Anda di halaman 1dari 16

BAB I

LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama

: Tn. H

Usia

: 33 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


No. RM

: 9234xx

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RS diantar oleh keluarganya

Pasien sering mengalami nyeri perut berulang

Nyeri perut hebat dirasakan sejak 1 minggu SMRS tapi masih bisa ditahan

mual-muntah (+), demam (+) naik turun.


Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi (-), Asma (-), Diabetes Melitus (-), Hepatitis (-), Tuberkulosis paru (-)
Riwayat Alergi : makanan dan obat disangkal
Riwayat Pengobatan :
Riwayat minum jamu/herbal (-), obat-obatan warung (-), pengencer darah (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Hipertensi (-), DM (-), Jantung (-)
Riwayat Psikososial

: merokok (+) 3 bungkus perhari, alkohol (-), kopi (-), olahraga jarang

Riwayat Operasi

: tidak ada

Tes HIV

: belum pernah

Trauma

:-

Riwayat Psikis

: Saat akan operasi pasien merasa cemas

KEADAAN PRA BEDAH


-

Keadaan Umum

: tampak sakit sedang


1

Kesadaran : composmentis

BB

: 98 kg

TB

:-

Tanda Vital :

TD

: 110/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Suhu

: 360C

RR

: 18 x/menit

STATUS GENERALIS

Kepala : Normocephal
Mata
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Telinga
: dalam batas normal
Hidung
: dalam batas normal
Mulut : bibir pucat dan sianosis (-), gigi palsu (-), gigi bolong (-)
Leher
: pembesaran KGB (-)
Thorax :

inspeksi

: iktus cordis tidak tampak, tampak simetris dada dekstra-sinistra

palpasi

: pulsasi teraba, vokal fremitus simetris

perkusi

: batas jantung kanan ICS II lps dekstra, ICS IV lps dekstra

batas jantung ki ICS II lps sinistra, ICS VI mklavikularis sinistra


batas paru-hati midclavicula dextra ICS VI
auskultasi

: S1/S2 regular, murmur (-), gallop (-),rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : membuncit, timpani, bising usus (+), nyeri tekan epigastrium (-), nyeri

tekan Mcburney (+)


Ekstremitas :
-

Atas

: Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), udem (-)

Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), udem (-)

PEMERIKSAAN LAB

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hemoglobin

16.5

gr/dL

13.2-17.3

Jumlah leukosit

12.92

ribu/L

3.60-10.60

Jumlah trombosit

301

ribu/L

150-440

Hematokrit

46

40-52

Eritrosit

5.6

ribu/L

4.4-5.9

MCV/VER

81

fL

80-100

MCV/HER

29

Pg

26-34

MCHC/KHER

36

g/dL

32-36

Hematologi

Diagnosis Pra-Bedah

: appendicitis

Diagnosis Pasca Bedah

: appendisitis

ASA

: 2 (leukositosis, merokok, obesitas)

Jenis Pembedahan

: appendectomy

Jenis Anestesia

: spinal Analgesia / Regional

Premedikasi

:-

PERSIAPAN OPERASI
-

Puasa 6 jam

Pemasangan infus ringer laktat

Pasien dibawa ke ruang operasi

Pasien diposisikan terlentang di meja operasi

Sebelum dilakukan induksi pasien dipasang elektroda, manset TD, dan pengukur Sp02.

MEDIKASI
1. Decain 20 mg
2. Fentanyl 0,025 mg
3. Catapres 0,3 mg
4. Sedacum 5 mg
5. Fentanyl 0,05 mg
6. Ephedrin 10 mg
3

7. Ephedrin 10 mg
8. Ephedrin 10 mg
9. Ephedrin 10 mg
10. Ephedrin 10 mg
11. Ketorolac 30 mg
Pukul 21.00
Diberikan :
1. Decain 20 mg
2. Fentanyl 0,025 mg
3. Catapres 0,03 mg
Tercatat TD 130/80 mmHg, Nadi 100x/mnt, SpO2 100%
Kemudian pasien merasa kedua kaki kesemutan dan sulit diangkat
Diberikan 02 nasal canule 3 L
Pukul 21.10
Tercatat TD 120/70 mmHg, Nadi 90x/mnt, SpO2 99%
Diberikan :
1. Sedacum 5 mg
2. Fentanyl 0,05 mg
Pukul 21.25
Tercatat TD 78/48 mmHg, Nadi 101x/mnt, SpO2 99%
Cairan infus diganti RA
Diberikan :
1. Ephedrin 10 mg diulang sebanyak 4 kali
Pukul 21.35
Tercatat TD 91/52, Nadi 103x/mnt, SpO2 100%
Pukul 21.40
Tercatat TD 78/43 mmHg, Nadi 105x/mnt, SpO2 99%
Diberikan :
4

