34
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Statistik
2014
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
ak
yo
gy
://
tp
ht
id
.g
o.
id
.g
o.
ar
ta
.b
ps
Statistik
ht
tp
://
yo
gy
ak
2014
id
:
:
:
:
:
ar
ta
.b
ps
.g
o.
ISBN
No. Publikasi
Katalog BPS
Ukuran Buku
Jumlah Halaman
Naskah :
Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
ak
Gambar kulit :
tp
://
Diterbitkan oleh :
yo
gy
ht
ar
ta
.b
ps
Editor
Pengolah Data
yo
gy
ak
Naskah
ht
tp
://
Layout
.g
o.
id
TIM PENYUSUN
ar
ta
.b
ps
ak
yo
gy
://
tp
ht
id
.g
o.
Kata Pengantar
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya buku
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 oleh Badan Pusat Statistik Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Publikasi ini memuat berbagai informasi
dan indikator terpilih seputar Daerah Istimewa Yogyakarta yang dianalisis
secara sederhana untuk membantu pengguna data dalam memahami
perkembangan pembangunan serta potensi yang ada di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta.
yo
gy
ak
ht
tp
://
Y. Bambang Kristianto, MA
vii
ar
ta
.b
ps
ak
yo
gy
://
tp
ht
id
.g
o.
Daftar Isi
Kata Pengantar v
.g
o.
id
ar
ta
.b
ps
2. Pemerintahan 4
3. Penduduk 10
4. Ketenagakerjaan 14
5. Pendidikan 20
ak
6. Kesehatan 26
30
8. Kemiskinan
34
yo
gy
7. Pembangunan Manusia
://
9. Pertanian 40
ht
tp
50
54
12. Konstruksi 58
13 Hotel dan Pariwisata
60
66
15. Harga-harga 72
16. Pengeluaran Penduduk
76
17. Perdagangan 80
18 PDRB 82
19. Perbandingan Regional
86
Lampiran 90
ix
ar
ta
.b
ps
ak
yo
gy
://
tp
ht
id
.g
o.
ar
ta
.b
ps
ak
yo
gy
://
tp
ht
id
.g
o.
terkecil kedua di Republik Indonesia dengan luas 0,17 persen dari wilayahNKRI
KONDISI GEOGRAFIS
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah setingkat provinsi yang memiliki
luas wilayah administrasi terkecil kedua di Republik Indonesia, setelah Provinsi DKI Jakarta.
Luas wilayah administrasi DIY mencapai 3.185,80 km2, atau 0,17 persen dari seluruh wilayah
daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara astronomis, wilayah DIY terletak
pada posisi 7o.33- 80.12 Lintang Selatan dan 110o.00-110o.50 Bujur Timur. Posisi geografis
DIY berada di bagian tengah Pulau Jawa, tepatnya sisi selatan. Seluruh wilayah daratan DIY
dikelilingi oleh wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah, yakni Kabupaten Purworejo di sisi
barat, Kabupaten Magelang dan Boyolali di sisi utara; serta Kabupaten Klaten dan Kabupaten
Wonogiri di sisi timur. Wilayah selatan DIY berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.
Gambar 1.1.
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
ht
tp
://
Bentang alam wilayah DIY merupakan kombinasi antara daerah pesisir pantai, dataran
dan perbukitan/pegunungan yang dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi.
Pertama, satuan fisiografi Gunung Merapi dengan ketinggian antara 80 m sampai 2.911
m di atas permukaan laut. Wilayah ini terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga
dataran fluvial gunung api serta bentang lahan vulkanik di wilayah Kabupaten Sleman, Kota
Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul. Kedua, satuan fisiografi Pegunungan Selatan
dengan ketinggian 150 m sampai 700 m. Wilayah ini menjadi bagian dari jalur Pegunungan
Seribu yang terletak di wilayah Kabupaten Gunungkidul dan bagian timur Kabupaten Bantul.
Kawasan ini didominasi oleh wilayah perbukitan batu kapur dan karst yang tandus dan
kekurangan air permukaan, sehingga kurang potensial untuk kegiatan budidaya komoditas
pertanian semusim.
Ketiga, satuan fisiografi Pegunungan Kulonprogo yang terletak di bagian utara
Kulonprogo. Kawasan ini menjadi bentang lahan dengan topografi wilayah berupa
perbukitan, sehingga cukup potensial untuk pengembangan komoditas perkebunan.
Keempat, satuan fisiografi Dataran Rendah dengan ketinggian 0-80 m di atas permukaan
laut. Kawasan ini membentang di bagian selatan wilayah DIY mulai dari daerah pesisir di
Kabupaten Kulonprogo sampai wilayah Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu.
Kawasan ini sangat subur, sehingga cukup potensial untuk kegiatan budidaya komoditas
pertanian semusim.
2
Wilayah DIY termasuk dalam daerah yang beriklim tropis, sehingga memiliki curah
hujan dan kelembaban udara yang cukup tinggi
2010
2011
2012
2013
22
18
17
18
35
40
35
36
27
26
27
26
mm
512
405
409
442
mm
254
173
kali
17
14
41
42
97
96
74
78
122
230
15
47
44
100
98
80
86
milibars
1.005
990
milibars
1.015
1.000
1.021
1.006
1.019
milibars
1.010
995
1.014
1.015
ak
yo
gy
id
Satuan
ar
ta
.b
ps
Indikator
Suhu Udara Terendah
Rata-rata
suhu
udara
di wilayah DIY selama tahun
2013 berada pada kisaran 260
Celsius. Suhu udara tertinggi
mencapai 360 Celsius dan terjadi
pada bulan Oktober. Sementara,
suhu udara terendah tercatat
sebesar 180 Celsius dan terjadi di
bulan Agustus. Intensitas hujan
yang diukur dari rata-rata curah
hujan per bulan pada tahun
2013 tercatat sebesar 230 mm
dan mengalami kenaikan yang
signifikan dibandingkan dengan
tahun 2012 yang sebesar 122
mm.
.g
o.
Tabel 1.1.
Ringkasan Kondisi Cuaca di Wilayah DIY, Tahun 2010-2013
1.010
ht
tp
://
Rata-rata hari hujan juga meningkat dari 9 kali per bulan menjadi 15 kali di tahun 2013.
Curah hujan yang tertinggi selama tahun 2013 terjadi di bulan Januari dengan intensitas
sebesar 442 mm selama 21 hari dan bulan Desember dengan intensitas 358 mm selama
20 hari. Sementara, intensitas hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dan September.
Bahkan, di kabupaten Gunungkidul, Bantul dan Kota Yogyakarta tidak terjadi hujan selama
dua bulan tersebut.
Rata-rata kelembaban udara pada tahun 2013 tercatat sebesar 86 persen dan
cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 80 persen.
Kelembaban udara minimum tercatat sebesar 44 persen yang terjadi pada bulan Oktober,
sementara kelembaban maksimum mencapai 98 persen yang terjadi pada bulan Februari,
Juni dan September. Secara rata-rata, kelembaban terendah terjadi pada bulan Oktober
sebesar 80 persen dan kelembaban tertinggi di bulan Juni sebesar 90 persen. Tekanan udara
rata-rata selama tahun 2013 tercatat sebesar 1.015 milibars dan mengalami peningkatan
dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 1.014 milibars. Tekanan udara terendah
tercatat sebesar 1.010 milibars yang terjadi di bulan Februari dan Juni, sementara tekanan
udara tertinggi sebesar 1.019 milibars yang terjadi selama bulan September. Selama bulan
Januari-Juni 2013, angin lebih banyak bergerak dari arah barat dengan rata-rata kecepatan
tertinggi sebesar 5,4 m/s pada bulan Januari dan kecepatan terendah sebesar 2,7 m/s pada
bulan Mei. Pada bulan Agustus-November angin lebih banyak bergerak dari arah selatan.
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
PEMERINTAHAN
Secara administratif, DIY terbagi menjadi lima kabupaten/kota dengan pusat
pemerintahan berada di Kota Yogyakarta
Tabel 2.1.
ak
://
tp
ht
Kabupaten/
Kota
Luas
Wilayah
Jumlah
Kecamatan
Kulonprogo
(km2)
586,27
12
88
13
Bantul
506,85
17
75
47
28
1485,36
18
144
139
574,82
17
86
59
27
32,50
14
45
45
DIY
3185,80
Sumber : BPS DIY
78
438
169
269
yo
gy
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Secara administratif, wilayah DIY terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota,
yakni Kabupaten Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Pusat
pemerintahan DIY berada di Kota Yogyakarta. Berbeda dengan provinsi lain yang banyak
mengalami pemekaran wilayah sejak pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001,
jumlah kabupaten/kota di DIY tidak mengalami perubahan. Demikian pula dengan jumlah
kecamatan dan desa/kelurahan, dalam beberapa tahun terakhir juga tidak mengalami
perubahan. Jumlah kecamatan pada tahun 2013 sebanyak 78 kecamatan yang terbagi
menjadi 438 desa/kelurahan.
Gunungkidul
Sleman
Yogyakarta
75
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Penyelenggara pemerintahan di DIY terdiri dari pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemerintah daerah berfungsi eksekutif yang dipimpin
oleh seorang Gubernur dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya. Dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, Gubernur juga
dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari Sekretaris Daerah (Sekda) dan Lembaga
Teknis Daerah seperti Dinas-dinas, Badan-badan dan Kantor-kantor.
Tahukah Anda ?
DIY adalah provinsi tertua kedua di NKRI setelah Jawa Timur yang
memiliki keistimewaan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan
4
Gubernur dan wakil gubernur DIY tidak dipilih melalui mekanisme Pemiilukada, tetapi
melalui proses penetapan sebagai salah satu wujud keistimewaan DIY
Berbeda dengan provinsi lainnya, Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY tidak dipilih
melalui mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal), namun melalui
proses penetapan Sultan Yogyakarta yang bertahta menjadi Gubernur dan Adipati Paku
Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur sebagai salah satu wujud keistimewaan DIY.
Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pembantu gubernur dalam pelaksanaan pemerintahan,
membawahi tiga asisten. Pertama, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat yang
membawahi Biro Tata Pemerintahan; Biro Hukum; serta Biro Administrasi Kesejahteraan
Rakyat dan Kemasyarakatan. Kedua, Asisten Perekonomian dan Pembangunan yang
membawahi Biro Administrasi Perekonomian dan SDA serta Biro Administrasi Pembangunan.
Ketiga, Asisten Administrasi Umum yang membawahi Biro Organisasi dan Biro Umum Humas
dan Protokol.
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
ht
Gambar 2.1.
Komposisi Anggota DPRD DIY Periode 2009-2014 dan 2014-2019 menurut Partai Politik
Tahukah Anda ?
Keterwakilan perempuan dalam parlemen DIY Hasil Pemilu legislatif
2014 semakin berkurang dibanding dengan Pemilu 2009
Sebagai mitra kerja kepala daerah, DPRD memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi
yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah (Perda), fungsi pengawasan untuk
mengontrol pelaksanaan perda, peraturan lain serta kebijakan pemerintah daerah, dan fungsi
anggaran untuk menyusun dan mengesahkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD) bersama pemerintah daerah. Untuk mendukung fungsi tersebut, struktur
DPRD DIY dibagi menjadi empat komisi yang terdiri dari Komisi A (pemerintahan), Komisi
B (ekonomi dan keuangan), Komisi C (pembangunan) dan Komisi D (kesejahteraan rakyat)
serta alat kelengkapan dewan yang lain seperti fraksi dan pimpinan dewan. Selama tahun
2013, DPRD DIY mampu menghasilkan sebanyak 12 Perda. Jumlah ini sedikit berkurang
dibandingkan dengan tahun 2012 dan 2011 yang menghasilkan sebanyak 14 dan 16 Perda.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Sumber utama pendapatan daerah dalam RAPBD DIY 2013 berasal dari Pendapatan Asli
Daerah khususnya pajak daerah dan dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum
://
Tabel 2.2.
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
KEUANGAN DAERAH
Penerimaan daerah untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang
dikelola oleh pemerintah DIY berasal dari beberapa sumber, yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD),
dana perimbangan (dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana
Alokasi Khusus/DAK), serta penerimaan lain yang sah. Sampai saat ini, komponen PAD yang
bersumber dari pajak daerah dan komponen DAU menjadi sumber penerimaan terpenting bagi
pendapatan daerah DIY.
Berdasarkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DIY 2013, jumlah
nominal pendapatan yang direncanakan mencapai Rp 2,287 triliun dan meningkat sebesar
18,16 persen dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar Rp1,94 triliun. Selama empat
tahun terakhir, nilai nominal pendapatan daerah yang direncanakan semakin meningkat secara
signifikan terutama pasca disahkannya Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
DIY yang salah satunya memuat tentang alokasi dana keistimewaan DIY yang mulai direalisasikan
pada tahun 2012. Dalam RAPBD 2013, semua sumber pendapatan yang baik PAD, dana
perimbangan maupun penerimaan lainnya yang sah mengalami peningkatan. Sumber utama
pendapatan dalam RAPBD 2013 berasal dari komponen PAD dengan proporsi sebesar 44,34
persen, sementara komponen dana perimbangan dan penerimaan lainnya yang sah masingmasing memiliki proporsi sebesar 42,03 persen dan 13,62 persen. Kondisi ini berbeda dengan
RAPBD tahun 2012 dimana komponen dana perimbangan memiliki proporsi yang lebih besar
dibandingkan dengan komponen PAD.
Secara nominal, nilai PAD dalam RAPBD 2013 mencapai Rp 1,01 triliun dengan sumber
penerimaan terbesar berasal dari pajak daerah dengan nilai nominal sebesar Rp 885,22 miliar.
Nilai penerimaan pajak daerah dalam RAPBD 2013 meningkat sebesar Rp 196 miliar dari tahun
sebelumnya dengan sumber utama dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan
bermotor. Komponen terbesar dana perimbangan berasal dari DAU dengan nilai Rp 828 milyar
atau 36,22 persen, sementara sumber utama penerimaan lainnya yang sah berasal dari dana
penyesuaian dan otonomi khusus atau dana keistimewaan dengan nilai Rp 302,76 milyar.
ht
tp
Rencana Anggaran Pendapatan Daerah DIY menurut Sumber Penerimaan, 2010-2013 (Rp Milyar)
Struktur belanja daerah dalam RAPBD DIY 2013 didominasi oleh belanja pegawai,
sementara dari fungsinya sebagian besar digunakan untuk pelayanan umum
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
yo
gy
ak
ht
Tabel 2.3.
tp
://
Tahukah Anda ?
Dengan semakin meningkatnya sumber penerimaan daerah dari sumber
pendapatan asli daerah maka derajad ketergantungan fiskal DIY
semakin menurun.
Kota Yogyakarta dan Sleman menjadi daerah dengan kemandirian fiskal tertinggi, sementara
rasio belanja modal/infrastruktur dalam RAPBD kabupaten/kota di DIY masih rendah.
.g
o.
id
Struktur pendapatan dan belanja dalam RAPBD tahun 2013 kabupaten/kota di DIY
cukup bervariasi. Dari sisi pendapatan, Kabupaten Sleman menjadi daerah yang memiliki
rencana pendapatan yang tertinggi sebesar Rp 1,67 triliun dan diikuti oleh Kabupaten Bantul
dengan rencana pendapatan sebesar Rp 1,34 triliun. Sementara, Kabupaten Kulonprogo
menjadi daerah yang memiliki rencana pendapatan yang terendah sebesar Rp 918,78 miliar.
Dari sisi pengeluaran atau belanja daerah juga memiliki pola yang sama. Kabupaten Sleman
menjadi daerah yang memiliki belanja yang tertinggi sebesar Rp 1,73 triliun, sementara
kabupaten Kulonprogo menjadi daerah dengan belanja terendah sebesar Rp 935,37 miliar.
Dalam RAPBD 2013, semua kabupaten/kota mengalami defisit anggaran atau memiliki nilai
belanja yang lebih besar dibandingkan dengan nilai pendapatan. Nilai defisit anggaran
yang terbesar dialami oleh Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp 93,92 miliar dan diikuti oleh
Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan defisit sebesar Rp 63,44 milyar dan Rp 63,06
milyar. Sementara, nilai defisit Kabupaten Bantul dan Kulonprogo masing-masing sebesar
Rp 17,44 milyar dan Rp 16,59 milyar.
Gambar 2.2.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
Gambar 2.3.
Rencana Pendapatan dan Belanja Daerah menurut
Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Rp Milyar)
PENDUDUK
Laju pertumbuhan penduduk per tahun di DIY pada periode 2000-2010 kembali meningkat di
atas 1 persen, setelah dua dekade sebelumnya yang selalu di bawah 1 persen
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
ht
Tahukah Anda ?
Laju pertumbuhan penduduk DIY per tahun pada periode 2000-2010 sebesar 1,04 persen, sehingga
tahun 2020 jumlah penduduk diproyeksikan mencapai 3,88 juta jiwa.
Tabel 3.1.
Luas Wilayah, Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di DIY menurut Kabupaten/Kota, 2013
Kabupaten/
Kota
1971
1980
1990
2000
Kulonprogo
370.629
380.685
372.309
370.944
388.869
0,29
-0,22
-0,04
0,48
Bantul
568.618
634.442
696.905
781.013
911.503
1,21
0,94
1,19
1,57
Gunungkidul
620.085
659.486
651.004
670.433
675.382
0,68
-0,13
0,3
0,07
Sleman
588.304
677.323
780.334
901.377 1.093.110
1,56
1,43
1,5
1,96
Yogyakarta
340.908
398.192
412.059
396.711
388.627
1,72
0,34
-0,39
-0,21
1,10
0,58
0,72
1,04
DIY
10
Kepadatan penduduk DIY di tahun 2010 mencapai 1.085 jiwa/km2 dan ssebaran penduduk
yang terbesar terdapat di Kabupaten Sleman dan Bantul
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
ht
tp
://
yo
gy
ak
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Distribusi Penduduk DIY menurut Kabupaten/ Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk DIY menurut
Kota Hasil SP Tahun 1971-2010 (Persen)
Kabupaten/Kota Hasil SP 1971-2010 (jiwa/km2)
Kab/Kota
Kab/Kota
Luas Wilayah
Km2
1971
1980
1990
2000
2010
11,25 Kulonprogo
586
18,4
632
649
635
633
663
25,03
26,36 Bantul
507
15,91
1.122
1.252
1.375
1.541
1.798
22,35
21,48
19,53 Gunungkidul
1.486
46,63
418
444
438
451
455
24,63
26,79
28,89
31,62 Sleman
575
18,04
1.024
1.178
1.358
1.568
1.902
13,7
14,48
14,15
12,71
11,24 Yogyakarta
100
100
100
100
1971
1980
1990
2000
2010
Kulonprogo
14,89
13,84
12,78
11,89
Bantul
22,85
23,07
23,93
Gunungkidul
24,92
23,98
Sleman
23,64
Yogyakarta
Jumlah
100
DIY
32
3.186
781
863
914
979
1.085
11
Komposisi penduduk DIY menurut usia hasil Sensus Penduduk 2010 didominasi oleh
penduduk berusia muda (usia produktif)
Kabupaten Sleman dan Bantul menjadi dua daerah yang memiliki peningkatan
kepadatan penduduk tercepat dengan dengan tingkat kepadatan masing-masing sebesar
1.902 jiwa/km2 dan 1.798 jiwa/km2 pada tahun 2010. Sementara itu, Gunungkidul menjadi
daerah dengan kepadatan penduduk terendah yakni 445 jiwa/km2. Rendahnya kepadatan
penduduk di Gunungkidul berkaitan dengan karakteristik wilayah yang berupa pegunungan
kering dengan dukungan infrastruktur yang kurang memadai untuk dijadikan sebagai tempat
tinggal maupun tempat untuk melakukan aktivitas ekonomi, sehingga ada kecenderungan
kaum terdidik dari daerah ini yang justru bermigrasi keluar dengan motif mencari pekerjaan
dan penghidupan yang lebih layak.
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
ht
Gambar 3.1.
Piramida Penduduk DIY Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan 2010 (Ribu Jiwa)
SP 2000
SP 2010
12
Rasio jenis kelamin penduduk DIY selama dua dekade terakhir didominasi oleh penduduk
perempuan, sementara rasio beban ketergantungannya berada pada level 45,9 persen
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk laki-laki di DIY tercatat
sebanyak 1.708.910 jiwa dan perempuan 1.748.581 jiwa, sehingga nilai seks rasionya sebesar
97,73. Artinya, terdapat 98 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan
atau jumlah penduduk perempuan 2,27 persen lebih banyak dari penduduk laki-laki.
Dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk tahun 2000, seks rasio tahun 2010 mengalami
penurunan dari 98,3 menjadi 97,73. Seks rasio di hampir semua kabupaten/kota memiliki
nilai kurang dari 100, artinya jumlah penduduk perempuan lebih dominan dibandingkan
dengan penduduk laki-laki. Namun demikian, Kabupaten Sleman justru memiliki seks rasio
lebih dari 100 yang berarti jumlah penduduk laki-lakinya lebih banyak dari perempuan.
Hampir semua kabupaten/kota juga mengalami penurunan seks rasio, kecuali Bantul yang
meningkat dari 99 persen pada tahun 2000 menjadi 99,45 persen pada tahun 2010.
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Seks rasio berdasarkan kelompok umur menunjukkan pola yang semakin menurun
seiring dengan meningkatnya kelompok umur. Nilai seks rasio penduduk DIY mulai dari
lahir sampai umur 29 tahun berada di atas 100, artinya jumlah penduduk laki-laki pada usia
tersebut lebih dominan dari perempuan. Mulai usia 30 tahun, jumlah penduduk perempuan
cenderung lebih dominan dari laki-laki yang ditunjukkan oleh nilai sex rasio yang kurang dari
100. Namun, pada kelompok umur 55-59 nilai sex rasio berada di atas 100. Pada kelompok
umur 60 tahun ke atas, jumlah penduduk perempuan jauh lebih dominan. Fenomena ini
terjadi karena angka harapan hidup perempuan yang relatif lebih tinggi dari laki-laki yang
disebabkan oleh kecenderungan penduduk laki-laki untuk melakukan pekerjaan dan
aktivitas yang sifatnya lebih berat, kasar dan memiliki resiko lebih tinggi.
Tabel 3.4.
ht
tp
://
yo
gy
ak
13
KETENAGAKERJAAN
Terbatasnya penciptaan kesempatan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah
angkatan kerja menyebabkan terjadinya pengangguran
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Tenaga kerja menjadi salah satu faktor produksi yang memiliki peran sentral dalam
menggerakkan aktivitas perekonomian. Sebagai faktor produksi, tenaga kerja merupakan
unsur manusia yang memiliki tingkat keahlian dan perilaku yang berbeda-beda. Setiap
pekerja akan berharap mendapat balas jasa yang memadai sesuai pekerjaan yang telah
dilakukannya. Namun, sistem dan struktur upah dalam pasar tenaga kerja ditentukan
berdasarkan banyak pertimbangan seperti besarnya kebutuhan hidup minimum di wilayah
yang bersangkutan maupun variabel individu dari angkatan kerja seperti pendidikan yang
ditamatkan, masa kerja, jenis dan resiko pekerjaan, produktivitas, lokasi kerja, pengalaman
kerja, usia, posisi/jabatan yang bersangkutan di tempat kerja maupun kemampuan
perusahaan dalam membayar upah.
Pertumbuhan jumlah angkatan kerja setiap tahun sebanding dengan pertumbuhan
penduduk, sementara kesempatan kerja yang tersedia relatif terbatas. Terbatasnya
kesempatan kerja yang tersedia ini menyebabkan tidak semua angkatan kerja dapat terserap
oleh pasar kerja atau terjadi ketidakseimbangan antara supply dan demand tenaga kerja,
sehingga terjadi pengangguran. Penyebab lain dari pengangguran lebih bersifat struktural
seperti kebijakan penetapan upah minimum maupun bersifat friksional akibat adanya
jeda atau lama waktu menunggu kesempatan kerja yang sesuai dengan pendidikan dan
keterampilan yang dimiliki. Beberapa aspek ketenagakerjaan yang dikaji dalam sub bab ini
menyangkut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
serta karakteristik penduduk bekerja.
Konsep ketenagakerjaan yang digunakan oleh BPS merujuk pada rekomendasi dari
International Labor Organization (ILO) yang membagi penduduk berusia produktif (15
tahun ke atas) berdasarkan aktivitas utamanya menjadi dua kelompok yakni angkatan
kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari dua bagian yakni bekerja dan
pengangguran, sementara bukan angkatan kerja mencakup bersekolah, mengurus rumah
tangga dan lainnya. Komposisi penduduk berusia kerja hasil Sakernas di DIY dalam beberapa
tahun terakhir disajikan dalam Tabel 3.4. Jumlah penduduk berusia kerja meningkat dari 2,70
juta jiwa di bulan Agustus 2010 menjadi 2,83 juta jiwa di bulan Februari 2014.
ht
Tabel 4.1.
2011
2010
2012
2013
2014
Agustus
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(8)
110.040
83.481
77.897
76.819
73.044
63.172
43.984
815.838
739.052
813.549
793.422
791.920
838.726
863.845
796.887
Sekolah
279.420
262.569
269.226
324.537
280.427
306.151
201.760
349.639
437.630
365.924
433.602
360.161
404.800
466.843
479.109
352.183
98.788
110.559
110.721
108.724
106.693
65.732
182.976
95.065
Lainnya
Jumlah
14
Tingkat partisipasi angkatan kerja di DIY selama sepuluh tahun terakhir berada pada
kisaran 68-73 persen dan ada kecenderungan partisipasi angkatan kerja laki-laki lebih tinggi
dari perempuan dan partisipasi angkatan kerja di perdesaan lebih tinggi dari perkotaan.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
90
85
80,26
80
75 71,95
79,00
70,30
81,25
71,69
70
81,33
79,82
71,70
69,95
81,17
80,18
72,93
71,41
80,84
71,29
85
79,72
70,01
77,70
71,84
81,29
75
60 63,87
61,95
62,64
62,06
66,24
65,08
62,65
62,17
60,15
55
60,73
65
77,98
71,95
69,83
77,99
77,04
71,69
70,30
70
65
79,95
78,26
80
68,56 69,95
75,78
70,51
Feb'05
Feb'06
71,84
69,29
71,50
68,72
67,44
64,96
77,39
75,85
72,93
71,29 71,52
70,39
70,01
71,41
71,70
70,23
69,76
69,20
65,67
76,42
67,01
66,09
65,21
67,09
69,06
60
55
50
45
Feb'05
Feb'06
Feb'07
Feb'08
P
Feb'09
L+P
Feb'10
Feb'11
Feb'12
Feb'13
Feb'14
K+D
50
Feb'07
Feb'08
Feb'09
Feb'10
Feb'11
Feb'12
Feb'13
Feb'14
15
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di DIY selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan
pola yang semakin menurun dan terdapat kecenderungan TPT di perkotaan lebih tinggi dari
perdesaan, sementara TPT menurut jenis kelamin lebih berfluktuasi
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
11
10
9
8,36
9
8
8,42
7,62
7,06
7
6
8,41
6,25
6,08
6,04
7,42
6,00
7
5,86
5,53
6,02
5,05
5
4
3,64
3,11
2,63
Feb'06
Feb'07
4,45
3,73
4,21
4
2,68
2,16
3,03
0
Feb'05
3,95
2,36
16
4,90
4,03
6
4,84
Feb'08
D
Feb'09
2,47
Feb'11
1,24
Feb'12
2
1
K+D
Feb'10
Feb'13
Feb'14
L+P
0
Feb'05 Feb'06 Feb'07 Feb'08 Feb'09 Feb'10 Feb'11 Feb'12 Feb'13 Feb'14
Struktur angkatan kerja di DIY menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan didominasi
oleh mereka yang berpendidikan menengah, namun komposisi yang berpendidikan kurang dari
SD juga masih cukup besar meskipun proporsinya semakin berkurang
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Bekerja
Feb'12
Ags'12
Feb'13
Angkatan Kerja
Ags'13
Feb'14
Feb'12
Ags'12
Feb'13
Ags'13
Feb'14
SD ke Bawah
35,93
36,49
31,85
35,20
29,99
35,27
35,45
31,22
34,27
29,59
SLTP
17,30
17,68
17,12
17,78
17,78
17,27
17,73
16,57
17,67
17,54
SLTA Umum
14,78
16,74
16,93
15,85
16,41
15,27
16,89
16,89
16,01
16,27
SLTA Kejuruan
17,45
16,06
18,52
16,94
19,47
17,46
16,63
18,45
17,68
20,03
Diploma I/II/III
4,58
3,49
4,72
4,15
4,21
4,72
3,61
5,02
4,05
4,23
Universitas
9,96
9,53
10,86
10,08
12,14
10,01
9,69
11,85
10,30
12,34
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Jumlah
17
Struktur penduduk bekerja di DIY didominasi oleh lapangan usaha pada sektor perdagangan,
hotel dan restoran serta sektor pertanian
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Gambar 4.4.
