Pendahuluan
Seiring dengan berjalannya waktu, manusia terus menerus mengembangkan teknologi
yang ada. Menciptakan segala mesin yang canggih untuk memudahkan pekerjaan manusia,
menemukan cara praktis untuk bercocok tanam, menciptakan alat transportasi yang semakin
modern hingga menemukan cara pengobatan yang baru dalam dunia kedokteran. Dalam dunia
kita sekarang, banyak penyakit yang diakibatkan kerusakkan sel saraf dimana beberapa faktor
tersebut dapat diakibatkan radiasi, pemakaian obat-obattan, ataupun ketidak sengajaan yang
diakibatkan oleh kecelakaan. Hal tersebut merupakan hal yang sering ditakutkan dalam
masyarakat sehingga menyebabkan ahli medis mengambil peran serta untuk menciptakan cara
pengobatan yang baru untuk mengobati penyakit tersebut. Salah satu contoh pengobatan tersebut
adalah dengan mengunakan sel punca untuk memperbaiki sel saraf yang rusak. Disini saya akan
membahas mengenai bagaimana mekanisme sel punca menjadi sel saraf serta apa saja yang
berhubungan dengan proses tersebut. Dengan tujuan kita mengerti bagaimana proses itu bisa
terjadi dan mekanisme apa saja yang berhubungan dengan proses tersebut.
Skenario
Seorang peneliti sedang dalam proyek penelitian yang besar, yaitu penggunaan sel punca
unutk mengobati kematian sel otak pasca stroke. Sebelum dapat digunakan untuk terapi, peneliti
tersebut meneliti terlebih dahulu efek dari sinyal molekul yang mugkin dapat menyebabkan
diferensiasi sel punca menjadi sel saraf. Sel punca secara in vitro diberi perlakuan sinyal molekul
dan diinkubasi, setelah selesai diinkubasi, sel tersebut diperiksa dengan calcium imaging.
Hasilnya adalah stem sel tadi telah berdiferensiasi menjadi sel saraf dan dapat menghasilkan
sinyal-sinyal listrik.
Rumusan masalah
Efek dari sinyal molekul yang mungkin dapat menyebabkan diferensiasi sel punca
menjadi sel saraf
Pembahasan
Komunikasi sel saraf mengunakan potensial membrane istirahat untuk berkomunikasi
antar 1 saraf ke saraf yang lain. Semua sel memiliki potensial membrane istirahat, jadi semua sel
Potensial berjenjang adalah potensial listrik yang dapat bervariasi amplitude dan durasi.2
Ada banyak contoh potensial berjenjang pada neurofisiologi, yang mencakup potensial sinaps,
potensial reseptor dan end-plate potential otot.2 Potensial berjenjang biasanya dihasilkan pada
area kecil neuron (sinaps, reseptor, end-plate otot) dan hilang saat muatannya menyebar.2
Potensial berjenjang dihasilkan oleh stimulus kimia atau listrik, dan dapat berupa eksitasi
(depolarisasi) atau inhibisi (hiperpolarisasi).2 Jika potensial berjenjang bersifat sangat eksitasi,
potensial tersebut dapat menyebabkan area neuron yang berdekatan mengalami depolarisasi dan
mencetuskan potensial aksi.2
Stimulasi suatu neuron akan menghasilkan perubahan beda potensial di dalam dan di luar
membrane akson.3 Nilai negative -70 mV di dalam sel akan menjadi positif +40 mV dengan
singkat.3 Pembalikan potensial membrane ini disebut potensial aksi dan akan menghasilkan
