SKENARIO A BLOK 12
(04011181419002)
(04011181419004)
3. Radhiyatul Husna
(04011181419032)
4. Dita Andini
(04011181419034)
5. Femmy Destia
(04011181419036)
6. Bima Indra
(04011281419208)
7. Fitria Masturah
(04011281419116)
8. Masagus MINA
(04011281419124)
9. Nadiya Auliesa
(04011281419178)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya
tugas laporan tutorial Skenario A Blok 12 ini dapat terselesaikan dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran PBL di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Dan tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Krisna Murti, spPA
selaku tutor serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tugas tutorial
ini.
Kami menyadari laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari pembaca akan sangat kami harapkan guna perbaikan di masa
yang akan datang.
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada
semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi
kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan Yang
Maha Esa. Amin.
Palembang, November 2015
Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
KEGIATAN TUTORIAL
I.
Skenario
II.
Klarifikasi Istilah
III.
Identifikasi Masalah
IV.
Analisis Masalah
V.
Hipotesis Sementara
VI.
Kerangka Konsep
VII.
Learning Issue
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Interaksi obat kardiovaskuler dan antikoagulan dan antibiotik
Antibiotik
Penulisan resep dan dosis
Faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup A
VIII. Sintesis
IX.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
KEGIATAN TUTORIAL
Tutor
Moderator
: Nadiya Auliesa
Sekretaris
: Dita Andini
Pelaksanaan
:
-
Pada
saat
ingin
berbicara
terlebih
dahulu
I.
SKENARIO
Tuan MT, usia 63 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan utama demam, sakit kepala, dan
nyeri menelan sejak 4 hari yang lalu. Menurut tuan MT, keluhan ini mulai dirasakan sejak
merawat saudara perempuannya yang mengalami faringitis et causa streptococcus beta
hemalitycus grup A. Pasien memiliki riwayat atrial fibrilasi dan saat ini sedang mengonsumsi
digoxin dan warfarin. Tuan MT juga memiliki riwayat alergi dengan amoksisilin.
Pemeriksaan fisik :
Vital sign : temperature : 39,10C, tekanan darah : 120/70 mmHg, HR : 130x/menit (ireguler),
RR : 24x/menit
Farin- laring : hiperemis, tonsil membesar dan hiperemis
X-ray thorax : normal
Dokter mendiagnosis tuan MT dengan faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup
A.
II.
KLARIFIKASI ISTILAH
No
Istilah
.
1.
Demam
Definisi
kenaikan suhu tubuh diatas variasi sirkardian yang
normal sebagai akibat dari perubahan pada pusat
termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus
anterior .
2.
Sakit kepala
3.
Nyeri menelan:
4.
Poliklinik
5.
Faringitis
6.
Et causa streptococcus
A
7.
Atrial fibrilasi
streptococcus pyogenes
aritmia atrium yang ditandai dengan kotraksi acak
dan cepat pada daerah kecil miokardium atrium
Digoxin
9.
Warfarin
10.
Alergi
11.
Amoksisilin
12.
Hiperemis
13.
Tonsil
14.
Faring
tenggorokan
ruang
muskulomembrnosa
Laring
16.
X-ray thorax
pemeriksaan
yang
menggunakan
getaran
IDENTIFIKASI MASALAH
No.
1.
Fakta
Tuan MT, usia 63 tahun, datang ke poliklinik
Concern
VVV
VV
hemalitycus
grup
A.
Dokter
VV
Pemeriksaan fisik :
IV.
ANALISIS MASALAH
1. Tuan MT, usia 63 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan utama demam, sakit
kepala, dan nyeri menelan sejak 4 hari yang lalu.
a. Bagaimana mekanisme nyeri menelan streptococcus beta hemalitycus grup A?
Jawab :
Bakteri atau virus menginfeksi pada lapisan epitel. Bila epitel terkikis,
makajaringan limpofid superficial menandakan reaksi, terdapat pembendungan
b. Obat apa saja yang bisa diberikan untuk demam, sakit kepala, nyeri menelan ?
Jawab :
Demam
1. PARASETAMOL
Indikasi
Nyeri ringan sampai sedang (Termasuk sakit kepala, mialgia, keluham
sesudah imunisasi, dan keluhan sesudah tonsilektomi), serta menurunkan
demam yang menyertai infeksi bakteri dan virus.
Dosis
o Oral:
Bayi dibawah 1 tahun: sendok teh atau 1 ukuran pipet, 34x sehari.
Kontra Indikasi
Pasien dengan penyakit hari atau ikterus
Perhatian
Untuk penggunaan tanpa resep dokter: jangan melebihi dosis maximum
yang dianjurkan, dan jangan dipakai terus menerus lebih dari 10 hari tanpa
pengawasan dokter.
Efek Samping
Sangat jarang dan biasanya ringan
Over Dosis
Sakit Kepala
1. PARASETAMOL
2. ASETOSAL
POLDAN MIG (Sanbe)
Komposisi
gangguan
fungsi
hati-ginjal,
asma,
Nyeri menelan
DEKSAMETASON
KOMPOSISI
Dexamethasone 0,5 mg : Setiap tablet mengandung deksametason 0,5 mg.
Dexamethasone 0,75 mg : Setiap tablet mengandung deksametason 0,75
mg.
FARMAKOLOGI
Dexamethason (deksametason) adalah obat antiinflamasi dan antialergi
yang sangat kuat. Sebagai perbandingan Dexamethasone 0,75 mg setara
dengan obat sebagai berikut : cortisone 25 mg, hydrocortisone 20 mg,
prednisone 5 mg, dan prednisolone 5 mg.
Deksametason tidak mempunyai aktivitas mineral kortikosteroid dari
cortisone atau hydrocortisone, sehingga pengobatan untuk kekurangan
adrenocortical tidak berguna.
INDIKASI
Obat ini digunakan sebagai glucocorticoid khususnya untuk :
-
Antiinflamasi,
Alergi dermatitis,
Penyakit kulit,
KONTRAINDIKASI
Penderita yang hipersensitif terhadap deksametason.
Penderita infeksi jamur sistemik.
Jangan diberikan kepada penderita herpes simpleks pada mata,
tuberkulosis aktif, peptik ulcer aktif atau psikosis kecuali dapat
menguntungkan penderita.
Jangan diberikan kepada wanita hamil karena akan terjadi hipoadrenalisme
pada bayi yang dikandungnya,
serendah-rendahnya.
PERINGATAN DAN PERHATIAN
Kekurangan adrenocortical sekunder yang disebabkan oleh pengobatan
dapat dikurangi dengan mengurangi dosis secara bertahap.
Ada
penambahan
efek
kortikosteroid
pada
penderita
dengan
Anak-anak : 0,08 mg 0,3 mg/kg berat badan per hari dibagi dalam 3 atau
4 dosis.
KEMASAN
Dexamethasone tablet 0,5 mg, kotak, 20 strip @ 10 tablet.
Dexamethasone tablet 0,75 mg, kotak, 20 strip @ 10 tablet.
2. Menurut tuan MT, keluhan ini dirasakan sejak merawat saudara perempuannya yang
mengalami faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup A. Dokter
mendiagnosis tuan MT dengan faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup
A
a. Patofisiologi streptococcus beta hemalitycus grup A?
Jawab :
Infeksi Streptococcus hemolyticus group A merupakan penyebab faringitis
akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Gejala dan tanda
biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah, kadangkadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae
pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
nyeri apabila ada penekanan. Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus
hemolyticus group A dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria,
yaitu :
Demam
Anterior Cervical lymphadenopathy
Eksudat tonsil
Tidak adanya batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 01 maka pasien
tidak mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus hemolyticus group A,
bila skor 13 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi Streptococcus
hemolyticus group A dan bila skor empat pasien memiliki kemungkinan 50%
terinfeksi Streptococcus hemolyticus group A (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014).
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan
pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan
Demam rematik
Abses peritonsilar
d. Drug of choice serta obat second line nya untuk tuan MT?
Jawab :
DOC untuk faringitis et causa streptococcus beta hemalitycus grup A adalah
antibiotik golongan penisilin, yaitu penisilin G IM dengan dosis 1,2 juta unit,
dapat juga penisilin VK melalui oral dengan dosis sebanyak 500mg setiap 6
jam selama 10 hari. Amoxicilin juga dapat diberikan dengan dosis 500mg 3x
sehari selama 10 hari per oral.
Apabila pasien alergi penisilin, maka obat yang digunakan adalah antibiotik
golongan makrolida yaitu erithromisin 250mg 4x sehari atau 330mg 3x sehari
selama 10 hari per oral dan dapat juga diberi clindamisin 300mg 3x sehari
selama 10 hari per oral. Akan tetapi, bila menggunakan erithomisin, maka akan
meningkatkan kadar warfarin dan digoxin dalam plasma, sehingga dapat
menyebabkan intoksikasi dari kedua obat tersebut. Selain itu, Streptococcus Bhemolitik grup A juga sudah mulai perlahan menjadi resisten erithromisin. Jadi
obat selain erithromisin yang dapat diberikan adalah sefalosporin generasi
pertama seperti cephalexin.Cephalexin diberikan dengan dosis 500mg 2x
sehari per oral selama 10 hari.Kerugian dari penggunaan sefalosporin ialah
karena obat ini memiliki spektrum yang luas.Pemberian antibiotik spektrum
luas tanpa indikasi yang tepat dapat mengganggu perkembangan flora normal
usus karena dapat mematikan bakteri gram positif, bakteri gram negatif, kuman
anaerob, serta jamur yang digunakan pada proses pencernaan dan penyerapan
makanan dalam tubuh. Bakteri yang ada di dalam tubuh umumnya
makrolida
menghambat
sintesis
protein
bakteri
pada
melalui
DIGOKSIN
Farmakodinamik
Sifat farmakodinamik utama digitalis adalah inotropik positif, yaitu
meningkatkan kontraksi miokardium. Pada penderita yang mengalami
gangguan fungsi sistolik, efek inotropik positif ini akan menyebabkan
peningkatan curah jantung sehingga tekanan vena berkurang, ukuranjantung
mengecil dan reflek takikardi karena respon jantung diperlambat.
