Anda di halaman 1dari 7

BAB IV

ANALISIS KASUS
Pasien Ny. S datang dengan rujukan dari RS Kasih Ibu dengan keluhan
sesak nafas yang dirasakan sejak 4 jam SMRS. Sesak napas dirasakan saat pasien
beristirahat disertai dengan keringat dingin. Pasien mengaku lebih nyaman dengan
posisi duduk. Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesak dan pasien
tidur dengan menggunakan 2 bantal. Pasien tidak mengeluhkan demam, mual,
muntah, nyeri dada, maupun berdebar-debar. Tidak ada keluhan BAB dan BAK.
Pasien 3 bulan yang lalu pernah mengalami keluhan sesak napas yang
muncul saat beraktivitas berat (contoh: naik-turun tangga), beberapa waktu
kemudian sesak muncul pada saat pasien melakukan aktivitas ringan (contoh:
berjalan ke kamar mandi).
Pasien rutin kontrol ke RS. Swasta dan mendapatkan obat jalan berupa
Simvastatin, Aspilet, Furosemide, Captopril, dan Spironolakton.
Dari hasil pemeriksaaan fisik saat di IGD didapatkan pasien terlihat compos
mentis, TD 110/60, HR 102x/menit, nadi 102x/menit, RR 30x/menit. Dari
pemeriksaan jantung ditemukan batas jantung kesan melebar ke arah caudolateral
dan bising jantung (+) PSM 3/6 di apeks. Pada pemeriksaan pulmo didapatkan
adanya RBH minimal dan tidak ditemukan RBK. Tidak didapatkan oedema di
kedua kaki. Pemeriksaan EKG pertama kali dilakukan di RS Kasih Ibu dengan
hasil Sinus Takikardi 110 bpm, LAD, ST elevasi 2 kk V1-V3, Q patologis V1-V3,
ST depresi V6-I-aVL, IVCD II, III, aVF, VES Trigemini. Kemudian dilakukan
EKG ulang di RSDM dengan hasil Sinus Takikardi, 102 bpm, LAD, ST elevasi
2kk V1-V3, Q patologis V1-V3, ST depresi V6-I-aVL, IVCD II-III-aVF.
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 4 hari
SMRS. Sesak dirasakan terus menerus meski pasien beristirahat menunjukkan
bahwa pasien mengalami dispnea akibat meningkatnya usaha nafas yang terjadi
akibat adanya kongesti pembuluh darah paru dan perubahan kemampuan
pengembangan paru. Pasien ini juga merasakan orthopnea yang terutama
disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian tubuh bagian bawah kearah

sirkulasi sentral

akibat pengaruh gravitasi. Reabsorbsi cairan interstisial dari

ekstremitas akan menyebabkan kongesti vaskular lebih lanjut.


Menurut derajat gangguan yang berkaitan dengan gejala pada pasien yang
diklasifikasikan menurut NYHA, pasien ini masuk dalam kategori NYHA kelas
IV karena terjadi simptom saat pasien beristirahat.
Dari hasil pemeriksaan jantung ditemukan kesan pelebaran batas jantung ke
arah caudolateral yang menunjukkan adanya kardiomegali. Adanya bising jantung
menunjukkan adanya gangguan fungsi katup. Bising jantung timbul akibat aliran
turbulen dalam bilik dan pembuluh darah jantung. Aliran turbulen terjadi apabila
darah melewati struktur yang abnormal (penyempitan lubang katup dan
insufisiensi katup) atau akibat aliran darah yang cepat sekali melalui katup yang
normal. Adanya bising jantung sistolik yang terletak di apeks menunjukkan
adanya mitral regurgitasi atau insufisiensi katup mitral. Insufisiensi katup mitral
pada pasien ini terjadi karena adanya pembesaran ruang jantung yang
mengakibatkan penggeseran otot papilaris dan melebarkan lubang katup mitral
sehingga mengurangi kontak daun katup selama penutupan katup.
Dari hasil pemeriksaan EKG saat di IGD RSDM didapatkan gambaran
Sinus Takikardi, 102 bpm, LAD, ST elevasi 2kk V1-V3, Q patologis V1-V3, ST
depresi V6-I-aVL, IVCD II-III-aVF. Gambaran EKG ini menunjukkan adanya
OMI anteroseptal.
Faktor risiko pada pasien ini adalah adanya riwayat stroke iskemik tahun
2012. Stroke iskemik merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kelainan
jantung dan sirkulasi demikian juga sebaliknya stroke bisa terjadi karena adanya
kelainan jantung dan sirkulasi.
Pada pasien ini, diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan adanya dispneu,
S3 gallop dan kardiomegali pada foto rontgen. Gejala tersebut memenuhi 3
kriteria mayor gagal jantung menurut Framingham sehingga dapat disimpulkan
peneegakan diagnosis yakni gagal jantung.
Setelah diagnosis awal ditegakkan perlu diberikan tatalaksana awal untuk
gagal jantung yaitu pemberian oksigenasi untuk mencegah terjadinya hipoksia.
Pemberian diuretic (furosemid) juga diperlukan untuk mengurangi beban jantung.