3,85
3,78
Berusaha Sendiri
1,28
16,85
12,14
41,81
19,97
3,37
4,84
26,64
Industri Pengolahan
Konstruksi
20,75
14,91
4,10
Pertanian
25,42
0,29
18
Tingkat pengangguran terbuka di DIY dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun,
sementara tingkat setengah penganggurannya justru meningkat
id
Hal lain yang cukup menarik untuk dicermati adalah struktur pekerja menurut jam
kerja per minggu. Jumlah pekerja dengan jumlah jam kerja di atas jam kerja normal (35
jam per minggu) hasil Sakernas Februari 2014 tercatat sebesar 71,10 persen. Sementara,
jumlah pekerja dengan jam kerja kurang dari jam kerja normal tercatat sebesar 28,90
persen yang terdiri dari 1-14 jam sebanyak 7,36 persen dan 15-34 jam 21,54 persen. Hal
ini mengindikasikan masih cukup banyak pekerja yang termasuk dalam kategori setengah
pengangguran (under unemployment) karena memiliki jumlah jam kerja kurang dari jam
kerja normal. Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan proporsi pekerja yang
memiliki jumlah jam kerja lebih dari 35 jam per minggu semakin berkurang, sementara
proporsi yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu justru semakin meningkat. Fenomena
ini menunjukkan tingkat setengah pengangguran yang semakin meningkat meskipun TPT
menurun secara signifikan. Artinya, penduduk yang berubah status dari pengangguran
terbuka menjadi bekerja sebagian besar masih memiliki jam kerja di bawah jam kerja normal.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
Gambar 4.6.
Perkembangan Nilai Upah Minumum Provinsi
(UMP) DIY , 2007-2014 (Rp 000)
1200
1-14 Jam
90
76,05
80
15-34 Jam
73,35
1000
75,73
71,66
66,27
70
71,10
800
60,18
60
600
50
700
746
947
989
808
586
500
40
26,06
30
20
10
18,80
18,05
5,90
7,68
7,84
21,65
6,69
400
26,49
17,68
21,54
13,32
7,36
6,59
200
0
Feb'11
Ags'11
Feb'12
Ags'12
Feb'13
Ags'13
Feb'14
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
19
PENDIDIKAN
Perkembangan beberapa indokator pendidikan di DIY menggambarkan kondisi pendidikan
penduduk yang semakin meningkat, baik dari sisi capaian maupun partisipasi
Salah satu tujuan negara yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Langkah yang ditempuh oleh pemerintah untuk
mewujudkannya adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur
pendidikan baik pendidikan di dalam sekolah (formal) maupun di luar sekolah (non formal).
Dalam beberapa kurun waktu terakhir, pembangunan pendidikan yang dilaksanakan telah
menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun,
yang didukung dengan pembangunan infrastruktur sekolah dan penyediaan tenaga
pendidik yang mencukupi serta pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen
dari APBN/APBD menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melaksanakan amanah UUD
1945. Beberapa indikator pendidikan yang dikaji dalam sub-Bab ini diantaranya adalah rasio
murid-guru, rasio murid-kelas, angka partisipasi sekolah menurut tingkatan, angka melek
huruf dan rata-rata lama bersekolah penduduk.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
SLTP/MTS (Negeri+Swasta)
SLTA/MA (Negeri/Swasta)
SMK (Negeri/Swasta)
Rata-rata per Rasio Rasio Rata-rata per Rasio Rasio Rata-rata per Rasio Rasio Rata-rata per Rasio Rasio
Sekolah
Sekolah
Sekolah
Sekolah
Murid Murid
Murid Murid
Murid Murid
Murid Murid
Murid Guru Guru Kelas Murid Guru Guru Kelas Murid Guru Guru Kelas Murid Guru Guru Kelas
2013/2014
151
11
13
21
290
24
12
27
302
33
26
368
39
26
2012/2013
153
12
13
21
283
24
12
29
300
32
26
378
39
10
27
2011/2012
153
12
13
18
284
25
11
28
299
34
27
388
40
10
29
2010/2011
153
12
13
21
294
26
11
29
297
35
28
395
41
10
30
2009/2010
153
12
13
22
296
26
11
30
288
34
28
387
41
30
2008/2009
152
12
13
21
295
26
11
33
292
35
29
347
38
30
2007/2008
152
11
13
22
292
26
11
33
300
35
30
327
35
31
20
Angka partisipasi sekolah pada berbagai kelompok usia mencerminkan akses dan kesempatan
penduduk berusia sekolah terhadap institusi pendidikan sesuai dengan kelompok usianya
Gambar 5.1.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
100
98,67
98,77
99,05
95,10
95,02
95,16
75,96
74,86
80
73,58
60
42,29
99,35
99,29
99,62
99,65
99,69
90,55
92,62
92,91
93,42
94,02
71,82
72,46
72,26
73,06
43,38
43,47
43,30
44,03
71,18
47,00
41,21
39,71
99,46
99,77
99,96
97,59
98,32
96,71
80,22
81,50
75,85
41,73
44,32
Tahukah Anda ?
Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam
hal partisipasi sekolah
antara penduduk lakilaki dan perempuan
pada semua jenjang
pendidikan di DIY
46,73
40
7-12
20
2002
2003
2004
2005
13-15
2006
2007
16-18
2008
2009
19-24
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber : BPS RI
21
Kesetaraan gender dalam hal mengakses pendidikan yang diukur dari angka partisipasi sekolah
sampai tingkat menengah semakin mendekati harapan
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
APS penduduk berusia 16-18 tahun selama satu dekade terakhir menunjukkan pola
peningkatan lebih tajam dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, meskipun dari sisi
level masih jauh di bawah kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun. Pada tahun 2003, APS
penduduk berusia 16-18 tahun tercatar sebesar 73,58 persen dan secara bertahap meningkat
menjadi 81,50 persen di tahun 2013. Hal ini berarti masih terdapat sekitar 19,50 persen
penduduk berusia 16-18 tahun yang tidak berpartisipasi atau berkesempatan mengenyam
pendidikan sekolah pada berbagai tingkatan. Tingginya angka ini lebih banyak berkaitan
dengan persoalan ekonomi seperti mahalnya biaya pendidikan pada tingkat SLTA/SMK dan
belum adanya mekanisme BOS maupun keterbatasan ekonomi keluarga yang menuntut
peran penduduk pada kelompok usia tersebut untuk berpartisipasi sebagai aset produksi
dalam membantu ekonomi rumah tangga. Adanya pandangan dalam rumah tangga yang
menganggap bahwa bersekolah sampai jenjang pendidikan dasar sembilan tahun sudah
cukup juga menjadi penyebab lain. Di samping itu, persoalan aksibilitas seperti terpusatnya
infrastruktur pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK) di pusat kecamatan atau daerah
perkotaan sehingga masih ada penduduk yang kesulitan untuk mengakses karena faktor
jarak maupun sarana transportasi menuju sekolah juga menjadi sebab masih banyaknya
penduduk pada kelompok usia ini yang tidak berpartisipasi sekolah. Sementara, level APS
penduduk berusia 19-24 tahun tercatat pada kisaran 45 persen.
Tingkat partisipasi sekolah juga dapat dikaji dari angka partisipasi murni yang dihitung
berdasarkan jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada jenjang sekolah yang sesuai
dengan usianya dibagi dengan jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama. Indikator
ini berguna untuk melihat proporsi penduduk sekolah yang tepat waktu. Secara umum,
nilai APM lebih rendah dari APK, karena APK mencakup penduduk di luar kelompok usia
pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. APM penduduk berusia SD pada tahun
2013 mencapai 98,72 persen, artinya jumlah penduduk yang berusia SD (7-12 tahun) yang
sedang bersekolah pada tingkat SD mencapai 98,72 persen. Sisanya, sebanyak 1,28 persen
kemungkinan belum bersekolah pada tingkat SD atau sudah bersekolah pada tingkat
SLTP atau sudah putus sekolah. Selama satu dekade terakhir APM penduduk berusia SD
cenderung meningkat, meskipun terlihat ada penurunan di tahun 2011 sebagai akibat dari
perubahan metodologi dalam pengumpulan data Susenas dari tahunan menjadi triwulanan.
Gambar 5.1.
APM Penduduk DIY menurut Tingkatan, 2003-2013 (Persen)
100
80
91,98
79,06
92,55
95,46
94,38
93,53
94,32
94,38
94,76
74,94
75,31
75,34
75,55
91,98
96,03
98,72
Tahukah Anda ?
83,27
77,37
60
59,77
61,51
2003
2004
72,30
62,45
55,85
69,15
57,88
58,96
2007
2008
58,69
59,35
2009
2010
59,68
72,64
75,82
64,02
64,92
2012
2013
40
SD
20
2002
2005
2006
SLTP
SLTA
2011
2014
Partisipasi sekolah
murni penduduk usiaSD
di DIY menjadi yang
tertinggi secara nasional,
sementara pada usia
SLTA berada di
peringkat kedua setelah
Provinsi Bali
Sumber : BPS RI
22
Masih tingginya tingkat buta huruf di DIY dipengaruhi oleh tingginya tingkat melek huruf
pada kelompok penduduk di atas 45 tahun, sementara pada kelompok usia 15-45 tahun sudah
mendekati nol persen
APM pada tingkat SLTP dan SLTA di tahun 2013 masing-masing sebesar 75,82 persen
dan 64,92 persen. Secara umum, nilai APM semakin menurun seiring dengan meningkatnya
jenjang pendidikan sehingga APM SD>SLTP>SLTA. Berdasarkan jenis kelamin, APM di semua
tingkatan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini mencerminkan telah
tercapainya kesetaraan jender dalam hal memperoleh kesempatan pendidikan sampai level
pendidikan menengah di DIY.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas di DIY dan Nasional, 2003-2013 (Persen)
Kelompok Umur
(1)
15+
15-44
45+
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
DIY
85,75 85,78 86,72 86,43 87,78 89,45 90,18 90,84 91,49 92,02 92,86
Indonesia
89,79 90,38 90,91 91,45 91,87 92,19 92,58 92,91 92,81 93,25 94,14
DIY
97,54 97,79 97,90 97,71 98,47 99,26 99,33 99,38 99,40 99,67 99,80
Indonesia
96,12 96,70 96,91 97,11 97,04 98,05 98,20 98,29 97,70 98,00 98,39
DIY
64,93 65,49 68,72 68,66 71,24 75,13 77,19 78,05 79,51 80,44 82,18
Indonesia
74,57 75,13 77,17 78,91 81,06 80,41 81,32 81,75 82,11 82,80 84,76
Sumber : BPS RI
23
Pencapaian rata-rata lama sekolah penduduk berada pada level 9,38 tahun. sehingga secara
rata-rata penduduk telah menyelesaikan pendidikan setingkat lulus SLTP
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
AMH DIY pada tahun 2013 tercatat sebesar 92,86 persen dan AMH nasional sebesar 94,14
persen atau terjadi gap sebesar 1,28 persen. Fenomena tersebut menggambarkan secara
level AMH di DIY memang lebih rendah tetapi gap dari waktu ke waktu menunjukkan pola
yang semakin menurun.
Jika dilihat berdasarkan kelompok usia, maka terlihat cukup jelas penyebab tingginya
AMH di DIY adalah andil dari AMH pada kelompok penduduk tua (>45 tahun). Pada tahun
2013, AMH pada kelompok ini tercatat sebesar 82,18 persen dan jauh lebih rendah dari AMH
nasional pada kelompok umur yang sama yang sebesar 84,76 persen. Sementara, AMH
penduduk DIY pada kelompok usia15-44 tahun tercatat sebesar 99,80 persen dan lebih tinggi
dibandingkan dengan AMH nasional pada kelompok umur yang sama yang sebesar 98,39
persen. Jadi persoalan tingginya tingkat buta huruf di DIY lebit terkait dengan komposisi
penduduk berusia tua. Di satu sisi komposisi penduduk berusia tua cukup besar sebagai
hasil dari angka harapan hidup yang tinggi, sementara di sisi yang lain sebagian besar dari
penduduk tersebut berstatus belum melek huruf sebagai akibat program pendidikan yang
belum menjangkau mereka pada masa lalu. Secara alamiah, komposisi penduduk berusia
tua tersebut akan semakin berkurang sehingga nilai AMH secara umum akan semakin
meningkat.
ht
tp
://
yo
gy
ak
DIY
Nasional
8
7,24
7,30
7,40
7,47
Tahukah Anda ?
8,78
8,71
8,59
8,50
8,38
8,22
9,33
9,21
9,20
9,07
7,52
7,72
7,92
7,94
8,08
8,14
6
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
24
Capaian rata-rata lama sekolah penduduk DIY yang lebih tinggi dari level nasional
menggmbarkan kualitas modal manusia di DIY yang lebih baik
Selama periode 2004-2013, RLS penduduk DIY cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan RLS penduduk pada level nasional. RLS penduduk pada level nasional di tahun 2004
tercatat sebesar 7,24 tahun, sehingga gap dengan RLS penduduk DIY sebesar 0,98 tahun.
Selama tahun 2013, RLS penduduk pada level nasional meningkat hingga 8,14 tahun. Namun
peningkatan RLS penduduk nasional tersebut masih lebih lambat dibandingkan peningkatan
RLS penduduk DIY sehingga gapnya meningkat hingga sebesar 1,19 tahun. Fenomena ini
secara kasar menggambarkan kualitas modal manusia di DIY yang lebih baik dibandingkan
dengan kualitas modal manusia secara nasional. Dibandingkan dengan provinsi-provinsi
lain, RLS penduduk DIY di tahun 2013 berada diperingkat keempat tertinggi setelah Provinsi
DKI Jakarta, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur.
Gambar 5.3
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
ht
Sumber : www.cimpa2011.ugm.ac.id
Sumber : wradarsuperindo.wordpress.com
25
KESEHATAN
Misi pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang
berkualitas, merata dan terjangkau
Tabel 6.1.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Jumlah Fasilitas/Sarana Kesehatan di DIY , Rasio per 100.000 Penduduk dan Jangkauan per Fasilitas
2009
Rumah Sakit
Jumlah Sarana/Fasilitas
Fasilitas Kesehatan
2010
2011
2012
2013
2011
2011
2012
2013
2,00
55.354
53.254
49.929
624
597
562
63
63
66
3.751
5.191
5.588
5.888
53
71
71
70
70
2,04
1,99
1,95
49.117
50.211
51.356
Balai Pengobatan
177
181
181
181
181
5,19
5,15
5,03
19.267
19.419
19.861
Puskesmas/Puskestu
/Puskesling
580
558
578
576
579
16,57
16,39
16,11
6.033
6.102
6.209
Apotek
381
428
428
464
526
12,27
13,20
14,63
8.148
7.575
6.834
Rumah Bersalin
1,81
1,88
2013
60
Kapasitas Tempat
Tidur Rumah Sakit
72
2012
26
Angka kematian bayi yang semakin menurun dan harapan hidup yang semakin meningkat
menggambarkan derajat kesehatan penduduk terutama ibu dan anak yang semakin meningkat
.g
o.
id
Tidak semua orang yang sakit mampu dilayani oleh rumah sakit akibat keterbatasan
sarana maupun tingkat penyebarannya yang tidak merata. Untuk mengurangi beban rumah
sakit dalam memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dasar pemerintah mendirikan fasilitas
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di daerah setingkat kecamatan. Sementara, untuk
melayani penduduk di daerah yang terpencil juga didirikan puskesmas pembantu dan
puskesmas keliling serta mengaktifkan peran posyandu pada level pedukuhan.
Pada tahun 2013, terdapat 579 unit puskesmas/puskestu/puskesling yang tersebar di
lima kabupaten/kota di DIY dengan rincian puskesmas sebanyak 121 unit, puskestu sebanyak
321 unit dan puskesling sebanyak 137 unit. Kemudahan dalam mengakses puskesmas
dapat dilihat dari nilai rasio puskesmas/puskestu/puskesling per 100.000 penduduk. Pada
tahun 2013, nilai rasionya mencapai 16,11 yang berarti setiap satu unit sarana yang tersedia
memiliki beban untuk melayani penduduk sebanyak 6.209 jiwa penduduk. Dibandingkan
dengan beberapa tahun sebelumnya ketersediaan saran puskesmas semakin tercukupi dan
beban pelayanannya juga masih tercukupi.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
Gambar 6.2.
30
25
Non Medis
100%
24
20
20
Tenaga Medis
3,47
0,40
4,10
2,78
2,19
95,90
97,22
97,81
96,53
99,60
2009
2010
2011
2012
2013
90%
19
16
15
80%
70%
10
60%
50%
40%
SP 2000
SDKI 2002
SDKI 2007
SP 2010
27
Turunnya angka kematian bayi di DIY didorong oleh perbaikan kualitas persalinan, gizi balita,
imunisasi dan meningkatnya pengetahuan ibu terkait dengan perawatan balita
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
rendah dibandingkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 yang
sebanyak 19 per 1000 kelahiran hidup maupun hasil SP 2000 yang sebanyak 24 per kelahiran
hidup. Sebagian besar kasus kematian bayi tersebut terjadi pada bulan pertama setelah bayi
tersebut lahir (kematian neonatal) dengan jumlah mencapai 79 persen (SDKI 2007). Hal ini
membawa implikasi pentingnya penanganan persalinan oleh tenaga penolong persalinan
yang terdidik serta peningkatan pengetahuan ibu tentang tata cara perawatan bayi pasca
kelahiran maupun pada masa kehamilan.
Berdasarkan hasil Susenas, mayoritas proses persalinan di DIY ditangani oleh tenaga
medis, seperti dokter, bidan dan tenaga medis lainnya (Gambar 6.2). Sampai dengan tahun
2013, proses persalinan pertama telah mendekati seratus persen ditangani oleh tenaga
medis baik dokter, bidan maupun tenaga medis lain. Sementara, proses persalinan yang
ditangani oleh tenaga non medis atau tenaga tradisional seperti dukun, keluarga dan lainnya
jumlahnya sebesar 0,4 persen. Perubahan preferensi masyarakat dalam memilih tenaga
penolong persalinan menjadi salah satu sebab penurunan angka kematian bayi dan hal ini
juga mengindikasikan adanya kemajuan dalam pelayanan kesehatan dasar di wilayah DIY.
Peran pendidikan ibu dalam menunjang kesehatan bayi dan balita juga dapat dikaji
menggunakan indikator lamanya menyusui balita. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan
terbaik bagi pertumbuhan dan kesehatan bayi karena mengandung nilai gizi yang tinggi
serta zat pembentuk kekebalan tubuh, sehingga semakin lama seorang bayi mendapat
asupan ASI maka daya tahan tubuhnya menjadi semakin baik. Selama periode 2009-2013,
sebagian besar balita berusia 2-4 tahun di DIY telah mendapat asupan ASI lebih dari 24 bulan
(2 tahun) dan porsinya juga semakin meningkat dari 53,71 persen di tahun 2009 menjadi
62 persen di tahun 2013. Semakin besarnya porsi balita berusia 2-4 tahun yang mendapat
asupan ASI lebih dari 24 bulan menjadi fenomena yang sangat baik dan secara tidak langsung
mencerminkan peningkatan pengetahuan ibu menyusui terkait dengan manfaat ASI bagi
bayi mereka. Porsi terbesar selanjutnya adalah mereka yang mendapat asupan ASI antara 1823 bulan, jumlahnya sebesar 20,40 persen. Hal yang harus menjadi perhatian adalah masih
terdapat balita berusia 2-4 tahun yang mendapat asupan ASI kurang dari 5 bulan dengan
porsi sebesar 5,18 persen.
Gambar 6.3.
Gambar 6.4.
6-11
12-17
18-23
>=24
100%
25
80%
20
53,71
55,66
56,78
54,77
40%
20%
0%
19,76
20,51
20,53
21,19
16,39
15,38
12,25
12,17
10
20,40
5
15,78
12,08
11,91
12,29
4,20
5,97
5,91
6,59
5,86
4,93
5,26
7,15
7,55
4,86
5,18
2009
2010
2011
2012
2013
16,73
15
20,35
ASI Eksklusif
19,90
16,50
62,00
60%
28
4,33
4,48
4,52
4,81
2010
2011
2012
2013
Secara level angka harapan hidup di DIY termasuk dalam kategori tinggi, sehingga mendorong
tingginya level pencapaian pembangunan manusia
Rata-rata lama periode menyusui balita berusia 2-4 tahun di DIY pada tahun 2013
tercatat sebesar 21,19 bulan. Angka ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan beberapa periode sebelumnya yang masih berada pada level 16,5
bulan. Secara umum, lama periode menyusui bagi balita dapat dibagi menjadi dua yakni
pemberian ASI saja tanpa makanan tambahan (ASI eksklusif ) dan pemberian ASI ditambah
dengan makanan tambahan. Periode pemberian ASI eksklusif bagi balita berusia 2-4 tahun
selama beberapa tahun terakhir memiliki rata-rata di atas empat bulan, artinya sudah lebih
dari ketentuan Departemen Kesehatan. Sementara, periode pemberian ASI dengan makanan
tambahan memiliki rata-rata sebesar 16 bulan. Fenomena ini secara umum menggambarkan
pengetahuan kaum ibu terkait dengan manfaat ASI eksklusif bagi pembentukan kekebalan
tubuh alami balita yang semakin meningkat.
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
tp
Gambar 6.5.
ht
Angka Harapan Hidup Penduduk Saat lahir (e0) di DIY dan Nasional, 2004-2013 (Tahun)
80
75
70
72,6
67,6
72,90
68,08
DIY
73,00
68,47
73,10
68,70
Nasional
73,11
69,00
73,16
69,21
73,22
69,43
73,27
69,65
73,33
69,87
73,62
70,07
65
60
55
50
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
29
PEMBANGUNAN MANUSIA
Pembangunan manusia dimaknai sebagai upaya perluasan pilihan bagi penduduk sekaligus
sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Pembangunan manusia menjadi isu utama yang mewarnai proses pembangunan sosial
ekonomi di level nasional maupun regional selama lebih dari dua dekade terakhir. Bahkan
pada level internasional, pembangunan manusia juga menjadi topik sentral sesuai dengan
amanat Millenium Development Goals (MDGs). Deklarasi MDGs ditandatangani oleh 124
negara pada September tahun 2000 dan menghasilkan delapan butir kesepakatan. Dalam
deklarasi tersebut tersirat bahwa penanggulangan kemiskinan dan upaya pemenuhan
kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan merupakan prioritas utama dengan
menempatkan manusia menjadi obyek sasarannya. Keberpihakan ini tentu saja tidak cukup
tertuang dalam komitmen, namun memerlukan implementasi yang nyata.
Pemerintah Republik Indonesia dalam sekup nasional maupun regional sangat gencar
melaksanakan program pembangunan yang menyangkut pembiayaan untuk mengangkat
kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya yang berpendapatan rendah. Program yang
bersifat intervensi dianggap sangat perlu mengingat terbatasnya akses penduduk miskin
terhadap faktor-faktor produksi maupun layanan pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang
pendidikan, pemerintah mengalokasikan anggaran minimal sebesar 20 persen dari APBN
pusat maupun APBD daerah provinsi/kabupaten/kota. Salah satu program yang dilakukan
adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membantu penyelenggaraan pendidikan
di level pendidikan dasar sembilan tahun. Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan
program jaminan kesehatan bagi keluarga miskin (Jamkeskin), sehingga masyarakat
berpendapatan rendah dapat memperoleh layanan kesehatan secara gratis di puskesmas
ataupun fasilitas kelas III pada rumah sakit pemerintah. Untuk mengevaluasi perkembangan
capaian pembangunan tersebut dibutuhkan sebuah indikator yang mampu merangkum
semua aspek dari pembangunan manusia dan salah satu dari indikator tersebut adalah
Indeks Pembangunan manusia (IPM).
Gambar 7.1.
ht
tp
://
30
IPM merupakan indeks komposit yang mewakili tiga dimensi pembangunan, yakni panjang
umur, dimensi pengetahuan dan dimensi penghidupan yang layak
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
31
Pencapaian IPM Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013 berada pada level 77,37 dan
menduduki peringkat kedua tertinggi setelah DKI Jakarta
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Perkembangan nilai IPM DIY selama periode 1996-2013 menunjukkan pola yang
semakin meningkat. Pada tahun 1996, nilai IPM DIY tercatat sebesar 71,8 dan menempati
peringkat kedua secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta. Nilai IPM DIY pada tahun
1999 mengalami penurunan yang cukup tajam hingga mencapai level 68,7 sebagai
dampak dari krisis ekonomi 1997/1998. Krisis ekonomi yang melanda wilayah Indonesia
mulai pertengahan tahun 1997 memberi dampak yang luar biasa terhadap kondisi sosial
ekonomi penduduk sampai di wilayah regional DIY. Selama masa itu nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi tajam hingga menyentuh level Rp 15.000,- per 1 US$, laju inflasi Kota
Yogyakarta tercatat mencapai level 17,72 persen di tahun 1997 kemudian meningkat tajam
menjadi 77,46 persen di tahun 1998 dan pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi atau
pertumbuhan negatif. Hal ini berpengaruh besar terhadap penurunan daya beli (paritas)
penduduk terhadap komoditas barang dan jasa kebutuhan rumah tangga, sehingga tingkat
konsumsi riil penduduk juga menurun dan indeks daya beli juga menurun.
Pasca krisis ekonomi 1997/1998, kondisi perekonomian sedikit membaik meskipun
belum sepenuhnya pulih. Hal ini berpengaruh terhadap pencapain IPM DIY tahun 2002
yang sedikit meningkat menjadi 70,8. Mulai titik itu, secara berangsur-angsur IPM DIY
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat hingga mencapai level 77,37 di
tahun 2013. Fenomena ini menggambarkan kualitas pembangunan manusia yang semakin
membaik dari waktu ke waktu. UNDP membagi status wilayah berdasarkan angka IPM yang
dimilikinya menjadi empat kategori, rendah (angka IPM < 50), menengah bawah (IPM antara
50-66), menengah atas (IPM antara 66-80) serta tinggi (IPM lebih dari 80). Sejak tahun 19962013 angka IPM DIY berada pada kategori menengah atas.
Secara umum, perkembangan IPM DIY selama tahun 1996-2013 memiliki pola yang
sama dengan dengan angka IPM nasional. Namun demikian, level IPM DIY masih jauh di atas
level IPM nasional. Hal ini mengisyaratkan level pencapaian pembangunan manusia di DIY
yang relatif lebih baik dibandingkan dengan rata-rata pencapaian pembangunan manusia
secara nasional. Berdasarkan levelnya, angka IPM DIY pada tahun 2013 berada di peringkat
tp
Gambar 7.2.
ht
DIY
NAS
80
75
73,50
73,70
74,15
75,77
76,31
72,27
72,77
73,29
73,81
2010
2011
2012
2013
70,8
68,7
70
65
72,9
71,8
68,7
67,7
64,3
77,37
75,23
76,75
74,88
70,1
71,17
69,57
70,59
71,76
2005
2006
2007
2008
2009
65,8
60
55
1996
1999
2002
2004
32
Pencapaian IPM pada level kabupaten/kota di DIY memberi gambaran yang kontras, satu
sisi ada daerah yang memiliki level IPM tinggi dan di sisi yang lain ada yang masih rendah
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
kedua tertinggi secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta. Peringkat ini membaik setelah
sebelumnya selalu berada di peringkat keempat tertinggi sesudah Provinsi DKI Jakarta,
Sulawesi Utara serta Riau sejak tahun 2008. Perbedaan laju perubahan IPM selama periode
waktu tertentu dapat diukur menggunakan rata-rata reduksi shortfall per tahun. Nilai shortfall
mengukur keberhasilan dipandang dari segi jarak antara apa yang telah dicapai dengan apa
yang harus dicapai, yaitu jarak dengan nilai maksimum. Nilai reduksi shortfall IPM DIY selama
periode 2012-2013 tercatat sebesar 2,67.
