Anda di halaman 1dari 8

Tegak dan Ittiba' Di Atas Manhaj Salaf

| Halaman Utama | Berita | Artikel | Info | Galeri | Ragam | Search |


| Masalah Penting | Tauhid | Info Kitab | Masalah Hati | Annisaa |
Halaman Utama > Artikel > Masalah Penting > Bertawakkal Kepada Allah

Bertawakkal Kepada Allah

Dr. Fadhl Ilahi

Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah


Yang Mahaesa dan Yang kepada-Nya tempat bergantung. Insya Allah kita akan
membicarakan hal ini melalui tiga hal:

Pertama, yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.


Kedua, dalil syar'i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk diantara kunci-kunci
rizki.
Ketiga, apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha ?

Pertama, Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah

Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah
menjelaskan makna tawakkal. Diantaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau
berkata : "Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang
ditawakkali) semata". (Ihya' Ulumid Din, 4/259)

Al-Allamah Al-Manawi berkata : "Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta


penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali". (Faidhul Qadir, 5/311)

Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-


Mulla Ali Al-Qari berkata:
"Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam
alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik mahluk maupun
rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau
kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai
sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah". (Murqatul Mafatih,
9/156)

Kedua, Dalil Syar'i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki

Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim,
Al-Qudha'i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu
'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-


benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-
burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore
hari dalam keadaan kenyang". 1)
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
berbicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah
dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki. Betapa tidak
demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Mahahidup, Yang tidak
pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah akan
mencukupinya. Allah berfirman.
"Artinya : Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
(yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu". (Ath-Thalaq : 3)
Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi' bin Khutsaim mengatakan : "(Mencukupkan)
dari setiap yang membuat sempit manusia". (Syarhus Sunnah, 14/298)

Ketiga, Apakah Tawakkal Itu Berarti Meninggalkan Usaha?

Sebagian orang mungkin ada yang berkata : "Jika orang yang bertawakkal kepada
Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari
penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki
kita datang dari langit ?"

Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya


tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang
bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk
mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki
sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia
keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Mahaesa dan Yang kepadaNya tempat
bergantung. Dan sungguh para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan
sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah
Imam Ahmad, beliau berkata : "Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang
membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat
yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa
seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan
usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya,
tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta
dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut". (Dinukil dari Tuhfatul
Ahwadzi, 7/8)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di
rumah atau di masjid seraya berkata, 'Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai
rizkiku datang sendiri'. Maka beliau berkata, 'Ia adalah laki-laki yang tidak
mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku".


Dan beliau bersabda.
"Artinya : Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-
benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang
diberikanNya kepada burung-burung, berangkat pagi-pagi dalam keadaan
lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang".
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan
pulang sore hari dalam rangka mencari rizki.
Selanjutnya Imam Ahmad berkata, 'Para sahabat juga berdagang dan bekerja
dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita'. (Dinukil dari Fathul
Bari, 11/305-306)

Syaikh Abu Hamid berkata : "Barangkali ada yang mengira bahwa makna
tawakkal adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan
dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang
dilemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat memotong daging. Ini
adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum
syari'at. Sedangkan sya'riat memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana
mungkin suatu derajat ketinggian dalam agama dapat diperoleh dengan hal-hal
yang dilarang oleh agama pula ?"

Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita katakan, 'Sesungguhnya
pengaruh bertawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja
untuk mencapai tujuan-tujuannya'.

Imam Abul Qasim Al-Qusyairi : "Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di


dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah maka hal itu tidak bertentangan dengan
tawakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba meyakini bahwa rizki itu
datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena
takdirNya, dan terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya".
(Dinukil dari Murqatul Mafatih, 5/157)

Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti


meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan
Imam Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya Radhiyallahu 'anhu,
ia berkata :

"Artinya : Seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,


'Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?' Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, 'Ikatlah kemudian bertawakkallah". 2)
Dan dalam riwayat Imam Al-Qudha'i disebutkan.
"Artinya : Amr bin Umayah Radhiyallahu 'anhu berkata, 'Aku bertanya,
'Wahai Rasulullah !!, Apakah aku ikat dahulu unta (tunggangan)-ku lalu
aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku
bertawakkal ? 'Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaraan (unta)-mu lalu
bertawakkallah". (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633,
1/368)
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti
meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah,
bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja
ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi
ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu
hanyalah dari Dia semata.

