PENDAHULUAN
karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas
keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020
mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang
ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang
harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk
mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja
Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat
Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat,
memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat
luas.
Jenis kecelakaan kerja sendiri banyak sekali, antara lain kecelakaan kerja industri,
kecelakaan kerja listrik, kecelakaan kerja lingkungan hidup dan sebagainya. Untuk
mengantisipasi kecelakaan kerja tersebut kita harus menerapkan K3 yang terkait dengan
kecelakaan tersebut. Salah satunya adalah K3 listrik untuk menghindari kecelakaan kerja
listrik.
1.4 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang K3 pada bidang
kelistrikan dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sertifikasi : Keselamatan dan
Kesehatan Kerja(K3).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah, pengertian dan tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
2.1.1 Sejarah Keselamatan dan Kesehatan Kerja(K3)
1. Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja sebenarnya jauh sebelum ulmu pengetahuan berkembang telah mulai
dikanal dan dibutuhkan oleh semua orang, terbukuti dengan adanya kebiasanaan dan sudah
menjadi budaya dibeberapa masyarakat.Bukti ini dapat ditemui sejak zaman dahulu hingga
sekarang masih ada sebahagian masyarakat yang mempercayainya, sebagai contoh dalam
pelaksanaan suatu kegiatan dalam mengharapkan keselamatan pada pembangunan atau
pembuatan suatu bangunan atau proyek, sebelum kegiatan tersebut dilakukan terlebih dahulu
diadakan seperti upara pemotongan hewan seperti kerbau, sapi, kambung . Hewan tersebut
dipotong dan kepalanya ditanam pada lokasi proyek tersebut, sedangkan daging dimassak dan
dimakan bersama sekelaigus upara do.a selamatan.
Budaya dipulau Jawa misalnya dapat dijumpai adanya pemotongan nasi tumpen,. melakukan
persembahan dilaut dan lain sebagainya ini tidak lain untuk maksud mengharapakan
keselamatan dalam melakukan kegiatan, pembangunan rumah tempat tinggal misalnya juga
ada suatu upacara seperti sebelum kuda-kuda rumah dipasang atau sebelum pemasangan atap
dilakukang pemotongan ayam warna hitam, menggantungkan berupa bibit kelapa, pisang,
tebu, memasang bendera, kain warna warni dan mungkin banyak lagi upacara-upacara yang
dilakukan masyarakat untuk keselamatan, baik keselamatan para pekerja yang melakukan
pembangunan tersebut maupun keselamatan pemilik bangunan tersebut.
Kira-kira 180 tahun yang lalu (1829) permulaan revolusi dalam tahnik perlindungan yang
dimulai dengan membuat produksi mekanis dalam ukuran besar dengan pabrik-pabrik
sebagai unit produksi. Dalam revolusi tehnik perlindungan tersebut merupakan pangkal
terjadinya kecelakaan dengan jumlah yang besar.
Munculnya revolusi industri di Inggris berjalan sebagai orang yang memperoleh kemenangan
tanpa adanya belas kasihan, sehingga menimbulkan akibat-akibat yang mengerikan serta
menyebar luasnya rasa takut. Hal ini menghendaki adanya pembaharuan-pembaharuan dan
penyempurnaan dalam tehnologi.
Kemudian gerakan pembaharuan dan penyempurnaan tehnologi itu dilakukan oleh orangorang yang merasa bertanggung jawab moral terhadap perbaikan untuk kepentingan
sesamanya dengan memperhatikan usaha pencegahan kecelakaan.
Tujuan dari perubahan-perubahan dan penyempurnaan ini adalah untuk meyakinkan
pemerintah agar melindungi pekerja-pekerja pabrik (termasuk pekerja anak-anak) yang sering
kali hidup dan bekerja dengan rasa takut terhadap bahaya. Dengan usaha perlindungan
tersebut dinilai akan dapat menurunkan tingkat kecelakaan.
Pada abad ke 18 ini, sebagai hasil penemuan-penemuan baru yang menarik perhatian antara
lain terciptanya mesin seperti mesin-mesin tenun pintal, menyebabkan industri tekstil
berkembang pesat. Timbullah permintaan akan mendapatkan tenaga kerja dengan upah yang
rendah dan sesuai dengan keperluan industri. Untuk itu pada umumnya dipekerjakan tenaga
kerja anak dibawah umur dari kalangan keluarga miskin, mereka bekerja secara sembunyisembunyi dan tidak diberikan jaminan perlindungan. Mereka bekerja dengan tidak disediakan
seperti sarana, sanitasi yang tidak memenuhi syarat dan bahkan mereka bekerja antara 14 atau
15 jam sehari. Lebih-lebih lagi setelah adanya peningkata akan kebutuhan tenaga kerja
dibarengi dengan kecepatan perkembangan mekanisasi yang mengakibatkan pabrik dan
industri lebih berbahaya lagi.