transmisi impuls.3 Potensial aksi adalah perubahan yang cepat pada potensial membrane suatu
neuron atau sel otot.2 Potensial aksi terjadi apabila depolarisasi cukup besar untuk menyebabkan
membukanya gerbang (pintu) natrium peka-voltase pada sel yang terdapat di sepanjang
membrane.2 Setelah pintu tersebut terbuka, ion natrium menyerbu ke dalam sel.2 Masuknya ion
natrium secara cepat menyebabkan muatan didalam sel dengan cepat menjadi lebih positif, yang
mencapai sekutar +30 mV di sel saraf.2 Ketika sel menjadi lebih positif, pintu natrium mulai
menutup dengan cepat.2 Pada saat ini, pintu kalium, yang juga dipengaruhi oleh perubahan
potensial membrane, terbuka, yang memungkinkan ion kalium menyerbu keluar sel. Keluarnya
ion kalium menyebabkan sel kembali bermuatan negative di bagian dalamnya.2 Potensial aksi
adalah keadaan aktif dan sementara pada depolarisasi sel yang dramatis.2 Potensial aksi berbeda
dari potensial berjenjang karena amplitude atau durasinya tidak bervariasi.2 Sebagai gantinya,
potensial aksi dianggap all or none ; apabila stimulus listrik atau kimia, atau EPSP, cukup
besar unutk membuka saluran natrium dependen-voltase guna mendepolarisasi membrane
dengan cukup, potensial aksi terjadi.2 Apabila stimulus tersebut tidak cukup menyebabkan
depolarisasi dengan tingkat tertentu, potensial aksi tidak terjadi.2 Tingkat depolarisasi saat neuron
mencetuskan potensial aksi disebut potensial ambang (threshold potential).2 Pada saraf, banyak
EPSP diperlukan untuk menyebabkan saraf mencapai ambang.2
Ketika serabut saraf mencapai ambang dan mencetuskan potensial aksi, potensial aksi
tersebut disebar dengan kecepatan dan voltase yang sama diseluruh panjang akson, sampai
terminal akson.2 Penyebaran potensial aksi terjadi karena area yang berdekatan pada akson
dipengaruhi oleh perubahan arus yang dihasilkan oleh potensial aksi awal.2 Perubahan arus yang
dihasilkan oleh potensial aksi cukup besar untuk menyebabkan depolarisasi di area yang
berdekatan pada neuron dan potensial aksi berulang.2 Ketika potensial aksi melewati akson,
bagian akson yang baru saja mencetuskan potensial aksi akan refraktori selama satu periode
waktu sampai potensial membrane kembali ke level istirahat.2 Kecepatan ketika potensial aksi
melewati serabut sarag bergantung pada diameter serabut dan apakah ditutup oleh myelin.
Karena serabut yang besar mengalami resistensi yang kurang terhadap aliran arus dibandingkan
serabut yang kecil, serabut besar mentrasmisikan potensial aksi lebih cepat disbanding serabut
yang kecil.2 Serabut yang dilapisi dengan myelin menyalurkan potensial aksi lebih cepat
dibandingkan serabut tanpa pelindung karena myelin bekerja sebagai insulasi untuk mencegah
kebocoran arus keluar melintasi membrane.2 Hal ini memungkinkan potensial aksi menyebar
dengan melompatkan akson dalam proses yang disebut konduksi saltatori, bukan secara
bertahap.2 Tanpa selubung myelin, arus harus mendepolarisasi stiap area yang berdekatan pada
akson, suatu proses yang sangat memperlambat transmisi saraf.