Pemberian furosemid akan mengurangi retensi air dan garam sehingga


mengurangi volume ekstraseluler, aliran balik vena, dan preload sehingga edema
perifer dan kongesti paru berkurang sedangkan curah jantung tidak berkurang.
Dosis awal furosemid yang diberikan pada pasien gagal jantung biasanya sekitar
20-40mg. Pemberiannya diawali dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan
sampai terjadi perbaikan gejala.
Saat di IGD RSDM pasien juga diberikan obat ISDN (isosorbid dinitrat).
Obat ini diberikan atas indikasi keluhan sesak yang dirasakan oleh pasien akan
membaik saat diberikan nitrat yang berefek vasodilator, nantinya akan
mengakibatkan turunnya preload dan akhirnya beban jantung akan berkurang dan
keluhan sesak bisa berkurang. Dipilihnya ISDN dari golongan nitrat lainnya
dikarenakan efek kerja ISDN lebih cepat sehingga berguna dalam tatalaksana
awal di IGD.
Setelah stabilisasi di IGD, terapi gagal jantung selanjutnya yang diberikan
untuk meningkatkan survival pasien antara lain dengan pemberian captopril dan
spironolakton. Captopril merupakan golongan ACE inhibitor akan menghambat
Angiotensin Converting Enzym secara kompetitif sehingga pembentukan
angiotensin II terhambat, timbul vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron yang
menyebabkan penurunan tekanan darah dan mengurangi beban jantung.
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga penggunaan obat ini
akan mencegah retensi air dan natrium serta ekskresi kalium dan magnesium.
Pada pemberian spironolakton, kalium perlu dimonitor untuk mempertimbangkan
risiko hiperkalemi pada pasien dengan terapi spironolakton.
Terapi lain yang diberikan pada pasien ini antara lain, simarc, simvastatin,
ISDN, dan aspilet yang merupakan terapi preventif yang diberikan pada pasien
ACS. Simarc merupakan obat antikoagulan yang akan menghambat kerja vitamin
K sehingga mencegah terbentuknya trombus. ISDN merupakan obat golongan
vasodilator yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah arteri dan vena
sehingga terjadi penurunan preload. Selain itu, dengan adanya vasodilatasi, suplai
oksigen pada daerah miokardium yang iskemik akan meningkat. ISDN diberikan
jika tekanan darah pasien 90 mmHg. Kemudian pemberian simvastatin pada