Perkembanagan usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia belum begitu
banyak dikenal oleh masyarakat. Memang disadari bahwa Indonesia sebagai salah satu
negara yang baru berkembang belum mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan
kegiatan secara luas dibidang keselamatan dan kesehatan kerja seperti di beberapa negara
telah maju. Namun demikian kegiatan tersebut di Indonesia sebenarnya telah dimulai dari
sebelum perang dunia pertama pada saat itu Indonesia masih dibawah jajahan Belanda,
masalah keselamatan kerja telah dilaksanakan oleh Pemerintahan Hindia Belanda..
Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan
program-program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki.
Gagasan untuk usaha Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah dimulai pada kira-kira tahun
1847, sejalan dengan dimulainya pemakaian mesin-mesin uap untuk keperluan industri di
Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda. Usaha tersebut pada dasarnya bukanlah ditujukan
untk perlindungan tenaga kerja, tetapi hanya ditujukan terhadap pengawasan pemakaian
pesawat-pesawat uap yang pada waktu itu baru dikenal. Orang baru menyadari pada waktu
itu akibat-akibat aoa yang mungkin terjadi dengan pemakaian pesawat-pesawat uap tersebut.
Sesuai dengan pesatnya pertumbuhan pabrik-pabrik yang menggunakan ketel-ketel uap,
Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 28 Pebruari 1852 dengan Staatsblad Nomor 20
mengeluarkan peraturan tentang penjagaan keselamatan kerja pada pemakaian pesawatpesawat uap. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan ini diserahkan kepadainstansi yang
dibentuk dalam waktu yang bersamaan yaitu instansi Diens van het stoomwezen
Dengan adanya Dinas Stoomwezen ini, maka untuk pertama sekali di Indonesia, Pemerintah
secara nyata mengadakan usaha perlindungan tenaga kerja darai bahaya kecelakaan kerja,
walaupun baru sebatas pada para operator atau pelayan pesawat-pesawat uap saja,
perlindungan itu belumlah dianggap penting. Hal ini sangat dimengerti karena pada waktu itu
perlindungan tenaga kerja hanya ditujukan terhadap tenaga kerja terdiri dari orang-orang
yang dijajah dan belum dianggap sebagai suatu kepentingan masyarakat oleh pihak
pemerintah yang menjajah.
Pada tahun 1888 karena pengawasan atas kereta api swasta sangat dibuthkan, maka Dinas
Stoomwezen itu digabungkan dengan Dinas Kereta Api Pemerintah yang pada waktu itu
dinamakan Staats Spoorwagen. Penggabungan ini ternyata tidak dapat berjalan baik, karena
para insinyur harus bekerja untuk dua instansi yaitu untuk Dinas Kereta Api dan Dinas
Stoomwezen, sehingga mereka tidak dapat menangani masalah yang timbul pada kedua
instansi tersebut secara bersamaan, sehingga hal ini banyak membuat kesukaran. Oleh sebab
itu pada tahun 1909 didirikan Dinas Stoomwezen sebagai dinas sendiri mempunyai
perwakilan di Belanda.
Untuk membantu kelancaran tugas pengawasan ketel-ketel uap, dirasakan perlu pada waktu
itu adanya suatu unit penyelidikan bahan-bahan dan didirikan pula satu unit Laboratorium
Penyelidikan Bahan yang merupakan bagian dari Dinas Stoomwezen, untuk keperluan
pendidikan kira-kira tahun 1912 Laboratorium tersebut diserahkan kepada Sekolah Tehnik
Tinggi di Bandung dan sekarang menjadi bagian dari Kementrian Perindustrian dengan nama
Balai Penelitian Bahan-bahan.
Pada akhir abad ke 19 pemakaian pesawat-pesawat berjalan sangat pesat dan disusul pula
pemakaian mesin-mesin diesel, listrik di pabrik-pabrik dan industri, akan menimbulkan pula
bahaya baru bagi pada tenaga kerja dan banyak terjadi kecelakaan kerja pada waktu itu. Pada
tahn 1901 Pemerintah mulai memikirkan perlunya memperluas usaha pencegahan kecelakaan
kerja.
Pada tahun 1905 sebagai kelanjutan usaha ini dengan Staatsblad Nomor 521 oleh Pemerintah
mengelarkan suatu Peraturan tentang Keselamatan Kerja dengan nama Veiligheids
Reglement sering disingkat V.R kemudian diperbaharui pada Tahun 1910 dengan Staatsblad
Nomor 406 yaitu Pengawasan terhadap Pelaksanaan peraturan ini diserahkan tanggung
jawabnya kepada Dinas Stoomwezen.
Sesudah Perang Dunia I proses mekanisasi dan elektrifikasi berjalan lebih pesat sekali.