Mekanisme kompleks dari efek inotropik positif glikosida jantung terdiri atas
efek langsung glikosida jantung terhadap jantung dengan cara merubah pola
kelistrikan dan aktivitas mekanik jantung, serta efek tidak langsung yang
dibangkitkan oleh perubahan refleks aktivitas sistem saraf otonom.
Efek Langsung
A. Kontraktilitas Miokardium
Mekanisme kerja efek inotropik positif didasarkan atas 2 hal, yaitu (1)
penghambatan enzim Na+, K+ adenotrifosfatase (Na+, K+- ATPase) yang terikat
di membran sel miokard (sarkolema) dan berperan dalam mekanisme pompa
Na+ dan (2) peningkatan arus masuk lambat (slow inward current) Ca+ ke
intrasel pada potensial aksi.
terjadi oleh bakteri dilumen usus setelah pemberian oral atau setelah eliminasi
empedu pada pemberian IV. Digoksin mengalami reaksi pembelahan bertahap
dari gugus gula untuk membentuk digoksigenin-bisdigitoxosida, digoksigeninmonodigitoxosida, dan digoksigenin, metabolit tersebut bersifat menurunkan
kardioaktivitas digoksin. Digoksin juga mengalami pengurangan cincin lakton
membentuk dihidrodigoksin yang kemudian juga mengalami pembelahan
bertahap pada gugus gulanya.
Ekskresi
Pembersihan digoxin dari plasma lebih banyak dilakukan oleh ginjal.
Sekitar 35% obat ini, dieksresikan tiap hari oleh ginjal. Pada pasien yang
mengalami disfungsi ginjal, waktu paruh eliminasi digoxin dapat mengalami
penurunan yang sesuai dengan proporsi penurunan pembersihan (clearance)
creatinine. Sebagai contoh, waktu paruh eliminasi digoxin pada pasien dengan
ginjal normal adalah sekitar 31 hingga 33 jam , dan waktu paruh tersebut dapat
memanjang hingga 4,4 hari pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
ginjal. Adapun aturan praktis penggunaan digoxin adalah kita harus
menurunkan dosis digoxin hingga 50% dari dosis normal jika konsentrasi
kreatinin dalam serum mencapai 3 sampai 5 mg/dl dan kita harus menurunkan
dosis digoxin hingga 75% jika pasien telah mengalami gagal ginjal.
Tempat akumulasi digoxin yang inaktif adalah pada otot rangka.
Penurunan massa otot, terutama pada orang tua, akan menyebabkan
peningkatan kadar digoxin dalam plasma serta miokardial. Tempat akumulasi
digoxin inaktif lainnya adalah pada jaringan lemak. Sekitar 25% digoxin
berikatan dengan protein. Terkadang, pasien bisa membentuk antibodi terhadap
digoxin, sehingga hal tersebut akan mencegah timbulnya efek terapeutik.
Digoxin dimetabolisme secara minimal, beberapa pasien dapat membentuk
metabolit dihydrodigoxin yang inaktif.
c. Faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang untuk alergi pada amoksisilin?
Jawab :
Para pakar menduga ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko alergi
obat pada seseorang. Faktor-faktor risiko tersebut meliputi:
Usia. Beberapa orang dalam kelompok usia 20-49 tahun memiliki resiko
tinggi terhadap alergi antibiotik
hindari
konsumsi
makanan
tinggi
Ca
terutama
jam
sebelum/sesudah minum obat ini. Sumber utama Ca adalah susu dan hasil
olahannya seperti keju.
WARFARIN
Interaksi obat :(memperpanjang waktu protrombin berarti memperpanjang
waktu pembekuan darah)
Warfarin berinteraksi dengan sangat banyak obat lain seperti asetaminofen,
beta bloker, kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin, gemfibrozil, hidantoin,
glukagon, kuinolon, sulfonamid, kloramfenikol, simetidin, metronidazol,
omeprazol, aminoglikosida, tetrasiklin, sefalosporin, anti inflamasi non steroid,
penisilin, salisilat, asam askorbat, barbiturat, karbamazepin dan lain-lain.
dr.
SID
SIP
Alamat
Jam Praktek
Palembang, 5-11-2015
R/ Azitromisin tab mg 500 dtd no. V
s 1 dd tab 1
R/ Parasetamol tab mg 500 dtd no. X
s 3 dd tab 1
Pro : Tn. MT (63th)
b. Apa penyebab dan mekanisme faring laring hiperemis dan tonsil membesar
dan hiperemis?
Jawab :
Tonsilitis akut : etiologinya yaitu streptococcus beta hemolitikus grup A,
srteptococcus viridans dan piogenes dan pneumococcus. Tonsilitis ini
seringkali terjadi mendadak pada anak-anak dengan peningkatan suhu 1
sampai 4 derajat celcius.
Penularannya terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, kemudian bila epitel ini terkikis, maka jaringan limfoid superkistal
bereaksi, di mana terjadi pembendungan radang dengan infiltasi leikosit PMN.
Untuk mengetahui apakah ada keadaan patologi jantung lain seperti gagal
jantung, gagal jantung kongestif, selain itu juga untuk melihat apakah ada
pneumonia terutama oleh infeksi pada Tn. MT dan juga untuk mengetahui
keadaan pembuluh darah pada thoraks dan untuk mengetahui apakah ada
emboli.
V.
Hipotesis Sementara
Karena tuan MT alergi amoksisilin maka ia diberikan antibiotik golongan makrolida
VI.
Kerangka Konsep
Tuan MT
63 tahun
Riwayat
atrial fibrilasi
mengonsumsi
digoxin dan
warfarin
Alergi
amoksisilin
Merawat saudara PR
(faringitis ec.
Streptococcus beta
hemolitycus grup A
Terinfeksi streptococcus
beta hemolitycus grup A
Azitromisin
dema
m
Sakit
kepala
parasetamol
VII.
Tonsil
membes
Nyeri menelan
LEARNING ISSUE
FARMAKOKINETIK
Proses mulai dari masuknya obat ke dalam tubuh sampai dikeluarkan kembali disebut
farmakokinetik. Termasuk dalam proses farmakokinetik ialah absorpsi, distribusi,
biotransformasi dan ekskresi obat. Untuk menghasilkan efek, sesuatu obat harus harus
terdapat dalam kadar yang tepat pada tempat obat itu bekerja. Untuk mencapai tempat kerja
suatu obat harus melewati berbagai membrane sel tubuh.
OBAT
DARAH PLASMA
TEMPAT KERJA
EFEK
dalam lipid bilayer yang membentuk membran sel. Selain tergantung pada kelarutan obat
dalam lipid, kecepatan difusi pasif melalui membrane juga ditentukan oleh lipid water
partition coefficient dari obat tersebut. Makin besar nilai lipid water partition coefficient
makin cepat obat tersebut difusi melalu membrane.selain itu membrane sel juga permeable
terhadap air, aliran air melewati membrane ini dapat membawa zat-zat yang terlarut
didalamnya, seperti urea, dan zat lain yang molekulnya kecil dengan BM tidak lebih dari 100200. Jadi substansi atau obat yang tidak larut dalam lipid dan mempunyai berat molekul lebih
besar dari 200 tidak akan bisa melewati membrane sel dengan difusi pasif.
Kebanyakan obat bersifat asam lemah atau basa lemah yang biasanya dalam larutan
terdapat dalam bentuk ion maupun nonion. Molekul nonion biasanya larut dalam lemak dan
dengan mudah dapat berdifusi pasif melalui membrane. Sebaliknya molekul-molekul yang
terionisasi biasanya sukar melalui membrane dengan cara difusi karena kelarutannya dalam
lemak rendah. Sebagai akibatnya maka masuknya obat-obat kedalam sel untuk melewati
membrane-membran lainnya sangat tergantung pada pH lingkungan dan pKa dari obat itu
sendiri.
Carrier mediated transport
Difusi pasif yang dipermudah berbeda dengan difusi pasif, pada konsentrasi obat yang
tinggi transport obat akan mencapai suatu kecepatan maksimum pada saat mana penambahan
konsentrasi obat tidak akan menambah kecepatan angkutan obat melalui membrane sel.
Gerakan obat adalah dari konsentrasi tinggi kearah konsentrasi rendah, jadi searah dengan
gradient konsentrasi. Sebelum tercapai kejenuhan (maksimum) mula-mula kecepatan trasnpor
lebih cepat dari pada diifusi pasif. System transport ini bersifat relative spesifik dan peka
terhadap hambatan kompetisi oleh obat (substrate) lainnya. Contoh dari obat yang ditranspor
dengan cara difusi pasif yang dipermudah adalah vitamin B12.
Transport aktif
Suatu transport yang diperantai pembawa yang dapat mencapat titik jenuh dan peka
juga terhadap hambatan kompetisi. Tetapi pada angkutan aktif ini gerakan molekul obat dari
konsentrasi rendah ke konstrasi tinggi, jadi bergerak melawan gradient dan konsentrasi.untuk
mempertahankan gradient konsentrasi diperlukan energy.
