Anda di halaman 1dari 25

Isu Gender dalam SDM di

Bidang Komunikasi

(Sumber gambar: Godydo.com)

Isu Gender dalam SDM Komunikasi


Jurnalistik = profesi yang maskulin?
Sekitar 50 tahun yang lalu, jurnalistik merupakan
profesi yang didominasi laki-laki. Jurnalis perempuan
merupakan perkecualian dan kaum perempuan
merasa kecil hati untuk memasuki profesi ini. (Equality and
Quality: Setting Standards for Women in Journalism, International Federation Journalist,
2001)

Isu Gender dalam SDM Komunikasi


Jumlah mahasiswi yang memilih jurusan
jurnalistik di seluruh dunia menunjukkan trend
kenaikan. Rata-rata presentasenya adalah 40
persen. Jumlah jurnalis perempuan di Asia
Pasifik mencapai 12 persen dari total jurnalis,
Eropa dan Amerika Serikat 40 persen dan
Afrika 25 persen. (Equality and Quality: Setting Standards for Women in
Journalism, International Federation Journalist, 2001)

Isu Gender dalam SDM Komunikasi


Meski terjadi trend peningkatan jumlah
perempuan yang bekerja sebagai jurnalis,
namun perempuan hal tersebut tidak berarti
perempuan bisa menempati posisi yang
berpengaruh di media tempat bekerja. Hanya
3-5% yang menempati posisi editor/redaktur,
kepala departemen atau direktur.

Isu Gender dalam SDM Komunikasi


Jurnalis Perempuan masih menghadapi
berbagai hal berikut:
Stereotypes
Employment conditions
Social and personal obstacles

Stereotip
Contoh:
Jurnalis olahraga laki-laki secara otomatis
mendapatkan kepercayaan dan respek yang layak
karena asumsinya laki-laki paham olahraga tersebut.
Di sisi lain, jurnalis olahraga perempuan harus terus
membuktikan dirinya paham tentang apa yang
dibicarakan. (Women in Sports Journalism: Equality in the Last Male Frontier, 2011)

Stereotip
A sideline reporter's qualifications are often overlooked
for the one crucial aspect: attractiveness. According
to a local sports journalist, An awful lot of players,
coaches, and media members consider female
sideline reporters as nothing more than pretty faces.
[] [T]heir contributions are often overlooked and
passed off as coming about because of that very
quality
(Women in Sports Journalism: Equality in the Last Male Frontier, 2011)

Kondisi Ketenagakerjaan
Mencakup: Gaji yang tidak adil, kurangya akses
untuk mendapatkan pelatihan, prosedur
promosi jabatan yang tidak fair, minimnya
kesempatan untuk menempati posisi
pengambil keputusan, pembatasan usia,
pemisahan kerja

Kondisi Ketenagakerjaan
Kondisi gaji (pendapatan kotor) jurnalis perempuan di berbagai
negara:
* Belgia, menerima 25 persen lebih rendah dari jurnalis laki-laki
* Indonesia, menerima 22 persen lebih rendah dari jurnalis lakilaki
* Belanda, menerima 20 persen lebih rendah dari jurnalis lakilaki
(Gender Pay Gap in Journalism, Wage Indicator Global Report 2012)

Kondisi Ketenagakerjaan
1. Jurnalis perempuan di Uni Eropa dan bekas
negara Uni Soviet merasa kurang puas
dengna pekerjaan mereka
2. Dibandingkan dengan jurnalis laki-laki,
jurnalis perempuan yang puas dengan gaji,
kondisi kerja, dan juga rekan kerja lebih kecil.
(Gender Pay Gap in Journalism, Wage Indicator Global Report 2012)

Hambatan Personal dan


Sosial
Mencakup: konflik antara tuntutan keluarga
dan karir, kurangnya fasilitas pendukung
harian, kurangnya rasa kebanggaan diri

Hambatan Personal dan


Sosial
Di Uni Emirates ARab, masih terjadi salah persepsi
terhadap perempuan yang berprofesi jurnalis. Profesi
tersebut dipandang negatif oleh orangtua, orang dekat,
dan masyarakat umum. Perempuan dianggap tak layak
berprofesi di industri media. Di UEA juga terjadi
diskriminasi terhadap jurnalis perempuan terkait
minimnya pelatihan untuk peningkatan kemampuan,
tugas liputan luar negeri, kepercayaan untuk
mengemban tanggungjawab, dan kemampuan
peningkatan karir (Kirat, 2004)

Hambatan Personal dan


Sosial
Di Thailand, hampir 35 persen dari jurnalis perempuan
setidaknya sekali pernah diminta oleh keluarganya untuk
meninggalkan pekerjaan tersebut
Jurnalis perempuan di Thailand sering ditolak narasumber
hanya karena faktor gender. Selain itu jurnalis perempuan di
"Negeri Gajah Putih" juga sering disalahkan karena faktor
gender.
(Perceptions of Male and Female Newspaper Journalists in Thailand, n.d.)

