Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN USAHA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM)

F.1. Promosi Kesehatan


DEMAM BERDARAH DENGUE

Disusun oleh :
dr. Misbah Hari Cahyadi
DOKTER INTERNSHIP ANGKATAN XIII
PERIODE 16 APRIL 15 AGUSTUS 2014
PUSKESMAS DHARMA RINI KABUPATEN TEMANGGUNG

BAB I
PENDAHULUAN
Dengue adalah infeksi yang ditularkan oleh nyamuk dimana dalam dekade
terakhir menjadi masalah kesehatan publik secara internasional. Dengue
ditemukan di daerah tropik dan sub-tropik di seluruh dunia, secara predominan di
daerah urban dan semi-urban.
Penyakit Demam Berdarah Dengue, merupakan salah satu komplikasi potensial,
pertama kali ditemukan pada tahun 1950an dalam epidemi dengue di Filipina dan
Thailand. Pada hari ini, DBD ditemukan hampir di seluruh negara Asia dan telah
menjadi penyebab utama perawatan di rumah sakit dan kematian anak di daerah
tersebut. negara. Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun
1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang
(41,3%). Selanjutnya sejak saat itu penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung
menyebar ke seluruh tanah air Indonesia dan mencapai puncaknya pada tahun
1988 dengan insidens rate mencapai 13,45 % per 100.000 penduduk. Keadaan ini
erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan sejalan dengan
semakin lancarnya hubungan transpotasi. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai
resiko untuk terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue karena virus penyebab
clan nyamuk penularnya tersebar luas baik di rumah maupun tempat- tempat
umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut.
Pada saat ini seluruh propinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di
kota maupun desa terutama yang padat penduduknya dan arus transportasinya
lancar.
Menurut laporan Ditjen PPM clan PLP penyakit ini telah tersebar di 27 propinsi di
Indonesia. Dari 300 kabupaten di 27 propinsi pada tahun 1989 (awal Pelita V )
tercatat angka kejadian sebesar 6,9 % dan pada akhir Pelita V meningkat menjadi
9,2 %. Pada kurun waktu yang sama angka kematian tercatat sebesar 4,5 %.
Terdapat empat tipe virus yang berhubungan erat yang dapat menyebabkan
demam dengue. Penyembuhan dari infeksi akan memberikan kekebalan seumur
hidup terhadap tipe virus tersebut tetapi hanya proteksi sebagian dan sementara

untuk ketiga tipe lain virus pada infeksi selanjutnya. Terdapat bukti yang
menyatakan infeksi sekuensial meningkatkan resiko berkembangnya DBD.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat
jumlah penderita serta semakin luas penyebarannya. Bukti-bukti yang
dikumpulkan selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa penyakit ini
merupakan satu dari sepuluh penyebab utama angka kesakitan dan kematian pada
lebih 8 negara Asia. Berdasarkan jumlah kasus yang terjadi Indonesia menempati
urutan kedua setelah Thailand. Hal ini karena masih tersebarnya nyamuk Aedes
aegypti di seluruh pelosok tanah air, kecuali pada daerah dengan ketinggian lebih
dari 1000 meter di atas permukaan laut. DHF atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan suatu penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus
Dengue yang termasuk dalam golongan Arbovirus (Arthropod-borne virus), virus
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. PENGERTIAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu infeksi arbovirus akut yang masuk
ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk spesies aides. Penyakit ini sering
menyerang anak, remaja, dan dewasa yang ditandai dengan demam, nyeri otot dan
sendi. Demam Berdarah Dengue sering disebut pula Dengue Haemoragic Fever
( DHF ).
II.2. ETIOLOGI
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan
antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat
serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat.
Virus dengue ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk
aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan
vektor

yang

kurang

berperan. Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes

Albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada


orang lainnya melalui gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor
penting di daerah

perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk


tersebut berperan dalam penularan. yamuk Aedes

berkembang biak pada

genangan Air bersih yang terdapat bejana bejana yang terdapat di dalam
rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang
lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih
alami lainnya (Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap
darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari.
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan
mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih
mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue
tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang
pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi
ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang
mendapat infeksi virus dengue huntuk pertama kalinya jika ia telah mendapat
imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui plasenta.
II.3. CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini,
namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat
mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam
waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali
kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina
dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya
dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan
berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan
virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu
masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.

Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas
sampai 5 hari setelah demam timbul.
II.4. EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD
yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain
seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit
DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi
yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor
nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara
lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun
waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam
jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang
pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan
200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat
dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27
per 100,000 penduduk.

