 dengan jumlah produksi masing-masing mencapai 36.331 ton dan
42.781 ton. Sementara produksi daging unggas di tahun 2013 relatif stabil.
Gambar 9.2.

Produksi Daging Sapi, Kambing, Domba dan Unggas di DIY, 1995-2013 (Ton)
Sapi

Kambing

2500
2000

8.000
7.000

1500

6.000

yo
gy

5.000

Domba

ak

9.000

1000

4.000
3.000

500

2.000
1.000

Unggas

40.000
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0

ht

tp

://

1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

45.000

1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

10.000

Sumber : Dinas Pertanian DIY

PRODUKSI PERIKANAN
DIY memiliki sebagian wilayah yang berbatasan langsung dengan lautan dan dilalui
oleh beberapa jalur sungai besar, sehingga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan
sebagai kawasan budidaya perikanan, baik perikanan laut maupun perikanan darat. Namun,
belum dikelolanya potensi sumber daya perikanan ini secara optimal menyebabkan
produktivitas perikanan laut dan darat dari tahun ke tahun masih jauh dari yang diharapkan.
Produksi perikanan darat selama periode 2004-2013 menunjukkan tren yang semakin
meningkat dengan rata-rata pertumbuhan di atas 27 persen per tahun. Pada tahun 2004,
produksi perikanan darat mencapai 7.629 ton dan meningkat secara signifikan menjadi
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

47

Produksi ikan di DIY masih didominasi oleh hasil perikanan darat terutama budidaya kolam,
sementara produksi perikanan laut relatif kecil dan belum dikelola secara optimal

tp

Gambar 9.3.

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

59.503 ton pada tahun 2013. Sebanyak 95,44 persen produksi perikanan darat merupakan
hasil budidaya kolam. Sedangkan sisanya dihasilkan dari budidaya di perairan umum (2,69
persen) tambak (1,37 persen); budidaya keramba (0,07 persen); jaring apung (0,03 persen);
sawah (0,25 persen) dan telaga (0,16 persen). Iklim kemarau basah selama tahun 2012 cukup
mendukung budidaya perikanan di kolam, sehingga pada terjadi kenaikan produksi yang
signifikan. Budidaya ikan darat masih terpusat di Kabupaten Sleman dengan pangsa produksi
di atas 43 persen. Sementara, pangsa produksi di Kabupaten Kulonprogo dan Bantul masingmasing mencapai 24,50 persen dan 20,29 persen. Budidaya perikanan di tambak yang mulai
marak dalam beberapa tahun terakhir masih terpusat di Kabupaten Bantul.
Berbeda dengan produksi perikanan darat yang menunjukkan kenaikan secara tajam,
produksi perikanan laut di DIY sampai saat ini masih belum menunjukkan peningkatan
secara signifikan, karena hanya dihasilkan dari hasil penangkapan. Sementara, produksi
yang dihasilkan dari hasil budidaya perikanan laut masih sangat sedikit. Selama periode
2004-2013, produksi perikanan laut lebih berfluktuasi dan sangat dipengaruhi oleh faktor
cuaca dan iklim. Produksi perikanan laut mencapai puncaknya di tahun 2009 dengan total
produksi sebesar 4.238 ton dengan rata-rata pertumbuhan produksi per tahunnya mencapai
16,38 persen. Dibandingkan dengan produksi tahun 2012 yang sebesar 2.568 ton, maka
produksi tahun 2013 meningkat sebesar 6,03 persen menjadi 2.723 ton.
Sampai saat ini, produksi perikanan laut DIY dihasilkan oleh tiga wilayah yakni
Kabupaten Kulonprogo, Bantul dan Gunungkidul. Sementara, Kota Yogyakarta dan Sleman
tidak menghasilkan produksi karena tidak memiliki wilayah yang berbatasan dengan laut.
Penyumbang produksi perikanan laut yang terbesar adalah Kabupaten Gunungkidul dengan
andil produksi sebesar 64 persen dan diikuti oleh Kabupaten Bantul dan Kulonprogo dengan
andil produksi masing-masing sebesar 20,03 persen dan 15,97 persen. Beberapa jenis ikan
tangkapan yang cukup dominan adalah manyung, kuniran, tiga waja, cakalang, layur dan
rumput laut.

ht

Produksi Perikanan Darat dan Laut di DIY, 2004-2013 (Ton)


70.000
59.503

Perikanan Darat

60.000

Perikanan Laut

50.247

50.000

44.542
39.033

40.000
30.000

20.105

20.000
10.000
0
2003

7.629

10.186 10.472

12.546

15.613

1.444

1.773

1.720

2.462

1.939

2004

2005

2006

2007

2008

4.238

2.525

3.953

2.568

2.723

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan DIY

48

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Rendahnya produktivitas perikanan laut DIY dipengaruhi oleh faktor cuaca dan gelombang
yang besar serta armada dan alat penangkapan yang masih tradisional

Penurunan produktivitas perikanan laut di DIY secara umum dipengaruhi oleh


kondisi iklim dan cuaca. Kondisi cuaca yang buruk menyebabkan gelombang Laut Selatan
menjadi cukup tinggi, sehingga banyak nelayan yang terpaksa tidak melaut. Di samping itu,
kurangnya sumber daya manusia yang terampil dan mumpuni, keterbatasan alat tangkap
yang representatif serta mitos yang berlaku di masyarakat seputar penguasa laut selatan
cukup membatasi produktivitas perikanan laut. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan
dan Kelautan DIY, pemanfaatan potensi perikanan laut sampai saat ini masih sangat kecil,
yaitu hanya sebesar 0,4 persen dari seluruh potensi yang ada. Sarana penangkapan ikan
laut yang masih sangat terbatas baik dari sisi armada penangkapan maupun alat tangkap
menyebabkan nelayan hanya dapat menangkap beberapa jenis ikan tertentu saja, seperti
bawal, layur, kakap, tigawaja, pari, kembung dan lobster.

.g
o.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

Armada Penangkapan Ikan Laut di DIY, 2004-2013 (Ton)

id

Gambar 9.4.

Tahukah Anda ?
Produksi perikanan laut di DIY sebagian besar disumbang oleh hasil
penangkapan ikan di Kabupaten Gunungkidul

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

49

10

PERTAMBANGAN DAN ENERGI


Potensi kegiatan pertambangan dan penggalian di wilayah DIY merupakan kegiatan
penggalian Golongan C yang mayoritas bersumber dari hasil erupsi Merapi

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PERTAMBANGAN
Sektor pertambangan dan penggalian mencakup kegiatan pertambangan migas dan
non migas serta kegiatan penggalian batu, pasir dan tanah. DIY tidak memiliki pertambangan
migas atau non migas, namun memiliki potensi sebagai produsen batu, pasir atau bahan
galian yang tergolong dalam golongan C. Potensi barang galian golongan C tersebut
disebabkan oleh sebagian wilayah DIY yang terletak di lereng Gunung Merapi, gunung
berapi cukup aktif dan senantiasa mengeluarkan material dalam bentuk pasir maupun
bebatuan lainnya.
Nilai tambah yang diciptakan oleh sektor pertambangan dan penggalian di DIY selama
periode 2000-2013 semakin meningkat hingga mencapai Rp 416,53 milyar. Namun demikian,
nilai andil terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY justru semakin menurun
dari 0,87 persen di tahun 2000 menjadi 0,65 persen di 2013. Penurunan ini secara umum
disebabkan oleh laju pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian yang relatif lebih
lambat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor lainnya. Laju pertumbuhan sektor ini
mencapai puncaknya di tahun 2011 pasca erupsi Merapi di akhir tahun 2010 dengan laju
sebesar 11,96 persen. Namun, di tahun 2012 pertumbuhannya sedikit melambat dengan
laju sebesar 1,98 persen dan kembali menguat menjadi 4,92 persen di tahun 2013.
Kendati andil terhadap PDRB relatif kecil, sektor ini menjadi tumpuan hidup bagi
sebagian penduduk terutama yang tinggal di lereng Gunung Merapi dan daerah yang
menjadi aliran materialnya. Hal ini terkait dengan kualitas bahan galian yang dihasilkan
dikenal baik untuk mendukung kegiatan produksi sektor lainnya, seperti konstruksi dan
industri pendukung konstruksi seperti ubin, bus beton, dan lainnya.

Tabel 10.1.

ht

tp

://

yo
gy

LISTRIK
Sama seperti sektor pertambangan dan penggalian, sumbangan nilai tambah sektor
listrik, gas dan air bersih dalam struktur PDRB DIY juga tidak terlalu besar. Sektor ini hanya
mencakup subsektor listrik dan subsektor air bersih karena tidak tersedianya produsen gas
di wilayah DIY. Pada tahun 2013, nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor ini mencapai

Nilai Tambah Bruto ADHB dan ADHK 2000, Andil dan Pertumbuhan Sub Sektor Penggalian, Listrik dan Air
Bersih di DIY, 2000-2013
Sektor/Sub Sektor
Penggalian NTB ADHB (Rp Milyar)

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

117,39 130,22 152,57 170,10 182,52 198,34 218,17 258,76 280,11 293,98 304,66 361,79 379,95 416,53

NTB ADHK 2000 (Rp Milyar) 138,36 118,13 118,32 119,43 120,44 122,33 126,14 138,36 138,33 138,75 139,97 156,71 159,81 167,67
Andil (Persen)

0,87

Pertumbuhan (Persen)
Listrik

0,87

0,87

0,83

0,78

0,74

0,79

0,74

0,71

0,67

0,70

0,67

0,65

0,16

0,94

0,84

1,57

3,11

9,69

-0,02

0,30

0,88

11,96

1,98

4,92

NTB ADHB (Rp Milyar)

90,33 121,10 167,43 215,75 250,28 310,80 355,81 398,57 461,85 531,45 576,25 642,76 690,77 756,43

NTB ADHK 2000 (Rp Milyar)

90,33 101,03 117,53 122,62 131,78 140,03 140,19 152,78 162,22 172,77 179,87 187,99 200,98 214,40

Andil (Persen)

0,67

Pertumbuhan (Persen)
Air Bersih

0,86
-14,62

0,80

0,96

1,10

1,14

1,23

1,21

1,21

1,21

1,28

1,26

1,24

1,21

1,19

11,86

16,33

4,33

7,47

6,26

0,11

8,98

6,18

6,51

4,11

4,52

6,91

6,67

NTB ADHB (Rp Milyar)

9,36

10,58

13,96

15,95

17,82

19,33

21,19

24,80

26,48

28,87

30,82

33,15

36,80

40,27

NTB ADHK 2000 (Rp Milyar)

9,36

9,67

11,40

12,76

13,07

13,09

12,68

12,99

12,71

12,83

13,16

13,25

14,56

15,24

Andil (Persen)

0,99

Pertumbuhan (Persen)

1,02

1,14

1,10

1,02

0,87

0,74

0,71

0,65

0,65

0,64

0,59

0,59

0,58

3,32

17,89

11,92

2,43

0,15

-3,15

2,50

-2,14

0,88

2,58

0,71

9,89

4,70

Sumber : BPS DIY

50

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Kebutuhan konsumsi energi listrik semakin meningkat pesar seiring dengan pertumbuhan rumah
tangga dan aktivitas perekonomian

10

tp

Gambar 10.1.

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Rp 796,90 milyar dengan rincian subsektor listrik sebesar Rp 756,43 milyar dan sub sektor air
bersih Rp 40,27 milyar. Dari sisi kontribusi, sektor listrik dan air hanya memiliki andil sebesar
1,77 persen terhadap PDRB DIY tahun 2013 yang terdiri dari 1,19 persen sub sektor listrik dan
0,58 persen sub sektor air bersih. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, nilai tambah
subsektor listrik selama tahun 2013 mampu tumbuh sebesar 6,67 persen dan nilai tambah
subsektor air bersih mampu tumbuh 4,70 persen.
Energi listrik yang didistribusikan oleh PT PLN Divisi Regional DIY tidak diproduksi/
dibangkitkan di wilayah DIY, tetapi berasal dari pembangkit listrik di provinsi lain terutama
Jawa Tengah. Setiap tahun, volume daya yang didistribusikan semakin meningkat seiring
dengan pertumbuhan jumlah rumah tangga maupun perkembangan kegiatan ekonomi
yang membutuhkan listrik sebagai sumber energinya. Pada tahun 2013, jumlah pelanggan
listrik di DIY tercatat sebanyak 935,82 ribu dan meningkat 4,93 persen dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Sementara, daya listrik yang terpasang dan dan terjual selama tahun
2013 masing-masing 1234,193 juta Kwh dan 2046,22 juta Kwh. Dibandingkan dengan tahun
2012, jumlah daya listrik yang terjual meningkat sebesar 0,12 persen.
Secara umum, perkembangan jumlah energi listrik yang terpasang (Kwh) selama tahun
1994-2013 juga memiliki pola semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
pelanggan. Jumlah listrik terpasang (Kwh) maupun jumlah pelanggan sempat mengalami
penurunan di tahun 2006 akibat terganggunya jaringan listrik sebagai dampak bencana
gempa bumi pada bulan Mei 2006, namun dalam tujuh tahun terakhir polanya terus
meningkat. Pola perkembangan daya listrik yang terjual hampir sama dengan daya listrik
yang terjual, namun dari sisi kuantitas daya jauh lebih besar.
Komposisi pelanggan pengguna layanan listrik dikategorikan menjadi beberapa jenis,
yakni rumah tangga, usaha, industri dan umum (pemerintah, kegiatan sosial, rumah sakit,
lembaga pendidikan, tempat ibadah dan lainnya). Sampai dengan tahun 2013, jumlah
terbesar pelanggan listrik di DIY adalah kelompok rumah tangga dengan proporsi mencapai

ht

Jumlah Pelanggan (000 unit), Daya Listrik Terpasang dan Terjual (Juta Kwh) di DIY, 1994-2013
2500
Daya Terpasang (juta Kwh)
Daya Terjual (juta Kwh)

2000

Jumlah Pelanggan (000)

1500

1000

500

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

Sumber : PLN Yogyakarta

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

51

10

Sampai dengan tahun 2013 rumah tangga menjadi pelanggan utama energi listrik PLN dengan
proporsi 92,41 persen dengan proporsi jumlah energi listrik yang dikonsumsi sebesar 55,77 persen

92,41 persen dan sedikit menurun dibandingkan dengan komposisi tahun 2012 yang
sebesar 92,51 persen. Meskipun mendominasi dari sisi jumlah pelanggan, jumlah daya
(energi) listrik yang dikonsumsi oleh rumah tangga hanya sebesar 55,77 persen dari total
daya listrik yang terjual. Konsumen/pelanggan terbanyak kedua adalah kegiatan usaha
yang mencakup perdagangan, hotel, restoran, perkantoran dan lainnya dengan proporsi
sebesar 4,16 persen. Total daya listrik yang dikonsumsi kegiatan usaha selama tahun 2012
mencapai 19,95 persen dan dalam beberapa tahun terakhir proporsinya semakin meningkat.
Pelanggan dari kelompok umum mencapai 3,39 persen dengan total konsumsi mencapai
14,07 persen. Jumlah pelanggan dari kelompok industri relatif kecil hanya 0,05 persen,
tetapi kelompok ini mengkonsumsi daya listrik sebesar 10,21 persen dari total daya listrik
yang terjual di wilayah DIY.

id

Gambar 10.2.

.g
o.

Distribusi Pelanggan dan Daya Listrik Terjual menurut Jenis Pelanggan di DIY, 2010-2013
Pelanggan

ar
ta
.b
ps

Listrik Terjual

Rumah Tangga
4,14

92,41

19,95

Usaha

55,77

0,05
3,39

10,21

Industri

14,07

yo
gy

ak

Umum

ht

tp

://

Sumber : PLN Yogyakarta

AIR BERSIH
Kebutuhan pokok penduduk mencakup tersedianya air bersih, baik untuk konsumsi
maupun keperluan sehari-hari. Permasalahannya adalah tidak semua penduduk mampu
menyediakan dan memenuhi kebutuhan air sendiri dengan berbagai pertimbangan dan
alasan, sehingga membutuhkan peran pemerintah maupun swasta untuk memproduksinya.
Dari enam unit perusahaan air bersih yang beroperasi di DIY, lima diantaranya berstatus
sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau sebagian besar dari sahamnya dimiliki oleh
pemerintah daerah dan hanya satu yang berstatus perusahaan swasta.
52

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

10

Belum efesiennya perusahaan air minum di DIY dipengaruhi oleh masih besarnya proporsi
air bersih yang susut dalam proses distribusi

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Potensi kapasitas produksi air bersih di DIY pada tahun 2013 tercatat 2.500 liter/detik,
namun baru efektif digunakan sebesar 1.789 liter/detik atau 71,56 persen. Dibandingkan
dengan tahun 2012, kapasitas produksi potensial maupun kapasitas produksi efektif
mengalami penurunan sebesar 45,37 persen dan 12,09 persen. Sumber air bersih yang
selama ini diolah berasal dari sungai, waduk, mata air, serta air tanah dan lainnya (air hujan,
dan sebagainya). Dari keempat sumber air minum tersebut, sebanyak 60,99 persen atau
sebesar 26.409 ribu m3 diantaranya berasal dari air tanah dan lainnya. Sumber dari mata air
dan sungai masing-masing mencapai 8.506 ribu m3 atau 19,64 persen dan 7.770 ribu m3 atau
17,94 persen. Sementara, air yang diolah dari sumber waduk mencapai 619 ribu m3 atau
sebesar 1,43 persen.
Berdasarkan data dari perusahaan air minum, volume air bersih yang terbesar selama
tahun 2013 disalurkan ke konsumen rumah tangga dengan jumlah mencapai 18.234 m3 atau
69,65 persen dari total volume air yang disalurkan. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya
konsumsi air bersih oleh rumah tangga turun sebesar 12,51 persen. Instansi pemerintah
mengkonsumsi air bersih dengan volume mencapai 942 ribu m3 atau 3,60 persen. Kelompok
niaga dan industri serta institusi sosial mengkonsumsi air bersih dengan porsi masing-masing
sebesar 1,77 persen dan 0,55 persen. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,
konsumsi kelompok niaga dan jasa cenderung menurun tetapi kelompok institusi sosial justru
meningkat. Hal yang perlu mendapat perhatian serius dalam persoalan distribusi air bersih
adalah berkurangnya volume air bersih (susut) akibat kualitas infrastruktur penyaluran air
yang semakin memburuk karena faktor rusak maupun pemakaian illegal. Volume air bersih
yang susut pada tahun 2013 sebesar 21,81 persen dan cenderung menurun dibandingkan
dengan tahun 2012.
Nilai produksi atau pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan air bersih dari tahun
ke tahun terus meningkat sebagai akibat dari kenaikan volume maupun kenaikan harga.
Pada tahun 2012, besarnya nilai produksi air bersih yang tersalurkan mencapai 83,49 milyar
rupiah dan menurun sebesar 3,17 persen menjadi 80,48 milyar rupiah di tahun 2013 akibat
berkurangnya volume aier yang terjual. Dari total pendapatan tahun 2013, 83,31 persennya
berasal dari konsumen rumah tangga sebagai pengguna terbesar. Sementara, nilai volume
air bersih dari pengguna niaga dan industri serta jasa sedikit meningkat akibat kenaikan
harga, meskipun volume penjualannya turun.
Gambar 10.2.

Tabel 10.2.

Sumber Air Bersih yang Diolah Peru- Distribusi Penyaluran Air Bersih menurut Jenis Pengguna di DIY,
sahaan Air Bersih di DIY, 2013 (%)
2010-2013 (000 m3)
Pengguna
Rumah Tangga

60,99

Instansi Pemerintah

17,94
19,64

1,43
Sungai

Waduk

Sumber : BPS DIY

Mata Air

Air Tanah/Lainnya

2010
Jumlah

2011
%

19.548 49,93

Jumlah

2012
%

19.597 49,93

Jumlah

2013
%

20.841 51,98

Jumlah

18.234 69,65

1.040

2,66

1.080

2,66

1.043

2,6

942

3,60

Niaga dan Industri

837

2,14

691

2,14

708

1,77

684

2,61

Sosial

720

1,84

720

1,84

894

2,23

464

1,77

Lainnya

321

0,82

302

0,82

185

0,46

145

0,55

Susut

16.683 42,61

17.388 42,61

13.722 40,96

Jumlah

39.149

39.778

37.393

100

100

100

5.710 21,81
26.179

100

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

53

11

INDUSTRI PENGOLAHAN
Populasi usaha industri pengolahan di DIY didominasi oleh industri kecil dan mikro
denganjumlah 90,62 persen.

Sektor industri pengolahan selama tahun 2012 memberikan sumbangan nilai tambah
sebesar 13,35 persen terhadap perekonomian DIY. Struktur usaha industri (manufacture) di
DIY berdasarkan hasil Sensus Ekonomi 2006 didominasi oleh industri berskala mikro (90,62
%) dan industri kecil (8,49 %). Sementara, populasi usaha yang berskala menengah dan
besar hanya mencapai 0,89 persen.
Gambar 11.1.
Distribusi Populasi Perusahaa Industri Besar Sedang di DIY menurut Golongan Industri, 2013 (%)

Lainnya
0,08

Makanan
0,12

id

Tembakau
0,02

Furniture
0,16

Kulit
0,03

Barang Galian
0,14

Percetakan
0,05

Kayu
0,13

ak

Karet
0,02 Batu Bara
0,03

yo
gy

Sumber : BPS DIY

Tabel 11.1.

ar
ta
.b
ps

Pakaian
0,11

Barang Logam
0,03

.g
o.

Tekstil
0,07

Mesin
0,02

://

Jumlah Pekerja Perusahaan IBS di DIY menurut


Golongan Industri dan Jenis Kelamin, 2013 (Jiwa)
Laki-laki

Makanan
Tembakau

335

Perempuan

Jumlah

Total
Upah

2.173

7.124

4.162

4.497

446,31
72,20

Tekstil

3.360

3.727

7.087

108,34

Pakaian

249,59

1.696

10.351

12.047

Kulit

629

425

1.054

19,59

Kayu

755

761

1.516

27,40

Percetakan

1.276

601

1.877

44,44

652

378

1.030

24,03

Karet

1.520

867

2.387

80,65

Barang Galian

2.180

394

2.574

53,70

Barang Logam

410

31

441

14,82

Mesin

2.335

488

2.823

134,69

Furniture

4.177

1.026

5.203

165,08

Lainnya

1.010

2.214

3.224

81,42

25.286

27.598

52.884

1.522,24

Batu Bara

Jumlah

Sumber : BPS DIY

54

4.951

tp

Jumlah Tenaga Kerja

ht

Golongan
Industri

JUMLAH PERUSAHAAN DAN TENAGA


KERJA INDUSTRI BESAR DAN SEDANG
Berdasarkan hasil Survei Industri
Besar Sedang (IBS) yang dilakukan secara
berkala oleh BPS DIY, jumlah perusahaan IBS
yang beroperasi di DIY selama tahun 2012
sebanyak 391perusahaan. Komposisi jumlah
perusahaan IBS berdasarkan golongan
usahanya menunjukkan bahwa industri
furnitur memiliki populasi yang terbesar
dengan jumlah 62 perusahaan atau 16
persen. Populasi terbesar selanjutnya secara
berturut-turut adalah golongan industri
barang galian bukan logam (54 unit); industri
kayu, barang dari kayu dan anyaman (49
unit); industri makanan dan minuman (46
unit); pakaian jadi (43 unit); dan tekstil (29).
Salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan besar
atau kecilnya suatu perusahaan adalah
banyaknya tenaga kerja. Tenaga kerja
menjadi faktor produksi terpenting bagi
kelangsungan proses produksi selain input
bahan baku. Semakin banyak tenaga kerja
yang digunakan akan semakin besar pula
skala output yang dihasilkan perusahaan.
Berdasarkan hasil survei tahunan IBS tahun
2012, jumlah tenaga kerja pada perusahaan
IBS di DIY mencapai 52.884 orang terdiri
dari 25.286 pekerja laki-laki (47,81 %) dan
27.598 pekerja perempuan (52,19 %).
Jika dibandingkan dengan tahun 2011,
jumlah tenaga kerja perusahaan IBS selama
tahun 2012 mengalami sedikit penurunan
akibat berkurangnya jumlah perusahaan
yang berubah status menjadi industri
kecil. Sementara, nilai total balas jasa yang
dibayarkan kepada para pekerja selama
tahun 2013 mencapai Rp 1,522 triliun dan
menurun 1 persen dari tahun 2011.
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Struktur output dan nilai tambah bruto pada perusahaan industri besar dan sedang didominasi
oleh golongan industri makanan dan minuman serta industri pakaian jadi

11

Golongan industri pakaian jadi menyerap tenaga kerja terbesar dalam IBS DIY selama
tahun 2012 dengan jumlah 12.047 orang. Nilai total balas jasa pekerja pada golongan industri
ini mencapai Rp 249,59 milyar, sehingga rata-rata satu orang pekerja industri pakaian jadi
menerima balas jasa sebesar Rp 20,72 juta per tahun. Golongan industri yang menyerap
tenaga kerja terbesar berikutnya adalah industri industri makanan, tekstil dan industri
furniture dengan jumlah masing-masing sebesar 7.124 orang, 7.087 orang dan 5.203 orang.
Nilai upah atau balas jasa per pekerja yang pada perusahaan IBS tahun 2012 mencapai Rp
28,78 juta per tahun. Golongan industri yang memiliki nilai balas jasa per pekerja tertinggi
adalah industri makanan dan minuman jadi serta industri mesin.