Absorpsi obat
Absorpsi didefinisikan sebagai masuknya obat dari tempat pemberiannya kedalam
plasma. Kecuali pemberianI.V. dan inhalasi, hamper semua obat harus masuk kedalam plasma
sebelum mencapai tempat kerjanya dan oleh karenanya obat harus mengalami absorpsi
terlebih dahulu.
Antibiotic penisilin, penisilin oral bisa diformulasikan sebagai asam bebas yang bersifat sukar
larut, atau dalam bentuk garam yang mudah larut. Jika penisilin dalam bentuk garam kalium
diberikan, maka obat tersebut akan mengendap sebagai asam bebas segera setelah mencapai
lambung, dimana pHnya rendah, membentuk suatu suspense dengan partikel-partikel halus di
absorpsi dengan cepat. Tetapi bila diberikan dalam bentuk asam, maka penisilin benuk asam
ini sukar larut dalam lambung dan absorpsi jauh lebih lambat, sebab partikel-partikel yang
terbentuk adalah besar.
Distribusi obat
Perpindahan obat yang tidak tetap dari darah keberbagai jaringan tubuh. Setelah obat
masuk kedalam sirkulasi darah (sesudah absorpsi), obat tersebut akan dibawa keseluruh tubuh
oleh aliran darah dan kontak dengan jaringan-jaringan tubuh dimana distribusi terjadi.
Kecepatan distribusi obat masuk kedalam jaringan adalah sama dengan kecepatan distribusi
obat keluar jaringan tersebut.
Factor yang mempengaruhi kecepatan distribusi obat adalah: aliran darah ke jraingan,
sifat-sifat fisik dan kimia obat, sifat memberan yang memsiahkan jaringan dari darah atau
cairan interstisial, dan banyaknya obat yang terikat pada protein plasma.
Metabolisme
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi lalu diangkut melalui sistem pembuluh porta
(vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah lambung usus ke hati. Dalam
hati, seluruh atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan hasil
perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif, dimana proses ini disebut proses
diaktivasi atau bioinaktivasi (pada obat dinamakan first pass effect). Tapi adapula obat yang
khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi
metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat disebut biotransformasi (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang dapat meningkatkan
kecepatan biotransformasi. Selain itu inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi
enzim, biotranformasi obat diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat,
menimbulkan efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga
berpengaruh terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem
enzim yang sama (contoh alkohol dan barbiturat). Perbedaan individu juga berpengaruh
terhadap metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin
memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama (Hinz, 2005).
Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya
bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding saluran cerna (jumlah obat yang
diabsorpsi) dan jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintas
pertama) di mukosa usus dan dalam hepar (Setiawati, 2005).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam darah
menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di
dalam lever terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi
bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan
dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat dan lain-lain. Hal ini akan
secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first
pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang di hasilkan juga
berkurang (Hinz, 2005).
Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic Reactions (Reaksi Fase
I) dan Synthetic Reaction (Reaksi Fase II). Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi,
hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya
tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase II
berupa konjugasi yaitu penggabungan suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolitnya
umumnya lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan (Hinz, 2005).
Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam air dibandingkan
molekul awal. Perubahan sifat fisiko kimia ini paling sering dikaitkan dengan penyebaran
kuantitatif metabolit yang dapat sangat berbeda dari zat aktifnya dengan segala akibatnya.
Jika metabolit ini merupakan mediator farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik
berupa peningkatan maupun penurunan efeknya (Aiache, 1993).
Ekskresi
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni
disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat diekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil
dalam keadaan asli yang utuh. Tapi adapula beberapa cara lain yaitu melalui kulit bersama
keringat, paru-paru melalui pernafasan dan melalui hati dengan empedu (Tjay dan Rahardja,
2002).
Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan metabolisme dan
ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan
pengertian plasma half-life eliminasi (waktu paruh) yaitu rentang waktu dimana kadar obat
dalam plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuhnya. Kecepatan eliminasi obat dan
plasma t1/2-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan
metabolisme cepat half lifenya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami
biotransformasi atau yang resorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya t1/2-nya
panjang (Waldon, 2008).
INTERAKSI OBAT
Interaksi Obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap obat lain, di dalam
tubuh. Interaksi obat dapat terjadi pada farmakokinetik, atau farmakodinamik, atau gabungan
keduanya.
a. Interaksi farmakokinetik
Interaksi dalam Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi (ADME) dapat
meningkatkan atau menurunkan kadar plasma obat.
1) Interaksi yang terjadi pada proses Absorpsi Gastrointestinal
-Secara langsung sebelum absorpsi
Interaksi antibiotik (tetrasiklin, fluorokuinon) dengan besi dan antasida yg
mengandung (Al, Ca dan Mg) berbentuk senyawa chelate yang tidak larut sehingga antibiotik
tidak diabsorpsi.
-Terjadi perubahan pH cairan GIT
Obat indeks memiliki ikatan protein sebesar > 85%, Vd <0,15l/kg dan memiliki batas
keamanan sempit
-obat presipitan berikatan dengan albumin pada binding site yang sama dengan obat
indeks, kadarnya cukup tinggi untuk menempati dan menjenuhkan binding site-nya.
obat untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekskresi empedu
digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu
rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu
Pglikoprotein.
17 Obat-obat yang menghambat P-glikoprotein di intestin akan meningkatkan bioavailabilitas
substrat P-glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat
menurunkan ekskresi ginjal substrat. Contoh, itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein di
ginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika diberikan
bersamasama,
sehingga kadar plasma digoksin akan meningkat.
Inter aksi farmakodinamik:
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor,
tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik,
atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya.
Interaksi
farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat
yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya
A. INTERAKSI WARFARIN DAN ANTIBIOTIK
Warfarin (anti koagulan oral) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1948. Obat ini
bekerja dengan mempengaruhi sintesis faktor pembekuan darah tergantung dari vitamin K
seperti faktor pembekuan II, VII. IX dam X dan pembekuan protein induced by vitamin K
absent or antagonist (PIVKA).
Warfarin diabsorbsi diusus halus dan memasuki sirkulasi darah, dimetabolisme di
mikrosom sel hati, dan akan menghambat kerja vitamin K. Penghambatan kerja vitamin K
meyebabkan penuninan sintesis faktor pembekuan II, VII, IX dan X serta pembentukan
PIVKA.
Warfarin termasuk ke dalam golongan obat antikoagulan yang dipakai untuk
mencegah terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan oral (warfarin) akan mempengaruhi
kerja vitamin K pada sintesa faktor pembekuan II, VII, IX dan X di dalam sel hati. Menurut
Deykin dan Verstraete, kerja utama dan obat antikoagulan oral adalah menghambat kerja
tergantung vitamin K.
Menurut Deykin, antikoagulan oral juga dapat menghambat vitamin K menjadi vitamin K 1
hidrokuinon. Peughambatan kerja vitamin K menyebabkan terjadinya penurunan sintesis
faktor II, VII, IX dan X.
Intake antibiotik menyebabkan perubahan jumlah flora normal di dalam usus sehingga
penyerapan vitamin K lebih rendah dan akibatnya penurunan produksi vitamin K dependent
coagulan factors, VII, IX, X dan mungkin V. Antibiotik spektrum luas, dapat meningkatkan
aktivitas antagonis yang dapat menyebabkan peningkatan serius di dalam darah dan dapat
mengancaman
kehidupan
pasien.
Antibiotik
penghambat
CYP3A4
Farmakokinetik
Dalam darah, wafarin hampir seluruhnya terikat pada albumin plasma; ikatan ini tidak
kuat dan mudah digeser oleh obat tertentu misalnya fenilbutazon dan asam mefenamat. Hanya
sebagian kecil dikumarol dan warfarin yang terdapat dalam bentuk bebas dalam darah,
sehingga degradasi dan ekskresi menjadi lambat. Masa paruh warfarin 48 jam. Warfarin
ditimbun terutama dalam paru-paru, hati, limpa dan ginjal. Efek hipoprotrombinemiknya
berkolerasi dengan lamanya obat tinggal di hati.
Efek terapi baru tercapai 12-24 jam setelah kadar puncak obat dalam plasma, karena
diperlukan waktu untuk mengosongkan faktor-faktor pembekuan darah dalam sirkulasi.
Makin besar dosis awal, makin cepat timbulnya efek terapi; tetapi dosis harus tetap dibatasi
agar tidak sampai menimbulkan efek toksik. Lama kerja sebanding dengan masa paruh obat
dalam plasma.
Warfarin mengalami hidroksilasi oleh enzim retikulum endoplasma hati menjadi
bentuk tidak aktif. Ekskresi dalam urin terutama dalam bentuk metabolit anisindion dapat
menyebabkan urin berwama merah jingga. Bagian yang tidak diabsorpsi diekskresi melalui
tinja.
Efek samping
Efek toksik yang paling sering akibat pemakaian antikoagulan oral ialah perdarahan
dengan frekuensi kejadian 24%. Namun, perdarahan juga dapat terjadi pada dosis terapi
karena itu pemberian antikoagulan oral harus disertai pemeriksaan waktu protrombin dan
pengawasan terhadap terjadinya perdarahan.
