Anda di halaman 1dari 76

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 12

Tutor : dr. Krisna Murti, spPA


Disusun oleh : Kelompok 3
Kelas : Beta
1. Siti Hanifahfuri Silverrikova

(04011181419002)

2. Mutia Mustika Sari

(04011181419004)

3. Radhiyatul Husna

(04011181419032)

4. Dita Andini

(04011181419034)

5. Femmy Destia

(04011181419036)

6. Bima Indra

(04011281419208)

7. Fitria Masturah

(04011281419116)

8. Masagus MINA

(04011281419124)

9. Nadiya Auliesa

(04011281419178)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya
tugas laporan tutorial Skenario A Blok 12 ini dapat terselesaikan dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran PBL di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Dan tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Krisna Murti, spPA
selaku tutor serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tugas tutorial
ini.
Kami menyadari laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari pembaca akan sangat kami harapkan guna perbaikan di masa
yang akan datang.
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada
semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi
kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan Yang
Maha Esa. Amin.
Palembang, November 2015

Kelompok 3

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
KEGIATAN TUTORIAL
I.

Skenario

II.

Klarifikasi Istilah

III.

Identifikasi Masalah

IV.

Analisis Masalah

V.

Hipotesis Sementara

VI.

Kerangka Konsep

VII.

Learning Issue
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Farmakodinamik
Farmakokinetik
Interaksi obat kardiovaskuler dan antikoagulan dan antibiotik
Antibiotik
Penulisan resep dan dosis
Faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup A

VIII. Sintesis
IX.

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

KEGIATAN TUTORIAL

Tutor

: dr. Krisna Murti, spPA

Moderator

: Nadiya Auliesa

Sekretaris

: Dita Andini

Pelaksanaan

: 3 November 2015 dan 5 November 2015


Pukul 07.30 10.00 WIB

Peraturan selama tutorial

:
-

Meminta izin kepada moderator untuk meninggalkan


ruangan di tengah tutorial

Alat komunikasi mode silent

Pada

saat

ingin

berbicara

terlebih

dahulu

mengacungkan tangan, lalu setelah diberi izin moderator


baru bicara
-

I.

SKENARIO

Saling menghargai dan tidak saling menggurui

Tuan MT, usia 63 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan utama demam, sakit kepala, dan
nyeri menelan sejak 4 hari yang lalu. Menurut tuan MT, keluhan ini mulai dirasakan sejak
merawat saudara perempuannya yang mengalami faringitis et causa streptococcus beta
hemalitycus grup A. Pasien memiliki riwayat atrial fibrilasi dan saat ini sedang mengonsumsi
digoxin dan warfarin. Tuan MT juga memiliki riwayat alergi dengan amoksisilin.
Pemeriksaan fisik :
Vital sign : temperature : 39,10C, tekanan darah : 120/70 mmHg, HR : 130x/menit (ireguler),
RR : 24x/menit
Farin- laring : hiperemis, tonsil membesar dan hiperemis
X-ray thorax : normal
Dokter mendiagnosis tuan MT dengan faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup
A.

II.

KLARIFIKASI ISTILAH
No

Istilah

.
1.

Demam

Definisi
kenaikan suhu tubuh diatas variasi sirkardian yang
normal sebagai akibat dari perubahan pada pusat
termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus
anterior .

2.

Sakit kepala

gangguan miremigrain yang ditandai dengan


serangan nyeri hebat unilateral pada mata dan
dahi, disertai flushing serta mata dan hidung yang
berair tiap episode berlangsung selama satu jam
dan terdiri serangkaian (histamine headache /
cluster headache)

3.

Nyeri menelan:

4.

Poliklinik

sakit ketika menelan


balai pengobatan umum (tidank untuk perawatan /
pasien menginap)

5.

Faringitis

6.

Et causa streptococcus

disebabkan oleh cocus gram positif yang mampu

beta hemalitycus grup

menghemolisis RBC secara sempurna seperti

A
7.

Atrial fibrilasi

nyeri tenggorok atau radang faring

streptococcus pyogenes
aritmia atrium yang ditandai dengan kotraksi acak
dan cepat pada daerah kecil miokardium atrium

menimbulakan laju ventrikel yang tidak timbul


sama sekali dansering kali cepat
8.

Digoxin

glikosida kardiotonik dari daun digitalis lanata,


digunakan dalam penanganan masalah ritme
jantung dan gagal jantug kongesti

9.

Warfarin

antigkoagulan komarin sintetik yang diberikan


dalam bentuk garam natrium

10.

Alergi

kondisi dimana tubuh memiliki respon berlebih


terhadap suatu zat

11.

Amoksisilin

turunan semi sintetik dari ampisilin, efektif


terhadap spectrum luas bakteri gram positif dan
negative

12.

Hiperemis

13.

Tonsil

vaskularisasi yang berlebihan


masa jaringan yag bula dan kecil, khususnya dari
jaringan limfoid, umumnya digunakan sendiri
untuk merujuk pada tonsil palatina

14.

Faring

tenggorokan

ruang

muskulomembrnosa

dibelakang rongga hidung , mulut, dan laring ,


berhubungan dengan rongga- rongga tersebut
danga dengan esopagus
15.

Laring

organ suara ; saluran udara yang terletak diantara


faring bagian baah dan trakea, terdiri atas pita
suara dan dibentuk oleh Sembilan kartilago

16.

X-ray thorax

pemeriksaan

yang

menggunakan

getaran

elektromagnetik pendek (0,01 10 nm atau


kuantun setara yang dihasilkan ketika electron
berkecepatn tinggi berbenturan dengan berbagia
substansi, sinar ini menembus sebagian besar
substansi sampai kedalaman tertentu dan sangat
kuat mengionisasikan jaringan)
III.

IDENTIFIKASI MASALAH

No.
1.

Fakta
Tuan MT, usia 63 tahun, datang ke poliklinik

Concern
VVV

dengan keluhan utama demam, sakit kepala,


dan nyeri menelan sejak 4 hari yang lalu.
(VVV)
2.

Menurut tuan MT, keluhan ini dirasakan

VV

sejak merawat saudara perempuannya yang


mengalami faringitis et causa streptococcus
beta

hemalitycus

grup

A.

Dokter

mendiagnosis tuan MT dengan faringitis et


causa streptococcus beta hemalitycus grup A
3.

Pasien memiliki riwayat atrial fibrilasi dan

VV

saat ini sedang mengonsumsi digoxin dan


warfarin. Tuan MT juga memiliki riwayat
alergi dengan amoksisilin.
4.

Pemeriksaan fisik :

Vital sign : temperature : 39, 1 0c, tekanan


darah : 120/70 mmhg, HR : 130x/menit
(ireguler), RR : 24x/menit
Faring laring : hiperemis, tonsil membesar
dan hiperemis
X-ray thorax : normal

IV.

ANALISIS MASALAH
1. Tuan MT, usia 63 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan utama demam, sakit
kepala, dan nyeri menelan sejak 4 hari yang lalu.
a. Bagaimana mekanisme nyeri menelan streptococcus beta hemalitycus grup A?
Jawab :
Bakteri atau virus menginfeksi pada lapisan epitel. Bila epitel terkikis,
makajaringan limpofid superficial menandakan reaksi, terdapat pembendungan

radangdengan infiltrasi leukosit polimorfonukuler. Proses ini secara klinis


tampak padakriptus tonsil yang berisi bercak kuning disebut detritus. Detritus
merupakankumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Akibat dari
proses ini akanterjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil ini, nyeri
menelan, disfalgia. Kadangapabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat
menyebabkan kesulitan bernafas.

b. Obat apa saja yang bisa diberikan untuk demam, sakit kepala, nyeri menelan ?
Jawab :

Demam
1. PARASETAMOL
Indikasi
Nyeri ringan sampai sedang (Termasuk sakit kepala, mialgia, keluham
sesudah imunisasi, dan keluhan sesudah tonsilektomi), serta menurunkan
demam yang menyertai infeksi bakteri dan virus.
Dosis
o Oral:

Dewasa: 5001000 mg setiap 6 jam

Anak (612 tahun): 125250 mg 34x sehari

Bayi dan anak kecil: dengan bentuk tetes(ukuran pipet = 60mg/0,6mL)


atau elixir (125mg/5mL).

Bayi dibawah 1 tahun: sendok teh atau 1 ukuran pipet, 34x sehari.
Kontra Indikasi
Pasien dengan penyakit hari atau ikterus
Perhatian
Untuk penggunaan tanpa resep dokter: jangan melebihi dosis maximum
yang dianjurkan, dan jangan dipakai terus menerus lebih dari 10 hari tanpa
pengawasan dokter.
Efek Samping
Sangat jarang dan biasanya ringan
Over Dosis

610 gr parasetamol sekaligus dapat menimbulkan kerusakan hati yang


fatal. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa N-acetylcysteine dipakai
sebagai antidotum.
o Tanda dan gejala:

Awal: mual, muntah dan malaise (beberapa penderita mungkin


asimptomatik).

Kemudian: terjadinya kelainan klinis dan laboratorium hepatotoksik


(muntah, nyeri perut kanan atas, meningkatnya SGOT, SGPT, serum
bilirubin, dan waktu protrombin, dan mungkin belum akan tampak dalam
4872 jam.

Pengobatan: segera keluarkan isi lambung dengan rangsangan muntah atau


lavange lambung, jangan menggunakan karbon aktif. Periksa kadar
asetaminofen di dalam serum secepat mungkin, namun jangan sebelum 4
jam setelah menelan obat. Segera periksa fungsi hati dan diulangi setiap 24
jam. Acetylcysteine harus diberikan secepat mungkin.
Interaksi Obat
Warfarin: meningkatkan hipotrombinemia (sedikit).
Perubahan Nilai Laboratorium

o Dalam darah/serum: Meningkatkan waktu protrombin, meningkatkan


kadar asam urat (dengan metode phosphotungstat).
o Dalam urin: Meningkatkan 5-HIAA (dengan tes reagen nitrosonaphthol).
Penggunaan Pada Ibu Hamil
Aman bagi ibu hamil dan menyusui
2. ASETOSAL

Sakit Kepala
1. PARASETAMOL
2. ASETOSAL
POLDAN MIG (Sanbe)
Komposisi

Tiap kaplet mengandung Parasetamol 400mg, asam asetil salisilat 250mg,


kofeina 85mg.
Indikasi
Sakit kepala ringan sampai sedang karena migren.
Dosis
Dewasa dan anak >12 tahun: 12 kaplet tiap 6 jam. Maksimal: 8
kaplet/hari.
Kontra Indikasi
Gangguan
perdarahan,

gangguan

fungsi

hati-ginjal,

asma,

trombositopenia, tukak peptik, hemofilia, pasien yang mendapat


pengobatan antikoagulan.
Perhatian
Alhoholisme kronik, dehidrasi, anak-anak dengan demam berkaitan
dengan flu atau infeksi varisella, kehamilan dan laktasi.
Efek Samping
Kerusakan hati, iritasi lambung, mual, muntah
Interaksi Obat
Lithium, obat-obat penghambat MAO
Kemasan: Kaplet100 kaplet
3. IBUPROFEN
Indikasi
Keadaan dimana nyeri dan inflamasi menjadi gejala utama, termasuk
artritis rheumatoid, osteoartritis dan gangguan muskuloskeletal lain.
Dosis
o Dewasa
Mulai dengan 12001800 mg sehari, dalam 34 kali pemberian,
sebaiknya makan. Bila perlu dosis ditingkatkan sampai maksimal 2400 mg
sehari.
o Anak
20 mg/Kg BB sehari. Untuk anak dibawah 30 Kg BB dosis maksimal
adalah 500mg sehari.
Kontra Indikasi
Pasien dengan riwayat tukak lambung. Pasien dengan riwayat hipertensif
terhadap ibuprofen atau aspirin dan non steroid anti inflamation lain
(gejala bronkospasmus, rhinitis dan angiodema).
Perhatian

Hati-hati pada pasien tukak lambung, kegagalan fungsi ginjal, kegagalan


fungsi jantung, hipertensi dan koagulasi intrinsik. Jangan digunakan pada
kehamilan trimester pertama.
Efek Samping
Yang umum adalah mual dan muntah. Efek samping lainnya adalah diare,
konstipasi, nyeri dan rasa panas di epigastrium.
Interaksi Obat
Kadar ibuprofen dalam plasma menurun bila diberikan bersama asetosal.
Penggunaan Pada Ibu Hamil dan Menyusui
Jumlahnya dalam ASI sangat kecil sekali untuk membahayakan bayi.
Jangan diberikan pada kehamilan trimester pertama.

Nyeri menelan
DEKSAMETASON
KOMPOSISI
Dexamethasone 0,5 mg : Setiap tablet mengandung deksametason 0,5 mg.
Dexamethasone 0,75 mg : Setiap tablet mengandung deksametason 0,75
mg.
FARMAKOLOGI
Dexamethason (deksametason) adalah obat antiinflamasi dan antialergi
yang sangat kuat. Sebagai perbandingan Dexamethasone 0,75 mg setara
dengan obat sebagai berikut : cortisone 25 mg, hydrocortisone 20 mg,
prednisone 5 mg, dan prednisolone 5 mg.
Deksametason tidak mempunyai aktivitas mineral kortikosteroid dari
cortisone atau hydrocortisone, sehingga pengobatan untuk kekurangan
adrenocortical tidak berguna.
INDIKASI
Obat ini digunakan sebagai glucocorticoid khususnya untuk :
-

Antiinflamasi,

Pengobatan rematik arthritis, dan penyakit kolagen lainnya,

Alergi dermatitis,

Penyakit kulit,

Penyakit inflamasi pada masa dan kondisi lain dimana glucocorticoid


berguna lebih menguntungkan seperti penyakit leukemia tertentu dan
limfoma dan inflamasi pada jaringan lunak dan anemia hemolitik.

KONTRAINDIKASI
Penderita yang hipersensitif terhadap deksametason.
Penderita infeksi jamur sistemik.
Jangan diberikan kepada penderita herpes simpleks pada mata,
tuberkulosis aktif, peptik ulcer aktif atau psikosis kecuali dapat
menguntungkan penderita.
Jangan diberikan kepada wanita hamil karena akan terjadi hipoadrenalisme
pada bayi yang dikandungnya,

atau diberikan dengan dosis yang

serendah-rendahnya.
PERINGATAN DAN PERHATIAN
Kekurangan adrenocortical sekunder yang disebabkan oleh pengobatan
dapat dikurangi dengan mengurangi dosis secara bertahap.
Ada

penambahan

efek

kortikosteroid

pada

penderita

dengan

hipotiroidisme dan sirosis.


EFEK SAMPING
Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek katabolik
steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis, dan penghambatan
pertumbuhan anak.
Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang terjadi bila
dibandingkan dengan glucocorticoid lainnya.
Penambahan nafsu makan dan berat badan lebih sering terjadi.
INTERAKSI OBAT
Insulin, hipoglikemik oral : menurunkan efek hipoglikemik.
Fenitoin, fenobarbital, dan efedrin : meningkatkan clearance metabolik
dari deksametason, menurunkan kadar steroid dalam darah dan aktifitas
fisiologis.
Antikoagulan oral : meningkatkan atau menurunkan waktu protrombin.
Diuretik yang mendepresi kalium : meningkatkan risiko hipokalemia.
Glikosida kardiak : meningkatkan risiko aritmia atau toksisitas digitalis
sekunder terhadap hipokalemia.
Antigen untuk tes kulit : menurunkan reaksivitas.
Imunisasi : menurunkan respon antibodi.
DOSIS DAN ATURAN PAKAI
Dewasa : 0,5 mg 10 mg per hari.