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

STRUKTUR INPUT DAN OUTPUT NDUSTRI BESAR DAN SEDANG


Struktur input produksi perusahaan IBS terdiri dari biaya untuk bahan baku dan bahan
penolong baik berasal dari domestik maupun impor, biaya untuk bahan bakar pelumas,
biaya untuk sewa gedung, mesin, dan alat-alat, dan biaya untuk lainnya. Sementara, nilai
output perusahaan IBS terdiri dari nilai barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual,
pendapatan dari jasa, selisih nilai stock barang setengah jadi, dan penerimaan lainnya
Selama tahun 2012, total nilai input produksi atau nilai biaya antara perusahaan IBS di
DIY mencapai Rp 7.823 milyar. Sementara, nilai output yang dihasilkan dalam periode yang
sama mencapai Rp 11.696 milyar, sehingga rasio nilai input terhadap nilai total output (rasio
biaya antara) mencapai 0,67. Rasio biaya antara menunjukkan seberapa besar kebutuhan
input antara dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan satu unit output. Semakin
tinggi nilai rasio biaya antara maka semakin tidak efisien produk tersebut diproduksi dan
sebaliknya semakin rendah rasionya maka proses produksi semakin efisien. Dibandingkan
dengan tahun 2011 yang sebesar 065, maka rasio biaya antara tahun 2012 sedikit mengalami
kenaikan sehingga proses produksi IBS 2012 menjadi kurang efisien.
Tabel 11.2.

Makanan

Rasio
Rasio
2012
Input
Input
Nilai terhadap
Nilai terhadap
Input Output
Input Output
Tambah Output
Tambah Output
4.180 5.677 1.497
73,63 3.888 5.386 1.498
72,19
2011

ht

Golongan
Industri

tp

://

Nilai Input, Output dan Nilai Tambah Bruto Perusahaan IBS di


DIY menurut Golongan Industri (Milyar Rp)

Tembakau

130

348

218

37,28

517

825

307

62,73

Tekstil

497

737

240

67,38

721

1.038

317

69,45

Pakaian

847

1.486

639

57,01

837

1.461

624

57,27

Kulit

137

182

45

75,44

120

179

59

66,92

Kayu
Percetakan
Batu Bara

55

123

67

45,18

61

97

36

62,93

173

290

117

59,68

158

261

103

60,57

47

98

51

47,84

108

157

49

69,01

Karet

202

326

125

61,83

260

303

43

85,87

Barang Galian

259

427

168

60,72

302

469

167

64,38

Barang Logam

25

34

74,88

31

53

22

59,17

Mesin

171

488

317

35,08

398

651

253

61,15

Furniture

322

545

223

59,02

215

367

153

58,46

78

158

80

49,54

207

350

143

59,07

7.122 10.917

3.794

65,24

7.823 11.596

3.773

67,46

Lainnya
Jumlah

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Industri
makanan
dan
minuman
menjadi
golongan
industri yang memiliki nilai
input dan output yang terbesar,
sementara industri barang logam
memiliki nilai input dan output
produksi yang terendah. Selama
tahun 2012, nilai input yang
digunakan industri makanan dan
minuman mencapai Rp 3.888 milyar
dan mampu menghasilkan output
sebesar Rp 5.386 milyar, sehingga
nilai rasio biaya antaranya sebesar
0,72. Output terbesar selanjutnya
dihasilkan oleh perusahaan pada
industri pakaian jadi dengan
nilai output mencapai Rp 1.461
milyar, sementara nilai input yang
digunakan sebesar Rp 837 milyar
sehingga nilai rasio biaya antaranya
mencapai 0,57.
55

11

Indikator rata-rata jumlah pekerja, output per pekerja nilai tambah bruto pada perusahaan
industri besar dan sedang dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat, di sisi lain rasio
input output juga meningkat

Perkembangan indikator perusahaan IBS DIY selama 2006-2012 disajikan dalam Tabel
11.3. Rata-rata jumlah pekerja per perusahaan IBS pada tahun 2013 tercatat sebesar 135
orang . Rata-rata ini sedikit menurun setelah tahun sebelumnya meningkat hingga 145
tenaga kerja per perusahaan. Meskipun demikian, rata-rata upah pekerja per tahun justru
meningkat secara signifikan hingga mencapai Rp 28,78 juta per tahun. Peningkatan ini
secara kasar merefleksikan tingkat kesejahteraan pekerja yang semakin membaik.

Produk
tivitas
Pekerja
(juta)

Rasio
Nilai
Input
Tambah
terhadap Bruto
Output (Triliun)

2006

108

9,34

60,10

0,58

1,47

2007

120

10,47

29,27

0,67

1,59

2008

128

11,56

87,33

0,66

1,86

2009

127

12,14

109,67

0,65

1,97

2010

132

12,31

120,70

0,59

2,64

2011

145

26,12

185,44

0,65

3,79

2012

135

28,78

219,27

0,67

3,77

ak

Rata-rata
Upah
Pekerja
(Juta)

ar
ta
.b
ps

Tahun

Rata-rata
Jumlah
Pekerja
(Orang)

Sumber : BPS DIY

yo
gy

Tabel 11.4.

tp

Output

2012

NTB

Output

NTB

52,01

39,46

46,45

39,70

Tembakau

3,18

5,75

7,11

8,15

Tekstil

6,75

6,34

8,95

8,40

13,61

16,83

12,60

16,54

Kulit

1,66

1,18

1,54

1,57

Kayu

1,12

1,77

0,83

0,95

Percetakan

2,65

3,08

2,25

2,72

Batu Bara

0,90

1,35

1,35

1,29

Karet

2,99

3,28

2,61

1,13

Barang Galian

3,91

4,42

4,05

4,43

Barang Logam

0,31

0,22

0,46

0,57

Mesin

4,47

8,34

5,61

6,70

Furniture

5,00

5,89

3,17

4,04

Lainnya

1,45

2,10

3,02

3,80

Jumlah

100

100

100

100

Sumber : BPS DIY

ht

Makanan

Pakaian

56

2011

://

Distribusi Output dan Nilai Tambah Bruto Perusahaan


IBS DIY menurut Golongan Industri (Persen)
Golongan
Industri

Produktivitas pekerja yang diukur dari


rasio output pekerja selama tujuh tahun
terakhir menunjukkan perkembangan
positif hingga mencapai level Rp 219,27
juta per pekerja selama setahun. Hal ini
menjadi sinyal yang baik, namun dari
sisi rasio input terhadap output justru
semakin meningkat yang artinya prosen
produksi menjadi kurang efisien. Secara
umum, fenomena ini menggambarkan
kenaikan output yang lebih didorong oleh
peningkatan kapasitas modal.
Berdasarkan golongannya, industri
makanan dan minuman, pakaian jadi dan
tekstil menjadi penyumbang terbesar
terhadap total nilai output yang dihasilkan
oleh perusahaan IBS selama tahun 20082010. Pada tahun 2012, ketiganya memiliki
sumbangan sebesar 46,45 persen, 12,60
persen dan 8,40 persen terhadap total nilai
output perusahaan IBS. Hal ini juga searah
dengan sumbangan perusahaan pada
ketiga golongan industri terhadap total
nilai tambah bruto yang dihasilkan. Pada
tahun 2012 andil ketiganya terhadap nilai
tambah bruto mencapai 29,90 persen,
16,54 persen dan 8,40 persen.
Komposisi andil dari setiap golongan
industri terhadap output maupun nilai
tambah bruto pada tahun 2012 relatif
sama dengan tahun 2011, meskipun dari
sisi level ada perbedaan. Andil output
industri makanan dan minuman menurun,
tetapi andil nilai tambah brutonya relatif
tetap. Andil industri pakaian jadi terhadap
output maupun nilai tambah bruto relatif
stabil, sementara golongan industri tekstil
justru memiliki andil output dan nilai
tambah bruto yang semakin meningkat.

id

Rata-rata Jumlah Pekerja, Upah per Tahun, Produktivitas, Rasio Input Output dan NTB Perusahaan IBS di DIY

.g
o.

Tabel 11.3.

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Perkembangan indeks triwulanan produksi industri kecil dan mikro di DIY semakin
meningkat, meskipun terjadi penurunan di triwulan I dan II 2012

11

STATUS PERMODALAN PERUSAHAAN iNDUSTRI BESAR SEDANG


Status permodalan perusahaan industri bisa berasal dari penanaman modal dalam
negeri (PMDN), penanaman modal asing (PMA), dan non fasilitas. Berdasarkan hasil
pendataan Survei Industri Besar Sedang, mayoritas perusahaan IBS yang beroperasi di DIY
selama lima tahun terakhir memiliki status modal non fasilitas, jumlahnya berada pada
kisaran atau 84 persen.

Status Permodalan

2008

2009

2010

2011

2012

PMDN

10,34

8,19

8,75

9,34

8,95

5,77

6,95

6,75

7,13

6,65

83,89

84,86

84,50

83,54

84,40

100

100

100

100

100

PMA
Non Fasilitas
Jumlah

ar
ta
.b
ps

Sumber : BPS DIY

Proporsi perusahan yang berstatus


modal PMDN dan PMA masing-masing
sebanyak 8,95 persen dan 6,65 persen. Hal
yang patut diperhatikan adalah kebijakan
untuk merangsang masuknya investastor
asing di satu sisi dapat memacu pertumbuhan
ekonomi, namun di sisi lain membawa
pengaruh terhadap persoalan distribusi
pendapatan, kesejahteraan masyarakat dan
kualitas lingkungan.

id

Distribusi Perusahaan IBS di DIY menurut Status


Permodalan, 2008-2012 (Persen)

.g
o.

Tabel 11.5.

ht

tp

://

yo
gy

ak

INDUSTRI MIKRO DAN KECIL


Selain industri yang berskala besar dan sedang, struktur industri di DIY juga didominasi
oleh industri yang berskala kecil dan mikro (rumah tangga). Hasil Sensus Ekonomi 2006
menunjukkan populasi industri mikro kecil di DIY mencapai 90,62 persen. Kelompok industri
mikro kecil ini terbukti memiliki daya tahan yang kuat terhadap krisis ekonomi yang melanda
Indonesia, namun perkembangannya sering terkendala oleh faktor modal dan strategi
pemasaran.
Berdasarkan hasil pendataan Survei Industri Mikro Kecil (IMK) yang dilaksanakan
secara periodik setiap triwulan dapat disajikan perkembangan indeks produksi triwulanan
maupun pertumbuhan produksinya. Perkembangan nilai indeks produksi triwulanan
(2010=100) di DIY secara umum berada di bawah level nasional, bahkan di triwulan I
dan II 2012 nilai indeks produksi DIY berada di bawah 100. Artinya terjadi penurunan
produksi selama dua triwulan
Gambar 11.2.
Nilai
rata-rata
Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan Industri Mikro dan Kecil tersebut.
indeks produksi tahunan
di DIY dan Nasional, 2011-2014 (2010=100)
2011 tercatat sebesar 106,56,
130
121,25
artinya selama tahun 2011
117,68 118,85
115,85
120
113,83
111,88
terjadi kenaikan produksi
110,48
109,8 108,57
107,42
115,45 114,96 116,83 115,83
110
104,93
6,56 persen. Pada tahun 2012,
105,66 105,03
106,46 106,68
106,37
105,91
rata-rata indeks produksi
100
102,76
102,16
101,26
99,33
tercatat
sebesar
100,94
96,35
90
sehingga produksi tahun
80
DIY
Nasional
2012 masih tumbuh positif
namun melambat. Kondisi
70
tahun 2013, indeks produksi
60
mencapai 113,40, sehingga
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
2011
2012
2013
2014
produksi naik 12,35 persen.
Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

57

12

KONSTRUKSI
Jenis kegiatan konstruksi yang cukup dominan di wilayah DIY adalah konstruksi bangunan
sipil seperti jalan raya, fasilitas industri, jembatan dan lainnya

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PERKEMBANGAN KEGIATAN PERUSAHAAN KONSTRUKSI


Sektor konstruksi mencakup lapangan usaha/kegiatan di bidang konstruksi yang
berupa pekerjaan baru/pembangunan, perbaikan, penambahan dan perubahan. Kegiatan
konstruksi terdiri dari konstruksi bangunan gedung, bangunan sipil dan konstruksi khusus.
Kegiatan konstruksi bangunan gedung berupa konstruksi bangunan tempat tinggal,
bangunan kantor, pertokoan, dan bangunan lainnya. Sedangkan konstruksi bangunan
sipil terdiri dari jalan kendaraan bermotor, jalan raya, jembatan, terowongan, rel kereta
api, lapangan udara, pelabuhan dan bangunan air lainnya, sistem irigasi, sistem limbah,
fasilitas industri, jaringan pipa dan jaringan listrik, fasilistas olahraga, dan lain-lain. Kegiatan
konstruksi khusus mencakup penyiapan lahan, instalasi gedung dan penyelesaian gedung
dan lain-lain. Pekerjaan konstruksi dapat dilakukan atas nama sendiri atau atas dasar balas
jasa/kontrak.
Kegiatan konstruksi dalam perkembangannya senantiasa tumbuh dan memberikan
andil yang cukup signifikan dalam perekonomian DIY. Pada tahun 2013, sumbangan sektor
konstruksi terhadap PDRB DIY mencapai 10,85 persen. Selama kurun waktu 2000-2013,
sektor konstruksi di DIY mengalami pertumbuhan nilai tambah rata-rata di atas 8 persen
per tahun. Jumlah perusahaan konstruksi yang beroperasi di DIY dan melakukan kegiatan
konstruksi pada tahun 2012 tercatat sebanyak 1.080 unit perusahaan. Dibandingkan dengan
tahun 2010 yang, jumlah perusahaan yang beroperasi di tahun 2012 mengalami penurunan
sebanyak 79 unit. Peningkatan maupun penurunan jumlah perusahaan konstruksi tidak
selalu menjamin adanya peningkatan kegiatan konstruksi di wilayah DIY. Hal ini disebabkan
oleh tidak adanya ketentuan bahwa kegiatan konstruksi di suatu wilayah tertentu harus
dilakukan oleh perusahaan konstruksi di daerah yang sama. Sudah banyak terjadi bahwa
perusahaan konstruksi yang berdomisili di wilayah DIY mendapat order proyek di luar
wilayah DIY dan sebaliknya.

://

Tabel 12.1.

Tahun

Jumlah
Perusahaan
(Unit)

ht

tp

Jumlah Perusahaan Konstruksi, Tenaga Kerja


Tetap dan Nilai Konstruksi di DIY, 2004-2013
Jumlah
TK Tetap
(Orang)

Nilai
Konstruksi
(Rp Milyar)

2004

1.239

5.127

888

2005

1.155

4.780

1.184

2006

1.081

3.335

1.082

2007

1.033

3.419

1.236

2008

1.098

3.738

1.122

2009

1.234

3.312

1.531

2010

1.159

3.312

4.061

2011

1.039

9.280

4.466

2012

1.080

9.525

5.001

Sumber : BPS

58

Jumlah tenaga kerja tetap yang bekerja


di perusahaan konstruksi pada tahun 2013
sebanyak 9.525 pekerja.
Sementara, nilai
pekerjaan konstruksi yang diselesaikan oleh
perusahaan konstruksi selama tahun 2012
mencapai Rp 5.001 milyar. Jenis konstruksi yang
paling dominan dari sisi nilai adalah konstruksi
bangunan sipil dengan proporsi 57,50 persen,
diikuti oleh konstruksi bangunan gedung dan
konstruksi khusus dengan proporsi masingmasing sebesar 22,36 persen dan 20,14 persen.
PDRB
sektor
konstruksi
dihitung
berdasarkan nilai bangunan yang dibangun di
wilayah yang bersangkutan dan tidak tergantung
di mana posisi perusahaan konstruksinya. Hal
ini bisa memberi implikasi pada perbedaan
nilai tambah yang yang dicatat, karena adanya
pembangunan di wilayah tersebut dapat
berbeda dengan nilai konstruksi yang dibangun
oleh perusahaan setempat.
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Mayoritas penguasaan tempat tinggal oleh rumah tangga di wilayah DIY adalah menempati
bangunan milik sendiri dengan proporsi sekitar 76 persen , bahkan di daerah perdesaan
proporsinya mencapai 95 persen

12

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PENGUASAAN TEMPAT TINGGAL


Kontribusi rumah tangga dalam kegiatan konstruksi terutama konstruksi bangunan
tempat tinggal di DIY masih sangat vital. Berdasarkan data Susenas dapat diperoleh distribusi
persentase rumah tangga menurut status penggunaan bangunan tempat tinggal. Pada
tahun 2013, rumah tangga yang menempati tempat tinggal milik sendiri tercatat sebanyak
76,45 persen. Porsi ini menjadi yang terbesar dibandingkan dengan status yang lainnya.
Berikutnya secara berturut-turut adalah adalah rumah tangga yang menempati tempat
tinggal secara kontrak, sewa dan tinggal di rumah orang tua/keluarga secara bebas sewa
dengan proporsi sebesar 7,61 persen; 6,60 persen; dan 7,20 persen. Rumah tangga yang
menempati tempat tinggal dengan status penggunaan lainnya (menempati rumah orang
lain secara bebas sewa, rumah dinas dan lainnya) jumlahnya paling sedikit yakni 1,74 persen.
Meskipun sama-sama didominasi oleh rumah tangga yang menguasai rumah milik
sendiri, namun persentase rumah tangga yang tinggal di perdesaan jauh lebih besar
dibandingkan dengan daerah perkotaan. Di daerah perdesaan rumah tangga yang
menempati rumah sendiri proporsinya di atas 95 persen, sementara di daerah perkotaan
hanya sekitar 65 persen. Status penggunaan tempat tinggal di perkotaan cenderung lebih
bervariasi baik sewa per bulan maupun secara kontrak selama periode tertentu. Rumah
tangga di perkotaan yang statusnya mengontrak tempat tinggal sekitar persen dan yang
menyewa tempat tinggal sekitar 13 persen persen.
Status penguasaan tempat tinggal di wilayah-wilayah yang menjadi pusat pendidikan
pada umumnya dipadati oleh mahasiswa yang kontrak/sewa dan variasinya juga lebih
banyak. Di samping itu, sebagian dari penduduk perkotaan adalah pelaku urbanisasi, yang
datang ke kota untuk berusaha atau mengadu nasib. Pada umumnya mereka menyewa
atau mengontrak tempat tinggal sesuai kemampuannya. Sebagai contoh, banyak
terdapat penduduk Kabupaten Gunungkidul yang berdomisili di Kota Yogyakarta dengan
mengkontrak rumah bersama-sama untuk mencari nafkah, seperti berjualan bakso, rujak,
dan sebagainya. Pada hari-hari libur sebagian di antara mereka mengisi liburan dengan
pulang ke daerah asal.

Tabel 12.2.

Gambar 12.1.

Distribusi Penguasaan Tempat Tinggal oleh Rumah Distribusi Penguasaan Tempat Tinggal oleh Rumah
Tangga di DIY, 2008-2013 (Persen)
Tangga menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Persen)
Penguasaan
Tempat Tinggal

100%

2008

2009

2010

2011

2012

2013

90%

0,32

0,49

6,03
0,11
0,84

8,00
1,07

0,49
2,95
0,46
0,40

3,96

74,17

78,93

74,5

76,51

76,62

76,45

Kontrak

8,83

7,14

7,99

7,36

7,07

7,61

Sewa

6,87

6,32

8,96

6,62

6,94

6,60

Milik Orang Tua

7,66

4,88

5,79

7,14

7,88

7,60

Lainnya

2,47

2,73

2,76

2,37

1,49

1,74

Jumlah

100

100

100

100

100

100

18,67
92,71

50%

95,70

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

17,73

86,47
66,74

40%

Sumber : Susenas, BPS

15,22

12,44

70%
60%

6,48

7,49
11,35

80%

Milik Sendiri

1,97

41,89

30%
20%
Kulonprogo

Bantul
Milik sendiri

Gunungkidul
Kontrak

Sewa

Sleman
Milik Ortu

Yogyakarta

Lainnya

Sumber : Susenas, BPS

59

13

HOTEL DAN PARIWISATA


Kegiatan pariwisata sangat menentukan keberlangsungan aktivitas produksi sektoral terutama
sektor perdagangan, hotel dan restoran dan jasa-jasa di wilayah DIY

.g
o.

id

Visi pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) adalah menjadikan DIY sebagai pusat pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisata
terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.
Untuk mewujudkan visi tersebut maka strategi kebijakan yang ditempuh pemerintah DIY
diarahkan dan diprioritaskan menuju sembilan bidang strategis dan bidang pariwisata
menjadi prioritas kedua setelah bidang pendidikan. Visi pembangunan pariwisata DIY
2012-2025 adalah terwujudnya Yogyakarta sebagai destinasi wisata berkelas dunia, memiliki
keunggulan saing dan banding, berwawasan budaya, berkelanjutan, mampu mendorong
pembangunan daerah dan berbasis kerakyatan sebagai pilar utama perekonomian.
Hal yang perlu dipahami adalah pariwisata merupakan industri yang digerakkan
oleh permintaan/demand atau dihidupi oleh wisatawan dan supplainya disediakan dan
ditentukan oleh kegiatan sektoral terutama hotel, akomodasi, restoran, transportasi,
komunikasi, dan jasa-jasa. Perkembangan kepariwisataan di suatu wilayah dapat diukur dari
indikator jumlah sarana dan prasarana (akomodasi), jumlah kunjungan wisata baik domestik
maupun mancanegara, tingkat penghunian kamar hotel dan rata-rata lama menginap tamu.

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

HOTEL DAN AKOMODASI LAINNYA


Akomodasi mencakup kegiatan penyediaan hotel yang dikategorikan menjadi hotel
bintang dan non bintang, vila, penginapan, hostel dan lainnya. Jumlah akomodasi hotel
bintang di DIY selama tahun 2013 tercatat sebanyak 61 unit dengan rincian terletak di
Kabupaten Bantul dan Gunungkidul masing-masing 1 unit, 21 unit di Kabupaten Sleman,
dan 38 unit di Kota Yogyakarta. Jika dibandingkan dengan tahun 2012, jumlah hotel bintang
meningkat sebanyak 7 unit. Peningkatan ini terjadi di Kota Yogyakarta dan Sleman. Jika
dicermati maka peningkatan hotel bintang mulai marak sejak tahun 2010. Jumlah kamar
yang tersedia pada hotel bintang di tahun 2013 sebanyak 5.801 kamar dengan kapasitas
tempat tidur sebanyak 9.280 unit. Jumlah kamar maupun tempat tidur tersebut meningkat

://

Tabel 13.1.

Tahun

ht

tp

Jumlah Akomodasi Hotel, Kamar dan Tempat Tidur di DIY, 2004-2013 (Unit)
Bintang

Non Bintang

Akomodasi

Kamar

Tempat Tidur

Akomodasi

Kamar

Tempat Tidur

2004

36

3.416

5.555

1.092

11.278

17.307

2005

36

3.415

5.573

1.089

11.221

17.228

2006

37

3.458

5.640

1.046

11.307

17.459

2007

38

3.458

5.640

1.039

11.307

17.459

2008

34

3.297

5.439

1.095

12.158

18.270

2009

34

3.373

5.633

1.092

12.091

17.735

2010

36

3.631

5.807

1.098

12.519

18.293

2011

41

3.953

6.389

1.063

12.407

18.586

2012

54

5.150

8.171

1.100

13.309

21.720

2013

61

5.801

9.280

1.109

13.547

21.549

Sumber : BPS DIY

60

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Jumlah kunjungan wisatawan domestik dan asing dalam beberapa tahun terakhir semakin
semarak yang ditandai oleh peningkatan jumlah tamu yang menginap di hotel bintang dan non
bintang

13

id

cukup signifikan selaras dengan peningkatan jumlah hotel dibandingkan dengan kondisi
tahun 2012.
Jumlah akomodasi hotel non bintang di DIY di akhir tahun 2013 tercatat sebanyak 1.109
hotel dan tersebar di lima kabupaten/kota dengan rincian Kulonprogo 26 unit, Bantul 286
unit, Gunungkidul 65 unit, Sleman 368 unit dan Kota Yogyakarta 344 unit. Jumlah kamar tidur
yang tersedia di hotel non bintang tercatat sebanyak 13.549 kamar dengan kapasitas tempat
tidur sebanyak 21.549 unit. Jika dibandingkan dengan tahun 2012, jumlah hotel non bintang
dan jumlah kamarnya meningkat, tetapi kapasitas tempat tidurnya mengalami penurunan
karena beberapa hotel non bintang berubah statusnya menjadi hotel bintang. Fenomena
peningkatan jumlah akomodasi baik hotel bintang dan non bintang maupun jumlah kamar
beserta kapasitas tempat tidur di satu menggambarkan kunjungan pariwisata yang semakin
semarak di wilayah DIY, namun di sisi yang lain ada ruang terutama pemukiman penduduk
yang berkurang dan ketersediaan air tanah yang mulai berkurang.

