Anda di halaman 1dari 12

Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di

Indonesia
Disusun guna memenuhi tugas ujian mata kuliah Perspektif
Global
Dosen Pengampu: Dr. Samsuri, M. Ag
Disusun oleh Mohamad Aunurrohim (11401244031)
Progam Studi Pendidikan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
2015

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, itulah


bunyi pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang artinya adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara diatur sesuai dengan hukum yang berlaku di negara
Indonesia. Namun seperti yang telah kita ketahui bersama,
bahwasanya hukum yang berada di Indonesia masih jauh dari
kata sempurna, baik itu dari segi tatanan hukumnya ataupun
pelaksanaan hukumnya, masih banyak kekurangan yang perlu
menjadi perhatian untuk kita semua dan perlu dicarikan jalan
keluarnya bersama.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus
selalu diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kepastian hukum
dan unsur kemanfaatan. Jika dalam menegakkan hukum hanya
diperhatikan kepastian hukumnya saja, maka unsur lain harus
dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan unsur
keadilan maka unsur kepastian hukum dan kemanfaatan juga

harus di korbankan dan begitu selanjutnya. Itulah yang disebut


antinomy yaitu sesuatu yang bertentangan namun tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Dalam menegakkan hukum harus
ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Meski dalam
prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi
secara seimbang antara ketiga unsur tersebut
Pelaksanaan atau praktek hukum di Negeri ini tidak hanya
terletak pada aparat penegak hukum, tetapi juga karena
diakibatkan oleh kerancuan opini publik dalam mengartikan
atau mendefenisikan pengertian 3 (tiga) substansi hukum yakni
keadilan, kemanfaatn, serta kepastian hukum. Hal ini bukanlah
sesuatu yang baru di masyarakat kita, akan tetapi sudah
menjadi konsumsi publik dimana di dalamnya terdapat
perbedaan persepsi atau pandangan mengenai eksistensi
penerapan hukum di Indonesia.
Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi
yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian
hukum dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya
menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum menempati
peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Namun,
setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di
Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek
yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II
dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktekpraktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun
akhirnya
meralat
teorinya
tersebut
diatas
dengan
menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas tujuan
hukum yang lain.
Sebagaimana diketahui bahwa didalam kenyataannya
sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan
kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum,
antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai
contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim
menginginkan keputusan yang adil (menurut persepsi keadilan
yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat
atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibanya sering

akan merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Sebaliknya


kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan adil
bagi orang tertentu terpaksa harus dikorbankan.
Hukum merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa
hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang
utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan erat
satu sama lain. Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu
satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai
interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai
tujuan kesatuan tersebut.

B. Kajian Pustaka

Menurut
L.J.van
Apeldorn
bahwa
keadilan
itu
memperlakukan
sama
kepada
hal
yang
sama
dan
memperlakukan hal yang tidak sama sebanding dengan
ketidaksamaannya. Asas keadilan tidak menjadikan persamaan
hakikii dalam pembagian kebutuhan-kebutuhan hidup. Hasrat
akan persamaan dalam bentuk perlakuan harus membuka mata
bagi ketidaksamaan dari kenyataan-kenyataan.
Menurut W.J.S Poerwadarminta dalam Kamus Besar
bahasa Indonesia memberikan pengertian adil itu dengan tidak
berat sebelah (tidak memihak). Dapat diuraikan lebih rinci lagi
bahwa adil itu dengan tidak berat sebelah. Apabila ada
pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan
kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui hak
hidup, maka sebaliknya kita harus mempertahankan hak hidup
tersebut dengan jalan bekerja keras dan kerja keras yang kita
lakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain,
sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk
hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada kita.
Sedangkan menurut Kahar Mansur mengemukakan ada
tiga hal yang dinamakan adil:
(1) "Adil" ialah: meletakan sesuatu pada tempatnya.
(2) "Adil" ialah: menerima hak tanpa lebih dan
memberikan orang lain tanpa kurang.

