Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan
pasien

gawat

darurat

adalah

memerlukan pertolongan cepat, tepat, dan cermat untuk


kematian dan

kecacatan.

Salah

satu indikator

mutu

pelayanan
dapat

yang

mencegah

pelayanan

berupa

Emergency Response Time (waktu tanggap gawat darurat) telah menjadi ukuran
kualitas pelayanan yang disediakan oleh layanan gawat darurat (Narad &
Driesbock, 1999). Dua komponen utama Emergency Response Time adalah saat
dari terjadi gejala sampai tiba ke rumah sakit atau fase pre-hospital, dan saat
pasien memasuki ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) sampai mendapat respon
dari petugas atau fase in-hospital (Sucita, 2011). Prinsip umum tentang
penanganan pasien gawat darurat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
adalah pasien harus ditangani paling lama 5 (lima) menit setelah sampai di IGD
(Kepmenkes, 2009).
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran pernafasan yang
menyebabkan obstruksi aliran udara episodik dan termasuk salah satu penyakit
yang memenuhi kriteria kegawatdaruratan ABC (Airway, Breathing, Circulation).
WHO menyatakan sekitar 235 juta orang saat ini menderita asma dan ini
merupakan penyakit umum di antara anak-anak, jumlah ini diperkirakan akan
terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap tahun. Angka morbiditas dan
mortalitas

cenderung

meningkat

pada

penyakit

asma,

dikarenakan

keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak adekuat di IGD. Tahun


2008 di RSUD dr. Moewardi Jawa Tengah, terdapat 18 orang pasien asma
dengan serangan akut meninggal dunia akibat keterlambatan penanganan di

IGD (Haryatun & Sudaryanto, 2008). Di Indonesia prevalensi asma belum


diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14
tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma
and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan
pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2% (Kepmenkes, 2008).
Asma memiliki kategori tingkat keparahan yaitu Ringan, Sedang, dan
Berat. Tingkat keparahan dilihat dari ada tidaknya wheezing, penggunaan otot
bantu pernafasan, bagaimana entri udara ke paru-paru, dan kontraksi otot
scalene. Penelitian yang dilakukan mengenai faktor yang menyebabkan
peningkatan derajat keparahan asma masih sedikit, salah satu penyebab yang
mungkin adalah penundaan penanganan. Risiko kematian meningkat di mana
ada penundaan dalam mendapatkan pengobatan, terutama waktu untuk
pemberian steroid, komorbiditas seperti gagal jantung kongestif atau penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK).
Beberapa penelitian terkait Emergency Response Time telah dilakukan,
namun sejauh ini masih terbatas sumber penelitian yang mengungkap
terdapatnya gap atau kesenjangan antara teori dan kenyataan tentang hubungan
Emergency Response Time Inhospital dengan tingkat keparahan gejala asma
pada anak. Apabila Response Time asma terlambat terlalu lama, selain
menyebabkan pasien anak kekurangan oksigen, kadang beberapa alveoli
(kantong udara di paru-paru) bisa pecah dan menyebabkan udara terkumpul di
dalam rongga pleura atau di sekitar organ dada. Hal ini dapat memperburuk
sesak yang dirasakan oleh pasien. Kematian tertinggi terjadi pada usia sangat
muda atau sangat tua. Jika tak segera ditangani, pasien asma akan mengalami
hipoksia. Menurut Prof dr Faisal Yunus, SpP(K), MD, PhD, spesialis paru di RS
MH Thamrin Rabu (1/5/2013) bahwa pada penyakit asma tidak dapat diketahui
seberapa lama pasien dapat bertahan terhadap gejala. Maka dari itu saat pasien
2

datang dengan asma harus segera ditangani untuk mengantisipasi terjadinya


komplikasi. Khususnya anak-anak masih belum bisa menahan rasa sakitnya,
serta saluran nafas anak masih sangatlah sempit. Adapun komplikasi dari
penyakit asma dalam jangka yang lama mampu mengakibatkan status
asmatikus,

bronchitis kronik,

pneumonia,

pneumotoraks bahkan

mampu

menyebakan kor pulmonal dan gagal jantung, bahkan dapat menyebabkan


kematian (Suriadi, 2001).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada Rumah Sakit Paru
Batu didapatkan bahwa anak yang masuk dengan asma di Instalasi Gawat
Darurat ditangani langsung tanpa menunggu urusan administrasi. Dalam selang
waktu yang tidak lebih dari 3 menit, anak dengan asma diberikan penanganan
pertama yaitu nebulizer. Apabila anak datang dengan pendamping, Instalasi
Gawat Darurat melakukan penanganan awal yaitu nebulizer pada anak, dan
pendamping mempunyai tugas untuk menyelesaikan administrasi di loket
pendaftaran. Bagi anak yang datang tanpa didampingi teman atau keluarga,
maka urusan administrasi diselesaikan setelah anak (1-18 tahun) merasa tidak
sesak lagi dan sudah kuat untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui
apakah hubungan Emergency Response Time Inhospital dengan durasi keluhan
dan keparahan gejala asma pada anak di IGD.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah hubungan Emergency Response Time In-hospital dengan
tingkat keparahan pada pasien anak dengan asma di IGD?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum :
Mengetahui hubungan emergency response time dengan tingkat
keparahan gejala asma pada anak di ruang Instalasi Gawat Darurat.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi Emergency Response Time di Instalasi Gawat
Darurat
2. Mengidentifikasi tingkat keparahan gejala asma
3. Menganalisa hubungan Emergency Response Time dengan tingkat
keparahan gejala

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian dapat dilihat secara akademis dan praktis, yaitu:
1.4.1 Manfaat Akademik
1.4.1.1 Mengembangkan
Emergency

ilmu

Response

pengetahuan
Time

mengenai

In-hospital

keparahan gejala asma pada anak.


1.4.1.2 Memberikan gambaran mengenai

hubungan

dengan

penyakit

asma

tingkat
dan

keparahannya sehingga dapat mendorong untuk mengetahui


bagaimana cara penanganan yang tepat dan cepat
1.4.1.3 Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitian
selanjutnya yang sejenis.

1.4.2 Manfaat Praktis


1.4.2.1 Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk membantu guna
pengembangan kebijakan dalam penanganan asma.
1.4.2.2 Masukan bagi Rumah Sakit, sebagai dasar pengembangan mutu
pelayanan terutama penyakit asma.

1.4.2.3 Peneliti selanjutnya dapat mengembangkan kajiannya dalam


bidang yang relevan sesuai dengan perkembangan ilmu dan
praktik layanan publik yang bermutu

Anda mungkin juga menyukai