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN


Salah satu indikator yang menggambarkarkan bergeliatnya kegiatan pariwisata adalah
jumlah kunjungan wisata baik wisatawan domestik maupun mancanegara/asing. Sampai
saat ini, DIY dikenal sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia di samping Bali, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan lainnya. Hal ini tidak lepas dari
beragamnya khasanah kekayaan wisata DIY, baik wisata alam maupun wisata budaya, baik
wisata yang sifatnya massal maupun minat khusus. Jumlah kunjungan wisatawan dapat
diukur dengan pendekatan jumlah tamu yang menginap di hotel-hotel dalam wilayah DIY
atau berdasarkan catatan jumlah pengunjung dari setiap kawasan tujuan wisata dan event
pariwisata. Kelemahan pengukuran kunjungan wisata dari banyaknya tamu yang menginap
di hotel adalah tidak mampu mencatat wisatawan yang tidak menginap di hotel/akomodasi
lainnya atau wisatawan yang berkunjung tetapi menginap di hotel di luar DIY.

://

Gambar 13.1.
4.000

ht

tp

Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, 2004-2013 (000 Jiwa)
Domestik

Asing

3.603,37
3.397,90

3.500
2.981,83

3.000
2.500

3.057,58
2.850,99

2.516,20
2.263,63
2.070,69

2.127,63

2.000
1.500
1.000
500
79,36

68,86

76,20

110,71

123,37

140,65

148,76

148,50

207,28

0
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

61

13

Wisatawan domestik yang berkunjung ke DIY masih mendominasi dari sisi jumlah, sementara
wisatawan asing yang berkunjung sebagian besar berasal dari negara-negara di kawasan Asia
dan Eropa terutama dari negara Belanda dan Jepang

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Jumlah kunjungan wisata ke DIY selama periode 2005-2013 cukup berfluktuasi dan
sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun faktor eksternal seperti
bencana alam dan lainnya. Tercatat sebanyak dua kali jumlah kunjungan wisata mengalami
penurunan pada tahun 2006 sebagai dampak dari gempa bumi dan tahun 2010 sebagai
dampak dari erupsi Merapi. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah kunjungan wisatawan ke DIY
menunjukkan peningkatan secara signifikan. Selama tahun 2013, jumlah wisatawan yang
berkunjung ke DIY mencapai 3,81 juta, terdiri dari 3,60 juta wisatawan domestik dan 207,28
ribu wisatawan asing. Jumlah wisatawan domestik jauh lebih dominan dibanding wisatawan
asing dengan porsi sekitar 94,56 persen.
Perkembangan kunjungan wisata selama sembilan tahun terakhir menunjukkan bahwa
setiap tahun jumlah kunjungan rata-rata meningkat sebesar 7,83 persen. Jumlah kunjungan
wisatawan asing mampu tumbuh di atas 20 persen per tahun, sementara wisatawan
domestik tumbuh 7,40 persen per tahun. Peran strategis pemerintah dalam mendorong
dan meningkatkan arus kunjungan wisata dapat dilakukan melalui strategi kebijakan
pengembangan destinasi wisata (mencakup daya tarik, prasarana dan fasilitas), industri
pendukung, serta promosi kegiatan wisata. Perkembangan kunjungan wisatawan terutama
domestik juga sangat dipengaruhi oleh faktor musiman. Kunjungan akan meningkat tajam
pada saat musim liburan sekolah, libur panjang akhir pekan, libur hari raya keagamaan
maupun akhir tahun. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu dasar bagi institusti yang
terkait dalam menyusun dan menentukan kalender kegiatan wisata di DIY.
Berdasarkan negara asalnya, wisatawan asing yang berkunjung ke DIY selama tahun
2013 didominadi oleh wisatawan dari Belanda, Jepang, dan Malaysia. Pangsa jumlah
wisatawan dari negara-negara tersebut secara berturut-turut adalah 11,30 persen dan
9,42 persen. Peta negara asal wisatawan dalam beberapa tahun relatif tidak berubah, tapi
dari sisi persentase semakin homogen. Jumlah wisatawan yang berasal dari Belanda dan
Jepang dalam beberapa tahun terakhir selalu yang terbanyak. Fenomena ini terjadi karena
adanya ikatan historis, dimana Belanda dan Jepang pernah menduduki Indonesia khususnya
Yogyakarta dalam kurun waktu yang cukup lama. Sampai saat ini, di wilayah DIY masih banyak
tempat dan benda peninggalan yang memiliki nilai historis dan masih tetap terpelihara.
Gambar 13.2.

Pangsa Wisatawan Asing yang Berkunjung ke DIY Berdasarkan Negara Asal dan Kawasan, 2013 (Persen)
Perancis; 6,33
Singapura; 5,33

Malaysia; 9,42

Jerman; 5,02

Jepang; 10,73

Amerika
Serikat; 4,72

Belanda; 11,30

ASEAN; 24,83

Asia Lainnya;
25,12

US, Canada,
Amerika Latin;
6,54

Australia; 4,06
Australia dan
Oceania; 4,82

Thailand; 2,70
Lainnya; 28,99

RRC; 2,40
Belgia; 2,38
Italia; 2,34

Korea Selatan;
2,05

Eropa; 38,35
Afrika; 0,34

Inggris; 2,23

Sumber : BPS DIY

62

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Meskipun jumlah kunjungan wisatawan semakin meningkat, namun rata-rata lama menginap
(Long of Stay) wisatawan domesti dan Asing justru semakin menurun

13

Pangsa wisatawan asing yang berkunjung berdasarkan kawasan negara asal selama
2013 menunjukkan sebanyak 49,95 persen wisatawan berasal dari kawasan Asia dengan
rincian 24,83 persen negara-negara Asean dan 25,12 persen negara di kawasan Asia lainnya.
Sementara, kawasan Eropa yang cukup mendominasi kunjungan wisata asing ke DIY di
tahun 2012 (52,87 persen) mengalami penurunan proporsi menjadi 38,35 persen. Secara
absolut, jumlah wisatawan dari kawasan Eropa justru meningkat, tetapi pertumbuhannya
lebih rendah dibandingkan dengan wisatawan dari kawasan Asia. Pemetaan distribusi
negara dan kawasan asal wisatawan asing sangat penting bagi perencanaan kegiatan
promosi dan pemasaran wisata di luar negeri. Potensi pasar yang dapat digarap lebih serius
melalui kegiatan promosi adalah kawasan Timur Tengah, Australia dan Oceania, serta Asia
Timur (Jepang, Korea, China, Taiwan), serta Amerika Latin.

id

Gambar 13.3.

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, 2004-2013 (000 Jiwa)

Pantai Baron

Pantai Kukup

ht

tp

://

RATA-RATA LAMA MENGINAP


Kinerja sektor pariwisata juga dapat diukur menggunakan indikator rata-rata lama
menginap (Long of Stay/LOS) wisatawan di hotel. Semakin tinggi nilai LOS secara rata-rata
menunjukkan semakin lama wisatawan tinggal di wilayah DIY, sehingga akan semakin besar
pula pengeluaran konsumsinya. Dari sisi supply, semakin besar konsumsi wisatawan akan
semakin menggerakkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terkait terutama
sektor hotel, restoran, industri kreatif, transportasi dan jasa lainnya.
Kendati volume wisatawan asing yang menginap di hotel/akomodasi lainnya di DIY
proporsinya lebih sedikit dibanding wisatawan domestik, rata-rata lama menginapnya justru
lebih panjang. Selama tahun 2013, rata-rata lama menginap wisatawan asing mencapai
1,97 malam dan sedikit menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar
2,23 malam, sementara rata-rata lama menginap wisatawan domestik hanya 1,38 malam.
Secara umum, rata-rata lama menginap wisatawan asing menunjukkan pola yang semakin
menurun dari 3,49 malam di tahun 2002 menjadi 1,97 malam di tahun 2013. Sementara,
perkembangan rata-rata lama menginap wisatawan domestik dalam sepuluh tahun terakhir
relatif stabil pada kisaran 1,5 malam dan pada tahun 2013 polanya terlihat semakin menurun.
Dalam rentang sepuluh tahun terakhir perbedaan (gap) rata-rata lama menginap antara
wisatawan asing dan domestik menunjukkan pola yang semakin mengecil.
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

63

13

Tingkat Penghunian Kamar (TPK) di tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, dan terdapat kecenderungan TPK hotel berbintang selalu lebih tinggi dari
TPK hotel non bintang

.g
o.

id

Perkembangan rata-rata lama menginap selama tahun 2010-2013 menurut bulan


menunjukkan adanya pola musiman, meskipun tidak ada relasi yang sistematis antara jumlah
kunjungan dan rata-rata lama menginap. Pada tahun 2013, rata-rata lama menginap tertinggi
terjadi selama bulan Januari sebesar 1,59 malam yang bersamaan dengan momentum
perayaan tahun baru. Pada tahun 2012, rata-rata lama menginap tertinggi terjadi pada bulan
Januari dan Maret masing-masing sebesar 1,77 dan 1,78 bersamaan dengan momentum
pergantian tahun dan liburan cuti bersama. Pada tahun 2011, rata-rata yang tertinggi terjadi
selama bulan Agustus sebesar 1,87 malam bersamaan dengan momentum liburan hari raya
Idul Fitri. Sementara, rata-rata tertinggi selama tahun 2010 terjadi selama bulan November
yang bersamaan dengan momentum pasca erupsi Merapi.
Berdasarkan jenis akomodasinya, rata-rata lama menginap pada hotel bintang dalam
beberapa tahun terakhir selalu lebih tinggi dibandingkan dengan hotel non bintang. Pada
tahun 2013, rata-rata lama menginap di hotel bintang mencapai 1,67 malam dan hotel non
bintang mencapai 1,29 malam.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

TINGKAT PENGHUNIAN KAMAR (TPK)


Selain rata-rata lama menginap, kinerja pariwisata juga dapat diukur dengan indikator
Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel/ akomodasi lainnya. TPK hotel mencerminkan tingkat
produktivitas hotel, semakin tinggi nilainya maka semakin produktif. TPK dihitung dalam
persen dengan cara membagi jumlah kamar yang terjual dengan jumlah kamar yang tersedia
dikalikan 100 persen.
Perkembangan TPK hotel di DIY selama sembilan tahun terakhir menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat, namun terjadi sedikit penurunan di tahun 2013.
Pada tahun 2005, TPK hotel tercatat sebesar 29,11 persen. Artinya, jumlah malam kamar yang
terisi selama tahun 2005 mencapai 29,11 persen. Angka TPK secara bertahap meningkat
hingga mencapai 40,72 persen di tahun 2012, sebagai imbas dari semakin bergairahnya
aktivitas pariwisata di DIY yang diindikasikan oleh peningkatan jumlah kunjungan wisata.
Namun, angka ini sedikit menurun hingga menjadi 35,41 persen di tahun 2013 sebagai
akibat dari meningkatnya populasi hotel bintang dan non binang di DIY.
Gambar 13.4.

Gambar 13.5.
Rata-rata Lama Menginap Wisatawan di Hotel
menurut Bulan, 2010-2013 (malam)

Rata-rata Lama Menginap Wisatawan di Hotel/


Akomodasi DIY, 2002-2013 (malam)

2,00

4,50
Asing

3,81

4,00
3,49

2011

2012

Jun

Jul Agust Sep

2013

1,80

3,50
2,89

3,00

2,62

2,67
2,31

2,50

2,00

2,17

2,13

2,24

1,60

2,23
1,97

2,00
1,50

2010

Domestik

1,40
1,75

1,79

1,59

1,00

1,25

1,35

1,44

1,45

1,43

1,40

1,61

1,58

1,38

1,20

0,50
1,00

0,00
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Sumber : BPS DIY

64

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Okt

Nop

Des

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

TPK bulanan hotel bintang dan non bintang di DIY dipengaruhi oleh faktor musiman dan
akan mencapai level tinggi bersamaan dengan liburan sekolah, libur akhir tahun dan perayaan
hari raya idul Fitri

13

Tabel 13.5.

Berdasarkan golongannya, TPK hotel bintang


cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan hotel
non bintang. Pada tahun 2013, TPK hotel bintang
mencapai 56,20 dan meningkat dibandingkan dengan
Hotel
Hotel non
Tahun
Jumlah
Bintang
Bintang
tahun 2012 yang sebesar 55,19 persen. Sementara,
TPK hotel non bintang tercatat sebesar 30,02 persen
2005
40,99
21,50
26,13
dan cenderung menurun dibandingkan dengan
2006
37,86
19,51
23,07
tahun 2012 yang sebesar 36,72 persen. Fenomena
29,29
2007
45,85
24,18
ini menggambarkan perkembangan kecenderungan
2008
49,26
30,97
35,73
wisatawan untuk menginap di hotel bintang yang
2009
49,44
57,15
55,54
lebih tinggi sekaligus menunjukkan tingkat persaingan
2010
48,83
31,59
35,34
antara hotel bintang dan non bintang dalam merebut
2011
50,65
34,55
37,82
pengunjung.
40,72
2012
55,19
36,56
Minat para wisatawan yang semakin tinggi untuk
2013
56,20
30,02
36,41
mengunjungi DIY mendorong peningkatan TPK hotel.
Sumber : BPS DIY
Pola perkembangan TPK bulanan selama tahun 20102013 cukup berfluktuasi. TPK 2010 mencapai puncaknya selama bulan Juli berkaitan
dengan liburan masa sekolah, dan mencapai level terendah pada bulan Agustus bersamaan
dengan momentum bulan Ramadhan dan bulan November pasca peristiwa erupsi Merapi.
Sementara, TPK 2011 dan 2012 mencapai puncaknya di bulan Desember bersamaan dengan
momentum liburan akhir tahun dan mencapai level terendah di bulan Agustus bersamaan
dengan momentum bulan Puasa. Pada tahun 2013, TPK mencapai puncaknya di bulan
Desember bersamaan dengan momentum liburan pergantian tahun dan mencapai level
terendah di bulan Agustus bersamaan dengan momentum bulan Puasa. Fluktuasi TPK
hotel bintang cenderung lebih tajam dibandingkan dengan TPK hotel non bintang, namun
keduanya memiliki pola musiman yang hampir sama.
Tahukah Anda ?

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

TPK Hotel di DIY menurut Jenis


Hotel, 2005-2013 (Persen)

ht

tp

TPK dan rata-rata lama menginap wisatawan di DIY dipengaruhi oleh faktor musiman dan
mencapai puncak bersamaan dengan momentum liburan sekolah, perayaan Idul Fitri dan
pergantian tahun
Gambar 13.6.

Tingkat Penghunian Kamar di DIY menurut Jenis Hotel dan Bulan, 2010-2013 (Persen)
50,00

80,00
Hotel Bintang
70,00

63,71

Hotel non Bintang

50,00

58,66

48,60 48,33

52,91

30,00

61,90 62,29

40,00

49,45
40,25

39,34

31,91

Mar

Apr

33,73

33,56
30,00

25,66

20,00
Feb

30,96
31,15

28,63

30,00

36,17 36,30 36,25 35,96

33,88 34,48 33,54

Jan

60,26

35,00

37,46

27,42

2013

51,37

42,36

40,00

2011

45,00

66,48

60,00
51,46

2010

Jumlah

23,77

Mei

Jun

Jul

25,00

28,69 28,17 27,73

20,00
Agust Sep

Okt

Nop

Des

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul Agust Sep

Okt

Nop

Des

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

65

14

PERBANKAN DAN INVESTASI


Kinerja perbankan yang diukur dari nilai aset, dana pihak ketiga yang dihimpun dan
penyaluran kredit di wilayah DIY menunjukkan perkembangan yang semakin membaik

KELEMBAGAAN
Jumlah bank yang beroperasi di DIY pada tahun 2013 tercatat sebanyak 103 unit.
Rinciannya terdiri dari 4 bank pemerintah, 33 bank swasta nasional, 1 bank pembangunan
daerah dan 65 bank perkreditan rakyat. Dibandingkan dengan tahun 2012 jumlah bank
yang beroperasi bertambah 4 unit dan termasuk dalam kategori bank swasta nasional
dan bank perkreditan rakyat. Jumlah kantor pelayanan bank pada tahun 2013 sebanyak
810 unit dan terdiri dari 254 unit kantor bank pemerintah, 165 unit kantor bank swasta
nasional, 143 unit kantor bank pembangunan daerah, dan 248 unit kantor bank perkreditan
rakyat. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah kantor bank meningkat 10,81
persen. Jumlah kantor bank yang meningkat pesat adalah bank perkreditan rakyat dengan
peningkatan sebesar 13,24 persen.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PERKEMBANGAN KEGIATAN PERBANKAN


Perkembangan kegiatan perbankan dapat diukur dari nilai aset, pinjaman pihak ketiga
dan kredit yang disalurkan. Selama periode 2008-2013 perkembangan kegiatan perbankan
di wilayah DIY menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Ketiga ukuran
tersebut mengalami peningkatan dengan pertumbuhan di atas 13 persen. Aset perbankan
pada akhir tahun 2013 tercatat sebesar Rp 47,22 triliun atau meningkat 15,88 persen
dibandingkan dengan tahun 2012 yang tercatat sebesar Rp 40,75 triliun. Peningkatan aset
perbankan ini sejalan dengan kinerja perekonomian DIY yang mampu tumbuh positif di
atas 5 persen. Berdasarkan jenis banknya, lebih dari 91 persen dari total aset perbankan
merupakan aset bank umum baik pemerintah maupun swasta dan sisanya merupakan aset
bank perkreditan rakyat.
Peningkatan aset dari sisi pasiva didorong oleh peningkatan simpanan/dana pihak
ketiga yang mampu tumbuh sebesar 13,33 persen selama tahun 2013. Besarnya dana pihak
ketiga yang mampu dihimpun dari masyarakat sampai akhir tahun 2012 mencapai Rp 40,27
triliun. Meskipun tingkat suku bunga mengalami penurunan sejalan dengan penurunan BI
rate, animo masyarakat untuk menyimpan dana di tabungan masih tetap tinggi yang terlihat
dari besarnya share dana milik perorangan yang lebih dari 75 persen.
Tabel 14.1.

Tabel 14.2.
Jumlah Aset, Dana Pihak Ketiga dan Kredit Perbankan di DIY, 2008-2013

Perkembangan Jumlah Bank, Kantor Bank dan


Lembaga Keuangan Lainnya di DIY (Unit)
Tahun

Bank
Pemerintah

Bank Swasta
Nasional

BPD

BPR

Jumlah

Aset
Tahun

Dana Pihak Ketiga

Kredit

2001

126

15

58

39

65

99

85

322

2008

Nilai (Rp Pertum- Nilai (Rp Pertum- Nilai (Rp Pertummilyar) buhan (%) milyar) buhan (%) milyar) buhan (%)
20.919
10,34
18.017
9,53
10.475
15,64

2002

156

14

51

58

65

99

84

364

2003

156

16

53

62

64

99

85

370

2009

24.572

17,46

21.034

16,75

11.723

11,91

2004

156

17

54

62

65

100

87

372

2010

29.212

18,88

24.524

16,59

14.581

24,38

2005

156

18

55

62

65

151

88

424

2011

33.923

16,13

28.775

17,33

17.939

23,03

2006

156

18

55

62

64

151

87

424

2012

40.749

20,12

34.882

21,23

21.840

21,75

2007

92

22

93

72

60

159

87

416

2013

47.222

15,88

40.270

13,33

26.276

18,60

2008

99

24

114

134

62

171

91

518

2009

102

27

142

136

62

114

94

494

2010

117

28

144

137

64

135

97

533

2011

230

30

157

140

64

204

99

731

2012

251

31

160

142

65

219

99

731

2013

254

33

165

143

65

248

103

810

Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor

Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta

Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta

66

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Struktur dana yang dihimpun dari masyarakat didominasi oleh tabungan, sementara kredit
yang disalurkan sebagian besar terserap untuk kegiatan konsumsi

14

Struktur dana pihak ketiga yang dihimpun dari masyarakat selama tahun 2013 sebagian
besar berasal dari tabungan dengan nilai mencapai Rp 21,56 triliun atau sebesar 54,16 persen.
Sementara, yang berasal dari simpanan berjangka (deposito) dan giro masing-masing
sebesar Rp 13,21 triliun (33,18 %) dan Rp 5,04 triliun (12,67 %). Dari ketiga jenis simpanan,
peningkatan yang tertinggi terjadi pada kelompok simpanan berjangka (deposito).
Dari sisi aktiva, peningkatan aset didorong oleh kenaikan jumlah kredit yang disalurkan
yang mampu tumbuh sebesar 18,60 persen. Jumlah nominal kredit yang tersalurkan
selama tahun 2013 mencapai Rp 26,28 triliun. Distribusi kredit berdasarkan penggunaannya
menunjukkan bahwa sebagian besar kredit dilakukan untuk kegiatan konsumsi. Pada tahun
2013 besarnya kredit untuk konsumsi mencapai Rp 10,38 triliun dengan porsi mencapai
41,53 persen dari total jumlah kredit yang tersalur.
Tabel 14.3.

Jenis Penggunaan
Modal Kerja

Investasi

Konsumsi

Jumlah

id

ar
ta
.b
ps

Tahun

Pemanfaatan kredit untuk modal


kerja dan investasi masing-masing
mencapai Rp 9,50 triliun (37,99 %) dan
Rp 4,76 triliun (19,03 %). Selama 20072013, semua jenis penggunaan kredit
(modal kerja, investasi dan konsumsi)
semakin meningkat dengan besaran
yang
bervariasi.
Pemanfaatan
untuk kegiatan konsumsi selalu
mendominasi jenis kredit yang
disalurkan dan diikuti oleh kredit
modal kerja dan kredit investasi.

.g
o.

Perkembangan Jumlah Kredit menurut Jenis Penggunaan


di DIY, 2007-2013 (Rp Milyar)

3.723 (41,10)

1.219 (13,46)

4.116 (45,44)

2008

4.450 (42,48)

1.280 (12,22)

4.745 (45,30) 10.475 (100)

9.059 (100)

2009

4.642 (39,60)

1.486 (12,68)

5.595 (47,73) 11.723 (100)

2010

5.488 (38,95)

1.809 (12,84)

6.793 (48,21) 14.090 (100)

2011

7.277 (40,57)

2.386 (13,30)

8.276 (46,13) 17.939 (100)

2012

8.996 (41,19)

3.193 (14,62)

9.651 (44,19) 21.840 (100)

2013

9.499 (37,99)

4.756 (19,03) 10.382 (41,53) 24.998 (100)

yo
gy

ak

2007

Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta

ht

tp

://

Secara sektoral, pemanfaatan kredit perbankan terbesar disalurkan ke sektor bukan


lapangan usaha (40,11 %), terutama kredit konsumsi dan diikuti oleh kredit pada sektor
perdagangan besar dan eceran dengan porsi 26,99 persen. Posisi selanjutnya secara
berturut-turut adalah kredit sektor serta real estate dan usaha persewaan; sektor industri
pengolahan; dan sektor penyediaan akomodasi dan restoran dengan proporsi masing
masing sebesar 7,80 persen, 6,53 persen dan 4,94 persen.
Kinerja perbankan juga dapat diukur dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yang dihitung
dari rasio antara jumlah kredit yang disalurkan dengan jumlah dana yang dihimpun dari
masyarakat. LDR di DIY selama tahun 2013 mencapai 65,25 persen dan lebih meningkat
dibandingkan dengan LDR 2012 yang sebesar 62,61 persen. Peningkatan ini menunjukkan
peran dan fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan menjadi semakin baik
atau semakin optimal terlebih jika pemanfaatan kreditnya untuk kegiatan yang sifatnya
produktif tentu akan mampu menggerakkan perekonomian. Di sisi yang lain, meningkatnya
aktivitas ekonomi yang ditandai oleh pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga
disinyalir menjadi penyebab meningkatnnya permintaan volume kredit oleh para pelaku
ekonomi.
Meskipun nilai LDR selama 2007-2012 semakin meningkat, secara umum nilai tersebut
masih berada di bawah ketentuan minimum LDR yang sebesar 78 persen. Belum optimalnya
LDR salah satunya disebabkan oleh persoalan rendahnya penyaluran kredit terutama dari
bank umum yang dihimpun di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Dengan share dana
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

67

14

Perkembangan LDR semakin meningkat sehing fungsi intermediasi bank semakin berjalan
optimal, namun secara level masih berada di bawah taraf yang ditentukan (78 persen)

Tabel 14.4.

Gambar 14.1.
Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR) dan non
Performing Loans (NPL) di DIY, 2007-2013 (Persen)
68

3,20

60
58
54

55,07

2,54

62,34

3,19

2,41

58,14

56

62,61

5,05

55,73

yo
gy

62

NPL

2,79

2,35

57,45

://

64

tp

52
48
2007

2008

ht

50
2009

2010

65,25

2011

Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta

2012

Pangsa Aset, Dana Pihak Ketiga, Kredit dan LDR Bank


Umum menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2010-2013
Kabupaten/
Kota

ak

LDR

66

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

pihak ketiga yang berhasil dihimpun sebesar 18,74 persen dan 71,19 persen, pangsa kredit
yang tersalurkan di kedua daerah hanya mencapai 14,79 persen dan 68,98 persen. Akibatnya,
LDR di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta selama tahun 2013 menjadi yang terendah
dengan nilai masing-masing sebesar 47,98 persen dan 58,89 persen. LDR yang tertinggi
terjadi di Kabupaten Gunungkidul dengan nilai 134,18 persen, artinya dana dari pihak ketiga
yang berhasil dihimpun oleh bank umum belum mampu untuk mencukupi permintaan
kredit oleh masyarakat dan pelaku usaha sehingga harus dicukupi dari daerah lainnya.
Meskipun demikian, dibandingkan dengan tahun 2012 nilai LDR di semua kabupaten/kota
mengalami kenaikan kecuali Kabuapten Bantul turun 3,50 poin.
Non Performing Loans (NPLs) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat resiko
kredit perbankan. Nilai NPLs selama tahun 2007-2013 menunjukkan pola yang cukup
berfluktuasi. NPLs mencapai level terendah pada tahun 2012 dengan nilai 2,35 persen,
meskipun terlihat meningkat kembali di tahun 2013 dengan level sebesar 2,79 persen.Secara
umum, kenaikan angka NPLs ini menunjukkan resiko perbankan dalam menyalurkan kredit
menjadi semakin tinggi atau tingkat pembayaran/pengembalian cicilan menjadi kurang
lancar. Resiko kredit perbankan di DIY dalam empat tahun terakhir masih di bawah batas
kategori aman karena memiliki nilai NPLs di bawah 5 persen.