Ephedrine 10 mg
Pukul 21.45
Tercatat TD 98/55 mmHg, Nadi 98x/mnt, SpO2 99%
Cairan infus RA
Diberikan :
-

Ketorolac 30 mg

Pukul 21.55
Operasi selesai
Tercatat TD 98/55 mmHg, Nadi 98x/mnt, SpO2 99%
PASCA ANESTESIA
-

Jumlah cairan

: Ringer asetat 1000 ml

Jumlah perdarahan

: 50 cc

Lama anestesia

: 55 menit

Lama pembedahan

: 30 menit

Pasien dipindahkan ke RR

Pasang tensi, SpO2, O2 nasal 3L

Tercatat TD 90/60, Nadi 95x/mnt, SpO2 100%

Nilai
Gangguan pernapasan

(-)

Gangguan kardiovaskular

(-)

Gelisah

(-)

Keluhan nyeri

(-)

Mual-muntah

(-)

Menggigil

(+) diberikan warmer

BAB II
PEMBAHASAN
5

2.1 TEKANAN DARAH


2.1.1 Definisi Tekanan Darah
Peristiwa yang terjadi pada jantung berawal dari permulaan sebuah denyut jantung
sampai berakhirnya denyut jantung berikutnya disebut siklus jantung. Siklus jantung
terdiri atas satu periode relaksasi yang disebut diastol, yaitu periode pengisian jantung
dengan darah, yang diikuti oleh satu periode kontraksi yang disebut sistol. 1 Kontraksi
jantung mengakibatkan gaya tekan terhadap darah yang kemudian disebut tekanan darah.
Tekanan darah diartikan sebagai kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap
satuan luas dinding pembuluh dan hampir selalu dinyatakan dalam millimeter air raksa
(mmHg).

Tekanan darah normal pada orang dewasa kira-kira 120 mmHg sistol dan 80

mmHg diastol (biasa ditulis 120/80). 2


Jantung diinervasi oleh parasimpatis (vagus) dan simpatis (cardioaccelerator).
Parasimpatis mengeluarkan acetylcholine (ACh), kemudian berikatan dengan reseptor
muscarinik di sinoatrial (SA) node, atrioventricular (AV) node, dan specialized conducting
tissues. Stimulasi dari parasimpatis menyebabkan penurunan denyut jantung dan
kecepatan hantaran darah ke jaringan. Ventrikel hanya sedikit diinervasi parasimpatis dan
stimulasi parasimpatis hanya memiliki efek langsung yang sedikit terhadap kontraktilitas
jantung. Beberapa serabut parasimpatis berakhir pada serabut simpatis dan menginhibisi
pengeluaran norepinephrine (NE). Oleh karena itu, pada aktivitas sistem persarafan
simpatis, parasimpatis mengurangi kontraktilitas jantung. Serabut simpatis di jantung
mengeluarkan NE yang berikatan dengan reseptor 1-adrenergik di SA node, AV node dan
specialized conducting tissues, dan otot jantung. Stimulasi simpatis menyebabkan
peningkatan denyut jantung, kecepatan hantaran darah ke jaringan, dan kontraktilitas
jantung. Kedua sistem persarafan autonom tersebut menjaga fungsi jantung dengan efek
yang saling berlawanan. 2
Faktor faktor yang berkaitan dengan tekanan darah antara lain genetik, aktivitas
saraf simpatis, hemodinamis, metabolisme natrium dalam ginjal, gangguan mekanisme
pompa natrium, renin angiotensin dan aldosteron.1