Pencapaian pembangunan manusia di semua kabupaten/kota DIY pasca krisis ekonomi
1997/1998 menunjukkan perkembangan yang semakin membaik. Hal ini terlihat dari nilai
IPM selama periode 1999-2012 di semua kabupaten/kota yang cenderung meningkat
secara bertahap. Secara umum, kualitas pembangunan manusia yang tertinggi dicapai oleh
Kota Yogyakarta dan diikuti oleh Kabupaten Sleman dan Bantul. Sebaliknya, pencapaian
pembangunan manusia di Kabupaten Gunungkidul selama satu dekade terakhir selalu
berada di peringkat terakhir. Pencapaian IPM di seluruh kabupaten di DIY sampai dengan
tahun 2013 termasuk dalam kategori menengah sedang atau memiliki nilai IPM antara 6680, bahkan khusus untuk Kota Yogyakarta termasuk dalam kategori tinggi karena memiliki
nilai IPM di atas 80.
IPM tertinggi tahun 2013 masih disandang oleh Kota Yogyakarta dengan nilai 80,51.
Posisi selanjutnya adalah Kabupaten Sleman (IPM sebesar 79,97) dan Bantul (IPM sebesar
76,01). Sebaliknya, IPM terendah terjadi di Gunungkidul dengan nilai 71,64. Gambaran
perbandingan pencapaian IPM Kabupaten Gunungkidul dengan Kota Yogyakarta menjadi
sebuah perbandingan yang kontras. Fenomena ini secara tidak langsung menggambarkan
adanya kesenjangan yang cukup lebar dalam hal pembangunan ekonomi dan sosial antar
wilayah di DIY. Ke depan, perlu dipikirkan upaya-upaya yang lebih intensif untuk mengurangi
kesenjangan ini. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melalui pengembangan
infrastruktur dan ekonomi yang berbasis lokal. Gunungkidul dikenal sebagai wilayah yang
memiliki potensi wisata alam yang luar biasa, sehingga jalinan kerja sama antara pemerintah
selaku fasilitator dengan pihak swasta maupun masyarakat untuk pengembangan potensi ini
menjadi penting untuk dilakukan. Kegiatan investasi yang masih terpusat di Kota Yogyakarta
dan sekitarnya harus diperluas cakupannya dan diarahkan untuk pengembangan wilayahwilayah yang memiliki potensi tetapi infrastrukturnya masih tertinggal.
Tabel 7.2.
Perkembangan IPM menurut Kabupaten/Kota di DIY, 1999-2013
Kabupaten/Kota 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Kulonprogo
66,39 69,41 70,92 71,50 72,01 72,76 73,26 73,77 74,49 75,04 75,33 75,95
Bantul
65,83 68,41 71,50 71,95 71,96 72,78 73,38 73,75 74,53 75,05 75,51 76,01
Gunungkidul
63,58 67,10 68,86 69,27 69,44 69,68 70,00 70,17 70,45 70,84 71,11 71,64
Sleman
69,83 72,70 75,10 75,57 76,22 76,70 77,24 77,70 78,20 78,79 79,39 79,97
KotaYogyakarta
73,40 75,30 77,42 77,70 77,81 78,14 78,95 79,28 79,52 79,89 80,24 80,51
DIY
68,67 70,78 72,91 73,50 73,70 74,15 74,88 75,23 75,77 76,31 76,75 77,37
33
KEMISKINAN
Pengukuran kemiskinan di Indonesia menggunakan pendekatan ekonomi, garis kemiskinan
absolut merepresentasikan nilai kebutuhan miniimum makanan dan minuman yang diperlukan
untuk dapat hidup secara layak
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
ht
tp
DIY
Indonesia
Mar'02 Mar'03 Mar'04 Mar'05 Mar'06 Mar'07 Mar'08 Mar'09 Mar'10 Mar'11 Sep'11 Mar'12 Sep'12 Mar'13 Sep'13 Mar'14
K
123,90 137,13 148,25 160,69 196,41 200,86 208,66 228,24 240,28 265,75 273,68 274,66 284,55 297,39 317,93 327,27
103,01 106,80 114,67 130,81 148,52 156,35 169,93 182,71 195,41 217,92 226,77 231,86 241,98 256,56 275,79 286,14
K+D
113,00 127,09 134,37 148,48 170,72 184,97 194,83 211,98 244,26 249,63 257,91 260,17 270,11 283,45 303,84 313,45
130,50 138,80 143,46 150,80 174,29 187,94 204,90 222,12 232,99 253,02 263,59 267,41 277,38 289,04 308,83 318,51
96,51 105,89 108,73 117,26 130,58 146,84 161,83 179,84 192,35 213,40 223,18 229,23 240,44 253,27 275,78 286,10
K+D
108,89 118,55 122,78 129,11 152,00 166,70 182,64 200,26 211,73 233,74 243,73 248,71 259,52 271,63 292,95 302,74
34
Masih tingginya level kemiskinan di DIY dan lambatnya pengentasan kemiskinan salah
satunya disebebkan oleh heterogenitas karakteristik kemiskinan pada level kabupaten/kota
id
kemiskinan) di DIY ditetapkan sebesar Rp 113,- ribu per kapita per bulan. Nilai ini terus
meningkat menjadi Rp 313,- ribu di bulan Maret 2014. Secara umum, garis kemiskinan di
DIY selalu lebih tinggi dari garis kemiskinan pada level nasional.
Berdasarkan wilayah, nilai nominal garis kemiskinan juga menunjukkan perkembangan
yang semakin meningkat baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Peningkatan ini
terkait dengan kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga (inflasi) yang
terjadi setiap tahun. Tabel 8.1 menggambarkan garis kemiskinan yang memiliki pola
semakin meningkat, dan nilai nominal garis kemiskinan di daerah perkotaan selalu lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan. Secara umum, garis kemiskinan di DIY baik
di wilayah perkotaan maupun perdesaan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan garis
kemiskinan nasional. Faktor ini menjadi salah satu penyebab level kemiskinan (persentase
penduduk miskin) di DIY yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional,
karena ukuran kemiskinan sangat sensitif dengan garis kemiskinan yang digunakan.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
Perkotaan (K)
Perdesaan (D)
Tahun
Perkotaan (K)
Perdesaan (D)
Mar 2000
436,6
24,58
599,2
45,17
1.035,8
33,39
Mar 2009
311,5
14,25
274,3
22,60
585,8
17,23
Mar 2001
266,8
14,56
500,8
38,65
767,6
24,53
Mar 2010
308,4
13,98
268,9
21,95
577,3
16,83
Mar 2002
303,8
16,17
331,9
25,96
635,7
20,14
Mar 2011
304,3
13,16
256,6
21,82
560,9
16,08
Mar 2003
303,3
16,44
333,5
24,48
636,8
19,86
Sep 2011
298,9
12,88
265,3
22,57
564,2
16,14
Mar 2004
301,4
15,96
314,8
23,65
616,2
19,14
Mar 2012
305,9
13,13
259,4
21,76
565,3
16,05
Mar 2005
340,3
16,02
285,5
24,23
625,8
18,95
Sep 2012
306,5
13,10
255,6
21,29
562,1
15,88
Mar 2006
346,0
17,85
302,7
27,64
648,7
19,15
Mar 2013
315,5
13,43
234,7
19,29
550,2
15,43
Mar 2007
335,3
15,63
298,2
25,03
633,5
18,99
Sep 2013
325,5
13,73
209,7
17,62
535,2
15,03
Mar 2008
324,2
14,99
292,1
24,32
616,3
18,32
Mar 2014
333,0
13,81
211,8
17,36
544,9
15,00
35
Sebaran populasi penduduk miskin di DIY sebagian besar terdapat di kawasan perdesaan
terutama di Kabupaten Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Berdasarkan penyebarannya, selama lebih dari satu dekade terakhir tingkat kemiskinan
(persen) di daerah perdesaan selalu lebih dominan dibandingkan dengan kemiskinan di
daerah perkotaan. Hal ini terlihat dari persentase penduduk miskin di daerah perdesaaan
yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan, meskipun dari sisi jumlah
penduduk miskin (jiwa) di daerah perkotaan sudah melampaui daerah perdesaan sejak tahun
2005. Perkembangan kemiskinan di daerah perkotaan mencapai level tertinggi pada tahun
2000 sebesar 24,58 persen dan menurun secara bertahap hingga menjadi 13,73 persen di
bulan September 2013. Dalam rentang waktu 2000-2013 kemiskinan perkotaan mengalami
kenaikan sebanyak tiga kali, yakni tahun 2002/2003 sebagai akibat dari meningkatnya harga
pangan dunia di tahun 2002, pada tahun 2005/2006 sebagai dampak kenaikan harga BBM
di akhir tahun 2005 dan di tahun 2013 sebagai dampak kenaikan harga BBM di pertengahan
tahun 2013.
Tingkat kemiskinan daerah perdesaan mencapai level tertinggi pada tahun 2000
sebesar 45,17 persen dan menurun secara bertahap hingga mencapai 23,65 persen di tahun
2004. Dampak kenaikan harga BBM di tahun 2005 memiliki pengaruh yang cukup signifikan
dalam meningkatkan level kemiskinan di daerah perdesaan hingga mencapai 27,4 persen
di tahun 2006. Pada periode berikutnya, secara bertahap tingkat kemiskinan menunjukkan
pola penurunan hingga mencapai level 17,62 persen di tahun 2013.
://
yo
gy
ak
ht
tp
Tahun
Indeks
Kedalaman
Kemiskinan
(P1 , %)
Indeks
Keparahan
Kemiskinan
(P2 , %)
Sep'11 Mar'12
Sep'12 Mar'13
Sep'13 Mar'14
Perkotaan (K)
3,08
2,72
2,84
2,27
1,93
1,93
3,56
2,29
2,08
2,18
2,22
Perdesaan (D)
5,08
4,49
4,74
3,89
3,67
3,54
3,29
4,07
3,02
2,03
2,11
K+D
3,80
3,35
3,52
2,85
2,51
2,48
3,47
2,89
2,40
2,13
2,19
Perkotaan (K)
0,88
0,71
0,81
0,56
0,50
0,48
1,32
0,58
0,50
0,52
0,53
Perdesaan (D)
1,55
1,29
1,46
1,02
0,93
0,81
0,79
1,09
0,63
0,34
0,40
K+D
1,12
0,92
1,04
0,73
0,65
0,59
1,14
0,75
0,55
0,46
0,48
36
kemiskinan. Meskipun demikian, nilai kedua indeks sedikit meningkat di bulan Maret 2009
dan 2012. Penyebabnya adalah naiknya nilai kedua indeks di daerah perkotaan, sementara
di daerah perdesaan cenderung menurun. Selama periode tersebut, indeks kedalaman dan
keparahan kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih tinggi dari daerah perkotaan, tetapi
pada bulan Maret 2012, September 2013 dan maret 2014 nilai kedua indeks di daerah perdesaan
justru lebih rendah. Secara umum, fenomena tingginya nilai kedua indeks di daerah perdesaan
menjadi gambaran kemiskinan di perdesaan yang jauh lebih kompleks. Nilai indeks kedalaman
kemiskinan dan keparahan kemiskinan DIY pada bulan Maret 2014 masing-masing mencapai
2,19 dan 0,48. Nilai ini menurun cukup signifikan dibandingkan periode bulan yang sama di
tahun 2013, sehingga secara rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin mendekati garis
kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin menyempit.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) di DIY menurut Wilayah
2009
Kab/Kota
GK (Rp)
2010
2011
2012
2013
HC
HC
HC
HC
HC
HCI (%) GK (Rp)
HCI (%) GK (Rp)
HCI (%) GK (Rp)
HCI (%) GK (Rp)
HCI (%)
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
(Jiwa)
Kulonprogo
205.585
89,9
Bantul
224.373 158,5
Gunungkidul
186.232 163,7
Sleman
226.256 117,5
Yogyakarta
265.168
DIY
220.830 574,9
45,3
24,65 225.059
90,0
86,5
21,39
16,48
21,70
9,68
10,05 290.286
9,75 314.311
37,8
23,15 240.301
92,8
37,7
23,62 256.575
9,62 340.324
93,2
37,4
23,31 259.945
9,38 353.602
35,6
8,82
15,03
37
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
ht
tp
://
yo
gy
ak
Gambar 8.2.
25
UMP
98
Inflasi
17,20
14,98
8,70
8,31
7,99
2,93
2006
Sumber : BPS
2007
6,05
7,38
38
6,57
9,88
2008
2009
2010
7,32
3,88
4,31
2011
2012
93,69
94
10,52
10,4
2005
94,62
95
15
95,68
96
15,00
10
96,76
97
19,45
20
93
94,00
93,90
96,14
94,31
92,41
92
91
2013
90
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : BPS
Selain persoalan distribusi pendapatan antar penduduk yang semakin timpang, persoalan di
DIY juga diwarnai oleh ketimpangan pendapatan regional yang semakin meningkat
tahun 2013, 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima 18,47 persen dari total
pendapatan, sementara 20 persen penduduk golongan pendapatan tertinggi memperoleh
porsi sebesar 46,93 persen. Jika dihitung dengan rasio Kuznets maka total pendapatan
20 persen penduduk berberpendapatan tertinggi besarnya 2,5 kali lipat dari jumlah
pendapatan dari 40 persen penduduk golongan berpendapatan terendah. Fenomena ini
menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup lebar dan diperjelas oleh nilai koefisien
Gini pada bulan Maret 2013 yang sebesar 0,44 dan lebih meningkat dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 0,43. Peningkatan indeks ketimpangan
ini menggambarkan distribusi pendapatan antar penduduk yang bergerak semakin tidak
merata, meskipun secara level masih termasuk dalam kategori ketimpangan sedang.
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Tabel 8.5.
://
0,45
0,415
0,40
0,390
0,394
0,435
0,439
0,437
0,441
0,470
0,443
0,443
0,452
0,472
0,442
ht
0,431
tp
0,50
0,35
0,30
2009
2010
2011
2012
2013
40 % Berpendapatan Terendah
Golongan Pendapatan
18,87
18,79
16,46
15,29
18,47
40 % Berpendapatan Menengah
36,48
35,20
34,22
33,15
34,60
20 % Berpendapatan Tertinggi
44,65
46,01
49,32
51,56
46,93
Rasio Kuznets
2,37
2,45
3,00
3,37
2,54
Gini Rasio
0,38
0,41
0,40
0,43
0,44
0,25
0,20
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahukah Anda ?
Lambatnya penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin di DIY terjadi
karena pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tidak dikompensasi oleh
perbaikan distribusi pendapatan penduduk ke arah yang lebih merata
39
PERTANIAN
Pemanfaatan lahan pertanian di DIY sebagian besar digunakan untuk budidaya komoditas
tanaman bahan makanan, khususnya padi, palawija dan hortikultura
Tabel 9.1.
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
PENGGUNAAN LAHAN
Faktor penting yang menopang kelangsungan dan keberlanjutan budidaya komoditas
pertanian adalah ketersediaan lahan. Sampai tahun 2013, pemanfaatan lahan di DIY sebagian
besar digunakan untuk lahan pertanian dengan luas 240.066 hektar atau 75,36 persen.
Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah seluas 56.327 hektar (17,69 persen) dan lahan
bukan sawah seluas 183.739 hektar (52,72 persen). Dibandingkan dengan tahun 2012, lahan
pertanian sawah berkurang sebesar 37 hektar dan lahan bukan sawah berkurang sebesar
139 hektar. Lahan pertanian tersebut berubah status penggunaannya menjadi lahan bukan
pertanian seperti pemukiman, pertokoan, maupun infrastruktur yang lain. Pada tahun 2013,
lahan yang peruntukannya bukan untuk lahan pertanian mencapai 78.514 hektar atau 24,64
persen dari luas wilayah DIY.
Berdasarkan wilayahnya, distribusi lahan sawah yang terbesar terdapat di Kabupaten
Sleman dan Bantul dengan luas masing masing mencapai 22,62 ribu hektar dan 15,47 ribu
hektar. Untuk lahan bukan sawah, distribusi terbesar terdapat di Kabupaten Gunungkidul
dengan luas mencapai 117,83 ribu hektar. Sebagai catatan, sekitar 79 persen wilayah
Gunungkidul merupakan lahan pertanian bukan sawah. Sementara, area pertanian terkecil
terdapat di Kota Yogyakarta dengan luas 8,06 persen dari seluruh wilayah.
Luas Lahan Pertanian dan Bukan Pertanian di DIY, 2013 (Ha)
Lahan Pertanian
Sawah
Lahan Bukan
Pertanian
Bukan Sawah
Jumlah
ak
Kabupaten/Kota
10.297 (17,56)
35.027 (59,75)
13.303 (22,69)
58.627
15.471 (30,52)
14.125 (27,87)
21.089 (41,61)
50.685
(5,30)
117.829 (79,33)
22.842 (15,38)
148.536
22.623 (39,36)
16.567 (28,82)
18.292 (31,82)
57.482
7.865
Yogyakarta
DIY
71
(2,18)
191
56.327 (17,68)
Tabel 9.2.
2.988 (91,94)
3.250
78.514 (24,64)
318.580
ht
(5,88)
183.739 (57,67)
://
Sleman
tp
Gunungkidul
yo
gy
Kulonprogo
Bantul
Persentase Luas
2008
2009
76,60 76,80
Jumlah
2011
76,31 76,21
2012
2013
17,92 17,80
17,75 17,73
15,04 14,91
14,89 14,85
2,88
2,89
2,86
2,88
2,93
2,95
9.401
58,68 59,00
58,56 58,48
30,15 30,06
29,94 29,77
0,36
0,34
2010
Luas
2013
(Ha)
23,40 23,21
100
100
0,32
0,32
0,25
0,29
922
28,30 28,39
23,71 23,79
100
100
100
100 318.580
40
Perkembangan produksi padi DIY selama dua dekade terakhir menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan, meskipun terjadi sedikit penurunan di tahun 2013 sebagai akibat dari
penurunan produktivitas
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Luas
Produktivitas Produksi
Panen (Ha)
(Ku/Ha)
(Ton)
Tahun
Luas
Produktivitas Produksi
Panen (Ha)
(Ku/Ha)
(Ton)
Tahun
Luas
Produktivitas Produksi
Panen (Ha)
(Ku/Ha)
(Ton)
1993
136.534
47,21
644.642
2000
137.849
47,46
654.289
2007
133.369
53,18
709.294
1994
135.838
47,36
643.266
2001
137.259
48,22
661.802
2008
140.167
56,95
798.232
1995
135.346
47,44
642.120
2002
134.848
48,47
653.577
2009
145.424
57,62
837.930
1996
137.402
48,12
661.179
2003
130.681
49,91
652.280
2010
147.058
56,02
823.887
1997
134.204
48,22
647.198
2004
132.869
53,05
692.998
2011
150.827
55,89
842.934
1998
137.771
45,12
621.605
2005
130.973
51,21
670.703
2012
152.912
61,88
946.224
1999
134.570
45,51
612.393
2006
132.374
53,5
708.163
2013
159.266
57,88
921.824
Sumber : BPS
41
Produksi padi di DIY masih dipengaruhi oleh pola musiman, produksi mencapai puncaknya
selama sub round pertama (Januari-April) setiap tahun bersamaan dengan musim penghujan
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
tanaman padi sebagai implementasi dari kebijakan swasembada beras secara nasional.
Kebijakan ini mampu mendorong kenaikan produktivitas hingga mencapai level 61,88
kuintal/hektar di tahun 2012. Angka produktivitas ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun 1993 yang sebesar 42,21 kuintal/hektar. Dari sisi luas panen, terjadi peningkatan
dari 136,53 ribu hektar di tahun 1993 menjadi 159,27 ribu hektar di tahun 2013. Namun
demikian, di tahun 2013 terjadi sedikit penurunan produksi hingga mencapai 921.824 ton
karena penurunan produktivitas akibat kondisi cuaca yang kurang mendukung, meskipun
dari sisi luas panen terjadi peningkatan. Program kebijakan pemerintah melalui pemberian
subsidi atau bantuan benih, pupuk dan obat-obatan, pemberian kredit usaha tani, kebijakan
menstabilkan harga gabah di tingkat padi melalui program Lembaga Usaha Ekonomi
Perdesaan (LUEP) turut menunjang peningkatatan produksi padi. Sebaliknya, fenomena alih
fungsi lahan sawah memberi andil dalam mengurangi luas tanam maupun jumlah petani
padi yang tentunya mempengaruhi jumlah produksi padi.
Produksi tanaman padi juga sangat ditentukan oleh faktor musim dan kondisi cuaca.
Faktor musim dan cuaca menentukan curah hujan dan supplai air yang menjadi unsur
terpenting dalam budidaya tanaman padi. Secara umum, masa penanaman padi secara
masal di DIY dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember atau pada saat
memasuki musim penghujan. Akibatnya, panen raya tanaman padi setiap tahun akan
berlangsung selama bulan Januari sampai dengan bulan Maret.
Kondisi tersebut tercermin dalam Gambar 9.1 yang memperlihatkan bahwa luas panen
pada setiap subround I (Januari s.d April) menjadi yang tertinggi. Rata-rata luas panen
tanaman padi di bulan Januari-April dua kali lipat luas panen bulan Mei-Agustus, sementara
luas panen bulan Mei-Agustus rata-rata dua kali lipat luas panen bulan September-Desember.
Fenomena ini berkaitan dengan curah hujan dan supplai air yang semakin menurun dan
sebagai penggantinya petani mulai mengusahakan tanaman palawija.
://
Gambar 9.1.
ht
tp
87,09
85,42
90
90,54
88,98
85,56
88,63
70,05
60
44,86
50
42,37
40,90
48,45
44,58
44,44
42,32
40
30
18,46
20
19,18
15,96
13,84
22,19
17,79
17,42
10
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
Sep-Des
Mei-Ags
Jan-Apr
2013
Sumber : BPS
42
Jagung dan ubi kayu menjadi komoditas palawija yang potensial dibudidayakan di wilayah
DIY pada saat musim kemarau
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
tp
Tahun
Luas
Panen
(Ha)
ht
Jagung
://
Luas Panen (Hektar) dan Produksi (Ton) Tanaman Palawija di DIY, 2000-2013
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
65.953
71.374
62.309
65.062
67.645
72.714
70.270
70.216
71.164
74.563
86.837
69.768
73.766
70.772
Kedelai
Prod
(Ton)
Luas
Panen
(Ha)
173.536
187.577
170.753
204.129
211.730
248.960
223.620
258.187
285.372
314.937
345.576
291.596
336.608
289.580
54.248
45.405
42.937
36.327
33.552
33.297
33.419
27.628
32.514
31.666
33.572
28.988
28.554
23.290
Kacang Tanah
Prod
(Ton)
Luas
Panen
(Ha)
Prod
(Ton)
68.102
50.202
50.981
35.562
35.729
34.670
39.545
29.692
34.998
40.278
38.244
32.795
36.033
31.677
54.355
58.869
61.713
69.803
68.010
70.362
68.031
66.527
64.087
62.539
58.780
59.533
60.725
65.680
53.918
50.552
58.482
57.767
61.048
60.324
66.359
56.667
63.240
65.893
58.918
64.084
62.901
70.834
Kacang Hijau
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Luas
Prod
Panen
(Ton)
(Ha)
Luas
Panen
(Ha)
Luas
Produksi
Prod
Panen
(Ton)
(Ton)
(Ha)
870
727
752
876
942
967
967
874
769
745
1.024
614
501
552
55.901
58.221
59.182
59.270
59.521
60.695
60.926
61.237
62.543
63.275
62.563
62.414
61.815
58.777
701.314
736.316
750.205
764.409
817.398
920.909
1.016.270
976.610
892.907
1.047.684
1.114.665
867.596
866.357
1.013.565
341
293
462
563
617
651
563
571
514
473
610
371
300
318
751
764
741
699
602
617
611
515
610
574
599
413
440
419
7.724
7.906
7.100
7.578
6.439
6.522
6.236
5.496
7.656
6.687
6.484
4.584
5.047
4.951
Sumber : BPS
43
Cabai merah dan bawang merah menjadi komoditas sayuran semusim unggulan yang sangat
potensial dibudidayakan di sepanjang pesisir Pantai Selatan Kulonprogo dan Bantul
Tabel 9.5.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Luas Panen (Ha), Produktivitas (Ku/Ha) dan Produksi (Kuintal) Beberapa Tanaman Sayuran di DIY, 2010-2013
2010
Komoditas
2011
2012
2013
Luas Produkt
Luas Produkt
Luas Produkt
Luas Produkt
Produksi
Produksi
Produksi
Produksi
ivitas
Panen ivitas
Panen ivitas
Panen ivitas
Panen
(Kw)
(Kw)
(Kw)
(Kw)
(Ha) (Kw/Ha)
(Ha) (Kw/Ha)
(Ha) (Kw/Ha)
(Ha) (Kw/Ha)
Bawang Merah
2.027
893 107,96
96.406
Cabe Besar
2.239
60,80 171.335
Cabe Rawit
613
33,72
20.673
746
28,98
21.620
708
32,76
23.191
889
36,32
32.288
Kacang Panjang
677
44,82
30.342
557
38,88
21.655
451
41,28
18.616
462
52,62
24.311
Sawi
613 110,22
67.562
635 112,72
71.580
604 109,32
66.029
525 122,80
64.470
Terung
160 109,59
17.535
237
13.146
203
11.052
393
36.507
55,47
54,44
92,89
Kangkung
377
74,51
28.092
335
78,65
26.347
275
77,11
21.205
321
97,50
31.296
Bayam
566
43,46
24.600
396
36,43
14.425
323
38,91
12.568
376
41,28
15.521
Sumber : BPS
44
Beberapa komoditas perkebunan unggulan DIY seperti kelapa, tebu, tembakau rakyat dan
kakao mengalami penurunan produksi selama tahun 2013
Tabel 9.6.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Komoditas Perkebunan di DIY, 2011-2013
2011
Komoditas
Luas
Tanaman
(ha)
2012
Luas
Rata-rata
Luas
Produksi
Panen
Produksi Tanaman
(ton)
(ha)
(ton/ha)
(ha)
2013
Luas
Rata-rata
Luas
Produksi
Panen
Produksi Tanaman
(ton)
(ha)
(ton/ha)
(ha)
Luas
Rata-rata
Produksi
Panen
Produksi
(ton)
(ha)
(ton/ha)
Kelapa
42.904 33.467
56.149
1,68
43.371 32.314
56.600
1,75
41.591 34.207
55.753
1,63
Jambu mete
19.349
6.427
577
0,09
19.197
6.161
484
0,08
15.015
4.343
261
0,06
Coklat
4.693
3.078
1.143
0,37
4.811
2.902
1.367
0,47
4.812
2.859
1.124
0,39
Tebu rakyat
3.621
3.576
15.812
4,42
3.613
3.613
16.928
4,69
3.585
3.604
15.961
4,43
Cengkeh
2.818
1.656
395
0,24
3.241
1.813
667
0,37
3.058
1.569
364
0,23
Jarak pagar
1.921
319
70
0,22
1.779
1.004
793
0,79
1.597
243
43
0,18
Tembakau
2.155
2.163
1.268
0,59
2.210
2.210
1.384
0,63
1.293
1.235
560
0,45
Kopi
1.407
867
362
0,42
1.859
1.386
77
0,06
1.726
1.037
736
0,71
Sumber : BPS
45
Sapi menjadi komoditas ternak besar unggulan yang banyak dibudidayakan di wilayah
Gunungkidul, namun jumlah populasinya mengalami penurunan yang cukup signifikan selama
tahun 2013
id
Jenis Ternak
2010
2011
2012
2013
1.222
1.360
1.508
1.626
1.776
283.043
290.949
385.370
358.387
272.794
Sapi perah
5.495
3.466
3.888
3.934
4.326
Kerbau
4.312
4.277
1.238
1.143
Kambing
308.353
331.147
343.647
352.223
369.730
Domba
132.872
136.657
147.773
151.772
156.860
12.038
12.695
13.056
12.782
13.579
Babi
980
ak
Sapi
yo
gy
Kuda
2009
Ayam kampung
Ayam ras
498.237
516.525
tp
Sumber : BPS
://
Itik
542.209
ar
ta
.b
ps
.g
o.