Perdarahan paling sering terjadi di selaput lendir, kulit, saluran cerna dan saluran
kemih. Hematuria sering terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal, dapat disertai kolik dan
hematom intrarenal. Gejala perdarahan yang mungkin timbul ialah ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hemoptisis, perdarahan serebral, perdarahan paru, uterus dan hati. Kurang
lebih 25% dan kematian akibat penggunaan antikoagulan kumarin disebabkan oleh
perdarahan berat di saluran cerna, biasanya berasal dan tukak peptik atau neoplasma.
Pada perdarahan, tindakan pertama ialah merighentikan pemberian antikoagulan.
Perdarahan hebat memerlukan suntikan vitamin K1 (fibkuinon) IV, dan biasanya perdarahan
dapat diatasi dalam beberapa jam setelah penyuntikan. Perdarahan yang tidak terlampau berat
cukup dengan dosis tunggal 1-5 mg; tetapi untuk perdarahan berat dapat diberikan dosis 2040 mg, jika perlu dosis dapat ditambah setelah 4 jam. Pemakaian vitamin K 1 harus dibatasi
untuk kasus-kasus perdarahan yang berat saja, karena pasien mungkin menjadi refrakter
berhari-hari terhadap terapi ulang dengan antikoagulan oral.
Warfarin dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah lesi kulit berupa purpura dan
urtikaria, alopesia, nekrosis kulit; kadang-kadang jari kaki menjadi ungu. Pada penggunaan
fenprokumon dapat timbul diare dan dermatitis, sedangkan asenokumarol dapat menyebabkan
tukak pada mulut dan gangguan saluran cerna. Fenindion dapat menyebabkan leukopenia,
agranubositosis, demam, ruam kulit, ikterus, hepatitis, diare, paralisis akomodasi, tukak pada
mulut, neuropati dan urin berwarna merah jingga, sedangkan difenadion menyebabkan mual,
dan anisindion menyebabkan urin berwarna jingga.
Selain itu, warfarin dengan mudah melintasi plasenta dan dapat menimbulkan
gangguan perdarahan pada janin. Selanjutnya protein janin yang mempunyai residu ykarboksiglutamat yang terdapat di dalam tulang. dan darah dapat dipengaruhi oleh warfarin;
obat mi dapat menyebabkan cacat lahir yang serius yang ditandai dengan pembentukan tulang
yang abnormal. Oleh karena itu, warfarin jangan diberikan selama kehamilan. Kadang-kadang
terjadi nekrosis kutaneus yang disertai aktivitas protein C yang berkurang selama minggu
pertama terapi. Proses yang sama jarang menimbulkan infark yang jelas pada payudara,
jaringan lemak, usus, dan ekstremitas. Lesi patologik yang menyebabkan infark hemoragik
adalah trombosis vena yang menunjukkan bahwa hal ml disebabkan oleh penekanan sintesis
protein C yang dicetuskan oleh warfarin.
mg dan 7 % grup 5 mg mempunyai nilai INR> 3,0 pada ban ke 4 perlakuan,, yang
memperbesar resiko perdarahau.
Raskob G dick, membandingkan efek terapi warfanin dosis rendah (3 mg) dengan
aspirin 80 mg terbadap faktor VII yang teraktifasi pada 33 pasien penyakit jantung koroner
stabil. Didapati peningkatan mean ENR dan penurunan faktor VII setelah 1 uinggu penlakuan
dengan p < 0,057 .
Hull dkk melaporkan baliwa terapi warfarin deagan intensitas moderat (dengan hasil
INR 2,0 - 3,0) adalah regimen yang sarna efektif dibanding terapi warfarin dengan intensitas
tinggi ( INR 3,0 - 4,5 ) untuk mencegah tromboemboli vena rekuren. Terapi dengan intensitas
moderat juga berhubungan dengan resiko perdarahan yang lebth rendah.
Levme dkk, melaporkan bahwa menjaga rasio INR berkisar 1,3-1,9 menuruukan
resiko untuk tetjadinya tromboemboli vena sebanyak 85 %, tanpa meningkatkan resiko
perdarahan. Ridker dkk melaporkan profilaksis warfarin dengan target 1NR 1,5-2,0, lebih
superior dibanding plasebo untuk meucegali tromboemboli rekuren pada pasien yang telah
mendapat terapi warfarin selama 3 bulan dengan mtensitas konvensional (target 1NR 2,0
-3,0), dimana tidak didapatkan peningkatan signifikan untuk komplikasi perdarahan mayor.
Studi studi di AS dan Kanada menilai resilco dan keuntungan peumkaian warfarin dan dan
aspirin untuk pencegahan stroke emboli path pasien dengan fibrilasi atnal tanpa kelainan
valvular, seperti : SPAF ( The Stroke Prevention in Atrial Fibrillation ) study, BAATAF ( The
Boston Area Anticoagulat Ion Trial in Atrial Fibrillation ) study, SPINAF ( The Stroke
Prevention in Nonrheumatic Atrial Fibrillation ) study dan AFASAK ( Th Atrial Fibrillation.
Aspirin, and Anticoagulation) study di Copenhagen. Studi-studi tersebut menyimpulkan
bahwa terapi warlrin dengan target terapeutik TNR 2,0-3,0, mengurangi resiko stroke
sebanyak 79 %, tanpa meningkatkan resiko perdarahaan.
muntah) serta kemampuan untuk memproduksi vitamin K dan mendaur ulang serta menyerap
beberapa hormon seperti estrogen pada tingkat enterohepatik lebih rendah.
Intake antibiotik mengandaikan penyerapan lebih rendah dari vitamin K dan akibatnya
penurunan produksi vitamin K dependent coagulan factors, VII, IX, X dan mungkin V. Oleh
karena itu, ada risiko besar pendarahan yang penting secara klinis pada pasien yang memakai
warfarin selama periode lama. Warfarin merupakan antagonis kompetitif untuk vitamin K
dependent coagulan factors dan memiliki indeks terapeutik yang rendah.
Pemberian obat-obatan lainnya, seperti antibiotik spektrum luas, dapat meningkatkan
aktivitas antagonis yang pada gilirannya menghasilkan peningkatan serius dalam darah dan
ancaman bagi kehidupan pasien. Antibiotik penghambat CYP3A4, ketika diberikan kepada
pasien yang memakai warfarin terjadi peningkatan INR dan risiko utama dari perdarahan.
Dari hal tersebut dapat diperkirakan bahwa antibiotik spektrum luas seperti tetrasiklin,
amoksisilin, ampisilin dan klaritromisin dapat mengurangi kadar endogen vitamin K dan
meningkatkan efek dari antikoagulan oral dengan mengubah flora normal usus yang
menghasilkan vitamin K. Tampaknya kemampuan antibiotik ini untuk meningkatkan aktivitas
anticoagulatory relatif jarang dan tak terduga. Ketika pasien sedang menjalani pengobatan
dengan antibiotik, pasien memiliki risiko besar terjadi perdarahan. Antibiotik spektrum luas
dapat diresepkan untuk pasien yang memakai warfarin (pasien dengan konsumsi normal
vitamin K) tetapi mereka harus disarankan untuk mmperhatikan tanda-tanda perdarahan dan
berkonsultasi ke dokter dengan segera. Adapun antibiotik yang berpotensi berinteraksi dengan
wafarin diantaranya:
Kloramfenikol dapat mengubah efek warfarin melalui penurunan produksi vitamin K
oleh bakteri dalam usus, tapi mekanisme seperti metabolisme hati menghambat dan / atau
mengubah produksi protrombin mungkin terlibat.
Doksisiklin dan tetrasiklin lainnya, ampisilin, benzilpenisilin dan aztreonam
menurunkan sintesis vitamin K sekunder terhadap perubahan flora usus dan, oleh karena itu,
dapat meningkatkan efek dari warfarin. Namun, yang potensiasi signifikan sangat jarang jika
asupan makanan vitamin K memadai.
Cephamandole dapat meningkatkan hypoprothrombinaemic merespons warfarin
akibat gangguan sintesis vitamin K dalam trak pencernaan, dan /atau dengan sintesis vitamin
K-dependent anticoagulan factors. Hubungan cephalosporines dengan methylthiotetrazole Nsisi rantai seperti cefmetazole, cefmenoxime, cefoperazone dan latamoxef dapat diharapkan
untuk berperilaku sama, meskipun ada tampaknya ada laporan dari interaksi. Cephazolin,
yang memiliki rantai yang sama, mungkin dapat meningkatkan efek warfarin sampai batas
tertentu.
Interaksi yang disebabkan oleh gangguan pada bakteri sintesis vitamin K dalam
saluran cerna saluran umumnya dianggap tidak mungkin klinis signifikansi kecuali, mungkin,
pada pasien dengan mencukupi asupan vitamin K.
Kesimpulan
Warfarin (antikoagulan oral) merupakan golongan obat antikoagulan yang dipakai
untuk mencegah terjadinya thrombosis dengan mempengaruhi kerja vitamin K pada sintesa
faktor pembekuan II, VII, IX dan X. Warfarin diabsorbsi diusus halus dan memasuki sirkulasi
darah, dimetabolisme di mikrosom sel hati, dan akan menghambat kerja vitamin K. Efek
terapi baru tercapai 12-24 jam setelah kadar puncak obat dalam plasma, karena diperlukan
waktu untuk mengosongkan faktor-faktor pembekuan darah dalam sirkulasi. Efek toksik yang
paling sering akibat pemakaian antikoagulan oral ialah perdarahan. INR yang dianjurkan
untuk profilaksis tata laksana penyakit trombotik adalah 2-3.