2.1.2 Hipotensi Pada Anestesi Spinal


Segera setelah teranestesi spinal akan timbul vasodilatasi perifer, penurunan
tahanan vaskuler sistemik yang seringkali diikuti hipotensi. Hipotensi didefinisikan
sebagai TDS < 80% dari TDS awal. Hipotensi tejadi bila TDS < 90 mmHg atau terjadi
penurunan TDS 25% dari nilai base line.3
Penyebab utama terjadinya hipotensi pada anestesi spinal adalah blokade tonus
simpatis. Blok simpatis ini akan menyebabkan terjadinya hipotensi, hal ini disebabkan
oleh menurunnya resistensi vaskuler sistemik dan curah jantung. Pada keadaan ini terjadi
pooling darah dari jantung dan thoraks ke mesenterium, ginjal, dan ekstremitas bawah.
Manifestasi fisiologi yang umum pada anestesi spinal adalah hipotensi dengan
derajat yang bervariasi dan bersifat individual. Terjadinya hipotensi biasanya terlihat pada
menit ke 20 30 pertama setelah injeksi, kadang dapat terjadi setelah menit ke 45 60.
Derajat hipotensi berhubungan dengan kecepatan obat lokal anestesi ke dalam ruang
subarachnoid dan meluasnya blok simpatis.4,5
Tabel 3. Etiologi hipotensi selama anestesi5
1) Hipovolemi
Hipovolemi pra anestesi, perdarahan bedah
2) Anestetika

Halotan, enfluran, isofluran

3) Obat pelumpuh otot

d-tubukurarin

4) Anelgesia spinal

Mencapai segmen tinggi atau epidural

5) Penyakit kardio vaskuler

Infrak miokard, aritmia, hipertensi

6) Penyakit pernafasan

Pneumotorak

7) Reaksi hipersensitivitas

Obat induksi, obat pelumpuh otot, reaksi transfusi

Faktor-faktor pada anestesi spinal yang mempengaruhi terjadinya hipotensi 4,6,7


1) Ketinggian blok simpatis
7

Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan meluasnya blokade simpatis


dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Blokade simpatis yang
terbatas pada rongga thorax tengah atau lebih rendah menyebabkan vasodilatasi anggota
gerak bawah dengan kompensasi vasokonstriksi pada anggota gerak atas atau dengan kata
lain vasokonstriksi yang terjadi diatas level dari blok, diharapkan dapat mengkompensasi
terjadinya vasodilatasi yang terjadi dibawah level blok.
2) Posisi Pasien
Kontrol simpatis pada sistem vena sangat penting dalam memelihara venous return
dan karenanya kardiovaskuler memelihara homeostasis selama perubahan postural.
Vena-vena mempunyai tekanan darah yang besar dan sebagian besar berisi darah sirkulasi
(70%). Blokade simpatis pada anestesi spinal menyebabkan hilangnya fungsi kontrol dan
venous return menjadi tergantung pada gravitasi. Jika anggota gerak bawah lebih rendah
dari atrium kanan dan vena-vena berdilatasi, maka akan terjadi sequestering volume darah
yang banyak (pooling vena). Jika terjadi penurunan venous return dan curah jantung yang
bersamaan serta terjadinya penurunan tahanan perifer dapat menyebabkan hipotensi yang
berat. Hipotensi pada anestesi spinal sangat dipengaruhi oleh posisi pasien. Pasien dengan
posisi head-up akan cenderung terjadi hipotensi diakibatkan oleh venous pooling. Oleh
karena itu pasien sebaiknya pada posisi slight head-down selama anestesi spinal untuk
mempertahankan venous return.
3) Faktor yang berhubungan dengan kondisi pasien
Kondisi fisik pasien yang dihubungkan dengan tonus simpatis basal, juga
mempengaruhi derajat hipotensi. Hipovolemia dapat menyebabkan depresi yang serius
pada sistem kardiovaskuler selama anestesi spinal. Pada pasien dengan keadaan
hipovolemia, tekanan darah dipertahankan dengan peningkatan tonus simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi perifer. Blok simpatis oleh karena anestesi spinal mungkin
mencetuskan hipotensi yang dalam. Hipovolemia dapat menyebabkan depresi yang serius
pada sistem kardiovaskuler selama anestesi spinal, karenanya hipovolemia merupakan
kontraindikasi relative pada anestesi spinal. Tetapi, anestesi spinal dapat dilakukan jika
normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume cairan. Pasien hamil, sensitif
8