Anak-anak : 0,08 mg 0,3 mg/kg berat badan per hari dibagi dalam 3 atau
4 dosis.
KEMASAN
Dexamethasone tablet 0,5 mg, kotak, 20 strip @ 10 tablet.
Dexamethasone tablet 0,75 mg, kotak, 20 strip @ 10 tablet.
2. Menurut tuan MT, keluhan ini dirasakan sejak merawat saudara perempuannya yang
mengalami faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup A. Dokter
mendiagnosis tuan MT dengan faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup
A
a. Patofisiologi streptococcus beta hemalitycus grup A?
Jawab :
Infeksi Streptococcus hemolyticus group A merupakan penyebab faringitis
akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan tanda
biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah, kadangkadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae
pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
nyeri apabila ada penekanan. Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus
hemolyticus group A dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria,
yaitu :
Demam
Anterior Cervical lymphadenopathy
Eksudat tonsil
Tidak adanya batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 01 maka pasien
tidak mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus hemolyticus group A,
bila skor 13 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi Streptococcus
hemolyticus group A dan bila skor empat pasien memiliki kemungkinan 50%
terinfeksi Streptococcus hemolyticus group A (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014).
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan
pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan

kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Streptococcus


hemolyticus group A memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada
miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan katup
jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigenantibodi
(Bailey, 2006; Adam, 2009).

b. Faktor resiko dari faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup A ?


Jawab :
Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya
daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan
yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok dan seseorang
yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam
(Gore, 2013).

c. Bagaimana prognosis dari faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus


grup A ?
Jawab :

Faringitis oleh karena Streptokokus memerlukan perhatian yang serius.


Beberapa komplikasi sering muncul saat terjadi infeksi oleh Streptokokus,
khususnya Streptokokus Beta-hemolitikum grup A/GAS, diantaranya :

Demam rematik

Demam jantung rematik

Glomerulonefritis (kelainan pada ginjal)

Abses peritonsilar

Toxic shock syndrome


Komplikasi ini terjadi oleh karena kesalahan sistem imunitas tubuh dalam
mengenali antigen (kode pengenal) GAS, yang dikenal dengan sebutan
komplek antigen-antibodi. (Merlina, 2011).

d. Drug of choice serta obat second line nya untuk tuan MT?
Jawab :
DOC untuk faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup A adalah
antibiotik golongan penisilin, yaitu penisilin G IM dengan dosis 1,2 juta unit,
dapat juga penisilin VK melalui oral dengan dosis sebanyak 500mg setiap 6
jam selama 10 hari. Amoxicilin juga dapat diberikan dengan dosis 500mg 3x
sehari selama 10 hari per oral.
Apabila pasien alergi penisilin, maka obat yang digunakan adalah antibiotik
golongan makrolida yaitu erithromisin 250mg 4x sehari atau 330mg 3x sehari
selama 10 hari per oral dan dapat juga diberi clindamisin 300mg 3x sehari
selama 10 hari per oral. Akan tetapi, bila menggunakan erithomisin, maka akan
meningkatkan kadar warfarin dan digoxin dalam plasma, sehingga dapat
menyebabkan intoksikasi dari kedua obat tersebut. Selain itu, Streptococcus Bhemolitik grup A juga sudah mulai perlahan menjadi resisten erithromisin. Jadi
obat selain erithromisin yang dapat diberikan adalah sefalosporin generasi
pertama seperti cephalexin.Cephalexin diberikan dengan dosis 500mg 2x
sehari per oral selama 10 hari.Kerugian dari penggunaan sefalosporin ialah
karena obat ini memiliki spektrum yang luas.Pemberian antibiotik spektrum
luas tanpa indikasi yang tepat dapat mengganggu perkembangan flora normal
usus karena dapat mematikan bakteri gram positif, bakteri gram negatif, kuman
anaerob, serta jamur yang digunakan pada proses pencernaan dan penyerapan
makanan dalam tubuh. Bakteri yang ada di dalam tubuh umumnya

menguntungkan, seperti bakteri pada usus yang membantu proses pencernaan


serta pembentukan vitamin B dan K.

e. Bagaimana cara kerja obat tersebut (farmakodinamik) ?


Jawab :
Golongan

makrolida

menghambat

sintesis

protein

bakteri

pada

ribosomnyadengan jalan berikatan secara reversibel dengan Ribosom subunit


50S,. Sintesis proteinterhambat karena reaksi-reaksi translokasi aminoasil dan
hambatan pembentuk awalsehingga pemanjangan rantai peptide tidak berjalan.
Macrolide bisa bersifat sebagaibakteriostatik atau bakterisida, tergantung
antara lain pada kadar obat serta jenis bakteriyang dicurigai. Efek bakterisida
terjadi pada kadar antibiotika yang lebih tinggi,kepadatan bakteri yang relatif
rendah, an pertumbuhan bakteri yang cepat. Aktivitasanti bakterinya
tergantung pada pH, meningkat pada keadaan netral atau sedikit alkali.
Meskipun mekanisme yang tepat dari tindakan makrolid tidak jelas,
telahdihipotesiskan bahwa aksi mereka makrolid menunjukkan dengan
menghambat sintesisprotein pada bakteri dengan cara berikut:
1) Mencegah Transfer peptidil tRNA dari situs A ke situs P.
2) Mencegah pembentukan peptida tRNA.
3) Memblokir peptidil transferase.
4) Mencegah perakitan ribosom
Antibiotik macrolida terikat di lokasi P-dari subunit 50S ribosom. Hal
inimenyebabkan selama proses transkripsi, lokasi P ditempati oleh makrolida.
Ketika t-RNA terpasang dengan rantai peptida dan mencoba untuk pindah ke
lokasi P, t-RNAtersebut tidak dapat menuju ke lokasi P karena adanya
makrolida, sehingga akhirnyadibuang dan tidak dipakai. Hal ini dapat
mencegah transfer peptidil tRNA dari situs Ake situs-P dan memblok sintesis
protein dengan menghambat translokasi dari rantaipeptida yang baru terbentuk.
Makrolida juga memnyebabkan pemisahan sebelum waktunya dari tRNA
peptidal di situs A.
Mekanisme kerja makrolida, selain terikat di lokasi P dari RNA ribosom 50S,
juga memblokir aksi dari enzim peptidil transferase. Enzim ini bertanggung
jawab untuk pembentukan ikatan peptida antara asam amino yang terletak di
lokasi Adan P dalamribosom dengan cara menambahkan peptidil melekat pada

tRNA ke asam aminoberikutnya. Dengan memblokir enzim ini, makrolida


mampu menghambat biosintesisprotein dan dengan demikian membunuh
bakteri.

f. Apa saja efek samping dari pemberian obat ?


Jawab :
Efek Samping dari makrolida :
1) Efek-efek gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah dan diare sesekali
menyertaipemberian oral. Intoleransi ini disebabkan oleh stimulitas langsung
pada motilitasusus.
2)
Toksisitas hati : dapat menimbulkan hepatitis kolestasis akut (demam,
ikterus,kerusakan fungsi hati), kemungkinan sebagai reaksi hepersensitivitas.
3)
Interaksi-interaksi obat : menghambat enzim-enzim sitokrom P450
danmeningkatkan konsentarsi serum sejumlah obat, termasuk teofilin, anti
koagulanoral, siklosporin, dan metilprednisolon. Meningkatkan konsentrasi
serum digoxinoral dengan jalan meningkatkan bioavailabilitas.

g. Pencegahan dari faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup A ?


Jawab :
Pencegahannya adalah menghindari penderita yang terinfeksi streptococcal
faringitis, karena transmisi dari penyakit ini bisa melalui droplet udara, kontak
kulit (bila infeksi pada kulit), bahkan dilaporkan telah ada yang

melalui

makanan. Selain itu, sekarang mulai dikembangkan vaksin untuk mencegah


penyakit ini yang bernama StreptInCor (residu 55 peptida)
3. Pasien memiliki riwayat atrial fibrilasi dan saat ini sedang mengonsumsi digoxin dan
warfarin. Tuan MT juga memiliki riwayat alergi dengan amoksisilin.
a. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik digoxin ?
Jawab :

DIGOKSIN
Farmakodinamik
Sifat farmakodinamik utama digitalis adalah inotropik positif, yaitu
meningkatkan kontraksi miokardium. Pada penderita yang mengalami
gangguan fungsi sistolik, efek inotropik positif ini akan menyebabkan
peningkatan curah jantung sehingga tekanan vena berkurang, ukuranjantung
mengecil dan reflek takikardi karena respon jantung diperlambat.
Mekanisme kompleks dari efek inotropik positif glikosida jantung terdiri atas
efek langsung glikosida jantung terhadap jantung dengan cara merubah pola
kelistrikan dan aktivitas mekanik jantung, serta efek tidak langsung yang
dibangkitkan oleh perubahan refleks aktivitas sistem saraf otonom.
Efek Langsung
A. Kontraktilitas Miokardium
Mekanisme kerja efek inotropik positif didasarkan atas 2 hal, yaitu (1)
penghambatan enzim Na+, K+ adenotrifosfatase (Na+, K+- ATPase) yang terikat
di membran sel miokard (sarkolema) dan berperan dalam mekanisme pompa
Na+ dan (2) peningkatan arus masuk lambat (slow inward current) Ca+ ke
intrasel pada potensial aksi.

Gambar mekanisme kerja digitalis


B. Aktivitas Listrik
Efek langsung paling banyak diselidiki pada serabut purkinye. Efekefeknya meliputi: (1) menurunnya potensial istiharat atau potensial diastolik
maksimal (MDP) yang akan memperlambat laju depolarisasi cepat (fase 0) dan

mengurangi kecepatan konduksi konduksi; (2) memperpendek masa potensial


aksi yang menyebabkan serabut otot lebih mudah terangsang dan (3)
meningkatnya automatisitas karena meningkatnya laju depolarisasi fase 4.
Makin tinggi kadar obat, perlambatan laju depolarisasi makin nyata, dan masa
potensial aksi makin pendek.
Serabut khusus lain yaitu efek pada serabut yang ada di nodus
sinoatrium, nodus atrioventrikel, dan pada serabut khusus atrium. Efek
langsung pada atrium berupa penghentian pembentukan implus nodus SA,
hanya terjadi pada dosis toksik.
Serabut otot atrium dan ventrikel terhadap lama aksi potensial yang
serupa dengan efek pada serabut purkinye. Perpendekan yang terjadi tidak
mencolok tapi mungkin trlihat pada EKG. Pengaruh lain meningkatnya
kecuraman fase 2 dan menurunya kecuraman fase 3 yang terlihat sebagai
perubahan segmen ST dan gelombang T. Digitalis tidak mempengaruhi
depolarisasi fase 4 srabut otot atrium atau ventrikel.
Efek Tidak Langsung
Berbagai efek digitalis terhadap jantung didasarkan atas pengaruhnya terhadap
aktivitas saraf autonom dan sensitivitas jantung terhadap neurotransmiter saraf
tersebut. Penurunan frekuensi sinus oleh digitalis pada gagal jantung sebagian
besar disebabkan oleh peningkatan efek vagal dan sebagian lagi karena
penurunan tonus simpatis secara reflek.
Efek tak langsung digitalis terutama diperantarai oleh vagus, menyebabkan
perubahan aktivitas nodus SA, atrium, dan nodus AV. Dalam kadar terapi efek
tak langssung terhadap fungsi sistem hantaran ventrikel dan otot ventrikel tidak
berarti.
DIGOKSIN
Farmakokinetik
Absorpsi
Penyerapan digoksin pada pemberian per oral bervariasi dan sangat
ditentukan oleh jenis sediaan yang digunakan, adanya makanan, serta wakru
pengosongan lambung. Penyerapan digoksin dihambat oleh adanya makanan
dalam saluan cerna, melambatnya pengosongan lambung dan sindrom
malabsorpsi. Pemberian bersama obat-obatan seperti kolestiramin, kolestipol,

kaolin, pektin karbon aktif juga mengurangi absorpsi. Demikian pula


pemberian neomisin, siklofosfamid, vinkristin, dan laksans. Pada 10%
penderita, digoksin diubah dalam jumlah yang cukup banyak menjadi
dihidrodigoksin oleh mikroorganisme usus dan resin pengikat syeroid. Kadar
puncak digoksin dalam plasma 2-3 jam setelah pemberian per oral dengan efek
maksimal 4-6 jam. Bila digoksin tidak diberikan dalam loading dose,
diperlukan waktu sampai 1 minggu untuk mencapai kadarsteady statedalam
plasma, karena waktu paruh dalam obat antara 1 sampai 2 hari.
Pada jam pertama setelah pemberian oral, digoxin dapat diserap sekitar
75% oleh tubuh, dan konsentrasi puncaknya dalam plasma dapat tercapai
dalam 1 hingga 2 jam. Pemberian digoxin secara intramuskuler (IM) dapat
menimbulkan rasa nyeri serta absorpsinya tidak bisa diperkirakan. Konsentrasi
plasma terapeutik digoxin dapat tercapai dengan cepat apabila kita
memberikannya secara intavena (sekitar 10 g/kg selama 30 menit), dan
efeknya dapat timbul dalam 5 hingga 30 menit. Setelah mencapai konsentrasi
plasma terapeutik digoxin, baik itu melalui rute oral ataupun intravena, maka
proses maintenance dosis oral dapat disesuaikan berdasarkan respon individual
pasien, gambaran EKG, dan konsentrasi plasma digoxin. Dosis maintenance
harus disesuaikan dengan jumlah bersihan (clearance) obat dalam sehari.
Distribusi
Distribusi glikosida dalam tubuh berlangsung lambat, sebagian karena volume
distribusinya yang besar (sekitar 6 L/kg). Kira-kira 25% digoksin terikat pada
protein plasma. Digitalis disebarkan hampir semua jaringan, termasuk ke
eritrosit, otot skelet dan jantung. Pada keadaan seimbang, kadar dalam jaringan
jantung 15-30 kali lebih tinggi daripada kadar plama, sementara kadar dalam
otot skelet setengah kadar jantung. Ikatan glikosida jantung menurun apabila
kadar K+ ekstrasel meningkat. Efek maksimal baru timbul 1 jam atau lebih
setelah kadar maksimal jantung tercapai.
Metabolisme
Umumnya hanya sedikit digoksin yang akan mengalami metabolisme, namun
tingkat metabolisme ini dapat bervariasi dan berakibat fatal pada beberapa
pasien. Sebagian kecil metabolisme terjadi dihati, dan metabolisme juga dapat

terjadi oleh bakteri dilumen usus setelah pemberian oral atau setelah eliminasi
empedu pada pemberian IV. Digoksin mengalami reaksi pembelahan bertahap
dari gugus gula untuk membentuk digoksigenin-bisdigitoxosida, digoksigeninmonodigitoxosida, dan digoksigenin, metabolit tersebut bersifat menurunkan
kardioaktivitas digoksin. Digoksin juga mengalami pengurangan cincin lakton
membentuk dihidrodigoksin yang kemudian juga mengalami pembelahan
bertahap pada gugus gulanya.
Ekskresi
Pembersihan digoxin dari plasma lebih banyak dilakukan oleh ginjal.
Sekitar 35% obat ini, dieksresikan tiap hari oleh ginjal. Pada pasien yang
mengalami disfungsi ginjal, waktu paruh eliminasi digoxin dapat mengalami
penurunan yang sesuai dengan proporsi penurunan pembersihan (clearance)
creatinine. Sebagai contoh, waktu paruh eliminasi digoxin pada pasien dengan
ginjal normal adalah sekitar 31 hingga 33 jam , dan waktu paruh tersebut dapat
memanjang hingga 4,4 hari pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
ginjal. Adapun aturan praktis penggunaan digoxin adalah kita harus
menurunkan dosis digoxin hingga 50% dari dosis normal jika konsentrasi
kreatinin dalam serum mencapai 3 sampai 5 mg/dl dan kita harus menurunkan
dosis digoxin hingga 75% jika pasien telah mengalami gagal ginjal.
Tempat akumulasi digoxin yang inaktif adalah pada otot rangka.
Penurunan massa otot, terutama pada orang tua, akan menyebabkan
peningkatan kadar digoxin dalam plasma serta miokardial. Tempat akumulasi
digoxin inaktif lainnya adalah pada jaringan lemak. Sekitar 25% digoxin
berikatan dengan protein. Terkadang, pasien bisa membentuk antibodi terhadap
digoxin, sehingga hal tersebut akan mencegah timbulnya efek terapeutik.
Digoxin dimetabolisme secara minimal, beberapa pasien dapat membentuk
metabolit dihydrodigoxin yang inaktif.

b. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik warfarin ?