(3) "Adil" ialah: memberikan hak setiap yang berhak


secara lengkap tanpa lebih tanpa lebih tanpa kurang antara
sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan
penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai
dengan kesalahan dan pelanggaran.
Menurut Aristoteles bahwa keadilan disini adalah
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian
atau haknya (ius suum cuique tribuere).
Pada dasarnya prinsip kepastian hukum menekankan
pada penegakan hukum yang berdasarkan pembuktian secara
formil, artinya suatu perbuatan baru dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis
tertentu. Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang
tidak wajar, tercela, melanggar kepatutan dan sebagainya
dapat dianggap sebagai pelanggaran demi tegaknya keadilan
meskipun
secara
formal
tidak
ada
undang-undang
yangmelarangnya. Dilema antara penegakan hukum yang
mengedepankan pada prinsip kepastian hukum ataukah rasa
keadilan merupakan persoalan yang sudah ada sejak lama.
Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi Negara hukum.
Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi
kawasan Eropa Kontinental dengan konsep Negara hukum
rechstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam
tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep Negara
hukum the rule of law.
Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam
pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh
hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum
yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam
masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh
karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan
hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian
hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut
sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undangundang
tersebut
terdapat
ketentuan-ketentuan
yang
bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang
logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan

rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh)


dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah
yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
Menurut Friedrich Julius Stahl, seorang pelopor hukum
Eropa Kontinental, ciri sebuah Negara hukum antara lain adalah
adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya
pemisahan
atau
pembagian
kekuasaan,
pemerintah
berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid
van bestuur) serta peradilan administrasi dalam perselisihan.
Konsep
Negara
hukum
disamping
mencakup
perihal
kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak kearah
dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam
konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut Negara
disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan
memberikan keadilan sosial maka Negara juga harus
memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang
saat ini diatur dalam pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar
1945 dikenal dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis.
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk
mencapaii ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum
dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin
manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang
diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya
kepastian hukum dan ketertiban.
Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara
hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya
peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola
dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang
kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar
biasa dan independen, bebas dari intimidasi atau campur
tangan eksekutif dan legeslatif, yang dilaksanakan oleh sumber
daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji sehingga
tidak mudah terjatuh diluar
Skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya
suatu kepastian hukum yang syarat akan keadilan. Hukum
bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku
(matter of behavior)

Di Indonesia prinsip kepastian hukum tidak berlaku


sebagai prinsip tunggal dalam sistem hukum Indonesia. Sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti oleh Pasal 28
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, selain menerapkan bunyi undangundang, hakim juga harus menggali nilai-nilai keadilan yang
hidup di dalam masyaratakat. Hal ini berarti, selain kepastian
hukum, dunia peradilan pun menekankan pada rasa keadilan.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen juga menyatakan
Indonesia adalah negara hukum tanpa lagi mencantumkan
embel-embel rechstaat. Perubahan ini untuk memberikan
ruang, baik pada asas kepastian hukum sekaligus pada asas
keadilan. Hal ini dipertegas di dalam Pasal 28 huruf h UUD 1945
yang menekankan pentingnya kemanfaatan dan keadilan.
Kesimpulan yang didapat dalam pasal-pasal tersebut
adalah bahwa baik kepastian hukum maupun pemenuhan rasa
keadilan diakomodasi di dalam sistem hukum Indonesia.
Akomodasi atas keduanya kemudian menimbulkan dilema
karena dalam praktek keduanya tidak diperlakukan secara
integratif tetapi secara alternatif.
Akomodasi kedua prinsip tersebut yang dalam
kenyataannya sering termanifestasi menjadi prinsip yang
bertentangan menimbulkan ambiguitas orientasi dan cenderung
kontradiktif. Aparat penegak hukum menjadi mempunyai dalih
untuk memilih prinsip mana yang akan digunakan demi mencari
kemenangan semata dan bukan mencari kebenaran.
Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata
dasar "manfaat", yang menurut Kamus Bahasa Indonesia,
berarti faedah atau guna. Hukum merupakan urat nadi dalam
kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat
yang adil dan makmur. Bagi Hans Kelsen hukum itu sendiri
adalah suatu sollenskategorie (kategori keharusan) bukannya
seinkategorie (kategori faktual). Yang maksudnya adalah hukum
itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur
tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini
yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah bagaimana hukum itu