terhadap blokade sympatis dan hipotensi. Hal ini dikarenakan obstruksi mekanis venous
return oleh uterus gravid. Pasien hamil harus ditempatkan dengan posisi miring lateral,
segera setelah induksi anestesi spinal untuk mencegah kompresi vena cava. Demikian juga
pasien dengan tumor abdomen, atau masa abdomen, mungkin menyebabkan hipotensi
berat pada anestesi spinal. Pasien-pasien tua dengan hipertensi dan ischemia jantung
sering menjadi hipotensi selama anestesi spinal dibanding dengan pasien - pasien muda
sehat.
4) Faktor Agen Anestesi Spinal
Derajat hipotensi tergantung juga pada agen anestesi spinal. Pada level anestesi
yang sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil dibandingkan
tetracaine. Hal ini mungkin disebabkan karena blokade serabut-serabut simpatis yang
lebih besar dengan tetracain di banding bupivacaine. Barisitas agent anestesi juga dapat
berpengaruh terhadap hipotensi selama anestesi spinal. Agen tetracaine maupun
bupivacaine yang hiperbarik dapat lebih menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan
agen yang isobarik ataupun hipobarik. Hal ini dihubungkan dengan perbedaan level blok
sensoris dan simpatis. Dimana agen hiperbarik menyebar lebih jauh daripada agent
isobarik maupun hipobarik sehingga menyebabkan blokade simpatis yang lebih tinggi.
Mekanisme lain yang dapat menjelaskan bagaimana anestesi spinal dapat
menyebabkan hipotensi adalah efek sistemik dari obat anestesi lokal itu sendiri. Obat
anestesi lokal tersebut mempunyai efek langsung terhadap miokardium maupun otot polos
vaskuler perifer. Semua obat anestesi mempunyai efek inotropik negatif terhadap otot
jantung. Obat anestesi lokal tetracaine maupun bupivacaine mempunyai efek depresi
miokard yang lebih besar dibandingkan dengan lidocaine ataupun mepivacaine.4
Adapun beberapa faktor resiko lain terjadinya hipotensi pada anestesi spinal,
diantaranya adalah hipertensi preoperatif, usia lebih dari 40 th, obesitas, kombinasi general
anestesi dan regional anestesi, alkoholisme yang kronis, dan tekanan darah baseline
kurang dari 120 mmHg.

Selain menggunakan vasopresor ephedrine, insidensi hipotensi juga dapat


diturunkan dengan pemberian preload kristaloid sebagai salah satu tindakan preventif yang
meningkatkan volume cairan sentral dengan pemberian cairan intravena. 3
2.1.3 Penatalaksanaan Hipotensi
Empat alternatif cara pencegahan hipotensi pada anestesia spinal adalah pemberian
vasopresor, modifikasi teknik regional anestesia, modifikasi posisi dan kompresi tungkai
pasien untuk menambah aliran balik (seperti pemakaian Esmarc Bandages), pemberian
cairan intravena.3
Untuk mengatasi hipotensi secara efektif, penyebab utama dari hipotensi harus
dikoreksi. Penurunan curah jantung dan venous return harus diatasi, pemberian kristaloid
sering kali berguna untuk memperbaiki venous return. Dalam prakteknya pemberian
preloading 500 1500 ml kristaloid dapat menurunkan terjadinya hipotensi, walaupun
pada beberapa penelitian lain tidak efektif. 8
Pada pasien tanpa adanya gangguan pada target organ dan asimptomatik, dengan
penurunan tekanan darah mencapai 33 % belum perlu perlu dikoreksi. 8
Monitoring tekanan darah dan juga pemberian suplemen oksigen harus diperhatikan
pada anestesi spinal. Pemberian cairan juga harus dimonitor secara hati-hati, karena
pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya congestive heart failure,
oedem paru, ataupun keduanya. 3,8
Penggunaan hanya dengan cairan intra vena tidak cukup efektif dalam penanganan
hipotensi akibat anestesi spinal. Respon tekanan darah terhadap pemberian cairan intra
vena membutuhkan waktu beberapa menit, sedangkan pada beberapa kasus hal itu tidak
cukup cepat, oleh karena itu sebagai obat pilihan utama diberikan vasopresor. 3,4
Jika sudah ada indikasi penatalaksanaan dengan medikamentosa, vasopresor
merupakan pilihan obat utamanya. Kombinasi dan adrenergik agonis lebih baik dari
pada agonis murni dalam menangani penurunan tekanan darah, ephedrine merupakan