Jawab :
WARFARIN
Farmakodinamik :

99% terikat pada protein plasma terutama albumin.

Absorbsinya berkurang bila ada makanan di saluran cerna.


WARFARIN
Farmakokinetik :

Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1 jam setelah


pemberian.

Kadar puncak dalam plasma: 2-8 jam.

Waktu paruh : 20-60 jam; rata-rata 40 jam.

Bioavailabilitas: hampir sempurna baik secara oral, IM atau IV.

Metabolisme: ditransformasi menjadi metabolit inaktif di hati dan ginjal.

Ekskresi: melalui urine dan feses.

c. Faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang untuk alergi pada amoksisilin?
Jawab :
Para pakar menduga ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko alergi
obat pada seseorang. Faktor-faktor risiko tersebut meliputi:

Peningkatan pajanan terhadap obat tertentu, misalnya karena


penggunaan yang berulang, berkepanjangan, atau dengan dosis tinggi.

Faktor keturunan. Risiko Anda untuk mengalami alergi obat akan


meningkat jika ada anggota keluarga Anda memiliki alergi terhadap obatobatan tertentu.

Pernah mengalami jenis alergi lain/ rentan terhadap alergi umum,


misalnya alergi makanan.

Memiliki alergi terhadap obat lain. Contohnya, jika alergi terhadap


penisilin, Anda juga berpotensi untuk mengalami alergi terhadap
amoxicillin.

Mengidap penyakit yang menyebabkan tubuh rentan terhadap reaksi


alergi obat, misalnya HIV.

Usia. Beberapa orang dalam kelompok usia 20-49 tahun memiliki resiko
tinggi terhadap alergi antibiotik

d. Bagaimana interaksi obat digoxin dan warfarin dengan antibiotic ?


Jawab :
DIGOKSIN
Interaksi
Meningkatkan efek/toksisitas : senyawa beta-blocking (propanolol), verapamil
dan diltiazem

mempunyai efek aditif pada denyut jantung. Karvedilol

mempunyai efek tambahan pada denyut jantung dan menghambat metabolisme


digoksin. Kadar digoksin ditingkatkan oleh amiodaron (dosis digoksin
diturunkan 50 %), bepridil, siklosporin, diltiazem, indometasin, itrakonazol,
beberapa makrolida (eritromisin, klaritromisin), metimazol, nitrendipin,
propafenon, propiltiourasil, kuinidin dosis digoksin diturunkan 33 % hingga
50 % pada pengobatan awal), tetrasiklin dan verapamil. Moricizine dapat
meningkatkan toksisitas

digoksin. Spironolakton dapat mempengaruhi

pemeriksaan digoksin, namun juga dapat meningkatkan kadar digoksin secara


langsung. Pemberian suksinilkolin pada pasien bersamaan dengan digoksin
dihubungkan dengan peningkatan risiko aritmia. Jarang terjadi kasus toksisitas
akut digoksin yang berhubungan dengan pemberian kalsium secara parenteral
(bolus). Obat-obat berikut dihubungkan dengan peningkatan kadar darah
digoksin yang menunjukkan signifikansi klinik : famciclovir, flecainid,
ibuprofen, fluoxetin, nefazodone, simetidein, famotidin, ranitidin, omeprazoe,
trimethoprim.
Menurunkan efek : Amilorid dan spironolakton dapat menurunkan respon
inotropik digoksin. Kolestiramin, kolestipol, kaolin-pektin, dan metoklopramid
dapat menurunkan absorpsi digoksin. Levothyroxine (dan suplemen tiroid yang
lain) dapat menurunkan kadar digoksin dalam darah. Penicillamine
dihubungkan dengan penurunan kadar digoksin dalam darah.Penggunaan
Digoksin dapat menurunkan Mg intraseluler dan meningkatkan pengeluaran
Mg dari tubuh melalui urin
Interaksi dengan Makanan
Kadar serum puncak digoksin dapt diturunkan jika digunakan bersama dengan
makanan. Makanan yang mengandung serat (fiber) atau makanan yang kaya
akan pektin menurunkan absorpsi oral digoksin.

Penggunaan Digoksin dapat menurunkan Mg intraseluler dan meningkatkan


pengeluaran Mg dari tubuh melalui urin. Pemberian suplemen Mg akan sangat
menguntungkan. Dianjurkan konsumsi Mg adalah 30-500 mg per hari. Dari
makanan, juga dapat ditingkatkan konsumsinya (tanpa melalui suplemen Mg).
Sumber utama Mg adalah sayuran hijau, serealia tumbuk, biji-bijian dan
kacang-kacangan, daging, coklat, susu dan hasil olahannya.
Digoksin mengganggu transport potassium dari darah menuju sel sehingga
Digoksin pada dosis yang cukup tinggi dapat menyebabkan hiperkalemia fatal.
Oleh karenanya pada saat mengkonsumsi / menggunakan Digoksin, hindari
konsumsi suplemen potassium atau makanan yang mengandung potassium
dalam jumlah besar seperti buah (pisang). Sumber utama potassium adalah
buah, sayuran dan kacang-kacangan. Namun banyak orang mengkonsumsi
digoksin menyebabkan diuretic. Pada kasus tersaebut, peningkatan intake
potassium dibutuhkan. Oleh karenanya harus dikomunikasikan dengan tim
kesehatan yang lain.
Peningkatan Ca dalam plasma dapat meningkatakan toksisitas digoksin. Oleh
karenanya,

hindari

konsumsi

makanan

tinggi

Ca

terutama

jam

sebelum/sesudah minum obat ini. Sumber utama Ca adalah susu dan hasil
olahannya seperti keju.
WARFARIN
Interaksi obat :(memperpanjang waktu protrombin berarti memperpanjang
waktu pembekuan darah)
Warfarin berinteraksi dengan sangat banyak obat lain seperti asetaminofen,
beta bloker, kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin, gemfibrozil, hidantoin,
glukagon, kuinolon, sulfonamid, kloramfenikol, simetidin, metronidazol,
omeprazol, aminoglikosida, tetrasiklin, sefalosporin, anti inflamasi non steroid,
penisilin, salisilat, asam askorbat, barbiturat, karbamazepin dan lain-lain.

e. Bagaimana resep dan dosis yang tepat untuk tuan MT ?


Jawab :

dr.
SID
SIP
Alamat
Jam Praktek
Palembang, 5-11-2015
R/ Azitromisin tab mg 500 dtd no. V
s 1 dd tab 1
R/ Parasetamol tab mg 500 dtd no. X
s 3 dd tab 1
Pro : Tn. MT (63th)

f. Adakah pengaruh riwayat atrial fibrilasi dengan infeksi streptococcus beta


hemalitycus grup A ?
Jawab :
4. Pemeriksaan fisik :

Vital sign : temperature : 39, 1 0c, tekanan darah : 120/70 mmhg, HR :


130x/menit (ireguler), RR : 24x/menit
Faring laring : hiperemis, tonsil membesar dan hiperemis
X-ray thorax : normal
a. Interpretasi dari pemeriksaan fisik diatas ?
Jawab :
Pasien mengalami demam yang disebabkan oleh endopirogen yang mengubah
set point suhu di hipothalamus. Heart rate tinggi disebabkan oleh kenaikan
suhu, dimana setiap kenaikan 10C diikuti kenaikan 10-15 kali HR. Nadi
ireguler disebabkan atrial fibrilasi.Faring dan tonsil mengalami hiperemis
karena reaksi radang pada daerah tersebut, salah satunya vasodilatasi
pembuluh darah sehingga membuat daerah tersebut hiperemis.Tonsil
membesar akibat respon pertahanan tubuh sekunder dari reaksi radang lokal
disekitarnya sehinggal tonsil membesar.

b. Apa penyebab dan mekanisme faring laring hiperemis dan tonsil membesar
dan hiperemis?
Jawab :
Tonsilitis akut : etiologinya yaitu streptococcus beta hemolitikus grup A,
srteptococcus viridans dan piogenes dan pneumococcus. Tonsilitis ini
seringkali terjadi mendadak pada anak-anak dengan peningkatan suhu 1
sampai 4 derajat celcius.
Penularannya terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, kemudian bila epitel ini terkikis, maka jaringan limfoid superkistal
bereaksi, di mana terjadi pembendungan radang dengan infiltasi leikosit PMN.

c. Mengapa dilakukan X-ray thorax ?


Jawab :

Untuk mengetahui apakah ada keadaan patologi jantung lain seperti gagal
jantung, gagal jantung kongestif, selain itu juga untuk melihat apakah ada
pneumonia terutama oleh infeksi pada Tn. MT dan juga untuk mengetahui
keadaan pembuluh darah pada thoraks dan untuk mengetahui apakah ada
emboli.

V.

Hipotesis Sementara
Karena tuan MT alergi amoksisilin maka ia diberikan antibiotik golongan makrolida

VI.

Kerangka Konsep

Tuan MT
63 tahun

Riwayat
atrial fibrilasi
mengonsumsi
digoxin dan
warfarin

Alergi
amoksisilin

Merawat saudara PR
(faringitis ec.
Streptococcus beta
hemolitycus grup A

Terinfeksi streptococcus
beta hemolitycus grup A

Azitromisin

dema
m

Sakit
kepala

parasetamol

VII.

Tonsil

membes

Nyeri menelan

LEARNING ISSUE

FARMAKOKINETIK
Proses mulai dari masuknya obat ke dalam tubuh sampai dikeluarkan kembali disebut
farmakokinetik. Termasuk dalam proses farmakokinetik ialah absorpsi, distribusi,
biotransformasi dan ekskresi obat. Untuk menghasilkan efek, sesuatu obat harus harus
terdapat dalam kadar yang tepat pada tempat obat itu bekerja. Untuk mencapai tempat kerja
suatu obat harus melewati berbagai membrane sel tubuh.
OBAT

DARAH PLASMA

TEMPAT KERJA

EFEK

Gerakan obat melewati membrane sel


Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi mudah atau sukarnya suatu obat
melewati membrane sel, antara lain bentuk dan besarnya molekul obat, kelarutannya di
tempat absorpsi, derajat ionisasi, dan kelarutan lipid telatif obat yang terionisasi dan tidak
terionisasi.
Obat dapat melewati membrane sel dengancara difusi pasif ataudengan cara khusus
yaitu carrier-mediated transport. Ada juga cara pinositosis yaitu suatu mekanisme yang
berhubungan dengan kemampuan sel untuk menelan tetesan-tetesan kecil berbentuk vesikel
dan melewati membrane sel.
Difusi Pasif
Kebanyakan obat-obat melewati membrane sel dengan cara difusi pasif, misalnya
teofilin. Dalam proses ini tidak diperlukan energy dan obat bergerak menembus membrane sel
berdasarkan adanya perbedaan kadar antara dua permukaan membrane, serta kelarutan obat

dalam lipid bilayer yang membentuk membran sel. Selain tergantung pada kelarutan obat
dalam lipid, kecepatan difusi pasif melalui membrane juga ditentukan oleh lipid water
partition coefficient dari obat tersebut. Makin besar nilai lipid water partition coefficient
makin cepat obat tersebut difusi melalu membrane.selain itu membrane sel juga permeable
terhadap air, aliran air melewati membrane ini dapat membawa zat-zat yang terlarut
didalamnya, seperti urea, dan zat lain yang molekulnya kecil dengan BM tidak lebih dari 100200. Jadi substansi atau obat yang tidak larut dalam lipid dan mempunyai berat molekul lebih
besar dari 200 tidak akan bisa melewati membrane sel dengan difusi pasif.
Kebanyakan obat bersifat asam lemah atau basa lemah yang biasanya dalam larutan
terdapat dalam bentuk ion maupun nonion. Molekul nonion biasanya larut dalam lemak dan
dengan mudah dapat berdifusi pasif melalui membrane. Sebaliknya molekul-molekul yang
terionisasi biasanya sukar melalui membrane dengan cara difusi karena kelarutannya dalam
lemak rendah. Sebagai akibatnya maka masuknya obat-obat kedalam sel untuk melewati
membrane-membran lainnya sangat tergantung pada pH lingkungan dan pKa dari obat itu
sendiri.
Carrier mediated transport
Difusi pasif yang dipermudah berbeda dengan difusi pasif, pada konsentrasi obat yang
tinggi transport obat akan mencapai suatu kecepatan maksimum pada saat mana penambahan
konsentrasi obat tidak akan menambah kecepatan angkutan obat melalui membrane sel.
Gerakan obat adalah dari konsentrasi tinggi kearah konsentrasi rendah, jadi searah dengan
gradient konsentrasi. Sebelum tercapai kejenuhan (maksimum) mula-mula kecepatan trasnpor
lebih cepat dari pada diifusi pasif. System transport ini bersifat relative spesifik dan peka
terhadap hambatan kompetisi oleh obat (substrate) lainnya. Contoh dari obat yang ditranspor
dengan cara difusi pasif yang dipermudah adalah vitamin B12.
Transport aktif
Suatu transport yang diperantai pembawa yang dapat mencapat titik jenuh dan peka
juga terhadap hambatan kompetisi. Tetapi pada angkutan aktif ini gerakan molekul obat dari
konsentrasi rendah ke konstrasi tinggi, jadi bergerak melawan gradient dan konsentrasi.untuk
mempertahankan gradient konsentrasi diperlukan energy.
Absorpsi obat
Absorpsi didefinisikan sebagai masuknya obat dari tempat pemberiannya kedalam
plasma. Kecuali pemberianI.V. dan inhalasi, hamper semua obat harus masuk kedalam plasma
sebelum mencapai tempat kerjanya dan oleh karenanya obat harus mengalami absorpsi
terlebih dahulu.
Antibiotic penisilin, penisilin oral bisa diformulasikan sebagai asam bebas yang bersifat sukar
larut, atau dalam bentuk garam yang mudah larut. Jika penisilin dalam bentuk garam kalium
diberikan, maka obat tersebut akan mengendap sebagai asam bebas segera setelah mencapai
lambung, dimana pHnya rendah, membentuk suatu suspense dengan partikel-partikel halus di
absorpsi dengan cepat. Tetapi bila diberikan dalam bentuk asam, maka penisilin benuk asam
ini sukar larut dalam lambung dan absorpsi jauh lebih lambat, sebab partikel-partikel yang
terbentuk adalah besar.
Distribusi obat