seharusnya (what the law ought to be) melainkan apa


hukumnya (what is the law).
Sebagian orang berpendapat bahwa kemanfaatan hukum
(zweckmasiggkeit)
sangat
berkorelasi
dengan
tujuan
pemidanaan terutama sebagai prevensi khusus agar terdakwa
tidak mengulangi kembali melakukan perbuatan melawan
hukum, dan prevensi umum setiap orang berhati-hati untuk
tidak melanggar hukum karena akan dikenakan sanksinya. Oleh
karena itu putusan hakim harus memberi manfaat bagi dunia
peradilan, masyarakat umum dan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa masyarakat
mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan
hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum
atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau
kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena
hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul
keresahan di dalam masyarakat itu sendiri.
Sedangkan kemanfaatan hukum menurut Jeremy Betham
bahwa alam telah menempatkan umat manusia dibawah
pemerintahan dan dua penguasa, yakni suka dan duka. Untuk
dua raja itu juga menentukan apa yang akan kita lakukan dan
apa yang mesti dilakukan. Dua raja itu juga menentukan apa
yang akan kita lakukan, apa yang akan kita katakan dan apa
yang kita pikirkan. Hukum sebagai tatanan hidup bersama
harus diarahkan untuk menyokong si raja suka, dan serentak
mengekang si raja duka. Dengan kata lain, hukum harus
berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Jeremy Bentham,
sebagai penganut aliran utilistik, hukum barulah dapat diakui
sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesarbesarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang.
Hubungannya ketiga unsur hukum tersebut diatas, hukum
di Indonesia masih sangat jauh dari pelaksanaan ketiga unsur
hukum itu secara bersamaan, seperti halnya pada kasus Mbah
Minah, Mbah Minah yang dituduh mencuri 3 biji kakao dari
perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan 4. Di dalam
persidangannya, Minah menuturkan bahwa tiga biji kakao

tersebut untuk menambah bibit tanaman kakao di kebunnya di


Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Kabupaten Banyumas. Minah mengaku sudah menanam 200
bibit pohon kakao di kebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu
masih kurang. Namun, belum sempat buah tersebut dibawa
pulang, seorang mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya.
Minah lantas meminta maaf dan meminta Sutarno untuk
membawa ketiga buah kakao tersebut. Alih-alih permintaan
maafnya diterima, manajemen PT RSA 4 malah melaporkan
Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang.
Melihat kasus Minah, dapat disimpulkan bahwa aparat
penegak hukum mengutamakan kepastian hukum dalam
penegakan hukumnya tanpa memperhatikan rasa keadilan.
Penegakan hukum yang diartikan oleh para aparat penegak
hukum yang menangani kasus Minah adalah Penegakan hukum
secara tekstual yaitu mengartikan perbuatan Minah sebagai
pencurian. Padahal kalau mau dihitung, harga buah kakao
tersebut lebih murah dibandingkan biaya perkara yang harus
dikeluarkan untuk menangani kasus tersebut. Selain itu, motif
Minah adalah potret dari kemiskinan. Kalau ada yang mau
dihukum, seharusnya Negara karena tidak dapat menjalankan
fungsinya yaitu mensejahterakan rakyat.
Minah divonis hukuman percobaan penjara 1 bulan 15
hari. Hakim sebagai pemutus perkara mencoba menegakan
hukum secara tekstual dimana ketika seseorang melanggar
hukum maka dia harus mendapatkan hukuman tanpa
memperhatikan apa yang menjadi dasar si pelanggar hukum.
Menurut
van
Apeldoorn,
hakim
harus
menyesuaikan
(waarderen) undang-undang dengan hal-hal yang konkrit yang
terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah (aanvullen)
undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan
undang-undang dengan hal yang konkrit, karena undangundang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam
masyarakat. Untuk itu, diperlukan hakim yang progresif dalam
memutus suatu perkara yaitu dengan memperhatikan
keberlakuan yuridis, sosiologis dan filosofis.

C. Solusi

Melihat dari keadaan hukum yang dipandang banyak


orang tidak adil ini, seharusnya penegak hukum lebih
memperhatikan efek dari kejadian tersebut, maka penegak
hukum dianjurkan untuk tidak langsung menahan atau
menangkap pelaku, namun menawarkan perdamaian terlebih
dahulu, karena kerugian yang diderita sang pemilik tidaklah
seberapa dan itu dapat digantikan dengan uang ganti rugi
Walaupun seandainya sang pemilik keberatan atas penggantian
rugi itu, penegak hukum juga tidak serta merta menuntut atau
memvonis pelaku dengan hukuman penjara atau kurungan,
karena itu akan mempengaruhi kehidupan keluarganya, karena
mungkin sang pelaku adalah tulang punggung keluarganya
dalam mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut akan memberikan keadilan bagi pelaku yang
notabenenya adalah rakyat kecil dan juga kepastian hukum itu
tidak terlanggar dan memberikan kemanfaatan bagi kehidupan.
Seperti apa yang dikemukakan oleh Bambang Semedi, SH
dalam tulisannya Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian
Hukum, dia mengemukakan:
Kepastian hukum yang sering dijadikan alasan para
penegak hukum sebenarnya dapat kita lihat dari dua
sudut pandang, yakni dengan kepastian dalam hukum
itu sendiri dan kepastian karena hukum. Kepastian
dalam hukum dimaksudkan bahwa setiap norma
hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimatkalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran
yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku
patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek
banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana
ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum
yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang
sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbedabeda yang akibatnya akan membawa kepada
ketidakpastian hukum.
Sedangkan
kepastian
karena
hukum
dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah
adanya kepastian, misalnya hukum menentukan
adanya lembaga daluarsa, dengan lewat waktu
seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak.
9

Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi


seseorang
dengan
lembaga
daluarsa
akan
mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan
kehilangan sesuatu hak tertentu. Hukum tidak identik
dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan
dengan perundang-undangan, maka salah satu
akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada bidang
kehidupan yang belum diatur dalam perundangundangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh
perkembangan masyarakat.
(Semedi, Bambang,
2013:5)
Jadi, kepastian hukum jangan dijadikan alasan pembenar
untuk mengesampingkan rasa keadilan dalam hukum, karena
pada

dasarnya

manusia

mencari

keadilan

dalam

hukum

tersebut, bukan mencari kesengsaraan.

D. Simpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa


pelaksanaan ketiga unsur tersebut masih sangat sulit untuk
dilaksanakan secara bersamaan. Hal ini disebabkan oleh
paradigma aparatur penegak hukum masih dengan paradigma
lama yaitu semata-mata mengedepankan aspek kepastian
hukum dengan mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan.
Artinya aparatur penegak hukum terutama yang berhubungan
langsung dengan pengadilan, lebih memperhatikan peraturan
dan prosedur, sehingga keadilan menjadi terpinggirkan.
Aparatur penegak hukum khususnya hakim terpaku
dengan paradigma rule making yang hanya menerapkan
undang-undang semata. Kurang berani untuk menerapkan
paradigma rule breaking yaitu penerapan hukum yang
melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan terutama
kemanusiaan. Paradigma rule breaking ini sering disebut
penegakan hukum progresif. Aparatur penegak hukum belum
sepenuhnya memahami bahwa tujuan penegakan hukum yang
berkeadilan adalah hukum untuk terwujudnya kesejahteraan
dan kebahagiaan manusia. Dimana keadilan tersebut bukan
hanya keadilan formal tetapi keadilan substansial.
10

Memang untuk menselaraskan ketiga unsur hukum


tersebut sangatlah sulit dalam praktik kehidupan sehari-hari,
namun dengan keberanian, penegak hukum seharusnya dapat
mengambil dari ketiga unsur hukum tersebut, yakni kepastian,
keadilan dan kemanfaatan hukum, walaupun sedikit demi
sedikit. Seperti contoh hakim agung Artidjo Alkostar, beliau
telah diakui integritasnya oleh seluruh rakyat Indonesia bahwa
hukum itu haruslah mengandung ketiga unsur tersebut, seperti
ketika beliau memutus lebih berat kasasi dari terpidana kasus
korupsi Angelina Sondakh yang lebih berat daripada putusan
sebelumnya.
Untuk keadilan bagi rakyat kecil yang melakukan kasus
pencurian kecil yang kerugiannya tidak terlalu banyak,
seharusnya penegak hukum menawarkan perdamaian terlebih
dahulu dengan penggantian rugi yang harus dibayarkan oleh
pelaku kepada sang pemilik. Namun apabila tidak mungkin,
maka, opsi denda lebih dikedepankan daripada penjara yang
mana akan merampas kebebasan dari sang pelaku, yang
notabenenya mungkin adalah salah satu tulang punggung
keluarga dalam mencari nafkah.

(Daftar Pustaka)
Sumber buku:
Pratama, Muhammad Insan C, Kepastian Hukum dalam
Production
Sharing Contract, Universitas Islam Indonesia,
2009.
Rahardjo, Satjipto, Negara Hukum yang Membahagiakan
Rakyatnya,
Yogyakarta : Gentapress, 2008.
Sumber skripsi:
Wantu, M. Fance, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan
dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim di Peradilan
Perdata, Universitas Negeri Gorontalo.
Sumber artikel:
Semedi, Bambang, Penegakan Hukum Yang Menjamin
Kepastian Hukum,

11

Pusdiklat Bea Dan Cukai Edisi Desember 2013.

Sumber internet:
http://news.okezone.com/read/2009/11/20/340/277724/340/d
ituduh-curi-buah-kakao-3-biji-nenek-ditahan-rumah-3bulan (diakses pada 8 oktober 2014 pukul 0. 55 WIB)

12

Anda mungkin juga menyukai