Mesin-mesin Diesel dan listrik mulai memegang peranan, jumlah kecelakan yang terjadi
semakin meningkat, sehingga pengawasan terhadap pabrik-pabrik dan bengkel harus lebih
ditingkatkan lagi. Pada Tahun 1925 nama Dienst Van Het Stoomwezen diganti dengan nama
yaitu Dienst Van Het Veiligheids Toezicht disingkat V.T ( Pengawasan Keselamatan
Kerja) untuk lebih mempunyai kewibawaan dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan agar
lebih sesuai dengan tugas perlindungan tenaga kerja, maka Dinas V.T masuk kedalam bagian
Kantor Perburuhan dibawah Departemen Van Justitie (sekarang Kementerian Hukum dan
Hak Azasi Manusia).
Perkembangan perlindungan atas Keselamatan Kerja terus meningkat seiring dengan
perkembangan penggunaan Ketel-ketel uap dengan type dan jenis bermacam-macam dan
mempunyai tekanan yang semakin tinggi, sehingga pengawasan harus ditingkatkan lagi. Pada
Tahun 1930 Pemerintah mengeluarkan Stoomordonantie dan Stoomverordening dengan
Staatsblad Nomor 225 dan Staatsblad Nomor 339 sampai sekarang peraturan ini masih tetap
berlaku dan belum ada pengganti ataupun belum dicabut keberlakuannya.
Pada Tahun 1970 Peraturan Keselamatan Kerja yang lama yaitu Veilegheids Reglement 1910
diganti dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Republik Indonesia dengan
Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970.
Undang-Undang Keselamatan Kerja ini sangat berbeda dengan VR 1910 yang bersifat
pengawasan represif polisionil, sedangkan UU Nomor 1 Tahun 1870 bersifat Pengawasan
Preventif, edukatif dan represif pro justisia, Undang-Undang ini berlaku terhadap semua
tempat kerja, bukan hanya pabrik dan perbengkelan saja, yaitu disemua tempat kerja yang
mempunyai sumber-sumber bahaya, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam
air maupun di udara yang berada dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.
Didalam Undang-Undang Nomor 1 than 1970 telah mengamanatkan bahwa pengawasan
terhadap keselamatan kerja ini telah jelas diserahkan tanggung jawabnya kepada pemerintah
dan secara operasionalnya berada dibawah tanggung jawab pegawai pengawas keselamatan
kerja.
Sejak pemerintahan orde baru hingga saat ini pengawasan keselamatan kerja ini berada dalam
Direktorat Pembinaan Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja & Hyperkes dibawah
Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan pada kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi. Unit kerja pengawasan keselamatan kerja ditingkat Provinsi,
Kabupaten dan Kota pada saat ini berada pada seksi pembinaan Keselamatan kerja setingkat
esselon IV.
2. HIPERKES
Berangkat dari buku yang berjudul De Morbis Articum Diatriba yang ditulis oleh
Barnardin Ramazzini (1633-1714) yaitu dapat jugalah disebut sebagai Bapak Kesehatan
Kerja dan Higene Persahaan. Didalam bukunya itu diuraikan tentang berbagai-bagai penyakit
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja, dialah yang telah membuat semakin
jelasnya persoalan, bahwa pekerjaan dapat menimbulkan penyakit, yaitu penyakit akibat
kerja, dia jugalah yang menambahkan cara diagnosa Hippocrates dengan satu hal, meminta
sisakit untuk menceritakan apa pekerjaannya.
Di Indonesia sebenarnya sangat sulit menentukan sejak kapan dimulainya Hiperkes ini,
berkembangnya dan adanya Hiperkes ini bermula dengan adanya pekerjaan dalam hubungan
keja dan hubungan pengupahan atau penggajian.
Kapan dimulainya ada pekerjaan atas dasar pengupahan atau penggajian itu tidaklah dapat
diketahui mulainya. Namun dapatlah dianggap mulai adanya tentara pada zaman dahulu,
permulaan adanya pekerjaan dengan sistim adanya upah atau gaji yang diterima oleh tentara
itu dan peperangan dapat pulalah dianggap pekerjaan yang menimbulkan korban-korban atau
kecelakaan-kecelakaan akibat perang tersebut, Oleh sebab itu Hiperkes mulai berlembaga
pada waktu itu. Selain dari itu pekerjaan atas dasar paksaan atau kerja paksa dan hukuman
juga menjadi sebab berkembangnya Hiperkes.
Pekerja-pekerja yang melakukan pekerjaan didalam tambang pada waktu itu adalah para
tawanan perang dan pesakitan, yang akhirnya mereka meninggal oleh karena melakukan
pekerjaan itu sendiri.
Bapak ilmu kedokteran terkenal yaitu Hippocrates rupanya pada saat itu belum menaruh
perhatian, ini dapat dibuktikan dari buku-bukunya, sebab mendasarkan teorinya kepada
keseimbangan makanan dan latihan (exercise), tetapi latihan yang dimaksudkannya sama
sekali tidak ditujukan kepada pekerja, begitu pula Hippocrates tidak memperhatikan pula
penyakit kaum pekerja.
Kira-kira abad ke 16 baru adanya gambaran tentang penyakit-penyakit akibat kerja tambang
dan pekerja-pekerja lainnya menurut Agricola dan Paracelcus.