2013

Pangsa (Persen)

Aset

DPK

LDR

Kredit

2010

2011

2012

2013

Kulonprogo

2,83

3,04

4,33

94,84

84,73

83,11

86,47

Bantul

4,00

4,33

5,94

91,16

81,57

86,77

83,27

Gunungkidul

3,29

2,70

5,96 153,04 134,82 127,86 134,18

Sleman

16,71

18,74

14,79

Yogyakarta

73,17

71,19

68,98

52,40

56,26

57,09

58,89

100,00 100,00 100,00

59,45

58,68

59,24

60,77

DIY

59,69

47,16

46,94

47,98

Sumber : Bank Indonesia Yogyakarta

NILAI TUKAR VALUTA ASING


Nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing menjadi salah satu variabel
ekonomi yang sangat perlu dipantau perkembangan maupun fluktuasinya. Ketika nilai tukar
menguat (terapresiasi) maka akan berpengaruh terhadap meningkatnya volume impor luar
negeri dan menurunnya volume ekspor, karena harga barang impor menjadi lebih murah
dan harga barang ekspor menjadi lebih mahal di luar negeri. Sebaliknya, ketika nilai tukar
melemah (terdepresiasi) maka akan berpengaruh terhadap penurunan impor luar negeri
karena harga barang impor menjadi lebih mahal dan mampu mendorong ekspor luar negeri.
karena harga komoditas ekspor di luar negeri menjadi lebih murah.
Perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah dalam setahun terhadap valuta asing secara
ringkas disajikan dalam tabel 14.5. Data yang disajikan bersumber dari beberapa sampel
perusahaan valas. Secara umum, nilai jual beberapa mata uang asing yang diperdagangkan
oleh perusahaan valas selalu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai mata uang yang dibeli.
68

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika di tahun 2013 mengalami
depresiasi, sementara terhadapmata uang Euro justru menguat (Terapresiasi)

14

Nilai tukar beberapa mata uang asing terhadap rupiah memiliki pola yang sama dengan nilai
tukar Dolar Amerika (USD), karena sampai saat ini USD menjadi mata uang rujukan dalam
transaksi internasional. Pola nilai tukar rupiah terhadap USD terlihat melemah sampai tahun
2010, kemudian menguat di tahun 2011 dan kembali melemah di tahun 2012-2013. Pola
yang sedikit berbeda terjadi pada nilai tukar mata uang rupiah terhadap Poundsterling
Inggris (GBP) yang mengalami pelemahan di tahun 2008 kemudian kembali menguat sampai
tahun 2012. Demikian pula dengan nilai tukar rupiah terhadap Yen Jepang terlihat memiliki
pola yang semakin menguat.
Tabel 14.5.
Rata-rata Nilai Tukar Jual dan Beli Valuta Asing menurut Jenis Valuta Asing di DIY, 2007-2013
Dolar Australia Dolar Hongkong Poundsterling
Yen
Ringgit
Dolar Singapura
(AUD)
(HKD)
Inggris (GBP) Jepang (Y) Malaysia (MYR)
(SGD)

Beli

Jual

Beli

Jual

9.110

6.938

6.815

1.232 1.147 16.912 16.655 109 107

3.379 3.253 8.462

8.369 13.918 13.830

2008

9.193

9.081

7.704

7.586

1.220 1.144 18.346 18.108 119 117

3.088 2.986 7.587

7.480 12.132 12.006

9.760

9.582

8.271

7.926

1.298 1.203 17.875 17.302 111 109

2.908 2.809 7.048

10.515 10.336

8.236

8.047

1.417 1.301 16.333 15.726 105 102

2.860 2.746 6.732

6.611 12.111 11.940

Jual

Beli

Jual

Beli

Jual

Beli

6.938 12.265 12.130

8.847

8.734

9.107

8.980

1.184 1.105 14.223 13.955 131 109

3.105 2.945 7.243

7.076 14.530 14.256

9.469

9.367

9.788

9.664

1.595 1.518 15.037 14.775

96

92

2.945 2.802 6.895

6.729 14.220 13.967

10.576 10.434 10.224 10.069

1.410 1.324 16.630 16.299

79

77

2.697 2.592 6.120

6.010 12.559 12.432

2012
2013

Jual Beli

ar
ta
.b
ps

2011

Beli

.g
o.

Jual
9.226

2009

Jual

EURO

2007

2010

Beli

id

Dolar Amerika
(USD)

Bulan

ak

Sumber: BPS DIY

ht

tp

://

yo
gy

INVESTASI
Investasi adalah pengorbanan materi maupun non materi pada masa sekarang
untuk memperoleh pendapatan di masa yang akan datang. Menurut pelakunya investasi
dikelompokkan menjadi 3, yaitu pemerintah, perusahaan (terdiri dari perusahaan yang
difasilitasi dan tidak difasilitasi), serta rumah tangga. Data investasi perusahaan yang tersedia
dan dapat digunakan sebagai bahan perencanaan adalah rencana dan realisasi penanaman
modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) yang merupakan kelompok
investasi yang difasilitasi yang dilaporkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.
Tabel 14.4.
Realisasi Komulatif PMA dan PMDM menurut kelompok Sektor di DIY, 2013 (Milyar)
Sektor
Primer
Sekunder
Tersier
Jumlah

PMDN

PMA

Jumlah

27,57

16,21

43,78

(0,96)

(0,31)

(0,54)

1.165,41 1.165,01 2.330,42


(40,68)

(22,50)

1.672

3.998

(28,97)

5.669

(58,36)

(77,19)

(70,48)

2.864,65 5.178,81 8.043,46


(100)

(100)

(100)

Sumber : BKPM DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Realisasi penanaman modal di DIY


secara kumulatif tahun 2013 mencapai Rp
8,04 triliun. Realisasi PMDN mencapai Rp
2,64 triliun atau mencapai 92,01 persen
dari investasi yang direncanakan pada
tahun yang sama. Sementara, realisasi
PMA mencapai nilai Rp 5,18 triliun atau
mencapai 115,77 persen dari investasi
yang direncanakan. Berdasarkan sektornya,
realisasi investasi baik PMDN maupun
PMA sebagian besar terjadi pada sektor
tersier dengan nilai mencapai 70,48 persen.
Sementara realisasi pada sektor primer
masih belum terlihat secara signifikan.
69

14

Realisasi nvestasi PMDN dan PMA perusahaan yang tercata oleh BKPMD DIY sebagian
besar terserap di sektor tersier terutama hotel dan restoran

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Jumlah perusahaan yang melakukan penanaman modal dengan kategori PMDN di


tahun 2013 mencapai 124 perusahaan dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 22.236
orang tenaga kerja domestik dan 17orang tenaga kerja asing. Jika dibandingkan dengan
nilai modal yang direncanakan yang senilai Rp 3,11 triliun, maka realisasi pencapaian PMDN
sampai tahun 2013 hanya sebesar 92,01 persen.
Berdasarkan kelompok sektor, realisasi PMDN terbesar di DIY dilakukan pada kelompok
sektor tersier dengan porsi sebesar 58,36 persen dari total realisasi PMDN. Kelompok sektor
tersier terdiri dari kegiatan bangunan; hotel dan restoran; perdagangan; perumahan;
pengangkutan; jasa lainnya; listrik, gas dan air minum. Sementara realisasi pada kelompok
primer (pertanian dan pertambangan) porsinya hanya sebesar 0,96 persen. Investor domestik
lebih berminat menanamkan modalnya di sektor hotel dan restoran (41,6 %). Kemudian
diikuti oleh sektor industri tekstil (27,16 %) dan jasa lainnya (13,23 %).
Dalam skala nasional DIY termasuk salah satu daerah tujuan utama (destinasi)
pariwisata, sehingga cukup potensial untuk pengembangan kegiatan hotel dan restoran. Hal
ini mendorong minat para investor domestik untuk berinvestasi pada sektoryang berkaitan
dengan pariwisata. Sementara, industri tekstil menjadi mendukung tumbuh pesatnya
industri batik yang merupakan produk andalan DIY, terutama pascapenetapan batik sebagai
Tabel 14.7.

Tabel 14.6.

Realisasi Komulatif PMA di DIY menurut Sektor 2013


(Milyar)

Realisasi Komulatif PMDM di DIY menurut Sektor,


2013 (Milyar)

Primer

Tanaman Pangan

Perkebunan

Peternakan

Perikanan

46,36

16,21

406

29,65

Tanaman Pangan

85

245,51

16,61

Perkebunan

0,00

0,00

40

50,18

Peternakan

15,37

115

17,46

0,40

26,67

Perikanan

0,68

5,25

Kehutanan

0,75

38

100,00

Pertambangan

0,16

202

0,68

51 1.165,41 15.824

105,78

Sekunder

42 1.165,01 11.247

74

234,27

11

153,73

2.843

87,72

://

68

ht

Primer

Industri Makanan

713,87 1.179

6 1.039,39

17

777,99

7.363

236,97

Industri Tekstil

100,14

804

118,82

Industri Kulit dan Alas Kaki

6,69

662

79,20

Industri Kulit dan Alas Kaki

206,08 4.072

32

273,02

Industri Kayu

5,21

485

75,62

Industri Kayu

18

62,20 1.701

16

66,58

Industri Kertas dan Percetakan

79,23

1.469

114,83

Industri Kimia dan Farmasi

0,23

16

Industri Karet dan Plastik

95,34

1.323

Industri Mineral Non Logam

9,90

304

Industri Logam, Mesin dan Elektronika

22,33

Industri Instrumen Kedokteran Presisi Optik dan Jam

Industri Kendaraan Bermotor dan Alat Transportasi Lain


Industri Lainnya

Industri Tekstil

Tersier
Konstruksi
Perhotelan dan Restoran

Industri Kertas dan Percetakan

0,00

0,00

0,67

Industri Kimia dan Farmasi

38,28

163

137,01

87,72

Industri Karet dan Plastik

22,04 2.939

73,13

4,90

Industri Mineral Non Logam

2,06

45,49

1.261

25,42

Industri Logam, Mesin dan Elektronika

20,34

384

23,70

Industri Instrumen Kedokteran Presisi Optik dan Jam

Industri Kendaraan Bermotor dan Alat Transportasi Lain

14,77

98

100,00

Industri Lainnya

66 1.671,67

6.366

11

89,73

67 3.997,59 6.189

66

103,55

Tersier

13

73,39

24 1.191,57

3.034

118,49

Perhotelan dan Restoran

12 1.116,10 1.033

13

106,72

Perdagangan dan Reparasi

33 1.580,97 3.459

32

232,02

Konstruksi

Perdagangan dan Reparasi

13,70

546

41,08

Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran

Transportasi, Gudang dan Komunikasi

28

84,63

1.829

199,00

Jasa Lainnya

10

378,90

921

44,86

Jasa Lainnya

2,87

36

21,97

Listrik, Gas dan Air

124 2.864,65 22.336

17

92,01

Listrik, Gas dan Air


Jumlah

Sumber : BKPM DIY

70

146

Tenaga Kerja
Perus Nilai (Rp
Realisasi
ahaan Miliar) Domes Asing
(%)
tik

1,13

Pertambangan
Industri Makanan

27,57

Sektor

25,29

tp

Kehutanan
Sekunder

yo
gy

ak

Tenaga Kerja
Per
Nilai (Rp
Realisasi
usaha
Miliar) Domes Asing
(%)
an
tik

Sektor

36

Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran

Transportasi, Gudang dan Komunikasi

636,79

25

95,96

Jumlah

14

390,48

931

12

74,46

237,26

728

26,48

114 5.178,81 17.842

149

115,77

Sumber : BKPM DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Realisasi investasi PMDN dan PMA menurut wilayah sebagian besar terjadi di wilayah
perkotaan, terutama di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta

14

Gambar 14.2.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

karya seni tradisional Indonesia. Investasi jasa lainnya yang berkembang di DIY terutama
terkait jasa pendukung perkembangan dunia pendidikan.
Realisasi kumulatif penanaman modal asing (PMA) pada tahun 2013 mencapai Rp
5,18 triliun. Realisasi kumulatif PMA tersebut dilaksanakan oleh 114 perusahaan dengan
serapan tenaga kerja domestik sebanyak 17.842 orang dan tenaga kerja asing sebanyak 149
orang. Jika dibandingkan dengan perencanaannya, maka realisasi PMA selama tahun 2013
mencapai 115,77 persen artinya nilainya lebih sekitar 16 persen dari yang direncanakan.
Distribusi realisasi PMA terbesar terjadi pada kelompok sektor tersier dengan porsi
mencapai 77 persen. Sementara porsi kelompok sektor primer dan sekunder masing-masing
sebesar 0,31 persen dan 22,50 persen. Sektor yang porsinya terbesar secara berturut-turut
adalah sektor perdagangan dan reparasi; sektor hotel dan restoran; dan sektor industri
makanan dengan porsi masing-masing sebesar 30,53 persen; 21,55 persen; dan 13,78
persen. Senada dengan investor dalam negeri, para investor asing pun lebih berminat
untuk berinvestasi di sektor-sektor yang berbasis pariwisata. Kinerja pariwisata yang terus
menunjukkan peningkatan dari sisi jumlah kunjungan menjadi daya tarik investasi di sektorsektor tersebut. Fakta ini menjadi sebuah persoalan, karena pada umumnya investasi sektor
pariwisata terpusat di daerah perkotaan sehingga membutuhkan intervensi pemerintah
untuk mengalihkan investasi di daerah perdesaan.
Berdasarkan lokasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) tahun 2013, realisasi di
Kota Yotyakarta dan Kabupaten Sleman memiliki nilai yang terbesar dengan porsi mencapai
46 persen dan 43 persen. Sementara, realisasi di Kabupaten Bantul memiliki porsi sebesar
8 persen. Bahkan, realisasi di Kulonprogo dan Gunungkidul memiliki porsi kurang dari
dua persen. Pola yang hampir serupa juga terjadi pada penanaman modal asing (PMA).
Realisasi terbesar dicapai Kabupaten Sleman (52 %) dan Kota Yogyakarta (41%), diikuti oleh
Kabupaten Bantul dengan porsi mencapai 4 persen. Fenomena ini sangat berkaitan dengan
ketersediaan infrastruktur publik yang relatif lebih lengkap dan memiliki kualitas lebih baik.
Di samping, itu, resiko pengembalian, resiko keamanan, stabilitas sosial, serta kemudahan
dalam perizinan juga turut berpengaruh terhadap volume penanaman modal.

Realisasi PMDM dan PMA di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2013 (Persen)


PMA

PMDN

Yogyakarta
0,46

Sleman
0,52

Sleman
0,43

Yogyakarta
0,41
Kulonprogo
0,01
Gunungkidul
0,01

Bantul
0,08

Gunungkidul
0,02

Bantul
0,04

Kulonprogo
0,00

Sumber : BKPM DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

71

15

HARGA-HARGA
Gambaran perkembangan harga barang dan jasa dan pola konsumsi masyarakat secara
kontinyu diukur menggunakan indeks harga dan perubahannya

Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur stabilitas ekonomi di suatu
wilayah adalah tingkat harga. Harga merupakan resultan atau hasil interaksi antara
permintaan (demand) dan penawaran (supply) barang dan jasa yang beredar di masyarakat,
sehingga perlu dipantau perkembangannya sebagai salah satu indikator penentu kebijakan
pemerintah di bidang pendapatan, fiskal maupun moneter. Untuk memperoleh gambaran
mengenai kenaikan harga berbagai macam komoditas barang dan jasa yang dikonsumsi
oleh masyarakat dari waktu ke waktu dilakukan dengan menghitung indeks secara kontinu.
Beberapa indeks harga yang sering digunakan diantaranya adalah Indeks Harga Konsumen
(IHK) untuk wilayah perkotaan dan Nilai Tukar Petani (NTP) untuk wilayah perdesaan.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

INDEKS HARGA KONSUMEN


Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan perbandingan antara harga suatu paket
komoditas dari sekelompok barang atau jasa (market basket) pada suatu periode waktu
terhadap harganya pada periode waktu yang telah ditentukan (tahun dasar). Berdasarkan IHK
inilah kemudian didapat besaran angka inflasi/deflasi, yaitu besarnya persentase perubahan
IHK antar periode. Angka inflasi/deflasi mencerminkan kemampuan daya beli dari uang
yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Semakin tinggi angka inflasi
maka semakin rendah daya beli uang, sehingga semakin rendah pula daya beli masyarakat
terhadap barang dan jasa kebutuhan rumah tangga.
IHK dihitung pada tingkat harga konsumen, yaitu harga transaksi yang terjadi antara
penjual/pedagang eceran dan pembeli (konsumen) secara eceran dengan pembayaran tunai.
Eceran yang dimaksud adalah membeli suatu barang atau jasa dengan menggunakan satuan
terkecil untuk dipakai atau dikonsumsi, sebagai contoh: beras dengan satuan kilogram, emas
dengan satuan gram, dan lainnya. Mulai bulan Juni 2008, penghitungan IHK didasarkan atas
pola konsumsi hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2007. Nilai IHK Kota Yogyakarta pada
akhir tahun 2013 (tahun dasar 2007=100) berada pada posisi 145,65. Angka ini mengandung
arti dibandingkan dengan harga-harga komoditas barang dan jasa kebutuhan rumah
tangga tahun 2007, tingkat harga tahun 2013 mengalami kenaikan dengan rata-rata sebesar
45,65 persen. IHK yang tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan dengan nilai indeks
mencapai 186,98 dan diikuti oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau
serta kelompok sandang dengan nilai indeks 157,17 persen dan 142,34 persen.
Gambar 15.1.

Tabel 15.1.

IHK dan Inflasi Kota Yogyakarta menurut Kelom- Perkembangan IHK Umum Bulanan Kota Yogyakarta,
2010-2013 (Persen)
pok Pengeluaran, 2010-2013 (Persen)
Kelompok Pengeluaran

2011

Inflasi (%)
2012

150

2011

2012

2013

Bahan Makanan

151,24 154,00 166,48 186,98

1,82

8,10

12,31

Makanan Jadi

126,96 135,94 145,32 157,17

7,07

6,90

8,15

Perumahan

124,84 128,60 132,44 139,30

3,01

2,99

5,18

125

Sandang

125,64 137,45 142,34 142,34

9,40

3,56

0,00

120
115

Kesehatan

114,48 120,94 123,28 127,08

5,64

1,93

3,08

Pendidikan

119,36 121,42 123,16 127,07

1,73

1,43

3,17

Transportasi & Komunikasi

107,71 110,29 111,72 123,40

2,40

1,30

10,45

Umum

125,25 130,11 135,72 145,65

3,88

4,31

7,32

145,65

145

2013

Sumber : BPS DIY

72

IHK
2010

140
135
130

117,30

110
105
100
Jan Mar Mei Jul Sep Nop Jan Mar Mei Jul Sep Nop Jan Mar Mei Jul Sep Nop Jan Mar Mei Jul Sep Nop
2010

Sumber : BPS DIY

2011

2012

2013

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Perkembangan harga barang dan jasa selama 2013 yang diukur dengan perubahan IHK
mencapai 7,32 persen dan lebih tinggi dari tahun 2012 (4,31 persen)

15

Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

IHK yang terendah terjadi pada kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan
dengan nilai indeks sebesar 123,40 persen. Artinya, kelompok pengeluaran ini sejak tahun
2007 hanya mengalami kenaikan harga sebesar 23,40 persen. Selama tahun 2013, IHK semua
kelompok pengeluaran menunjukkan peningkatan dan peningkatan terbesar terjadi pada
kelompok bahan makanan sebesar 20,50 poin dibandingkan dengan IHK tahun 2012.
Pola perkembangan IHK umum bulanan di Kota Yogyakarta selama periode 2010-2013
menunjukkan tren yang semakin meningkat, meskipun terlihat ada penurnan indeks di
bulan Maret-Mei 2013 (Gambar 15.1). Secara umum, peningkatan indeks harga yang cukup
tajam terjadi selama tahun 2013. Sementara, selama 2011 dan 2012 pola perkembangan IHK
terlihat lebih datar. IHK tahun 2011 meningkat sebesar 4,86 poin dari IHK 2010, sementara
IHK tahun 2012 meningkat 5,61 poin dibandingkan dengan tahun 2011. Fenomena ini
menunjukkan tingkat harga selama tahun 2011 dan 2012 relatif lebih stabil dibandingkan
dengan tahun 2010 maupun 2013.
Perubahan IHK antar periode digambarkan oleh besaran angka inflasi/deflasi. Tabel 15.1
menyajikan perkembangan angka inflasi menurut kelompok pengeluaran selama tiga tahun
terakhir. Secara umum, level inflasi yang tertinggi terjadi pada tahun 2013 dengan nilai
sebesar 7,32 persen yang
didorong oleh kenaikan harga
Gambar 15.2.
pada kelompok bahan makanan
Perkembangan Inflasi Tahunan Kota Kota Yogyakarta dan
Nasional, 1990-2013 (Persen)
dan kelompok transportasi dan
90
komunikasi dengan besaran
DIY
Nasional
80
masing-masing 12,31 persen dan
70
10,45 persen. Fenomena yang
60
mendorong kenaikan harga ini
50
salah satunya adalah keputusan
40
pemerintah menaikkan harga
30
bahan bakar minyak dan elpiji
20
di pertengahan tahun 2013.
10
Pola perkembangan inflasi
0
Kota Yogyakarta selama periode
1990-2013 sangat berfluktuasi
Sumber : BPS DIY
(Grafik 15.2). Secara umum,
Gambar 15.3.
terdapat pola yang hampir mirip
Perkembangan Inflasi Bulanan Kota Yogyakarta, 2017-2014 (%)
antara inflasi Kota Yogyakarta dan
Nasional. Inflasi Kota Yogyakarta
4,0
3,5
maupun nasional mencapai level
3,0
tertinggi pada tahun 1998 dengan
2,5
level di atas 77 persen sebagai
2,0
dampak dari krisis ekonomi
1,5
1997/1998. Dalam sepuluh tahun
1,0
terakhir, inflasi Kota Yogyakarta
0,5
0,0
mencapai level tertinggi di
-0,5
tahun 2005 sebesar 14,98 persen
-1,0
sebagai dampak dari kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
sebanyak dua kali di tahun 2005
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

73

15

Perkembangan indeks harga konsumen bulanan di Kota Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh
pola musiman dan mencapai level tinggi saat peringatan hari raya, liburan sekolah liburan
akhir tahun

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

dengan besaran kenaikan di atas 100 persen. Kebijakan ini memicu kenaikan harga barang
dan jasa pada kelompok transportasi dan secara tidak langsung juga mendorong inflasi pada
kelompok pengeluaran yang lainnya.
Pada tahun 2006 dan 2007 tingkat harga secara umum juga tetap meningkat meskipun
dari sisi besaran inflasinya sedikit menurun hingga mencapai 10,40 persen di tahun 2006 dan
7,99 persen di tahun 2007. Selama tahun 2008 inflasi tercatat sebesar 9,88. Tingginya inflasi
ini dipicu oleh kenaikan harga BBM yang terjadi di akhir bulan Mei 2008 serta kebijakan
konversi minyak ke elpiji yang mendorong meningkatnya harga-harga jasa transportasi dan
energi. Laju inflasi selama tahun 2009 di Kota Yogyakarta mencapai 2,93 persen dan angka ini
menjadi inflasi yang terkecil sejak 20 tahun terakhir. Penyebabnya adalah adanya kebijakan
pemerintah yang menurunkan harga BBM hingga 2 kali, yaitu pada bulan Desember 2008
dan Januari 2009, sehingga berakibat pada turunnya tarif angkutan umum dan stabilnya
harga kebutuhan pokok masyarakat.
Pada tahun 2010 laju inflasi kembali mengalami kenaikan yaitu mencapai 7,38 persen.
Melonjaknya harga bahan makanan pokok sebagai akibat anomali musim di tahun 2010
merupakan pemicu utama terjadinya inflasi di kota Yogyakarta. Komoditas beras dan cabe
merupakan komoditas yang memberikan andil yang cukup besar terhadap inflasi umum di
kota Yogyakarta pada kurun waktu tersebut. Laju inflasi tertinggi pada tahun 2010 terjadi
pada kelompok bahan makanan yang mencapai 18,86 persen, kemudian diikuti oleh
kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 5,57 persen dan kelompok
perumahan sebesar 5,49 persen. Sedangkan laju inflasi terendah terjadi pada kelompok
kesehatan dengan angka sebesar 1,97 persen. Selama tahun 2011, gejolak harga barang
dan jasa kebutuhan rumah tangga relatif stabil. Hal ini ditunjukkan oleh laju inflasi yang
sebesar 3,88 persen. Kenaikan harga yang tertinggi terjadi pada kelompok sandang (9,4 %)
dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (7,07 persen). Kondisi hargaharga komoditas selama 2012 relatif lebih stabil dan diindikasikan oleh inflasi tahunan yang
mencapai 4,51 persen. Pada tahun 2013 laju inflasi kembali menguat hingga mencapai
level 7,32 persen, namun dalam beberapa tahun terakhir tingkat inflasi di Kota Yogyakarta
cenderung lebih rendah dari level nasinal.
Perkembangan inflasi bulanan Kota Yogyakarta selama tahun 2007-2013 menunjukkan
adanya pengaruh pola musiman yang cukup kuat. Hal ini terlihat dari nilai inflasi yang
mencapai level tertinggi selama tahun 2007-2013 selalu berkaitan dengan momentum
perayaan hari raya keagamaan, liburan sekolah dan akhir tahun maupun akibat kebijakan
pemerintah dengan menaikkan harga komoditas strategis seperti BBM.
NILAI TUKAR PETANI
Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator yang berguna untuk
mengukur tingkat kesejahteraan petani, yaitu dengan mengukur kemampuan tukar produk
(komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan
petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumah tangga petani.
NTP menunjukkan daya tukar (term of trade) antara produk pertanian yang dijual oleh
petani dengan barang dan jasa yang dibutuhkan petani dalam proses produksi maupun
untuk konsumsi rumah tangga. Sebagai salah satu indikator yang menggambarkan tingkat
kesejahteraan petani, NTP dihitung dari rasio antara indeks yang diterima dan indeks yang
dibayar oleh petani.
74

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Indeks harga yang diterima petani dalam beberapa periode selalu lebih tinggi dibandingkan
dengan indeks yan dibayar petani, sehingga nilai tukar petani juga semakin meningkat dan
memberi gambaran kasar kesejahteraan petani yang meningkat

15

ht

Gambar 15.4.