Tabel 9.7.
524.887
ht
Pada tahun 2013, jumlah populasi sapi perah di DIY mencapai 4.326 ekor dan meningkat
sebesar 9,96 persen dibandingkan dengan populasi pada tahun 2012. Populasi ternak besar
lainnya yang semakin bertambah adalah kuda dengan jumlah populasi 1.776 ekor dan
meningkat 9,23 persen dari tahun 2012, sementara populasi kerbau dalam beberapa tahun
terakhir justru semakin berkurang.
Populasi ternak kecil terutama kambing dan domba dalam tiga tahun terakhir juga
semakin meningkat dengan jumlah masing-masing sebanyak 369.730 ekor dan 156.860
ekor di tahun 2013. Dibandingkan dengan tahun 2012, populasi kedua jenis ternak
tersebut masing-masing meningkat sebesar 4,97 persen dan 3,35 persen. Demikian pula
dengan populasi babi, setelah menurun di tahun 2012 hingga menjadi 12.782 ekor jumlah
populasi di tahun 2013 bertambah menjadi 13.579 ekor. Dari tiga jenis unggas yang banyak
dibudidayakan di DIY, ayam ras memiliki populasi terbesar dengan jumlah mencapai 9,32
juta ekor. Sementara populasi ayam kampung dan itik masing-masing mencapai 3,27 juta
ekor dan 524,89 ribu ekor. Populasi ayam ras mengalami peningkatan dibandingkan dengan
tahun 2012, sementara populasi ayam kampung (bukan ras) dan unggas justru menurun
sebesar 19,35 persen dan 3,19 persen.
46
Produksi daging sapi dan domba selama tahun 2013 mengalami penurunan, namun produksi
daging kambing dan unggas justru meningkat
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Produksi daging dari beberapa komoditas ternak dan unggas selama dua dekade
terakhir terlihat cukup berfluktuasi (Grafik 9.3). Produksi daging sapi mencapai puncaknya
pada tahun 2012 sebesar 8.583 ton dan meningkat 12,10 persen dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, meskipun di tahun 2013 terjadi sedikit penurunan. Peningkatan
produksi daging memiliki korelasi positif dengan jumlah ternak yang dipotong, sehingga
alasan jumlah populasi ternak sapi yang berkurang cukup signifikan disebabkan karena
peningkatan jumlah ternak yang dipotong.
Pola yang lebih berfluktuasi terjadi pada produksi komoditas kambing dan domba.
Meskipun tren produksi selama dua dekade terakhir cenderung menurun, jumlah produksi
daging kambing di tahun 2013 sedikit mengalami peningkatan menjadi 1.490 ton.
Sementara produksi daging domba di tahun 2013 menurun 0,17 persen dibandingkan
dengan tahun 2012. Hal yang sebaliknya terjadi pada produksi daging unggas. Produksi
daging unggas yang terdiri dari daging ayam ras, daging ayam bukan ras dan daging itik
selama dua dekade terakhir terakhir menunjukkan tren yang semakin meningkat, meskipun
terdapat pola yang sedikit berfluktuasi. Produksi daging unggas mencapai puncaknya pada
tahun 2007 dan 2012 dengan jumlah produksi masing-masing mencapai 36.331 ton dan
42.781 ton. Sementara produksi daging unggas di tahun 2013 relatif stabil.
Gambar 9.2.
Produksi Daging Sapi, Kambing, Domba dan Unggas di DIY, 1995-2013 (Ton)
Sapi
Kambing
2500
2000
8.000
7.000
1500
6.000
yo
gy
5.000
Domba
ak
9.000
1000
4.000
3.000
500
2.000
1.000
Unggas
40.000
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0
ht
tp
://
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
45.000
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
10.000
PRODUKSI PERIKANAN
DIY memiliki sebagian wilayah yang berbatasan langsung dengan lautan dan dilalui
oleh beberapa jalur sungai besar, sehingga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan
sebagai kawasan budidaya perikanan, baik perikanan laut maupun perikanan darat. Namun,
belum dikelolanya potensi sumber daya perikanan ini secara optimal menyebabkan
produktivitas perikanan laut dan darat dari tahun ke tahun masih jauh dari yang diharapkan.
Produksi perikanan darat selama periode 2004-2013 menunjukkan tren yang semakin
meningkat dengan rata-rata pertumbuhan di atas 27 persen per tahun. Pada tahun 2004,
produksi perikanan darat mencapai 7.629 ton dan meningkat secara signifikan menjadi
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
47
Produksi ikan di DIY masih didominasi oleh hasil perikanan darat terutama budidaya kolam,
sementara produksi perikanan laut relatif kecil dan belum dikelola secara optimal
tp
Gambar 9.3.
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
59.503 ton pada tahun 2013. Sebanyak 95,44 persen produksi perikanan darat merupakan
hasil budidaya kolam. Sedangkan sisanya dihasilkan dari budidaya di perairan umum (2,69
persen) tambak (1,37 persen); budidaya keramba (0,07 persen); jaring apung (0,03 persen);
sawah (0,25 persen) dan telaga (0,16 persen). Iklim kemarau basah selama tahun 2012 cukup
mendukung budidaya perikanan di kolam, sehingga pada terjadi kenaikan produksi yang
signifikan. Budidaya ikan darat masih terpusat di Kabupaten Sleman dengan pangsa produksi
di atas 43 persen. Sementara, pangsa produksi di Kabupaten Kulonprogo dan Bantul masingmasing mencapai 24,50 persen dan 20,29 persen. Budidaya perikanan di tambak yang mulai
marak dalam beberapa tahun terakhir masih terpusat di Kabupaten Bantul.
Berbeda dengan produksi perikanan darat yang menunjukkan kenaikan secara tajam,
produksi perikanan laut di DIY sampai saat ini masih belum menunjukkan peningkatan
secara signifikan, karena hanya dihasilkan dari hasil penangkapan. Sementara, produksi
yang dihasilkan dari hasil budidaya perikanan laut masih sangat sedikit. Selama periode
2004-2013, produksi perikanan laut lebih berfluktuasi dan sangat dipengaruhi oleh faktor
cuaca dan iklim. Produksi perikanan laut mencapai puncaknya di tahun 2009 dengan total
produksi sebesar 4.238 ton dengan rata-rata pertumbuhan produksi per tahunnya mencapai
16,38 persen. Dibandingkan dengan produksi tahun 2012 yang sebesar 2.568 ton, maka
produksi tahun 2013 meningkat sebesar 6,03 persen menjadi 2.723 ton.
Sampai saat ini, produksi perikanan laut DIY dihasilkan oleh tiga wilayah yakni
Kabupaten Kulonprogo, Bantul dan Gunungkidul. Sementara, Kota Yogyakarta dan Sleman
tidak menghasilkan produksi karena tidak memiliki wilayah yang berbatasan dengan laut.
Penyumbang produksi perikanan laut yang terbesar adalah Kabupaten Gunungkidul dengan
andil produksi sebesar 64 persen dan diikuti oleh Kabupaten Bantul dan Kulonprogo dengan
andil produksi masing-masing sebesar 20,03 persen dan 15,97 persen. Beberapa jenis ikan
tangkapan yang cukup dominan adalah manyung, kuniran, tiga waja, cakalang, layur dan
rumput laut.
ht
Perikanan Darat
60.000
Perikanan Laut
50.247
50.000
44.542
39.033
40.000
30.000
20.105
20.000
10.000
0
2003
7.629
10.186 10.472
12.546
15.613
1.444
1.773
1.720
2.462
1.939
2004
2005
2006
2007
2008
4.238
2.525
3.953
2.568
2.723
2009
2010
2011
2012
2013
2014
48
Rendahnya produktivitas perikanan laut DIY dipengaruhi oleh faktor cuaca dan gelombang
yang besar serta armada dan alat penangkapan yang masih tradisional
.g
o.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
id
Gambar 9.4.
Tahukah Anda ?
Produksi perikanan laut di DIY sebagian besar disumbang oleh hasil
penangkapan ikan di Kabupaten Gunungkidul
49
10
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
PERTAMBANGAN
Sektor pertambangan dan penggalian mencakup kegiatan pertambangan migas dan
non migas serta kegiatan penggalian batu, pasir dan tanah. DIY tidak memiliki pertambangan
migas atau non migas, namun memiliki potensi sebagai produsen batu, pasir atau bahan
galian yang tergolong dalam golongan C. Potensi barang galian golongan C tersebut
disebabkan oleh sebagian wilayah DIY yang terletak di lereng Gunung Merapi, gunung
berapi cukup aktif dan senantiasa mengeluarkan material dalam bentuk pasir maupun
bebatuan lainnya.
Nilai tambah yang diciptakan oleh sektor pertambangan dan penggalian di DIY selama
periode 2000-2013 semakin meningkat hingga mencapai Rp 416,53 milyar. Namun demikian,
nilai andil terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY justru semakin menurun
dari 0,87 persen di tahun 2000 menjadi 0,65 persen di 2013. Penurunan ini secara umum
disebabkan oleh laju pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian yang relatif lebih
lambat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor lainnya. Laju pertumbuhan sektor ini
mencapai puncaknya di tahun 2011 pasca erupsi Merapi di akhir tahun 2010 dengan laju
sebesar 11,96 persen. Namun, di tahun 2012 pertumbuhannya sedikit melambat dengan
laju sebesar 1,98 persen dan kembali menguat menjadi 4,92 persen di tahun 2013.
Kendati andil terhadap PDRB relatif kecil, sektor ini menjadi tumpuan hidup bagi
sebagian penduduk terutama yang tinggal di lereng Gunung Merapi dan daerah yang
menjadi aliran materialnya. Hal ini terkait dengan kualitas bahan galian yang dihasilkan
dikenal baik untuk mendukung kegiatan produksi sektor lainnya, seperti konstruksi dan
industri pendukung konstruksi seperti ubin, bus beton, dan lainnya.
Tabel 10.1.
ht
tp
://
yo
gy
LISTRIK
Sama seperti sektor pertambangan dan penggalian, sumbangan nilai tambah sektor
listrik, gas dan air bersih dalam struktur PDRB DIY juga tidak terlalu besar. Sektor ini hanya
mencakup subsektor listrik dan subsektor air bersih karena tidak tersedianya produsen gas
di wilayah DIY. Pada tahun 2013, nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor ini mencapai
Nilai Tambah Bruto ADHB dan ADHK 2000, Andil dan Pertumbuhan Sub Sektor Penggalian, Listrik dan Air
Bersih di DIY, 2000-2013
Sektor/Sub Sektor
Penggalian NTB ADHB (Rp Milyar)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
117,39 130,22 152,57 170,10 182,52 198,34 218,17 258,76 280,11 293,98 304,66 361,79 379,95 416,53
NTB ADHK 2000 (Rp Milyar) 138,36 118,13 118,32 119,43 120,44 122,33 126,14 138,36 138,33 138,75 139,97 156,71 159,81 167,67
Andil (Persen)
0,87
Pertumbuhan (Persen)
Listrik
0,87
0,87
0,83
0,78
0,74
0,79
0,74
0,71
0,67
0,70
0,67
0,65
0,16
0,94
0,84
1,57
3,11
9,69
-0,02
0,30
0,88
11,96
1,98
4,92
90,33 121,10 167,43 215,75 250,28 310,80 355,81 398,57 461,85 531,45 576,25 642,76 690,77 756,43
90,33 101,03 117,53 122,62 131,78 140,03 140,19 152,78 162,22 172,77 179,87 187,99 200,98 214,40
Andil (Persen)
0,67
Pertumbuhan (Persen)
Air Bersih
0,86
-14,62
0,80
0,96
1,10
1,14
1,23
1,21
1,21
1,21
1,28
1,26
1,24
1,21
1,19
11,86
16,33
4,33
7,47
6,26
0,11
8,98
6,18
6,51
4,11
4,52
6,91
6,67
9,36
10,58
13,96
15,95
17,82
19,33
21,19
24,80
26,48
28,87
30,82
33,15
36,80
40,27
9,36
9,67
11,40
12,76
13,07
13,09
12,68
12,99
12,71
12,83
13,16
13,25
14,56
15,24
Andil (Persen)
0,99
Pertumbuhan (Persen)
1,02
1,14
1,10
1,02
0,87
0,74
0,71
0,65
0,65
0,64
0,59
0,59
0,58
3,32
17,89
11,92
2,43
0,15
-3,15
2,50
-2,14
0,88
2,58
0,71
9,89
4,70
50
Kebutuhan konsumsi energi listrik semakin meningkat pesar seiring dengan pertumbuhan rumah
tangga dan aktivitas perekonomian
10
tp
Gambar 10.1.
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Rp 796,90 milyar dengan rincian subsektor listrik sebesar Rp 756,43 milyar dan sub sektor air
bersih Rp 40,27 milyar. Dari sisi kontribusi, sektor listrik dan air hanya memiliki andil sebesar
1,77 persen terhadap PDRB DIY tahun 2013 yang terdiri dari 1,19 persen sub sektor listrik dan
0,58 persen sub sektor air bersih. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, nilai tambah
subsektor listrik selama tahun 2013 mampu tumbuh sebesar 6,67 persen dan nilai tambah
subsektor air bersih mampu tumbuh 4,70 persen.
Energi listrik yang didistribusikan oleh PT PLN Divisi Regional DIY tidak diproduksi/
dibangkitkan di wilayah DIY, tetapi berasal dari pembangkit listrik di provinsi lain terutama
Jawa Tengah. Setiap tahun, volume daya yang didistribusikan semakin meningkat seiring
dengan pertumbuhan jumlah rumah tangga maupun perkembangan kegiatan ekonomi
yang membutuhkan listrik sebagai sumber energinya. Pada tahun 2013, jumlah pelanggan
listrik di DIY tercatat sebanyak 935,82 ribu dan meningkat 4,93 persen dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Sementara, daya listrik yang terpasang dan dan terjual selama tahun
2013 masing-masing 1234,193 juta Kwh dan 2046,22 juta Kwh. Dibandingkan dengan tahun
2012, jumlah daya listrik yang terjual meningkat sebesar 0,12 persen.
Secara umum, perkembangan jumlah energi listrik yang terpasang (Kwh) selama tahun
1994-2013 juga memiliki pola semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
pelanggan. Jumlah listrik terpasang (Kwh) maupun jumlah pelanggan sempat mengalami
penurunan di tahun 2006 akibat terganggunya jaringan listrik sebagai dampak bencana
gempa bumi pada bulan Mei 2006, namun dalam tujuh tahun terakhir polanya terus
meningkat. Pola perkembangan daya listrik yang terjual hampir sama dengan daya listrik
yang terjual, namun dari sisi kuantitas daya jauh lebih besar.
Komposisi pelanggan pengguna layanan listrik dikategorikan menjadi beberapa jenis,
yakni rumah tangga, usaha, industri dan umum (pemerintah, kegiatan sosial, rumah sakit,
lembaga pendidikan, tempat ibadah dan lainnya). Sampai dengan tahun 2013, jumlah
terbesar pelanggan listrik di DIY adalah kelompok rumah tangga dengan proporsi mencapai
ht
Jumlah Pelanggan (000 unit), Daya Listrik Terpasang dan Terjual (Juta Kwh) di DIY, 1994-2013
2500
Daya Terpasang (juta Kwh)
Daya Terjual (juta Kwh)
2000
1500
1000
500
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
51
10
Sampai dengan tahun 2013 rumah tangga menjadi pelanggan utama energi listrik PLN dengan
proporsi 92,41 persen dengan proporsi jumlah energi listrik yang dikonsumsi sebesar 55,77 persen
92,41 persen dan sedikit menurun dibandingkan dengan komposisi tahun 2012 yang
sebesar 92,51 persen. Meskipun mendominasi dari sisi jumlah pelanggan, jumlah daya
(energi) listrik yang dikonsumsi oleh rumah tangga hanya sebesar 55,77 persen dari total
daya listrik yang terjual. Konsumen/pelanggan terbanyak kedua adalah kegiatan usaha
yang mencakup perdagangan, hotel, restoran, perkantoran dan lainnya dengan proporsi
sebesar 4,16 persen. Total daya listrik yang dikonsumsi kegiatan usaha selama tahun 2012
mencapai 19,95 persen dan dalam beberapa tahun terakhir proporsinya semakin meningkat.
Pelanggan dari kelompok umum mencapai 3,39 persen dengan total konsumsi mencapai
14,07 persen. Jumlah pelanggan dari kelompok industri relatif kecil hanya 0,05 persen,
tetapi kelompok ini mengkonsumsi daya listrik sebesar 10,21 persen dari total daya listrik
yang terjual di wilayah DIY.
id
Gambar 10.2.
.g
o.
Distribusi Pelanggan dan Daya Listrik Terjual menurut Jenis Pelanggan di DIY, 2010-2013
Pelanggan
ar
ta
.b
ps
Listrik Terjual
Rumah Tangga
4,14
92,41
19,95
Usaha
55,77
0,05
3,39
10,21
Industri
14,07
yo
gy
ak
Umum
ht
tp
://
AIR BERSIH
Kebutuhan pokok penduduk mencakup tersedianya air bersih, baik untuk konsumsi
maupun keperluan sehari-hari. Permasalahannya adalah tidak semua penduduk mampu
menyediakan dan memenuhi kebutuhan air sendiri dengan berbagai pertimbangan dan
alasan, sehingga membutuhkan peran pemerintah maupun swasta untuk memproduksinya.
Dari enam unit perusahaan air bersih yang beroperasi di DIY, lima diantaranya berstatus
sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau sebagian besar dari sahamnya dimiliki oleh
pemerintah daerah dan hanya satu yang berstatus perusahaan swasta.
52
10
Belum efesiennya perusahaan air minum di DIY dipengaruhi oleh masih besarnya proporsi
air bersih yang susut dalam proses distribusi
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Potensi kapasitas produksi air bersih di DIY pada tahun 2013 tercatat 2.500 liter/detik,
namun baru efektif digunakan sebesar 1.789 liter/detik atau 71,56 persen. Dibandingkan
dengan tahun 2012, kapasitas produksi potensial maupun kapasitas produksi efektif
mengalami penurunan sebesar 45,37 persen dan 12,09 persen. Sumber air bersih yang
selama ini diolah berasal dari sungai, waduk, mata air, serta air tanah dan lainnya (air hujan,
dan sebagainya). Dari keempat sumber air minum tersebut, sebanyak 60,99 persen atau
sebesar 26.409 ribu m3 diantaranya berasal dari air tanah dan lainnya. Sumber dari mata air
dan sungai masing-masing mencapai 8.506 ribu m3 atau 19,64 persen dan 7.770 ribu m3 atau
17,94 persen. Sementara, air yang diolah dari sumber waduk mencapai 619 ribu m3 atau
sebesar 1,43 persen.
Berdasarkan data dari perusahaan air minum, volume air bersih yang terbesar selama
tahun 2013 disalurkan ke konsumen rumah tangga dengan jumlah mencapai 18.234 m3 atau
69,65 persen dari total volume air yang disalurkan. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya
konsumsi air bersih oleh rumah tangga turun sebesar 12,51 persen. Instansi pemerintah
mengkonsumsi air bersih dengan volume mencapai 942 ribu m3 atau 3,60 persen. Kelompok
niaga dan industri serta institusi sosial mengkonsumsi air bersih dengan porsi masing-masing
sebesar 1,77 persen dan 0,55 persen. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,
konsumsi kelompok niaga dan jasa cenderung menurun tetapi kelompok institusi sosial justru
meningkat. Hal yang perlu mendapat perhatian serius dalam persoalan distribusi air bersih
adalah berkurangnya volume air bersih (susut) akibat kualitas infrastruktur penyaluran air
yang semakin memburuk karena faktor rusak maupun pemakaian illegal. Volume air bersih
yang susut pada tahun 2013 sebesar 21,81 persen dan cenderung menurun dibandingkan
dengan tahun 2012.
Nilai produksi atau pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan air bersih dari tahun
ke tahun terus meningkat sebagai akibat dari kenaikan volume maupun kenaikan harga.
Pada tahun 2012, besarnya nilai produksi air bersih yang tersalurkan mencapai 83,49 milyar
rupiah dan menurun sebesar 3,17 persen menjadi 80,48 milyar rupiah di tahun 2013 akibat
berkurangnya volume aier yang terjual. Dari total pendapatan tahun 2013, 83,31 persennya
berasal dari konsumen rumah tangga sebagai pengguna terbesar. Sementara, nilai volume
air bersih dari pengguna niaga dan industri serta jasa sedikit meningkat akibat kenaikan
harga, meskipun volume penjualannya turun.
Gambar 10.2.
Tabel 10.2.
Sumber Air Bersih yang Diolah Peru- Distribusi Penyaluran Air Bersih menurut Jenis Pengguna di DIY,
sahaan Air Bersih di DIY, 2013 (%)
2010-2013 (000 m3)
Pengguna
Rumah Tangga
60,99
Instansi Pemerintah
17,94
19,64
1,43
Sungai
Waduk
Mata Air
Air Tanah/Lainnya
2010
Jumlah
2011
%
19.548 49,93
Jumlah
2012
%
19.597 49,93
Jumlah
2013
%
20.841 51,98
Jumlah
18.234 69,65
1.040
2,66
1.080
2,66
1.043
2,6
942
3,60
837
2,14
691
2,14
708
1,77
684
2,61
Sosial
720
1,84
720
1,84
894
2,23
464
1,77
Lainnya
321
0,82
302
0,82
185
0,46
145
0,55
Susut
16.683 42,61
17.388 42,61
13.722 40,96
Jumlah
39.149
39.778
37.393
100
100
100
5.710 21,81
26.179
100
53
11
INDUSTRI PENGOLAHAN
Populasi usaha industri pengolahan di DIY didominasi oleh industri kecil dan mikro
denganjumlah 90,62 persen.
Sektor industri pengolahan selama tahun 2012 memberikan sumbangan nilai tambah
sebesar 13,35 persen terhadap perekonomian DIY. Struktur usaha industri (manufacture) di
DIY berdasarkan hasil Sensus Ekonomi 2006 didominasi oleh industri berskala mikro (90,62
%) dan industri kecil (8,49 %). Sementara, populasi usaha yang berskala menengah dan
besar hanya mencapai 0,89 persen.
Gambar 11.1.
Distribusi Populasi Perusahaa Industri Besar Sedang di DIY menurut Golongan Industri, 2013 (%)
Lainnya
0,08
Makanan
0,12
id
Tembakau
0,02
Furniture
0,16
Kulit
0,03
Barang Galian
0,14
Percetakan
0,05
Kayu
0,13
ak
Karet
0,02 Batu Bara
0,03
yo
gy
Tabel 11.1.
ar
ta
.b
ps
Pakaian
0,11
Barang Logam
0,03
.g
o.
Tekstil
0,07
Mesin
0,02
://
Makanan
Tembakau
335
Perempuan
Jumlah
Total
Upah
2.173
7.124
4.162
4.497
446,31
72,20
Tekstil
3.360
3.727
7.087
108,34
Pakaian
249,59
1.696
10.351
12.047
Kulit
629
425
1.054
19,59
Kayu
755
761
1.516
27,40
Percetakan
1.276
601
1.877
44,44
652
378
1.030
24,03
Karet
1.520
867
2.387
80,65
Barang Galian
2.180
394
2.574
53,70
Barang Logam
410
31
441
14,82
Mesin
2.335
488
2.823
134,69
Furniture
4.177
1.026
5.203
165,08
Lainnya
1.010
2.214
3.224
81,42
25.286
27.598
52.884
1.522,24
Batu Bara
Jumlah
54
4.951
tp
ht
Golongan
Industri
Struktur output dan nilai tambah bruto pada perusahaan industri besar dan sedang didominasi
oleh golongan industri makanan dan minuman serta industri pakaian jadi
11
Golongan industri pakaian jadi menyerap tenaga kerja terbesar dalam IBS DIY selama
tahun 2012 dengan jumlah 12.047 orang. Nilai total balas jasa pekerja pada golongan industri
ini mencapai Rp 249,59 milyar, sehingga rata-rata satu orang pekerja industri pakaian jadi
menerima balas jasa sebesar Rp 20,72 juta per tahun. Golongan industri yang menyerap
tenaga kerja terbesar berikutnya adalah industri industri makanan, tekstil dan industri
furniture dengan jumlah masing-masing sebesar 7.124 orang, 7.087 orang dan 5.203 orang.
Nilai upah atau balas jasa per pekerja yang pada perusahaan IBS tahun 2012 mencapai Rp
28,78 juta per tahun. Golongan industri yang memiliki nilai balas jasa per pekerja tertinggi
adalah industri makanan dan minuman jadi serta industri mesin.
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Makanan
Rasio
Rasio
2012
Input
Input
Nilai terhadap
Nilai terhadap
Input Output
Input Output
Tambah Output
Tambah Output
4.180 5.677 1.497
73,63 3.888 5.386 1.498
72,19
2011
ht
Golongan
Industri
tp
://
Tembakau
130
348
218
37,28
517
825
307
62,73
Tekstil
497
737
240
67,38
721
1.038
317
69,45
Pakaian
847
1.486
639
57,01
837
1.461
624
57,27
Kulit
137
182
45
75,44
120
179
59
66,92
Kayu
Percetakan
Batu Bara
55
123
67
45,18
61
97
36
62,93
173
290
117
59,68
158
261
103
60,57
47
98
51
47,84
108
157
49
69,01
Karet
202
326
125
61,83
260
303
43
85,87
Barang Galian
259
427
168
60,72
302
469
167
64,38
Barang Logam
25
34
74,88
31
53
22
59,17
Mesin
171
488
317
35,08
398
651
253
61,15
Furniture
322
545
223
59,02
215
367
153
58,46
78
158
80
49,54
207
350
143
59,07
7.122 10.917
3.794
65,24
7.823 11.596
3.773
67,46
Lainnya
Jumlah
Industri
makanan
dan
minuman
menjadi
golongan
industri yang memiliki nilai
input dan output yang terbesar,
sementara industri barang logam
memiliki nilai input dan output
produksi yang terendah. Selama
tahun 2012, nilai input yang
digunakan industri makanan dan
minuman mencapai Rp 3.888 milyar
dan mampu menghasilkan output
sebesar Rp 5.386 milyar, sehingga
nilai rasio biaya antaranya sebesar
0,72. Output terbesar selanjutnya
dihasilkan oleh perusahaan pada
industri pakaian jadi dengan
nilai output mencapai Rp 1.461
milyar, sementara nilai input yang
digunakan sebesar Rp 837 milyar
sehingga nilai rasio biaya antaranya
mencapai 0,57.
55
11
Indikator rata-rata jumlah pekerja, output per pekerja nilai tambah bruto pada perusahaan
industri besar dan sedang dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat, di sisi lain rasio
input output juga meningkat
Perkembangan indikator perusahaan IBS DIY selama 2006-2012 disajikan dalam Tabel
11.3. Rata-rata jumlah pekerja per perusahaan IBS pada tahun 2013 tercatat sebesar 135
orang . Rata-rata ini sedikit menurun setelah tahun sebelumnya meningkat hingga 145
tenaga kerja per perusahaan. Meskipun demikian, rata-rata upah pekerja per tahun justru
meningkat secara signifikan hingga mencapai Rp 28,78 juta per tahun. Peningkatan ini
secara kasar merefleksikan tingkat kesejahteraan pekerja yang semakin membaik.