Agricola dengan bukunya De Re Metalica (1556) sedangkan Paracelcus menulis dalam
bukunya Von der Bergscht und Anderen Bergkrankheiten (1569), keduanya menulis dan
menggambarkan pekerjaan-pekerjaan dalam tambang, cara mengolah biji tambang dan
penyakit-penyakit yang diderita oleh para pekerja, bukan itu saja akan tetapi mereka telah
mempelopori dengan gagasan bagaimana pencegahan terhadap timbulnya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja, dengan menganjurkan untuk membuat ventilasi, pemakaian tutup muka
dengan daun-daunan pada saat pekerja melakukan pengecatan sebagai alat pelindung diri
(APD), Paracelcus menguraikan dengan panjang lebar tentang bahan-bahan kimia, sehingga
dia dapat dianggap telah memulai toksikologi moderen. namun orang yang disebut sebagai
Bapak Hiperkes sebenarnya adalah Bernardine Ramazzini (1633-1714) dengan anjuranya
10
pula yang sangat penting, mustahil belaka mendiagnosa penyakit akibat kerja tanpa
mengetahui jenis pekerjaan sisakit.
Perkembangan Hiperkes di Indonesia sejak zaman penjajahan hanya ditujukan untuk
memberikan kesehatan sekedarnya saja kepada para pekerja-pekerja agar mereka cukup sehat
sehingga mampu untuk memproduksi bahan-bahan yang diperlukan oleh negara penjajah
seperti Belanda, cara pengorganisasinya pun sangat sederhana tanpa adanya aturan-aturan
yang jelas. Baru pabad 20 mulai dibuat aturan mengenai kebersihan, keselamatan, kesehatan
yang sangat sederhana sekali sesuai dengan keperluan pada saat itu. Pada zaman penjajahan
Jepang sama sekali Hiperkes tidak ada perkembangan dan begitu juga tidak ada dorongan
kearah itu.
Perkembangan Hiperkes sesungguhnya baru dimulai setelah Indonesia merdeka dengan
adanya Undang-Undang Kecelakaan Kerja Nomor 2 Tahun 1947 dan Undang-Undang Kerja
Nomor 12 Tahun 1948 yang dirobah menjadi undang-undang Kerja Nomor 1 Tahun 1951
telah memuat pokok-pokok yang berkaitan dengan kesehatan dan hygiene persahaan yang
dilaksanakan oleh Departemn Perburuhan waktu itu.
Dengan didirikannya Lembaga Kesehatan Buruh pada tahun 1957 yang hanya berfungsi
sebagai penasehat dan alat untuk meningkatkan mutu ilmiah kesehatan. Pada tahun 1965
lembaga ini dirubah menjadi Lembaga Keselamatan dan Kesehatan Buruh dengan fungsinya
adalah : 1) pusat pendidikan yang ditujukan kepada calon-calon dokter atau dokter yang akan
bekerja diperusahaan, pengawas-pengawas perburuhan, 2) untuk memberikan jasa dan
nasehat kepada buruh/pekerja, 3) pusat riset dan penelitian untuk meningkatkan mutu
keilmuan kesehatan dan keselamatan kerja, 4) pusat publikasi, baik majalah maupun bukubuku pedoman tentang keselamatan dan kesehatan kerja dan 5) penghubung dan kerjasama
internasional dalam keselamatan dan kesehatan kerja.
11
Tahun 1966 pada saat Kabinet Ampera dibentuklah secara resmi Lembaga Higiene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja dibawah Departemen Tenaga Kerja dan terakhir dirobah
menjadi Pusat Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja hingga saat ini untuk tingkat pusat,
sedangkan untuk tingkat daerah Provisi ada Balai Hiperkes.
2.1.2 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Menurut Mangkunegara (2002, p.163) Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu
pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun
rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya
untuk menuju masyarakat adil dan makmur.
Menurut Sumamur (2001, p.104), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk
menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari
resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi
bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja .
Mathis dan Jackson (2002, p. 245), menyatakan bahwa Keselamatan adalah merujuk pada
perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait dengan
pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi
secara umum.
Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000, p.6), mengartikan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman
baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar
pabrik atau tempat kerja tersebut.
12
Jackson (1999, p. 222), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan
kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh
lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.
2.1.3 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Tujuan Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja :
Secara umum, kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat diduga.
Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa keselamatan kerja, atau
perbuatan yang tidak selamat. Kecelakaan kerja dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan
atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Berdasarkan definisi
kecelakaan kerja maka lahirlah keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatakan bahwa
cara menanggulangi kecelakaan kerja adalah dengan meniadakan unsur penyebab kecelakaan
dan atau mengadakan pengawasan yang ketat. (Silalahi, 1995)
Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan
yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu mengungkapkan sebab-akibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian
secara cermat dilakukan atau tidak.