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Dengan membandingkan keduanya maka dapat diketahui apakah peningkatan pengeluaran


untuk kebutuhan petani dapat dikompensasi dengan pertambahan pendapatan petani
dari hasil pertaniannya. Sebaliknya, apakah kenaikan harga jual produksi pertanian dapat
menambah pendapatan petani yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan para
petani juga dapat diukur dengan kedua indikator ini. Semakin tinggi nilai NTP, semakin kuat
pula tingkat daya beli petani yang berarti pula kesejahteraannya semakin meningkat.
Perkembangan indeks harga yang diterima petani (It), indeks harga yang dibayar
(Ib) dan NTP di Provinsi DIY selama tahun 2008-2013 menunjukkan pola yang semakin
meningkat. Secara umum, nilai It rata-rata selama periode 2008-2013 selalu lebih tinggi
dari nilai Ib. Kenaikan indeks yang tertinggi terjadi pada kelompok tanaman pangan dan
kelompok perkebunan rakyat. Sementara, kelompok peternakan dan perikanan memiliki
kenaikan indeks terendah. Dari sisi level, nilai It tertinggi dimiliki kelompok hortikultura
terutama pada komoditas sayur-sayuran dan buah-buahan. Kenaikan It yang lebih tinggi
dari kenaikan Ib akan berakibat pada peningkatan NTP. Perkembangan NTP rata-rata di DIY
selama periode 2008-2013 (2007=100) semakin menunjukkan peningkatan dari 105,28 di
tahun 2008 menjadi 116,39 di bulan November 2013. Secara kasar, hal ini merepresentasikan
kesejahteraan petani yang meningkat, karena dengan indeks harga yang diterima lebih
tinggi dari harga yang dibayar nilai produksi hasil pertanian menjadi lebih besar dengan
asumsi komoditas yang harganya meningkat banyak dibudidayakan oleh petani di DIY.
Pola perkembangan NTP bulanan di DIY cukup berfluktuasi dengan nilai di atas 100 dan
ada kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2010, nilai NTP mencapai puncak
selama bulan Agustus dan terendah di bulan Februari. Pola selama tahun 2011 dan 2012
sedikit mengalami perubahan dan mencapai puncak selama bulan Oktober dan terendah di
bulan Maret berkaitan dengan nilai inflasi barang-dan jasa yang cukup tinggi. Hal ini sangat
ironis, karena bulan Maret masih menjadi bulan puncak panen tanaman padi dan palawija.
Pola di tahun 2013, nilai rata-rata It tercatat sebesar 163,16, sementara nilai Ib tercatat sebesar
139,59 sehingga nilai NTP 2013 tercatat sebesar 116,89. Nilai NTP yang berada di atas 100
menggambarkan kesejahteraan penduduk secara kasar yang meningkat.

Perkembangan Indeks Diterima, Indeks Dibayar dan NTP Bulanan di DIY, 2010-2013 (Persen)
180
It

Ib

NTP

160
140
120
100
80

Nov

Sep

Juli

Mei

Mar

Jan

Nov

2012

Sep

Juli

Mei

Mar

Jan

2011

Nov

Sep

Juli

Mei

Mar

Jan

Nov

2010

Sep

Juli

Mei

Mar

Jan

60

2013

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

75

16

POLA KONSUMSI PENDUDUK


Pola konsumsi atau pengeluaran penduduk dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh level
pendapatan yang diterima dan tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi)

Tabel 16.1.

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PENGELUARAN RUMAH TANGGA


Pengeluaran atau konsumsi penduduk/rumah tangga menjadi salah satu komponen
permintaan terpenting yang menentukan aktivitas perekonomian di suatu wilayah.
Pengeluaran rumah tangga secara riil juga menjadi salah satu indikator kesejahteraan,
semakin meningkat pengeluaran penduduk secara rata-rata maka semakin tinggi pula
tingkat kesejahteraannya. Pengeluaran penduduk/rumah tangga dibagi menjadi dua
kategori, pengeluaan makanan dan non makanan. Pergeseran dalam pola pengeluaran
terjadi seiring dengan peningkatan pendapatan, artinya ketika pendapatan meningkat
maka porsi pengeluaran untuk makanan akan semakin menurun dan sebaliknya porsi
pengeluaran untuk non makanan akan semakin meningkat.
Nilai nominal pengeluaran per kapita penduduk DIY selama tahun 2013 tercatat sebesar
Rp 765.714, terdiri dari pengeluaran makanan sebesar Rp 359.522 dan non makanan sebesar
Rp 406.192. Dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp 700.297, pengeluaran
per kapita tahun 2013 meningkat sebesar 9,34 persen. Peningkatan ini didorong oleh
peningkatan pengeluaran untuk kelompok makanan sebesar 9,86 persen dan kelompok
non makanan sebesar 8,88 persen. Konsep pengeluaran disajikan dalam bentuk nominal
atas dasar harga pasar yang berlaku, sehingga peningkatan pengeluaran per kapita selain
disebabkan oleh peningkatan kuantitas barang juga dipengaruhi oleh kenaikan harga
barang dan jasa (inflasi). Kondisi ini belum mencerminkan kenaikan kesejahteraan secara riil.
Secara umum, pengeluaran per kapita penduduk perkotaan cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan pengeluaran penduduk perdesaan, sehingga tingkat kesejahteraan
penduduk perkotaan secara rata-rata lebih baik dibanding penduduk perdesaan. Pada tahun
2013, pengeluaran per kapita penduduk perkotaan mencapai Rp 879.835 atau tumbuh 9,77
persen dibandingkan dengan tahun 2012. Secara nominal, pengeluaran per kapita penduduk
perdesaan tahun 2013 sebesar Rp 543.268 dan tumbuh 8,12 persen dibandingkan dengan
tahun 2012. Tingginya pertumbuhan pengeluaran per kapita di perkotaan didorong oleh
peningkatan pengeluaran kelompok non makanan yang tumbuh sebesar 12,77 persen,
terutama pengeluaran untuk komoditas pada kelompok perumahan dan bahan bakar.
Gambar 16.1.

Pengeluaran Perkapita Sebulan di DIY Pangsa Pengeluaran engeluaran Perkapita Sebulan di DIY
menurut Kelompok, 2010-2013 (Rupiah)
menurut Kelompok, 2010-2013 (Persen)
Pengeluaran/Konsumsi
Tahun

2010

2011

2012

2013

Daerah

Makanan

Non
Makanan

Jumlah

Perkotaan (K)

270.886

385.305

656.191

Perdesaan (D)

195.603

174.305

369.908

K+D

244.003

309.963

553.966

Perkotaan (K)

302.958

399.829

702.787

Perdesaan (D)

223.946

248.219

472.165

K+D

276.322

348.722

625.044

Perkotaan (K)

361.214

440.296

801.510

Perdesaan (D)

260.840

241.638

502.478

K+D

327.242

373.055

700.297

Perkotaan (K)

383.303

496.532

879.835

Perdesaan (D)

313.167

230.101

543.268

K+D

359.522

406.192

765.714

Sumber : BPS DIY

76

100

80
58,72

47,12

55,95

56,89

52,57

55,79

54,93

44,05

43,11

47,43

44,21

45,07

K+D

K+D

48,09

42,35

53,27

56,43

46,73

43,57

K+D

53,05

60

40

20

41,28

52,88

51,91

57,65

46,95

0
K

D
2010

2011
Makanan

D
2012

K+D

2013

non Makanan

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Pola konsumsi atau pengeluaran penduduk dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh level
pendapatan yang diterima dan tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi)

16

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Sampai saat ini, proporsi pengeluaran per kapita untuk kelompok makanan sudah
lebih rendah dibandingkan pengeluaran kelompok non makanan. Pada tahun 2013,
proporsi pengeluaran per kapita untuk kelompok makanan mencapai 46,95 persen dari total
konsumsi per kapita penduduk. Sementara, proporsi pengeluaran per kapita non makanan
sebesar 53,05 persen. Proporsi pengeluaran makanan semakin menurun, sementara proporsi
pengeluaran non makanan justru semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai
dengan hukum Engel yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan yang diterima
atau semakin tinggi kekayaan seseorang maka bagian dari pendapatan yang dibelanjakan
untuk kelompok makanan (marginal propensive to consume/MPC) akan semakin menurun,
sementara MPC untuk kelompok non makanan justru akan semakin meningkat. Hal ini
terjadi karena permintaan komoditas non makanan cenderung lebih elastis dibandingkan
dengan makanan.
Hukum Engel juga berlaku di untuk wilayah perkotaan, sementara untuk wilayah
perdesaan dalam empat tahun terakhir masih dominan pengeluaran untuk kelompok
makanan. Secara umum, distribusi pengeluaran per kapita penduduk DIY selama tahun 2013
yang terbesar digunakan untuk kelompok barang-barang dan jasa dengan porsi sebesar
22,22 persen. Kelompok ini mencakup pengeluaran untuk jasa pendidikan, kesehatan,
rekreasi, transportasi, komunikasi dan keuangan. Proporsi pengeluaran berikutnya adalah
kelompok perumahan, bahan bakar dan penerangan dengan nilai 19,22 persen dan makanan
dan minuman jadi dengan proporsi 17,84 persen.
Komposisi pengeluaran perkapita non
makanan sebulah yang terbesar di daerah
perdesaan adalah kelompok barangTabel 16.1.
barang dan jasa dan diikuti oleh kelompok
Proporsi Pengeluaran Perkapita Sebulan di DIY
perumahan, bahan bakar, penerangan dan
menurut Kelompok Pengeluaran, 2013 (Persen)
air. dengan proporsi 19,27 persen dan 14,33
Kelompok Pengeluaran
K
D
K+D
persen. Komposisi ini sama dengan daerah
Makanan
43,57
57,65
46,95
Padi-padian
4,57
10,23
5,93
perkotaan yang memiliki proporsi 22,13
Umbi-umbian
0,21
0,45
0,27
persen untuk kelompok barang-barang
Ikan
1,48
1,60
1,50
dan jasa dan 20,77 persen untuk kelompok
Daging dan Hasilnya
1,94
2,39
2,05
Telur, Susu dan Hasilnya
3,32
3,36
3,33
perumahan, bahan bakar, penerangan dan
Sayur-sayuran
2,82
5,37
3,43
air Bersih.
Kacang-kacangan
1,26
2,74
1,61
Buah-buahan
2,43
2,50
2,45
Komposisi pengeluaran perkapita
Lemak dan Minyak
1,04
2,35
1,36
sebulan
untuk kelompok makanan
Bahan Minuman
1,66
2,91
1,96
Bumbu-bumbuan
0,55
0,83
0,61
di daerah perdesaan didominasi oleh
Konsumsi Lainnya
0,77
1,29
0,90
makanan jadi dan minuman dengan
Makanan dan Minuman
18,32
16,31
17,84
Jadi
porsi 16,31 persen.
Proporsi terbesar
Tembakau dan Sirih
3,20
5,29
3,70
berikutnya adalah kelompok padi-padian
Non Makanan
56,43
42,35
53,05
Perumahan, Bahan Bakar,
dengan proporsi 10,23 persen. Komposisi
20,77
14,33
19,22
Penerangan dan Air
pengeluaran perkapita komoditas makanan
Barang-barang dan Jasa
23,13
19,27
22,20
Pakaian, Alas Kaki dan
2,74
2,58
2,70
di daerah perkotaan juga memiliki pola yang
Tutup Kepala
Barang Tahan Lama
5,08
4,26
4,88
serupa, namun levelnya sedikit berbeda.
Pajak Pemakaian dan
1,92
1,32
1,77
Pengeluaran untuk makanan jadi mencapai
Premi Asuransi
Keperluan Pesta dan
18,32 persen, sementara padi-padian hanya
2,80
0,59
2,27
Upacara
4,57 persen.
Jumlah
100
100
100
Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

77

16

Pola konsumsi energi/kalori perkapita per hari penduduk DIY dalam satu dasawarsa terakhir
masih berada dibawah angka kecukupan energi (2.000 kilo kalori)

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN


Tingkat kecukupan gizi yang diukur dari konsumsi kalori dan protein menjadi salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Jumlah
konsumsi kalori dan protein dihitung berdasarkan jumlah dari hasil kali antara kuantitas
setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein dalam
setiap makanan tersebut. Angka kecukupan konsumsi energi dan protein berdasarkan
Widyakarya Pangan dan Gizi ke-8 tahun 2004 masing-masing sebesar 2.000 kkal dan 50
gram protein per kapita per hari.
Rata-rata kalori yang dikonsumsi oleh penduduk DIY selama periode 2002-2013 cukup
berfluktuasi dengan besaran antara 1.766 kkal sampai 1.996 kkal per kapita per hari. Jika
mengacu pada standar kecukupan kebutuhan minimum energi yang sebesar 2.000 kkal per
kapita per hari, maka rata-rata konsumsi kalori penduduk DIY masih di bawah standar yang
ditentukan. Angka tertinggi yang pernah dicapai adalah 1.996 kkal per kapita per hari di
tahun 2013. Angka ini meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan beberapa periode
sebelumnya.
Secara
umum,
selama
sepuluh tahun terakhir konsumsi
Gambar 16.2.
kalori per kapita per hari
Rata-rata Konsumsi Kalori Perkapita Sehari di DIY, 2002-2013 (kkal) penduduk perdesaan selalu lebih
2.200
tinggi dibandingkan dengan
K
D
K+D
1996,08
penduduk perkotaan. Pada tahun
2.000
1.915
1.904
1.852
2012, konsumsi per kapita per hari
1.836
1.832
1.803
1794,06
1.766
1.800
penduduk kota tercatat sebesar
1.823 kkal, sementara konsumsi
1.600
per kapita per hari penduduk
perdesaan tercatat sebesar 1.867
1.400
kkal. Fenomena ini terjadi karena
1.200
adanya kecenderungan penduduk
perkotaan terutama mereka yang
1.000
2002
2005
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
berstatus
pelajar/mahasiswa
dalam
mengkonsumsi
makanan
Sumber : BPS DIY
dan minuman jadi, sementara
Gambar 16.3.
penduduk
desa
cenderung
Rata-rata Konsumsi Protein Perkapita Sehari, 2002-2013 (gram)
mengkonsumsi bahan makanan
70
yang diolah terlebih dahulu.
K
D
K+D
61,65
60
55,30
Konsumsi protein penduduk
53,81
52,89
52,08
51,35
51,04
50,76
49,56
DIY
selama periode 2002-2013
50
juga cukup berfluktuasi dan
40
mencapai puncak di tahun 2003
dengan nilai 55,30 gram per kapita
30
per hari. Meskipun konsumsi
20
protein menurun selama tahun
10
2008 hingga mencapai 61,65 gram,
dalam lima tahun terakhir polanya
0
2002
2005
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
semakin meningkat menjadi 53,13
gram per kapita per hari di tahun
Sumber : BPS DIY
78

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Konsumsi protein per kapita per hari penduduk DIY dalam lima tahun terakhir sudah
melebihi standar yang ditentuka (50 gram), namun untuk penduduk perdesaan masih di bawah
standar

16

tp

Gambar 16.3.

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

2012, konsumsi per kapita per hari penduduk kota tercatat sebesar 1.823 kkal, sementara
konsumsi per kapita per hari penduduk perdesaan tercatat sebesar 1.867 kkal. Fenomena
ini terjadi karena adanya kecenderungan penduduk perkotaan terutama mereka yang
berstatus pelajar/mahasiswa dalam mengkonsumsi makanan dan minuman jadi, sementara
penduduk desa cenderung mengkonsumsi bahan makanan yang diolah terlebih dahulu.
Konsumsi protein penduduk DIY selama periode 2002-2013 juga cukup berfluktuasi dan
mencapai puncak di tahun 2003 dengan nilai 61,65 gram per kapita per hari. Jika mengacu
pada kebutuhan minimum protein yang sebesar 50 gram per kapita per hari, maka konsumsi
protein penduduk DIY sudah melebihi kebutuhan minimum yang ditentukan. Berdasarkan
pola konsumsi protein per kapita per hari menurut wilayah selama sepuluh tahun terakhir,
penduduk perkotaan masih lebih tinggi dalam mengkonsumsi protein dibandingkan dengan
penduduk perdesaan. Hal ini terjadi karena sumber-sumber protein yang dikonsumsi
penduduk perkotaan sudah lebih bervariasi dibandingkan dengan penduduk perdesaan.
Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir pola konsumsi protein penduduk perdesaan masih
berada di bawah angka kecukupan protein yang ditentukan.
Perkembangan konsumsi kalori dan protein per kapita berdasarkan kelompok makanan
selama tahun 2010-2013 disajikan dalam Tabel 16.3. Berdasarkan kelompok makanan,
konsumsi kalori dan protein yang tertinggi bersumber dari kelompok padi-padian dan
makanan jadi. Selama tahun 2013, kedua kelompok tersebut memiliki pangsa sebesar 36,85
persen dan 27,00 persen dari total konsumsi kalori penduduk DIY. Sementara, pangsa protein
kedua kelompok tersebut masing-masing mencapai 28,01 persen dan 34,44 persen dan
diikuti oleh kelompok kacang-kacangan dengan porsi 11,21 persen. Porsi konsumsi kalori
dan protein yang berasal dari kelompok buah-buahan, umbi-umbian, kelompok ikan dan
kelompok daging masih relatif rendah sehingga pemerintah perlu mendorong masyarakat
untuk lebih banyak konsumsi energi dan protein yang bersumber dari kelompok-kelompok
makanan tersebut.

Kelompok Makanan
Padi-padian

ht

Rata-rata Konsumsi Protein dan Kalori Perkapita Sehari menurut Jenis Pengeluaran, 2010-2013
2010
701 (37,85)

Kalori (kkal)
2011
700 (38,23)

Protein (Gram)

2012
708 (38,51)

2013

2010

2011

2012

2013

736 (36,85) 16,45 (31,11) 16,44 (30,55) 16,60 (31,24) 17,27 (28,01)

Umbi-umbian

33

(1,79)

26

(1,41)

21

(1,16)

34

(1,71)

0,24

(0,45)

0,19

(0,35)

0,17

(0,32)

0,25

Ikan

15

(0,80)

14

(0,76)

17

(0,91)

20

(0,98)

2,36

(4,46)

2,1

(3,90)

2,58

(4,86)

3,00

(0,41)
(4,87)

Daging dan Hasilnya

40

(2,15)

41

(2,26)

48

(2,62)

47

(2,36)

2,48

(4,69)

2,64

(4,91)

2,84

(5,35)

2,97

(4,82)

Telur, Susu dan Hasilnya

63

(3,38)

62

(3,38)

57

(3,09)

68

(3,41)

3,48

(6,58)

3,46

(6,43)

3,18

(5,99)

3,82

(6,20)

Sayur-sayuran

44

(2,35)

41

(2,26)

44

(2,40)

44

(2,22)

2,9

(5,48)

2,8

(5,20)

2,90

(5,46)

2,91

(4,72)

Kacang-kacangan

79

(4,24)

72

(3,91)

73

(3,95)

76

(3,81)

41

(2,24)

43

(2,35)

48

(2,63)

50

Buah-buahan

6,86 (12,97)

6,92 (12,86)

6,79 (12,78)

6,91 (11,21)

(2,51)

0,46

(0,87)

0,45

(0,84)

0,52

(0,98)

0,49

(0,79)

Lemak dan Minyak

211 (11,39)

201 (10,98)

203 (11,03)

207 (10,35)

0,49

(0,93)

0,43

(0,80)

0,39

(0,73)

0,35

(0,57)

Bahan Minuman

119

(6,42)

118

(6,46)

102

(5,53)

111

(5,54)

1,01

(1,91)

0,97

(1,80)

0,77

(1,45)

0,94

(1,52)

Bumbu-bumbuan

10

(0,53)

12

(0,64)

(0,50)

10

(0,51)

0,38

(0,72)

0,44

(0,82)

0,36

(0,68)

0,40

(0,65)

60

(3,21)

54

(2,97)

55

(2,98)

55

(2,77)

1,22

(2,31)

1,12

(2,08)

1,09

(2,05)

1,11

(1,80)

Konsumsi Lainnya
Makanan Jadi
Jumlah

438 (23,66)
1852

447 (24,38)

(100) 1832

454 (24,69)

(100) 1838

539 (27,00) 14,55 (27,52) 15,85 (29,46) 14,94 (28,12) 21,23 (34,44)

(100) 1996

(100) 52,88

(100) 53,81

(100) 53,13

(100) 61,65

(100)

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

79

17

PERDAGANGAN
Nilai ekspor komoditas asarl DIY dalam dselama tahun 2013 semakin meningkat akibat
peningkatan volume

Terjaminnya ketersediaan/stok berbagai komoditas kebutuhan masyarakat merupakan


hal yang sangat penting untuk dijaga. Untuk menjaga stabilitas perdagangan, baik
perdagangan dalam negeri maupun luar negeri, perlu adanya aktivitas perdagangan
yang mencakup diantaranya adalah ekspor dan impor beberapa komoditas barang untuk
kebutuhan masyarakat di DIY. Sumber data ekspor dan impor luar negeri yang disajikan
berasal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY.
Gambar 17.1.
Volume dan Nilai Ekspor DIY, 2007-2013
250

Volume (Ribu Ton)

id

150

50

2008

ar
ta
.b
ps

2007

.g
o.

100

2009

2010

2011

2013

Gambar 17.2.

Pangsa Volume Ekspor DIY menurut Negara, 2013


Australia;
(10,16)
Asia; (22,91)
Uni Eropa;
(42,71)
Amerika
Serikat dan
Kanada;
(10,93)

tp

Lainnya;
(13,28)

ht

80

2012

Sumber : BPS DIY

://

yo
gy

Nilai (Juta US$)

200

ak

Kinerja ekspor luar negeri komoditas


asal DIY dalam enam tahun terakhir
cukup berfluktuasi. Dari sisi volume ada
kecenderungan semakin menurun dari
36,62 ribu ton di tahun 2007 menjadi 26,67
ribu ton di tahun 2011, meskipun kembali
meningkat menjadi 34,04 ribu ton di
tahun 2013. Krisis finansial yang melanda
beberapa negara tujuan ekspor seperti
Amerika Serikat dan Uni Eropa sejak akhir
tahun 2007 cukup berpengaruh terhadap
penurunan volume ekspor asal DIY.
Pengaruh tersebut juga sangat terlihat
jelas dari sisi nilei ekspor yang melorot
tajam hingga menjadi US$ 108,7 juta di
tahun 2009. Namun demikian, dalam
tiga tahun terakhir nilai nominal ekspor
komoditas asal DIY meningkat secara
bertahap menjadi US$ US$ 211,76 juta di
tahun 2013. Peningkatan nilai ekspor ini
lebih disebabkan oleh pengaruh kenaikan
harga dan menguatnya nilai mata uang,
karena dari sisi volume hanya naik sedikit.
Sebagai catatan, nilai ekspor masih dalam
bentuk nominal dan dihitung atas dasar
harga pasar yang berlaku.
Berdasarkan volumenya, komoditas
asal DIY selama tahun 2013 sebagian besar
diekspor ke negara-negara Uni Eropa
dengan porsi 39,86 persen. Negara-negara
Uni Eropa tujuan utama ekspor komoditas
asal DIY terdiri dari Jerman, Perancis dan
Inggris. Dibandingkan dengan tahun 2012,
nilai ekspor ke beberapa negara Uni Eropa
seperti Jerman, Belgia, Belanda dan Italia
selama tahun 2013 mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Porsi selanjutnya
adalah ekspor ke Amerika Serikat dan
Kanada dengan porsi 24,79 persen.