Perpindahan obat yang tidak tetap dari darah keberbagai jaringan tubuh. Setelah obat
masuk kedalam sirkulasi darah (sesudah absorpsi), obat tersebut akan dibawa keseluruh tubuh
oleh aliran darah dan kontak dengan jaringan-jaringan tubuh dimana distribusi terjadi.
Kecepatan distribusi obat masuk kedalam jaringan adalah sama dengan kecepatan distribusi
obat keluar jaringan tersebut.
Factor yang mempengaruhi kecepatan distribusi obat adalah: aliran darah ke jraingan,
sifat-sifat fisik dan kimia obat, sifat memberan yang memsiahkan jaringan dari darah atau
cairan interstisial, dan banyaknya obat yang terikat pada protein plasma.
Metabolisme
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi lalu diangkut melalui sistem pembuluh porta
(vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah lambung usus ke hati. Dalam
hati, seluruh atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan hasil
perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif, dimana proses ini disebut proses
diaktivasi atau bioinaktivasi (pada obat dinamakan first pass effect). Tapi adapula obat yang
khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi
metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat disebut biotransformasi (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang dapat meningkatkan
kecepatan biotransformasi. Selain itu inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi
enzim, biotranformasi obat diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat,
menimbulkan efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga
berpengaruh terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem
enzim yang sama (contoh alkohol dan barbiturat). Perbedaan individu juga berpengaruh
terhadap metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin
memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama (Hinz, 2005).
Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya
bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna (jumlah obat yang
diabsorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintas
pertama) di mukosa usus dan dalam hepar (Setiawati, 2005).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam darah
menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di
dalam lever terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi
bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan
dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat dan lain-lain. Hal ini akan
secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first
pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang di hasilkan juga
berkurang (Hinz, 2005).
Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic Reactions (Reaksi Fase
I) dan Synthetic Reaction (Reaksi Fase II). Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi,
hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya
tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase II
berupa konjugasi yaitu penggabungan suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolitnya
umumnya lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan (Hinz, 2005).

Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam air dibandingkan
molekul awal. Perubahan sifat fisiko kimia ini paling sering dikaitkan dengan penyebaran
kuantitatif metabolit yang dapat sangat berbeda dari zat aktifnya dengan segala akibatnya.
Jika metabolit ini merupakan mediator farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik
berupa peningkatan maupun penurunan efeknya (Aiache, 1993).
Ekskresi
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni
disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat diekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil
dalam keadaan asli yang utuh. Tapi adapula beberapa cara lain yaitu melalui kulit bersama
keringat, paru-paru melalui pernafasan dan melalui hati dengan empedu (Tjay dan Rahardja,
2002).
Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan metabolisme dan
ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan
pengertian plasma half-life eliminasi (waktu paruh) yaitu rentang waktu dimana kadar obat
dalam plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuhnya. Kecepatan eliminasi obat dan
plasma t1/2-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan
metabolisme cepat half lifenya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami
biotransformasi atau yang resorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya t1/2-nya
panjang (Waldon, 2008).

INTERAKSI OBAT
Interaksi Obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap obat lain, di dalam
tubuh. Interaksi obat dapat terjadi pada farmakokinetik, atau farmakodinamik, atau gabungan
keduanya.
a. Interaksi farmakokinetik
Interaksi dalam Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi (ADME) dapat
meningkatkan atau menurunkan kadar plasma obat.
1) Interaksi yang terjadi pada proses Absorpsi Gastrointestinal
-Secara langsung sebelum absorpsi
Interaksi antibiotik (tetrasiklin, fluorokuinon) dengan besi dan antasida yg
mengandung (Al, Ca dan Mg) berbentuk senyawa chelate yang tidak larut sehingga antibiotik
tidak diabsorpsi.
-Terjadi perubahan pH cairan GIT

Peningkatan pH karena antasida, penghambat H2 atau penghambat pompa proton


menurunkan absorpsi basa-basa lemah (ketokonazol dan itrakonazol) dan meningkatkan
penyerapan asam-asam lemah , menurunkan absorpsi antibiotik golongan sefalosporin.
-Penghambat transpor aktif
Pemberian digoksin bersama dengan inhibitor transpor efflux pump P-glikoprotein
(ketokonazole, amidazol dan quinidin) akan meningkatkan kadar plasma digoksin sebesar 6080% dan menyebabkan intoksikasi (blokade jantung derajat-3) menurunnya ekskresi lewat
empedu dan sekresi oleh sel-sel tubulus ginjal proksimal
-Adanya perubahan flora normal usus
Penggunaan antibiotik spektrum luas dapat mensupresi flora normal usus dan
menyebabkan menurunya konversi obat menjadi komponen aktif.
-efek makanan
Penurunan absorpsi penisilin, rifampisin, peningkatan absorpsi HCT, fenitoin,
albendazol dan mebendazol.
2. Interaksi pada proses Distribusi
Pergeseran ikatan protein plasma, bermakna klinik jika :
-

Obat indeks memiliki ikatan protein sebesar > 85%, Vd <0,15l/kg dan memiliki batas
keamanan sempit

-obat presipitan berikatan dengan albumin pada binding site yang sama dengan obat
indeks, kadarnya cukup tinggi untuk menempati dan menjenuhkan binding site-nya.

3. Interaksi pada proses Metabolisme


-Penghambatan metabolisme
Terutama pada obat yang merupakan substrat enzim mikrosom hati sitokrom P450.
-induksi metabolisme
-perubahan aliran darah hepatik
4. Interaksi pada Ekskresi obat
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui empedu dan pada
sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dan karena terjadinya perubahan pH urin.
Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit

obat untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekskresi empedu
digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu
rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu
Pglikoprotein.
17 Obat-obat yang menghambat P-glikoprotein di intestin akan meningkatkan bioavailabilitas
substrat P-glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat
menurunkan ekskresi ginjal substrat. Contoh, itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein di
ginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika diberikan
bersamasama,
sehingga kadar plasma digoksin akan meningkat.
Inter aksi farmakodinamik:
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor,
tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik,
atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya.
Interaksi
farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat
yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya
A. INTERAKSI WARFARIN DAN ANTIBIOTIK
Warfarin (anti koagulan oral) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1948. Obat ini
bekerja dengan mempengaruhi sintesis faktor pembekuan darah tergantung dari vitamin K
seperti faktor pembekuan II, VII. IX dam X dan pembekuan protein induced by vitamin K
absent or antagonist (PIVKA).
Warfarin diabsorbsi diusus halus dan memasuki sirkulasi darah, dimetabolisme di
mikrosom sel hati, dan akan menghambat kerja vitamin K. Penghambatan kerja vitamin K
meyebabkan penuninan sintesis faktor pembekuan II, VII, IX dan X serta pembentukan
PIVKA.
Warfarin termasuk ke dalam golongan obat antikoagulan yang dipakai untuk
mencegah terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan oral (warfarin) akan mempengaruhi
kerja vitamin K pada sintesa faktor pembekuan II, VII, IX dan X di dalam sel hati. Menurut
Deykin dan Verstraete, kerja utama dan obat antikoagulan oral adalah menghambat kerja

enzim epoksid reduktase, sehingga perubahan vitamin K epoksid menjadi vitamin K


terganggu, akibatnya terjadi penumpukan prekursor faktor-faktor

tergantung vitamin K.

Menurut Deykin, antikoagulan oral juga dapat menghambat vitamin K menjadi vitamin K 1
hidrokuinon. Peughambatan kerja vitamin K menyebabkan terjadinya penurunan sintesis
faktor II, VII, IX dan X.
Intake antibiotik menyebabkan perubahan jumlah flora normal di dalam usus sehingga
penyerapan vitamin K lebih rendah dan akibatnya penurunan produksi vitamin K dependent
coagulan factors, VII, IX, X dan mungkin V. Antibiotik spektrum luas, dapat meningkatkan
aktivitas antagonis yang dapat menyebabkan peningkatan serius di dalam darah dan dapat
mengancaman

kehidupan

pasien.

Antibiotik

penghambat

CYP3A4

( Streptogramin,Eritromisin, Klaritromisin, Ketolid, Kloramfenikol) ketika diberikan kepada


pasien yang memakai warfarin akan terjadi peningkatan INR dan risiko utama perdarahan.
Makalah ini menjelaskan mengenai wafarin sebagai obat antikoagulan serta interaksinya
dengan antibiotik.
Wafarin sebagai Antikoagulan
Penggunaan klinis antikoagulan kumarin bermula dari penemuan zat antikoagulan
yang terbentuk dari makanan ternak daun semanggi manis yang membusuk. Zat ini
menimbulkan penyakit perdarahan pada hewan ternak. Atas permintaan para petani lokal,
seorang ahli kimia di University of Wisconsin mengidentifikasi zat toksik tersebut sebagai
bishidroksikumarin. Sebuah turunan sintesis, yaitu dikumarol dan zat lain yang serupa,
terutama warfarin (Wisconsin Alumni Research Foundation, dan ditambah arin yang berasal
dari kumarin; Gambar 1), awalnya digunakan sebagai rodentisida. Pada tahun
1950, warfarin (dengan nama dagang Coumadin) diperkenalkan sebagai agen antitrombotik
untuk manusia. Warfarin adalah salah satu obat yang paling sering sering diresepkan,
digunakan kira-kira oleh 1,5 juta individu,dan beberapa penelitian telah menyatakan bahwa
obat ini secara signifikan tidak digunakan dengan optimal dalam keadaan klinis ketika
warfarin telah terbukti berguna dalam keadaan ini.

Gambar 1. Formula struktural wafarin1


Mekanisme Kerja
Antikoagulan wafarin menghambat y-karboksilasi beberapa residu glutamat dalam
protrombin dan faktor VII, IX, dan X seperti halnya antikoagulan protein C dan S endogen .
Penghambatan tersebut menghasilkan molekul faktor koagulasi yang tidak sempurna yang
secara biologik tidak aktif. Reaksi karboksilasi protein ini berpasangan dengan oksidasi
vitamin K. Warfarin mencegah metabolisme reduktif vitamin K epoksid yang tidak aktif
kembali ke bentuk hidrokuinon aktifnya. Perubahan mutasional enzim yang bertanggung
jawab, yaitu vitamin K epoksid reduktase, dapat menyebabkan vitamin K yang berkaitan
dengan sintesis faktor pembekuan yang tergantung pada vitamin K. Vitamin K1 atau K2
diaktifkan oleh reduksi menjadi bentuk hidrokuinon (KH2). Oksidasi bertingkat menjadi
vitamin K epoksid (KO) dipasangkan dengan karboksilasi protrombin oleh enzim
karboksilase.

Gambar 2. Mekanisme kerja wafarin

Efek antikoagulannya berasal dan keseimbangan antara sintesis yang sebagian


terhambat dan degradasi utuh keempat faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K.
Penghambatan koagulasi yang dthasilkan mi bergantung pada waktu paruh degradasinya di
dalam sirkulasi. Waktu paruh faktor VII, IX, X, dan II berturut-turut adalah 6, 24, 40, dan 60
jam1. Karena efek antikoagulan oral berdasarkan penghambatan produksi faktor
pembekuan,jelaslah bahwa efeknya baru nyata setelah sedikitnya 12-24 jam,yaitu setelah
kadar faktor-faktor tersebut menurun sampai suatu nilai tertentu. Demikian juga perdarahan
akibat takar lajak antikoagulan oral,tidak dapat diatasi dengan segera Vitamin K. Untuk ini
dibutuhi transfusi darah segar atau plasma2.

Farmakokinetik
Dalam darah, wafarin hampir seluruhnya terikat pada albumin plasma; ikatan ini tidak
kuat dan mudah digeser oleh obat tertentu misalnya fenilbutazon dan asam mefenamat. Hanya
sebagian kecil dikumarol dan warfarin yang terdapat dalam bentuk bebas dalam darah,
sehingga degradasi dan ekskresi menjadi lambat. Masa paruh warfarin 48 jam. Warfarin
ditimbun terutama dalam paru-paru, hati, limpa dan ginjal. Efek hipoprotrombinemiknya
berkolerasi dengan lamanya obat tinggal di hati.
Efek terapi baru tercapai 12-24 jam setelah kadar puncak obat dalam plasma, karena
diperlukan waktu untuk mengosongkan faktor-faktor pembekuan darah dalam sirkulasi.
Makin besar dosis awal, makin cepat timbulnya efek terapi; tetapi dosis harus tetap dibatasi
agar tidak sampai menimbulkan efek toksik. Lama kerja sebanding dengan masa paruh obat
dalam plasma.
Warfarin mengalami hidroksilasi oleh enzim retikulum endoplasma hati menjadi
bentuk tidak aktif. Ekskresi dalam urin terutama dalam bentuk metabolit anisindion dapat
menyebabkan urin berwama merah jingga. Bagian yang tidak diabsorpsi diekskresi melalui
tinja.
Efek samping

Efek toksik yang paling sering akibat pemakaian antikoagulan oral ialah perdarahan
dengan frekuensi kejadian 24%. Namun, perdarahan juga dapat terjadi pada dosis terapi
karena itu pemberian antikoagulan oral harus disertai pemeriksaan waktu protrombin dan
pengawasan terhadap terjadinya perdarahan.
Perdarahan paling sering terjadi di selaput lendir, kulit, saluran cerna dan saluran
kemih. Hematuria sering terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal, dapat disertai kolik dan
hematom intrarenal. Gejala perdarahan yang mungkin timbul ialah ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hemoptisis, perdarahan serebral, perdarahan paru, uterus dan hati. Kurang
lebih 25% dan kematian akibat penggunaan antikoagulan kumarin disebabkan oleh
perdarahan berat di saluran cerna, biasanya berasal dan tukak peptik atau neoplasma.
Pada perdarahan, tindakan pertama ialah merighentikan pemberian antikoagulan.
Perdarahan hebat memerlukan suntikan vitamin K1 (fibkuinon) IV, dan biasanya perdarahan
dapat diatasi dalam beberapa jam setelah penyuntikan. Perdarahan yang tidak terlampau berat
cukup dengan dosis tunggal 1-5 mg; tetapi untuk perdarahan berat dapat diberikan dosis 2040 mg, jika perlu dosis dapat ditambah setelah 4 jam. Pemakaian vitamin K 1 harus dibatasi
untuk kasus-kasus perdarahan yang berat saja, karena pasien mungkin menjadi refrakter
berhari-hari terhadap terapi ulang dengan antikoagulan oral.
Warfarin dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah lesi kulit berupa purpura dan
urtikaria, alopesia, nekrosis kulit; kadang-kadang jari kaki menjadi ungu. Pada penggunaan
fenprokumon dapat timbul diare dan dermatitis, sedangkan asenokumarol dapat menyebabkan
tukak pada mulut dan gangguan saluran cerna. Fenindion dapat menyebabkan leukopenia,
agranubositosis, demam, ruam kulit, ikterus, hepatitis, diare, paralisis akomodasi, tukak pada
mulut, neuropati dan urin berwarna merah jingga, sedangkan difenadion menyebabkan mual,
dan anisindion menyebabkan urin berwarna jingga.
Selain itu, warfarin dengan mudah melintasi plasenta dan dapat menimbulkan
gangguan perdarahan pada janin. Selanjutnya protein janin yang mempunyai residu ykarboksiglutamat yang terdapat di dalam tulang. dan darah dapat dipengaruhi oleh warfarin;
obat mi dapat menyebabkan cacat lahir yang serius yang ditandai dengan pembentukan tulang
yang abnormal. Oleh karena itu, warfarin jangan diberikan selama kehamilan. Kadang-kadang
terjadi nekrosis kutaneus yang disertai aktivitas protein C yang berkurang selama minggu
pertama terapi. Proses yang sama jarang menimbulkan infark yang jelas pada payudara,

jaringan lemak, usus, dan ekstremitas. Lesi patologik yang menyebabkan infark hemoragik
adalah trombosis vena yang menunjukkan bahwa hal ml disebabkan oleh penekanan sintesis
protein C yang dicetuskan oleh warfarin.