Hambatan Personal dan


Sosial
Publik di Thailand (sampel 400 responden)
memandang jurnalis perempuan sebagai:
emosional, sensasional, terlalu sibuk dengan
diri sendiri, egois, tidak kredibel untuk menulis
berita, tidak cocok untuk menulis berita "hard
news"
(Perceptions of Male and Female Newspaper Journalists in Thailand, n.d.)

Bagaimana dengan kondisi di


INDONESIA?

Kondisi di Indonesia
Indikator untuk menilai kesejahteraan jurnalis perempuan
di Indonesia (Jejak Jurnalis Perempuan, 2012):
a.Kondisi jam kerja, b.Kondisi jam istirahat, c.Fasilitas
perlindungan kerja, d.Gaji rutin, e.Fasilitas asuransi,
f.Fasilitas jamsostek, g.Tunjangan uang makan,
h.Tunjangan uang transport, i.Kondisi cuti tahunan,
j.kondisi cuti melahirkan, k.kondisi cuti haid,
l.kesempatan laktasi, m.fasilitas penitipan anak,
n.kesempatan sebagai pengambiul kebijakan,
o.kesempatan mendapatkan pendidikan tambahan

Kondisi di Indonesia
Penelitian menunjukkan sebanyak 6,59%
jurnalis perempuan mengalami diskriminasi
dan 14,81% mengalami pelecehan ketika
bertugas. Tak jarang narasumber mengajak
berkencan jurnalis perempuan.

Kondisi di Indonesia
Persoalan lain yang masih dialami jurnalis
perempuan adalah belum banyaknya jumlah
jurnalis perempuan yang duduk sebagai
pengambil kebijakan di media. Padahal untuk
merubah sebuah kebijakan, lebih baik ada
banyak jurnalis perempuan lagi yang
menduduki posisi ini.

Harapan Jurnalis
Perempuan di Indonesia
Berdasarkan Indeks Importance Performance Analysis urutan
indikator-indikator yang harus dibenahi adalah:
Prioritas 1: cuti haid, kesempatan untuk menyusui, tempat penitipan
anak dan pemberian waktu istirahat;
Prioritas 2: kondisi jam kerja, perlindungan kerja, asuransi, jamsostek,
cuti melahirkan dan kesempatan menjadi pengambil kebijakan;
Priorotas 3: gaji rutin, tunjangan makan, tunjangan transportasi, cuti
tahunan dan kesempatan mendapatkan pendidikan tambahan.

Kondisi di Indonesia
Dilihat perlokasi responden riset, Jakarta merupakan
daerah tertinggi yang fasilitas bagi jurnalis
perempuan paling banyak dipenuhi oleh medianya,
disusul Medan, Jayapura, dan Pontianak di peringkat
kedua. Di posisi selanjutnya tercatat Surabaya,
sementara Makassar dan Yogyakarta fasillitas
jurnalisnya tergolong paling sedikit dibandingkan
daerah lain.

Isu Gender dalam SDM Komunikasi


Yang dapat saya petik, mulai dari melatih
kesabaran, memahami lebih mendalam
seputar perkeretaapian, hingga lebih
memahami karakter dari masing-masing
stakeholder, baik internal maupun
eksternal. Kuncinya, saya harus mampu
berkomunikasi dengan baik dengan seluruh
stakeholder, (EVA CHAIRUNISA, Manajer
Humas PT KAI Commuter Jabodetabek,
dikutip dari Mix.co.id)

Isu Gender dalam SDM Komunikasi


... feminist values such as caring,
cooperation, intuition, commitment,
sensitivity, respect,...are the norms of PR
(Gruning, et.al. dalam Farihanto, 2012)

Isu Gender dalam SDM Komunikasi


Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia kerja, PR
mayoritas pria menduduki jabatan manajerial,
sementara wanita masih berada dalam taraf teknisi.
Inilah yang menghilangkan kesempatan bagi
perempuan untuk lebih mengembangkan segala
potensi yang ada dalam dirinya, termasuk ketika dia
harus menjadi decision maker pada sebuah jajaran
manajerial. (Dwi Jayanti, 2011)

Isu Gender dalam SDM Komunikasi


Namun pada faktanya, peran perempuan yang menjadi PR
tidak jarang hanya sekadar menjadi alat pemikat
semata (Kurnia dan Putra, 2004). Banyak perusahaan
yang menunjuk seorang perempuan menjadi PR, bukan
karena kemampuan atau pendidikan yang dimiliki, tetapi
semata karena pesona yang dimiliki perempuan
tersebut. Citra organisasi akan jauh lebih baik dan
menarik apabila seorang perempuan yang atraktif dan
menarik menjadi merepresentasikan organisasinya
(Farihanto, 2012)

Anda mungkin juga menyukai