Produk
tivitas
Pekerja
(juta)
Rasio
Nilai
Input
Tambah
terhadap Bruto
Output (Triliun)
2006
108
9,34
60,10
0,58
1,47
2007
120
10,47
29,27
0,67
1,59
2008
128
11,56
87,33
0,66
1,86
2009
127
12,14
109,67
0,65
1,97
2010
132
12,31
120,70
0,59
2,64
2011
145
26,12
185,44
0,65
3,79
2012
135
28,78
219,27
0,67
3,77
ak
Rata-rata
Upah
Pekerja
(Juta)
ar
ta
.b
ps
Tahun
Rata-rata
Jumlah
Pekerja
(Orang)
yo
gy
Tabel 11.4.
tp
Output
2012
NTB
Output
NTB
52,01
39,46
46,45
39,70
Tembakau
3,18
5,75
7,11
8,15
Tekstil
6,75
6,34
8,95
8,40
13,61
16,83
12,60
16,54
Kulit
1,66
1,18
1,54
1,57
Kayu
1,12
1,77
0,83
0,95
Percetakan
2,65
3,08
2,25
2,72
Batu Bara
0,90
1,35
1,35
1,29
Karet
2,99
3,28
2,61
1,13
Barang Galian
3,91
4,42
4,05
4,43
Barang Logam
0,31
0,22
0,46
0,57
Mesin
4,47
8,34
5,61
6,70
Furniture
5,00
5,89
3,17
4,04
Lainnya
1,45
2,10
3,02
3,80
Jumlah
100
100
100
100
ht
Makanan
Pakaian
56
2011
://
id
Rata-rata Jumlah Pekerja, Upah per Tahun, Produktivitas, Rasio Input Output dan NTB Perusahaan IBS di DIY
.g
o.
Tabel 11.3.
Perkembangan indeks triwulanan produksi industri kecil dan mikro di DIY semakin
meningkat, meskipun terjadi penurunan di triwulan I dan II 2012
11
Status Permodalan
2008
2009
2010
2011
2012
PMDN
10,34
8,19
8,75
9,34
8,95
5,77
6,95
6,75
7,13
6,65
83,89
84,86
84,50
83,54
84,40
100
100
100
100
100
PMA
Non Fasilitas
Jumlah
ar
ta
.b
ps
id
.g
o.
Tabel 11.5.
ht
tp
://
yo
gy
ak
57
12
KONSTRUKSI
Jenis kegiatan konstruksi yang cukup dominan di wilayah DIY adalah konstruksi bangunan
sipil seperti jalan raya, fasilitas industri, jembatan dan lainnya
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
://
Tabel 12.1.
Tahun
Jumlah
Perusahaan
(Unit)
ht
tp
Nilai
Konstruksi
(Rp Milyar)
2004
1.239
5.127
888
2005
1.155
4.780
1.184
2006
1.081
3.335
1.082
2007
1.033
3.419
1.236
2008
1.098
3.738
1.122
2009
1.234
3.312
1.531
2010
1.159
3.312
4.061
2011
1.039
9.280
4.466
2012
1.080
9.525
5.001
Sumber : BPS
58
Mayoritas penguasaan tempat tinggal oleh rumah tangga di wilayah DIY adalah menempati
bangunan milik sendiri dengan proporsi sekitar 76 persen , bahkan di daerah perdesaan
proporsinya mencapai 95 persen
12
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Tabel 12.2.
Gambar 12.1.
Distribusi Penguasaan Tempat Tinggal oleh Rumah Distribusi Penguasaan Tempat Tinggal oleh Rumah
Tangga di DIY, 2008-2013 (Persen)
Tangga menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Persen)
Penguasaan
Tempat Tinggal
100%
2008
2009
2010
2011
2012
2013
90%
0,32
0,49
6,03
0,11
0,84
8,00
1,07
0,49
2,95
0,46
0,40
3,96
74,17
78,93
74,5
76,51
76,62
76,45
Kontrak
8,83
7,14
7,99
7,36
7,07
7,61
Sewa
6,87
6,32
8,96
6,62
6,94
6,60
7,66
4,88
5,79
7,14
7,88
7,60
Lainnya
2,47
2,73
2,76
2,37
1,49
1,74
Jumlah
100
100
100
100
100
100
18,67
92,71
50%
95,70
17,73
86,47
66,74
40%
15,22
12,44
70%
60%
6,48
7,49
11,35
80%
Milik Sendiri
1,97
41,89
30%
20%
Kulonprogo
Bantul
Milik sendiri
Gunungkidul
Kontrak
Sewa
Sleman
Milik Ortu
Yogyakarta
Lainnya
59
13
.g
o.
id
Visi pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) adalah menjadikan DIY sebagai pusat pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisata
terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.
Untuk mewujudkan visi tersebut maka strategi kebijakan yang ditempuh pemerintah DIY
diarahkan dan diprioritaskan menuju sembilan bidang strategis dan bidang pariwisata
menjadi prioritas kedua setelah bidang pendidikan. Visi pembangunan pariwisata DIY
2012-2025 adalah terwujudnya Yogyakarta sebagai destinasi wisata berkelas dunia, memiliki
keunggulan saing dan banding, berwawasan budaya, berkelanjutan, mampu mendorong
pembangunan daerah dan berbasis kerakyatan sebagai pilar utama perekonomian.
Hal yang perlu dipahami adalah pariwisata merupakan industri yang digerakkan
oleh permintaan/demand atau dihidupi oleh wisatawan dan supplainya disediakan dan
ditentukan oleh kegiatan sektoral terutama hotel, akomodasi, restoran, transportasi,
komunikasi, dan jasa-jasa. Perkembangan kepariwisataan di suatu wilayah dapat diukur dari
indikator jumlah sarana dan prasarana (akomodasi), jumlah kunjungan wisata baik domestik
maupun mancanegara, tingkat penghunian kamar hotel dan rata-rata lama menginap tamu.
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
://
Tabel 13.1.
Tahun
ht
tp
Jumlah Akomodasi Hotel, Kamar dan Tempat Tidur di DIY, 2004-2013 (Unit)
Bintang
Non Bintang
Akomodasi
Kamar
Tempat Tidur
Akomodasi
Kamar
Tempat Tidur
2004
36
3.416
5.555
1.092
11.278
17.307
2005
36
3.415
5.573
1.089
11.221
17.228
2006
37
3.458
5.640
1.046
11.307
17.459
2007
38
3.458
5.640
1.039
11.307
17.459
2008
34
3.297
5.439
1.095
12.158
18.270
2009
34
3.373
5.633
1.092
12.091
17.735
2010
36
3.631
5.807
1.098
12.519
18.293
2011
41
3.953
6.389
1.063
12.407
18.586
2012
54
5.150
8.171
1.100
13.309
21.720
2013
61
5.801
9.280
1.109
13.547
21.549
60
Jumlah kunjungan wisatawan domestik dan asing dalam beberapa tahun terakhir semakin
semarak yang ditandai oleh peningkatan jumlah tamu yang menginap di hotel bintang dan non
bintang
13
id
cukup signifikan selaras dengan peningkatan jumlah hotel dibandingkan dengan kondisi
tahun 2012.
Jumlah akomodasi hotel non bintang di DIY di akhir tahun 2013 tercatat sebanyak 1.109
hotel dan tersebar di lima kabupaten/kota dengan rincian Kulonprogo 26 unit, Bantul 286
unit, Gunungkidul 65 unit, Sleman 368 unit dan Kota Yogyakarta 344 unit. Jumlah kamar tidur
yang tersedia di hotel non bintang tercatat sebanyak 13.549 kamar dengan kapasitas tempat
tidur sebanyak 21.549 unit. Jika dibandingkan dengan tahun 2012, jumlah hotel non bintang
dan jumlah kamarnya meningkat, tetapi kapasitas tempat tidurnya mengalami penurunan
karena beberapa hotel non bintang berubah statusnya menjadi hotel bintang. Fenomena
peningkatan jumlah akomodasi baik hotel bintang dan non bintang maupun jumlah kamar
beserta kapasitas tempat tidur di satu menggambarkan kunjungan pariwisata yang semakin
semarak di wilayah DIY, namun di sisi yang lain ada ruang terutama pemukiman penduduk
yang berkurang dan ketersediaan air tanah yang mulai berkurang.
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
://
Gambar 13.1.
4.000
ht
tp
Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, 2004-2013 (000 Jiwa)
Domestik
Asing
3.603,37
3.397,90
3.500
2.981,83
3.000
2.500
3.057,58
2.850,99
2.516,20
2.263,63
2.070,69
2.127,63
2.000
1.500
1.000
500
79,36
68,86
76,20
110,71
123,37
140,65
148,76
148,50
207,28
0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
61
13
Wisatawan domestik yang berkunjung ke DIY masih mendominasi dari sisi jumlah, sementara
wisatawan asing yang berkunjung sebagian besar berasal dari negara-negara di kawasan Asia
dan Eropa terutama dari negara Belanda dan Jepang
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Jumlah kunjungan wisata ke DIY selama periode 2005-2013 cukup berfluktuasi dan
sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun faktor eksternal seperti
bencana alam dan lainnya. Tercatat sebanyak dua kali jumlah kunjungan wisata mengalami
penurunan pada tahun 2006 sebagai dampak dari gempa bumi dan tahun 2010 sebagai
dampak dari erupsi Merapi. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah kunjungan wisatawan ke DIY
menunjukkan peningkatan secara signifikan. Selama tahun 2013, jumlah wisatawan yang
berkunjung ke DIY mencapai 3,81 juta, terdiri dari 3,60 juta wisatawan domestik dan 207,28
ribu wisatawan asing. Jumlah wisatawan domestik jauh lebih dominan dibanding wisatawan
asing dengan porsi sekitar 94,56 persen.
Perkembangan kunjungan wisata selama sembilan tahun terakhir menunjukkan bahwa
setiap tahun jumlah kunjungan rata-rata meningkat sebesar 7,83 persen. Jumlah kunjungan
wisatawan asing mampu tumbuh di atas 20 persen per tahun, sementara wisatawan
domestik tumbuh 7,40 persen per tahun. Peran strategis pemerintah dalam mendorong
dan meningkatkan arus kunjungan wisata dapat dilakukan melalui strategi kebijakan
pengembangan destinasi wisata (mencakup daya tarik, prasarana dan fasilitas), industri
pendukung, serta promosi kegiatan wisata. Perkembangan kunjungan wisatawan terutama
domestik juga sangat dipengaruhi oleh faktor musiman. Kunjungan akan meningkat tajam
pada saat musim liburan sekolah, libur panjang akhir pekan, libur hari raya keagamaan
maupun akhir tahun. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu dasar bagi institusti yang
terkait dalam menyusun dan menentukan kalender kegiatan wisata di DIY.
Berdasarkan negara asalnya, wisatawan asing yang berkunjung ke DIY selama tahun
2013 didominadi oleh wisatawan dari Belanda, Jepang, dan Malaysia. Pangsa jumlah
wisatawan dari negara-negara tersebut secara berturut-turut adalah 11,30 persen dan
9,42 persen. Peta negara asal wisatawan dalam beberapa tahun relatif tidak berubah, tapi
dari sisi persentase semakin homogen. Jumlah wisatawan yang berasal dari Belanda dan
Jepang dalam beberapa tahun terakhir selalu yang terbanyak. Fenomena ini terjadi karena
adanya ikatan historis, dimana Belanda dan Jepang pernah menduduki Indonesia khususnya
Yogyakarta dalam kurun waktu yang cukup lama. Sampai saat ini, di wilayah DIY masih banyak
tempat dan benda peninggalan yang memiliki nilai historis dan masih tetap terpelihara.
Gambar 13.2.
Pangsa Wisatawan Asing yang Berkunjung ke DIY Berdasarkan Negara Asal dan Kawasan, 2013 (Persen)
Perancis; 6,33
Singapura; 5,33
Malaysia; 9,42
Jerman; 5,02
Jepang; 10,73
Amerika
Serikat; 4,72
Belanda; 11,30
ASEAN; 24,83
Asia Lainnya;
25,12
US, Canada,
Amerika Latin;
6,54
Australia; 4,06
Australia dan
Oceania; 4,82
Thailand; 2,70
Lainnya; 28,99
RRC; 2,40
Belgia; 2,38
Italia; 2,34
Korea Selatan;
2,05
Eropa; 38,35
Afrika; 0,34
Inggris; 2,23
62
Meskipun jumlah kunjungan wisatawan semakin meningkat, namun rata-rata lama menginap
(Long of Stay) wisatawan domesti dan Asing justru semakin menurun
13
Pangsa wisatawan asing yang berkunjung berdasarkan kawasan negara asal selama
2013 menunjukkan sebanyak 49,95 persen wisatawan berasal dari kawasan Asia dengan
rincian 24,83 persen negara-negara Asean dan 25,12 persen negara di kawasan Asia lainnya.
Sementara, kawasan Eropa yang cukup mendominasi kunjungan wisata asing ke DIY di
tahun 2012 (52,87 persen) mengalami penurunan proporsi menjadi 38,35 persen. Secara
absolut, jumlah wisatawan dari kawasan Eropa justru meningkat, tetapi pertumbuhannya
lebih rendah dibandingkan dengan wisatawan dari kawasan Asia. Pemetaan distribusi
negara dan kawasan asal wisatawan asing sangat penting bagi perencanaan kegiatan
promosi dan pemasaran wisata di luar negeri. Potensi pasar yang dapat digarap lebih serius
melalui kegiatan promosi adalah kawasan Timur Tengah, Australia dan Oceania, serta Asia
Timur (Jepang, Korea, China, Taiwan), serta Amerika Latin.
id
Gambar 13.3.
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, 2004-2013 (000 Jiwa)
Pantai Baron
Pantai Kukup
ht
tp
://
63
13
Tingkat Penghunian Kamar (TPK) di tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, dan terdapat kecenderungan TPK hotel berbintang selalu lebih tinggi dari
TPK hotel non bintang
.g
o.
id
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
Gambar 13.5.
Rata-rata Lama Menginap Wisatawan di Hotel
menurut Bulan, 2010-2013 (malam)
2,00
4,50
Asing
3,81
4,00
3,49
2011
2012
Jun
2013
1,80
3,50
2,89
3,00
2,62
2,67
2,31
2,50
2,00
2,17
2,13
2,24
1,60
2,23
1,97
2,00
1,50
2010
Domestik
1,40
1,75
1,79
1,59
1,00
1,25
1,35
1,44
1,45
1,43
1,40
1,61
1,58
1,38
1,20
0,50
1,00
0,00
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
64
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Okt
Nop
Des
TPK bulanan hotel bintang dan non bintang di DIY dipengaruhi oleh faktor musiman dan
akan mencapai level tinggi bersamaan dengan liburan sekolah, libur akhir tahun dan perayaan
hari raya idul Fitri
13
Tabel 13.5.
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
ht
tp
TPK dan rata-rata lama menginap wisatawan di DIY dipengaruhi oleh faktor musiman dan
mencapai puncak bersamaan dengan momentum liburan sekolah, perayaan Idul Fitri dan
pergantian tahun
Gambar 13.6.
Tingkat Penghunian Kamar di DIY menurut Jenis Hotel dan Bulan, 2010-2013 (Persen)
50,00
80,00
Hotel Bintang
70,00
63,71
50,00
58,66
48,60 48,33
52,91
30,00
61,90 62,29
40,00
49,45
40,25
39,34
31,91
Mar
Apr
33,73
33,56
30,00
25,66
20,00
Feb
30,96
31,15
28,63
30,00
Jan
60,26
35,00
37,46
27,42
2013
51,37
42,36
40,00
2011
45,00
66,48
60,00
51,46
2010
Jumlah
23,77
Mei
Jun
Jul
25,00
20,00
Agust Sep
Okt
Nop
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Okt
Nop
Des
65
14
KELEMBAGAAN
Jumlah bank yang beroperasi di DIY pada tahun 2013 tercatat sebanyak 103 unit.
Rinciannya terdiri dari 4 bank pemerintah, 33 bank swasta nasional, 1 bank pembangunan
daerah dan 65 bank perkreditan rakyat. Dibandingkan dengan tahun 2012 jumlah bank
yang beroperasi bertambah 4 unit dan termasuk dalam kategori bank swasta nasional
dan bank perkreditan rakyat. Jumlah kantor pelayanan bank pada tahun 2013 sebanyak
810 unit dan terdiri dari 254 unit kantor bank pemerintah, 165 unit kantor bank swasta
nasional, 143 unit kantor bank pembangunan daerah, dan 248 unit kantor bank perkreditan
rakyat. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah kantor bank meningkat 10,81
persen. Jumlah kantor bank yang meningkat pesat adalah bank perkreditan rakyat dengan
peningkatan sebesar 13,24 persen.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Tabel 14.2.
Jumlah Aset, Dana Pihak Ketiga dan Kredit Perbankan di DIY, 2008-2013
Bank
Pemerintah
Bank Swasta
Nasional
BPD
BPR
Jumlah
Aset
Tahun
Kredit
2001
126
15
58
39
65
99
85
322
2008
Nilai (Rp Pertum- Nilai (Rp Pertum- Nilai (Rp Pertummilyar) buhan (%) milyar) buhan (%) milyar) buhan (%)
20.919
10,34
18.017
9,53
10.475
15,64
2002
156
14
51
58
65
99
84
364
2003
156
16
53
62
64
99
85
370
2009
24.572
17,46
21.034
16,75
11.723
11,91
2004
156
17
54
62
65
100
87
372
2010
29.212
18,88
24.524
16,59
14.581
24,38
2005
156
18
55
62
65
151
88
424
2011
33.923
16,13
28.775
17,33
17.939
23,03
2006
156
18
55
62
64
151
87
424
2012
40.749
20,12
34.882
21,23
21.840
21,75
2007
92
22
93
72
60
159
87
416
2013
47.222
15,88
40.270
13,33
26.276
18,60
2008
99
24
114
134
62
171
91
518
2009
102
27
142
136
62
114
94
494
2010
117
28
144
137
64
135
97
533
2011
230
30
157
140
64
204
99
731
2012
251
31
160
142
65
219
99
731
2013
254
33
165
143
65
248
103
810
Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor Bank Kantor
66
Struktur dana yang dihimpun dari masyarakat didominasi oleh tabungan, sementara kredit
yang disalurkan sebagian besar terserap untuk kegiatan konsumsi
14
Struktur dana pihak ketiga yang dihimpun dari masyarakat selama tahun 2013 sebagian
besar berasal dari tabungan dengan nilai mencapai Rp 21,56 triliun atau sebesar 54,16 persen.
Sementara, yang berasal dari simpanan berjangka (deposito) dan giro masing-masing
sebesar Rp 13,21 triliun (33,18 %) dan Rp 5,04 triliun (12,67 %). Dari ketiga jenis simpanan,
peningkatan yang tertinggi terjadi pada kelompok simpanan berjangka (deposito).
Dari sisi aktiva, peningkatan aset didorong oleh kenaikan jumlah kredit yang disalurkan
yang mampu tumbuh sebesar 18,60 persen. Jumlah nominal kredit yang tersalurkan
selama tahun 2013 mencapai Rp 26,28 triliun. Distribusi kredit berdasarkan penggunaannya
menunjukkan bahwa sebagian besar kredit dilakukan untuk kegiatan konsumsi. Pada tahun
2013 besarnya kredit untuk konsumsi mencapai Rp 10,38 triliun dengan porsi mencapai
41,53 persen dari total jumlah kredit yang tersalur.
Tabel 14.3.
Jenis Penggunaan
Modal Kerja
Investasi
Konsumsi
Jumlah
id
ar
ta
.b
ps
Tahun
.g
o.
3.723 (41,10)
1.219 (13,46)
4.116 (45,44)
2008
4.450 (42,48)
1.280 (12,22)
9.059 (100)
2009
4.642 (39,60)
1.486 (12,68)
2010
5.488 (38,95)
1.809 (12,84)
2011
7.277 (40,57)
2.386 (13,30)
2012
8.996 (41,19)
3.193 (14,62)
2013
9.499 (37,99)
yo
gy
ak
2007
ht
tp
://
67
14
Perkembangan LDR semakin meningkat sehing fungsi intermediasi bank semakin berjalan
optimal, namun secara level masih berada di bawah taraf yang ditentukan (78 persen)
Tabel 14.4.
Gambar 14.1.
Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR) dan non
Performing Loans (NPL) di DIY, 2007-2013 (Persen)
68
3,20
60
58
54
55,07
2,54
62,34
3,19
2,41
58,14
56
62,61
5,05
55,73
yo
gy
62
NPL
2,79
2,35
57,45
://
64
tp
52
48
2007
2008
ht
50
2009
2010
65,25
2011
2012
ak
LDR
66
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
pihak ketiga yang berhasil dihimpun sebesar 18,74 persen dan 71,19 persen, pangsa kredit
yang tersalurkan di kedua daerah hanya mencapai 14,79 persen dan 68,98 persen. Akibatnya,
LDR di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta selama tahun 2013 menjadi yang terendah
dengan nilai masing-masing sebesar 47,98 persen dan 58,89 persen. LDR yang tertinggi
terjadi di Kabupaten Gunungkidul dengan nilai 134,18 persen, artinya dana dari pihak ketiga
yang berhasil dihimpun oleh bank umum belum mampu untuk mencukupi permintaan
kredit oleh masyarakat dan pelaku usaha sehingga harus dicukupi dari daerah lainnya.
Meskipun demikian, dibandingkan dengan tahun 2012 nilai LDR di semua kabupaten/kota
mengalami kenaikan kecuali Kabuapten Bantul turun 3,50 poin.
Non Performing Loans (NPLs) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat resiko
kredit perbankan. Nilai NPLs selama tahun 2007-2013 menunjukkan pola yang cukup
berfluktuasi. NPLs mencapai level terendah pada tahun 2012 dengan nilai 2,35 persen,
meskipun terlihat meningkat kembali di tahun 2013 dengan level sebesar 2,79 persen.Secara
umum, kenaikan angka NPLs ini menunjukkan resiko perbankan dalam menyalurkan kredit
menjadi semakin tinggi atau tingkat pembayaran/pengembalian cicilan menjadi kurang
lancar. Resiko kredit perbankan di DIY dalam empat tahun terakhir masih di bawah batas
kategori aman karena memiliki nilai NPLs di bawah 5 persen.
2013
Pangsa (Persen)
Aset
DPK
LDR
Kredit
2010
2011
2012
2013
Kulonprogo
2,83
3,04
4,33
94,84
84,73
83,11
86,47
Bantul
4,00
4,33
5,94
91,16
81,57
86,77
83,27
Gunungkidul
3,29
2,70
Sleman
16,71
18,74
14,79
Yogyakarta
73,17
71,19
68,98
52,40
56,26
57,09
58,89
59,45
58,68
59,24
60,77
DIY
59,69
47,16
46,94
47,98
Perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika di tahun 2013 mengalami
depresiasi, sementara terhadapmata uang Euro justru menguat (Terapresiasi)
14
Nilai tukar beberapa mata uang asing terhadap rupiah memiliki pola yang sama dengan nilai
tukar Dolar Amerika (USD), karena sampai saat ini USD menjadi mata uang rujukan dalam
transaksi internasional. Pola nilai tukar rupiah terhadap USD terlihat melemah sampai tahun
2010, kemudian menguat di tahun 2011 dan kembali melemah di tahun 2012-2013. Pola
yang sedikit berbeda terjadi pada nilai tukar mata uang rupiah terhadap Poundsterling
Inggris (GBP) yang mengalami pelemahan di tahun 2008 kemudian kembali menguat sampai
tahun 2012. Demikian pula dengan nilai tukar rupiah terhadap Yen Jepang terlihat memiliki
pola yang semakin menguat.
Tabel 14.5.
Rata-rata Nilai Tukar Jual dan Beli Valuta Asing menurut Jenis Valuta Asing di DIY, 2007-2013
Dolar Australia Dolar Hongkong Poundsterling
Yen
Ringgit
Dolar Singapura
(AUD)
(HKD)
Inggris (GBP) Jepang (Y) Malaysia (MYR)
(SGD)
Beli
Jual
Beli
Jual
9.110
6.938
6.815
2008
9.193
9.081
7.704
7.586
9.760
9.582
8.271
7.926
10.515 10.336
8.236
8.047
Jual
Beli
Jual
Beli
Jual
Beli
8.847
8.734
9.107
8.980
9.469
9.367
9.788
9.664
96
92
79
77
2012
2013
Jual Beli
ar
ta
.b
ps
2011
Beli
.g
o.
Jual
9.226
2009
Jual
EURO
2007
2010
Beli
id
Dolar Amerika
(USD)
Bulan
ak
ht
tp
://
yo
gy
INVESTASI
Investasi adalah pengorbanan materi maupun non materi pada masa sekarang
untuk memperoleh pendapatan di masa yang akan datang. Menurut pelakunya investasi
dikelompokkan menjadi 3, yaitu pemerintah, perusahaan (terdiri dari perusahaan yang
difasilitasi dan tidak difasilitasi), serta rumah tangga. Data investasi perusahaan yang tersedia
dan dapat digunakan sebagai bahan perencanaan adalah rencana dan realisasi penanaman
modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) yang merupakan kelompok
investasi yang difasilitasi yang dilaporkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.
Tabel 14.4.
Realisasi Komulatif PMA dan PMDM menurut kelompok Sektor di DIY, 2013 (Milyar)
Sektor
Primer
Sekunder
Tersier
Jumlah
PMDN
PMA
Jumlah
27,57
16,21
43,78
(0,96)
(0,31)
(0,54)
(22,50)
1.672
3.998
(28,97)
5.669
(58,36)
(77,19)
(70,48)
(100)
(100)
14
Realisasi nvestasi PMDN dan PMA perusahaan yang tercata oleh BKPMD DIY sebagian
besar terserap di sektor tersier terutama hotel dan restoran
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Tabel 14.6.
Primer
Tanaman Pangan
Perkebunan
Peternakan
Perikanan
46,36
16,21
406
29,65
Tanaman Pangan
85
245,51
16,61
Perkebunan
0,00
0,00
40
50,18
Peternakan
15,37
115
17,46
0,40
26,67
Perikanan
0,68
5,25
Kehutanan
0,75
38
100,00
Pertambangan
0,16
202
0,68
51 1.165,41 15.824
105,78
Sekunder
42 1.165,01 11.247
74
234,27
11
153,73
2.843
87,72
://
68
ht
Primer
Industri Makanan
713,87 1.179
6 1.039,39
17
777,99
7.363
236,97
Industri Tekstil
100,14
804
118,82
6,69
662
79,20
206,08 4.072
32
273,02
Industri Kayu
5,21
485
75,62
Industri Kayu
18
62,20 1.701
16
66,58
79,23
1.469
114,83
0,23
16
95,34
1.323
9,90
304
22,33
Industri Tekstil
Tersier
Konstruksi
Perhotelan dan Restoran
0,00
0,00
0,67
38,28
163
137,01
87,72
22,04 2.939
73,13
4,90
2,06
45,49
1.261
25,42
20,34
384
23,70
14,77
98
100,00
Industri Lainnya
66 1.671,67
6.366
11
89,73
67 3.997,59 6.189
66
103,55
Tersier
13
73,39
24 1.191,57
3.034
118,49
12 1.116,10 1.033
13
106,72
33 1.580,97 3.459
32
232,02
Konstruksi
13,70
546
41,08
28
84,63
1.829
199,00
Jasa Lainnya
10
378,90
921
44,86
Jasa Lainnya
2,87
36
21,97
17
92,01
70
146
Tenaga Kerja
Perus Nilai (Rp
Realisasi
ahaan Miliar) Domes Asing
(%)
tik
1,13
Pertambangan
Industri Makanan
27,57
Sektor
25,29
tp
Kehutanan
Sekunder
yo
gy
ak
Tenaga Kerja
Per
Nilai (Rp
Realisasi
usaha
Miliar) Domes Asing
(%)
an
tik
Sektor
36
636,79
25
95,96
Jumlah
14
390,48
931
12
74,46
237,26
728
26,48
149
115,77
Realisasi investasi PMDN dan PMA menurut wilayah sebagian besar terjadi di wilayah
perkotaan, terutama di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta
14
Gambar 14.2.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
karya seni tradisional Indonesia. Investasi jasa lainnya yang berkembang di DIY terutama
terkait jasa pendukung perkembangan dunia pendidikan.
Realisasi kumulatif penanaman modal asing (PMA) pada tahun 2013 mencapai Rp
5,18 triliun. Realisasi kumulatif PMA tersebut dilaksanakan oleh 114 perusahaan dengan
serapan tenaga kerja domestik sebanyak 17.842 orang dan tenaga kerja asing sebanyak 149
orang. Jika dibandingkan dengan perencanaannya, maka realisasi PMA selama tahun 2013
mencapai 115,77 persen artinya nilainya lebih sekitar 16 persen dari yang direncanakan.