Pemberian dan Dosis


Pengobatan dengan menggunakan warfarin harus dimulai dengan dosis standar
sebesar 5-10. mg daripada dosis awal yang lebih besar yang digunakan sebelumnya.
Penyesuaian awal waktu protrombin memerlukan waktu sekitar 1 minggu yang biasanya
menghasilkan dosis rumatan sebesar 5-7 mg/han. Waktu protrombin (PT = prothrombin
time) harus ditingkatkan sampai tingkat yang menggambarkan reduksi aktivitas protein
sampai 25% dan aktivitas normal dan dipertahankan seperti itu untuk terapi jangka panjang.
Bila aktivitas tersebut kurang dari 20%, dosis warfarin harus dikurangi atau dihentikan
sampai aktivitas meningkat di atas 20%.
Kisaran terapeutik terapi antikoagulan oral didefinisikan dalam istilah international
normalized ratio (INR). INR adalah rasio waktu protrombin (waktu protrombin pasien/ ratarata waktu protrombin normal untuk laboratorium)151 eksponen ISI merujuk pada indeks
sensitifitas internasional dan tergantung pada reagen spesifik dan instrumen yang digunakan
dalam pemeriksaan. 151 berfungsi untuk menghubungkan waktu protrombin yang diukur
dengan tromboplastin standar rekomendasi World Health Organization (WHO); sehingga
waktu protrombin yang diperiksa dengan berbagai instrumen yang dikalibrasi dengan baik
dengan berbagai reagen tromboplastin harus memberikan hasil INR yang sama pada sampel
yang diberikan. Pada sebagian besar kombinasi reagen dan instrumen yang digunakan
sekarang, 151 mendekati 1, dan membuat INR secara kasar menjadi rasio waktu protrombin
pasien terhadap waktu protrombin normal rata-rata. INR yang dianjurkan untuk profilaksis
tata laksana penyakit trombotik adalah 2-3.
Warfarin mempunyai rentang dosis terapi yang sempit. Dimana dosis inadekuat
menyebabkan efikasi menurun, dan dosis yang berlebihan akan menyebabkan perdarahan.
Crowther dkk membandingkan dosis inisial antara 5 mg (32 subjek) dan 10 rng warfanin (21
subjek) untuk mencapai target INR 2,0-3,0 setelak 5 han penlakuan. Didapati 24 % grup 10

mg dan 7 % grup 5 mg mempunyai nilai INR> 3,0 pada ban ke 4 perlakuan,, yang
memperbesar resiko perdarahau.
Raskob G dick, membandingkan efek terapi warfanin dosis rendah (3 mg) dengan
aspirin 80 mg terbadap faktor VII yang teraktifasi pada 33 pasien penyakit jantung koroner
stabil. Didapati peningkatan mean ENR dan penurunan faktor VII setelah 1 uinggu penlakuan
dengan p < 0,057 .
Hull dkk melaporkan baliwa terapi warfarin deagan intensitas moderat (dengan hasil
INR 2,0 - 3,0) adalah regimen yang sarna efektif dibanding terapi warfarin dengan intensitas
tinggi ( INR 3,0 - 4,5 ) untuk mencegah tromboemboli vena rekuren. Terapi dengan intensitas
moderat juga berhubungan dengan resiko perdarahan yang lebth rendah.
Levme dkk, melaporkan bahwa menjaga rasio INR berkisar 1,3-1,9 menuruukan
resiko untuk tetjadinya tromboemboli vena sebanyak 85 %, tanpa meningkatkan resiko
perdarahan. Ridker dkk melaporkan profilaksis warfarin dengan target 1NR 1,5-2,0, lebih
superior dibanding plasebo untuk meucegali tromboemboli rekuren pada pasien yang telah
mendapat terapi warfarin selama 3 bulan dengan mtensitas konvensional (target 1NR 2,0
-3,0), dimana tidak didapatkan peningkatan signifikan untuk komplikasi perdarahan mayor.
Studi studi di AS dan Kanada menilai resilco dan keuntungan peumkaian warfarin dan dan
aspirin untuk pencegahan stroke emboli path pasien dengan fibrilasi atnal tanpa kelainan
valvular, seperti : SPAF ( The Stroke Prevention in Atrial Fibrillation ) study, BAATAF ( The
Boston Area Anticoagulat Ion Trial in Atrial Fibrillation ) study, SPINAF ( The Stroke
Prevention in Nonrheumatic Atrial Fibrillation ) study dan AFASAK ( Th Atrial Fibrillation.
Aspirin, and Anticoagulation) study di Copenhagen. Studi-studi tersebut menyimpulkan
bahwa terapi warlrin dengan target terapeutik TNR 2,0-3,0, mengurangi resiko stroke
sebanyak 79 %, tanpa meningkatkan resiko perdarahaan.

Interaksi Obat Antikoagulan Oral dan Antibiotik


Umumnya, antibiotik mengubah flora normal usus. Flora tersebut penting dalam
mencegah pertumbuhan berlebih dari infeksi oportunistik pada saluran pencernaan dan
penting untuk produksi dan / atau penyerapan beberapa nutrisi, vitamin dan medikamen
.Ketika flora tersebut berkurang, ketidaknyamanan gastrointestinal dapat muncul (nauseas,

muntah) serta kemampuan untuk memproduksi vitamin K dan mendaur ulang serta menyerap
beberapa hormon seperti estrogen pada tingkat enterohepatik lebih rendah.
Intake antibiotik mengandaikan penyerapan lebih rendah dari vitamin K dan akibatnya
penurunan produksi vitamin K dependent coagulan factors, VII, IX, X dan mungkin V. Oleh
karena itu, ada risiko besar pendarahan yang penting secara klinis pada pasien yang memakai
warfarin selama periode lama. Warfarin merupakan antagonis kompetitif untuk vitamin K
dependent coagulan factors dan memiliki indeks terapeutik yang rendah.
Pemberian obat-obatan lainnya, seperti antibiotik spektrum luas, dapat meningkatkan
aktivitas antagonis yang pada gilirannya menghasilkan peningkatan serius dalam darah dan
ancaman bagi kehidupan pasien. Antibiotik penghambat CYP3A4, ketika diberikan kepada
pasien yang memakai warfarin terjadi peningkatan INR dan risiko utama dari perdarahan.
Dari hal tersebut dapat diperkirakan bahwa antibiotik spektrum luas seperti tetrasiklin,
amoksisilin, ampisilin dan klaritromisin dapat mengurangi kadar endogen vitamin K dan
meningkatkan efek dari antikoagulan oral dengan mengubah flora normal usus yang
menghasilkan vitamin K. Tampaknya kemampuan antibiotik ini untuk meningkatkan aktivitas
anticoagulatory relatif jarang dan tak terduga. Ketika pasien sedang menjalani pengobatan
dengan antibiotik, pasien memiliki risiko besar terjadi perdarahan. Antibiotik spektrum luas
dapat diresepkan untuk pasien yang memakai warfarin (pasien dengan konsumsi normal
vitamin K) tetapi mereka harus disarankan untuk mmperhatikan tanda-tanda perdarahan dan
berkonsultasi ke dokter dengan segera. Adapun antibiotik yang berpotensi berinteraksi dengan
wafarin diantaranya:
Kloramfenikol dapat mengubah efek warfarin melalui penurunan produksi vitamin K
oleh bakteri dalam usus, tapi mekanisme seperti metabolisme hati menghambat dan / atau
mengubah produksi protrombin mungkin terlibat.
Doksisiklin dan tetrasiklin lainnya, ampisilin, benzilpenisilin dan aztreonam
menurunkan sintesis vitamin K sekunder terhadap perubahan flora usus dan, oleh karena itu,
dapat meningkatkan efek dari warfarin. Namun, yang potensiasi signifikan sangat jarang jika
asupan makanan vitamin K memadai.
Cephamandole dapat meningkatkan hypoprothrombinaemic merespons warfarin
akibat gangguan sintesis vitamin K dalam trak pencernaan, dan /atau dengan sintesis vitamin
K-dependent anticoagulan factors. Hubungan cephalosporines dengan methylthiotetrazole Nsisi rantai seperti cefmetazole, cefmenoxime, cefoperazone dan latamoxef dapat diharapkan
untuk berperilaku sama, meskipun ada tampaknya ada laporan dari interaksi. Cephazolin,

yang memiliki rantai yang sama, mungkin dapat meningkatkan efek warfarin sampai batas
tertentu.
Interaksi yang disebabkan oleh gangguan pada bakteri sintesis vitamin K dalam
saluran cerna saluran umumnya dianggap tidak mungkin klinis signifikansi kecuali, mungkin,
pada pasien dengan mencukupi asupan vitamin K.
Kesimpulan
Warfarin (antikoagulan oral) merupakan golongan obat antikoagulan yang dipakai
untuk mencegah terjadinya thrombosis dengan mempengaruhi kerja vitamin K pada sintesa
faktor pembekuan II, VII, IX dan X. Warfarin diabsorbsi diusus halus dan memasuki sirkulasi
darah, dimetabolisme di mikrosom sel hati, dan akan menghambat kerja vitamin K. Efek
terapi baru tercapai 12-24 jam setelah kadar puncak obat dalam plasma, karena diperlukan
waktu untuk mengosongkan faktor-faktor pembekuan darah dalam sirkulasi. Efek toksik yang
paling sering akibat pemakaian antikoagulan oral ialah perdarahan. INR yang dianjurkan
untuk profilaksis tata laksana penyakit trombotik adalah 2-3.
Pemberian wafarain bersamaan dengan obat antibiotik spektrum luas akan
memperbesar resiko perdarahan pasien dan dapat mengancam keselamatan pasien. Antibiotik
menyebabkan perubahan jumlah flora normal di dalam usus sehingga penyerapan vitamin K
lebih rendah dan akibatnya penurunan produksi vitamin K dependent coagulan factors, VII,
IX dan X. Antibiotik penghambat CYP3A4, ketika diberikan kepada pasien yang memakai
warfarin terjadi peningkatan INR. Antibiotik spektrum luas dapat diresepkan untuk pasien
yang memakai warfarin (pasien dengan konsumsi normal vitamin K) tetapi mereka harus
disarankan untuk mmperhatikan tanda-tanda perdarahan dan berkonsultasi ke dokter dengan
segera.

Farmakokinetik :
Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1 jam setelah pemberian.
Kadar puncak dalam plasma: 2-8 jam.
Waktu paruh : 20-60 jam; rata-rata 40 jam.
Bioavailabilitas: hampir sempurna baik secara oral, 1M atau IV.
Metabolisme: ditransformasi menjadi metabolit inaktif di hati dan ginjal.
Ekskresi: melalui urine clan feses.
Farmakodinamik :
99% terikat pada protein plasma terutama albumin.
Absorbsinya berkurang hila ada makanan di saluran cerna.
Indikasi :
Untuk profilaksis dan pengobatan komplikasi tromboembolik yang dihubungkan dengan
fibrilasi atrium dan penggantian katup jantung ; serta sebagai profilaksis terjadinya
emboli sistemik setelah infark miokard (FDA approved).
Profilaksis TIA atau stroke berulang yang tidak jelas berasal dari problem jantung.
Kontraindikasi .
Semua keadaan di mana resiko terjadinya perdarahan lebih besar dari keuntungan yang
diperoleh dari efek anti koagulannya, termasuk pada kehamilan, kecenderungan
perdarahan atau blood dyscrasias dll.
Interaksi obat :
Warfarin berinteraksi dengan sangat banyak obat lain seperti asetaminofen, beta bloker,
kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin, gemfibrozil, hidantoin, glukagon, kuinolon,
sulfonamid, kloramfenikol, simetidin, metronidazol, omeprazol, aminoglikosida,
tetrasiklin, sefalosporin, anti inflamasi non steroid, penisilin, salisilat, asam askorbat,
barbiturat, karbamazepin dll.
Efek samping

Perdarahan dari jaringan atau organ, nekrosis kulit dan jaringan lain, alopesia, urtikaria,
dermatitis, demam, mual, diare, kram perut, hipersensitivitas dan priapismus.
Hati -hati :
Untuk usia di bawah 18 tahun belum terbukti keamanan dan efektifitasnya. Hati- hati
bila digunakan pada orang tua. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena dapat
melewati plasenta sehingga bisa menyebabkan perdarahan yang fatal pada janinnya.
Dijumpai pada ASI dalam bentuk inaktif, sehingga bisa dipakai pada wanita menyusui.
Dosis :

Dosis inisial dimulai ,dengan 2-5 mg/hari dan dosis pemeliharaan 2-10 mg/hari. Obat
diminum pada waktu yang sama setiap hari. Dianjurkan diminum sebelum tidur agar dapat
dimonitor efek puncaknya di pagi hari esoknya. Lamanya terapi sangat tergantung pada
kasusnya. Secara umum, terapi anti koagulan harus dilanjutkan sampai bahaya terjadinya
emboli dan trombosis sudah tidak ada. Pemeriksaan waktu protrombin barns dilakukan setiap
hari begitu dimulai dosis inisial sampai tercapainya waktu protrombin yang stabil di batas
terapeutik. Setelah tercapai, interval pemeriksaan waktu protrombin tergantung pada penilaian
dokter dan respon penderita terhadap obat. Interval yang dianj urkan adalah 1-4 minggu.