10

obat pilihan utamanya. Dengan ephedrine curah jantung dan resistensi vaskuler perifer
dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. 8
Vasopresor yang ideal sebaiknya mempunyai efek sebagai berikut:
1) Mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif
2) Tidak menstimulasi saraf pusat
3) Tidak menyebabkan hipertensi yang berkepanjangan
Vasopresor yang sering di gunakan untuk kasus hipotensi adalah ephedrine. Karena
ephedrine memiliki efek kardiovaskuler, yang dapat meningkatkan tekanan darah, laju
nadi, kontraktilitas, dan curah jantung. Selain itu juga memiliki efek bronkodilator.
Ephedrine memiliki durasi yang lebih panjang, kurang poten, memiliki efek langsung
maupun tidak langsung dan dapat menstimulasi susunan saraf pusat. Efek tidak langsung
dari ephedrine dapat menstimulasi sentral, melepaskan norepinephrine perifer postsinaps,
dan menghambat reuptake norepinephrine. Efek tidak langsungnya dapat meningkatkan
vasokonstriksi dengan jalan meningkatkan pelepasan dari noradrenaline dan menstimulasi
secara langsung kedua reseptor () beta untuk meningkatkan curah jantung, laju nadi,
tekanandarah sistolik dan diastolik.9 Vercauteren, et.al., dalam penelitiannya mengatakan
pemberian ephedrine sebelum anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan
preventif terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya dengan pemberian 5mg ephedrine
IV(bolus) dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi.10 Kol, et.al., dalam
penelitiannya juga mengatakan bahwa pemberian ephedrine 0.5 mg/kg sebagai profilaksis
dapat secara signifikan menurunkan angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal.
Pemberian ephedrine sebagai profilaksis dapat menurunkan angka kejadian hipotensi dari
95 % menjadi 38 %.15 Ephedrine dengan dosisi 10-25mg intravena pada orang dewasa,
merupakan suatu simpatomimetik yang dapat meningkatkan tekanan darah sistemik akibat
blok sistem saraf simpatis pada anestesi spinal, hipotensi karena inhalasi atau obat- obatan
anestesi intravena. 9
Secara fisiologis penatalaksanaan hipotensi adalah dengan mengembalikan preload.
Cara yang efektif adalah dengan memposisikan pasien menjadi trendelenburg atau dengan
11

head down. Posisi ini tidak boleh lebih dari 20 , karena dengan posisi trendelenburg yang
terlalu ekstrim dapat menyebabkan penurunan prefusi cerebral dan dapat meningkatkan
tekanan vena jugularis, dan bila ketinggian blok pada anestesi spinal belum menetap,
posisi trendelenburg dapat meningkatkan ketinggian level blok pada pasien yang
mendapatkan agen hiperbarik, yang dapat memperburuk keadaan hipotensinya. Hal ini
dapat dihindari dengan menaikkan bagian atas tubuh menggunakan bantal dibawah bahu
ketika bagian bawah tubuh sedikit dinaikkan diatas jantung. 3,8
Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal 8 :
1. Pada pasien sehat
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan loading
cairan kristaloid 500 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan vasopresor, bila
laju nadi sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 10 mg IV, dan bila laju
nadi sekitar 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 50 100 mcg IV, pemberian
vasopresor tersebut dapat diulang setiap 2 3 mnt bila perlu sampai tekanan darah
kembali normal. Perlu dipertimbangkan juga untuk mengubah posisi menjadi
trendelenburg.
2. Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di
susunan saraf pusat
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan adanya
gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb.
Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 20 mg IV, jika tidak ada
respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 16 mg IV
atau infus titrasi epinephrine 0.15 0.3 mcg/kg/min.
Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 200 mcg IV, jika
tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus titrasi
phenylephrine 0.15 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine 0.01 0.1
mcg/kg/min.