Sumber : BPS DIY

Gambar 17.2.
Pangsa Volume Ekspor DIY menurut Negara, 2013
Asia; (23,48)

Australia;
(2,91)
Lainnya;
(8,97)

Uni Eropa;
(39,86)

Amerika
Serikat dan
Kanada;
(24,79)

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Impor luar negeri DIY dilakukan untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri, terutama
tekstil, kulit sintetis, kapas, aksesoris dan bahan baku susu

17

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Pangsa volume ekspor ke negara-negara di kawasan Asia selama 2013 mencapai 22,91
persen, sementara pangsa nilainya mencapai 23,48 persen. Negara-negara di kawasan Asia
yang menjadi tujuan ekspor utama komoditas asal DIY adalah Jepang dan China dengan
pangsa volume ekspor mencapai 6,64 persen dan5,32 persen. Sementara pangsa nilai
ekspor tertinggi di negara Asia adalah Jepang dan Korea Selatan dengan pangsa sebesar
9,79 persen dan 6,46 persen. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya volume maupun nilai
ekspor ke kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara semakin meningkat. hal ini mengindikasikan
potensi kedua kawasan ini menjadi pasar alternatif
Tabel 17.1.
bagi pemasaran komoditas ekspor asal DIY.
Volume dan Nilai Ekspor DIY Menurut Negara
Komoditas ekspor unggulan DIY berdasarkan
Tujuan , 2013
nilai ekspornya adalah tekstil dan pakaian jadi
Volume (000 Kg)
Nilai (US$ Juta)
Negara
3,29 (9,67)
47,32 (22,35)
Amerika Serikat
dengan pangsa sebesar 30,74 persen. Berikutnya
Jerman
3,36 (9,87)
27,91 (13,18)
secara berturut-turut adalah komoditas mebel
Korea Selatan
0,79 (2,32)
13,68 (6,46)
kayu, sarung tangan kulit, dan sarung tangan
Jepang
2,26 (6,64)
20,73 (9,79)
India
0,48 (1,41)
3,14 (1,48)
sintetis dengan pangsa nilai ekspor masingPerancis
2,30 (6,76)
6,75 (3,19)
masing sebesar 16,89 persen; 13,20 persen; dan
Inggris
1,00 (2,94)
5,84 (2,76)
10,61 persen. Komoditas ekspor yang lainnya
Turki
1,01 (2,97)
4,76 (2,25)
China
1,81 (5,32)
4,76 (2,25)
memiliki pangsa nilai di bawah 5 persen.
Belanda
2,89 (8,49)
8,15 (3,85)
Perkembangan kegiatan impor di DIY relatif
Belgia
1,78 (5,23)
3,93 (1,86)
Australia
3,46 (10,16)
6,16 (2,91)
sulit untuk dicatat dengan kondisi sebenarnya.
Spanyol
0,85 (2,50)
3,50 (1,65)
Hal ini disebabkan oleh pelabuhan bongkar dan
Italia
1,34 (3,94)
23,52 (11,11)
Kanada
0,43 (1,26)
5,17 (2,44)
pelaku impor umumnya berada di luar DIY. Di
Thailand
0,23 (0,68)
1,04 (0,49)
samping itu, tidak semua importir melaporkan
Uni Emirat Arab
0,61 (1,79)
1,85 (0,87)
realisasi impornya, sehingga yang tercatat
Malaysia
1,53 (4,49)
4,40 (2,08)
Iran
0,09 (0,26)
0,12 (0,06)
adalah realisasi dari importir yang secara rutin
Portugal
0,01 (0,03)
0,04 (0,02)
melaporkan ke Dinas Perindagkop DIY. Meskipun
Lainnya
4,52 (13,27)
18,99 (8,95)
demikian, dapat dipastikan bahwa barang yang
Jumlah
34,04
(100)
211,76
(100)
Sumber : BPS DIY
diimpor dari luar negeri semuanya merupakan
bahan baku produksi, bukan barang konsumtif.
Tabel 17.2.
Barang-barang tersebut diantaranya adalah
Volume dan Nilai Impor DIY Menurut Negara
tekstil, bahan baku susu, kulit disamak, sparepart
Asal , 2013
mesin pertanian, kapas, label dan asesoris garmen.
Negara Asal
Volume (000 Kg) Nilai (US$ Juta)
Realisasi impor luar negeri yang tercatat
China
0,73 (38,62)
2,50 (1,61)
masuk ke DIY selama tahun 2013 mencapai US$
Korea Selatan
0,50 (26,46)
2,55 (1,65)
154,99 juta dan meningkat di atas 1000 persen
Selandia baru
dibandingkan dengan tahun 2012. Dari sisi
Hongkong
0,02 (1,06)
0,40 (0,26)
volume, impor yang masuk tercatat sebanyak 1,89
Taiwan
0,35 (18,52)
3,49 (2,25)
ribu ton yang didominasi oleh komoditas tekstil
Amerika Serikat
0,06 (3,17)
0,53 (0,34)
dan sparepart mesin pertanian.
Jepang
0,10 (5,29) 144,62 (93,31)
Distribusi persentase volume impor ke
Malaysia
DIY selama tahun 2013 didominai oleh barang
Singapura
0,01 (0,53)
0,17 (0,11)
asal China (38,62 persen), Korea Selatan (26,46
Vietnam
0,02 (1,06)
0,05 (0,03)
persen)dan Jepang (5,29 persen). Sementara, nilai
Lainnya
0,10 (5,29)
0,68 (0,44)
impor yang tertinggi berasal dari Jepang dengan
Jumlah
1,89
(100) 154,99
(100)
proporsi sebesar 93,31 persen.
Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

81

18

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO


Kinerja perekonomian DIY yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan
perkembangan positif, meskipun levelnya cenderung berfluktuasi

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DAN PERTUMBUHAN EKONOMI


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) beserta turunannya merupakan salah satu
indikator kemajuan kegiatan perekonomian dalam suatu wilayah. Secara umum, PDRB
didefinisikan sebagai penjumlahan nilai tambah bruto (selisih antara nilai output dengan
biaya antara) yang timbul dari seluruh aktivitas perekonomian dalam suatu wilayah tertentu
tanpa memperhatikan dari mana asal faktor produksi yang digunakan. Penghitungan PDRB
dapat dilakukan menggunakan tiga pendekatan, pendekatan produksi, pendapatan dan
pengeluaran, namun sampai saat ini yang lazim digunakan adalah pendekatan produksi
(PDRB sektoral) dan pendekatan pengeluaran (PDRB penggunaan).
Pola perkembangan nilai PDRB DIY selama satu dasa warsa terakhir menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat. Atas dasar harga pasar berlaku, PDRB meningkat
secara bertahap dari Rp 13,48 triliun di tahun 2000 menjadi Rp 63,69 triliun di tahun 2013.
Sementara, atas dasar harga konstan tahun 2000 PDRB meningkat secara bertahap dari
13,48 triliun menjadi Rp 24,57 triliun di tahun 2013. Selama periode 2000-2013, kinerja
perekonomian DIY yang diukur dari pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh dengan ratarata 4,73 persen per tahun.
Laju pertumbuhan ekonomi DIY selama periode 2000-2013 memiliki pola yang cukup
berfluktuasi dengan level antara 3,70 sampai 5,40 persen. Setelah mengalami kontraksi
yang cukup besar di tahun 1998, secara bertahap perekonomian DIY mulai pulih yang
ditunjukkan oleh laju pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5,12 persen di tahun 2004.
Meskipun masih tumbuh positif, perekonomian DIY kembali mengalami perlambatan dan
hanya mampu tumbuh 3,7 persen di tahun 2006 sebagai imbas dari kenaikan harga BBM
di tahun 2005 dan dampak bencana gempa bumi yang melanda DIY pada bulan Mei 2006.
Selama tahun 2009, perekonomian juga mengalami perlambatan dari 5,03 persen menjadi
4,43 persen sebagai imbas dari krisis finansial yang melanda beberapa negara tujuan ekspor
terutama Amerika Serikat dan Eropa. Krisis ini cukup memukul sektor industri pengolahan
yang berbasis ekspor. Selama tahun 2010 sampai 2013 perekonomian secara perlahan
kembali membaik yang ditandai oleh laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai level 5,40
persen. Angka ini menjadi level pertumbuhan yang tertinggi yang mampu dicapai DIY
selama lehih dari satu dasawarsa terakhir.
Gambar 17.1.

Gambar 17.2.

PDRB DIY Atas Dasar harga Berlaku dan Konstan


Tahun 2000, 2000-2013 (Rp Triliun)

Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi DIY,


2001-2013 (Persen)

70

63,69

ADHB (Triliun)
60

57,03

50

45,63
38,10

40
29,42
30
20

13,48

10

17,52

19,61

22,02

4,00

32,92

5,12
4,50

3,70

2,50
2,00

2011 2012*) 2013**)

2011

2010

2010

2009

2009

2008

2008

2007

2007

2006

2006

2005

2005

2004

2004

2003

4,43

4,31

2003

2002

5,40

3,00

2002

2001

5,32

4,88

4,73

4,58

4,26

2001

2000

Sumber : BPS DIY

5,17

5,03

3,50

25,34

82

5,00
4,50

41,41

24,57
22,13 23,31
20,06 21,04
18,29 19,21
17,54
16,91
16,15
14,06 14,69 15,36
15,23

5,50

2013**)

51,79

2012*)

ADHK (Triliun)

6,00

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

18

Dari sisi penawaran pertumbuhan ekonomi DIY didorong oleh konsumsi rumah tangga yang
tumbuh 5,82 persen , sehingga memiliki andil sebesar 2,81

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

Dari sisi penawaran/supplai, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,40 persen di tahun 2013
didorong oleh pertumbuhan positif di semua sektor, meskipun laju pertumbuhan sedikit
terkoreksi oleh laju inflasi 2013 yang mencapai 7,32 persen. Hampir semua sektor tumbuh
positif di atas 5 persen, kecuali sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian
yang hanya mampu tumbuh sebesar 0,63 persen dan 4,93 persen. Sektor perdagangan,
hotel dan restoran; sektor industri pengolahan; dan sektor jasa-jasa menjadi tiga sektor
yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan DIY dengan andil masing masing
sebesar 1,31 persen dan 0,98 persen. Sementara, kontribusi terhadap pertumbuhan yang
terkecil dihasilkan sektor listrik, gas dan air bersih dengan andil sebesar 0,06 persen.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi sebesar didorong oleh peningkatan
semua komponen permintaan akhir dalam PDRB penggunaan. Konsumsi rumah
tangga tumbuh sebesar 5,82 persen dan memberi andil sebesar 2,81 persen terhadap
pertumbuhan. Kelompok komoditas non makanan dengan nilai proporsi 51 persen
masih dominan mendorong pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga di DIY.
Meskipun demikian, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga selama tahun 2013 sedikit
melambat bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang mencapai 6,74 persen dengan andil
pertumbuhan sebesar 3,22 persen. Faktor yang mempengaruhinya adalah melemahnya
daya beli masyarakat sebagai akibat kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah
tangga yang mencapai 7,32 persen di tahun 2013. Komponen Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB) sebagai representasi dari kegiatan investasi mengalami pertumbuhan sebesar
5,02 persen dan memberi andil 1,32 persen terhadap pertumbuhan DIY. Sementara,
konsumsi pemerintah tumbuh 5,31 persen dan memberi andil sebesar 1,07 persen terhadap
pertumbuhan ekonomi DIY. Pencairan dana khusus sebagai implementasi Keistimewaan
Yogyakarta cukup memberi pengaruh terhadap peningkatan konsumsi pemerintah selama
tahun 2013. Ketergantungan terhadap barang dan jasa dari luar daerah maupun luar negeri
oleh penduduk DIY masih cukup tinggi. Hal ini diindikasikan oleh nilai nominal net ekspor
yang bertanda negatif, dalam arti nilai impor lebih besar dari nilai ekspor.

ht

tp

STRUKTUR PEREKONOMIAN DIY


Struktur perekonomian suatu wilayah dapat dikaji berdasarkan andil atau kontribusi dari
semua sektor/lapangan usaha yang ada dalam perekonomian. Struktur perekonomian DIY
Gambar 18.1.

Gambar 18.2.
PDRB DIY ADHB dan ADHK, Pertumbuhan dan Andil PDRB DIY ADHB dan ADHK, Pertumbuhan dan Andil
Pertumbuhan menurut Lapangan Usaha, 2013
Pertumbuhan menurut Penggunaan, 2013
Lapangan Usaha
Pertanian
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan

ADHB
(Miliar
rupiah)

ADHK
(Miliar
rupiah)

8.861,28
416,53
8.771,19
796,70

Pertum
buhan
(Persen)

Pertum
buhan
(Persen)

3.730,30

0,63

0,10

167,67

4,92

0,03

3.142,84

7,81

0,98

229,64

6,54

0,06

ADHB
(Miliar
rupiah)

ADHK
(Miliar
rupiah)

Konsumsi Rumah Tangga

33.293,53

Konsumsi Pemerintah

16.809,33

PMTB

Lapangan Usaha

6.908,38

2.459,17

6,07

0,60

Ekspor

13.152,52

5.225,06

6,20

1,31

Impor

5.400,53

2.744,15

6,30

0,70

Lainnya
PDRB

6.543,15

2.552,44

6,23

0,64

Jasa-jasa

12.840,03

4.316,21

5,57

0,98

PDRB

63.690,32 24.567,48

5,40

5,40

Pertum
buhan
(Persen)

Pertum
buhan
(Persen)

11.937,09

5,82

2,81

4.923,54

5,31

1,07

19.908,29

6.413,76

5,02

1,32

26.907,82

10.938,46

6,38

2,81

36.372,04

10.614,22

5,86

2,52

3.143,38

968,84

-2,13

-0,09

63.690,32

24.567,48

5,40

5,40

Sumber : BPS DIY

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

83

18

Struktur perekonomian DIY dalam beberapa tahun terakhir didominasi oleh sektor tersier,
terutama sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

sampai tahun 2013 didominasi oleh empat lapangan usaha, yakni sektor perdagangan,
hotel dan restoran; sektor jasa-jasa; sektor industri pengolahan; dan sektor pertanian. Sektor
perdagangan, hotel dan restoran memberi sumbangan terbesar dengan nilai andil sebesar
20,65 persen. Selama periode 2000-2013, andil sektor perdagangan,hotel dan restoran relatif
stabil pada kisaran 19,5 sampai 20,65 persen. Andil terbesar kedua dalam struktur PDRB
2013 dihasilkan oleh sektor jasa-jasa dengan nilai andil 20,16. Andil terbesar dari sektor ini
dihasilkan oleh sub sektor jasa pemerintahan umum, sehingga besarnya peranan sektor
jasa-jasa juga menunjukkan peran dan kinerja pemerintahan yang semakin besar. Selama
tiga belas tahun terakhir andil sektor jasa-jasa meningkat dari 17,98 persen menjadi 20,16
persen. Sebagai salah satu destinasi pariwisata di Indonesia, DIY memiliki potensi pariwisata
yang luar biasa baik wisata alam maupun wisata budaya yang mampu mendorong dan
menopang perkembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa
melalui kegiatan promosi wisata.
Sumbangan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian dalam struktur
perekonomian tahun 2013 juga cukup dominan dengan nilai andil sebesar 13,77 persen
dan 13,91 persen. Berdasarkan data series selama tiga belas tahun terakhir, peranan sektor
pertanian dalam perekonomian menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun dari
20,56 persen di tahun 2000 menjadi 13,91 persen di tahun 2013. Sementara, peranan sektor
industri pengolahan juga menunjukkan pola yang menurun dan relatif stagnan dengan andil
sekitar 14 persen dalam tujuh tahun terakhir. Fenomena industrialisasi yang digagas sejak
akhir periode 70an kurang menunjukkan hasil yang signifikan, karena dari sisi nilai tambah
maupun dalam menyerap tenaga kerja justru mengalami stagnasi. Sektor perekonomian
yang mengalami peningkatan andil adalah sektor jasa-jasa. Fenomena ini menunjukkan
perubahan struktural dalam perekonomian di DIY lebih bergeser dari sektor agraris (sektor
primer) menuju sektor jasa-jasa (tersier).
Struktur PDRB DIY dari sisi penggunaan didominasi oleh komponen konsumsi rumah
tangga dan diikuti oleh konsumsi pemerintah serta PMTB. Kontribusi pengeluaran rumah
tangga dalam PDRB mencapai 52,27 persen, sehingga setiap perubahan pada komponen
konsumsi rumah tangga akan memiliki pengaruh terbesar terhadap laju pertumbuhan
ekonomi DIY.
Tabel 17.1.
Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar harga berlaku DIY menurut Lapangan Usaha, 2000-2013 (Persen)
Sektor

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Pertanian

20,56 19,43 18,57 17,02 16,50 15,75 15,55 15,01 15,73 15,38 14,56 14,24 14,65 13,91

Pertambangan & Penggalian


Industri Pengolahan

0,87

0,86

0,87

0,87

0,83

0,78

0,74

0,79

0,74

0,71

0,67

0,70

0,67

0,65

16,07 15,34 15,47 15,65 15,18 14,16 13,86 13,60 13,29 13,35 14,02 14,36 13,34 13,77

Listrik, Gas & Air Bersih

0,74

0,86

1,04

1,18

1,22

1,30

1,28

Konstruksi

6,99

6,82

6,96

7,40

7,92

8,80

9,75 10,54 10,70 10,70 10,59 10,78 10,85 10,85

Perdagangan, Hotel & Restoran

1,29

1,28

1,35

1,33

1,31

1,28

1,25

19,53 19,75 19,13 19,21 18,90 19,21 19,03 19,22 19,22 19,72 19,74 19,79 20,09 20,65

Pengangkutan & Komunikasi

8,55

8,75

9,63

9,71

9,72 10,22 10,37 10,08

9,82

9,20

9,03

8,83

Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan

8,71

8,66

9,38

9,90

9,93

9,77

9,88

9,98

9,96 10,30 10,27

Jasa-Jasa
PDRB

9,95

9,37

9,69

8,60

8,48

17,98 19,54 18,96 19,06 19,80 19,81 20,05 19,79 19,46 19,71 20,07 20,05 20,23 20,16
100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

100

Sumber : BPS DIY

84

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

18

PDRB perkapita atas dasar harga konstan (riil) dalam satu dasa warsa terakhir semakin
meningkat, sehingga secara rata-rata kesejahteraan penduduk DIY juga semakin meningkat

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PDRB PERKAPITA
PDRB per kapita dihitung dari hasil bagi antara nilai PDRB dengan jumlah penduduk
pada pertengahan tahun. Indikator ini menjadi salah satu ukuran kesejahteraan penduduk
secara kasar dalam suatau wilayah. Semakin tinggi nilai PDRB per kapita maka mencerminkan
tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah yang bersangkutan secara rata-rata yang
semakin tinggi pula. Meskipun demikian, indikator ini memiliki kelemahan karena masih
mengabaikan transfer faktor produksi antar wilayah atau asal kepemilikan faktor produksi
dan mengandung komponen pajak tak langsung serta penyusutan.
Perkembangan PDRB per kapita DIY dalam satu dasa warsa terakhir menunjukkan pola
yang semakin meningkat. Pada tahun 2000 PDRB per kapita DIY atas dasar harga pasar yang
berlaku mencapai Rp 4,32 juta per tahun dan meningkat secara bertahap menjadi Rp 17,98
juta per tahun pada tahun 2013. Meskipun demikian, angka tersebut masih mengandung
komponen perubahan harga (inflasi/deflasi) sehingga belum mencerminkan nilai riilnya.
Secara riil atau dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000, nilai PDRB per kapita DIY
meningkat secara bertahap hingga mencapai level Rp 6,94 juta per tahun pada tahun 2012
atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3,64 persen per tahun. Secara kasar, fakta
ini menunjukkan terjadinya perbaikan kesejahteraan penduduk DIY secara rata-rata dengan
asumsi semuan penduduk menerima manfaat yang sama dari haril pertumbuhan.
Pertumbuhan pendapatan perkapita riil secara umum memiliki pola yang searah
dengan pertumbuhan ekonomi. Pendapatan perkapita dalam tiga belas tahun terakhir
mampu tumbuh secara positif, meskipun terjadi perlambatan di tahun 2005-2006 akibat
kenaikan harga BBM dan bencana gempa bumi serta melambat kembali di tahun 2009
akibat krisis finansial yang terjadi di negara-negara Amerika dan Eropa yang menjadi tujuan
ekspor komoditas asal DIY.
Gambar 17.2.

tp

://

Perkembangan Pendapatan Perkapita, Laju Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Riil, PertumbuhanEkonomi DIY, 2001-2013 (Persen)

Pertumbuhan (%)

4,45
4,26

3
3,01

4,60
4,50

4,76

4,95
5,12

4,58
4,04

3,41

3,50

5,14

5,27

5,44

5,86

5,03

4,73
4,31
3,67

5,66

3,70

6,09

6,63

6,94

4,88
3,95

5,17
4,27

5,32

5,40

4,50

4,59

4
3

3,41

3,27
2,65

7
6

4,43
3,99

6,35

PDRB Perkapita (Rp juta)

PDRB Perkapita Riil (Rp juta)


Pertumbuhan Ekonomi (%)
Pertumbuhan PDRB Perkapita Riil (%)

ht

0
2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012*) 2013**)

Sumber : BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

85

19

PERBANDINGAN REGIONAL
Kontribusi DIY dalam perekonomian nasional masih sangat kecil, hanya 0,86 persen dan
berada di peringkat kedua puluh

id

Bab perbandingan regional menyajikan perbandingan pencapaian beberapa indikator


strategis antara DIY dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Beberapa indikator yang
diperbandingkan diantaranya adalah PDRB, PDRB perkapita dan IPM.
PDRB
Nilai PDRB ADHB DIY tahun 2013 berada di peringkat kedua puluh secara nasional setelah
Provinsi Kalimantan Selatan dan sebelum Provinsi Kalimantan Tengah. Peringkat ini tidak
mengalami perubahan sejak tahun 2010. Jika dibandingkan dengan lima provinsi lainnya
di Pulau Jawa, nilai PDRB DIY selama tahun 2013 baik atas dasar harga pasar yang berlaku
maupun atas harga konstan tahun 2000 berada di posisi yang terkecil. Kontribusi PDRB DIY
terhadap total PDRB 33 provinsi (PDB nasional) atas dasar harga yang berlaku mencapai 0,84
persen. Dibandingkan dengan nilai andil tahun 2011 dan 2012 yang mencapai 0,86 persen
dan 0,85 persen, andil tahun 2013 sedikit mengalami penurunan.

PDRB

Sumber : BPS DIY

86

4,18
6,01
6,18
2,61
7,88
5,98
6,21
5,97
5,29
6,13
6,11
6,06
5,81
5,40
6,55
5,86
6,05
5,69
5,56
6,08
7,37
5,18
1,59
7,45
9,38
7,65
7,28
7,76
7,16
5,14
6,12
9,30
14,84
5,90

1,36
5,33
1,68
6,89
1,13
3,06
0,36
2,17
0,51
1,32
16,57
14,12
8,23
0,84
14,99
3,23
1,25
0,74
0,53
1,12
0,84
1,10
5,61
0,70
0,77
2,44
0,54
0,16
0,21
0,17
0,10
0,67
1,23
100

ak

13
7
12
5
17
9
29
11
28
14
1
3
4
20
2
8
15
23
27
18
21
19
6
24
22
10
26
32
30
31
33
25
16

yo
gy

38,01
142,54
46,64
109,07
21,98
76,41
10,05
46,12
12,91
49,67
477,29
386,84
223,10
24,57
419,43
105,86
34,79
20,42
14,75
36,08
23,00
36,20
121,99
22,87
22,98
64,28
15,04
3,65
6,11
5,11
3,66
15,06
24,62
2.661

://

NAD
103,05
Sumut
403,93
Sumbar
127,10
Riau
522,24
Jambi
85,56
Sumsel
231,68
Bengkulu
27,39
Lampung
164,39
Kep. Babel
38,93
Kep. Riau
100,31
DKI Jakarta 1.255,93
Jabar
1.070,18
Jateng
623,75
DIY
63,69
Jatim
1.136,33
Banten
244,55
Bali
94,56
NTB
56,28
NTT
40,47
Kalbar
84,96
Kalteng
63,52
Kalsel
83,36
Kaltim
425,43
Sulut
53,40
Sulteng
58,64
Sulsel
184,78
Sultra
40,77
Gorontalo
11,75
Sulbar
16,18
Maluku
13,25
Malut
7,73
Papbar
50,91
Papua
93,14
Indonesia
7.578

Pering Pertum Kontri


kat
buhan
busi

ADHK

tp

ADHB

ht

Provinsi

ar
ta
.b
ps

Perbandingan PDRB, Pertumbuhan dan Kontribusi


PDRB menurut Provinsi di Indonesia, 2013 (Triliun)

Kontribusi PDRB seluruh provinsi di


Pulau Jawa terhadap total PDRB 33 provinsi
(PDB nasional) mencapai 57,99 persen dan
relatif tidak berubah dibandingkan dengan
andil pada tahun sebelumnya. Fenomena
ini menunjukkan kegiatan perekonomian
nasional masih terkonsentrasi di Pulau
Jawa, meskipun secara bertahap dalam
sepuluh tahun terakhir levelnya semakin
berkurang.
Kontribusi PDRB DIY masih rendah
juga diikuti level pertumbuhan yang
menempati peringkat terendah. Secara
rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsiprovinsi di Pulau Jawa mencapai 6,25
persen, sementara di level pertumbuhan
DIY hanya 5,40 persen. Hal ini terkait
dengan luas wilayah yang relatif lebih
sempit dan jumlah penduduk yang relatif
lebih sedikit maupun ketiadaan kawasan
perekonomian/industri yang berskala besar
maupun rendahnya kontribusi nilai tambah
dari sektor migas. Kegiatan perekonomian
DIY masih berorientasi pada sektor jasa
terutama jasa pendidikan dan kegiatan jasa
yang berbasis pariwisata dan kebudayaan
dan masih bertumbu pada usaha mikro,
kecil dan menengah. Namun demikian,
selama tahun 2013 DIY menjadi satusatunya wilayah yang pertumbuhannya
menguat disaat semua provinsi lain di
Pulau Jawa mengalami perlambatan.

