Anda di halaman 1dari 4

Nyampah Di Kota Madani

Juara Begah
Banda Aceh menjadi barometer penerapan Syariat Islam di Bumi
Nanggroe Aceh Darussalam. Syariat Islam memberikan panduan menjadi
manusia rahmatan lilalamin: hubungan dengan sang pencipta, manusia,
dan alam sudah ada dalam Islam.
Dalam Alquran terdapat begitu banyak pesan tentang pentingnya
menjaga lingkungan dan kebersihan. QS Al Araf : 56-58 menyebutkan,
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepadanya rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan dialah yang
meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan
rahmat-Nya (hujan) hingga apabila angin itu telah membawa awan
mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan
hujan di daerah itu. Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu
berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah kami membangkitkan
orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil
pelajaran. Dan tanah yang baik, tanam-tanamannya tumbuh dengan
seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya
tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran
(Kami)bagi orang-orang yang bersyukur.
Ayat itu secara tegas menyatakan bahwa meskipun Tuhan telah
menciptakan alam dengan kemampuan kebertahanannya, bukan berarti
manusia bisa mengeksploitasi seenaknya. Kemurahan Tuhan juga memiliki
batas. Jika manusia melakukan kerusakan maka bencana sudah tentu
menjadi conditio sine qua non atau sunnatullah. Itu juga tersebut di dalam
QS. Ar Rum : 41-42.
Sejatinya Syariat Islam memberikan keamanan dan kenyamanan bagi
seluruh umat manusia. Sayangnya Syariat selama ini hanya dipahami

seputar pakaian dan tubuh perempuan. Tafsir seperti ini yang perlu
dibongkar demi hadirnya Islam yang lebih kaffah.

Fenomena Sampah
Perlu diketahui, sampah adalah permasalahan yang besar di Indonesia
umumnya dan di Aceh khususnya. Hal itu dikarenakan masyarakat yang
masih kurang disiplin, membuang sampah di sembarang tempat. Mungkin
itu masalah sepele, tetapi jumlah masyarakat yang peduli lingkungan
tidak sebanyak yang acuh. Maksudnya, lebih banyak orang yang
membuang sampah sembarangan dibanding orang yang mencari tempat
pembuangan yang seharusnya. Parahnya, semua tempat seperti sungai,
taman, jalanan, trotoar, selokan, dll menjadi tong sampah semesta.
Kebersihan adalah perintah penting dalam Islam. Bab Thaharah menjadi
tema pokok yang selalu diulas pertama sekali seperti dalam kitab Sayyid
Tsabiq. Kebersihan memang harus dijaga untuk kenyamanan hidup orang
banyak dan diri sendiri. Hadist Nabi Muhammad SAW, Agama Islam itu
adalah agama yang bersih atau suci, maka hendaklah kamu menjaga
kebersihan. Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang
yang suci (HR. Baihaqi). Jelas bahwa kebersihan itu wajib dijaga dan
diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh setiap muslim.
Label Kota Madani untuk Banda Aceh tidak terlepas dari dimensi
kebudayaan yang dimiliki oleh ibu kota Aceh ini. Bisa juga Banda Aceh
disebut sebagai kota berkemajuan yang menjunjung tinggi kebersihan
tanpa membedakan suku, budaya, dan agama warganya. Kenyamanan,
keamanan dan ketenteraman menjadi hak mutlak bagi setiap orang
terlepas apapun keyakinannya.
Sebutan Kota Madani memang baik dan sangat menarik, tapi kenyataan
kebersihan masih menjadi ranjau bagi pemerintah yang sewaktu-waktu

bisa menjerat. Meskipun Banda Aceh mendapat penghargaan Adipura


tujuh kali berturut-turut, budaya masyarakat tertib membuang sampah
tak kunjung membaik. Akibatnya kita harus menahan nafas agar tidak
terhirup udara bau busuk dari sampah yang bertebaran di mana-mana.
Lautan Sampah
Tidak habis pikir penulis ketika melihat fenomena sampah malah
bertumpuk di depan papan larangan membuang sampah. Seperti yang
penulis amati jalan Rukoh Utama, lingkaran lapangan Tugu Unsyiah,
lapangan mini Unsyiah dan sebagainya. Larangan Jangan Membuang
Sampah Di sini malah tidak berefek pada warga yang membuang
sampah sembarangan. Dimana hati dan kesadaran masyarakat?
Bahkan lebih miris lagi, ketika kita melihat tumpukan sampah busuk
bermacam jenis dan bentuk. Kulit pisang, plastik makanan, kain kotor
sampai pembalut dan pakaian bekas. Semua itu terjadi di dalam kompleks
kaum terdidik: dosen, PNS, mahasiswa, karyawan dll. Amatan penulis
tumpukan sampah banyak terjadi di daerah Kecamatan Syiah Kuala.
Sayangnya media tidak terlalu merespons masalah sosial ini, karena
sudah terlalu sering dan biasa. Menyampah sudah menjadi tradisi warga.
Pemandangan tak elok juga terlihat dari masyarakat seperti penumpang
kenderaan pribadi dan umum yang tanpa merasa bersalah begitu saja
membuang sampah dari dalam kenderaan ke jalan umum. Di musim
hujan, ceceran sampah ini terbawa aliran air dan menyumbat got dan
gorong-gorong. Akibatnya, air meluap ke jalan sehingga menjadi banjir.
Seperti yang terjadi di Kampung Laksana, Peuniti, Lambhuk, dll.
Tradisi buruk ini juga disumbang oleh para kaum pendatang yang ikut
membuang sampah sembarangan, yang menganggap bahwa di Kota
Banda Aceh dapat membuang sampah seriang hati. Perbuatan ini
menimbulkan masalah baru yaitu budaya mimicry, meniru dan
menjadikannya adat. Tingkah laku yang tidak etis ini bukan hanya

dilakukan oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah tetapi hampir


semua kalangan.
Kebiasaan membuang sampah yang belum tepat oleh sebagian besar
warga kota cukup menyebalkan. Padahal dampak penumpukan sampah
akan beresiko pada penyumbatan aliran air sehingga membawa
malapetaka banjir. Kerugian material juga warga kota sendiri yang
merasakan dan menerima dampaknya. Tetapi akibat negatif semacam ini
seakan-akan belum disadari sepenuhnya oleh warga kota.
Nyampah sembarangan sesungguhnya tidak melambangkan kemadanian
Kota Banda Aceh. Menurut hemat penulis, persoalan sampah di Kota
Madani tidak terlepas dari lemahnya peran pemerintah kota sampai
pemerintah gampong. Penyakit budaya ini harus diperhatikan oleh
pemerintah sebelum berbicara aspek-aspek moral pribadi dan sosial
warga.
Penanganan sampah secara terstruktur, sistematis, dan massif menjadi
pertaruhan untuk menjadi Kota Madani atau Kota Madona alias tidak
beradab.

Juara Begah, Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan


Kader Damai Lakpesdam NU Aceh.

Anda mungkin juga menyukai