Distribusi realisasi PMA terbesar terjadi pada kelompok sektor tersier dengan porsi
mencapai 77 persen. Sementara porsi kelompok sektor primer dan sekunder masing-masing
sebesar 0,31 persen dan 22,50 persen. Sektor yang porsinya terbesar secara berturut-turut
adalah sektor perdagangan dan reparasi; sektor hotel dan restoran; dan sektor industri
makanan dengan porsi masing-masing sebesar 30,53 persen; 21,55 persen; dan 13,78
persen. Senada dengan investor dalam negeri, para investor asing pun lebih berminat
untuk berinvestasi di sektor-sektor yang berbasis pariwisata. Kinerja pariwisata yang terus
menunjukkan peningkatan dari sisi jumlah kunjungan menjadi daya tarik investasi di sektorsektor tersebut. Fakta ini menjadi sebuah persoalan, karena pada umumnya investasi sektor
pariwisata terpusat di daerah perkotaan sehingga membutuhkan intervensi pemerintah
untuk mengalihkan investasi di daerah perdesaan.
Berdasarkan lokasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) tahun 2013, realisasi di
Kota Yotyakarta dan Kabupaten Sleman memiliki nilai yang terbesar dengan porsi mencapai
46 persen dan 43 persen. Sementara, realisasi di Kabupaten Bantul memiliki porsi sebesar
8 persen. Bahkan, realisasi di Kulonprogo dan Gunungkidul memiliki porsi kurang dari
dua persen. Pola yang hampir serupa juga terjadi pada penanaman modal asing (PMA).
Realisasi terbesar dicapai Kabupaten Sleman (52 %) dan Kota Yogyakarta (41%), diikuti oleh
Kabupaten Bantul dengan porsi mencapai 4 persen. Fenomena ini sangat berkaitan dengan
ketersediaan infrastruktur publik yang relatif lebih lengkap dan memiliki kualitas lebih baik.
Di samping, itu, resiko pengembalian, resiko keamanan, stabilitas sosial, serta kemudahan
dalam perizinan juga turut berpengaruh terhadap volume penanaman modal.
PMDN
Yogyakarta
0,46
Sleman
0,52
Sleman
0,43
Yogyakarta
0,41
Kulonprogo
0,01
Gunungkidul
0,01
Bantul
0,08
Gunungkidul
0,02
Bantul
0,04
Kulonprogo
0,00
71
15
HARGA-HARGA
Gambaran perkembangan harga barang dan jasa dan pola konsumsi masyarakat secara
kontinyu diukur menggunakan indeks harga dan perubahannya
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur stabilitas ekonomi di suatu
wilayah adalah tingkat harga. Harga merupakan resultan atau hasil interaksi antara
permintaan (demand) dan penawaran (supply) barang dan jasa yang beredar di masyarakat,
sehingga perlu dipantau perkembangannya sebagai salah satu indikator penentu kebijakan
pemerintah di bidang pendapatan, fiskal maupun moneter. Untuk memperoleh gambaran
mengenai kenaikan harga berbagai macam komoditas barang dan jasa yang dikonsumsi
oleh masyarakat dari waktu ke waktu dilakukan dengan menghitung indeks secara kontinu.
Beberapa indeks harga yang sering digunakan diantaranya adalah Indeks Harga Konsumen
(IHK) untuk wilayah perkotaan dan Nilai Tukar Petani (NTP) untuk wilayah perdesaan.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Tabel 15.1.
IHK dan Inflasi Kota Yogyakarta menurut Kelom- Perkembangan IHK Umum Bulanan Kota Yogyakarta,
2010-2013 (Persen)
pok Pengeluaran, 2010-2013 (Persen)
Kelompok Pengeluaran
2011
Inflasi (%)
2012
150
2011
2012
2013
Bahan Makanan
1,82
8,10
12,31
Makanan Jadi
7,07
6,90
8,15
Perumahan
3,01
2,99
5,18
125
Sandang
9,40
3,56
0,00
120
115
Kesehatan
5,64
1,93
3,08
Pendidikan
1,73
1,43
3,17
2,40
1,30
10,45
Umum
3,88
4,31
7,32
145,65
145
2013
72
IHK
2010
140
135
130
117,30
110
105
100
Jan Mar Mei Jul Sep Nop Jan Mar Mei Jul Sep Nop Jan Mar Mei Jul Sep Nop Jan Mar Mei Jul Sep Nop
2010
2011
2012
2013
Perkembangan harga barang dan jasa selama 2013 yang diukur dengan perubahan IHK
mencapai 7,32 persen dan lebih tinggi dari tahun 2012 (4,31 persen)
15
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
Okt
Jan
Apr
Jul
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
IHK yang terendah terjadi pada kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan
dengan nilai indeks sebesar 123,40 persen. Artinya, kelompok pengeluaran ini sejak tahun
2007 hanya mengalami kenaikan harga sebesar 23,40 persen. Selama tahun 2013, IHK semua
kelompok pengeluaran menunjukkan peningkatan dan peningkatan terbesar terjadi pada
kelompok bahan makanan sebesar 20,50 poin dibandingkan dengan IHK tahun 2012.
Pola perkembangan IHK umum bulanan di Kota Yogyakarta selama periode 2010-2013
menunjukkan tren yang semakin meningkat, meskipun terlihat ada penurnan indeks di
bulan Maret-Mei 2013 (Gambar 15.1). Secara umum, peningkatan indeks harga yang cukup
tajam terjadi selama tahun 2013. Sementara, selama 2011 dan 2012 pola perkembangan IHK
terlihat lebih datar. IHK tahun 2011 meningkat sebesar 4,86 poin dari IHK 2010, sementara
IHK tahun 2012 meningkat 5,61 poin dibandingkan dengan tahun 2011. Fenomena ini
menunjukkan tingkat harga selama tahun 2011 dan 2012 relatif lebih stabil dibandingkan
dengan tahun 2010 maupun 2013.
Perubahan IHK antar periode digambarkan oleh besaran angka inflasi/deflasi. Tabel 15.1
menyajikan perkembangan angka inflasi menurut kelompok pengeluaran selama tiga tahun
terakhir. Secara umum, level inflasi yang tertinggi terjadi pada tahun 2013 dengan nilai
sebesar 7,32 persen yang
didorong oleh kenaikan harga
Gambar 15.2.
pada kelompok bahan makanan
Perkembangan Inflasi Tahunan Kota Kota Yogyakarta dan
Nasional, 1990-2013 (Persen)
dan kelompok transportasi dan
90
komunikasi dengan besaran
DIY
Nasional
80
masing-masing 12,31 persen dan
70
10,45 persen. Fenomena yang
60
mendorong kenaikan harga ini
50
salah satunya adalah keputusan
40
pemerintah menaikkan harga
30
bahan bakar minyak dan elpiji
20
di pertengahan tahun 2013.
10
Pola perkembangan inflasi
0
Kota Yogyakarta selama periode
1990-2013 sangat berfluktuasi
Sumber : BPS DIY
(Grafik 15.2). Secara umum,
Gambar 15.3.
terdapat pola yang hampir mirip
Perkembangan Inflasi Bulanan Kota Yogyakarta, 2017-2014 (%)
antara inflasi Kota Yogyakarta dan
Nasional. Inflasi Kota Yogyakarta
4,0
3,5
maupun nasional mencapai level
3,0
tertinggi pada tahun 1998 dengan
2,5
level di atas 77 persen sebagai
2,0
dampak dari krisis ekonomi
1,5
1997/1998. Dalam sepuluh tahun
1,0
terakhir, inflasi Kota Yogyakarta
0,5
0,0
mencapai level tertinggi di
-0,5
tahun 2005 sebesar 14,98 persen
-1,0
sebagai dampak dari kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
sebanyak dua kali di tahun 2005
Sumber : BPS DIY
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta 2014
73
15
Perkembangan indeks harga konsumen bulanan di Kota Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh
pola musiman dan mencapai level tinggi saat peringatan hari raya, liburan sekolah liburan
akhir tahun
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
dengan besaran kenaikan di atas 100 persen. Kebijakan ini memicu kenaikan harga barang
dan jasa pada kelompok transportasi dan secara tidak langsung juga mendorong inflasi pada
kelompok pengeluaran yang lainnya.
Pada tahun 2006 dan 2007 tingkat harga secara umum juga tetap meningkat meskipun
dari sisi besaran inflasinya sedikit menurun hingga mencapai 10,40 persen di tahun 2006 dan
7,99 persen di tahun 2007. Selama tahun 2008 inflasi tercatat sebesar 9,88. Tingginya inflasi
ini dipicu oleh kenaikan harga BBM yang terjadi di akhir bulan Mei 2008 serta kebijakan
konversi minyak ke elpiji yang mendorong meningkatnya harga-harga jasa transportasi dan
energi. Laju inflasi selama tahun 2009 di Kota Yogyakarta mencapai 2,93 persen dan angka ini
menjadi inflasi yang terkecil sejak 20 tahun terakhir. Penyebabnya adalah adanya kebijakan
pemerintah yang menurunkan harga BBM hingga 2 kali, yaitu pada bulan Desember 2008
dan Januari 2009, sehingga berakibat pada turunnya tarif angkutan umum dan stabilnya
harga kebutuhan pokok masyarakat.
Pada tahun 2010 laju inflasi kembali mengalami kenaikan yaitu mencapai 7,38 persen.
Melonjaknya harga bahan makanan pokok sebagai akibat anomali musim di tahun 2010
merupakan pemicu utama terjadinya inflasi di kota Yogyakarta. Komoditas beras dan cabe
merupakan komoditas yang memberikan andil yang cukup besar terhadap inflasi umum di
kota Yogyakarta pada kurun waktu tersebut. Laju inflasi tertinggi pada tahun 2010 terjadi
pada kelompok bahan makanan yang mencapai 18,86 persen, kemudian diikuti oleh
kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 5,57 persen dan kelompok
perumahan sebesar 5,49 persen. Sedangkan laju inflasi terendah terjadi pada kelompok
kesehatan dengan angka sebesar 1,97 persen. Selama tahun 2011, gejolak harga barang
dan jasa kebutuhan rumah tangga relatif stabil. Hal ini ditunjukkan oleh laju inflasi yang
sebesar 3,88 persen. Kenaikan harga yang tertinggi terjadi pada kelompok sandang (9,4 %)
dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (7,07 persen). Kondisi hargaharga komoditas selama 2012 relatif lebih stabil dan diindikasikan oleh inflasi tahunan yang
mencapai 4,51 persen. Pada tahun 2013 laju inflasi kembali menguat hingga mencapai
level 7,32 persen, namun dalam beberapa tahun terakhir tingkat inflasi di Kota Yogyakarta
cenderung lebih rendah dari level nasinal.
Perkembangan inflasi bulanan Kota Yogyakarta selama tahun 2007-2013 menunjukkan
adanya pengaruh pola musiman yang cukup kuat. Hal ini terlihat dari nilai inflasi yang
mencapai level tertinggi selama tahun 2007-2013 selalu berkaitan dengan momentum
perayaan hari raya keagamaan, liburan sekolah dan akhir tahun maupun akibat kebijakan
pemerintah dengan menaikkan harga komoditas strategis seperti BBM.
NILAI TUKAR PETANI
Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator yang berguna untuk
mengukur tingkat kesejahteraan petani, yaitu dengan mengukur kemampuan tukar produk
(komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan
petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumah tangga petani.
NTP menunjukkan daya tukar (term of trade) antara produk pertanian yang dijual oleh
petani dengan barang dan jasa yang dibutuhkan petani dalam proses produksi maupun
untuk konsumsi rumah tangga. Sebagai salah satu indikator yang menggambarkan tingkat
kesejahteraan petani, NTP dihitung dari rasio antara indeks yang diterima dan indeks yang
dibayar oleh petani.
74
Indeks harga yang diterima petani dalam beberapa periode selalu lebih tinggi dibandingkan
dengan indeks yan dibayar petani, sehingga nilai tukar petani juga semakin meningkat dan
memberi gambaran kasar kesejahteraan petani yang meningkat
15
ht
Gambar 15.4.
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Perkembangan Indeks Diterima, Indeks Dibayar dan NTP Bulanan di DIY, 2010-2013 (Persen)
180
It
Ib
NTP
160
140
120
100
80
Nov
Sep
Juli
Mei
Mar
Jan
Nov
2012
Sep
Juli
Mei
Mar
Jan
2011
Nov
Sep
Juli
Mei
Mar
Jan
Nov
2010
Sep
Juli
Mei
Mar
Jan
60
2013
75
16
Tabel 16.1.
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Pengeluaran Perkapita Sebulan di DIY Pangsa Pengeluaran engeluaran Perkapita Sebulan di DIY
menurut Kelompok, 2010-2013 (Rupiah)
menurut Kelompok, 2010-2013 (Persen)
Pengeluaran/Konsumsi
Tahun
2010
2011
2012
2013
Daerah
Makanan
Non
Makanan
Jumlah
Perkotaan (K)
270.886
385.305
656.191
Perdesaan (D)
195.603
174.305
369.908
K+D
244.003
309.963
553.966
Perkotaan (K)
302.958
399.829
702.787
Perdesaan (D)
223.946
248.219
472.165
K+D
276.322
348.722
625.044
Perkotaan (K)
361.214
440.296
801.510
Perdesaan (D)
260.840
241.638
502.478
K+D
327.242
373.055
700.297
Perkotaan (K)
383.303
496.532
879.835
Perdesaan (D)
313.167
230.101
543.268
K+D
359.522
406.192
765.714
76
100
80
58,72
47,12
55,95
56,89
52,57
55,79
54,93
44,05
43,11
47,43
44,21
45,07
K+D
K+D
48,09
42,35
53,27
56,43
46,73
43,57
K+D
53,05
60
40
20
41,28
52,88
51,91
57,65
46,95
0
K
D
2010
2011
Makanan
D
2012
K+D
2013
non Makanan
Pola konsumsi atau pengeluaran penduduk dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh level
pendapatan yang diterima dan tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi)
16
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Sampai saat ini, proporsi pengeluaran per kapita untuk kelompok makanan sudah
lebih rendah dibandingkan pengeluaran kelompok non makanan. Pada tahun 2013,
proporsi pengeluaran per kapita untuk kelompok makanan mencapai 46,95 persen dari total
konsumsi per kapita penduduk. Sementara, proporsi pengeluaran per kapita non makanan
sebesar 53,05 persen. Proporsi pengeluaran makanan semakin menurun, sementara proporsi
pengeluaran non makanan justru semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini sesuai
dengan hukum Engel yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan yang diterima
atau semakin tinggi kekayaan seseorang maka bagian dari pendapatan yang dibelanjakan
untuk kelompok makanan (marginal propensive to consume/MPC) akan semakin menurun,
sementara MPC untuk kelompok non makanan justru akan semakin meningkat. Hal ini
terjadi karena permintaan komoditas non makanan cenderung lebih elastis dibandingkan
dengan makanan.
Hukum Engel juga berlaku di untuk wilayah perkotaan, sementara untuk wilayah
perdesaan dalam empat tahun terakhir masih dominan pengeluaran untuk kelompok
makanan. Secara umum, distribusi pengeluaran per kapita penduduk DIY selama tahun 2013
yang terbesar digunakan untuk kelompok barang-barang dan jasa dengan porsi sebesar
22,22 persen. Kelompok ini mencakup pengeluaran untuk jasa pendidikan, kesehatan,
rekreasi, transportasi, komunikasi dan keuangan. Proporsi pengeluaran berikutnya adalah
kelompok perumahan, bahan bakar dan penerangan dengan nilai 19,22 persen dan makanan
dan minuman jadi dengan proporsi 17,84 persen.
Komposisi pengeluaran perkapita non
makanan sebulah yang terbesar di daerah
perdesaan adalah kelompok barangTabel 16.1.
barang dan jasa dan diikuti oleh kelompok
Proporsi Pengeluaran Perkapita Sebulan di DIY
perumahan, bahan bakar, penerangan dan
menurut Kelompok Pengeluaran, 2013 (Persen)
air. dengan proporsi 19,27 persen dan 14,33
Kelompok Pengeluaran
K
D
K+D
persen. Komposisi ini sama dengan daerah
Makanan
43,57
57,65
46,95
Padi-padian
4,57
10,23
5,93
perkotaan yang memiliki proporsi 22,13
Umbi-umbian
0,21
0,45
0,27
persen untuk kelompok barang-barang
Ikan
1,48
1,60
1,50
dan jasa dan 20,77 persen untuk kelompok
Daging dan Hasilnya
1,94
2,39
2,05
Telur, Susu dan Hasilnya
3,32
3,36
3,33
perumahan, bahan bakar, penerangan dan
Sayur-sayuran
2,82
5,37
3,43
air Bersih.
Kacang-kacangan
1,26
2,74
1,61
Buah-buahan
2,43
2,50
2,45
Komposisi pengeluaran perkapita
Lemak dan Minyak
1,04
2,35
1,36
sebulan
untuk kelompok makanan
Bahan Minuman
1,66
2,91
1,96
Bumbu-bumbuan
0,55
0,83
0,61
di daerah perdesaan didominasi oleh
Konsumsi Lainnya
0,77
1,29
0,90
makanan jadi dan minuman dengan
Makanan dan Minuman
18,32
16,31
17,84
Jadi
porsi 16,31 persen.
Proporsi terbesar
Tembakau dan Sirih
3,20
5,29
3,70
berikutnya adalah kelompok padi-padian
Non Makanan
56,43
42,35
53,05
Perumahan, Bahan Bakar,
dengan proporsi 10,23 persen. Komposisi
20,77
14,33
19,22
Penerangan dan Air
pengeluaran perkapita komoditas makanan
Barang-barang dan Jasa
23,13
19,27
22,20
Pakaian, Alas Kaki dan
2,74
2,58
2,70
di daerah perkotaan juga memiliki pola yang
Tutup Kepala
Barang Tahan Lama
5,08
4,26
4,88
serupa, namun levelnya sedikit berbeda.
Pajak Pemakaian dan
1,92
1,32
1,77
Pengeluaran untuk makanan jadi mencapai
Premi Asuransi
Keperluan Pesta dan
18,32 persen, sementara padi-padian hanya
2,80
0,59
2,27
Upacara
4,57 persen.
Jumlah
100
100
100
Sumber : BPS DIY
77
16
Pola konsumsi energi/kalori perkapita per hari penduduk DIY dalam satu dasawarsa terakhir
masih berada dibawah angka kecukupan energi (2.000 kilo kalori)
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Konsumsi protein per kapita per hari penduduk DIY dalam lima tahun terakhir sudah
melebihi standar yang ditentuka (50 gram), namun untuk penduduk perdesaan masih di bawah
standar
16
tp
Gambar 16.3.
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
2012, konsumsi per kapita per hari penduduk kota tercatat sebesar 1.823 kkal, sementara
konsumsi per kapita per hari penduduk perdesaan tercatat sebesar 1.867 kkal. Fenomena
ini terjadi karena adanya kecenderungan penduduk perkotaan terutama mereka yang
berstatus pelajar/mahasiswa dalam mengkonsumsi makanan dan minuman jadi, sementara
penduduk desa cenderung mengkonsumsi bahan makanan yang diolah terlebih dahulu.
Konsumsi protein penduduk DIY selama periode 2002-2013 juga cukup berfluktuasi dan
mencapai puncak di tahun 2003 dengan nilai 61,65 gram per kapita per hari. Jika mengacu
pada kebutuhan minimum protein yang sebesar 50 gram per kapita per hari, maka konsumsi
protein penduduk DIY sudah melebihi kebutuhan minimum yang ditentukan. Berdasarkan
pola konsumsi protein per kapita per hari menurut wilayah selama sepuluh tahun terakhir,
penduduk perkotaan masih lebih tinggi dalam mengkonsumsi protein dibandingkan dengan
penduduk perdesaan. Hal ini terjadi karena sumber-sumber protein yang dikonsumsi
penduduk perkotaan sudah lebih bervariasi dibandingkan dengan penduduk perdesaan.
Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir pola konsumsi protein penduduk perdesaan masih
berada di bawah angka kecukupan protein yang ditentukan.
Perkembangan konsumsi kalori dan protein per kapita berdasarkan kelompok makanan
selama tahun 2010-2013 disajikan dalam Tabel 16.3. Berdasarkan kelompok makanan,
konsumsi kalori dan protein yang tertinggi bersumber dari kelompok padi-padian dan
makanan jadi. Selama tahun 2013, kedua kelompok tersebut memiliki pangsa sebesar 36,85
persen dan 27,00 persen dari total konsumsi kalori penduduk DIY. Sementara, pangsa protein
kedua kelompok tersebut masing-masing mencapai 28,01 persen dan 34,44 persen dan
diikuti oleh kelompok kacang-kacangan dengan porsi 11,21 persen. Porsi konsumsi kalori
dan protein yang berasal dari kelompok buah-buahan, umbi-umbian, kelompok ikan dan
kelompok daging masih relatif rendah sehingga pemerintah perlu mendorong masyarakat
untuk lebih banyak konsumsi energi dan protein yang bersumber dari kelompok-kelompok
makanan tersebut.
Kelompok Makanan
Padi-padian
ht
Rata-rata Konsumsi Protein dan Kalori Perkapita Sehari menurut Jenis Pengeluaran, 2010-2013
2010
701 (37,85)
Kalori (kkal)
2011
700 (38,23)
Protein (Gram)
2012
708 (38,51)
2013
2010
2011
2012
2013
736 (36,85) 16,45 (31,11) 16,44 (30,55) 16,60 (31,24) 17,27 (28,01)
Umbi-umbian
33
(1,79)
26
(1,41)
21
(1,16)
34
(1,71)
0,24
(0,45)
0,19
(0,35)
0,17
(0,32)
0,25
Ikan
15
(0,80)
14
(0,76)
17
(0,91)
20
(0,98)
2,36
(4,46)
2,1
(3,90)
2,58
(4,86)
3,00
(0,41)
(4,87)
40
(2,15)
41
(2,26)
48
(2,62)
47
(2,36)
2,48
(4,69)
2,64
(4,91)
2,84
(5,35)
2,97
(4,82)
63
(3,38)
62
(3,38)
57
(3,09)
68
(3,41)
3,48
(6,58)
3,46
(6,43)
3,18
(5,99)
3,82
(6,20)
Sayur-sayuran
44
(2,35)
41
(2,26)
44
(2,40)
44
(2,22)
2,9
(5,48)
2,8
(5,20)
2,90
(5,46)
2,91
(4,72)
Kacang-kacangan
79
(4,24)
72
(3,91)
73
(3,95)
76
(3,81)
41
(2,24)
43
(2,35)
48
(2,63)
50
Buah-buahan
6,86 (12,97)
6,92 (12,86)
6,79 (12,78)
6,91 (11,21)
(2,51)
0,46
(0,87)
0,45
(0,84)
0,52
(0,98)
0,49
(0,79)
211 (11,39)
201 (10,98)
203 (11,03)
207 (10,35)
0,49
(0,93)
0,43
(0,80)
0,39
(0,73)
0,35
(0,57)
Bahan Minuman
119
(6,42)
118
(6,46)
102
(5,53)
111
(5,54)
1,01
(1,91)
0,97
(1,80)
0,77
(1,45)
0,94
(1,52)
Bumbu-bumbuan
10
(0,53)
12
(0,64)
(0,50)
10
(0,51)
0,38
(0,72)
0,44
(0,82)
0,36
(0,68)
0,40
(0,65)
60
(3,21)
54
(2,97)
55
(2,98)
55
(2,77)
1,22
(2,31)
1,12
(2,08)
1,09
(2,05)
1,11
(1,80)
Konsumsi Lainnya
Makanan Jadi
Jumlah
438 (23,66)
1852
447 (24,38)
(100) 1832
454 (24,69)
(100) 1838
539 (27,00) 14,55 (27,52) 15,85 (29,46) 14,94 (28,12) 21,23 (34,44)
(100) 1996
(100) 52,88
(100) 53,81
(100) 53,13
(100) 61,65
(100)
79
17
PERDAGANGAN
Nilai ekspor komoditas asarl DIY dalam dselama tahun 2013 semakin meningkat akibat
peningkatan volume
id
150
50
2008
ar
ta
.b
ps
2007
.g
o.
100
2009
2010
2011
2013
Gambar 17.2.
tp
Lainnya;
(13,28)
ht
80
2012
://
yo
gy
200
ak
Gambar 17.2.
Pangsa Volume Ekspor DIY menurut Negara, 2013
Asia; (23,48)
Australia;
(2,91)
Lainnya;
(8,97)
Uni Eropa;
(39,86)
Amerika
Serikat dan
Kanada;
(24,79)
Impor luar negeri DIY dilakukan untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri, terutama
tekstil, kulit sintetis, kapas, aksesoris dan bahan baku susu
17
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Pangsa volume ekspor ke negara-negara di kawasan Asia selama 2013 mencapai 22,91
persen, sementara pangsa nilainya mencapai 23,48 persen. Negara-negara di kawasan Asia
yang menjadi tujuan ekspor utama komoditas asal DIY adalah Jepang dan China dengan
pangsa volume ekspor mencapai 6,64 persen dan5,32 persen. Sementara pangsa nilai
ekspor tertinggi di negara Asia adalah Jepang dan Korea Selatan dengan pangsa sebesar
9,79 persen dan 6,46 persen. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya volume maupun nilai
ekspor ke kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara semakin meningkat. hal ini mengindikasikan
potensi kedua kawasan ini menjadi pasar alternatif
Tabel 17.1.
bagi pemasaran komoditas ekspor asal DIY.
Volume dan Nilai Ekspor DIY Menurut Negara
Komoditas ekspor unggulan DIY berdasarkan
Tujuan , 2013
nilai ekspornya adalah tekstil dan pakaian jadi
Volume (000 Kg)
Nilai (US$ Juta)
Negara
3,29 (9,67)
47,32 (22,35)
Amerika Serikat
dengan pangsa sebesar 30,74 persen. Berikutnya
Jerman
3,36 (9,87)
27,91 (13,18)
secara berturut-turut adalah komoditas mebel
Korea Selatan
0,79 (2,32)
13,68 (6,46)
kayu, sarung tangan kulit, dan sarung tangan
Jepang
2,26 (6,64)
20,73 (9,79)
India
0,48 (1,41)
3,14 (1,48)
sintetis dengan pangsa nilai ekspor masingPerancis
2,30 (6,76)
6,75 (3,19)
masing sebesar 16,89 persen; 13,20 persen; dan
Inggris
1,00 (2,94)
5,84 (2,76)
10,61 persen. Komoditas ekspor yang lainnya
Turki
1,01 (2,97)
4,76 (2,25)
China
1,81 (5,32)
4,76 (2,25)
memiliki pangsa nilai di bawah 5 persen.
Belanda
2,89 (8,49)
8,15 (3,85)
Perkembangan kegiatan impor di DIY relatif
Belgia
1,78 (5,23)
3,93 (1,86)
Australia
3,46 (10,16)
6,16 (2,91)
sulit untuk dicatat dengan kondisi sebenarnya.
Spanyol
0,85 (2,50)
3,50 (1,65)
Hal ini disebabkan oleh pelabuhan bongkar dan
Italia
1,34 (3,94)
23,52 (11,11)
Kanada
0,43 (1,26)
5,17 (2,44)
pelaku impor umumnya berada di luar DIY. Di
Thailand
0,23 (0,68)
1,04 (0,49)
samping itu, tidak semua importir melaporkan
Uni Emirat Arab
0,61 (1,79)
1,85 (0,87)
realisasi impornya, sehingga yang tercatat
Malaysia
1,53 (4,49)
4,40 (2,08)
Iran
0,09 (0,26)
0,12 (0,06)
adalah realisasi dari importir yang secara rutin
Portugal
0,01 (0,03)
0,04 (0,02)
melaporkan ke Dinas Perindagkop DIY. Meskipun
Lainnya
4,52 (13,27)
18,99 (8,95)
demikian, dapat dipastikan bahwa barang yang
Jumlah
34,04
(100)
211,76
(100)
Sumber : BPS DIY
diimpor dari luar negeri semuanya merupakan
bahan baku produksi, bukan barang konsumtif.
Tabel 17.2.
Barang-barang tersebut diantaranya adalah
Volume dan Nilai Impor DIY Menurut Negara
tekstil, bahan baku susu, kulit disamak, sparepart
Asal , 2013
mesin pertanian, kapas, label dan asesoris garmen.
