Disusun oleh :
dr. Misbah Hari Cahyadi
DOKTER INTERNSHIP ANGKATAN XIII
PERIODE 16 APRIL 15 AGUSTUS 2014
PUSKESMAS DHARMA RINI KABUPATEN TEMANGGUNG
BAB I
PENDAHULUAN
Dengue adalah infeksi yang ditularkan oleh nyamuk dimana dalam dekade
terakhir menjadi masalah kesehatan publik secara internasional. Dengue
ditemukan di daerah tropik dan sub-tropik di seluruh dunia, secara predominan di
daerah urban dan semi-urban.
Penyakit Demam Berdarah Dengue, merupakan salah satu komplikasi potensial,
pertama kali ditemukan pada tahun 1950an dalam epidemi dengue di Filipina dan
Thailand. Pada hari ini, DBD ditemukan hampir di seluruh negara Asia dan telah
menjadi penyebab utama perawatan di rumah sakit dan kematian anak di daerah
tersebut. negara. Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun
1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang
(41,3%). Selanjutnya sejak saat itu penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung
menyebar ke seluruh tanah air Indonesia dan mencapai puncaknya pada tahun
1988 dengan insidens rate mencapai 13,45 % per 100.000 penduduk. Keadaan ini
erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan sejalan dengan
semakin lancarnya hubungan transpotasi. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai
resiko untuk terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue karena virus penyebab
clan nyamuk penularnya tersebar luas baik di rumah maupun tempat- tempat
umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut.
Pada saat ini seluruh propinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di
kota maupun desa terutama yang padat penduduknya dan arus transportasinya
lancar.
Menurut laporan Ditjen PPM clan PLP penyakit ini telah tersebar di 27 propinsi di
Indonesia. Dari 300 kabupaten di 27 propinsi pada tahun 1989 (awal Pelita V )
tercatat angka kejadian sebesar 6,9 % dan pada akhir Pelita V meningkat menjadi
9,2 %. Pada kurun waktu yang sama angka kematian tercatat sebesar 4,5 %.
Terdapat empat tipe virus yang berhubungan erat yang dapat menyebabkan
demam dengue. Penyembuhan dari infeksi akan memberikan kekebalan seumur
hidup terhadap tipe virus tersebut tetapi hanya proteksi sebagian dan sementara
untuk ketiga tipe lain virus pada infeksi selanjutnya. Terdapat bukti yang
menyatakan infeksi sekuensial meningkatkan resiko berkembangnya DBD.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat
jumlah penderita serta semakin luas penyebarannya. Bukti-bukti yang
dikumpulkan selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa penyakit ini
merupakan satu dari sepuluh penyebab utama angka kesakitan dan kematian pada
lebih 8 negara Asia. Berdasarkan jumlah kasus yang terjadi Indonesia menempati
urutan kedua setelah Thailand. Hal ini karena masih tersebarnya nyamuk Aedes
aegypti di seluruh pelosok tanah air, kecuali pada daerah dengan ketinggian lebih
dari 1000 meter di atas permukaan laut. DHF atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan suatu penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus
Dengue yang termasuk dalam golongan Arbovirus (Arthropod-borne virus), virus
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. PENGERTIAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu infeksi arbovirus akut yang masuk
ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk spesies aides. Penyakit ini sering
menyerang anak, remaja, dan dewasa yang ditandai dengan demam, nyeri otot dan
sendi. Demam Berdarah Dengue sering disebut pula Dengue Haemoragic Fever
( DHF ).
II.2. ETIOLOGI
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan
antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat
serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat.
Virus dengue ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk
aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan
vektor
yang
kurang
genangan Air bersih yang terdapat bejana bejana yang terdapat di dalam
rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang
lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih
alami lainnya (Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap
darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari.
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan
mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih
mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue
tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang
pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi
ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang
mendapat infeksi virus dengue huntuk pertama kalinya jika ia telah mendapat
imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui plasenta.