B. INTERAKSI DIGOKSIN DAN ANTIBIOTIK

Digitalis
Sifat umumnya sebagai inotropik positif yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi
miokard. Preparat digitalis mempunyai 3 khasiat pada otot jantung, yaitu kerja inotropik
positif (meningkatkan kontraksi miokard), kerja kronotropik negatif (memperlambat denyut
jantung), dan kerja dromotropik negatif (mengurangi hantaran sel-sel jantung). Contoh
preparat digitalis yang banyak digunakan adalah digoksin (Kee dan Hayes, 1996). Over dosis
digoksin menyebabkan toksisitas digitalis dengan tanda-tanda anoreksia, diare, mual dan
muntah, bradikardi dan takikardi, kontraksi ventrikel rematur, aritmia jantung, sakit kepala,

penglihatan kabur, ilusi penglihatan, bingung dan delirium. Orang lanjut usia lebih rentan
terjadi toksisitas (Katzung, 2004). Digoksin dapat ditambahkan pada pasien dengan gejala
berat yang belum bereaksi selama terapi diuretik, ACEI, atau -bloker. Digoksin diberikan
secara rutin pada pasien gagal jantung dan fibrilasi atrial. Efek samping yang ditimbulkan
adalah aritmia, gangguan pencernaan dan gangguan saraf (Massie dan Amidon, 2002).

INTERAKSI OBAT
P-Glycoprotein
Beberapa obat dapat meningkatkan konsentrasi plasma digoksin. Antibiotik dapat
meningkatkan absorpsi digoksin melalui inaktivasi bacteri-bakteri di saluran gastrointestinal
yang memetabolisme digoksin . mekanisme ini dapat meningkatkan konsentrasi digoksin 2-3
kali lipat, karena digoksin dapat diserap dengan baik dan memiliki bioavabilitas sekitar 75%.
P-glikoprotein merupakan effluks transporter energy-dependent yang memompa
molekul obat keluar dari sel . P-gp ditemukan di sel epithelial intestine (enterocytes)
sepanjang apikal (luminal) sel. Ketika obat diberikan secara oral, molekul obat harus melalui
enterocyte dan dibawa kembali ke sisi luminal sel. Aksi ini mencegah molekul obat mencapai
sirkulasi sistemik, secara effektif membatasi bioavabilitas. P-gp juga ditemukan di hepa dan
ginjal berfungsi untuk meningkatkan ekskresi molekul obat pada empedu dan urin.
Apabila aktivitas p-gp dihambat maka lebih banyak obat yang akan diabsorpsi melalui
enterocyt dan konsentrasi plasma akan meningkat.

ANTIBIOTIK

Manajemen pemberian warfafin adalah tetap menjaga INR pasien agar tetap dalam terapeutic
window. Warfarin dapat diabsorpsi dengan baik, 99%protein-bound dan dimetabolisme oleh
enzim CYP450. S-warfarin dimetabolisme oleh CYP2C9 lebih aktif 2-5 kali dari Renantiomer, yang dimetabolisme CYP3A4. Obat-obatan yang meninduksi atau menginhibisi
enzim-enzim ini dapat berinteraksi hebat dengan warfarin terutama interaksi dengan
CYP2C9.

PENULISAN RESEP DAN DOSIS


PENDAHULUAN
Preskripsi dokter sangat penting bagi seorang dokter dalam proses peresepan obat bagi
pasiennya. Dokter dalam mewujudkan terapi yang rasional, memerlukan langkah yang
sistematis dengan moto 5T (Tepat obat, Tepat dosis, Tepat cara, dan jadwal pemberian
serta tepat BSO dan untukpenderita yang tepat). Preskripsi yang baik haruslah ditulis
dalam blanko resep secaralege artis.
PENGERTIAN UMUM TENTANG RESEP
Resep didefinisikan sebagai permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan
kepada apoteker pengelola apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai dengan peratuan perundangan yang berlaku. Resep yang benar adalah ditulis
secara jelas, dapat dibaca, lengkap dan memenuhi peraturan perundangan serta kaidah yang

berlaku. Contoh resep yang benar:

dr. Sarah
Ayu SIP.
087/2007
Alamat rumah/praktek:
Jl. Kenanga No.10 Surakarta
Surakarta, 15 Juni 2008

R/ Paracetamol mg 100
Sacch. Lactis q.s
m.f.l.a. pulv.d.t.d.
No. VI
s.p.r.n.t.d.d.pulv I
____________________

Pro

: Susi ( 2 tahun)

Alamat: Penumping 1/2 Surakarta

Unsur-unsur resep:
1. Identitas Dokter
Nama, nomor surat ijin praktek, alamat praktek dan rumah dokter penulis resep serta
dapat dilengkapi dengan nomor telepon dan hari serta jam praktek. Biasanya sudah
tercetak dalam blanko resep.
2. Nama kota (sudah dicetak dalam blanko resep) dan tanggal ditulis resep
3. Superscriptio
Ditulis dengan symbol R/ (recipe=harap diambil). Biasanya sudah dicetak dalam
blanko. Bila diperlukan lebih dari satu bentuk sediaan obat/formula resep, diperlukan
penulisan R/ lagi.
4. Inscriptio
Ini merupakan bagian inti resep, berisi nama obat, kekuatan dan jumlah obat yang
diperlukan dan ditulis dengan jelas
5. Subscriptio
Bagian ini mencantumkan bentuk sediaan obat (BSO) dan jumlahnya. Cara penulisan
(dengan singkatan bahasa latin) tergantung dari macam formula resep yang digunakan.
Contoh:
- m.f.l.a. pulv. d.t.d.no. X
- m.f.l.a. sol
- m.f.l.a. pulv. No XX da in caps
6. Signatura
Berisi informasi tentang aturan penggunaan obat bagi pasien yaitu meliputi frekuensi,
jumlah obat dan saat diminum obat, dll.
Contoh: s.t.d.d.tab.I.u.h.p.c ( tandailah tiga kali sehari satu tablet satu jam setelah
makan)
7. Identitas pasien
Umumnya sudah tercantum dalam blanko resep (tulisan pro dan umur). Nama
pasien
dicantumkan dalan pro. Sebaiknya juga mencantumkan berat badan pasien supaya
kontrol dosis oleh apotek dapat akurat.
TATA CARA PENULISAN RESEP

Tidak ada standar baku di dunia tentang penulisan resep. Untuk Indonesia, resep yang
lengkap menurut SK Menkes RI No. 26/2981 (BAB III, pasal 10) memuat:
1. Nama, alamat, Nomor Surat Ijin Praktek Dokter (NSIP)
2. Tanggal penulisan resep
3. Nama setiap obat/komponen obat
4. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
5. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat dengan jumlah
melebihi dosis maksimum

LANGKAH PRESKRIPSI
1. Pemilihan obat yang tepat
Dalam melakukan prakteknya, dokter pertama kali harus melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik pada pasiennya untuk menegakkan diagnosis. Setelah itu,
dengan mempertimbangkan keadaan (patologi penyakit , perjalanan penyakit dan
manifestasinya), maka tujuan terapi dengan obat akan ditentukan. Kemudian akan
dilakukan pemilihan obat secara tepat, agar menghasilkan terapi yang rasional.
Hal yang sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam memilih obat:
a. Bagaimana rasio manfaat dengan risiko obat yang dipilih
b. Bagaimana keamanan (efek samping, kontra indikasi) obat yang dipilih
c. Jenis bahan obat apa (bahan baku, formula standar, bahan generik, atau bahan
paten) yang dipilih
d. Pertimbangan biaya/harga obat
Dengan mempertimbangkan hal di atas, diharapkan preskripsi obat dokter akan tepat
berdasar manfaat, keamanan, ekonomi, serta cocok bagi penderita
Untuk mewujudkan terapi obat yang rasional dan untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna serta biaya, maka seorang dokter perlu memahami kriteria bahan obat
dalam preskripsi. Bahan obat di dalam resep termasuk bagian dari unsur inscriptio dan
merupakan bahan baku, obat standar (obat dalam formula baku/resmi, sediaan
generik) atau bahan jadi/paten
Nama obat dapat dipilih dengan nama generik (nama resmi dalam buku Farmakope
Indonesia) atau nama paten (nama yang diberikan pabrik). Pengguna jenis obat paten
perlu memperhatikan kekuatan bahan aktif dan atau komposisi obat yang dikandung di
dalamnya agar pemilihan obat yang rasional dapat tercapai dan pelayanan obat di
apotek tidak menjumpai adanya masalah.
Contoh: Apabila dalam terapi perlu diberikan bahan obat Paracetamol, maka dapat
dipilih bahan baku (ada di apotik), sediaan generik berlogo (bentuk tablet atau sirup
paracetamol atau sediaan paten)
Jumlah obat yang ditulis di dalam resep tergatung dari lama pemberian dan frekuensi
pemberian. Parameter yang diperlukan untuk menentukannya adalah lama perjalanan
penyakit, tujuan terapi, dan kondisi penderita. Jumlah obat dituliskan dengan angka
Romawi untuk jenis sediaan jadi/paten
Contoh: Tab. Sanmol 500 mg no. X atau Tab. Sanmol 500 mg da X

Bahan/sediaan obat dalam preskripsi berdasarkan peraturan perundangan dapat


dikategorikan:
a. Golongan obat narkotika atau O (ct: codein, morphin, pethidin)
b. Golongan obat Keras atau G atau K Dibedakan menajadi 3:
- Golongan obat Keras tertentu atau Psikotropika (diazepam dan derivatnya)
- Golongan obat Keras atau K (ct: amoxicillin, ibuprofen)
- Golongan obat wajib apotek atau OWA (ct: famotidin, allopurinol, gentamycin
topical)
c. Golongan obat bebas terbatas atau W (ct: paracetamol, pirantel palmoat)
d. Golongan obat bebas (ct: Vitamin B1, Vitamin C)
Pada penulisan obat narkotika dan psikotropika/khusus) jumlah obat tidak cukup
hanya dengan angka saja, namun disertai dengan huruf angka tersebut, misal X
(decem) dan agar sah harus dibubuhi tanda tangan dokter (bukan paraf). Hal ini
dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan obat di masyarakat.
2. Penetapan cara pemberian dan aturan dosis yang tepat
a. Cara pemberian obat
Obat diberikan dengan berbagai macam cara (per oral, per rectal, parenteral,
topical, dll). Hal yang diperlukan dalam menentukan cara pemberian obat:
- Tujuan terapi
- Kondisi pasien
- Sifat fisika-kimia obat
- Bioaviabilitas obat
- Manfaat (untung-rugi pemberian obat)
Cara pemberian yang dipilih adalah yang memberikan manfaat klinik yang optimal
dan memberikan keamanan bagi pasien. Misalkan pemberian obat Gentamicyn
yang diperlukan untuk tujuan sistemik, maka sebaiknya dipilih lewat parenteral.
NSAIDs yang diberikan pada penderita gastritis sebaiknya dilakukan pemberian
per rectal.
b. Aturan dosis (dosis dan jadwal pemberian) obat

DOSIS
Dosis yang ideal adalah dosis yang diberikan per individual. Hal ini mengingat bahwa
respon penderita terhadap obat sangat individualistis. Penentuan dosis perlu
mempertimbangkan: 1) kondisi pasien (seperti: umur, berat badan, fisiologi dan fungsi
organ tubuh) 2) kondisi penyakit ( akut, kronis, berat/ringan) 3) Indeks terapi obat
(lebar/sempit) 4) variasi kinetik obat 5) cara/rumus perhitungan dosis anak ( pilih yang
paling teliti)
Perhitungan dosis pada anak secara ideal menggunakan dasar ukuran fisik (berat
badan atau luas permukaan tubuh). Apabila dosis anak dihitung dengan perbandingan
dengan dosisi dewasa, yaitu dengan memakai rumus perhitungan dosis anak (antara
lain Young, Clark), maka perlu diperhatikan tentang ketelitian dari rumus yang
dipakai.
JADWAL PEMBERIAN
Jadwal pemberian ini meliputi frekuensi, satuan dosis per kali dan saat/waktu
pemberian obat. Dalam resep tertuang dalam unsur signatura.
FREKUENSI
Frekuansi artinya berapa kali obat yang dimaksud diberikan kepada pasien. Jumlah
pemberian tergantung dari waktu paruh obat, BSO, dan tujuan terapi. Obat anti asma
diberikan kalau sesak (p.r.n) namum bila untuk menjaga agar tidak terjadi serangan
asma dapat diberikan secara teratur misal 3 x sehari (t.d.d).
SAAT/WAKTU PEMBERIAN
Hal ini dibutuhkan bagi obat tertentu supaya dalam pemberiannya memiliki efek
optimal, aman dan mudah diikuti pasien. Misal: Obat yang absorbsinya terganggu oleh
makanan sebaiknya diberikan saat perut kosong 1/2 1 jam sebelum makan (1/2 1 h.
a.c), obat yang mengiritasi lambung diberikan sesudah makan (p.c) dan obat untuk
memepermudah tidur diberikan sebelum tidur (h.s), dll.
LAMA PEMBERIAN
Lama pemberian obat didasarkan perjalanan penyakit atau menggunakan pedoman
pengobatan yang sudah ditentukan dalam pustaka/RS. Misalkan pemberian antibiotika
dalam waktu tertentu (2 hari setelah gejala hilang untuk menghindari resistensi kuman,
obat simtomatis hanya perlu diberikan saat simtom muncul (p.r.n), dan pada penyaklit
kronis (misal asma, hipertensi, DM) diperlukan pemberian obat yang terus menerus
atau sepanjang hidup (ITER!)
3. Pemilihan BSO yang tepat
Pemilihan BSO dalam preskripsi perlu dipertimbangkan agar pemberian obat optimal dan
harga terjangkau. Faktor ketaatan penderita, factor sifat obat, bioaviabilitas dan factor
sosial ekonomi dapat digunakan sebagai pertimbangan pemilihan BSO