pasien ini sesuai dengan sifatnya yakni pleotropic agent diantaranya untuk
mengontrol kadar kolesterol (anti dislipidemi) dengan menghambat sintesis
kolesterol. Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor HMG Co-A Reduktase (statin) harus diberikan pada
semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat kontra indikasi. Selain itu sifat simvastatin
yang berguna untuk stabilisasi juga bisa memberikan manfaat preventif dalam
mencegah perburukan pada kasus gagal jantung. Terapi statin diberikan dengan
sasaran kadar LDL <70 mg/dL.
Aspilet termasuk NSAID yang memiliki beberapa macam efek, salah
satunya menghambat agregasi trombosit, adhesi platelet dan pembentukan
trombus melalui penekanan sintesis tromboksan A2 dalam trombosit sehingga
mengurangi risiko infark miokard.
Pada pasien ini untuk pemeriksaan penunjang diagnostik yang dilakukan
adalah echocardiografi untuk melihat ejection fraction, abnormalitas wall motion
dan katup, serta dapat untuk mengamati adanya trombus atau tidak. Pemeriksaan
laboratorium darah rutin dilakukan untuk melihat adakah infeksi atau anemia yang
mungkin menjadi penyebab terjadinya gagal jantung. Kemudian pemeriksaan
kimia klinik seperti GDS, SGOT/SGPT, albumin, creatinin dan ureum untuk
melihat adanya faktor risiko DM, disfungsi hepar akibat gagal jantung, serta
gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan elektrolit dilakukan untuk melihat adanya
retensi cairan dan monitoring efek obat yang diberikan terhadap elektrolit.
Analisis gas darah dilakukan untuk menghitung kebutuhan oksigen pasien.
Rontgen thoraks dilakukan untuk menilai ukuran jantung. Kemudian pemeriksaan
EKG menilai apakah ada kelainan dalampenghantaran listrik di jantung. Dengan
melihat EKG dapat dinilai adakah pembesaran ruang jantung, iskemi atau infark
yang mungkin dapat menyebabkan gagal jantung.
Pada tanggal 14 (DPH I) saat pasien sudah dipindahkan ke bangsal Aster
5, pasien masih merasakan sesak napas. Hal ini disebabkan karena masih adanya
peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru yang menyebabkan cairan terdorong ke
jaringan paru. Hal ini akan menyebabkan kongesti dan edema interstisial di paru

yang akan mengganggu kemampuan dalam pengembangan paru pasien. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil yang normal. Pada pukul 19.00, pasien
merasakan sesak nafas yang semakin memberat daripada siang hari disertai
keringat dingin dan rasa berdebar, dengan HR: 120 bpm, TD: 50mmHg per
palpasi, RR: 40x permenit, nadi:120 bpm, ireguler kedalaman kurang dan akral
dingin. Kemudian pasien segera dipindahkan ke ICVCU dengan diagnosis
tambahan syok kardiogenik. Terapi yang didapatkan saat di ICVCU adalah Injeksi
Dobutamine 5 mcg/kgBB/menit setara 3.6 cc/jam, Simarc 2 mg (0-0-1),
Simvastatin 1 x 20 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Inj lidocain 60 mg bolus IV dilanjutkan
720 mg dalam 50 cc syringe pump kecepatan 4 cc/jam, dan ditambahkan
allopurnol 1 x 100 mg karena hasil pemeriksaan asam urat meningkat.
Pada tanggal 15 (DPH II) keluhan sesak napas pada pasien sudah tidak
dikeluhkan. Dari hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 103/73,
heart rate 110 x/menit, frekuensi denyut nadi 110 x/menit, dan frekuensi napas 24
x/menit. Hasil EKG menunjukkan Sinus Takikardi, 110 bpm, LAD, Q patologis
V1-V4. Hal ini menunjukkan pada pasien telah terjadi Old Myocard Infark (OMI)
anteroseptal, dimana Q patologis terdapat di v1-v4.
Pada tanggal 16 (DPH III) pasien sudah tidak mengeluhkan sesak napas
namun mengeluhkan belum bisa BAB. Tanda vital pasien didapatkan tekanan
darah 115/79, heart rate 116 x/menit, frekuensi denyut nadi qq6 x/menit, dan
frekuensi napas 24 x/menit, dengan RBH (+/+). Hasil pemeriksaan laboratorium
darah dalam batas normal. EKG pasien Sinus Takikardia, 120 bpm, LAD, Q
patologis V1-V4. Pada pasien ini diduga adanya mitral regurgitasi karena adanya
LAD, Q patologis V1-V4 dan sinus takikardia dan juga bising yang khas pada
pasien ini. Tambahan terapi pada pasien ini adalah captopril, Laxadine syr,
dulcolax.
Pada tanggal 17 (DPH IV) kondisi pasien masih belum stabil sehingga
masih harus bed rest total. Hasil pemeriksaan tanda vital pasien didapatkan
tekanan darah 98/77, heart rate 112 x/menit, frekuensi denyut nadi 112 x/menit,
dan frekuensi napas 24 x/menit. Hasil EKG Sinus Takikardi, 130 bpm, LAD, Q
patologis V1-V4

