Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Diare yang disebabkan oleh virus, bakteri dan protozoa, masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat utama yang perlu penanganan dan kajian dari
berbagai aspek. Penyebab kesakitan dan kematian akibat diare di lndonesia tidak
dapat diketahui secara spesifik apakah disebabkan oleh virus, bakteri atau
protozoa. Hal ini dikarenakan, sebagian besar diagnosis yang dilakukan oleh
tenaga medis tidak berbasiskan hasil pemeriksaan laboratorium tetapi hanya
berdasarkan diagnosis klinis. Diketahuinya dengan pasti prevalens penyebab diare
oleh protozoa adalah dari hasil penelitian atau hasil pemeriksaan laboratorium
para penderita rawat inap di rumah sakit. (1)
Di Amerika Serikat, insiden disentri amoeba mencapai 1-5% sedangkan
disentri basiler dilaporkan kurang dari 500.000 kasus tiap tahunnya. Sedangkan
angka kejadian disentri amoeba di Indonesia sampai saat ini masih belum ada,
akan tetapi untuk disentri basiler dilaporkan 5% dari 3848 orang penderita diare
berat menderita disentri basiler. (8)
Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat
disentri basiler pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kebanyakan kuman
penyebab disentri basiler ditemukan di negara berkembang dengan kesehatan
lingkungan yang masih kurang. Disentri amoeba tersebar hampir ke seluruh dunia
terutama di negara yang sedang berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini
dikarenakan faktor kepadatan penduduk, higiene individu, sanitasi lingkungan dan
kondisi sosial ekonomi serta kultural yang menunjang. Penyakit ini biasanya
menyerang anak dengan usia lebih dari 5 tahun. (8)
Spesies Entamoeba menyerang 10% populasi didunia. Prevalensi yang
tinggi mencapai 50 persen di Asia, Afrika dan Amerika selatan. (6) Sedangkan pada
shigella di Ameriksa Serikat menyerang 15.000 kasus. Dan di Negara-negara
berkembang Shigella flexeneri dan S. dysentriae menyebabkan 600.000 kematian
per tahun. (5)
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala
buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang
air besar dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar
(tenesmus).(8)
Penyakit infeksi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh virus, bakteri
dan protozoa. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dikenal sebagai disentri basiler
yang disebabkan oleh bakteri shigella, sedangkan infeksi yang disebab-kan oleh
protozoa dikenal sebagai disentri amuba. Adapun yang dimaksud dengan penyakit
infeksi saluran pencernaan yang dapat menyebabkan diare adalah buang air besar
dengan tinja yang berbentuk cair atau lunak dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24
jam.

Penyebab diare yang terpenting dan terseringadalah Shigella, khusus-nya S.

flexneri dan S. dysenteriae. Entamoeba histolytica (E.histolytica) merupakan


penyebab disentri pada anak yang usianya di atas lima tahun dan jarang ditemukan
pada balita. Disentri amuba adalah penyakit infeksi saluran pencernaan akibat
tertelannya kista E. histolytica yang me-rupakan mikroorganisme an-aerob bersel
tunggal dan bersifat pathogen. (1)
Disentri adalah diare yang disertai darah. Sebagian besar episode
disebabkan oleh shigella dan hampir semuanya memerlukan pengobatan
antibiotik. Dikatan disentri apabila ditemukan tanda-tanda BAB cair, sering, dan
disertai dengan darah. Sehingga di rumah sakit diharuskan dilakukan pemeriksaan
feses untuk mengidentifikasi adanya trofozoid, amuba dan giardia. (9)
Disentri disebabkan oleh shigellosis menimbulkan tanda-tanda radang akut
meliputi:

Nyeri perut
Demam
Kejang
Letargis Prolaps rektum (9)
2

II.2 Epidemiologi
Prevalensi penyakit disentri di setiap daerah sangat bervariasi,
diperkirakan 10% populasi di dunia terinfeksi penyakit ini. Prevalensi tertinggi
berada pada negara-negara tropis (sekitar 50-80 %). Hal ini dikaitkan dengan faktorfaktor berupa

iklim, letak geografik

dan demografi dari negara tersebut,

sebagaimana dijelaskan diatas .(6)