Footnote :

1. Al-Musnad, no. 205, 1/243 no. 370, 1/313 no. 373, 1/304; Jami'ut Tirmidzi, Kitabuz Zuhud,
Bab Fit Tawakkal 'Alallah, no. 2344, no 2447, 7/7 dan lafazh ini adalah miliknya; Sunan Ibni
Majah, Abwabuz Zuhd, At-Tawakkul wal Yaqin, no 4216, 2/419; Kitabuz Zuhd oleh Ibnu Al-
Mubarak, juz IV, Bab At-Tawakkul wat Tawaddhu' no. 559, hal 196-197; Al-Ihsan fi Taqribi
Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa'iq, Bab Al-Wara' wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar 'amma Yajibu
'alal Mar'i min Qath'il Qulubi 'anil Khala'iqi bi Jami'il Ala'iqi fi Ahwalihi wa Asbabihi no. 730,
2/509; Al-Mustadzrak 'ala Ash-Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/318; Musnad Asy-Syihab, Lau
Annakum Tatawakkaluna ala' Allah Haqqa Tawakkulihi no. 1444, 2/319; Syarhus Sunnah oleh
Al-Baghawi, Kitabur Riqaa, Bab At-Tawakkul 'ala Allah 'Aza wa Jalla no. 4108, 14/301. Imam
At-Tirmidzi berkata, Ini adalah hadits shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini
(Jami'ut Tirmidzi, 7/8). Imam Al-Hakim berkata, Ini adalah hadits dengan sanad shahih, tetapi
tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (Al-Mustadrak 'ala Ash-Shahihain, 4/318). Imam
Al-Baghawi berkata, Ini adalah hadist hasan. (Syarhus Sunnah, 14/301). Dan sanadnya
dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir. (Lihat, Hamisyul Musnad, 1/234). Serta
Syaikh Al-Albani menshahihkannya, (Lihat, Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah no. 310, jilid 1, juz
III/12).
2. Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa'iq, Bab Al-Warra' wat Tawakkul, Dzikrul
Akhbar bin Annal Mar'a Yajibu Alaihi Ma'a Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A'dha Dhidda Qauli
Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya; Al-Mustadrak Alash Shahihain, Kitab
Ma'rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin Umayah Radhiyallahu 'anhu, 3/623. Al-Hafizh Adz-
Dzahabi berkata, Sanad hadist ini 'jayyid'. (At-Talkhis, 3/623). Al-hafizh Al-Haitsami juga
menyatakan hal senada dalam Ajmau'z Zawa'id wa Manba'ul Fawa'id, 10/303. Beliau berkata,
Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari banyak jalan. Dan para pembawa haditsnya
adalah pembawa hadits Shahih Muslim selain Ya'kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah Adh-
Dhamari, dan dia adalah tsiqah (terpercaya). (Op. cit, 10/303)

Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Syaikh Dr Fadhl Ilahi, dengan edisi
Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunah hal. 28-35 terbitan Darul Haq,
Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc

Created at 11 Agustus 2002 | Masalah Penting


Untuk
pertanyaan,
saran dan
kritikan
yang
berkaitan
dengan
homepage
ini, silakan
hubungi
kami
Tested
under IE
5.x, Opera
5.x, Mozilla
0.9.x and
Netscape
4.7x

Tegak dan Ittiba' Di Atas Manhaj Salaf


| Halaman Utama | Berita | Artikel | Info | Galeri | Ragam | Search |
| Masalah Penting | Tauhid | Info Kitab | Masalah Hati | Annisaa |
Halaman Utama > Artikel > Masalah Penting > Bertawakkal Kepada Allah

Bertawakkal Kepada Allah

Dr. Fadhl Ilahi


Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah
Yang Mahaesa dan Yang kepada-Nya tempat bergantung. Insya Allah kita akan
membicarakan hal ini melalui tiga hal:

Pertama, yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.


Kedua, dalil syar'i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk diantara kunci-kunci
rizki.
Ketiga, apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha ?

Pertama, Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah

Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah
menjelaskan makna tawakkal. Diantaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau
berkata : "Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang
ditawakkali) semata". (Ihya' Ulumid Din, 4/259)

Al-Allamah Al-Manawi berkata : "Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta


penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali". (Faidhul Qadir, 5/311)

Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-


Mulla Ali Al-Qari berkata:
"Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam
alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik mahluk maupun
rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau
kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai
sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah". (Murqatul Mafatih,
9/156)

Kedua, Dalil Syar'i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki

Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim,
Al-Qudha'i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu
'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-


benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-
burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore
hari dalam keadaan kenyang". 1)
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
berbicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah
dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki. Betapa tidak
demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Mahahidup, Yang tidak
pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah akan
mencukupinya. Allah berfirman.
"Artinya : Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
(yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu". (Ath-Thalaq : 3)
Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi' bin Khutsaim mengatakan : "(Mencukupkan)
dari setiap yang membuat sempit manusia". (Syarhus Sunnah, 14/298)
Ketiga, Apakah Tawakkal Itu Berarti Meninggalkan Usaha?

Sebagian orang mungkin ada yang berkata : "Jika orang yang bertawakkal kepada
Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari
penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki
kita datang dari langit ?"

Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya


tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang
bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk
mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki
sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia
keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Mahaesa dan Yang kepadaNya tempat
bergantung. Dan sungguh para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan
sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah
Imam Ahmad, beliau berkata : "Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang
membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat
yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa
seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan
usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya,
tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta
dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut". (Dinukil dari Tuhfatul
Ahwadzi, 7/8)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di
rumah atau di masjid seraya berkata, 'Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai
rizkiku datang sendiri'. Maka beliau berkata, 'Ia adalah laki-laki yang tidak
mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku".