Negara Asal
Volume (000 Kg) Nilai (US$ Juta)
Realisasi impor luar negeri yang tercatat
China
0,73 (38,62)
2,50 (1,61)
masuk ke DIY selama tahun 2013 mencapai US$
Korea Selatan
0,50 (26,46)
2,55 (1,65)
154,99 juta dan meningkat di atas 1000 persen
Selandia baru
dibandingkan dengan tahun 2012. Dari sisi
Hongkong
0,02 (1,06)
0,40 (0,26)
volume, impor yang masuk tercatat sebanyak 1,89
Taiwan
0,35 (18,52)
3,49 (2,25)
ribu ton yang didominasi oleh komoditas tekstil
Amerika Serikat
0,06 (3,17)
0,53 (0,34)
dan sparepart mesin pertanian.
Jepang
0,10 (5,29) 144,62 (93,31)
Distribusi persentase volume impor ke
Malaysia
DIY selama tahun 2013 didominai oleh barang
Singapura
0,01 (0,53)
0,17 (0,11)
asal China (38,62 persen), Korea Selatan (26,46
Vietnam
0,02 (1,06)
0,05 (0,03)
persen)dan Jepang (5,29 persen). Sementara, nilai
Lainnya
0,10 (5,29)
0,68 (0,44)
impor yang tertinggi berasal dari Jepang dengan
Jumlah
1,89
(100) 154,99
(100)
proporsi sebesar 93,31 persen.
Sumber : BPS DIY
81
18
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Gambar 17.2.
70
63,69
ADHB (Triliun)
60
57,03
50
45,63
38,10
40
29,42
30
20
13,48
10
17,52
19,61
22,02
4,00
32,92
5,12
4,50
3,70
2,50
2,00
2011
2010
2010
2009
2009
2008
2008
2007
2007
2006
2006
2005
2005
2004
2004
2003
4,43
4,31
2003
2002
5,40
3,00
2002
2001
5,32
4,88
4,73
4,58
4,26
2001
2000
5,17
5,03
3,50
25,34
82
5,00
4,50
41,41
24,57
22,13 23,31
20,06 21,04
18,29 19,21
17,54
16,91
16,15
14,06 14,69 15,36
15,23
5,50
2013**)
51,79
2012*)
ADHK (Triliun)
6,00
18
Dari sisi penawaran pertumbuhan ekonomi DIY didorong oleh konsumsi rumah tangga yang
tumbuh 5,82 persen , sehingga memiliki andil sebesar 2,81
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
Dari sisi penawaran/supplai, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,40 persen di tahun 2013
didorong oleh pertumbuhan positif di semua sektor, meskipun laju pertumbuhan sedikit
terkoreksi oleh laju inflasi 2013 yang mencapai 7,32 persen. Hampir semua sektor tumbuh
positif di atas 5 persen, kecuali sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian
yang hanya mampu tumbuh sebesar 0,63 persen dan 4,93 persen. Sektor perdagangan,
hotel dan restoran; sektor industri pengolahan; dan sektor jasa-jasa menjadi tiga sektor
yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan DIY dengan andil masing masing
sebesar 1,31 persen dan 0,98 persen. Sementara, kontribusi terhadap pertumbuhan yang
terkecil dihasilkan sektor listrik, gas dan air bersih dengan andil sebesar 0,06 persen.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi sebesar didorong oleh peningkatan
semua komponen permintaan akhir dalam PDRB penggunaan. Konsumsi rumah
tangga tumbuh sebesar 5,82 persen dan memberi andil sebesar 2,81 persen terhadap
pertumbuhan. Kelompok komoditas non makanan dengan nilai proporsi 51 persen
masih dominan mendorong pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga di DIY.
Meskipun demikian, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga selama tahun 2013 sedikit
melambat bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang mencapai 6,74 persen dengan andil
pertumbuhan sebesar 3,22 persen. Faktor yang mempengaruhinya adalah melemahnya
daya beli masyarakat sebagai akibat kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah
tangga yang mencapai 7,32 persen di tahun 2013. Komponen Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB) sebagai representasi dari kegiatan investasi mengalami pertumbuhan sebesar
5,02 persen dan memberi andil 1,32 persen terhadap pertumbuhan DIY. Sementara,
konsumsi pemerintah tumbuh 5,31 persen dan memberi andil sebesar 1,07 persen terhadap
pertumbuhan ekonomi DIY. Pencairan dana khusus sebagai implementasi Keistimewaan
Yogyakarta cukup memberi pengaruh terhadap peningkatan konsumsi pemerintah selama
tahun 2013. Ketergantungan terhadap barang dan jasa dari luar daerah maupun luar negeri
oleh penduduk DIY masih cukup tinggi. Hal ini diindikasikan oleh nilai nominal net ekspor
yang bertanda negatif, dalam arti nilai impor lebih besar dari nilai ekspor.
ht
tp
Gambar 18.2.
PDRB DIY ADHB dan ADHK, Pertumbuhan dan Andil PDRB DIY ADHB dan ADHK, Pertumbuhan dan Andil
Pertumbuhan menurut Lapangan Usaha, 2013
Pertumbuhan menurut Penggunaan, 2013
Lapangan Usaha
Pertanian
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan
ADHB
(Miliar
rupiah)
ADHK
(Miliar
rupiah)
8.861,28
416,53
8.771,19
796,70
Pertum
buhan
(Persen)
Pertum
buhan
(Persen)
3.730,30
0,63
0,10
167,67
4,92
0,03
3.142,84
7,81
0,98
229,64
6,54
0,06
ADHB
(Miliar
rupiah)
ADHK
(Miliar
rupiah)
33.293,53
Konsumsi Pemerintah
16.809,33
PMTB
Lapangan Usaha
6.908,38
2.459,17
6,07
0,60
Ekspor
13.152,52
5.225,06
6,20
1,31
Impor
5.400,53
2.744,15
6,30
0,70
Lainnya
PDRB
6.543,15
2.552,44
6,23
0,64
Jasa-jasa
12.840,03
4.316,21
5,57
0,98
PDRB
63.690,32 24.567,48
5,40
5,40
Pertum
buhan
(Persen)
Pertum
buhan
(Persen)
11.937,09
5,82
2,81
4.923,54
5,31
1,07
19.908,29
6.413,76
5,02
1,32
26.907,82
10.938,46
6,38
2,81
36.372,04
10.614,22
5,86
2,52
3.143,38
968,84
-2,13
-0,09
63.690,32
24.567,48
5,40
5,40
83
18
Struktur perekonomian DIY dalam beberapa tahun terakhir didominasi oleh sektor tersier,
terutama sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
sampai tahun 2013 didominasi oleh empat lapangan usaha, yakni sektor perdagangan,
hotel dan restoran; sektor jasa-jasa; sektor industri pengolahan; dan sektor pertanian. Sektor
perdagangan, hotel dan restoran memberi sumbangan terbesar dengan nilai andil sebesar
20,65 persen. Selama periode 2000-2013, andil sektor perdagangan,hotel dan restoran relatif
stabil pada kisaran 19,5 sampai 20,65 persen. Andil terbesar kedua dalam struktur PDRB
2013 dihasilkan oleh sektor jasa-jasa dengan nilai andil 20,16. Andil terbesar dari sektor ini
dihasilkan oleh sub sektor jasa pemerintahan umum, sehingga besarnya peranan sektor
jasa-jasa juga menunjukkan peran dan kinerja pemerintahan yang semakin besar. Selama
tiga belas tahun terakhir andil sektor jasa-jasa meningkat dari 17,98 persen menjadi 20,16
persen. Sebagai salah satu destinasi pariwisata di Indonesia, DIY memiliki potensi pariwisata
yang luar biasa baik wisata alam maupun wisata budaya yang mampu mendorong dan
menopang perkembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa
melalui kegiatan promosi wisata.
Sumbangan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian dalam struktur
perekonomian tahun 2013 juga cukup dominan dengan nilai andil sebesar 13,77 persen
dan 13,91 persen. Berdasarkan data series selama tiga belas tahun terakhir, peranan sektor
pertanian dalam perekonomian menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun dari
20,56 persen di tahun 2000 menjadi 13,91 persen di tahun 2013. Sementara, peranan sektor
industri pengolahan juga menunjukkan pola yang menurun dan relatif stagnan dengan andil
sekitar 14 persen dalam tujuh tahun terakhir. Fenomena industrialisasi yang digagas sejak
akhir periode 70an kurang menunjukkan hasil yang signifikan, karena dari sisi nilai tambah
maupun dalam menyerap tenaga kerja justru mengalami stagnasi. Sektor perekonomian
yang mengalami peningkatan andil adalah sektor jasa-jasa. Fenomena ini menunjukkan
perubahan struktural dalam perekonomian di DIY lebih bergeser dari sektor agraris (sektor
primer) menuju sektor jasa-jasa (tersier).
Struktur PDRB DIY dari sisi penggunaan didominasi oleh komponen konsumsi rumah
tangga dan diikuti oleh konsumsi pemerintah serta PMTB. Kontribusi pengeluaran rumah
tangga dalam PDRB mencapai 52,27 persen, sehingga setiap perubahan pada komponen
konsumsi rumah tangga akan memiliki pengaruh terbesar terhadap laju pertumbuhan
ekonomi DIY.
Tabel 17.1.
Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar harga berlaku DIY menurut Lapangan Usaha, 2000-2013 (Persen)
Sektor
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Pertanian
20,56 19,43 18,57 17,02 16,50 15,75 15,55 15,01 15,73 15,38 14,56 14,24 14,65 13,91
0,87
0,86
0,87
0,87
0,83
0,78
0,74
0,79
0,74
0,71
0,67
0,70
0,67
0,65
16,07 15,34 15,47 15,65 15,18 14,16 13,86 13,60 13,29 13,35 14,02 14,36 13,34 13,77
0,74
0,86
1,04
1,18
1,22
1,30
1,28
Konstruksi
6,99
6,82
6,96
7,40
7,92
8,80
1,29
1,28
1,35
1,33
1,31
1,28
1,25
19,53 19,75 19,13 19,21 18,90 19,21 19,03 19,22 19,22 19,72 19,74 19,79 20,09 20,65
8,55
8,75
9,63
9,71
9,82
9,20
9,03
8,83
8,71
8,66
9,38
9,90
9,93
9,77
9,88
9,98
Jasa-Jasa
PDRB
9,95
9,37
9,69
8,60
8,48
17,98 19,54 18,96 19,06 19,80 19,81 20,05 19,79 19,46 19,71 20,07 20,05 20,23 20,16
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
84
18
PDRB perkapita atas dasar harga konstan (riil) dalam satu dasa warsa terakhir semakin
meningkat, sehingga secara rata-rata kesejahteraan penduduk DIY juga semakin meningkat
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
PDRB PERKAPITA
PDRB per kapita dihitung dari hasil bagi antara nilai PDRB dengan jumlah penduduk
pada pertengahan tahun. Indikator ini menjadi salah satu ukuran kesejahteraan penduduk
secara kasar dalam suatau wilayah. Semakin tinggi nilai PDRB per kapita maka mencerminkan
tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah yang bersangkutan secara rata-rata yang
semakin tinggi pula. Meskipun demikian, indikator ini memiliki kelemahan karena masih
mengabaikan transfer faktor produksi antar wilayah atau asal kepemilikan faktor produksi
dan mengandung komponen pajak tak langsung serta penyusutan.
Perkembangan PDRB per kapita DIY dalam satu dasa warsa terakhir menunjukkan pola
yang semakin meningkat. Pada tahun 2000 PDRB per kapita DIY atas dasar harga pasar yang
berlaku mencapai Rp 4,32 juta per tahun dan meningkat secara bertahap menjadi Rp 17,98
juta per tahun pada tahun 2013. Meskipun demikian, angka tersebut masih mengandung
komponen perubahan harga (inflasi/deflasi) sehingga belum mencerminkan nilai riilnya.
Secara riil atau dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000, nilai PDRB per kapita DIY
meningkat secara bertahap hingga mencapai level Rp 6,94 juta per tahun pada tahun 2012
atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3,64 persen per tahun. Secara kasar, fakta
ini menunjukkan terjadinya perbaikan kesejahteraan penduduk DIY secara rata-rata dengan
asumsi semuan penduduk menerima manfaat yang sama dari haril pertumbuhan.
Pertumbuhan pendapatan perkapita riil secara umum memiliki pola yang searah
dengan pertumbuhan ekonomi. Pendapatan perkapita dalam tiga belas tahun terakhir
mampu tumbuh secara positif, meskipun terjadi perlambatan di tahun 2005-2006 akibat
kenaikan harga BBM dan bencana gempa bumi serta melambat kembali di tahun 2009
akibat krisis finansial yang terjadi di negara-negara Amerika dan Eropa yang menjadi tujuan
ekspor komoditas asal DIY.
Gambar 17.2.
tp
://
Perkembangan Pendapatan Perkapita, Laju Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Riil, PertumbuhanEkonomi DIY, 2001-2013 (Persen)
Pertumbuhan (%)
4,45
4,26
3
3,01
4,60
4,50
4,76
4,95
5,12
4,58
4,04
3,41
3,50
5,14
5,27
5,44
5,86
5,03
4,73
4,31
3,67
5,66
3,70
6,09
6,63
6,94
4,88
3,95
5,17
4,27
5,32
5,40
4,50
4,59
4
3
3,41
3,27
2,65
7
6
4,43
3,99
6,35
ht
0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012*) 2013**)
85
19
PERBANDINGAN REGIONAL
Kontribusi DIY dalam perekonomian nasional masih sangat kecil, hanya 0,86 persen dan
berada di peringkat kedua puluh
id
PDRB
86
4,18
6,01
6,18
2,61
7,88
5,98
6,21
5,97
5,29
6,13
6,11
6,06
5,81
5,40
6,55
5,86
6,05
5,69
5,56
6,08
7,37
5,18
1,59
7,45
9,38
7,65
7,28
7,76
7,16
5,14
6,12
9,30
14,84
5,90
1,36
5,33
1,68
6,89
1,13
3,06
0,36
2,17
0,51
1,32
16,57
14,12
8,23
0,84
14,99
3,23
1,25
0,74
0,53
1,12
0,84
1,10
5,61
0,70
0,77
2,44
0,54
0,16
0,21
0,17
0,10
0,67
1,23
100
ak
13
7
12
5
17
9
29
11
28
14
1
3
4
20
2
8
15
23
27
18
21
19
6
24
22
10
26
32
30
31
33
25
16
yo
gy
38,01
142,54
46,64
109,07
21,98
76,41
10,05
46,12
12,91
49,67
477,29
386,84
223,10
24,57
419,43
105,86
34,79
20,42
14,75
36,08
23,00
36,20
121,99
22,87
22,98
64,28
15,04
3,65
6,11
5,11
3,66
15,06
24,62
2.661
://
NAD
103,05
Sumut
403,93
Sumbar
127,10
Riau
522,24
Jambi
85,56
Sumsel
231,68
Bengkulu
27,39
Lampung
164,39
Kep. Babel
38,93
Kep. Riau
100,31
DKI Jakarta 1.255,93
Jabar
1.070,18
Jateng
623,75
DIY
63,69
Jatim
1.136,33
Banten
244,55
Bali
94,56
NTB
56,28
NTT
40,47
Kalbar
84,96
Kalteng
63,52
Kalsel
83,36
Kaltim
425,43
Sulut
53,40
Sulteng
58,64
Sulsel
184,78
Sultra
40,77
Gorontalo
11,75
Sulbar
16,18
Maluku
13,25
Malut
7,73
Papbar
50,91
Papua
93,14
Indonesia
7.578
ADHK
tp
ADHB
ht
Provinsi
ar
ta
.b
ps
.g
o.
Tabel 19.1.
19
Terdapat lima provinsi yang memiliki PDRB perkapita lebih tinggi dari level nasional yakni
DKI Jakarta, Kepri, Kaltim, Jatim dan Sumut, sementara PDRB perkapita provinsi lainnya
termasuk DIY lebih rendah dari level nasional
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
PDRB PERKAPITA
Perbandingan nilai PDRB per kapita atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga
konstan antar provinsi di Indonesia masih menunjukkan adanya gap yang sangat lebar.
Berdasarkan Gambar 19.1. level PDRB perkapita riil (ADHK 2000) Provinsi DKI Jakarta pada
tahun 2013 sudah mencapai Rp 47,77 juta per tahun. Sementara, level PDRB perkapita
riil Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih berada pada kisaran Rp 2,98 juta per tahun.
Fenomena tersebut menggambarkan kesenjangan pendapatan regional yan sangat kontras,
DKI Jakarta sebagai daerah maju yang merepresentasikan pusat pemerintahan dan pusat
perekonomian dan NTT sebagai provinsi yang pembangunan ekonominya masih jauh
tertinggal.
Secara nasional, level PDRB perkapita riil tahun 2013 tercatat sebesar Rp 10,15 juta per
tahun. Berdasarkan level tersebut, tercatat sebanyak 28 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia
masih memiliki nilai PDRB riil perkapita yang lebih rendah dari level nasional dan hanya ada 5
provinsi yang PDRB perkapita riilnya lebih tinggi dari level nasional. Secara berurutan kelima
provinsi tersebut adalah DKI Jakarta (Rp 47,77 juta), Kepulauan Riau (Rp 25,67 juta), Kalimantan
Timur (22,70), Jawa Timur (Rp 10,89 juta) dan Sumatera Utara (Rp 10,43 juta). Berdasarkan
peringkat secara nasional, PDRB perkapita riil DIY tahun 2013 berada di urutan berada ke-22
dan berada diantara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Rp 7,14 juta) dan Provinsi Jawa
Tengah (Rp 6,38 juta). Beberapa daerah yang memiliki nilai PDRB perkapita tinggi seperti
Riau, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau tercatat memiliki potensi pertambangan migas
maupun bahan mineral lainnya sehingga mendorong tingginya nilai PDRB perkapita.
Gambar 19.1.
yo
gy
PDRB Perkapita Riil (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Provinsi-provinsi di Indonesia, 2013 (Rp Juta)
Provinsi
Nasional
://
60
tp
50
ht
40
30
20
10
0
DKI Jakarta
Kep. Riau
Kaltim
Jatim
Sumut
Riau
Kep. Babel
Sulut
Kalteng
Kalsel
Banten
Sumbar
Papbar
Bali
Jabar
Sulteng
Papua
Sumsel
Kalbar
Sulsel
NAD
DIY
Jateng
Sultra
Jambi
Lampung
Bengkulu
Sulbar
NTB
Gorontalo
Malut
Maluku
NTT
87
19
Kualitas pembangunan manusia DIY yang diukur dari nilai IPM berada di peringkat kedua
secara nasional, dimensi kesehatan dan daya beli menjadi keunggulan DIY
usia harapan hidup penduduk saat lahir yang merepresentasikan indikator kesehatan. Ratarata usia harapan hidup DIY menjadi yang tertinggi secara nasional dan hal ini menunjukkan
tingkat kesehatan penduduk DIY secara rata-rata yang relatif lebih baik dibandingkan provinsi
lainnya di Indonesia. Seperti yang sudah diuraikan dalam Bab 7, angka harapan hidup yang
tinggi memiliki relasi dengan rendahnya angka kematian bayi dan balita yang dipengaruhi
oleh ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta kemudahan dalam
mengaksesnya. Selain itu, gaya hidup penduduk DIY yang dikenal low profile serta tingkat
keamanan dan kenyamanan berdomisili di DIY cukup tinggi yang ditunjukkan oleh preferensi
penduduk untuk menghabiskan masa tuanya juga berkontribusi terhadap tingginya angka
harapan hidup penduduk.
AMH
RLS
PPP
IPM
97,04
97,84
97,38
98,48
96,85
97,55
96,55
95,92
96,44
98,07
99,22
96,87
91,71
92,86
90,49
96,87
91,03
85,19
90,34
91,70
97,99
97,18
97,95
96,40
99,56
96,22
89,69
92,59
96,87
90,54
98,25
97,45
94,14
75,92
94,14
9,02
9,13
8,63
8,78
8,32
8,04
8,55
7,89
7,73
9,91
11,00
8,11
7,43
9,33
7,53
8,61
8,58
7,20
7,16
7,17
8,17
8,01
9,39
8,52
9,09
8,22
8,01
8,44
7,52
7,35
9,20
8,72
8,53
6,87
8,14
621,40
646,83
644,59
657,26
644,05
641,35
637,50
628,24
651,22
651,37
637,92
641,63
646,44
656,19
654,02
639,28
643,78
648,66
612,88
641,41
646,01
646,77
653,70
647,51
646,19
640,69
646,71
628,77
633,14
642,66
622,59
609,26
604,82
616,76
643,36
73,05
75,55
75,01
77,25
74,35
74,36
74,41
72,87
74,29
76,56
78,59
73,58
74,05
77,37
73,54
71,90
74,11
67,73
68,77
70,93
75,68
71,74
77,33
74,72
77,36
72,54
73,28
71,73
71,77
71,41
72,70
70,63
70,62
66,25
73,81
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
AHH
69,40
69,90
70,09
71,73
69,61
70,10
70,44
70,09
69,46
69,97
73,56
68,84
71,97
73,62
70,37
65,47
71,20
63,21
68,05
67,40
71,47
64,82
71,78
69,70
72,62
67,21
70,60
68,56
67,54
68,34
67,88
66,97
69,14
69,13
70,07
tp
NAD
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Kep. Babel
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Kalut
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Gorontalo
Sulbar
Maluku
Malut
Papua Barat
Papua
Indonesia
ht
Provinsi
id
.g
o.
Gambar 19.2.
88
ar
ta
.b
ps
ak
yo
gy
://
tp
ht
Lampiran
id
.g
o.
Tabel 1 Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah DIY, 2010-2013 (Rp 000)
Rincian
2010
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
ht
tp
://
yo
gy
ak
ar
ta
.b
ps
.g
o.
id
1.014.089.544
885.217.610
41.436.703
36.328.245
51.106.986
961.190.992
98.360.324
828.334.768
34.495.900
311.574.558
8.815.476
-
-
302.759.082
-
-
2.286.855.094
1.427.652.116
503.342.635
467.336.914
15.955.857
306.120.014
124.470.680
10.426.016
1.027.267.313
125.019.271
609.742.631
292.505.411
2.454.919.429
-168.064.335
90
Tabel 2 Jumlah Penduduk Usia Kerja (15 Tahun +) menurut Kegiatan Selama Seminggu yang lalu,
TPAK dan TPT di D.I. Yogyakarta, 2006-2012 (orang)
2010
Kegiatan
(1)
Angkatan Kerja
2011
2012
2013
2014
Agustus
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Bekerja
Penga nggura n
107.148
110.040
83.481
77.897
76.819
73.044
63.172
43.984
815.838
739.052
813.549
793.422
791.920
838.726
863.845
796.887
Sekol a h
279.420
262.569
269.226
324.537
280.427
306.151
201.760
349.639
437.630
365.924
433.602
360.161
404.800
466.843
479.109
352.183
98.788
110.559
110.721
108.724
106.693
65.732
182.976
95.065
La i nnya
Jumlah Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas
69,76
72,93
70,39
71,29
71,52
70,01
69,29
71,84
5,69
5,53
4,32
3,95
3,86
3,73
3,24
2,16
id
.g
o.
ar
ta
.b
ps
Tabel 3 Distribusi Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha Kegiatan Utama di DIY, 2010-2014 (%)
2011
2010
Kegiatan
(1)
(2)
Pe rta ni a n
2014
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
24,29
26,17
25,43
27,82
24,38
28,18
25,42
0,79
0,96
0,68
0,22
0,72
0,87
0,48
0,20
13,92
14,22
14,68
15,65
14,97
12,96
13,36
14,91
0,10
0,29
0,25
0,00
0,14
0,35
0,29
0,09
6,19
5,55
7,30
5,68
6,92
6,39
5,54
4,84
24,69
25,92
25,76
26,37
24,52
26,38
25,87
26,64
3,80
4,75
3,70
3,72
3,27
3,87
3,48
3,78
2,18
2,20
2,74
2,68
3,06
3,34
2,87
3,37
17,93
21,83
18,73
20,25
18,58
21,46
19,93
20,75
100
100
100
100
100
100
100
100
ak
yo
gy
LGA
Pe rda ga nga n, Hote l da n Re s tora n
Tra ns porta s i da n Komuni ka s i
://
Ke ua nga n, Re a l Es ta t da n Ja s a Pe rus a ha a n
tp
Jumlah
2013
30,40
Ja s a -ja s a
2012
ht
Tabel 4 Distribusi Penduduk Bekerja di DIY menurut Status Pekerjaan Utama, 2010-2014 (Persen)
Kegiatan
(1)
2011
2010
2012
2013
2014
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Berus a ha Sendi ri
13,75
15,30
13,47
13,61
12,52
13,52
12,92
12,14
24,35
17,52
20,67
21,32
19,51
20,15
19,83
19,97
3,90
4,26
4,16
3,90
4,35
4,10
4,57
4,10
30,57
39,35
39,10
38,18
38,79
39,75
39,46
41,81
2,02
3,53
1,42
2,10
2,16
2,03
1,47
1,28
6,54
5,08
6,89
5,05
6,30
6,71
5,65
3,85
18,87
14,96
14,28
15,85
16,36
13,73
16,10
16,85
100
100
100
100
100
100
100
100
Pekerja Ta k Di ba ya r
Jumlah
91
91
Tabel 5 Angka Harapan Hidup Penduduk Saat Lahir (e0) menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013
(Tahun)
Kabupaten/Kota
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
72,60
72,90
73,00
73,10
73,11
73,16
73,22
73,27
73,33
73,62
Kulonprogo
72,60
73,07
73,20
73,47
73,79
74,09
74,38
74,48
74,58
75,03
Bantul
70,80
70,87
70,90
70,95
71,11
71,21
71,31
71,33
71,34
71,62
Gunungkidul
70,40
70,44
70,60
70,75
70,79
70,88
70,97
71,01
71,04
71,36
Sleman
72,70
72,70
73,80
74,10
74,43
74,74
75,06
75,18
75,29
75,79
Kota Yogyakarta
72,90
72,90
73,10
73,14
73,27
73,35
73,44
73,48
73,51
73,71
id
Sumber : BPS
2005
2006
2007
2008
2009
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
85,78
86,69
86,69
87,78
89,46
90,18
90,84
91,49
92,02
92,86
Kulonprogo
86,41
86,50
87,53
88,69
88,72
89,52
90,69
92
92,04
93,13
Bantul
85,76
86,38
86,38
88,46
88,6
89,14
91,03
91,23
92,19
92,81
Gunungkidul
83,80
84,50
84,50
84,5
84,5
84,52
84,66
84,94
84,97
85,22
Sleman
89,70
90,50
90,50
91,49
91,49
92,19
92,61
93,44
94,53
95,11
Kota Yogyakarta
96,69
97,08
97,08
97,55
97,7
97,94
98,03
98,07
98,10
98,43
ht
tp
://
yo
gy
ar
ta
.b
ps
2004
Sumber : BPS
2010
ak
Kabupaten/Kota
.g
o.