Menurut Mangkunegara (2002) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah
sebagai berikut:
a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik,
sosial, dan psikologis.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin.
c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
13
kerja.
g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
14
yang ditentukan, lingkungan yang dapat membuat stress emosi atau gangguan fisik
(Mangkunegara, 2000:161).
2.2.2 Penyebab Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja bersifat tidak menguntungkan, tidak dapat diramal, tidak dapat
dihindari sehingga tidak dapat diantisipasi dan interaksinya tidak disengaja. Berdasarkan
penyebabnya, terjadinya kecelakaan kerja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu langsung
dan tidak langsung. Adapun sebab kecelakaan tidak langsung terdiri dari faktor
lingkungan(zat kimia yang tidak aman, kondisi fisik dan mekanik) dan faktor manusia (lebih
dari 80%).
Pada umumnya kecelakaan terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pelatihan, kurangnya
pengawasan, kompleksitas dan keanekaragaman ukuran organisasi, yang kesemuanya
mempengaruhi kinerja keselamatan di tempat kerja. Para pekerja akan tertekan dalam
bekerja apabila waktu yang disediakan untuk merencanakan, melaksanakan dan
menyelesaikan pekerjaan terbatas. Manusia dan beban kerja serta faktor-faktor dalam
lingkungan kerja merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang disebut roda
keseimbangan dinamis.
Terjadinya kecelakaan kerja di bengkel listrik yang diakibatkan oleh faktor manusia,
diakibatkan antara lain dari faktor heriditas (keturunan), misalnya keras kepala,
pengetahuan lingkungan jelek. Di samping itu, kecelakaan dapat diakibatkan oleh
kesalahan manusia itu sendiri. Misalnya kurangnya pendidikan, angkuh, cacat fisik atau
mental. Karena sifat di atas ,timbul kecendrungan kesalahan dalam kerja yang akhirnya
mengakibatkan kecelakaan.
Perbuatan salah karena kondisi bahaya (tak aman), bisa diakibatkan oleh beberapa hal,
misalnya secara fisik mekanik meninggalkan alat
15
pengaman, pencahayaan tidak memadai, mesin sudah tua, dan mesin tak ada pelindungnya.
Ditinjau dari faktor fisik manusia, misalnya dari ketidak seimbangan fisik /kemampuan fisik
tenaga kerja,, misalnya : tidak sesuai berat badan , kekuatan dan jangkauan, Posisi tubuh
yang menyebabkan lebih lemah, kepekaan tubuh, kepekaan panca indra terhadap bunyi,
cacat fisik, cacat sementara.
Di samping itu kecelakaan bisa terjadi diakibatkan oleh ketidak seimbangan kemampuan
psikologis pekerja. Misalnya adanya rasa takut / phobia, karena gangguan emosional, sakit
jiwa, tingkat kecakapan, tidak mampu memahami, gerakannya lamban, keterampilan kurang.
Kecelakaan juga bisa terjadi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan tentang tidakan K3,
misalnya : kurang pengalaaman, kurang orientasi, kurang latihan memahami tombol
tombol (petunjuk lain), kurang latihan memahami data, salah pengertian terhadap suatu
perintah.
Kecelakaan yang diakibatkan oleh kurangnya skill atau keterampilan kerja, misalnya :
kurang mengadakan latihan praktik, penampilan kurang, kurang kreatif, salah pengertian.
Kemudia hal lian yang sering terjadi akibat ada gangguan mental, misalnya emosi
berlebihan, beban mental berlebihan, pendiam dan tertutup, problem dengan suatu yang
tidak dipahami, frustasi dan sakit mental.
(tidak sehat badan), beban tugas berlebihan, kurang istirahat, kelelahan sensori, kekurangan
oksigen, gerakan terganggu, gula darah menurun.
2.2.3 Akibat / dampak kecelakaan kerja
Dalam kecelakaan kerja, dampak terbesar dialami oleh korban atau pelaku praktek kerja.
Kerugian paling fatal bagi korban adalah jika kecelakaan itu sampai mengakibatkan ia
sampai cacat tetap atau bahkan meninggal dunia. Akibat atau dampak lain dari terjadinya
kecelakaan adalah dapat merugikan secara finansial, baik langsung maupun tak langsung.
16
Misalnya saja merugikan terhadap investasi atau modal kerja, peralatan, bahan baku, dan
lingkungan kerja setempat.
2.2.3 Pencegahan Kecelakaan Kerja
Untuk mencegah kecelakaan kerja sangatlah penting diperhatikannya Keselamatan
Kerja. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan peralatan, tempat
kerja, lingkungan kerja,serta tata cara dalam melakukan pekerjaan yang bertujuan untuk
menjamin keadaan, keutuhan dan kesempurnaan,baik jasmaniah maupun rohaniah
manusia,yang tertuju pada kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan pekerja pada
khususnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja pada hakekatnya adalah usaha
manusia dalam melindungi hidupnya dan yang berhubungan dengan itu,dengan melakukan
tindakan preventif dan pengamanan terhadap terjadinya kecelakaan kerja ketika kita sedang
bekerja.