Pemberian wafarain bersamaan dengan obat antibiotik spektrum luas akan
memperbesar resiko perdarahan pasien dan dapat mengancam keselamatan pasien. Antibiotik
menyebabkan perubahan jumlah flora normal di dalam usus sehingga penyerapan vitamin K
lebih rendah dan akibatnya penurunan produksi vitamin K dependent coagulan factors, VII,
IX dan X. Antibiotik penghambat CYP3A4, ketika diberikan kepada pasien yang memakai
warfarin terjadi peningkatan INR. Antibiotik spektrum luas dapat diresepkan untuk pasien
yang memakai warfarin (pasien dengan konsumsi normal vitamin K) tetapi mereka harus
disarankan untuk mmperhatikan tanda-tanda perdarahan dan berkonsultasi ke dokter dengan
segera.
Farmakokinetik :
Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1 jam setelah pemberian.
Kadar puncak dalam plasma: 2-8 jam.
Waktu paruh : 20-60 jam; rata-rata 40 jam.
Bioavailabilitas: hampir sempurna baik secara oral, 1M atau IV.
Metabolisme: ditransformasi menjadi metabolit inaktif di hati dan ginjal.
Ekskresi: melalui urine clan feses.
Farmakodinamik :
99% terikat pada protein plasma terutama albumin.
Absorbsinya berkurang hila ada makanan di saluran cerna.
Indikasi :
Untuk profilaksis dan pengobatan komplikasi tromboembolik yang dihubungkan dengan
fibrilasi atrium dan penggantian katup jantung ; serta sebagai profilaksis terjadinya
emboli sistemik setelah infark miokard (FDA approved).
Profilaksis TIA atau stroke berulang yang tidak jelas berasal dari problem jantung.
Kontraindikasi .
Semua keadaan di mana resiko terjadinya perdarahan lebih besar dari keuntungan yang
diperoleh dari efek anti koagulannya, termasuk pada kehamilan, kecenderungan
perdarahan atau blood dyscrasias dll.
Interaksi obat :
Warfarin berinteraksi dengan sangat banyak obat lain seperti asetaminofen, beta bloker,
kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin, gemfibrozil, hidantoin, glukagon, kuinolon,
sulfonamid, kloramfenikol, simetidin, metronidazol, omeprazol, aminoglikosida,
tetrasiklin, sefalosporin, anti inflamasi non steroid, penisilin, salisilat, asam askorbat,
barbiturat, karbamazepin dll.
Efek samping
Perdarahan dari jaringan atau organ, nekrosis kulit dan jaringan lain, alopesia, urtikaria,
dermatitis, demam, mual, diare, kram perut, hipersensitivitas dan priapismus.
Hati -hati :
Untuk usia di bawah 18 tahun belum terbukti keamanan dan efektifitasnya. Hati- hati
bila digunakan pada orang tua. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena dapat
melewati plasenta sehingga bisa menyebabkan perdarahan yang fatal pada janinnya.
Dijumpai pada ASI dalam bentuk inaktif, sehingga bisa dipakai pada wanita menyusui.
Dosis :
Dosis inisial dimulai ,dengan 2-5 mg/hari dan dosis pemeliharaan 2-10 mg/hari. Obat
diminum pada waktu yang sama setiap hari. Dianjurkan diminum sebelum tidur agar dapat
dimonitor efek puncaknya di pagi hari esoknya. Lamanya terapi sangat tergantung pada
kasusnya. Secara umum, terapi anti koagulan harus dilanjutkan sampai bahaya terjadinya
emboli dan trombosis sudah tidak ada. Pemeriksaan waktu protrombin barns dilakukan setiap
hari begitu dimulai dosis inisial sampai tercapainya waktu protrombin yang stabil di batas
terapeutik. Setelah tercapai, interval pemeriksaan waktu protrombin tergantung pada penilaian
dokter dan respon penderita terhadap obat. Interval yang dianj urkan adalah 1-4 minggu.
Digitalis
Sifat umumnya sebagai inotropik positif yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi
miokard. Preparat digitalis mempunyai 3 khasiat pada otot jantung, yaitu kerja inotropik
positif (meningkatkan kontraksi miokard), kerja kronotropik negatif (memperlambat denyut
jantung), dan kerja dromotropik negatif (mengurangi hantaran sel-sel jantung). Contoh
preparat digitalis yang banyak digunakan adalah digoksin (Kee dan Hayes, 1996). Over dosis
digoksin menyebabkan toksisitas digitalis dengan tanda-tanda anoreksia, diare, mual dan
muntah, bradikardi dan takikardi, kontraksi ventrikel rematur, aritmia jantung, sakit kepala,
penglihatan kabur, ilusi penglihatan, bingung dan delirium. Orang lanjut usia lebih rentan
terjadi toksisitas (Katzung, 2004). Digoksin dapat ditambahkan pada pasien dengan gejala
berat yang belum bereaksi selama terapi diuretik, ACEI, atau -bloker. Digoksin diberikan
secara rutin pada pasien gagal jantung dan fibrilasi atrial. Efek samping yang ditimbulkan
adalah aritmia, gangguan pencernaan dan gangguan saraf (Massie dan Amidon, 2002).
INTERAKSI OBAT
P-Glycoprotein
Beberapa obat dapat meningkatkan konsentrasi plasma digoksin. Antibiotik dapat
meningkatkan absorpsi digoksin melalui inaktivasi bacteri-bakteri di saluran gastrointestinal
yang memetabolisme digoksin . mekanisme ini dapat meningkatkan konsentrasi digoksin 2-3
kali lipat, karena digoksin dapat diserap dengan baik dan memiliki bioavabilitas sekitar 75%.
P-glikoprotein merupakan effluks transporter energy-dependent yang memompa
molekul obat keluar dari sel . P-gp ditemukan di sel epithelial intestine (enterocytes)
sepanjang apikal (luminal) sel. Ketika obat diberikan secara oral, molekul obat harus melalui
enterocyte dan dibawa kembali ke sisi luminal sel. Aksi ini mencegah molekul obat mencapai
sirkulasi sistemik, secara effektif membatasi bioavabilitas. P-gp juga ditemukan di hepa dan
ginjal berfungsi untuk meningkatkan ekskresi molekul obat pada empedu dan urin.
Apabila aktivitas p-gp dihambat maka lebih banyak obat yang akan diabsorpsi melalui
enterocyt dan konsentrasi plasma akan meningkat.
ANTIBIOTIK
Manajemen pemberian warfafin adalah tetap menjaga INR pasien agar tetap dalam terapeutic
window. Warfarin dapat diabsorpsi dengan baik, 99%protein-bound dan dimetabolisme oleh
enzim CYP450. S-warfarin dimetabolisme oleh CYP2C9 lebih aktif 2-5 kali dari Renantiomer, yang dimetabolisme CYP3A4. Obat-obatan yang meninduksi atau menginhibisi
enzim-enzim ini dapat berinteraksi hebat dengan warfarin terutama interaksi dengan
CYP2C9.
dr. Sarah
Ayu SIP.
087/2007
Alamat rumah/praktek:
Jl. Kenanga No.10 Surakarta
Surakarta, 15 Juni 2008
R/ Paracetamol mg 100
Sacch. Lactis q.s
m.f.l.a. pulv.d.t.d.
No. VI
s.p.r.n.t.d.d.pulv I
____________________
Pro
: Susi ( 2 tahun)
Unsur-unsur resep:
1. Identitas Dokter
Nama, nomor surat ijin praktek, alamat praktek dan rumah dokter penulis resep serta
dapat dilengkapi dengan nomor telepon dan hari serta jam praktek. Biasanya sudah
tercetak dalam blanko resep.
2. Nama kota (sudah dicetak dalam blanko resep) dan tanggal ditulis resep
3. Superscriptio
Ditulis dengan symbol R/ (recipe=harap diambil). Biasanya sudah dicetak dalam
blanko. Bila diperlukan lebih dari satu bentuk sediaan obat/formula resep, diperlukan
penulisan R/ lagi.
4. Inscriptio
Ini merupakan bagian inti resep, berisi nama obat, kekuatan dan jumlah obat yang
diperlukan dan ditulis dengan jelas
5. Subscriptio
Bagian ini mencantumkan bentuk sediaan obat (BSO) dan jumlahnya. Cara penulisan
(dengan singkatan bahasa latin) tergantung dari macam formula resep yang digunakan.
Contoh:
- m.f.l.a. pulv. d.t.d.no. X
- m.f.l.a. sol
- m.f.l.a. pulv. No XX da in caps
6. Signatura
Berisi informasi tentang aturan penggunaan obat bagi pasien yaitu meliputi frekuensi,
jumlah obat dan saat diminum obat, dll.
Contoh: s.t.d.d.tab.I.u.h.p.c ( tandailah tiga kali sehari satu tablet satu jam setelah
makan)
7. Identitas pasien
Umumnya sudah tercantum dalam blanko resep (tulisan pro dan umur). Nama
pasien
dicantumkan dalan pro. Sebaiknya juga mencantumkan berat badan pasien supaya
kontrol dosis oleh apotek dapat akurat.
TATA CARA PENULISAN RESEP
Tidak ada standar baku di dunia tentang penulisan resep. Untuk Indonesia, resep yang
lengkap menurut SK Menkes RI No. 26/2981 (BAB III, pasal 10) memuat:
1. Nama, alamat, Nomor Surat Ijin Praktek Dokter (NSIP)
2. Tanggal penulisan resep
3. Nama setiap obat/komponen obat
4. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
5. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat dengan jumlah
melebihi dosis maksimum
LANGKAH PRESKRIPSI
1. Pemilihan obat yang tepat
Dalam melakukan prakteknya, dokter pertama kali harus melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik pada pasiennya untuk menegakkan diagnosis. Setelah itu,
dengan mempertimbangkan keadaan (patologi penyakit , perjalanan penyakit dan
manifestasinya), maka tujuan terapi dengan obat akan ditentukan. Kemudian akan
dilakukan pemilihan obat secara tepat, agar menghasilkan terapi yang rasional.