.g
o.

Tabel 19.1.

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

19

Terdapat lima provinsi yang memiliki PDRB perkapita lebih tinggi dari level nasional yakni
DKI Jakarta, Kepri, Kaltim, Jatim dan Sumut, sementara PDRB perkapita provinsi lainnya
termasuk DIY lebih rendah dari level nasional

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

PDRB PERKAPITA
Perbandingan nilai PDRB per kapita atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga
konstan antar provinsi di Indonesia masih menunjukkan adanya gap yang sangat lebar.
Berdasarkan Gambar 19.1. level PDRB perkapita riil (ADHK 2000) Provinsi DKI Jakarta pada
tahun 2013 sudah mencapai Rp 47,77 juta per tahun. Sementara, level PDRB perkapita
riil Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih berada pada kisaran Rp 2,98 juta per tahun.
Fenomena tersebut menggambarkan kesenjangan pendapatan regional yan sangat kontras,
DKI Jakarta sebagai daerah maju yang merepresentasikan pusat pemerintahan dan pusat
perekonomian dan NTT sebagai provinsi yang pembangunan ekonominya masih jauh
tertinggal.
Secara nasional, level PDRB perkapita riil tahun 2013 tercatat sebesar Rp 10,15 juta per
tahun. Berdasarkan level tersebut, tercatat sebanyak 28 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia
masih memiliki nilai PDRB riil perkapita yang lebih rendah dari level nasional dan hanya ada 5
provinsi yang PDRB perkapita riilnya lebih tinggi dari level nasional. Secara berurutan kelima
provinsi tersebut adalah DKI Jakarta (Rp 47,77 juta), Kepulauan Riau (Rp 25,67 juta), Kalimantan
Timur (22,70), Jawa Timur (Rp 10,89 juta) dan Sumatera Utara (Rp 10,43 juta). Berdasarkan
peringkat secara nasional, PDRB perkapita riil DIY tahun 2013 berada di urutan berada ke-22
dan berada diantara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Rp 7,14 juta) dan Provinsi Jawa
Tengah (Rp 6,38 juta). Beberapa daerah yang memiliki nilai PDRB perkapita tinggi seperti
Riau, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau tercatat memiliki potensi pertambangan migas
maupun bahan mineral lainnya sehingga mendorong tingginya nilai PDRB perkapita.
Gambar 19.1.

yo
gy

PDRB Perkapita Riil (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Provinsi-provinsi di Indonesia, 2013 (Rp Juta)
Provinsi

Nasional

://

60

tp

50

ht

40
30
20
10
0

DKI Jakarta

Kep. Riau

Kaltim

Jatim

Sumut

Riau

Kep. Babel

Sulut

Kalteng

Kalsel

Banten

Sumbar

Papbar

Bali

Jabar

Sulteng

Papua

Sumsel

Kalbar

Sulsel

NAD

DIY

Jateng

Sultra

Jambi

Lampung

Bengkulu

Sulbar

NTB

Gorontalo

Malut

Maluku

NTT

Sumber : BPS DIY

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA


Secara nasional, IPM DIY pada tahun 2013 mencapai 77,37 dan menempati peringkat
kedua tertinggi setelah Provinsi DKI Jakarta (78,59). Peringkat IPM tahun 2013 ini meningkat
lebih baik dibandingkan dengan IPM 2012 yang berada di peringkat keempat setelah Provinsi
DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan Riau. Keunggulan DIY terletak pada tingginya rata-rata
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

87

19

Kualitas pembangunan manusia DIY yang diukur dari nilai IPM berada di peringkat kedua
secara nasional, dimensi kesehatan dan daya beli menjadi keunggulan DIY

usia harapan hidup penduduk saat lahir yang merepresentasikan indikator kesehatan. Ratarata usia harapan hidup DIY menjadi yang tertinggi secara nasional dan hal ini menunjukkan
tingkat kesehatan penduduk DIY secara rata-rata yang relatif lebih baik dibandingkan provinsi
lainnya di Indonesia. Seperti yang sudah diuraikan dalam Bab 7, angka harapan hidup yang
tinggi memiliki relasi dengan rendahnya angka kematian bayi dan balita yang dipengaruhi
oleh ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta kemudahan dalam
mengaksesnya. Selain itu, gaya hidup penduduk DIY yang dikenal low profile serta tingkat
keamanan dan kenyamanan berdomisili di DIY cukup tinggi yang ditunjukkan oleh preferensi
penduduk untuk menghabiskan masa tuanya juga berkontribusi terhadap tingginya angka
harapan hidup penduduk.

AMH

RLS

PPP

IPM

97,04
97,84
97,38
98,48
96,85
97,55
96,55
95,92
96,44
98,07
99,22
96,87
91,71
92,86
90,49
96,87
91,03
85,19
90,34
91,70
97,99
97,18
97,95
96,40
99,56
96,22
89,69
92,59
96,87
90,54
98,25
97,45
94,14
75,92
94,14

9,02
9,13
8,63
8,78
8,32
8,04
8,55
7,89
7,73
9,91
11,00
8,11
7,43
9,33
7,53
8,61
8,58
7,20
7,16
7,17
8,17
8,01
9,39
8,52
9,09
8,22
8,01
8,44
7,52
7,35
9,20
8,72
8,53
6,87
8,14

621,40
646,83
644,59
657,26
644,05
641,35
637,50
628,24
651,22
651,37
637,92
641,63
646,44
656,19
654,02
639,28
643,78
648,66
612,88
641,41
646,01
646,77
653,70
647,51
646,19
640,69
646,71
628,77
633,14
642,66
622,59
609,26
604,82
616,76
643,36

73,05
75,55
75,01
77,25
74,35
74,36
74,41
72,87
74,29
76,56
78,59
73,58
74,05
77,37
73,54
71,90
74,11
67,73
68,77
70,93
75,68
71,74
77,33
74,72
77,36
72,54
73,28
71,73
71,77
71,41
72,70
70,63
70,62
66,25
73,81

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

AHH
69,40
69,90
70,09
71,73
69,61
70,10
70,44
70,09
69,46
69,97
73,56
68,84
71,97
73,62
70,37
65,47
71,20
63,21
68,05
67,40
71,47
64,82
71,78
69,70
72,62
67,21
70,60
68,56
67,54
68,34
67,88
66,97
69,14
69,13
70,07

tp

NAD
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Kep. Babel
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Kalut
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Gorontalo
Sulbar
Maluku
Malut
Papua Barat
Papua
Indonesia

ht

Provinsi

id

IPM 33 Provinsi di Indonesia, 2013

Pencapaian angka melek huruf di DIY


pada tahun 2013 mencapai 92,86 persen
dan relatif lebih rendah dibandingkan
dengan provinsi lainnya. Meskipun
demikian, dari sisi rata-rata lama sekolah
penduduk DIY yang sebesar 9,33 tahun
berada di peringkat keempat sesudah DKI
Jakarta (11 tahun), Kepulauan Riau (9,91
tahun) dan Kaltim (9,39 tahun).
Aspek kehidupan yang layak yang
diukur dari daya beli (pengeluaran
perkapita riil yang disesuaikan) penduduk
DIY menduduki peringkat ke-2 sesudah
Riau, dengan nilai pengeluaran per kapita
yang disesuaikan sebesar Rp 656,19 ribu
rupiah. Fenomena tingginya daya beli ini
terkait dengan tingkat harga relatif barang
dan jasa yang lebih rendah dari provinsi
lainnya, sehingga nilai nominal uang yang
sama ketika dibelanjakan di wilayah DIY
bisa mendapatkan barang atau jasa dalam
kuantitas yang lebih banyak.

.g
o.

Gambar 19.2.

Sumber : BPS DIY

88

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

ar
ta
.b
ps

ak

yo
gy

://

tp

ht

Lampiran
id

.g
o.

Tabel 1 Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah DIY, 2010-2013 (Rp 000)

Rincian

2010

2011

2012

2013

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

ht

tp

://

yo
gy

ak

ar
ta
.b
ps

.g
o.

id

A. Pendapatan Asli Daerah (PAD)


621.738.060 700.339.192 800.156.498
1. Pajak Daerah
526.658.538 592.498.872 689.572.065
2. Retribusi Daerah
35.839.076 37.709.418 36.228.288
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
25.376.334 30.557.391 31.863.499
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
33.864.112 39.573.511 42.492.646
B. Dana Perimbangan
615.334.816 714.542.343 850.513.085
1. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
76.479.469 74.240.415 74.403.649
2. Dana Alokasi Umum
527.471.247 620.812.328 757.056.696
3. Dana Alokasi Khusus
11.384.100 19.489.600 19.052.740
C. Penerimaan Lainnya yang Sah
4.056.726
4.593.565 284.778.165
1. Hibah
4.056.726
4.593.565
5.496.225
2. Dana Darurat
-
3. Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemda Lainnya
-
4. Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
- 279.281.940
5. Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemda Lainnya
-
6. Dana Tunjangan Pendidikan
-
Jumlah Pendapatan Daerah
1.241.129.602 1.419.475.100 1.935.447.748
A. Belanja Tidak Langsung
793.215.967 849.118.418 1.267.028.063
1. Belanja Pegawai
357.054.577 443.439.504 490.659.484
2. Belanja Bunga
19.464
3. Belanja Subsidi
4. Belanja Hibah
79.964.292
7.618.834 355.793.657
5. Belanja Bantuan Sosial
94.390.428 105.752.387 94.674.768
6. Belanja Bagi Hasil Kepada Prov./Kab./Kota dan Pemerintah Desa
195.720.206 215.127.693 251.788.474
7. Belanja Bantuan Keuangan Kepada Prov./Kab./Kota dan Pemerintah Desa
60.067.000 67.180.000 54.111.680
8. Belanja Tidak Terduga
6.000.000 10.000.000 20.000.000
B. Belanja Langsung
601.230.133 741.667.293 857.260.645
1. Belanja Pegawai
91.305.152 90.164.079 111.508.041
2. Belanja Barang dan Jasa
378.233.586 501.329.695 527.793.940
3. Belanja Modal
131.691.395 150.173.519 217.958.664
Jumlah Belanja Daerah
1.394.446.100 1.590.785.711 2.124.288.708
Surplus/Defisit
-153.316.498 -171.310.611 -188.840.960

1.014.089.544
885.217.610
41.436.703
36.328.245
51.106.986
961.190.992
98.360.324
828.334.768
34.495.900
311.574.558
8.815.476
-
-
302.759.082
-
-
2.286.855.094
1.427.652.116
503.342.635
467.336.914
15.955.857
306.120.014
124.470.680
10.426.016
1.027.267.313
125.019.271
609.742.631
292.505.411
2.454.919.429
-168.064.335

Sumber : BKPD DIY

90

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Tabel 2 Jumlah Penduduk Usia Kerja (15 Tahun +) menurut Kegiatan Selama Seminggu yang lalu,

TPAK dan TPT di D.I. Yogyakarta, 2006-2012 (orang)
2010

Kegiatan
(1)

Angkatan Kerja

2011

2012

2013

2014

Agustus

Februari

Agustus

Februari

Agustus

Februari

Agustus

Februari

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

1.882.296 1.991.350 1.933.917 1.970.200 1.988.539 1.958.084 1.949.243 2.032.896

Bekerja

1.775.148 1.881.310 1.850.436 1.892.303 1.911.720 1.885.040 1.886.071 1.988.912

Penga nggura n

107.148

110.040

83.481

77.897

76.819

73.044

63.172

43.984

815.838

739.052

813.549

793.422

791.920

838.726

863.845

796.887

Sekol a h

279.420

262.569

269.226

324.537

280.427

306.151

201.760

349.639

Mengurus Ruma h Ta ngga

437.630

365.924

433.602

360.161

404.800

466.843

479.109

352.183

98.788

110.559

110.721

108.724

106.693

65.732

182.976

95.065

Bukan Angkatan Kerja

La i nnya
Jumlah Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas

2.698.134 2.730.402 2.747.466 2.763.622 2.780.459 2.796.810 2.813.088 2.829.783

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

69,76

72,93

70,39

71,29

71,52

70,01

69,29

71,84

5,69

5,53

4,32

3,95

3,86

3,73

3,24

2,16

id

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

.g
o.

Sumber : Sakernas, BPS DIY

ar
ta
.b
ps

Tabel 3 Distribusi Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha Kegiatan Utama di DIY, 2010-2014 (%)
2011

2010

Kegiatan
(1)

(2)

Pe rta ni a n

2014

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

24,29

26,17

25,43

27,82

24,38

28,18

25,42

0,79

0,96

0,68

0,22

0,72

0,87

0,48

0,20

13,92

14,22

14,68

15,65

14,97

12,96

13,36

14,91

0,10

0,29

0,25

0,00

0,14

0,35

0,29

0,09

6,19

5,55

7,30

5,68

6,92

6,39

5,54

4,84

24,69

25,92

25,76

26,37

24,52

26,38

25,87

26,64

3,80

4,75

3,70

3,72

3,27

3,87

3,48

3,78

2,18

2,20

2,74

2,68

3,06

3,34

2,87

3,37

17,93

21,83

18,73

20,25

18,58

21,46

19,93

20,75

100

100

100

100

100

100

100

100

ak

Indus tri Pe ngol a ha n


Kons truks i

yo
gy

LGA
Pe rda ga nga n, Hote l da n Re s tora n
Tra ns porta s i da n Komuni ka s i

://

Ke ua nga n, Re a l Es ta t da n Ja s a Pe rus a ha a n

tp

Jumlah

2013

30,40

Pe rta mba nga n da n Pe ngga l i a n

Ja s a -ja s a

2012

Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari

ht

Sumber : Sakernas, BPS DIY

Tabel 4 Distribusi Penduduk Bekerja di DIY menurut Status Pekerjaan Utama, 2010-2014 (Persen)
Kegiatan
(1)

2011

2010

2012

2013

2014

Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

Berus a ha Sendi ri

13,75

15,30

13,47

13,61

12,52

13,52

12,92

12,14

Berus a ha Di ba ntu Buruh Ti da k Teta p/Ti da k Di ba ya r

24,35

17,52

20,67

21,32

19,51

20,15

19,83

19,97

3,90

4,26

4,16

3,90

4,35

4,10

4,57

4,10

30,57

39,35

39,10

38,18

38,79

39,75

39,46

41,81

Pekerja Beba s Perta ni a n

2,02

3,53

1,42

2,10

2,16

2,03

1,47

1,28

Pekerja Beba s non Perta ni a n

6,54

5,08

6,89

5,05

6,30

6,71

5,65

3,85

18,87

14,96

14,28

15,85

16,36

13,73

16,10

16,85

100

100

100

100

100

100

100

100

Berus a ha Di ba ntu Buruh Teta p/Buruh Di ba ya r


Buruh/ Ka rya wa n

Pekerja Ta k Di ba ya r
Jumlah

Sumber : Sakernas, BPS DIY

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

91

91

Tabel 5 Angka Harapan Hidup Penduduk Saat Lahir (e0) menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013
(Tahun)
Kabupaten/Kota

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

D.I. Yogyakarta

72,60

72,90

73,00

73,10

73,11

73,16

73,22

73,27

73,33

73,62

Kulonprogo

72,60

73,07

73,20

73,47

73,79

74,09

74,38

74,48

74,58

75,03

Bantul

70,80

70,87

70,90

70,95

71,11

71,21

71,31

71,33

71,34

71,62

Gunungkidul

70,40

70,44

70,60

70,75

70,79

70,88

70,97

71,01

71,04

71,36

Sleman

72,70

72,70

73,80

74,10

74,43

74,74

75,06

75,18

75,29

75,79

Kota Yogyakarta

72,90

72,90

73,10

73,14

73,27

73,35

73,44

73,48

73,51

73,71

id

Sumber : BPS

2005

2006

2007

2008

2009

2011

2012

2013

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

D.I. Yogyakarta

85,78

86,69

86,69

87,78

89,46

90,18

90,84

91,49

92,02

92,86

Kulonprogo

86,41

86,50

87,53

88,69

88,72

89,52

90,69

92

92,04

93,13

Bantul

85,76

86,38

86,38

88,46

88,6

89,14

91,03

91,23

92,19

92,81

Gunungkidul

83,80

84,50

84,50

84,5

84,5

84,52

84,66

84,94

84,97

85,22

Sleman

89,70

90,50

90,50

91,49

91,49

92,19

92,61

93,44

94,53

95,11

Kota Yogyakarta

96,69

97,08

97,08

97,55

97,7

97,94

98,03

98,07

98,10

98,43

ht

tp

://

yo
gy

ar
ta
.b
ps

2004

Sumber : BPS

2010

ak

Kabupaten/Kota

.g
o.

Tabel 6 Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota di DIY,

2004-2013 (Persen)

Tabel 7 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota di DIY,

2004-2013 (Tahun)
Kabupaten/Kota

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

D.I. Yogyakarta

8,22

8,38

8,50

8,59

8,71

8,78

9,07

9,20

9,21

9,33

Kulonprogo

7,40

7,70

7,80

7,80

7,80

7,89

8,20

8,37

8,37

8,37

Bantul

7,91

8,00

8,00

8,36

8,55

8,64

8,82

8,92

8,95

9,02

Gunungkidul

7,40

7,60

7,60

7,60

7,60

7,61

7,65

7,70

7,70

7,79

Sleman

9,79

10,07

10,10

10,10

10,10

10,18

10,30

10,51

10,52

10,55

Kota Yogyakarta

10,69

10,82

10,80

10,95

11,42

11,48

11,48

11,52

11,56

11,56

Sumber : BPS

92

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Tabel 8 Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan yang Disesuaikan (PPP) menurut Kabupaten/Kota di DIY,

2004-2013 (Rp)
Kabupaten/Kota

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

D.I. Yogyakarta

636,74

638,03

638,77

639,88

643,25

644,67

646,56

650,16

653,78

656,19

Kulonprogo

616,94

617,92

619,65

624,09

628,29

629,5

630,38

631,42

634,34

635,96

Bantul

634,48

637,07

637,07

637,79

642,19

643,89

646,08

651,17

654,06

656,07

Gunungkidul

613,62

614,63

615,67

617,7

621,67

623,09

625,2

628,73

631,91

634,88

Sleman

638,04

639,06

639,37

640,6

645,15

646,08

647,84

650,27

654,11

656,00

Kota Yogyakarta

637,93

639,11

639,23

640,55

645,1

647,59

649,71

653,79

657,65

658,76

id

Sumber : BPS

2004

2005

2006

(1)

(2)

(3)

(4)

D.I. Yogyakarta

72,91

73,50

73,70

Kulonprogo

70,92

71,50

72,01

Bantul

71,50

71,95

71,96

Gunungkidul

68,86

69,27

69,44

Sleman

75,10

75,57

Kota Yogyakarta

77,42

77,70

2008

2009

2010

2011

2012

2013

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

74,15

74,88

75,23

75,77

76,32

76,75

77,37

72,76

73,26

73,77

74,49

75,04

75,33

75,95

72,78

73,38

73,75

74,53

75,05

75,51

76,01

69,68

70,00

70,17

70,45

70,84

71,11

71,64

76,22

76,70

77,24

77,70

78,20

78,79

79,39

79,97

77,81

78,14

78,95

79,28

79,52

79,89

80,24

80,51

yo
gy

ak

(5)

ht

tp

://

Sumber : BPS

2007

ar
ta
.b
ps

Kabupaten/Kota

.g
o.

Tabel 9 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Persen)

Tabel 10 Reduksi Shortfall IPM per Tahun menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Tahun)

Kabupaten/Kota

20042005

20052006

20062007

20072008

20082009

20092010

20102011

20112012

20122013

20042013

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

D.I. Yogyakarta

2,18

0,75

1,71

2,82

1,39

2,18

2,27

1,82

2,67

1,37

Kulonprogo

1,99

1,79

2,68

1,84

1,91

2,74

2,16

1,16

2,51

1,37

Bantul

1,58

0,04

2,92

2,20

1,39

2,97

2,04

1,84

2,04

1,36

Gunungkidul

1,32

0,55

0,79

1,06

0,57

0,94

1,32

0,93

1,83

1,28

Sleman

1,89

2,66

2,02

2,32

2,02

2,24

2,71

2,83

2,81

1,39

Kota Yogyakarta

1,24

0,49

1,49

3,71

1,57

1,16

1,81

1,74

1,37

1,34

Sumber : BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

93

93

Tabel 11 Angka Partisipasi Sekolah, Kasar dan Murni menurut Kelompok Usia di DIY, 2004-2013 (Persen)

Partisipasi Kelompok
Usia
Sekolah

Angka
Partisipasi
Murni
(APM)

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

7-12

98,67 98,77 99,05 99,35 99,29 99,62 99,65 99,69 99,46 99,77 99,96

13-15

95,10 95,02 95,16 90,55 92,62 92,91 93,42 94,02 97,59 98,32 96,71

16-18

73,58 75,96 74,86 71,18 71,82 72,46 72,26 73,06 75,85 80,22 81,50

19-24

42,29 47,00 41,21 39,71 43,38 43,47 43,30 44,03 41,73 44,32 46,73

SD

102,83 107,36 106,60 107,97 112,20 115,03 111,10 108,16 104,52 107,13 108,31

SLTP

100,57 97,29 98,21 91,30 102,35 104,81 92,47 93,47 89,40 88,99 83,54

SLTA

75,32 77,48 78,05 72,57 75,87 79,04 78,33 79,29 86,50 83,09 89,74

SD

91,98 92,55 95,46 94,38 93,53 94,32 94,38 94,76 91,98 96,03 98,72

SLTP

79,06 77,37 83,27 72,30 74,94 75,31 75,34 75,55 69,15 72,64 75,82

SLTA

59,77 61,51 62,45 55,85 57,88 58,96 58,69 59,35 59,68 64,02 64,92

id

Angka
Partisipasi
Kasar
(APK)

2004

.g
o.