Selama periode 1968 -1988 insidens demam berdarah dengue cenderung


meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1968 jumlah penderita demam
berdarah dengue yang dirawat ada 53 orang, meninggal 24 orang (41,3%). Jumlah
wilayah terjangkit 2 buah Dati II kemudian pada tahun 1988 jumlah kasusnya
meningkat menjadi 47.573 orang (insidens = 27,1 per 100.000 penduduk) dengan
kematian 1.527 orang (3,2%). Jumlah Dati II yang dilaporkan terjangkit adalah
201 Dati II.
Setelah terjadinya kejadian luar biasa demam berdarah dengue nasional pada
tahun 1988, kasus demam berdarah dengue di Indonesia menurun tajam. Hal ini
mungkin berkaitan dengan kebijaksanaan program demam berdarah dengue yang
dikembangkan selama satu dasawarsa terakhir. Insidens rate demam berdarah
dengue pada tahun 1989 (awal repelita V) turun menjadi 6,1 per 100.000
penduduk
kemudian pada tahun kedua dan ketiga mengalami peningkatan menjadi 12,73 dan
11,56 per 100.000 penduduk dan pada tahun 1993 (akhir repelita V) insidens rate
mengalami penurunan menjadi 9,2 per 100.000 penduduk. Kemudian pada tahun
1994 insidens rate demam berdarah meningkat kembali dari 9,4 menjadi 18,4 per
100.000 penduduk pada tahun 1995 dan 22,96 per 100.000 penduduk pada tahun
1996 wilayah Dati II terjangkit demam berdarah dengue bertambah luas yaitu dari
201 Dati pada tahun 1988 menjadi 211 Dati II pada tahun 1996.
Propinsi yang angka insidens demam berdarah denguenya cukup tinggi pada
tahun 1996 (> 10/100.000 penduduk) yaitu : Propinsi Sumatera Barat, Riau,
Jambi, Sumatra Selatan, DKI Jakarta, Jawa Baratm Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena
suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu
terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya
infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus
terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

II.5. PATOFISIOLOGI
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa
pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue
yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di samping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan

adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya


cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi
secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut
didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan
gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh
badan, hiperemi ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin
muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjarkelenjar getah
bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh
darah dibawah kulit. Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat
penyakit dan membedakan DF dan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding
kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi
system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini
berakibat berkurangnya volume plama, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Adanya kebocoran plasma ke daerah
ekstravaskuler ibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu
dalam rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi
sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan terjadi anoxia
jaringan, asidosis metabolic dan kematian. Sebab lain kematian pada DHF adalah
perdarahan hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit. Fungsi agregasi
trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti dengan
terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan system koagulasi

disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang tebukti


terganggu oleh aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada
DHF/ DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigenantibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Kematian

II.6. KLASIFIKASI
Menurut derajat ringannya penyakit, Dengue Haemoragic Fever (DHF) dibagi
menjadi 4 derajat (WHO, 1997) yaitu :
a. Derajat I : Demam dengan test rumple leed positif.
b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit atau
perdarahan lain.

c. Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun/ hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan
pasien menjadi gelisah.
d. Derajat IV : Syock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah
tidak dapat diukur.
II.7. TANDA DAN GEJALA
a. Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang
bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam.
Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari)
kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus
pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan.
Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah
menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa
penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada
dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang
disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai
dengan perdarahan harus dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD).
Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan
pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan
adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.

b. Demam Berdarah Dengue (DBD)


Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit.
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,
disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri

otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita
mengeluh

nyeri

menelan

dengan

faring

hiperemis

ditemukan

pada

pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga


nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi
dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau
pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan
tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya
ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih
jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase
demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4
cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan
dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering
ditemukan pada penderita dengan syok.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi
yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi
ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat
penderita dapat mengalami syok.
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila muncul hal di
bawah ini :

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari,


Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis, atau purpura
Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Pembesaran hati.
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut :

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin


Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya


Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura,

asites

atau

hipoproteinemi.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi
atau peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD.
Diagnosis Demam Berdarah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
A. Secara Laboratoris
1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue): Apabila ditemukan
demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri
kepala, nyeri belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi
perdarahan, leukopenia, uji HI 1.280 dan atau IgM anti dengue positif,
atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan
kasus confirmed dengue infection.
2. Confirmed DBD (Pasti DBD): Kasus dengan konfirmasi laboratorium
sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >4 kali
pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.
B. Secara Klinis
1. Kasus DBD
1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:
Uji tourniquet positif
Petekia, ekimosis, atau purpura
Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia <100.00/l.
4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
Peningkatan nilai hematrokrit 20 % dari nilai baku sesuai umur dan
jenis kelamin.