Di Indonesia, amoebiasis banyak dijumpai di daerah endemi. Prevalensi
penyakit ini di berbagai daerah Indonesia rata-rata 10-18%. Dikarenakan peyakit ini
erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan, maka penyakit ini juga banyak dijumpai
di seluruh negara di dunia terutama di negara berkembang, negara beriklim tropis
dan subtropis .(7)
Di Republik Rakyat Cina, Mesir, India dan Belanda memiliki angka
prevalensi antara 10,1-11,5%. Di daerah Eropa Utara angka prevalensinya 5-20%,
Eropa Selatan 20-51% dan di Amerika Serikat 20%. Di negara maju seperti Eropa
dan Amerika, angka prevalensinya diukur dengan jumlah pengandung kista. (7)

Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang


dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centers for Disease Control (CDC). Di
Bagian Penyakit Dalam RSUP Palembang selama 3 tahun (1990-1992) tercatat di
catatan medis, dari 748 kasus yang dirawat karena diare ada 16 kasus yang 3
disebabkan oleh disentri basiler. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan di
beberapa rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999,
dari 3848 orang penderita diare berat, ditemukan 5% shigella. Prevalensi
amebiasis sangat bervariasi, diperkirakan 10 persen populasi terinfeksi. Prevalensi
tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host dan reservoir utama.
Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan
perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan seksual analoral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi
individual mempermudah penularannya. (1)

II.3 Etiologi

Etiologi dari disentri ada 2, yaitu : (8)


a. Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp. Shigella adalah basil non
motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella,
yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43
serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai
serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat
serotipe spesifik, maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh
tipe yang berbeda. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel
epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103
organisme. Penyakit ini kadang-kadang bersifat ringan dan kadangkadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang jelek akan menyebabkan
mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai tanda-tanda
berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit
dan tenesmus.

Gambar 1 : bakteri Shigella dysentriae

b. Disentri amoeba disebabkan Entamoeba hystolitica. E.histolytica


merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme
komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi
mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk
koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga
menimbulkan ulserasi.

Gambar 2 : bakteri Entamoeba hystolitica


Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat
bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit
komensal (berukuran < 10 mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm).
Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala
penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja.
Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus
(intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala
disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai 50 mm)
dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan trofozoit
patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite). Bentuk trofozoit
ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala penyakit namun cepat mati
apabila berada diluar tubuh manusia. (3)
Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa. Bentuk
kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung jawab terhadap
terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh manusia serta
tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di dalam sistem air minum.
Diduga kekeringan akibat penyerapan air disepanjang usus besar menyebabkan
trofozoit berubah menjadi kista. (3)

II.4 Patogenesis dan Patofisiologi


a. Disentri basiler
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan
yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai
eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah.
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat
melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan
lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus
halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak
didalamnya.(8)
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum
terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah
sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal
ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi
biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah
folikellimfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang
dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus
bergaung. S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara
lain ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik,
sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor
virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan
menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang
khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai 1,5
cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil.
Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum. (3)

Gambar 3 : Invasi bakteri Shigella. Patogen invasif mengaktivasi


sitoskeleton

aktin

yang

menyebabkan

kerusakan

membran,

macropinocytosis, dan invasi. Selanjutnya terjadi edema dan kerusakan


mukosa dan infiltrasi leukosit (Sel Polimorfonuklear). (3)

b. Disentri Amuba
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus
besar dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa
usus dan menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan
perubahan ini sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik
faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba,
maupun lingkungannya mempunyai peran. Amoeba yang ganas dapat
memproduksi

enzim

fosfoglukomutase

dan

lisozim

yang

dapat

mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk


ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi
di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya
terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi
radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal.
Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan
frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden,
rektum, sigmoid, apendiks dan ileum terminalis.(8)

II.5 Gejala Klinis


a. Disentri Basiler
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari
sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare
disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. (3)
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai
yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang
berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya
timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan
lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi,
renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul
rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka
menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah meningkat
(hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti
gejala kolera atau keracunan makanan.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan
koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan
pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat
misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik
secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama. Pada
kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih
berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada
kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda dengan
kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secaram menahun.
Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik. (8)
b. Disentri Amuba

Carrier (Cyst Passer)


Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan

karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke
dinding usus.