Kita harus melaksanakan keselamatan kerja ,karena dimana saja,kapan saja, dan siapa
saja manusia normal,tidak menginginkan terjadinya kecelakaan terhadap dirinya yang dapat
berakibat fatal.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada dasarnya usaha untuk memberikan perlindungan
keselamatan kerja pada pekerja atau karyawan dapat dilakukan dengan dua cara:
(Soeprihanto,1996:48) yaitu: Pertama, melalui usaha preventif atau mencegah. Preventif
atau mencegah berarti mengendalikan atau menghambat sumber-sumber bahaya yang
terdapat di tempat kerja sehingga dapat mengurangi atau tidak menimbulkan bahaya bagi
para karyawan. Adapun langkah-langkah pencegahan itu dapat dibedakan, yaitu :
17
Kedua, usaha represif atau kuratif. Artinya, kegiatan untuk mengatasi kejadian atau
kecelakaan yang disebabkan oleh sumber-sumber bahaya yang terdapat ditempat kerja. Pada
saat terjadi kecelakaan atau kejadian lainnya sangat dirasakan arti pentingnya persiapan
baik fisik maupun mental para karyawan sebagai suatu kesatuan atau team kerja sama
dalam rangka mengatasi dan menghadapinya. Selain itu terutama persiapan alat atau
sarana lainnya yang secara langsung didukung oleh pimpinan bengkel.
2.2.4 Macam dan Jenis Kecelakaan Kerja
Hal yang harus diwaspadai adanya kecelakaan di bengkel listrik antara lain akibat adanya
kebakaran . Jika terjadi kebakaran, api berkobar, segera periksa kejadian yang memberi
kesempatan yang terbaik dari jalan keluarnya yang cepat, mengurangi bahaya hidup,dan
menjaga kerusakan seminimum mungkin. Jika terjadi kebakaran,ingatlah beberapa langkah
penyelamatan : (1) umumkan tanda bahaya kebakaran segera, (2) beritahukan pasukan
pemadam kebakaran, (3) padamkan api dengan peralatan yang tersedia, (4) ungsikan
peralatan jika perlu, (5) beritahukan setiap orang untuk mendapatkan penjelasan cara
mengatasinya bisa dengan menggunakan air, api, pemadam kebakaran berisi CO2.
Kecelakaan lain yang mungkin terjadi di bengkel listrik oleh adanya gangguan arus listrik.
Arus listrik selalu dapat dialirkan kesegala arah melalui benda benda yang konduktif,
misalnya logam dan zat cair.Aliran tersebut tidak dapat kita lihat seperti halnya air yang
mengalir sehingga hal ini sangat berbahaya dan bisa mematikan.
Setiap peralatan yang menggunakan aliran listrik sangat perlu dilengkapi dengan
perlengkapan yang berguna jika terjadi kebocoran arus listrik tidak mengalir ke orang
melainkan langsung ke bumi.
18
Tempat yang beraliran listrik harus kering dan tidak menghantarkan listrik, tangan yang
basah dan berkeringat dapat dengan mudah terkena aliran listrik bila menggunakan jenis
peralatan yang bocor.
Berilah tanda bahaya pada aliran listrik yang berbahaya, misal di beri pagar atau tanda
peringatan
Gunakan bahan- bahan yang tidak menghantarkan aliran listrik seperti sarung karet,
sepatu karet, landasan atau peralatan
Keringkan tangan sebelum menggunakan peralatan yang beraliran listrik
2.2.5 Tindakan Penyelamatan
Matikan tombol utama atau pisahkan si penderita dengan bantuan sebatang kayu panjang
yang kering, jika si penderita pingsan
lakukan tindakan penyelamatan berikutnya. Seandainya pernafasan berhenti,maka
bersihkan sesuatu yang merintangi mulut.
2.2.6 Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K)
Letak ruang Pertolongan Pertama (P3K) harus pada tempat yang strategis, di dekat bengkel
atau laboratorium.Ruang ini harus diberi tanda yang jelas dan setiap pengawas, instruktur,
dan pekerja harus mengetahui jalan tercepat menuju ketempat tersebut.
Kotak P3K harus berisi segala peralatan yang penting seperti : kain
pembalut dan obat obatan, supaya tindakan pertolongan pertama berjalan efektif.
Persediaan obat harus selalu diperbaharui secara teratur dan di cek tanggal berlakunya obat
apakah masih aktif dan efektif. Obat yang kadaluwarsa segera diganti yang baru. Kain
penbalut harus mudah dibuka dan siap pakai. Plester dalam berbagai bentk dan ukuran dapat
dipakai dengan cepat untuk mengatasi luka ringan.