Penurunan nilai hematokrit 20 % setelah pemberian cairan yang


adekuat.
Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.
2. SSD
Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :
Nadi cepat, lemah, tekanan nadi <20 mmHg, perfusi perifer menurun.
Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah.
II.8. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan
pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/l biasa ditemukan pada hari
ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan
nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma
dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai
atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD,
kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi.
Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan
atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau
leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat
sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa
ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III.
PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi
trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan
pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura,
terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan beratringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat
ditemukan bilateral. Selain itu, perlu juga dilakukan pemeriksaan serologi untuk
mengetahui respon antibody sekunder.

II.9. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan pasien Dengue Haemoragic Fever (DHF) bersifat
simtomatis dan suportif.
Dengue Haemoragic Fever (DHF) ringan tidak perlu dirawat, Dengue
Haemoragic Fever (DHF) sedang kadang kadang tidak memerlukan perawatan,
apabila orang tua dapat diikutsertakan dalam pengawasan penderita di rumah
dengan kewaspadaan terjadinya syok yaitu perburukan gejala klinik pada hari 3-7
Sakit
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue :

Panas 1-2 hari disertai dehidrasi ( karena panas, muntah, masukan kurang )

atau kejang-kejang.
Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet positif /

negatif, kesan sakit keras ( tidak mau bermain ), Hb dan PCV meningkat.
Panas disertai perdarahan.
Panas disertai renjatan

Untuk DHF Grade I dan II


Hiperpireksia (suhu 40oC atau lebih) diatasi dengan antipiretika dan surface
cooling. Antipiretik yang dapat diberikan ialah golongan asetaminofen,
asetosal tidak boleh diberikan. Dosis yang dapat diberikan sebesar 10-15
mg/kgBB tiap kali, diberikan sebanyak 3-4 kali sehari.
Terapi cairan
1. Infus cairan ringer laktat dengan dosis 75 ml / kg BB / hari untuk anak
dengan BB < 10 kg atau 50 ml / kg BB / hari untuk anak dengan BB < 10 10
kg bersama sama di berikan minuman oralit, air susu secukupnya.
2. Untuk kasus yang menunjukan gejala dehidrasi disarankan minum
sebanyak banyaknya dan sesering mungkin.
3. Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus
yang harus diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita dalam
kurun waktu 24 jam yang diestimasikan sebagai berikut :
100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg
75 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 kg
60 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 kg
50 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 kg

Obat-obatan lain : antibiotika apabila ada infeksi lain, antipiretik untuk


anti panas, darah 15 cc/kgBB/hari perdarahan hebat.

2. Dengan Renjatan (Syok) ;


Grade III
1. Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi
teraba dengan frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan
dengan Ringer

Laktat

10 mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil

lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan


kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah
masuk dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk
mengatasi

renjatan ). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm

diperhitungkan sebagai berikut :


100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 Kg
75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat badan 26-30 Kg.
60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 Kg.
50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 Kg.
2. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan
tensi masih terukur kurang dari 80 mmHg dan andi cepat lemah, akral dingin
maka penderita tersebut memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L
atau yang lainnya) sebanyak 10 mL/ Kg BB/ 1 jam dan dapat diulang
maksimal 30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika keadaan umum
membai dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24 jam
dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi
renjatan.
3. Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 mL/Kg BB/ 1
jam keadaan tensi menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan
nadi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut harus memperoleh
plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/
1 jam. Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam.
II.10. PENCEGAHAN

Sampai saat ini belum terdapat vaksin yang tersedia secara komersial untuk
penyakit demam berdarah.
Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghilangkan atau
mengurangi vektor nyamuk demam berdarah. Hal ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara diantaranya dengan metode 3M yaitu :
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur sekurang-kurangnya
seminggu sekali atau menaburkan bubuk abate kedalamnya.
2. Menutup rapat-rapat tmpat penampungan air.
3. Mengubur/menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan seperti: kaleng-kaleng bekas, plastik dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hadinegoro SRH, dkk. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue.
Jakarta : Departemen Kesehatan, 1999.
2. Hendarwanto. Dengue. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996 : 417 426.
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Infeksi. Dalam : Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1997 : 549
655.
4. Soedarmo, SSP; Gama, Hery; Hadinegoro, SRH. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
(Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi I). Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UI, 2002 : 176 208.
5. Atmodjo, Djati, dkk. Pengenalan dan Penanggulangan Penyakit Infeksi. Semarang
: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1992.
6. Faizah A Siregar, dr. Epidemiologi dan pemberantasan demam berdarah dengue
(DBD) di Indonesia. 2004 Digitized by USU digital library.
7. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II.
Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
8. Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi kedua. Penerbit
FKUI. Jakarta.
9. Suharso Darto (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi. F.K. Universitas Airlangga.

Surabaya

Anda mungkin juga menyukai