Dan beliau bersabda.
"Artinya : Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-
benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang
diberikanNya kepada burung-burung, berangkat pagi-pagi dalam keadaan
lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang".
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan
pulang sore hari dalam rangka mencari rizki.

Selanjutnya Imam Ahmad berkata, 'Para sahabat juga berdagang dan bekerja
dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita'. (Dinukil dari Fathul
Bari, 11/305-306)

Syaikh Abu Hamid berkata : "Barangkali ada yang mengira bahwa makna
tawakkal adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan
dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang
dilemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat memotong daging. Ini
adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum
syari'at. Sedangkan sya'riat memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana
mungkin suatu derajat ketinggian dalam agama dapat diperoleh dengan hal-hal
yang dilarang oleh agama pula ?"

Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita katakan, 'Sesungguhnya
pengaruh bertawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja
untuk mencapai tujuan-tujuannya'.

Imam Abul Qasim Al-Qusyairi : "Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di


dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah maka hal itu tidak bertentangan dengan
tawakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba meyakini bahwa rizki itu
datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena
takdirNya, dan terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya".
(Dinukil dari Murqatul Mafatih, 5/157)

Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti


meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan
Imam Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya Radhiyallahu 'anhu,
ia berkata :

"Artinya : Seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,


'Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?' Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, 'Ikatlah kemudian bertawakkallah". 2)
Dan dalam riwayat Imam Al-Qudha'i disebutkan.
"Artinya : Amr bin Umayah Radhiyallahu 'anhu berkata, 'Aku bertanya,
'Wahai Rasulullah !!, Apakah aku ikat dahulu unta (tunggangan)-ku lalu
aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku
bertawakkal ? 'Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaraan (unta)-mu lalu
bertawakkallah". (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633,
1/368)
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti
meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah,
bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja
ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi
ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu
hanyalah dari Dia semata.

Footnote :

1. Al-Musnad, no. 205, 1/243 no. 370, 1/313 no. 373, 1/304; Jami'ut Tirmidzi, Kitabuz Zuhud,
Bab Fit Tawakkal 'Alallah, no. 2344, no 2447, 7/7 dan lafazh ini adalah miliknya; Sunan Ibni
Majah, Abwabuz Zuhd, At-Tawakkul wal Yaqin, no 4216, 2/419; Kitabuz Zuhd oleh Ibnu Al-
Mubarak, juz IV, Bab At-Tawakkul wat Tawaddhu' no. 559, hal 196-197; Al-Ihsan fi Taqribi
Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa'iq, Bab Al-Wara' wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar 'amma Yajibu
'alal Mar'i min Qath'il Qulubi 'anil Khala'iqi bi Jami'il Ala'iqi fi Ahwalihi wa Asbabihi no. 730,
2/509; Al-Mustadzrak 'ala Ash-Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/318; Musnad Asy-Syihab, Lau
Annakum Tatawakkaluna ala' Allah Haqqa Tawakkulihi no. 1444, 2/319; Syarhus Sunnah oleh
Al-Baghawi, Kitabur Riqaa, Bab At-Tawakkul 'ala Allah 'Aza wa Jalla no. 4108, 14/301. Imam
At-Tirmidzi berkata, Ini adalah hadits shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini
(Jami'ut Tirmidzi, 7/8). Imam Al-Hakim berkata, Ini adalah hadits dengan sanad shahih, tetapi
tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (Al-Mustadrak 'ala Ash-Shahihain, 4/318). Imam
Al-Baghawi berkata, Ini adalah hadist hasan. (Syarhus Sunnah, 14/301). Dan sanadnya
dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir. (Lihat, Hamisyul Musnad, 1/234). Serta
Syaikh Al-Albani menshahihkannya, (Lihat, Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah no. 310, jilid 1, juz
III/12).
2. Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa'iq, Bab Al-Warra' wat Tawakkul, Dzikrul
Akhbar bin Annal Mar'a Yajibu Alaihi Ma'a Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A'dha Dhidda Qauli
Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya; Al-Mustadrak Alash Shahihain, Kitab
Ma'rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin Umayah Radhiyallahu 'anhu, 3/623. Al-Hafizh Adz-
Dzahabi berkata, Sanad hadist ini 'jayyid'. (At-Talkhis, 3/623). Al-hafizh Al-Haitsami juga
menyatakan hal senada dalam Ajmau'z Zawa'id wa Manba'ul Fawa'id, 10/303. Beliau berkata,
Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari banyak jalan. Dan para pembawa haditsnya
adalah pembawa hadits Shahih Muslim selain Ya'kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah Adh-
Dhamari, dan dia adalah tsiqah (terpercaya). (Op. cit, 10/303)

Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Syaikh Dr Fadhl Ilahi, dengan edisi
Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunah hal. 28-35 terbitan Darul Haq,
Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc

Created at 11 Agustus 2002 | Masalah Penting

Untuk pertanyaan, saran dan kritikan yang berkaitan dengan homepage ini, silakan hubungi kami
Tested under IE 5.x, Opera 5.x, Mozilla 0.9.x and Netscape 4.7x

Anda mungkin juga menyukai