Ada tiga hal yang terpenting bila hendak menolong seorang yang mengalami kecelakaan
berat, yakni berikut ini: (1) Jalan pernapasan, periksalah apakah jalan pernapasan
19
tersumbat lidah atau benda- benda asing lainnya. (2) Pernapasan,periksalah apakah orang itu
bernafas, bila tidak usahakanlah diberikan
periksalah apakah terdapat denyut jantung pada penderita, bila tidak, berilah pertolongan
peredaran darah buatan, selama melakukan hal ini periksalah apakah ada pendarahan.
Untuk mencegah gangguan daya kerja, ada beberapa usaha yang dapat
dilakukan agar para buruh tetap produktif dan mendapatkan jaminan perlindungan
keselamatan kerja, yaitu:
Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja (calon pekerja) untuk mengetahui apakah
calon pekerja tersebut serasi dengan pekerjaan barunya, baik secara fisik maupun mental.
Pemeriksaan kesehatan berkala/ulangan, yaitu untuk mengevaluasi apakah faktor-faktor
penyebab itu telah menimbulkan gangguan pada pekerja
Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kerja diberikan kepada para buruh secara
kontinu agar mereka tetap waspada dalam menjalankan pekerjaannya.
Pemberian informasi tentang peraturan-peraturan yang berlaku di
tempat kerja sebelum mereka memulai tugasnya, tujuannya agar mereka mentaatinya.
Penggunaan pakaian pelindung
Isolasi terhadap operasi atau proses yang membahayakan, misalnya proses pencampuran
bahan kimia berbahaya, dan pengoperasian mesin yang sangat bising.
Pengaturan ventilasi setempat/lokal, agar bahan-bahan/gas sisa dapat dihisap dan dialirkan
keluar.
Substitusi bahan yang lebih berbahaya dengan bahan yang kurang
berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.
Pengadaan ventilasi umum untuk mengalirkan udara ke dalam ruang kerja sesuai dengan
kebutuhan.
20
21
banyaknya. Berikan juga minum kopi panas atau brendi. Jika si sakit telah pingsan jangan
dicoba memakssa ia muntah tunggu saja sampai dokter datang.
22
4. Instalasi harus terdiri dari paling sedikit dua golongan. Terkecuali jika instalasi tersebut
tidak lebih dari 6 titik hubung. Tiap golongan tidak lebih dari 12 titik hubung, untuk
pemasangan yang baru tidak lebih dari 10 titik. Ketentuan di atas tidak berlaku untuk
penerangan reklame, pesta dan yang bersifat istimewa seperti pada toko.
5. Setiap golongan penerangan, pembagian arusnya harus sama rata pada bagian fasenya.
Instalasi Rumah Tinggal
Untuk pemasangan suatu instalasi listrik lebih dahulu harus dibuat gambar-gambar
rencananya berdasarkan denah bangunan, dimana instalasinya akan dipasang jika
spesifikasinya dan syarat-syarat pekerjaan yang diterima dari pihak bangunan / pemesan.
Harus diperhatikan spesifikasi dan syarat pekerjaan ini menguraikan syarat yang harus
dipenuhi pihak pemborong, antara lain mengenai pelaksanaannya material yang digunakan,
waktu penyerahannya dan sebagainya.
Gambar-gambarnya harus jelas, mudah dibaca dan dimengerti. Gambar denah bangunannya
biasanya disederhanakan. Dinding-dindingnya digambar dengan garis tunggal agar tipis,
saluran-saluran listriknya karena lebih penting maka digambar lebih tebal. Supaya gambarnya
rapi harus dipilih tebal garis yang tepat.
Menurut ayat 401B3, gambar-gambar yang diperlukan yaitu :
Gambar situasi, untuk menyatakan letak bangunan dimana sintalasinya akan dipasang, serta
rencana penyambungan dengan jaringan PLN.
A) Gambar Instalasinya meliputi :
- Rencana penempatan semua peralatan listrik yang akan dipasang dan sarana peralatan,
misalnya titik lampu, sakelar, kontak-kontak, perlengkapan hubung bagi.
23
- Rencana penyambungan peralatan listrik dengan alat pelayanannya misalnya antara lampu
dengan sakelarnya, motor dan pengasutnya dan sebagainya.
- Hubungan antara peralatan listrik dan sarana pelayanannya dengan perlengkapan hubung
bagi yang bersangkutan.
- Data teknis penting dari setiap peralatan listrik yang akan dipasang
24
25
26
1. Setiap pemasangan listrik harus mendapat ijin dari instansi yang berwenang, umumnya
dari cabang PLN setempat.
2. Penaggung jawab pekerjaan instalasi harus seorang yang ahli berilmu pengetahuan dalam
pekerjaan instalasi listrik danmemiliki ijin dari instansi yang berwenang.
3. Pekerjaan pemasangan instalasi listrik harus diawasi oleh seorang pengawas yang ahli dan
berpengetahuan tentang listrik, menguasai pengaturan perlistrikan, berpengalaman dlaam
pemasangan instalasi listrik dan bertanggung jawab atas keselamatan para pekerjanya.
4. Pekerjaan pemasangan instalasi listrik harus dilaksanakan oleh orang-orang yang
berpengalaman tentang listrik.