4. Pemilihan formula resep yang tepat


Ada 3 formula resep yang dapat digunakan untuk menyusunan preskripsi dokter
(Formula marginalis, officialis aau spesialistis). Pemilihan formula tersebut perlu
mempertimbangkan:
- Yang dapat menjamin ketepatan dosis (dosis individual)
- Yang dapat menajaga stabilitas obat
- Agar dapat menjaga kepatuhan pasien dalam meminum obat
- Biaya/harga terjangkau
5. Penulisan preskripsi dalam blanko resep yang benar (lege artis)
Preskripsi lege artis maksudnya adalah ditulis secara jelas, lengkap (memuat 6 unsur
yang harus ada di dalam resep) dan sesuai dengan aturan/pedoman baku serta
menggunakan singkatan bahasa latin baku, pada blanko standar (ukuran lebar 10-12
cm, panjang 15-18 cm)
6. Pemberian informasi bagi penderita yang tepat
Cara atau aturan harus tertulis lengkap dalam resep, namun dokter juga masih harus
menjelaskan kepada pasien. Demikian pula hal-hal atau peringatan yang perlu
disampaikan tentang obat dan pengobatan, misal apakah obat harus diminum sampai
habis/tidak, efek samping, dll. Hal ini dilakukan untuk ketaatan pasien dan mencapai
rasionalitas peresepan
PEDOMAN CARA PENULISAN RESEP DOKTER
1. Ukuran blanko resep (ukuran lebar 10-12 cm, panjang 15-18 cm)
2. Penulisan nama obat (Bagian Inscriptio):
a. Dimulai dengan huruf besar
b. Ditulis secara lengkap atau dengan singkatan resmi (dalam farmakope
Indonesia atau nomenklatur internasional) misal: ac. Salic; acetosal
c. Tidak ditulis dengan nama kimia (missal: kali chloride dengan KCl) atau
singkatan lain dengan huruf capital (missal clorpromazin dengan CPZ)
3. Penulisan jumlah obat
a. Satuan berat: mg (milligram), g, G (gram)
b. Sataun volume: ml (mililiter), l (liter)
c. Satuan unit: IU/IU (Internasional Unit)

d. Penulisan jumlah obat dengan satuan biji menggunakan angka Romawi. Misal:
- Tab Novalgin no. XII
- Tab Stesolid 5 mg no. X (decem)
- m.fl.a.pulv. dt.d.no. X
e. Penulisan alat penakar:
Dalam singkatan bahasa latin dikenal: C. = sendok makan (volume 15 ml)
Cth. = sendok teh (volume 5 ml)
Gtt. = guttae (1 tetes = 0,05 ml)
Catatan: Hindari penggunaan sendok teh dan senok makan rumah tangga
karenavolumenya tidak selalu 15 ml untuk sendok makan dan 5 ml untuk
sendok teh. Gunakan sendok plastik (5 ml) atau alat lain ( volume 5, 10, 15 ml)
yang disertakan dalam sediaaan cair paten.
f. Arti prosentase (%)
0,5% (b/b) 0,5 gram dalam 100 gram sediaan
0,5% (b/v) 0,5 gram dalam 100 ml sediaan
0,5% (v/v) 0,5 ml dalam 100 ml sediaan
g. Hindari penulisan dengan angka desimal (misal: 0,...; 0,0....; 0,00...)
4.

a. Penulisan kekuatan obat dalam sediaan obat jadi (generik/paten) yang beredar di
pasaran dengan beberapa kekuatan, maka kekuatan yang diminta harus ditulis,
misalkan Tab. Primperan 5 mg atau Tab. Primperan 10 mg
b. Penulisan volume obat minum dan berat sediaan topikal dalam tube dari sediaan
jadi/paten yang tersedia beberapa kemasan, maka harus ditulis, misal:
- Allerin exp. Yang volume 60 ml atau 120 ml
- Garamycin cream yang 5 mg/tube atau 15mg/tube

5. Penulisan bentuk sediaan obat (merupakan bagian subscriptio) dituliskan tidak hanya
untuk formula magistralis, tetapi juga untuk formula officialis dan spesialistis
Misal: m.f.l.a.pulv. No. X
Tab Antangin mg 250
X Tab Novalgin mg
250 X
6. Penulisan jadwal dosis/aturan pemakaian (bagian signatura)
a. Harus ditulis dengan benar
Misal: s.t.d.d. pulv. I.p.c atau s.p.r.n.t.d.d.tab.I

b. Untuk pemakaian yang rumit seperti pemakaian tapering up/down gunakan tanda
s.u.c (usus cognitus = pemakaian sudah tahu). Penjelasan kepada pasien ditulis pada
kertas dengan bahasa yang dipahami.
7. Setiap selesai menuliskan resep diberi tanda penutup berupa garis penutup (untuk 1 R/) atau
tanda pemisah di antara R/ (untuk > 2R/) dan paraf/tanda tangan pada setiap R/.
8. Resep ditulis sekali jadi, tidak boleh ragu-ragu, hindari coretan, hapusan dan tindasan.
9. Penulisan tanda Iter (Itteretur/ harap diulang) dan N.I. (Ne Iterretur/tidak boleh diulang)
Resep yang memerlukan pengulanagan dapat diberi tanda: Iter n X di sebelah kiri atas dari
resep untuk seluruh resep yang diulang. Bila tidak semua resep, maka ditulis di bawah
setiapresep yang diulang.
Resep yang tidak boleh diulang, dapat diberi tanda: NI di sebelah kiri atas dari resep untuk
seluruh resep yang tidak boleh diulang. Bila tidak semua resep, maka ditulis di bawah
setiapresep yang diulang.
10. Penulisan tanda Cito atau PIM
Apabila diperlukan agar resep segera dilayani karena obat sangat diperlukan bagi penderita,
maka resep dapat diberi tanda Cito atau PIM dan harus ditulis di sebelah kanan atas resep.
DOSIS OBAT DALAM PRESKRIPSI
Dosis tepat sangat dibutuhkan supaya efek dari obat optimal dan resiko efek samping sekecil
mungkin. Besaran dosis terapi obat biasanya dicantumkan dalam rentangan/kisaran dosis, misalkan
250-500 mg. Rentangan dosis ini menunjukkan kadar obat yang aman yang dapat diberikan dalam
praktek pengobatan. Bila dokter memberikan dosis di bawah/ di atas dosis rentangan, maka dapat
memberikan efek yang merugikan bagi pasien dan dapat menimbulkan pertanyaan bagi apotek yang
menerima resep tersebut.
Dosis obat dalam preskripsi adalah besarnya dosisi per kali untuk pasien dan mungkin dalam
sehari dapat diberikan beberapa kali sesuai dengan frekuensi pemberian yang tertulis di dalam resep.
Penentuan dosis tersebut didapatkan darai dosis terapi (dosis lazim) yang tercantum dalam literatur.
Untuk dosis anak biasanya dicantumkan dengan misalnya 20-40 mg/kg BB/hari. Sehingga perlua
adnya penentuan dosis yang cermat bagi anak. Ada beberapa obat yang mencantumkan dosis hanya
untuk orang dewasa, sehingga bila obat itu akan diberikan kepada anak maka perlu perhituanan
dengan membandingkan dengan dosis dewasa, dengan menggunakan rumus ( misalkan R. Clark, R.
Young, dll)
CARA MENGHITUNG DOSIS ANAK
Ada beberapa cara dalam menghitung dosis anak. Untuk itu, dipilih yang dapat menunjukkan
pengetrapan dosis individual. Untuk obat-obat yang mempunyai rentang terapi sempit, maka
memerlukan ketelitian yang tinggi dalam menentukan dosis untuk anak. Contoh: Hitunglah dosis
Amoxycillin untuk anak berumur 4 tahun dengan BB 17 kg
Diketahui: Dosis Amoxycillin anak di bawah BB 20 kg adalah 20-40 mg/kg BB/ hari diberikan
dalam dosis terbagi tiap 6-8 jam.
Untuk dosis dewasa adalah 250-500 mg, diberikan tiap 6-8 jam.
Perhitungan:

1. Berdasarkan individual dengan ukuran fisik BB:


17 X (20-40) mg = 340- 780 mg/hari
Bila dipilih diberikan 3X sehari, maka dosis per kali pemberian = 113,33 - 226,67 mg
2. Berdasarkan dosis dewasa dengan rumus Clark
17 X (250-500) mg = 60,71 121,43
mg/kali 20
3. Berdasarkan dosis dewasa dengan rumus Young
4 x (250-500) mg = 62,5-125 mg/kali 16
4. Berdasarkan dosis dewasa dengan Tabel J.Hahn:
5. Anak 4 tahun, BB 13,0-16,3 kg = 23% dosis dewasa
= 57,5-115 mg/kali
Hasil di atas menunjukkan bahwa cara perhitungan tersebut menghasilkan dosis yang berbeda.
Dengan mempertimbangkan kondisi penyakit dan kondisi penderita, maka dokter dapat menentukan
besarnya dosis per kali dan per hari dalam resepnya.
Misalkan diputuskan memberikan amoxycillin per kali 125 mg
Bila frekuensinya 3 kali sehari, maka dosis per hari adalah 375 mg.
FORMULA RESEP
Ada 3 formula dalam penulisan resep (magistrlis, officinalis dan spesialistis). Faktor yang
diperhatikan dalam penentuan jenis formula yang akan digunakan: 1) ketepatan dosis, 2) stabilitas
obat terjamin, 3) kepatuhan pasien, 4) kemudahan mendapatkan obat/sediaan, 5) harga terjangkau
FORMULA MAGISTRALIS
Formula ini dikenal dengan resep racikan.Dalam hal ini, dokter selain menuliskan bahan obat, juga
bahan tambahan. Bahan tambahan yang ditambahkan tergantung dari sediaan yang diinginkan. Oleh
karena itu, penting sekali diperhatikan sifat obat, interaksi farmasetik, macam bentuk sediaan dan
macam bahan tambahan yang dapat digunakan serta pedoman penulisan resep magistralis.
Hal-hal yang penting diperhatikan dalam formula magistralis:
1. Bahan obat, sedapat mungkin menggunakan bahan baku. Penggunaan sediaan jadi/paten
(tablet, sirup, dll) sering menimbulkan masalah baik dalam pelayanan( misalkan tidak dapat
halus, tidak homogen, dan tidak stabil) maupun kerasionalan terapi (antara lain perubahan
formula sediaan, perubahan bioaviabilitas obat, perubahan absorbsi, penurunan konsentrasi
obat). Pencampuran bahan yang lebih dari satu macam harus dipertimbangkan adanya
interaksi (farmasetik dan farmakologi) dan rasionalitas obat.
2. Bntuk sediaan yang dapat dipilih meliputi serbuk (pulveres dan pulvis adspersorium), kapsul,
larutan (solusio, infusa), suspensi, unguenta, cream dan pasta.
3. Penentuan bahan tambahan (corrigen saporis, corrigen odoris, corrigen coloris, dan
constituent/vehiculum).
FORMULA SPESIALISTIS

Keterangan:
Dengan resep tersebut, dokter menggunakan formula standar dalam sediaan jadi generik berlogo.
Komposisi obat tersebut:
Ungt. Ophth. Chlorampenicol 1%. Setiap gram salep mata mengandung 10 mg Chlorampenicol,
berat tiap tube 5 gram
Resep yang ditulis dengan formula ini adalah obat paten dari pabrik obat. Kadang pabrik obat
membuat obat dengan berbagai sediaan, kekuatan, dan kombinasi obat. Bila penulisan resep ini
kurang jelas atau tidak lengkap dapat mengakibatklan kesalahan dalam pelayanan di apotek.
SINGKATAN BAHASA LATIN YANG SERING DIPAKAI DALAM RESEP
SINGKATAN

KEPANJANGAN

ARTI

Aa

Ana

Sama banyak

a.c

Ante coenam

Sebelum makan

ad

Ad

Sampai

ad lib./ad libit.

Ad libitus

Sesuka hati

ad part. dolent

Ad partes dolentes

Pada bagian-bagian
yang sakit

add.

Adde

Tambahkan

alt. dieb.

Alternis diebus

Setiap dua hari

alt. hor.

Alternis horis/altera
hora

Setiap dua jam

a.m.

Ante meridiem

Sebelum tengah hari

a.n.

Ante noctern

Sebelum malam hari

applic.

Applicatio

Penggunaan,
pemakaian

a.u.e (ad. us. ext)

Ad usum externum

Untuk obat luar

u.p.

Sum proprium

Dipakai sendiri

m.i.

Mihi ipsi

Dipakai sendiri

Aqua destilata

Air suling

aq.dest

c.

Cum

Dengan

C.

Cochlear, cibarium

Sendok makan (15 ml)

C.th

Cochlear theae

Sendok teh (5 ml)

c.c.

Centrimetrum cubicum

Senti meter kubik

caut.

Caute

Hati-hati

comp.

Compositus

Obat campuran

conc.

Concentratus

Konsentrasi

cr.

Cremor

Krim

da ad lag.

Da ad lagenam

Berikan dalam botol

da ad vitr.

Da ad vitrum

Berikan dalam botol

da ad oll.

Da ad ollam

Berikan dalam pot

da In oll.

Da in ollam

Berikan dalam pot

d.c.

Durante coenam

Sedang makan

d.c. form.

Da cum formula

Tuliskan dengan
resepnya

dur.dol.

Durante dolore

Selagi sakit

d. d.

De die

Sehari, setiap hari

s.d.d.

Smel de die

Sekali sehari

b.d.d.(b.i.d)

Bis de/in die

Dua kali sehari

t.d.d.(t.i.d)

Ter de/ in die

Tiga kali sehari

q.d.d (q.i.d)

Quarter de/in die

Empat kali sehari

dext.et sin.

Dexter et sinister

Kanan dan kiri

o.d./o.s.

Oculus dexter et
oculus sinister

Mata kanan dan mata


kiri

dil.

Dilutus

Encer

d.t.d

Da teles doses

Berikan sebanyak
dosis tersebut

epith.

Epithema

Obat kompres

extend.

Extende

oleskan

extend. cr.

Extende crass

oleskan tebal-tebal
(0,6 mm)

extende ter.

Extende termiter

oleskan tipis-tipis (0.2


mm)

ext. s. alut

Extende supra alutam

oleskan di atas kulit


lunak

ext. s. cor

Extende supra corium

oleskan di atas kulit


kaku

f.

Fac, fiat

buat, harap dibuat

feb. dur.

Febri durante

sewaktu demam

fom.

Fomentum, fomenti

obat kompres (panas)

l.a.

Lege artis

cara semestinya
(sesuai aturan)

filtr.

Filtra, filtretur

saring, harap disaring

g.,gm.

Gramma

gram

gi.arab.

Gummi, arabicum

gom arab (=acacia)

garg.

Gargarisma

obat kumur

gtt.

Guttae

tetes

gtt. ad aur.

Guttae ad aures

obat tetes telinga

gtt. auric.

Guttaeauriculares

obat tetes telinga

gtt. nasal.

Guttae nasals

obat tetes hidung

gtt. ophth

Guttae ophthalmicae

obat tetes mata

h.

Hora

jam

h.m.

Hora matutina

pagi hari

h.s.

Hora somni

sebelum tidur

h.v.

Hora vespertina

pada sore hari

haust.

Haustus

teguk sekaligus

i.m.m.

In manum medici

berikan ke tangan
dokter

i.c.

Inter cibos

antar dua waktu


makan

inf.

Infusum

air rebusan

Inj.

Injectio

obat suntik

Iter.

Iteretur

harap diulang

Iter 1x.

Iteretur 1X

harap diulang 1X

l.a.

Lege artis

cara semestinya

lc.

Loco

pengganti

lit.or.

Litus oris

cairan untuk dioleskan


di mulut

loc.dol.

Locos dolens

tempat yang terasa


sakit

lot.