Hal yang sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam memilih obat:
a. Bagaimana rasio manfaat dengan risiko obat yang dipilih
b. Bagaimana keamanan (efek samping, kontra indikasi) obat yang dipilih
c. Jenis bahan obat apa (bahan baku, formula standar, bahan generik, atau bahan
paten) yang dipilih
d. Pertimbangan biaya/harga obat
Dengan mempertimbangkan hal di atas, diharapkan preskripsi obat dokter akan tepat
berdasar manfaat, keamanan, ekonomi, serta cocok bagi penderita
Untuk mewujudkan terapi obat yang rasional dan untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna serta biaya, maka seorang dokter perlu memahami kriteria bahan obat
dalam preskripsi. Bahan obat di dalam resep termasuk bagian dari unsur inscriptio dan
merupakan bahan baku, obat standar (obat dalam formula baku/resmi, sediaan
generik) atau bahan jadi/paten
Nama obat dapat dipilih dengan nama generik (nama resmi dalam buku Farmakope
Indonesia) atau nama paten (nama yang diberikan pabrik). Pengguna jenis obat paten
perlu memperhatikan kekuatan bahan aktif dan atau komposisi obat yang dikandung di
dalamnya agar pemilihan obat yang rasional dapat tercapai dan pelayanan obat di
apotek tidak menjumpai adanya masalah.
Contoh: Apabila dalam terapi perlu diberikan bahan obat Paracetamol, maka dapat
dipilih bahan baku (ada di apotik), sediaan generik berlogo (bentuk tablet atau sirup
paracetamol atau sediaan paten)
Jumlah obat yang ditulis di dalam resep tergatung dari lama pemberian dan frekuensi
pemberian. Parameter yang diperlukan untuk menentukannya adalah lama perjalanan
penyakit, tujuan terapi, dan kondisi penderita. Jumlah obat dituliskan dengan angka
Romawi untuk jenis sediaan jadi/paten
Contoh: Tab. Sanmol 500 mg no. X atau Tab. Sanmol 500 mg da X
DOSIS
Dosis yang ideal adalah dosis yang diberikan per individual. Hal ini mengingat bahwa
respon penderita terhadap obat sangat individualistis. Penentuan dosis perlu
mempertimbangkan: 1) kondisi pasien (seperti: umur, berat badan, fisiologi dan fungsi
organ tubuh) 2) kondisi penyakit ( akut, kronis, berat/ringan) 3) Indeks terapi obat
(lebar/sempit) 4) variasi kinetik obat 5) cara/rumus perhitungan dosis anak ( pilih yang
paling teliti)
Perhitungan dosis pada anak secara ideal menggunakan dasar ukuran fisik (berat
badan atau luas permukaan tubuh). Apabila dosis anak dihitung dengan perbandingan
dengan dosisi dewasa, yaitu dengan memakai rumus perhitungan dosis anak (antara
lain Young, Clark), maka perlu diperhatikan tentang ketelitian dari rumus yang
dipakai.
JADWAL PEMBERIAN
Jadwal pemberian ini meliputi frekuensi, satuan dosis per kali dan saat/waktu
pemberian obat. Dalam resep tertuang dalam unsur signatura.
FREKUENSI
Frekuansi artinya berapa kali obat yang dimaksud diberikan kepada pasien. Jumlah
pemberian tergantung dari waktu paruh obat, BSO, dan tujuan terapi. Obat anti asma
diberikan kalau sesak (p.r.n) namum bila untuk menjaga agar tidak terjadi serangan
asma dapat diberikan secara teratur misal 3 x sehari (t.d.d).
SAAT/WAKTU PEMBERIAN
Hal ini dibutuhkan bagi obat tertentu supaya dalam pemberiannya memiliki efek
optimal, aman dan mudah diikuti pasien. Misal: Obat yang absorbsinya terganggu oleh
makanan sebaiknya diberikan saat perut kosong 1/2 1 jam sebelum makan (1/2 1 h.
a.c), obat yang mengiritasi lambung diberikan sesudah makan (p.c) dan obat untuk
memepermudah tidur diberikan sebelum tidur (h.s), dll.
LAMA PEMBERIAN
Lama pemberian obat didasarkan perjalanan penyakit atau menggunakan pedoman
pengobatan yang sudah ditentukan dalam pustaka/RS. Misalkan pemberian antibiotika
dalam waktu tertentu (2 hari setelah gejala hilang untuk menghindari resistensi kuman,
obat simtomatis hanya perlu diberikan saat simtom muncul (p.r.n), dan pada penyaklit
kronis (misal asma, hipertensi, DM) diperlukan pemberian obat yang terus menerus
atau sepanjang hidup (ITER!)
3. Pemilihan BSO yang tepat
Pemilihan BSO dalam preskripsi perlu dipertimbangkan agar pemberian obat optimal dan
harga terjangkau. Faktor ketaatan penderita, factor sifat obat, bioaviabilitas dan factor
sosial ekonomi dapat digunakan sebagai pertimbangan pemilihan BSO
d. Penulisan jumlah obat dengan satuan biji menggunakan angka Romawi. Misal:
- Tab Novalgin no. XII
- Tab Stesolid 5 mg no. X (decem)
- m.fl.a.pulv. dt.d.no. X
e. Penulisan alat penakar:
Dalam singkatan bahasa latin dikenal: C. = sendok makan (volume 15 ml)
Cth. = sendok teh (volume 5 ml)
Gtt. = guttae (1 tetes = 0,05 ml)
Catatan: Hindari penggunaan sendok teh dan senok makan rumah tangga
karenavolumenya tidak selalu 15 ml untuk sendok makan dan 5 ml untuk
sendok teh. Gunakan sendok plastik (5 ml) atau alat lain ( volume 5, 10, 15 ml)
yang disertakan dalam sediaaan cair paten.
f. Arti prosentase (%)
0,5% (b/b) 0,5 gram dalam 100 gram sediaan
0,5% (b/v) 0,5 gram dalam 100 ml sediaan
0,5% (v/v) 0,5 ml dalam 100 ml sediaan
g. Hindari penulisan dengan angka desimal (misal: 0,...; 0,0....; 0,00...)
4.
a. Penulisan kekuatan obat dalam sediaan obat jadi (generik/paten) yang beredar di
pasaran dengan beberapa kekuatan, maka kekuatan yang diminta harus ditulis,
misalkan Tab. Primperan 5 mg atau Tab. Primperan 10 mg
b. Penulisan volume obat minum dan berat sediaan topikal dalam tube dari sediaan
jadi/paten yang tersedia beberapa kemasan, maka harus ditulis, misal:
- Allerin exp. Yang volume 60 ml atau 120 ml
- Garamycin cream yang 5 mg/tube atau 15mg/tube
5. Penulisan bentuk sediaan obat (merupakan bagian subscriptio) dituliskan tidak hanya
untuk formula magistralis, tetapi juga untuk formula officialis dan spesialistis
Misal: m.f.l.a.pulv. No. X
Tab Antangin mg 250
X Tab Novalgin mg
250 X
6. Penulisan jadwal dosis/aturan pemakaian (bagian signatura)
a. Harus ditulis dengan benar
Misal: s.t.d.d. pulv. I.p.c atau s.p.r.n.t.d.d.tab.I
b. Untuk pemakaian yang rumit seperti pemakaian tapering up/down gunakan tanda
s.u.c (usus cognitus = pemakaian sudah tahu). Penjelasan kepada pasien ditulis pada
kertas dengan bahasa yang dipahami.
7. Setiap selesai menuliskan resep diberi tanda penutup berupa garis penutup (untuk 1 R/) atau
tanda pemisah di antara R/ (untuk > 2R/) dan paraf/tanda tangan pada setiap R/.
8. Resep ditulis sekali jadi, tidak boleh ragu-ragu, hindari coretan, hapusan dan tindasan.
9. Penulisan tanda Iter (Itteretur/ harap diulang) dan N.I. (Ne Iterretur/tidak boleh diulang)
Resep yang memerlukan pengulanagan dapat diberi tanda: Iter n X di sebelah kiri atas dari
resep untuk seluruh resep yang diulang. Bila tidak semua resep, maka ditulis di bawah
setiapresep yang diulang.
Resep yang tidak boleh diulang, dapat diberi tanda: NI di sebelah kiri atas dari resep untuk
seluruh resep yang tidak boleh diulang. Bila tidak semua resep, maka ditulis di bawah
setiapresep yang diulang.
10. Penulisan tanda Cito atau PIM
Apabila diperlukan agar resep segera dilayani karena obat sangat diperlukan bagi penderita,
maka resep dapat diberi tanda Cito atau PIM dan harus ditulis di sebelah kanan atas resep.
DOSIS OBAT DALAM PRESKRIPSI
Dosis tepat sangat dibutuhkan supaya efek dari obat optimal dan resiko efek samping sekecil
mungkin. Besaran dosis terapi obat biasanya dicantumkan dalam rentangan/kisaran dosis, misalkan
250-500 mg. Rentangan dosis ini menunjukkan kadar obat yang aman yang dapat diberikan dalam
praktek pengobatan. Bila dokter memberikan dosis di bawah/ di atas dosis rentangan, maka dapat
memberikan efek yang merugikan bagi pasien dan dapat menimbulkan pertanyaan bagi apotek yang
menerima resep tersebut.