Tabel 6 Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota di DIY,
2004-2013 (Persen)
Tabel 7 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas menurut Kabupaten/Kota di DIY,
2004-2013 (Tahun)
Kabupaten/Kota
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
8,22
8,38
8,50
8,59
8,71
8,78
9,07
9,20
9,21
9,33
Kulonprogo
7,40
7,70
7,80
7,80
7,80
7,89
8,20
8,37
8,37
8,37
Bantul
7,91
8,00
8,00
8,36
8,55
8,64
8,82
8,92
8,95
9,02
Gunungkidul
7,40
7,60
7,60
7,60
7,60
7,61
7,65
7,70
7,70
7,79
Sleman
9,79
10,07
10,10
10,10
10,10
10,18
10,30
10,51
10,52
10,55
Kota Yogyakarta
10,69
10,82
10,80
10,95
11,42
11,48
11,48
11,52
11,56
11,56
Sumber : BPS
92
Tabel 8 Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan yang Disesuaikan (PPP) menurut Kabupaten/Kota di DIY,
2004-2013 (Rp)
Kabupaten/Kota
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
636,74
638,03
638,77
639,88
643,25
644,67
646,56
650,16
653,78
656,19
Kulonprogo
616,94
617,92
619,65
624,09
628,29
629,5
630,38
631,42
634,34
635,96
Bantul
634,48
637,07
637,07
637,79
642,19
643,89
646,08
651,17
654,06
656,07
Gunungkidul
613,62
614,63
615,67
617,7
621,67
623,09
625,2
628,73
631,91
634,88
Sleman
638,04
639,06
639,37
640,6
645,15
646,08
647,84
650,27
654,11
656,00
Kota Yogyakarta
637,93
639,11
639,23
640,55
645,1
647,59
649,71
653,79
657,65
658,76
id
Sumber : BPS
2004
2005
2006
(1)
(2)
(3)
(4)
D.I. Yogyakarta
72,91
73,50
73,70
Kulonprogo
70,92
71,50
72,01
Bantul
71,50
71,95
71,96
Gunungkidul
68,86
69,27
69,44
Sleman
75,10
75,57
Kota Yogyakarta
77,42
77,70
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
74,15
74,88
75,23
75,77
76,32
76,75
77,37
72,76
73,26
73,77
74,49
75,04
75,33
75,95
72,78
73,38
73,75
74,53
75,05
75,51
76,01
69,68
70,00
70,17
70,45
70,84
71,11
71,64
76,22
76,70
77,24
77,70
78,20
78,79
79,39
79,97
77,81
78,14
78,95
79,28
79,52
79,89
80,24
80,51
yo
gy
ak
(5)
ht
tp
://
Sumber : BPS
2007
ar
ta
.b
ps
Kabupaten/Kota
.g
o.
Tabel 9 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Persen)
Tabel 10 Reduksi Shortfall IPM per Tahun menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2004-2013 (Tahun)
Kabupaten/Kota
20042005
20052006
20062007
20072008
20082009
20092010
20102011
20112012
20122013
20042013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
D.I. Yogyakarta
2,18
0,75
1,71
2,82
1,39
2,18
2,27
1,82
2,67
1,37
Kulonprogo
1,99
1,79
2,68
1,84
1,91
2,74
2,16
1,16
2,51
1,37
Bantul
1,58
0,04
2,92
2,20
1,39
2,97
2,04
1,84
2,04
1,36
Gunungkidul
1,32
0,55
0,79
1,06
0,57
0,94
1,32
0,93
1,83
1,28
Sleman
1,89
2,66
2,02
2,32
2,02
2,24
2,71
2,83
2,81
1,39
Kota Yogyakarta
1,24
0,49
1,49
3,71
1,57
1,16
1,81
1,74
1,37
1,34
Sumber : BPS
93
93
Tabel 11 Angka Partisipasi Sekolah, Kasar dan Murni menurut Kelompok Usia di DIY, 2004-2013 (Persen)
Partisipasi Kelompok
Usia
Sekolah
Angka
Partisipasi
Murni
(APM)
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
7-12
98,67 98,77 99,05 99,35 99,29 99,62 99,65 99,69 99,46 99,77 99,96
13-15
95,10 95,02 95,16 90,55 92,62 92,91 93,42 94,02 97,59 98,32 96,71
16-18
73,58 75,96 74,86 71,18 71,82 72,46 72,26 73,06 75,85 80,22 81,50
19-24
42,29 47,00 41,21 39,71 43,38 43,47 43,30 44,03 41,73 44,32 46,73
SD
102,83 107,36 106,60 107,97 112,20 115,03 111,10 108,16 104,52 107,13 108,31
SLTP
100,57 97,29 98,21 91,30 102,35 104,81 92,47 93,47 89,40 88,99 83,54
SLTA
75,32 77,48 78,05 72,57 75,87 79,04 78,33 79,29 86,50 83,09 89,74
SD
91,98 92,55 95,46 94,38 93,53 94,32 94,38 94,76 91,98 96,03 98,72
SLTP
79,06 77,37 83,27 72,30 74,94 75,31 75,34 75,55 69,15 72,64 75,82
SLTA
59,77 61,51 62,45 55,85 57,88 58,96 58,69 59,35 59,68 64,02 64,92
id
Angka
Partisipasi
Kasar
(APK)
2004
.g
o.
Angka
Partisipasi
Sekolah
(APS)
2003
ar
ta
.b
ps
Sumber : BPS
2010
Garis
Jumlah
Garis
Jumlah
Garis
Jumlah
Persentase
Persentase
Persentase
Kemiskinan Penduduk
Kemiskinan Penduduk
Kemiskinan Penduduk
Penduduk
Penduduk
Penduduk
(Rp/Kapita/ Miskin
(Rp/Kapita/ Miskin
(Rp/Kapita/ Miskin
Miskin
Miskin
Miskin
Bulan)
(000 Jiwa)
Bulan)
(000 Jiwa)
Bulan)
(000 Jiwa)
197.507
97,9
26,85
205.585
89,9
24,65
225.059
90,0
23,15
Bantul
196.509
164,3
18,54
224.373
158,5
17,64
245.626
146,9
16,09
Gunungkidul
157.071
173,5
25,96
186.232
163,7
24,44
203.873
148,7
22,05
Sleman
212.031
125,1
12,34
226.256
117,5
11,45
247.688
117,0
10,7
Yogyakarta
263.996
48,1
10,81
265.168
45,3
10,05
290.286
37,8
9,75
DIY
202.362
608,9
18,02
220.830
574,9
16,86
234.282
540,4
15,63
ht
tp
://
Kulonprogo
yo
gy
ak
Kab/Kota
2009
Lanjutan
2008
Kab/Kota
2009
2010
Garis
Jumlah
Garis
Jumlah
Garis
Jumlah
Persentase
Persentase
Persentase
Kemiskinan Penduduk
Kemiskinan Penduduk
Kemiskinan Penduduk
Penduduk
Penduduk
Penduduk
(Rp/Kapita/ Miskin
(Rp/Kapita/ Miskin
(Rp/Kapita/ Miskin
Miskin
Miskin
Miskin
Bulan)
(000 Jiwa)
Bulan)
(000 Jiwa)
Bulan)
(000 Jiwa)
Kulonprogo
240.301
92,8
23,62
256.575
92,4
23,32
259.945
86,5
21,39
Bantul
264.546
159,4
17,28
284.923
158,8
16,97
292.639
156,6
16,48
Gunungkidul
220.479
157,1
23,03
238.438
156,5
22,72
238.056
152,2
21,7
Sleman
267.107
117,3
10,61
288.048
116,8
10,44
297.170
110,8
9,68
Yogyakarta
314.311
37,7
9,62
340.324
37,6
9,38
353.602
35,6
8,82
DIY
257.909
564,3
16,14
270.110
562,1
15,88
303.843
541,9
15,03
Sumber : BPS
94
Perdesaan (D)
15,63
3,08
0,88
14,99
2,72
0,71
311,5
14,25
2,84
0,81
240,282
308,4
13,98
2,27
0,56
Mar 2011
265,752
304,3
13,16
1,93
0,50
Sep 2011
273,678
298,9
12,88
1,93
0,48
Mar 2012
274,662
305,9
13,13
3,56
1,32
Sep 2012
284,549
306,5
13,10
2,29
0,58
Mar 2013
297,391
315,5
13,43
2,08
0,50
Sep 2013
317,925
325,5
13,73
2,18
0,52
Mar 2014
327,273
333,0
13,81
2,22
0,53
Mar 2002
103,012
Mar 2003
106,801
Mar 2004
114,671
Mar 2005
130,807
Mar 2006
148,523
Mar 2007
156,349
Mar 2008
169,934
Mar 2009
Mar 2010
Mar 2002
123,902
303,8
16,17
Mar 2003
137,132
303,3
16,44
Mar 2004
148,247
301,4
15,96
Mar 2005
160,690
340,3
16,02
Mar 2006
196,406
346,0
17,85
Mar 2007
200,855
335,3
Mar 2008
208,655
324,2
Mar 2009
228,236
Mar 2010
.g
o.
ar
ta
.b
ps
331,9
25,96
333,5
24,48
314,8
23,65
285,5
24,23
302,7
27,64
298,2
25,03
5,08
1,55
292,1
24,32
4,49
1,29
182,706
274,3
22,60
4,74
1,46
195,406
268,9
21,95
3,89
1,02
217,923
256,6
21,82
3,67
0,93
226,770
265,3
22,57
3,54
0,81
231,855
259,4
21,76
3,29
0,79
Sep 2012
241,975
255,6
21,29
4,07
1,09
Mar 2013
256,558
234,7
19,29
3,02
0,63
Sep 2013
275,786
209,7
17,62
2,03
0,34
Mar 2014
286,137
211,8
17,36
2,11
0,40
Mar 2002
112,995
635,7
20,14
Mar 2003
127,089
636,8
19,86
Mar 2004
134,371
616,2
19,14
Mar 2005
148,476
625,8
18,95
Mar 2006
170,720
648,7
19,15
Mar 2007
184,965
633,5
18,99
3,80
1,12
Mar 2008
194,830
616,3
18,32
3,35
0,92
Mar 2009
211,978
585,8
17,23
3,52
1,04
Mar 2010
244,258
577,3
16,83
2,85
0,73
Mar 2011
249,629
560,9
16,08
2,51
0,65
Sep 2011
257,909
564,2
16,14
2,48
0,59
Mar 2012
260,173
565,3
16,05
3,47
1,14
Sep 2012
270,110
562,1
15,88
2,89
0,75
Mar 2013
283,454
550,2
15,43
2,40
0,55
Sep 2013
303,843
535,2
15,03
2,13
0,46
Mar 2014
313,452
544,9
15,00
2,19
0,48
Mar 2011
Sep 2011
ht
tp
://
Mar 2012
Perkotaan (K) +
Perdesaan (D)
id
Bulan/ Tahun
Persentase
Penduduk
Miskin (P0 )
ak
Perkotaan (K)
Indeks
Keparahan
Kemiskinan
(P2 )
Jumlah
Penduduk
Miskin (000)
yo
gy
Wilayah
Indeks
Kedalaman
Kemiskinan
(P1 )
Garis
Kemiskinan
(Rp/Kapita/
Bln)
Sumber : BPS
95
95
Tabel 14 Laju Inflasi Tahunan Kota Yogyakarta menurut Kelompok Komoditas, 2006-2013 (Persen)
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Bahan Makanan
15,62
13,30
14,92
3,91
18,86
1,82
8,10
12,31
13,85
7,33
9,01
7,50
5,47
7,07
6,90
8,15
6,68
6,17
13,78
1,40
5,49
3,01
2,99
5,18
Sandang
8,04
9,34
9,90
5,81
5,41
9,40
3,56
0,00
Kesehatan
16,09
4,37
8,19
1,86
1,97
5,64
1,93
3,08
15,36
12,57
5,62
2,26
4,25
1,73
1,43
3,17
1,50
2,97
6,12
-1,23
5,57
2,40
1,30
10,45
10,40
7,98
10,80
2,93
7,38
3,88
4,31
7,32
(1)
id
Kelompok Komoditas
.g
o.
Sumber : BPS
Tabel 15 IHK Bulan Desember Kota Yogyakarta menurut Kelompok Komoditas, 2009-2013 (Persen)
2009
2010
2011
2012
2013
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
127,24
151,24
154,00
166,48
186,98
120,37
126,96
135,94
145,32
157,17
118,34
124,84
128,60
132,44
139,30
119,19
125,64
137,45
142,34
142,34
112,27
114,48
120,94
123,28
127,08
114,49
119,36
121,42
123,16
127,07
102,03
107,71
110,29
111,72
123,40
116,64
125,25
130,11
135,72
145,65
(1)
ak
Bahan Makanan
ar
ta
.b
ps
Kelompok Komoditas
yo
gy
Sandang
Kesehatan
://
tp
ht
Umum
Sumber : BPS
96
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
Januari
0,44 0,74 1,19 2,94 0,47 1,32 1,23 0,17 6,23 2,46 0,78 -0,08 1,44 0,88 0,60 1,20 2,50 0,89 1,25 0,09 0,57 0,84 0,25 0,96 1,05
Februari
0,96 0,29 0,61 2,05 1,56 1,36 1,10 0,88 14,58 0,31 -0,34 1,31 0,75 0,10 -0,20 0,14 0,21 0,54 1,01 0,32 0,31 0,10 0,10 0,93 0,07
Maret
0,13 0,20 0,67 1,10 1,29 1,59 -0,37 0,53 5,38 0,28 0,09 1,26 0,33 -0,02 0,44 0,95 -0,17 0,42 0,56 0,18 0,13 0,21 0,36 0,79 0,14
April
1,56 1,66 0,17 -0,17 -0,72 1,64 -1,05 0,01 4,11 -0,51 0,30 0,48 -0,25 0,22 0,75 0,30 0,64 0,02 0,21 -0,34 0,25 -0,28 0,11 -0,30 0,07
Mei
0,31 0,34 -0,34 0,32 0,53 0,08 -0,07 -0,40 3,57 -0,14 0,37 0,90 1,53 0,11 0,86 0,47 1,05 0,07 1,08 0,27 0,14 0,13 0,05 -0,29 0,05
Juni
1,20 -0,08 0,62 0,41 -0,31 -0,41 0,10 -0,11 4,75 -0,46 0,65 1,16 0,40 0,67 0,31 0,66 0,83 0,08 2,51 0,18 1,26 0,26 0,75 0,84 0,43
Juli
1,01 1,33 -0,02 0,62 1,46 1,21 0,60 0,95 8,60 -0,61 1,30 1,75 1,38 1,06 0,55 1,09 0,60 0,77 1,31 0,32 1,40 0,90 0,76 2,58 0,85
Agustus
1,32 1,23 -0,53 -0,06 1,29 0,73 -0,66 1,24 7,53 -0,10 0,36 0,32 0,82 0,06 0,54 0,87 0,84 1,40 0,67 0,77 0,43 0,63 0,42 0,87 0,09
September
0,83 0,53 0,35 0,17 0,49 0,64 0,15 1,76 4,43 -0,39 0,30 1,08 1,56 0,53 0,26 1,06 1,07 0,96 1,15 0,80 1,06 0,19 0,19 -0,24 0,49
Oktober
2,29 1,27 0,02 0,48 0,87 0,34 0,66 1,67 -0,14 -0,05 0,72 0,67 0,51 0,75 0,50 6,53 0,79 1,09 0,62 -0,03 0,28 0,04 0,38 0,61
Nopember
0,44 0,62 0,70 1,21 1,38 0,30 1,03 2,81 -0,24 0,47 1,20 1,49 1,68 0,67 1,08 1,40 0,43 1,01 0,07 0,09 0,62 0,33 0,20 0,20
Desember
0,24 0,23 1,34 0,94 0,24 0,84 0,33 3,21 0,83 2,51 1,37 1,57 1,27 0,57 1,05 -0,45 1,17 0,47 -0,11 0,24 0,72 0,48 0,66 0,17
Jan-Des
10,73 8,38 4,78 10,01 8,55 9,64 3,05 12,72 77,46 2,51 7,32 12,56 12,01 5,73 6,95 14,98 10,40 7,99 9,88 3,60 7,38 3,88 4,31 7,32
Tabel 17 Produk Domestik Regional Bruto DIY Atas Dasar Harga Berlaku, 2004-2013 (Rp Milyar)
LAPANGAN USAHA
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
3.634.903
3.991.035
4.574.164
4.941.800
5.993.781
6.366.771
6.644.695
7.373.852
8.355.326
8.861.281
2.661.201
2.936.878
3.438.464
3.610.606
4.419.013
4.652.257
4.817.985
5.348.388
6.136.638
6.304.000
79.108
88.736
99.492
118.189
149.666
139.878
147.300
173.453
188.126
207.577
551.044
601.898
624.190
742.176
889.911
987.858
1.067.708
1.204.853
1.335.596
1.587.662
d. Kehutanan
274.907
273.205
315.671
350.341
385.215
419.458
430.726
450.657
462.997
480.884
e. Perikanan
68.643
90.319
96.347
120.487
149.976
167.320
180.976
196.501
231.969
281.157
416.531
(1)
1. PERTANIAN
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan
2013
182.522
198.337
218.170
258.761
280.106
293.983
304.660
361.793
379.951
c. Penggalian
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
182.522
198.337
218.170
258.761
280.106
293.983
304.660
361.793
379.951
416.531
3.342.179
3.588.201
4.078.214
4.475.680
5.062.275
5.528.856
6.396.639
7.434.020
7.609.337
8.771.188
a. Industri Migas
1. Pengilangan Minyak Bumi
2. Gas Alam Cair
b. Industri Tanpa Migas
1. Makanan, Minuman dan Tembakau
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki
3.342.179
3.588.201
4.078.214
4.475.680
5.062.275
5.528.856
6.396.639
7.434.020
7.609.337
8.771.188
1.337.982
1.463.452
1.718.484
1.858.825
2.379.204
2.650.343
3.385.042
4.237.759
4.278.424
5.032.769
673.019
694.184
763.940
815.415
778.189
877.451
843.173
972.033
1.039.011
1.218.083
385.030
413.087
468.737
547.573
512.338
455.006
469.291
416.066
379.507
411.298
161.652
168.987
183.392
207.421
217.375
236.405
245.159
235.655
233.788
254.388
id
133.031
143.527
165.341
196.203
232.749
282.326
351.537
369.169
391.614
401.976
155.560
169.596
181.529
214.571
232.562
249.411
283.281
313.558
318.348
373.086
9. Barang lainnya
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
a. Listrik
280.880
304.557
323.493
339.812
ar
ta
.b
ps
215.024
230.812
268.095
330.133
250.279
310.802
17.816
19.332
b. Gas
c. Air Bersih
.g
o.
362.243
391.774
435.995
465.967
490.244
498.337
273.298
295.859
347.616
386.139
383.161
423.814
478.401
581.252
377.002
423.370
488.334
560.316
607.072
675.912
727.574
796.704
355.810
398.572
461.850
531.446
576.248
642.759
690.775
756.432
21.192
24.798
26.484
28.870
30.824
33.153
36.799
40.272
5.580.599
6.186.322
6.908.381
1.743.786
2.230.686
2.866.922
3.470.711
4.075.606
4.431.411
4.833.423
4.162.506
4.866.927
5.597.603
6.326.700
7.321.299
8.165.613
1.775.643
2.086.787
2.379.563
2.701.533
3.150.428
3.497.028
3.884.721
4.395.608
4.884.831
5.510.533
489.097
505.960
454.950
549.130
717.179
801.873
867.922
1.052.324
1.262.869
1.465.009
ht
b. Komunikasi
tp
5. Angkutan Udara
6. Jasa Penunjang Angkutan
1. Pos dan Telekomunikasi
2.274.180
2.763.090
3.076.036
3.453.693
3.866.713
4.255.538
4.798.646
5.309.500
6.176.982
2.589.587
3.050.036
3.318.453
3.739.697
3.809.094
4.119.970
4.572.928
4.903.522
5.400.530
1.465.321
1.845.410
2.240.253
2.416.332
2.793.303
2.840.046
3.052.517
3.368.744
3.606.797
4.024.160
58.080
65.265
79.534
84.774
100.512
108.273
116.488
92.322
102.630
103.477
1.211.465
1.540.736
1.905.134
2.042.214
2.326.738
2.325.993
2.479.466
2.714.321
2.845.463
3.144.722
129.867
163.820
174.972
197.837
255.865
279.763
307.392
379.594
453.148
555.115
65.908
75.588
80.612
91.508
110.188
126.016
149.172
182.508
205.555
220.846
://
3. Angkutan Laut
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.
1.897.767
2.141.731
yo
gy
ak
5. BANGUNAN
6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
676.410
744.177
809.783
902.120
946.393
969.048
1.067.453
1.204.184
1.296.725
1.376.370
611.540
671.696
730.461
815.643
856.584
877.087
969.135
1.092.873
1.176.253
1.248.485
64.869
72.481
79.322
86.477
89.809
91.961
98.318
111.312
120.472
127.885
2.522.222
2.755.734
3.188.428
3.724.285
4.090.675
4.552.667
5.158.229
5.876.203
6.543.153
a. Bank
303.813
391.025
340.276
491.845
695.720
735.275
875.831
1.044.942
1.286.608
1.568.864
231.838
257.300
335.801
333.072
395.721
430.102
487.047
620.529
687.369
763.305
5.862
6.538
7.666
8.208
9.471
11.505
11.993
14.531
15.583
16.555
1.561.528
1.770.040
1.954.171
2.219.808
2.467.057
2.742.483
2.980.646
3.264.491
3.659.334
3.964.443
197.151
213.736
227.309
229.988
85.009
97.320
117.820
135.495
156.316
171.310
4.360.110
5.020.474
5.899.504
6.512.834
7.416.303
8.160.329
3.108.786
3.582.312
4.213.635
4.598.174
5.238.291
5.762.623
6.490.409
7.376.908
8.276.612
9.307.831
1.931.848
2.221.385
2.607.401
2.843.030
3.225.149
3.515.340
3.950.219
4.494.533
5.047.312
5.672.360
1.176.938
1.360.927
1.606.234
1.755.144
2.013.142
2.247.283
2.540.190
2.882.375
3.229.300
3.635.471
1.251.324
1.438.162
1.685.869
1.914.660
2.178.012
2.397.706
2.667.874
3.004.330
3.259.708
3.532.195
618.699
712.243
845.449
947.148
1.079.643
1.174.713
1.293.736
1.454.805
1.546.758
1.670.548
89.947
95.231
106.095
116.859
121.786
132.694
147.827
172.353
191.224
209.274
542.678
630.688
734.325
850.652
976.582
1.090.299
1.226.312
1.377.171
1.521.726
1.652.373
22.023.880 25.337.603 29.417.349 32.916.736 38.101.684 41.407.049 45.625.589 51.785.150 57.031.755 63.690.318
Sumber : BPS
97
97
Tabel 18 Produk Domestik Regional Bruto DIY Atas Dasar Harga Konstan 2000, 2004-2013 (Rp Milyar)
LAPANGAN USAHA
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
3.052.935
3.185.771
3.306.928
3.333.382
3.523.943
3.642.696
3.632.681
3.557.865
3.706.923
3.730.297
2.291.776
2.418.374
2.528.699
2.492.372
2.673.405
2.773.292
2.757.165
2.654.468
2.773.919
2.779.245
71.736
76.846
81.354
86.905
88.807
93.429
95.772
97.405
99.200
102.371
452.277
453.098
452.490
483.795
484.151
493.162
492.699
518.141
536.505
545.115
d. Kehutanan
180.003
166.046
174.236
186.281
190.344
190.273
190.177
190.700
191.589
192.710
e. Perikanan
57.142
71.406
70.148
84.029
87.236
92.539
96.868
97.152
105.709
110.856
167.669
(1)
1. PERTANIAN
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan
2013
120.441
122.332
126.137
138.358
138.328
138.748
139.967
156.711
159.808
c. Penggalian
3. INDUSTRI PENGOLAHAN
120.441
122.332
126.137
138.358
138.328
138.748
139.967
156.711
159.808
167.669
2.400.776
2.463.230
2.481.167
2.528.020
2.562.549
2.610.760
2.793.580
2.983.167
2.915.117
3.142.836
a. Industri Migas
1. Pengilangan Minyak Bumi
2. Gas Alam Cair
b. Industri Tanpa Migas
2.400.776
2.463.230
2.481.167
2.528.020
2.562.549
2.610.760
2.793.580
2.983.167
2.915.117
3.142.836
1.395.234
800.848
845.594
860.186
854.291
965.586
1.020.655
1.173.572
1.345.071
1.273.390
508.391
510.219
511.559
505.206
452.315
477.007
446.259
476.534
479.031
525.188
323.944
323.919
336.147
367.545
321.518
267.691
270.040
237.464
213.889
223.938
129.735
129.201
138.467
139.745
114.892
117.393
130.505
144.582
126.292
129.566
126.765
134.743
136.179
225.654
226.719
220.145
218.330
217.340
147.619
141.058
138.820
145.329
197.749
205.690
214.368
213.977
137.245
151.233
161.558
160.023
175.528
220.616
237.318
244.152
246.895
241.772
178.328
182.586
179.771
178.932
185.285
180.317
169.791
171.639
188.701
221.869
144.845
153.115
152.862
165.772
174.933
185.599
193.027
201.243
215.542
229.640
131.776
140.027
140.186
152.779
162.218
172.772
179.870
187.992
200.981
214.396
13.069
13.088
12.676
12.993
12.715
12.827
13.157
13.251
14.561
15.244
b. Gas
c. Air Bersih
143.755
163.472
.g
o.
124.966
112.353
ar
ta
.b
ps
id
1.284.471
1.395.079
1.580.312
1.732.945
1.838.429
1.923.720
2.040.306
2.187.805
2.318.448
2.459.173
3.279.424
3.444.828
3.569.622
3.750.365
3.947.662
4.162.116
4.383.851
4.611.402
4.920.045
5.225.056
1.374.914
1.462.659
1.534.974
1.613.884
1.698.740
1.791.892
1.889.077
1.971.863
2.090.487
2.211.703
340.362
319.188
259.896
287.901
342.329
364.119
376.543
421.779
487.361
530.389
1.564.148
1.662.981
1.774.752
1.848.580
1.906.592
2.006.105
2.118.231
2.217.759
2.342.196
2.482.964
yo
gy
c. Restoran
ak
5. BANGUNAN
6. PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
1.582.194
1.673.352
1.761.672
1.875.307
2.008.919
2.128.594
2.250.664
2.430.696
2.581.620
2.744.146
a. Pengangkutan
1.128.495
1.190.805
1.235.199
1.286.540
1.351.435
1.416.841
1.458.821
1.530.366
1.608.411
1.704.159
1. Angkutan Rel
35.099
34.766
35.935
36.850
39.517
44.028
45.785
34.378
37.466
35.938
905.201
954.830
996.814
1.041.603
1.073.134
1.104.480
1.129.742
1.169.792
1.194.788
1.240.135
146.685
156.444
156.490
159.105
185.357
209.573
222.471
260.228
304.650
352.728
41.510
44.765
45.960
48.982
53.427
58.759
60.823
65.968
71.507
75.358
453.699
482.547
526.473
588.767
657.484
711.754
791.843
900.330
973.209
1.039.988
410.188
435.548
474.903
532.306
595.092
643.590
715.123
812.899
882.793
943.357
43.511
46.999
51.570
56.460
62.393
68.164
76.720
87.431
90.416
96.630
1.500.542
1.623.210
1.591.885
1.695.163
1.793.789
1.903.411
2.024.368
2.185.221
2.402.718
2.552.445
ht
tp
5. Angkutan Udara
://
3. Angkutan Laut
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr.
211.425
246.688
187.811
250.720
318.858
329.114
372.961
421.524
499.447
571.716
166.142
177.143
201.707
184.786
181.372
202.655
218.339
250.365
264.153
275.124
4.521
4.852
4.990
5.330
5.534
6.027
6.264
6.775
6.745
6.716
1.060.204
1.131.199
1.130.299
1.181.982
1.210.446
1.284.735
1.338.835
1.412.809
1.530.192
1.594.592
58.250
63.328
67.078
72.346
77.579
80.880
87.969
93.749
102.181
104.297
2.780.796
2.849.959
2.965.164
3.072.200
3.223.929
3.368.614
3.585.598
3.817.665
4.088.337
4.316.214
1.949.903
1.979.282
2.049.433
2.121.210
2.230.824
2.332.559
2.491.965
2.642.246
2.843.023
2.995.720
1.241.683
1.259.262
1.301.166
1.345.636
1.409.288
1.460.885
1.557.187
1.652.758
1.779.933
1.874.323
708.220
720.020
748.267
775.574
821.536
871.674
934.778
989.488
1.063.090
1.121.397
830.892
870.677
915.731
950.990
993.105
1.036.055
1.093.633
1.175.419
1.245.314
1.320.495
387.807
405.129
425.402
429.787
450.616
470.494
493.810
525.092
547.505
581.085
65.442
67.681
70.717
76.936
79.678
83.729
88.685
97.039
105.334
112.894
377.643
397.867
419.612
444.267
462.811
481.832
511.138
553.288
592.475
626.516
16.146.424 16.910.877 17.535.749 18.291.512 19.212.481 20.064.257 21.044.042 22.131.774 23.308.558 24.567.476
Sumber : BPS
98
ar
ta
.b
ps
ak
yo
gy
://
tp
ht
id
.g
o.
id
.g
o.
ar
ta
.b
ps
D ATA
ht
tp
://
yo
gy
ak
MENCERDASKAN BANGSA