Modus sinaptik adalah cara komunikasi antar-sel saraf. Komunikasi antar-sel saraf
semula berlangsng melalui impuls aliran listrik sampai mencapai sinapsis.4 Bila impuls telah
mencapai sinapsis, depolarisasi membrane yang terjadi akan memicu sekresi suatu molekul
sinyal khusus (neurotransmitter) yang akan ditangkan oleh sel saraf berikutnya.4 Sinaps adalah
sisi tempat berlangsungnya pemindahan impuls dari ujung akson suatu neuron ke neuron yang
lain atau ke otot atau ke kelenjar.5 Menurut cara penghantarannya sinapsis dibagi menjadi tiga
yang pertama adalah transmisi sinaptik, kimiawi dan listrik. Yang akan saya bahas disini adalah
cara penghantar dengan cara kimiawi. Pada sinaps kimiawi, suatu neurotransmitter dilepas dari
terminal akson presinaptik, mengalir menyeberangi celah sinaptik, dan melekat pada reseptor
membrane postsinaptik.5 Ujung akson presinaptik disebut terminal bouton. Ujung ini melepas
neurotransmitter dari vesikel sinaptik saat potensial aksi mencapai terminal, saluran ion kalsium
terbuka dan ion kalsium memasuki terminal bouton.5 Ion kalsium memfasilitasi aliran
neurotransmitter saat menyeberangi celah sinaptik dan melekat pada reseptor postsinaptik.5
Transmisi zat kimia bersifat satu arah karena neurotransmitter hanya dilepas pada neuron
presinaptik.5 Waktu tunda sinaptik adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyeberangi suatu
sinaps kimiawi. Dibutuhkan waktu lebih banyak untuk pelepasan, difusi, penerimaan dan untuk
melihat pengaruh neurotransmitter terhadap sebuah sinaps daripada waktu yang dibutuhkan
untuk perambatan potensial aksi di sepanjang serabut saraf.5 Neurotransmiter yang menyebabkan
peningkata potensial istirahat neuro postsinaptik bersifat inhibitorik: neurotransmitter ini
membuat postsinaptik lebih bermuatan negative akibat penurubab permeabilitas mmbran
terhadap aliran keluar ion K+.5 Peningkatan negativitas internal ini disebut hiperpolarisasi dan
mengakibatkan terbentuknya potensial postsinaptik inhibitorik.5 Sumasi merupakan efek
transmisi kimia pada neuron postsinaptik adalah jumlah dan jenis neurotransmitter yang
mencapai membrane postsinaptik.5 Sumasi terbagi menjadi dua, yang pertama adalah sumasi
temporal. Sumasi temporal adalah penambahan jumlah neurotransmitter karena adanya
peningkatan frekuensi stimulasi oleh satu atau beberapa neuro presinaptik.5 Sumasi yang kedua
adalah spasial. Sumasi spasial adalah stimulasi pada penambahan jumlah terminal presinaptik
eksitatoris untuk menambah jumlah neurotransmitter.5 Molekul neurotransmitter yang dilepas ke
dalam celah sinaptik segera diinaktivasi agar repolarisasi neuro postsinaptik dapat terjadi untuk
lintasan impuls selanjutnya.5 Apabila neurotransmitter mendepolarisasi sel pascasiaps (membuat
bagian dalam lebih positif), sinyal sinaps disebut potensial prasinaps eksitasi (EPSP).2 EPSP
terjadi apabila neurotransmitter membuka saluran yang memungkinkan lewatnya ion positif,
seperti natrium atau kalium, kedalam sel pascasinaps.2 Apabila pengikatan neurotransmitter ken
neuro pascasinaps menghiperpolarisasikan sel pascasinaps (membuat bagian dalam lebih
negative), sinyal sinaps disebut potensial pasca sinaps inhibisi (IPSP).2 IPSP terjadi apabila
transmitter membuka saluran yang memungkinkan lewatnya ion negative, biasanya klorida
ataupun kalium dibagian dalam sel pascasinaps.2
Kesimpulan
Sistem saraf dapat bekerja dengan adanya sinyal yang melewati membrane istirahat yang
membuat membrane istirahat akan bermuatan positif dan akan berubah menjadi potensi
berjenjang jika listrik atau rangsang yang diberikan tidak mencapai titik ambang sehingga hanya
melewati jarak yang pendek pada membrane dan menghilang serta dapat pula berubah menjadi
potensi aksi jika listrik atau rangsang melewati titik ambang. Pada akhirnya listrik atau rangsang
tersebut akan diterukan kesinapsis dan diteruskan ke sel saraf yang lain untuk dilanjutkan.
Daftar Pustaka
1. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula.Jakarta:Buku Kedokteran EGC;2003.h.158
2. Corwin EJ.Edisi ke 3. Buku saku patofisiologi.Jakarta:Buku Kedokteran
EGC;2007.h.211-7
3. James J, Baker C, Swain H. Prinsip-prinsip sains untuk
keperawatan.Jakarta:Erlangga;2008.h.218
4. Sholeh M. Terapi salat tahajud menyembuhkan berbagai
penyakit.Jakarta:Hikmah;2006.h.47-8
5. Campbell, Reece, Mitchell.Edisi ke 5. Biologi.Jakarta:Erlangga;2004.h.211-2