12

Gambar. 1
Algoritme Penatalaksanaan Hipotensi Pada Anestesi Spinal

(Tsai, 2007)
EPHEDRINE
Ephedrine memiliki efek kardiovaskuler seperti epinephrine, dapat meningkatkan
tekanan darah, laju nadi, kontraktilitas, dan curah jantung. Ephedrine juga memiliki efek
bronkodilator. Perbedaannya, ephedrine memiliki durasi yang lebih panjang, kurang poten,
memiliki efek langsung maupun tidak langsung dan dapat menstimulasi susunan saraf
pusat. Efek tidak langsung dari ephedrine dapat menstimulasi sentral, melepaskan
norepinephrine perifer postsinaps, dan menghambat reuptake norepinephrine. 11
Efek tidak langsungnya dapat meningkatkan vasokonstriksi dengan jalan
meningkatkan pelepasan dari noradrenaline dan menstimulasi secara langsung kedua
13

reseptor () beta untuk meningkatkan curah jantung, laju nadi, tekanan darah sistolik dan
diastolik. 11
Ephedrine tidak menyebabkan penurunan uterine blood flow, sehingga dapat
digunakan sebagai vasopresor kasus-kasus obstetri. Ephedrine juga memiliki efek
antiemetik. 11
Pada dewasa, dosis yang digunakan adalah 5 10 mg IV dengan durasi 5 10 menit
atau 25 mg IM dengan durasi yang lebih panjang. Dapat pula diberikan dalam infus,
dengan dosis 25 30 mg ephedrine dalam 1 liter ringer laktat. Dosis untuk anak-anak
dapat diberikan dengan dosis 0.1 mg/kg. 3,11
PHENYLEPHRINE
Obat ini bersifat langsung dan dominan terhadap 1-agonis reseptor, dengan dosis
tinggi dapat menstimulasi 2 dan reseptor. Efek utamanya adalah vasokonstriksi perifer,
dan dapat meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arteri.
Phenylephrine dapat menimbulkan reflek bradikardi, sehingga dapat menyebabkan
penurunan curah jantung. 3,11
Dengan pemberian dosis 50 100 g (0.5 1 g/kg) secara cepat dapat
mengembalikan hipotensi yang disebabkan vasodilatasi perifer akibat anestesi spinal.
Dengan infus kontinyu (0.25 1 g/kg/min) dapat mempertahankan tekanan darah arteri,
namun dapat menurunkan renal blood flow. 3,11
NOREPINEPHRINE
Norepinephrine dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah arteri
maupun vena, hal ini dipicu oleh stimulasi langsung pada reseptor 1 ketika tidak adanya
aktivitas 2. Norepinephrine mempunyai efek terhadap 1 yang dapat meningkatkan
kontraktilitas miokard, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah
arteri. Norepinephrine memiliki efek menurunkan renal blood flow dan meningkatkan
kebutuhan miokard akan oksigen, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan syok
refrakter. Ekstravasasi dari norepinephrine dapat menyebabkan terjadinya nekrosis
jaringan. 11
14

Norepinephrine dapat diberikan dengan dosis 0.1 g/kg, atau dapat dengan infus
kontinyu dengan dosis 4 mg dalam 500 ml D5 dengan kecepatan 2 20 g/min. 11

DAFTAR PUSTAKA
1. Hall JE, Guyton AC. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC; 2008.
2. Rooke TW, Sparks HV. In: Rhoades RA, Tanner GA. Medical physiology. 2nd ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003.
3. Salinas FV. Spinal anesthesia. A practical approach to regional anesthesia. 4th ed. 2009
; p. 60 102.
4. Liguori GA. Hemodynamic complications, complications in regional anesthesia and
pain medicine .1st ed. 2007 ; p. 43 52.
5. Longnecker DE. Anesthesiology. USA: McGraw-Hill Companies; 2008.
6. Finucane BT. Complication of regional anesthesia. NewYork : Churchill Livingstone;
2000.
7. Brendan T, Finucane. Complications of regional anesthesia. Canada: Department of
Anesthesiology and Pain Medicine University of Alberta Edmonton; 2007.
8. Tsai, T., Greengrass, R., Spinal Anesthesia., Textbook of Regional Anesthesia and

Acute Pain Management., 2007 : 193 221.


9. Vercuteren, Taffe P, Sicard N, Pittet V. Prevention of hypotension by a single 5-mg
dose of ephedrine during small-dose spinal anesthesia in prehydrated cesarean delivery
patients. Anesth analg. 2000; 90: 324 7.
15

10. Kol IO. The effects of intravenous ephedrine during spinal anesthesia for cesarean.
Delivery: A randomized controlled trial. J Korean Med Sci. 2009; 24: 883-8.
11. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., Adrenergic Agonist & Antagonists.,

Clinical Anesthesiology., 2006 : 242 254.

16

Anda mungkin juga menyukai