II.3. CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini,
namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat
mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam
waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali
kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina
dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya
dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan
berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan
virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu
masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas
sampai 5 hari setelah demam timbul.
II.4. EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD
yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain
seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit
DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi
yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor
nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara
lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun
waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam
jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang
pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan
200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat
dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27
per 100,000 penduduk.
II.5. PATOFISIOLOGI
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa
pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue
yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di samping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
Kematian
II.6. KLASIFIKASI
Menurut derajat ringannya penyakit, Dengue Haemoragic Fever (DHF) dibagi
menjadi 4 derajat (WHO, 1997) yaitu :
a. Derajat I : Demam dengan test rumple leed positif.
b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit atau
perdarahan lain.
c. Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun/ hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan
pasien menjadi gelisah.
d. Derajat IV : Syock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah
tidak dapat diukur.
II.7. TANDA DAN GEJALA
a. Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang
bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam.
Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)
kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus
pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan.
Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah
menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa
penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada
dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang
disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai
dengan perdarahan harus dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan
pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan
adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.
otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
mengeluh
nyeri
menelan
dengan
faring
hiperemis
ditemukan
pada
asites
atau
hipoproteinemi.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi
atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD.
Diagnosis Demam Berdarah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
A. Secara Laboratoris
1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue): Apabila ditemukan
demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri
kepala, nyeri belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi
perdarahan, leukopenia, uji HI 1.280 dan atau IgM anti dengue positif,
atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan
kasus confirmed dengue infection.
2. Confirmed DBD (Pasti DBD): Kasus dengan konfirmasi laboratorium
sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >4 kali
pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.
B. Secara Klinis
1. Kasus DBD
1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:
Uji tourniquet positif
Petekia, ekimosis, atau purpura
Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia <100.00/l.
4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
Peningkatan nilai hematrokrit 20 % dari nilai baku sesuai umur dan
jenis kelamin.
II.9. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan pasien Dengue Haemoragic Fever (DHF) bersifat
simtomatis dan suportif.
Dengue Haemoragic Fever (DHF) ringan tidak perlu dirawat, Dengue
Haemoragic Fever (DHF) sedang kadang kadang tidak memerlukan perawatan,
apabila orang tua dapat diikutsertakan dalam pengawasan penderita di rumah
dengan kewaspadaan terjadinya syok yaitu perburukan gejala klinik pada hari 3-7
Sakit
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue :
Panas 1-2 hari disertai dehidrasi ( karena panas, muntah, masukan kurang )
atau kejang-kejang.
Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet positif /
negatif, kesan sakit keras ( tidak mau bermain ), Hb dan PCV meningkat.
Panas disertai perdarahan.
Panas disertai renjatan
Laktat
Sampai saat ini belum terdapat vaksin yang tersedia secara komersial untuk
penyakit demam berdarah.
Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghilangkan atau
mengurangi vektor nyamuk demam berdarah. Hal ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara diantaranya dengan metode 3M yaitu :
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur sekurang-kurangnya
seminggu sekali atau menaburkan bubuk abate kedalamnya.
2. Menutup rapat-rapat tmpat penampungan air.
3. Mengubur/menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan seperti: kaleng-kaleng bekas, plastik dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadinegoro SRH, dkk. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue.
Jakarta : Departemen Kesehatan, 1999.
2. Hendarwanto. Dengue. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996 : 417 426.
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Infeksi. Dalam : Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997 : 549
655.
4. Soedarmo, SSP; Gama, Hery; Hadinegoro, SRH. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
(Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi I). Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UI, 2002 : 176 208.
5. Atmodjo, Djati, dkk. Pengenalan dan Penanggulangan Penyakit Infeksi. Semarang
: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1992.
6. Faizah A Siregar, dr. Epidemiologi dan pemberantasan demam berdarah dengue
(DBD) di Indonesia. 2004 Digitized by USU digital library.
7. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II.
Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
8. Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi kedua. Penerbit
FKUI. Jakarta.
9. Suharso Darto (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi. F.K. Universitas Airlangga.
Surabaya