Dosis obat dalam preskripsi adalah besarnya dosisi per kali untuk pasien dan mungkin dalam
sehari dapat diberikan beberapa kali sesuai dengan frekuensi pemberian yang tertulis di dalam resep.
Penentuan dosis tersebut didapatkan darai dosis terapi (dosis lazim) yang tercantum dalam literatur.
Untuk dosis anak biasanya dicantumkan dengan misalnya 20-40 mg/kg BB/hari. Sehingga perlua
adnya penentuan dosis yang cermat bagi anak. Ada beberapa obat yang mencantumkan dosis hanya
untuk orang dewasa, sehingga bila obat itu akan diberikan kepada anak maka perlu perhituanan
dengan membandingkan dengan dosis dewasa, dengan menggunakan rumus ( misalkan R. Clark, R.
Young, dll)
CARA MENGHITUNG DOSIS ANAK
Ada beberapa cara dalam menghitung dosis anak. Untuk itu, dipilih yang dapat menunjukkan
pengetrapan dosis individual. Untuk obat-obat yang mempunyai rentang terapi sempit, maka
memerlukan ketelitian yang tinggi dalam menentukan dosis untuk anak. Contoh: Hitunglah dosis
Amoxycillin untuk anak berumur 4 tahun dengan BB 17 kg
Diketahui: Dosis Amoxycillin anak di bawah BB 20 kg adalah 20-40 mg/kg BB/ hari diberikan
dalam dosis terbagi tiap 6-8 jam.
Untuk dosis dewasa adalah 250-500 mg, diberikan tiap 6-8 jam.
Perhitungan:
Keterangan:
Dengan resep tersebut, dokter menggunakan formula standar dalam sediaan jadi generik berlogo.
Komposisi obat tersebut:
Ungt. Ophth. Chlorampenicol 1%. Setiap gram salep mata mengandung 10 mg Chlorampenicol,
berat tiap tube 5 gram
Resep yang ditulis dengan formula ini adalah obat paten dari pabrik obat. Kadang pabrik obat
membuat obat dengan berbagai sediaan, kekuatan, dan kombinasi obat. Bila penulisan resep ini
kurang jelas atau tidak lengkap dapat mengakibatklan kesalahan dalam pelayanan di apotek.
SINGKATAN BAHASA LATIN YANG SERING DIPAKAI DALAM RESEP
SINGKATAN
KEPANJANGAN
ARTI
Aa
Ana
Sama banyak
a.c
Ante coenam
Sebelum makan
ad
Ad
Sampai
ad lib./ad libit.
Ad libitus
Sesuka hati
ad part. dolent
Ad partes dolentes
Pada bagian-bagian
yang sakit
add.
Adde
Tambahkan
alt. dieb.
Alternis diebus
alt. hor.
Alternis horis/altera
hora
a.m.
Ante meridiem
a.n.
Ante noctern
applic.
Applicatio
Penggunaan,
pemakaian
Ad usum externum
u.p.
Sum proprium
Dipakai sendiri
m.i.
Mihi ipsi
Dipakai sendiri
Aqua destilata
Air suling
aq.dest
c.
Cum
Dengan
C.
Cochlear, cibarium
C.th
Cochlear theae
c.c.
Centrimetrum cubicum
caut.
Caute
Hati-hati
comp.
Compositus
Obat campuran
conc.
Concentratus
Konsentrasi
cr.
Cremor
Krim
da ad lag.
Da ad lagenam
da ad vitr.
Da ad vitrum
da ad oll.
Da ad ollam
da In oll.
Da in ollam
d.c.
Durante coenam
Sedang makan
d.c. form.
Da cum formula
Tuliskan dengan
resepnya
dur.dol.
Durante dolore
Selagi sakit
d. d.
De die
s.d.d.
Smel de die
Sekali sehari
b.d.d.(b.i.d)
t.d.d.(t.i.d)
q.d.d (q.i.d)
dext.et sin.
Dexter et sinister
o.d./o.s.
Oculus dexter et
oculus sinister
dil.
Dilutus
Encer
d.t.d
Da teles doses
Berikan sebanyak
dosis tersebut
epith.
Epithema
Obat kompres
extend.
Extende
oleskan
extend. cr.
Extende crass
oleskan tebal-tebal
(0,6 mm)
extende ter.
Extende termiter
ext. s. alut
ext. s. cor
f.
Fac, fiat
feb. dur.
Febri durante
sewaktu demam
fom.
Fomentum, fomenti
l.a.
Lege artis
cara semestinya
(sesuai aturan)
filtr.
Filtra, filtretur
g.,gm.
Gramma
gram
gi.arab.
Gummi, arabicum
garg.
Gargarisma
obat kumur
gtt.
Guttae
tetes
gtt. ad aur.
Guttae ad aures
gtt. auric.
Guttaeauriculares
gtt. nasal.
Guttae nasals
gtt. ophth
Guttae ophthalmicae
h.
Hora
jam
h.m.
Hora matutina
pagi hari
h.s.
Hora somni
sebelum tidur
h.v.
Hora vespertina
haust.
Haustus
teguk sekaligus
i.m.m.
In manum medici
berikan ke tangan
dokter
i.c.
Inter cibos
inf.
Infusum
air rebusan
Inj.
Injectio
obat suntik
Iter.
Iteretur
harap diulang
Iter 1x.
Iteretur 1X
harap diulang 1X
l.a.
Lege artis
cara semestinya
lc.
Loco
pengganti
lit.or.
Litus oris
loc.dol.
Locos dolens
lot.
Lotio
Liq.
liquidus
cair
m.
mane
pagi
m.et v.
mane et vespere
merid.
meridie
tengah hari
m.
misce, misceatur
campurlah, harap
dicampur
m.f.
misce fac
m.f.l.a.
mg., mgm.
milligrama
milligram
mixt.
mixtura
campuran
m.i.
mihi ipsi
dipakai sendiri
muc.gi.arab.
mucilago gummi
arabbici
n.
noctum
malam
N.l.
ne iteretur
Non. Rep.
non reperetur
Non in lag.orig.
non in lagenamoriginal
o.h.
omni hora
tiap jam
o.b.h.
omni bihora
tiap 2 jam
o.t.h
tiap 3 jam
o.4h.
tiap 4 jam
o.m.
omni mane
tiap pagi
o.n.
omni nocte
tiap malam
p.c.
post coenam
sesudah makan
PIM
periculum in mora
p.r.n.
pro re nata
pot.
potio
pulv.
pulvis
serbuk tunggal
pulv.
pulveres
pulv.adsp.
pulvis adspersorius
serbuk tabur
pulv.dentifr.
pulvis dentrificius
q.s.
quantum satis/sulficit
secukupnya
R/
recipe
ambilah
rec.par.
recentus paratus
dibuat baru
s.
signa
tandailah, tulislah
sol.
solutio
larutan
spir.
spiritus
spiritus
steril.
sterilisatus
yang disterilkan
supp.
supposituria
suposituria
supp.rect.
supposituria rectal
suposituria rektum
syr.
syrup
sirop
tab.
tabulae
tablet
tct. (tinct.)
tinctura
tinctuur
tuss.
tussis
batuk
tuss. urg.
tussi urgente
u.c.
usus cognitus
u.n.
usus notus
u.e.
usus externus
obat luar
u.p.
usum proprium
dipakai sendiri
u.v.
usus veterinarius
guna kedokteran
hewan
ungt.
unguentum
salep
ungt.ophth.
unguentum
ophthalmicae
salep mata
vesp.
vespere
senja hari
unus
satu
II
duo
dua
III
tres
tiga
IV
quattour
empat
quinque
lima
VI
sex
enam
VII
september
tujuh
VIII
october
delapan
IX
novem
sembilan
december
sepuluh
XI
uno decemb
sebelas
XII
duodecim
duabelas
XX
viginti
duapuluh
XXX
triginti
tigapuluh
quinquaginta
lima puluh
centum
seratus
quingenti
limaratus
mille
seribu
8 bulan
9 bulan
10 bulan
11 bulan
12 bulan
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
6 tahun
7 tahun
8 tahun
9 tahun
10 tahun
11 tahun
12 tahun
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
17 tahun
18 tahun
19 tahun
20 tahun
6.9
7.4
7.5
7.7
7.7
10.1
11.6
13.0
14.2
16.0
17.5
19.0
21.2
23.5
25.6
29.7
33.7
36.7
40.2
44.4
49.1
53.1
61.4
54.2
- 8.3
- 8.7
- 9.1
- 9.5
- 10
- 12.5
- 14.5
- 16.3
- 17.8
- 20.3
- 22.8
-24.8
- 27.3
- 29.8
- 32.3
- 34.8
- 37.3
- 42.5
- 48.5
- 53.4
- 57.4
- 61.3
- 63.3
- 65.0
12
12
13
13
14
18
21
23
28
29
31
34
38
42
46
50
54
61
70
77
83
89
92
94
Pemeriksaan fisik didapatkan tonsil yang membesar, tonsil dan faring hiperemis-dengan atau
tanpa eksudat, dan pembesaran kelenjar getah bening servikal anterior. Uvula dapat ditemukan
membengkak, merah, dengan petekiae pada palatum dan faring (beberapa hari kemudian), dan
ekskoriasi (terutama pada bayi). Secara keseluruhan, tidak ada tanda dan gejala yang spesifik
faringitis pada GABHS.