Disentri amoeba ringan


Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya
mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat
timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja
bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang
nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya.
Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit demam ringan
(subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.

Disentri amoeba sedang


Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri ringan,
tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya
disertai lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan
disertai hepatomegali yang nyeri ringan.

Disentri amoeba berat


Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare
disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (400C40,50C)
disertai mual dan anemia.

Disentri amoeba kronik


Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare
diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala
neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam
atau makanan yang sulit dicerna. (3)
II.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Disentri amoeba
a. Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang


sangat penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir.
Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang
diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan
sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan (2).
Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu
dicari bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan.
Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau
seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang
berbentuk batang dengan ujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak.
Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan tetapi
dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila jumlah
kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode
konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan
seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan larutan
eterformalin kista akan mengendap (2).
Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu
diperlukan tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari
bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung
dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong dengan
menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan
tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak
jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin (2).
b. Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi
Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita
dengan gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak
ditemukan amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk
carrier. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi

10

menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus


tampak normal. (2)

Gambar 4: sigmoidoskopi dan kolonoskopi (2)


c. Foto rontgen kolon
Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena
seringkali ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto
rontgen kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot.
Pada amoeba nampak filling defect yang mirip karsinoma. (2)

Gambar 5: Foto rontgen kolon (2)

11

d. Pemeriksaan uji serologi


Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses
hati amoebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba
menembus jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada
pasien abses hati dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji
serologis positif belum tentu menderita amoebiasis aktif, tetapi bila negatif
pasti bukan amoebiasis. (2)
Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amoebiasis tidak
banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti
baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (tropozoit). Akan tetapi
ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit lain
karena amoebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh karena itu,
apabila penderita amoebiasis yang telah menjalani pengobatan spesifik masih
tetap mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya
endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja ( Lacasse, 2013;
Hoesdaha, 2006).
Abses hati amoeba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan
neoplasma.

Pemeriksaan

ultrasonografi

dapat

membedakannya

dengan

neoplasma, sedang ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan


abses piogenik. Salah satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi abses
(Hoesdaha, 2006).

2. Disentri basiler
a. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta
biakan hapusan (rectal swab). Untuk menemukan carrier diperlukan
pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti karena basil shigela
mudah mati. (3)

12

Enzim immunoassay
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian
besar penderita yang terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang
dihasilkan E.coli. (3)

Aglutinasi
Pada pemeriksaan ini terjadi aglutinasi, hal ini terjadi karena
aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada hari keenam. Pada
S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran 1/5 dan pada
S.flexneri aglutinasi antibody sangat kompleks, dan oleh karena adanya
banyak strain maka jarang dipakai. (3)
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan

keluhan nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja


menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis
dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi
Shigella, tes serologi tidak bermanfaat.(2)
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan colitis ulserosa.
Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang
bermakna setelah pengobatan dengan antibiotic yang adekuat (3).
II.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk diare darah adalah :
1. Disentri amuba
Timbulnya penyakit biasanya perlahan-lahan, diare awal tidak
ada/jarang. Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit
berbatas. Tinja biasanya besar, terus menerus, asam, berdarah, bila
berbentuk biasanya tercampur lendir. Lokasi tersering daerah sekum dan
kolon asendens, jarang mengenai ileum. Ulkus yang ditimbulkan dengan
gaung yang khas seperti botol.
2. Disentri basiler

13

Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya


toksemia, tenesmus akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja
biasanya kecil-kecil, banyak, tak berbau, alkalis, berlendir, nanah dan
berdarah, bila tinja berbentuk dilapisi lendir. Daerah yang terserang
biasanya sigmoid dan dapat juga menyerang ileum. Biasanya daerah yang
terserang akan mengalami hiperemia superfisial ulseratif dan selaput lendir
akan menebal.
3. Eschericiae coli
Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)
Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi
epitel usus sehingga menyebabkan kematian sel dan respon radang cepat
(secara klinis dikenal sebagai kolitis). Serogroup ini menyebabkan lesi
seperti disentri basiller, ulserasi atau perdarahan dan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear dengan khas edem mukosa dan submukosa. Manifestasi
klinis berupa demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang abdomen, tenesmus,
dan diare cair atau darah. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)
Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri
atau dengan nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari
menjadi berdarah (kolitis hemoragik). Meskipun gambarannya sama
dengan Shigelosis yang membedakan adalah terjadinya demam yang
merupakan manifestasi yang tidak lazim. Beberapa infeksi disertai dengan
sindrom hemolitik uremik.
II.8 Diagnosis
1. Disentri basiler
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan
keluhan nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja
menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan
diagnosis dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada
fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat. Pada disentri
subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa. Perbedaan utama