Lotio

lotio (obat cair utuk


obat luar)

Liq.

liquidus

cair

m.

mane

pagi

m.et v.

mane et vespere

pagi dan sore

merid.

meridie

tengah hari

m.

misce, misceatur

campurlah, harap
dicampur

m.f.

misce fac

campur dan buatlah

m.f.l.a.

misce fac lege artis

campur dan buatlah


menurut carasemestinya

mg., mgm.

milligrama

milligram

mixt.

mixtura

campuran

m.i.

mihi ipsi

dipakai sendiri

muc.gi.arab.

mucilago gummi
arabbici

lender dari acacia

n.

noctum

malam

N.l.

ne iteretur

harap jangan diulang

Non. Rep.

non reperetur

harap jangan diulang

Non in lag.orig.

non in lagenamoriginal

jangan dalam botol asli

o.h.

omni hora

tiap jam

o.b.h.

omni bihora

tiap 2 jam

o.t.h

omni tri hora

tiap 3 jam

o.4h.

omni quarter hora

tiap 4 jam

o.m.

omni mane

tiap pagi

o.n.

omni nocte

tiap malam

p.c.

post coenam

sesudah makan

PIM

periculum in mora

berbahaya jika ditunda

p.r.n.

pro re nata

kalau perlu minum


/cairan yangdigunakan

pot.

potio

untuk obat dalam

pulv.

pulvis

serbuk tunggal

pulv.

pulveres

serbuk terbagi (puyer)

pulv.adsp.

pulvis adspersorius

serbuk tabur

pulv.dentifr.

pulvis dentrificius

tepung / serbuk gosok


gigi

q.s.

quantum satis/sulficit

secukupnya

R/

recipe

ambilah

rec.par.

recentus paratus

dibuat baru

s.

signa

tandailah, tulislah

sol.

solutio

larutan

spir.

spiritus

spiritus

steril.

sterilisatus

yang disterilkan

supp.

supposituria

suposituria

supp.rect.

supposituria rectal

suposituria rektum

syr.

syrup

sirop

tab.

tabulae

tablet

tct. (tinct.)

tinctura

tinctuur

tuss.

tussis

batuk

tuss. urg.

tussi urgente

jika batuknya amat


mengganggu

u.c.

usus cognitus

aturan pakai diketahui

u.n.

usus notus

aturan pakai diketahui

u.e.

usus externus

obat luar

u.p.

usum proprium

dipakai sendiri

u.v.

usus veterinarius

guna kedokteran
hewan

ungt.

unguentum

salep

ungt.ophth.

unguentum
ophthalmicae

salep mata

vesp.

vespere

senja hari

unus

satu

II

duo

dua

III

tres

tiga

IV

quattour

empat

quinque

lima

VI

sex

enam

VII

september

tujuh

VIII

october

delapan

IX

novem

sembilan

december

sepuluh

XI

uno decemb

sebelas

XII

duodecim

duabelas

XX

viginti

duapuluh

XXX

triginti

tigapuluh

quinquaginta

lima puluh

centum

seratus

quingenti

limaratus

mille

seribu

DOSIS ANAK MENURUT J.HAHN


Umur
Baru lahir
1 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
7 bulan

Berat Badan (kg)


2.7 - 3.5
3.2 - 4.0
4.0 - 4.8
4.7 - 5.6
5.2 - 6.2
5.8 - 6.8
6.4 - 7.4
6.8 - 7.9

Perbandingan Dosis terhadap Dosis Dewasa (%)


4
5
6
8
9
9
10
11

8 bulan
9 bulan
10 bulan
11 bulan
12 bulan
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
6 tahun
7 tahun
8 tahun
9 tahun
10 tahun
11 tahun
12 tahun
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
17 tahun
18 tahun
19 tahun
20 tahun

6.9
7.4
7.5
7.7
7.7
10.1
11.6
13.0
14.2
16.0
17.5
19.0
21.2
23.5
25.6
29.7
33.7
36.7
40.2
44.4
49.1
53.1
61.4
54.2

- 8.3
- 8.7
- 9.1
- 9.5
- 10
- 12.5
- 14.5
- 16.3
- 17.8
- 20.3
- 22.8
-24.8
- 27.3
- 29.8
- 32.3
- 34.8
- 37.3
- 42.5
- 48.5
- 53.4
- 57.4
- 61.3
- 63.3
- 65.0

12
12
13
13
14
18
21
23
28
29
31
34
38
42
46
50
54
61
70
77
83
89
92
94

FARINGITIS ET CAUSA STREPTOCOCCUS BETA HEMOLITYCUS GRUP A


Etiologi
Faringitis bakterialis paling sering disebabkan grup A streptokokus beta hemolitikus (GABHS),
yakni terjadi 15-30% kasus anak dan 5-15% dari kasus dewasa. Namun, kejadiannya jarang terjadi
pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Penting untuk membedakannya dengan faringitis oleh
etiologi lainnya, karena tata laksana yang tepat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya demam
rematik.
Tanda dan Gejala
Gejala klinis tidak selalu dapat langsung membedakan faringitis viral dengan faringitis
bakterialis. Kultur dan atau rapid rontgen detection test (RADT) dapat digunakan untuk
membedakannya.
Faringitis bakterialis jarang timbul dengan rinorea, batuk, atau konjungtivitis. Pasien dengan
faringitis bakterialis biasanya datang dengan nyeri tenggorok, nyeri menelan, dan demam. Gejala
lainnya dapat disertai sakit kepala hebat, mual, muntah, dan nyeri perut.

Pemeriksaan fisik didapatkan tonsil yang membesar, tonsil dan faring hiperemis-dengan atau
tanpa eksudat, dan pembesaran kelenjar getah bening servikal anterior. Uvula dapat ditemukan
membengkak, merah, dengan petekiae pada palatum dan faring (beberapa hari kemudian), dan
ekskoriasi (terutama pada bayi). Secara keseluruhan, tidak ada tanda dan gejala yang spesifik
faringitis pada GABHS.
Tabel 1. Skor Centor
Kriteria
Tidak adanya batuk
Demam ( 38oC)
Adenopati servikal anterior
Tonsil bengkak atau bereksudat
Usia
3 14
15 44
45

Poin
1
1
1
1
1
0
-1

Tabel 2. Modifikasi Skor Centor


Kumulatif

Risiko terkena Faringitis

Folow up

Skor
0

GABHS
1 2,5 %

Tidak perlu pemeriksaan lanjutan ataupun terapi

5 10 %

antibiotik
Dapat dilakukan kultur atau RADT. Pemberian

11 17 %

antibiotik bila hasil positif


Lakukan kultur ataupun RADT. Pemberian antibiotik

28 35 %

bila hasil positif


Lakukan kultur ataupun RADT. Pemberian antibiotik

51 53 %

bila hasil positif


Terapi antibiotik empiris

Skor centor denga Modifikasi dapat digunakan untuk membantu seorang klinisi memutuskan dalam
menilai kemungkinan seseorang terkena faringitis karena GABHS. Bila memiliki keempat kriteria
diatas, maka terdapat kemungkinan 44% bukan faringitis streptokokus grup A.
Diagnosis dan Follow up
Kultur dari apusan tenggorok tidak dilakukan untuk evaluasi rutin atau untuk konfirmasi bila
rapid streptococal antigen test (RAT) negatif. Kultur ini berguna untuk investigasi outbreak, monitor
resistensi antibiotik atau penyebab patogen lainnya dipikirkan (contoh:gonokokus).

Tata Laksana
Pasien yang diyakini faringitis bakterialis, harus ditata laksana dengan antibiotik. Gejala klinis pada
umumnya akan membaik dalam 24-48 jam sejak konsumsi antibiotik pertama, namun perlu
ditekankan bahwa penggunaan antibiotik harus hingga 10 hari untuk mengeradikasi bakteri.
Beberapa catatan dalam penggunaan antibiotik.
1. Penisilin masih menjadi terapi lini pertama karena terbukti efektif, aman, spektrumnya yang
sempit, dan harganya yang murah. Amosisilin lebih sering digunakan, terutama pada anak kecil
dan memiliki efektivitas yang sama dengan penisilin V. penambahan asam clavulanat
memberikan terapi yang lebih baik.
2. Beberapa antimikroba tidak direkomendasikan untuk faringitis streptokokal. Tetrasiklin
sebaiknya tidak digunakan karena tingginya resistensi. Sulfonamides, trimethoprimsulfamethoxsazole tidak direkomendasikan karena tidak mengeradikasi bakteri streptokokus
grup A pada faringitis akut. Florokuinolon seperti ciprofloxacin memiliki keterbatasann
melawan faringitis bakterial. Levofloxacin dan Moxifloxacin terbukti mampu, namun harganya
mahal dan tidak dibutuhkan aktivitas spektrum yang luas.
3. Penggunaan sefalosporin selama 10 hari direkomendasikan bagi mereka yang alergi penisilin.
Dapat pula diberikan makrolid (eritromisin atau clarithromycin) atau asythtomycin. Namun,
eritromisin seringkali menyebabkan efek samping gastrointestinal.
4. Pemberian anti nyeri golongan OINS seperti ibuprofen juga diperlukan untuk mengurangi
demam dan nyeri. Pada nyeri yang lebih hebat, dapat diberikan acetaminofen.
5. Pada anak maupun dewasa, kortikosteroid terbukti mengurangi durasi dan tingkat keparahan
penyakit. Sayangnya, kortikosteroid jga berpotensi menyebabkan efek samping sehingga tidak
direkomendasikan penggunaannya, sehingga penggunaannya memerlukan pertimbangan
khusus.
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh faringitis disebabkan streptokokus eta hemolitikus
grup A berupa endokarditis, meningitis, abes peritonsil, limadenitis servikal, demam rematik, dan
glomerulonefritis post-streptokokus.
VIII. SINTESIS
Tuan MT 63 tahun memiliki riwayat atrial fibrilasi sedang mengkonsumsi digoxin dan
warfarin, selain itu beliau memiliki riwayat alergi terhadap amoksisilin. Suatu hari beliau merawat

saudara perempuan nya yang sedang sakit faringitis et causa streptococcus beta hemolyticus grup A.
Karena hal tersebut, menyebabkan transmisi melalui droplet dari saudara perempuan nya menjadi
sangat mudah ke tuan MT. Akhirnya tuan MT terinfeksi streptococcus beta hemolyticus grup A. Pada
faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa
faring dan akan menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu
akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian
edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan
kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan
hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning,
putih atau abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel
limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan
menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan 18 Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal.
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan
extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena
fragmen M protein dari Streptococcus hemolyticus group A memiliki struktur yang sama dengan
sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan katub jantung.
Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibodi.

Akhirnya timbul reaksi radang pada tonsil tuan MT menyebabkan tonsil nya membesar dan
hiperemis, hal ini menjadi penyebab tuan MT nyeri menelan. Gara-gara ada inflamasi menyebabkan
tuan MT pun menjadi demam sehingga pada pemeriksaan fisik, temperatur nya tinggi (39,1oC).

Untuk itu perlu diberikan obat yang tepat kepada tuan MT, maka di berilah azitromisin selama lima
hari dengan dosis 500mg satu kali sehari sebagai obat antibiotik nya, dengan pertimbangan harganya
cukup murah dan tidak terlalu bermasalah ketika berinteraksi dengan warfarin dan digoxin, selain
itu azitromisin dipilih karena tuan MT memiliki alergi terhadap amoksisilin. Dan untuk mengobati
penyakit simptomatik nya maka tuan MT di beri parasetamol sebanyak sepuluh kali dengan dosis
500mg sehari tiga kali selama demam.

IX.

KESIMPULAN
Tuan MT 65 tahun mengalami faringitis ec. Streptococcus Beta Hemoliyticus Grup A dengan
riwayat atrial fibrilasi, mengkonsumsi digoxin dan warfarin, serta alergi amoksisilin diberikan
terapi azitromisin selama 3 hari dan paracetamol selagi demam.

DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unila.ac.id/6550/14/BAB%20II.pdf (diakses 4 November 2015)
Gunawan, S.G. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi danTerapeutik FK
UI. Jakarta
Laurence L.B., John S.L., Keith L.P. 2006. Goodman Gilmans The Pharmacological Basis Of
Therapeutics Eleventh Edition. New York. McGraw-Hill Companies.
Abdullah, Rozi. 2012.Dexamethason.http://bukusakudokter.org/2012/12/08/dexamethasone/ (diakses
4 November 2015)
Anonim, 1976, Formularium Indonesia
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Depkes RI
Anonim, 1989, Informatorium Obat Generik, Depkes RI, Jakarta
Ansel, H.C, Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms.Lea dan Febiger, Philadelphia
Gan, Sulistia, 1995.Farmakologi dan Terapi, edisi ke-4, FK-UI, Jakarta
Osol, Ansel, 1975, Remingtonss Pharmaceutical Science.Philadelphia
PEFARDI JATIM, Pendidikan Berkelanjutan Ilmu Farmasi Kedokteran, PEFARDI, Murnajati
Lawang, jatim, 1 november 2002
Bisno AL, Gerber MA, gwaltney JM, Kaplan EL, Schwartz RH. Diagnosis dan manajemen
dari grup A faringitis streptokokus: pedoman praktek. Penyakit Infeksi Society of
America. Clin Menginfeksi Dis 1997; 25: 574-83.
Gunawan, S.G. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi danTerapeutik FK
UI. Jakarta
Laurence L.B., John S.L., Keith L.P. 2006. Goodman Gilmans The Pharmacological Basis
OfTherapeutics Eleventh Edition. New York. McGraw-Hill Companies.
Mufidasari
2008.
Interaksi
Makanan
Dengan
Digoksin.
http://mufidasari.multiply.com/journal/item/10/interaksi_makanan_dan_obat_digoksin,
Diakses 3 November 2015

Sumber: Bickley. L.S., 2006. Buku Saku pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates.
Ed.5.EGC;Jakarta.
Cynthias.hayes, MD, MHA, dan Harold Williamson, JR, MD, MSPH. Management of
Group

Beta-Hemolytic

Streptococcal

Pharyngitis.

http://www.aafp.org/afp/2001/0415/p1557.html. diakses 3 november 2015


R. Lersa. 2012. Farmakokinetik.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32825/4/Chapter%20II.pdf,

Diakses

November 2015
Bertram G. Katzung. Farmakologi Dasar dan KlinikEdisi 10. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2002.hal 555-559, 563-566.
Tammy J. Bungard, BSP, PharmD; Erin Yakiwchuk, BSP, ACPR; Michelle Foisy,
BScPharm,PharmD, FCSHP; Cynthia Brocklebank, PharmD, ACPR. Drug
interactions involving warfarin: Practice tool and practical management tips. C P J /
RP
C J A N UA R Y / F E B RUA R Y 2 0 1 1 VO L 1 4 4 , N O 1
Stanford T. Shulman, L. Bisno,et al. Clinical Practice Guideline for the Diagnosis
and Management of Group A Streptococcal Pharyngitis: 2012 Update by the
Infectious
Diseases Society of America. Published by Oxford University Press on
behalf of the Infectious
Diseases Society of America.
John R. Horn, PharmD, FCCP, and Philip D. Hansten, PharmD. Drug Interactions
with Digoxin: The Role of P-glycoprotein. Pharmacy Times October 2004.
Mathieu S. Bolhuis *, Prashant N. Panday, Arianna D. Pranger, Jos G. W. Kosterink
and
Jan-Willem C. Alffenaar. Pharmacokinetic Drug Interactions of Antimicrobial Drugs:
A
Systematic
Review on Oxazolidinones, Rifamycines, Macrolides,
Fluoroquinolones, and
Beta-Lactams. Department of Hospital and Clinical Pharmacy,
University
Medical
Center Groningen, University of Groningen.
Published: 18 November 2011.

Anda mungkin juga menyukai