Tabel 1. Skor Centor
Kriteria
Tidak adanya batuk
Demam ( 38oC)
Adenopati servikal anterior
Tonsil bengkak atau bereksudat
Usia
3 14
15 44
45
Poin
1
1
1
1
1
0
-1
Folow up
Skor
0
GABHS
1 2,5 %
5 10 %
antibiotik
Dapat dilakukan kultur atau RADT. Pemberian
11 17 %
28 35 %
51 53 %
Skor centor denga Modifikasi dapat digunakan untuk membantu seorang klinisi memutuskan dalam
menilai kemungkinan seseorang terkena faringitis karena GABHS. Bila memiliki keempat kriteria
diatas, maka terdapat kemungkinan 44% bukan faringitis streptokokus grup A.
Diagnosis dan Follow up
Kultur dari apusan tenggorok tidak dilakukan untuk evaluasi rutin atau untuk konfirmasi bila
rapid streptococal antigen test (RAT) negatif. Kultur ini berguna untuk investigasi outbreak, monitor
resistensi antibiotik atau penyebab patogen lainnya dipikirkan (contoh:gonokokus).
Tata Laksana
Pasien yang diyakini faringitis bakterialis, harus ditata laksana dengan antibiotik. Gejala klinis pada
umumnya akan membaik dalam 24-48 jam sejak konsumsi antibiotik pertama, namun perlu
ditekankan bahwa penggunaan antibiotik harus hingga 10 hari untuk mengeradikasi bakteri.
Beberapa catatan dalam penggunaan antibiotik.
1. Penisilin masih menjadi terapi lini pertama karena terbukti efektif, aman, spektrumnya yang
sempit, dan harganya yang murah. Amosisilin lebih sering digunakan, terutama pada anak kecil
dan memiliki efektivitas yang sama dengan penisilin V. penambahan asam clavulanat
memberikan terapi yang lebih baik.
2. Beberapa antimikroba tidak direkomendasikan untuk faringitis streptokokal. Tetrasiklin
sebaiknya tidak digunakan karena tingginya resistensi. Sulfonamides, trimethoprimsulfamethoxsazole tidak direkomendasikan karena tidak mengeradikasi bakteri streptokokus
grup A pada faringitis akut. Florokuinolon seperti ciprofloxacin memiliki keterbatasann
melawan faringitis bakterial. Levofloxacin dan Moxifloxacin terbukti mampu, namun harganya
mahal dan tidak dibutuhkan aktivitas spektrum yang luas.
3. Penggunaan sefalosporin selama 10 hari direkomendasikan bagi mereka yang alergi penisilin.
Dapat pula diberikan makrolid (eritromisin atau clarithromycin) atau asythtomycin. Namun,
eritromisin seringkali menyebabkan efek samping gastrointestinal.
4. Pemberian anti nyeri golongan OINS seperti ibuprofen juga diperlukan untuk mengurangi
demam dan nyeri. Pada nyeri yang lebih hebat, dapat diberikan acetaminofen.
5. Pada anak maupun dewasa, kortikosteroid terbukti mengurangi durasi dan tingkat keparahan
penyakit. Sayangnya, kortikosteroid jga berpotensi menyebabkan efek samping sehingga tidak
direkomendasikan penggunaannya, sehingga penggunaannya memerlukan pertimbangan
khusus.
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh faringitis disebabkan streptokokus eta hemolitikus
grup A berupa endokarditis, meningitis, abes peritonsil, limadenitis servikal, demam rematik, dan
glomerulonefritis post-streptokokus.
VIII. SINTESIS
Tuan MT 63 tahun memiliki riwayat atrial fibrilasi sedang mengkonsumsi digoxin dan
warfarin, selain itu beliau memiliki riwayat alergi terhadap amoksisilin. Suatu hari beliau merawat
saudara perempuan nya yang sedang sakit faringitis et causa streptococcus beta hemolyticus grup A.
Karena hal tersebut, menyebabkan transmisi melalui droplet dari saudara perempuan nya menjadi
sangat mudah ke tuan MT. Akhirnya tuan MT terinfeksi streptococcus beta hemolyticus grup A. Pada
faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa
faring dan akan menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu
akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian
edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan
kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan
hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning,
putih atau abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel
limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan
menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan 18 Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal.
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan
extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena
fragmen M protein dari Streptococcus hemolyticus group A memiliki struktur yang sama dengan
sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan katub jantung.
Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibodi.
Akhirnya timbul reaksi radang pada tonsil tuan MT menyebabkan tonsil nya membesar dan
hiperemis, hal ini menjadi penyebab tuan MT nyeri menelan. Gara-gara ada inflamasi menyebabkan
tuan MT pun menjadi demam sehingga pada pemeriksaan fisik, temperatur nya tinggi (39,1oC).
Untuk itu perlu diberikan obat yang tepat kepada tuan MT, maka di berilah azitromisin selama lima
hari dengan dosis 500mg satu kali sehari sebagai obat antibiotik nya, dengan pertimbangan harganya
cukup murah dan tidak terlalu bermasalah ketika berinteraksi dengan warfarin dan digoxin, selain
itu azitromisin dipilih karena tuan MT memiliki alergi terhadap amoksisilin. Dan untuk mengobati
penyakit simptomatik nya maka tuan MT di beri parasetamol sebanyak sepuluh kali dengan dosis
500mg sehari tiga kali selama demam.
IX.
KESIMPULAN
Tuan MT 65 tahun mengalami faringitis ec. Streptococcus Beta Hemoliyticus Grup A dengan
riwayat atrial fibrilasi, mengkonsumsi digoxin dan warfarin, serta alergi amoksisilin diberikan
terapi azitromisin selama 3 hari dan paracetamol selagi demam.
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unila.ac.id/6550/14/BAB%20II.pdf (diakses 4 November 2015)
Gunawan, S.G. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi danTerapeutik FK
UI. Jakarta
Laurence L.B., John S.L., Keith L.P. 2006. Goodman Gilmans The Pharmacological Basis Of
Therapeutics Eleventh Edition. New York. McGraw-Hill Companies.
Abdullah, Rozi. 2012.Dexamethason.http://bukusakudokter.org/2012/12/08/dexamethasone/ (diakses
4 November 2015)
Anonim, 1976, Formularium Indonesia
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Depkes RI
Anonim, 1989, Informatorium Obat Generik, Depkes RI, Jakarta
Ansel, H.C, Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms.Lea dan Febiger, Philadelphia
Gan, Sulistia, 1995.Farmakologi dan Terapi, edisi ke-4, FK-UI, Jakarta
Osol, Ansel, 1975, Remingtonss Pharmaceutical Science.Philadelphia
PEFARDI JATIM, Pendidikan Berkelanjutan Ilmu Farmasi Kedokteran, PEFARDI, Murnajati
Lawang, jatim, 1 november 2002
Bisno AL, Gerber MA, gwaltney JM, Kaplan EL, Schwartz RH. Diagnosis dan manajemen
dari grup A faringitis streptokokus: pedoman praktek. Penyakit Infeksi Society of
America. Clin Menginfeksi Dis 1997; 25: 574-83.
Gunawan, S.G. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi danTerapeutik FK
UI. Jakarta
Laurence L.B., John S.L., Keith L.P. 2006. Goodman Gilmans The Pharmacological Basis
OfTherapeutics Eleventh Edition. New York. McGraw-Hill Companies.
Mufidasari
2008.
Interaksi
Makanan
Dengan
Digoksin.
http://mufidasari.multiply.com/journal/item/10/interaksi_makanan_dan_obat_digoksin,
Diakses 3 November 2015
Sumber: Bickley. L.S., 2006. Buku Saku pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates.
Ed.5.EGC;Jakarta.
Cynthias.hayes, MD, MHA, dan Harold Williamson, JR, MD, MSPH. Management of
Group
Beta-Hemolytic
Streptococcal
Pharyngitis.
Diakses
November 2015
Bertram G. Katzung. Farmakologi Dasar dan KlinikEdisi 10. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2002.hal 555-559, 563-566.
Tammy J. Bungard, BSP, PharmD; Erin Yakiwchuk, BSP, ACPR; Michelle Foisy,
BScPharm,PharmD, FCSHP; Cynthia Brocklebank, PharmD, ACPR. Drug
interactions involving warfarin: Practice tool and practical management tips. C P J /
RP
C J A N UA R Y / F E B RUA R Y 2 0 1 1 VO L 1 4 4 , N O 1
Stanford T. Shulman, L. Bisno,et al. Clinical Practice Guideline for the Diagnosis
and Management of Group A Streptococcal Pharyngitis: 2012 Update by the
Infectious
Diseases Society of America. Published by Oxford University Press on
behalf of the Infectious
Diseases Society of America.
John R. Horn, PharmD, FCCP, and Philip D. Hansten, PharmD. Drug Interactions
with Digoxin: The Role of P-glycoprotein. Pharmacy Times October 2004.
Mathieu S. Bolhuis *, Prashant N. Panday, Arianna D. Pranger, Jos G. W. Kosterink
and
Jan-Willem C. Alffenaar. Pharmacokinetic Drug Interactions of Antimicrobial Drugs:
A
Systematic
Review on Oxazolidinones, Rifamycines, Macrolides,
Fluoroquinolones, and
Beta-Lactams. Department of Hospital and Clinical Pharmacy,
University
Medical
Center Groningen, University of Groningen.
Published: 18 November 2011.