14

adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna
setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat. (3)
2. Disentri amuba
Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis
tidak banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri.
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit).
Akan

tetapi

ditemukannya

amoeba

bukan

berarti

meyingkirkan

kemungkinan penyakit lain karena amebiasis dapat terjadi bersamaan


dengan penyakit lain. Oleh karena itu, apabila penderita amebiasis yang
telah menjalani pengobatan spesifik masih tetap mengeluh nyeri perut,
perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya endoskopi, foto kolon dengan
barium enema atau biakan tinja. Abses hati amoeba sukar dibedakan
dengan abses piogenik dan neoplasma. Pemeriksaan ultrasonografi dapat
membedakannya dengan neoplasma, sedang ditemukannya echinococcus
dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah satu caranya yaitu
dengan dilakukannya pungsi abses. (8)
II.9 Komplikasi
1. Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat
maupun ringan. Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi
menjadi : (8)
a. Komplikasi intestinal
Perdarahan usus.
Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan

merusak pembuluh darah.


Perforasi usus.
Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muskular dinding usus

besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi.


Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba.
Ameboma
Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan reaksi
terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum

15

dan rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan

usus.
Intususepsi. Sering

terjadi di

daerah sekum (caeca-colic)

yang

memerlukan tindakan operasi segera.


Penyempitan usus (striktura)
Dapat terjadi pada disentri kronik akibat terbentuknya jaringan ikat atau

akibat ameboma.
b. Komplikasi ekstraintestinal
Amebiasis hati.
Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang paling sering
terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan atau tahun
sesudah
infeksi amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba
dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah
bening. Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini
abses hati kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang
akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar.
Sesuai dengan aliran darah vena porta, maka abses hati ameba terutama
banyak terdapat di lobus kanan. Abses berisi nanah kental yang steril,
tidak berbau, berwarna kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas
jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang dapat

berwarna kuning kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu.


Abses pleuropulmonal
Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kurang lebih
10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini.
Abses paru juga dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari
dinding usus besar. Dapat pula terjadi hiliran (fistel) hepatobronkhial
sehingga penderita batukbatuk dengan sputum berwarna kecoklatan yang

rasanya seperti hati.


Abses otak, limpa dan organ lain.
Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi amoeba langsung dari dinding

usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi.
Amebiasis kulit.
Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar

16

dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau


dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi
amoeba yang berasal dari anus.
2. Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada
pasien yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya
kejadian ini dihubungkan dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri
pada pasien dengan status gizi buruk. Komplikasi lain akibat infeksi
S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic uremic syndrome (HUS) yang
diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh
Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri
basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik. Tanda-tanda HUS
dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam)
dan secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat
dengan gagal jantung. Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih
dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter),
hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan saraf pusat seperti
ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh. Artritis juga dapat
terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya muncul pada masa
penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini
dapat terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan sinovial sendi
mengandung leukosit polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna,
akan tetapi keluhan artsitis dapat berlangsung selama berbulan-bulan.
Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi iritis atau iridosiklitis.
Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus menyembuh,
bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini jarang terjadi.
Neuritis perifer dapat terjadi setelah serangan S.dysentriae yang toksik
namun hal ini jarang sekali terjadi.
Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan
perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang
terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah

17

serangan berat. Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula


terjadi pada beberapa tempat yang mempunyai angka kematian tinggi.
Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid. (8)
II.10 Pengobatan
1. Disentri basiler
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat,
mencegah atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat
diberikan antibiotika. Cairan dan elektrolit Dehidrasi ringan sampai
sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral. Jika frekuensi buang
air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita
turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui infus untuk
menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah,
cairan dapat diberikan melalui minuman atau pemberian air kaldu atau
oralit. Bila penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat
diberikan.
Diet Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari
5 kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
Pengobatan

spesifik

Menurut

pedoman

WHO,

bila

telah

terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2


hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari.
Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin
hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap
ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kuman 19 terhadap
ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan dengan dosis 4 x 500
mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan trimetoprimsulfametoksazol,
dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak
dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena tidak efektif. (9)
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon
seperti siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik
untuk pengobatan disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai

18

adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari sedangkan azithromisin diberikan 1


gram dosis tunggal dan sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian
siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita
hamil.
Di

negara-negara

berkembang

di

mana

terdapat

kuman

S.dysentriae tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam


nalidiksik dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada
antibiotika yang dianjurkan dalam pengobatan stadium carrier disentri
basiler. Disentri

amuba Asimtomatik

atau

carrier

Iodoquinol

(diidohydroxiquin) 650 mg tiga kali perhari selama 20 hari.


Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat
kali selama 5 hari. Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat :
Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg
empat kali selama 5 hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg tiga
kali sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari
dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM
selama 10 hari. (3)
II.11 Prognosis
Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat serta kepekaan ameba terhadap obat yang
diberikan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama pada
kasus tanpa komplikasi. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak
ameba. Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila
mendapatkan pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya
angka kematian rendah; bentuk dysentriae biasanya berat dan masa
penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk flexneri
mempunyai angka kematian yang rendah. (8)
II.12 Pencegahan
1. Disentri amoeba

19

Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang


memenuhi syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang
sangat penting. Air minum sebaiknya dimasak dahulu karena kista akan
binasa bila air dipanaskan 500C selama 5 menit.
Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi dan pengobatan
carrier. Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala pekerjaan
yang berhubungan dengan makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin
khusus untuk pencegahan. Pemberian kemoprofilaksis bagi wisatawan
yang akan mengunjungi daerah endemis tidak dianjurkan. (8)
2. Disentri basiler
Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk Shigella. Penularan
disentri basiler dapat dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan dan
diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang
tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih. (8)

BAB III
KESIMPULAN
1. Disentri merupaka peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit
perut dan buang air besar encer yang bercampur lendir dan darah.
2. Etiologi dari disentri ada 2, yaitu disenstri basiler yang disebabkan oleh
Shigella,sp. Dan disentri amuba yang disebabkan oleh Entamoeba
hystolitica.
3. Manifestasi klinis disentri basiler berupa diare berlendir, alkalis, tinja
kecil-kecil dan banyak, darah dan tenesmus serta bila tinja berbentuk
dilapisi lendir.
4. Manifestasi klinis disentri amuba berupa tinja biasanya besar, asam,
berdarah dan tenesmus jarang.

20

5. Diagnosis dari disentri dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan lanjutan (penunjang).

DAFTAR PUSTAKA
1. Anorital., Andayasari, L.2011. Kajian Epidemiologi Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan yang Disebabkan Oleh Amuba Di Indonesia. Media
Litbang Kesehatan Vol. 21 (1) : hal.1-9.
2. Davis, Kepler. 2007. Amebiasis. New York : Emedicine. Diakses dari
http://www.emedicine.com/
3. Hoesadha, Y. 2009. Disentri Basiler. In : Sudoyo, AW., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, MK., Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia.
4. Kroser A. J., 2007. Shigellosis. Diakses dari http://www.emedicine.com/
5. Lacasse, Alexandre. 2013. Amebiasis. Cleveland : Medscape.
med/topic116.htm.

21

6. Oesman, Nizam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. Fakultas
kedokteran UI.: Jakarta.
7. Rasmaliah. 2001. Epidemiologi Amoebiasis dan Upaya Pencegahannya.
Available

at:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3702/1/fkm-

rasmaliah2.pdf, terakhir diakses pada tanggal 25 Mei 2013

8. Syaroni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit
Dalam.FKUI:Jakarta.
9. World Health Organization. Implementing the new recommendation on the
clinical management of diarrhea: guidelines for policy make rs and
programme managers. Geneva: WHO Press 2008.

22

Anda mungkin juga menyukai