Tanggal 18 (DPH V) kondisi pasien sudah mulai stabil dan diperbolehkan


untuk mobilisasi duduk, namun pasien tiba-tiba berteriak dan gaduh gelisah. Maka
dari itu, pasien direncanakan untuk konsul TS psikiatri. Hasil vital sign pasien
tekanan darah 93/70 mmHg, heart rate 104 x/menit, frekuensi denyut nadi 104
x/menit, dan frekuensi napas 14 x/menit. Hasil pemeriksaan laboratorium darah
dalam batas normal. EKG pasien Sinus Takikardia, 120 bpm, LAD, Q patologis
V1-V4. Tambahan terapi adalah tiaryt yang digunakan untuk menekan dan
mencegah terjadinya aritmia ventrikuler dan supraventrikuler. Untuk dosis
furosemid, diturunkan dari 40mg menjadi 20mg.
Pada tanggal 19 (DPH VI) pasien dipindahkan ke aster IV. Hasil vital sign
pasien tekanan darah 95/69 mmHg, heart rate 89 x/menit, frekuensi denyut nadi
89 x/menit, dan frekuensi napas 17 x/menit. EKG pada pasien ini Sinus Ritmis, 97
bpm, LAD, Q patologis V1-V3. Hasil konsultasi dari TS psikiatri, didapatkan
diagnosis depresi berat dengan gejala psikotik dan mendapatkan terapi tambahan
rispiridon dari TS Psikiater.
Pada tanggal 20 (DPH VII) Hasil vital sign pasien tekanan darah 86/69
mmHg, heart rate 84 x/menit, frekuensi denyut nadi 84 x/menit, dan frekuensi
napas 24 x/menit. Syok kardiogenik pasien sudah teratasi. Namun didapatkan
adanya azotemia. Hasil EKG Sinus Ritmis, 95 bpm, LAD, IVCD, Q patologis V1V4, ST depresi I-aVL.
Pada tanggal 21 (DPH VIII) kondisi pasien mengalami perbaikan. Hal ini
terlihat dari tidak adanya keluhan yang dirasakan pasien dan hasil vital sign pasien
tekanan darah 83/61 mmHg, heart rate 90 x/menit, frekuensi denyut nadi 81
x/menit, dan frekuensi napas 18 x/menit. Setelah psien cukup stabil, pasien
diusulkan untuk pulang dan rawat jalan. terapi rawat jalan yang diberikan aspilet
1x80 mg, simvastatin 1x20mg, Laxadine syr 3xC1, Furosemid 1x40mg,
allopurinol 1x100 mg, tiaryt 3x200mg, simarc 1 x 2 mg, spirnoolacton 1x25 mg,
dan risperidone 2x1mg.
Tujuan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi gejala dan
meningkatkan survival pasien. Terapi yang dilakukan pada gagal jantung dapat
berupa terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologis yang

diberikan pada pasien gagal jantung bertujuan untuk mengurangi gejala dan
meningkatkan tingkat survival pasien gagal jantung. Obat yang dapat diberikan
untuk mengurangi gejala antara lain diuretik dan digoxin. Sedangkan obat lain
yang dapat meningkatkan survival antara lain ACE-Inhibitor, ARB, Beta-blocker,
serta antagonis aldosteron. Selain terapi farmakologis, terapi non farmakologis
berupa modifikasi gaya hidup pada pasien gagal jantung juga perlu dilakukan.
Terapi non farmakologis yang dapat dilakukan antara lain diet rendah garamdan
rendah lemak, menurunkan berat badan pada pasien dengan obesitas, latihan fisik,
menghindari konsumsi alkohol, dan berhenti merokok.

Anda mungkin juga menyukai