Angka
Partisipasi
Sekolah
(APS)

2003

ar
ta
.b
ps

Sumber : BPS

Tabel 12 Perkembangan Angka Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2008-2013


2008

2010

Garis
Jumlah
Garis
Jumlah
Garis
Jumlah
Persentase
Persentase
Persentase
Kemiskinan Penduduk
Kemiskinan Penduduk
Kemiskinan Penduduk
Penduduk
Penduduk
Penduduk
(Rp/Kapita/ Miskin
(Rp/Kapita/ Miskin
(Rp/Kapita/ Miskin
Miskin
Miskin
Miskin
Bulan)
(000 Jiwa)
Bulan)
(000 Jiwa)
Bulan)
(000 Jiwa)
197.507

97,9

26,85

205.585

89,9

24,65

225.059

90,0

23,15

Bantul

196.509

164,3

18,54

224.373

158,5

17,64

245.626

146,9

16,09

Gunungkidul

157.071

173,5

25,96

186.232

163,7

24,44

203.873

148,7

22,05

Sleman

212.031

125,1

12,34

226.256

117,5

11,45

247.688

117,0

10,7

Yogyakarta

263.996

48,1

10,81

265.168

45,3

10,05

290.286

37,8

9,75

DIY

202.362

608,9

18,02

220.830

574,9

16,86

234.282

540,4

15,63

ht

tp

://

Kulonprogo

yo
gy

ak

Kab/Kota

2009

Lanjutan
2008
Kab/Kota

2009

2010

Garis
Jumlah
Garis
Jumlah
Garis
Jumlah
Persentase
Persentase
Persentase
Kemiskinan Penduduk
Kemiskinan Penduduk
Kemiskinan Penduduk
Penduduk
Penduduk
Penduduk
(Rp/Kapita/ Miskin
(Rp/Kapita/ Miskin
(Rp/Kapita/ Miskin
Miskin
Miskin
Miskin
Bulan)
(000 Jiwa)
Bulan)
(000 Jiwa)
Bulan)
(000 Jiwa)

Kulonprogo

240.301

92,8

23,62

256.575

92,4

23,32

259.945

86,5

21,39

Bantul

264.546

159,4

17,28

284.923

158,8

16,97

292.639

156,6

16,48

Gunungkidul

220.479

157,1

23,03

238.438

156,5

22,72

238.056

152,2

21,7

Sleman

267.107

117,3

10,61

288.048

116,8

10,44

297.170

110,8

9,68

Yogyakarta

314.311

37,7

9,62

340.324

37,6

9,38

353.602

35,6

8,82

DIY

257.909

564,3

16,14

270.110

562,1

15,88

303.843

541,9

15,03

Sumber : BPS

94

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Tabel 13 Perkembangan Indikator Kemiskinan menurut Wilayah di DIY, 2002-2014

Perdesaan (D)

15,63

3,08

0,88

14,99

2,72

0,71

311,5

14,25

2,84

0,81

240,282

308,4

13,98

2,27

0,56

Mar 2011

265,752

304,3

13,16

1,93

0,50

Sep 2011

273,678

298,9

12,88

1,93

0,48

Mar 2012

274,662

305,9

13,13

3,56

1,32

Sep 2012

284,549

306,5

13,10

2,29

0,58

Mar 2013

297,391

315,5

13,43

2,08

0,50

Sep 2013

317,925

325,5

13,73

2,18

0,52

Mar 2014

327,273

333,0

13,81

2,22

0,53

Mar 2002

103,012

Mar 2003

106,801

Mar 2004

114,671

Mar 2005

130,807

Mar 2006

148,523

Mar 2007

156,349

Mar 2008

169,934

Mar 2009
Mar 2010

Mar 2002

123,902

303,8

16,17

Mar 2003

137,132

303,3

16,44

Mar 2004

148,247

301,4

15,96

Mar 2005

160,690

340,3

16,02

Mar 2006

196,406

346,0

17,85

Mar 2007

200,855

335,3

Mar 2008

208,655

324,2

Mar 2009

228,236

Mar 2010

.g
o.

ar
ta
.b
ps
331,9

25,96

333,5

24,48

314,8

23,65

285,5

24,23

302,7

27,64

298,2

25,03

5,08

1,55

292,1

24,32

4,49

1,29

182,706

274,3

22,60

4,74

1,46

195,406

268,9

21,95

3,89

1,02

217,923

256,6

21,82

3,67

0,93

226,770

265,3

22,57

3,54

0,81

231,855

259,4

21,76

3,29

0,79

Sep 2012

241,975

255,6

21,29

4,07

1,09

Mar 2013

256,558

234,7

19,29

3,02

0,63

Sep 2013

275,786

209,7

17,62

2,03

0,34

Mar 2014

286,137

211,8

17,36

2,11

0,40

Mar 2002

112,995

635,7

20,14

Mar 2003

127,089

636,8

19,86

Mar 2004

134,371

616,2

19,14

Mar 2005

148,476

625,8

18,95

Mar 2006

170,720

648,7

19,15

Mar 2007

184,965

633,5

18,99

3,80

1,12

Mar 2008

194,830

616,3

18,32

3,35

0,92

Mar 2009

211,978

585,8

17,23

3,52

1,04

Mar 2010

244,258

577,3

16,83

2,85

0,73

Mar 2011

249,629

560,9

16,08

2,51

0,65

Sep 2011

257,909

564,2

16,14

2,48

0,59

Mar 2012

260,173

565,3

16,05

3,47

1,14

Sep 2012

270,110

562,1

15,88

2,89

0,75

Mar 2013

283,454

550,2

15,43

2,40

0,55

Sep 2013

303,843

535,2

15,03

2,13

0,46

Mar 2014

313,452

544,9

15,00

2,19

0,48

Mar 2011
Sep 2011

ht

tp

://

Mar 2012

Perkotaan (K) +
Perdesaan (D)

id

Bulan/ Tahun

Persentase
Penduduk
Miskin (P0 )

ak

Perkotaan (K)

Indeks
Keparahan
Kemiskinan
(P2 )

Jumlah
Penduduk
Miskin (000)

yo
gy

Wilayah

Indeks
Kedalaman
Kemiskinan
(P1 )

Garis
Kemiskinan
(Rp/Kapita/
Bln)

Sumber : BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

95

95

Tabel 14 Laju Inflasi Tahunan Kota Yogyakarta menurut Kelompok Komoditas, 2006-2013 (Persen)
2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

Bahan Makanan

15,62

13,30

14,92

3,91

18,86

1,82

8,10

12,31

Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau

13,85

7,33

9,01

7,50

5,47

7,07

6,90

8,15

Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar

6,68

6,17

13,78

1,40

5,49

3,01

2,99

5,18

Sandang

8,04

9,34

9,90

5,81

5,41

9,40

3,56

0,00

Kesehatan

16,09

4,37

8,19

1,86

1,97

5,64

1,93

3,08

Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga

15,36

12,57

5,62

2,26

4,25

1,73

1,43

3,17

1,50

2,97

6,12

-1,23

5,57

2,40

1,30

10,45

10,40

7,98

10,80

2,93

7,38

3,88

4,31

7,32

(1)

Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan


Umum

id

Kelompok Komoditas

.g
o.

Sumber : BPS

Tabel 15 IHK Bulan Desember Kota Yogyakarta menurut Kelompok Komoditas, 2009-2013 (Persen)
2009

2010

2011

2012

2013

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

127,24

151,24

154,00

166,48

186,98

Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau

120,37

126,96

135,94

145,32

157,17

Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar

118,34

124,84

128,60

132,44

139,30

119,19

125,64

137,45

142,34

142,34

112,27

114,48

120,94

123,28

127,08

114,49

119,36

121,42

123,16

127,07

102,03

107,71

110,29

111,72

123,40

116,64

125,25

130,11

135,72

145,65

(1)

ak

Bahan Makanan

ar
ta
.b
ps

Kelompok Komoditas

yo
gy

Sandang
Kesehatan

://

Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga

tp

Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan

ht

Umum
Sumber : BPS

Tabel 16 Perkembangan Laju Inflasi Bulanan Kota Yogyakarta, 1990-2014 (Persen)


Bulan

96

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

(14)

(15)

(16)

(17)

(18)

(19)

(20)

(21)

(22)

(23)

(24)

(25)

Januari

0,44 0,74 1,19 2,94 0,47 1,32 1,23 0,17 6,23 2,46 0,78 -0,08 1,44 0,88 0,60 1,20 2,50 0,89 1,25 0,09 0,57 0,84 0,25 0,96 1,05

Februari

0,96 0,29 0,61 2,05 1,56 1,36 1,10 0,88 14,58 0,31 -0,34 1,31 0,75 0,10 -0,20 0,14 0,21 0,54 1,01 0,32 0,31 0,10 0,10 0,93 0,07

Maret

0,13 0,20 0,67 1,10 1,29 1,59 -0,37 0,53 5,38 0,28 0,09 1,26 0,33 -0,02 0,44 0,95 -0,17 0,42 0,56 0,18 0,13 0,21 0,36 0,79 0,14

April

1,56 1,66 0,17 -0,17 -0,72 1,64 -1,05 0,01 4,11 -0,51 0,30 0,48 -0,25 0,22 0,75 0,30 0,64 0,02 0,21 -0,34 0,25 -0,28 0,11 -0,30 0,07

Mei

0,31 0,34 -0,34 0,32 0,53 0,08 -0,07 -0,40 3,57 -0,14 0,37 0,90 1,53 0,11 0,86 0,47 1,05 0,07 1,08 0,27 0,14 0,13 0,05 -0,29 0,05

Juni

1,20 -0,08 0,62 0,41 -0,31 -0,41 0,10 -0,11 4,75 -0,46 0,65 1,16 0,40 0,67 0,31 0,66 0,83 0,08 2,51 0,18 1,26 0,26 0,75 0,84 0,43

Juli

1,01 1,33 -0,02 0,62 1,46 1,21 0,60 0,95 8,60 -0,61 1,30 1,75 1,38 1,06 0,55 1,09 0,60 0,77 1,31 0,32 1,40 0,90 0,76 2,58 0,85

Agustus

1,32 1,23 -0,53 -0,06 1,29 0,73 -0,66 1,24 7,53 -0,10 0,36 0,32 0,82 0,06 0,54 0,87 0,84 1,40 0,67 0,77 0,43 0,63 0,42 0,87 0,09

September

0,83 0,53 0,35 0,17 0,49 0,64 0,15 1,76 4,43 -0,39 0,30 1,08 1,56 0,53 0,26 1,06 1,07 0,96 1,15 0,80 1,06 0,19 0,19 -0,24 0,49

Oktober

2,29 1,27 0,02 0,48 0,87 0,34 0,66 1,67 -0,14 -0,05 0,72 0,67 0,51 0,75 0,50 6,53 0,79 1,09 0,62 -0,03 0,28 0,04 0,38 0,61

Nopember

0,44 0,62 0,70 1,21 1,38 0,30 1,03 2,81 -0,24 0,47 1,20 1,49 1,68 0,67 1,08 1,40 0,43 1,01 0,07 0,09 0,62 0,33 0,20 0,20

Desember

0,24 0,23 1,34 0,94 0,24 0,84 0,33 3,21 0,83 2,51 1,37 1,57 1,27 0,57 1,05 -0,45 1,17 0,47 -0,11 0,24 0,72 0,48 0,66 0,17

Jan-Des

10,73 8,38 4,78 10,01 8,55 9,64 3,05 12,72 77,46 2,51 7,32 12,56 12,01 5,73 6,95 14,98 10,40 7,99 9,88 3,60 7,38 3,88 4,31 7,32

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

Tabel 17 Produk Domestik Regional Bruto DIY Atas Dasar Harga Berlaku, 2004-2013 (Rp Milyar)
LAPANGAN USAHA

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

3.634.903

3.991.035

4.574.164

4.941.800

5.993.781

6.366.771

6.644.695

7.373.852

8.355.326

8.861.281

2.661.201

2.936.878

3.438.464

3.610.606

4.419.013

4.652.257

4.817.985

5.348.388

6.136.638

6.304.000

79.108

88.736

99.492

118.189

149.666

139.878

147.300

173.453

188.126

207.577

c. Peternakan dan Hasil-hasilnya

551.044

601.898

624.190

742.176

889.911

987.858

1.067.708

1.204.853

1.335.596

1.587.662

d. Kehutanan

274.907

273.205

315.671

350.341

385.215

419.458

430.726

450.657

462.997

480.884

e. Perikanan

68.643

90.319

96.347

120.487

149.976

167.320

180.976

196.501

231.969

281.157
416.531

(1)

1. PERTANIAN
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan

2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN

2013

182.522

198.337

218.170

258.761

280.106

293.983

304.660

361.793

379.951

a. Minyak dan Gas Bumi

b. Pertambangan tanpa Migas

c. Penggalian
3. INDUSTRI PENGOLAHAN

182.522

198.337

218.170

258.761

280.106

293.983

304.660

361.793

379.951

416.531

3.342.179

3.588.201

4.078.214

4.475.680

5.062.275

5.528.856

6.396.639

7.434.020

7.609.337

8.771.188

a. Industri Migas
1. Pengilangan Minyak Bumi
2. Gas Alam Cair
b. Industri Tanpa Migas
1. Makanan, Minuman dan Tembakau
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki

3.342.179

3.588.201

4.078.214

4.475.680

5.062.275

5.528.856

6.396.639

7.434.020

7.609.337

8.771.188

1.337.982

1.463.452

1.718.484

1.858.825

2.379.204

2.650.343

3.385.042

4.237.759

4.278.424

5.032.769

673.019

694.184

763.940

815.415

778.189

877.451

843.173

972.033

1.039.011

1.218.083

385.030

413.087

468.737

547.573

512.338

455.006

469.291

416.066

379.507

411.298

161.652

168.987

183.392

207.421

217.375

236.405

245.159

235.655

233.788

254.388

id

3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya


4. Kertas dan Barang Cetakan

133.031

143.527

165.341

196.203

232.749

282.326

351.537

369.169

391.614

401.976

155.560

169.596

181.529

214.571

232.562

249.411

283.281

313.558

318.348

373.086

9. Barang lainnya
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
a. Listrik

280.880

304.557

323.493

339.812

ar
ta
.b
ps

7. Logam Dasar Besi & Baja


8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya

215.024

230.812

268.095

330.133

250.279

310.802

17.816

19.332

b. Gas
c. Air Bersih

.g
o.

5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet


6. Semen & Brg. Galian bukan logam

362.243

391.774

435.995

465.967

490.244

498.337

273.298

295.859

347.616

386.139

383.161

423.814

478.401

581.252

377.002

423.370

488.334

560.316

607.072

675.912

727.574

796.704

355.810

398.572

461.850

531.446

576.248

642.759

690.775

756.432

21.192

24.798

26.484

28.870

30.824

33.153

36.799

40.272

5.580.599

6.186.322

6.908.381

1.743.786

2.230.686

2.866.922

3.470.711

4.075.606

4.431.411

4.833.423

4.162.506

4.866.927

5.597.603

6.326.700

7.321.299

8.165.613

9.008.181 10.246.578 11.457.201 13.152.524

1.775.643

2.086.787

2.379.563

2.701.533

3.150.428

3.497.028

3.884.721

4.395.608

4.884.831

5.510.533

489.097

505.960

454.950

549.130

717.179

801.873

867.922

1.052.324

1.262.869

1.465.009

a. Perdagangan Besar & Eceran


b. Hotel
c. Restoran
a. Pengangkutan
1. Angkutan Rel
2. Angkutan Jalan Raya

ht

b. Komunikasi

tp

5. Angkutan Udara
6. Jasa Penunjang Angkutan
1. Pos dan Telekomunikasi

2. Jasa Penunjang Komunikasi

2.274.180

2.763.090

3.076.036

3.453.693

3.866.713

4.255.538

4.798.646

5.309.500

6.176.982

2.589.587

3.050.036

3.318.453

3.739.697

3.809.094

4.119.970

4.572.928

4.903.522

5.400.530

1.465.321

1.845.410

2.240.253

2.416.332

2.793.303

2.840.046

3.052.517

3.368.744

3.606.797

4.024.160

58.080

65.265

79.534

84.774

100.512

108.273

116.488

92.322

102.630

103.477

1.211.465

1.540.736

1.905.134

2.042.214

2.326.738

2.325.993

2.479.466

2.714.321

2.845.463

3.144.722

129.867

163.820

174.972

197.837

255.865

279.763

307.392

379.594

453.148

555.115

65.908

75.588

80.612

91.508

110.188

126.016

149.172

182.508

205.555

220.846

://

3. Angkutan Laut
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.

1.897.767
2.141.731

yo
gy

7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI

ak

5. BANGUNAN
6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN

676.410

744.177

809.783

902.120

946.393

969.048

1.067.453

1.204.184

1.296.725

1.376.370

611.540

671.696

730.461

815.643

856.584

877.087

969.135

1.092.873

1.176.253

1.248.485

64.869

72.481

79.322

86.477

89.809

91.961

98.318

111.312

120.472

127.885

8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN 2.188.049

2.522.222

2.755.734

3.188.428

3.724.285

4.090.675

4.552.667

5.158.229

5.876.203

6.543.153

a. Bank

303.813

391.025

340.276

491.845

695.720

735.275

875.831

1.044.942

1.286.608

1.568.864

b. Lembaga Keuangan tanpa Bank

231.838

257.300

335.801

333.072

395.721

430.102

487.047

620.529

687.369

763.305

5.862

6.538

7.666

8.208

9.471

11.505

11.993

14.531

15.583

16.555

1.561.528

1.770.040

1.954.171

2.219.808

2.467.057

2.742.483

2.980.646

3.264.491

3.659.334

3.964.443

197.151

213.736

227.309

229.988

c. Jasa Penunjang Keuangan


d. Sewa Bangunan
e. Jasa Perusahaan
9. JASA-JASA
a. Pemerintahan Umum
1. Adm. Pemerintah & Pertahanan
2. Jasa Pemerintah lainnya
b. Swasta
1. Sosial Kemasyarakatan
2. Hiburan & Rekreasi
3. Perorangan & Rumahtangga
PDRB

85.009

97.320

117.820

135.495

156.316

171.310

4.360.110

5.020.474

5.899.504

6.512.834

7.416.303

8.160.329

9.158.283 10.381.238 11.536.320 12.840.026

3.108.786

3.582.312

4.213.635

4.598.174

5.238.291

5.762.623

6.490.409

7.376.908

8.276.612

9.307.831

1.931.848

2.221.385

2.607.401

2.843.030

3.225.149

3.515.340

3.950.219

4.494.533

5.047.312

5.672.360

1.176.938

1.360.927

1.606.234

1.755.144

2.013.142

2.247.283

2.540.190

2.882.375

3.229.300

3.635.471

1.251.324

1.438.162

1.685.869

1.914.660

2.178.012

2.397.706

2.667.874

3.004.330

3.259.708

3.532.195

618.699

712.243

845.449

947.148

1.079.643

1.174.713

1.293.736

1.454.805

1.546.758

1.670.548

89.947

95.231

106.095

116.859

121.786

132.694

147.827

172.353

191.224

209.274

542.678

630.688

734.325

850.652

976.582

1.090.299

1.226.312

1.377.171

1.521.726

1.652.373

22.023.880 25.337.603 29.417.349 32.916.736 38.101.684 41.407.049 45.625.589 51.785.150 57.031.755 63.690.318

Sumber : BPS

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

97

97

Tabel 18 Produk Domestik Regional Bruto DIY Atas Dasar Harga Konstan 2000, 2004-2013 (Rp Milyar)
LAPANGAN USAHA

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

3.052.935

3.185.771

3.306.928

3.333.382

3.523.943

3.642.696

3.632.681

3.557.865

3.706.923

3.730.297

2.291.776

2.418.374

2.528.699

2.492.372

2.673.405

2.773.292

2.757.165

2.654.468

2.773.919

2.779.245

71.736

76.846

81.354

86.905

88.807

93.429

95.772

97.405

99.200

102.371

c. Peternakan dan Hasil-hasilnya

452.277

453.098

452.490

483.795

484.151

493.162

492.699

518.141

536.505

545.115

d. Kehutanan

180.003

166.046

174.236

186.281

190.344

190.273

190.177

190.700

191.589

192.710

e. Perikanan

57.142

71.406

70.148

84.029

87.236

92.539

96.868

97.152

105.709

110.856
167.669

(1)

1. PERTANIAN
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan

2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN

2013

120.441

122.332

126.137

138.358

138.328

138.748

139.967

156.711

159.808

a. Minyak dan Gas Bumi

b. Pertambangan tanpa Migas

c. Penggalian
3. INDUSTRI PENGOLAHAN

120.441

122.332

126.137

138.358

138.328

138.748

139.967

156.711

159.808

167.669

2.400.776

2.463.230

2.481.167

2.528.020

2.562.549

2.610.760

2.793.580

2.983.167

2.915.117

3.142.836

a. Industri Migas
1. Pengilangan Minyak Bumi
2. Gas Alam Cair
b. Industri Tanpa Migas

2.400.776

2.463.230

2.481.167

2.528.020

2.562.549

2.610.760

2.793.580

2.983.167

2.915.117

3.142.836
1.395.234

800.848

845.594

860.186

854.291

965.586

1.020.655

1.173.572

1.345.071

1.273.390

508.391

510.219

511.559

505.206

452.315

477.007

446.259

476.534

479.031

525.188

3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya

323.944

323.919

336.147

367.545

321.518

267.691

270.040

237.464

213.889

223.938

129.735

129.201

138.467

139.745

114.892

117.393

130.505

144.582

6. Semen & Brg. Galian bukan logam

126.292

129.566

126.765

134.743

136.179

225.654

226.719

220.145

218.330

217.340

7. Logam Dasar Besi & Baja


8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya
9. Barang lainnya
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
a. Listrik

147.619

141.058

138.820

145.329

197.749

205.690

214.368

213.977

137.245

151.233

161.558

160.023

175.528

220.616

237.318

244.152

246.895

241.772

178.328

182.586

179.771

178.932

185.285

180.317

169.791

171.639

188.701

221.869

144.845

153.115

152.862

165.772

174.933

185.599

193.027

201.243

215.542

229.640

131.776

140.027

140.186

152.779

162.218

172.772

179.870

187.992

200.981

214.396

13.069

13.088

12.676

12.993

12.715

12.827

13.157

13.251

14.561

15.244

b. Gas
c. Air Bersih

143.755

163.472

.g
o.

124.966
112.353

ar
ta
.b
ps

4. Kertas dan Barang Cetakan


5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet

id

1. Makanan, Minuman dan Tembakau


2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki

1.284.471

1.395.079

1.580.312

1.732.945

1.838.429

1.923.720

2.040.306

2.187.805

2.318.448

2.459.173

3.279.424

3.444.828

3.569.622

3.750.365

3.947.662

4.162.116

4.383.851

4.611.402

4.920.045

5.225.056

1.374.914

1.462.659

1.534.974

1.613.884

1.698.740

1.791.892

1.889.077

1.971.863

2.090.487

2.211.703

340.362

319.188

259.896

287.901

342.329

364.119

376.543

421.779

487.361

530.389

1.564.148

1.662.981

1.774.752

1.848.580

1.906.592

2.006.105

2.118.231

2.217.759

2.342.196

2.482.964

a. Perdagangan Besar & Eceran


b. Hotel

yo
gy

c. Restoran

ak

5. BANGUNAN
6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN

7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI

1.582.194

1.673.352

1.761.672

1.875.307

2.008.919

2.128.594

2.250.664

2.430.696

2.581.620

2.744.146

a. Pengangkutan

1.128.495

1.190.805

1.235.199

1.286.540

1.351.435

1.416.841

1.458.821

1.530.366

1.608.411

1.704.159

1. Angkutan Rel

35.099

34.766

35.935

36.850

39.517

44.028

45.785

34.378

37.466

35.938

905.201

954.830

996.814

1.041.603

1.073.134

1.104.480

1.129.742

1.169.792

1.194.788

1.240.135

2. Angkutan Jalan Raya

1. Pos dan Telekomunikasi

146.685

156.444

156.490

159.105

185.357

209.573

222.471

260.228

304.650

352.728

41.510

44.765

45.960

48.982

53.427

58.759

60.823

65.968

71.507

75.358

453.699

482.547

526.473

588.767

657.484

711.754

791.843

900.330

973.209

1.039.988

410.188

435.548

474.903

532.306

595.092

643.590

715.123

812.899

882.793

943.357

43.511

46.999

51.570

56.460

62.393

68.164

76.720

87.431

90.416

96.630

1.500.542

1.623.210

1.591.885

1.695.163

1.793.789

1.903.411

2.024.368

2.185.221

2.402.718

2.552.445

ht

6. Jasa Penunjang Angkutan


b. Komunikasi

tp

5. Angkutan Udara

://

3. Angkutan Laut
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.

2. Jasa Penunjang Komunikasi


8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN
a. Bank

211.425

246.688

187.811

250.720

318.858

329.114

372.961

421.524

499.447

571.716

b. Lembaga Keuangan tanpa Bank

166.142

177.143

201.707

184.786

181.372

202.655

218.339

250.365

264.153

275.124

c. Jasa Penunjang Keuangan


d. Sewa Bangunan
e. Jasa Perusahaan
9. JASA-JASA
a. Pemerintahan Umum
1. Adm. Pemerintah & Pertahanan
2. Jasa Pemerintah lainnya
b. Swasta
1. Sosial Kemasyarakatan
2. Hiburan & Rekreasi
3. Perorangan & Rumahtangga
PDRB

4.521

4.852

4.990

5.330

5.534

6.027

6.264

6.775

6.745

6.716

1.060.204

1.131.199

1.130.299

1.181.982

1.210.446

1.284.735

1.338.835

1.412.809

1.530.192

1.594.592

58.250

63.328

67.078

72.346

77.579

80.880

87.969

93.749

102.181

104.297

2.780.796

2.849.959

2.965.164

3.072.200

3.223.929

3.368.614

3.585.598

3.817.665

4.088.337

4.316.214

1.949.903

1.979.282

2.049.433

2.121.210

2.230.824

2.332.559

2.491.965

2.642.246

2.843.023

2.995.720

1.241.683

1.259.262

1.301.166

1.345.636

1.409.288

1.460.885

1.557.187

1.652.758

1.779.933

1.874.323

708.220

720.020

748.267

775.574

821.536

871.674

934.778

989.488

1.063.090

1.121.397

830.892

870.677

915.731

950.990

993.105

1.036.055

1.093.633

1.175.419

1.245.314

1.320.495

387.807

405.129

425.402

429.787

450.616

470.494

493.810

525.092

547.505

581.085

65.442

67.681

70.717

76.936

79.678

83.729

88.685

97.039

105.334

112.894

377.643

397.867

419.612

444.267

462.811

481.832

511.138

553.288

592.475

626.516

16.146.424 16.910.877 17.535.749 18.291.512 19.212.481 20.064.257 21.044.042 22.131.774 23.308.558 24.567.476

Sumber : BPS

98

Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014

ar
ta
.b
ps

ak

yo
gy

://

tp

ht

id

.g
o.

id
.g
o.
ar
ta
.b
ps

D ATA
ht

tp

://

yo
gy

ak

MENCERDASKAN BANGSA

BADAN PUSAT STATISTIK

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Jl. Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan Bantul


Telp. (0274) 4342234 (Hunting); Fax. (0274) 2432230
E-mail: bps3400@mailhost.bps.go.id Homepage: http//yogyakarta.bps.go.id

Anda mungkin juga menyukai