5. Pemasangan instalasi listrik yang selesai dikerjakan harus dilaporkan secara tertulis kepada
bagan pemeriksa (umumnya PLN setempat) untuk diperiksa dan diuji.
6. Setelah dinyatakan baik secara tertulis oleh bagan pemeriksa dan sebelum diserahkan
kepada pemilik, instalasinya harus dicoba dengan tegangan dan arus kerja penuh selama
waktu yang cukup lama, semua peralatan yang dipasang harus dicoba.
7. Perencana suatu instalasi listrik bertanggung jawab atas rencana yang telah dibuatnya.
8. Pelaksana pekerjaan instalasi listrik bertanggung jawab atas pekerjaannya selama batas
waktu tertentu. Jika terjadi suatu kecelakaan karena kesalahan pemasangan ia bertanggung
jawab atas kecelakaan tersebut.
Pemeriksaan dan pengujian instalasi listrik meliputi :
1. Tanda-tanda.
2. Peralatan listrik yang dipasang.
3. Cara pemasangannya.
4. Polaritasnya.
5. Pentanahannya.
27
6. Tahanan isolasi.
7. Continuenitas rangkaian.
Alat-alat dan bahan yang umum dalam pembuatan instalasi listrik rumah tinggal.
- Penghantar / kabel.
- Pipa PVC untuk pengkabelan yang di tanam di dalam tembok dengan ukuran standart.
28
29
- Saklar (sakelar tunggal, sakelar ganda, sakelar seri, sakelar tukar/sakelar hotel dsb) apa yang
diperlukan.
- Stop kontak.
30
31
- Palu.
32
33
b.
c.
d.
memberi
kesempatan
atau
jalan
menyelamatkan
diri
pada waktu
f.
g.
mencegah
dan
mengendalikan timbul
atau
menyebarluasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar
atau radiasi, suara dan getaran;
h.
i.
j.
k.
l.
m.
34
n.
mengamankan
dan
memperlancar
pengangkutan
orang, binatang,
q.
r.
dan
menyempurnakan
pengamanan
pada pekerjaan
Dengan
peraturan
perundangan
dapat
dirubah
perincian
seperti tersebut
dalam ayat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan
teknologi serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.
Pasal 9.
(3)
berada
di
bawah
pimpinannya,
dalam
pencegahankecelakaan dan
35
Permennakertrans No.Per.03/Men/1982
Tentang: Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja
Pasal 2
Tugas pokok pelayanan Kesehatan Kerja meliputi:
a. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan
khusus.
b. Pembinaan dan pengawasan atas penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga kerja.
c. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja.
d. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan sanitair.
e. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan untuk kesehatan tenaga kerja.
f. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit umum dan penyakit akibat
kerja. g. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.
h. Pendidikan Kesehatan untuk tenaga kerja dan latihan untuk petugas
Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.
i. Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja,
pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan
makanan di tempat kerja.
j. Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
k.
36
Menyediakan Apotik atau pos P3K sendiri atau Memelihara apotik atau pos P3K bersamasama dengan badan, lembaga atau kantor pemberi jasa atau bagiannya.Mempunyai satu atau
lebih lemari, kotak atau perlengkapan P3K
Permennakertrans No.Per.15/Men/1982
Tentang: Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di Tempat Kerja
Pasal 2
(1) Pengusaha wajib menyediakan petugas P3K dan fasilitas P3K di tempat kerja.
(2) Pengurus wajib melaksanakan P3K di tempat kerja.
Pasal 3
(1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus
memiliki lisensi dan buku kegiatan P3K dari Kepala Instansi yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut :
a. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K;
d. memiliki pengetahuan dan ketrampilan dasar di bidang P3K di tempat kerja yang
dibuktikan dengan sertifikat pelatihan.
(3) Pemberian lisensi dan buku kegiatan P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dikenakan biaya.
(4) Pedoman tentang pelatihan dan pemberian lisensi diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.
37
Pasal 4
Petugas P3K dalam melaksanakan tugasnya dapat meninggalkan pekerjaan utamanya untuk
memberikan pertolongan bagi pekerja/buruh dan/atau orang lain yang mengalami sakit atau
cidera di tempat kerja.
Pasal 5
(1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), ditentukan berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat
kerja, dengan rasio sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2) Pengurus wajib mengatur tersedianya Petugas P3K pada :
a. Tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter lebih sesuai jumlah
pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja;
b. Tempat kerja di setiap lantai yang berbeda di gedung bertingkat sesuai jumlah
pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja;
c. Tempat kerja dengan jadwal kerja shift sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi
bahaya di tempat kerja.
Pasal 8
(1) Fasilitas P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi :
a. Ruang P3K;
b. Kotak P3K dan isi;
c. Alat evakuasi dan alat transportasi; dan
d. Fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau
peralatan khusus di tempat kerja yang memiliki potensi
bahaya yang bersifat khusus.
38
(2) Alat pelindung diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan peralatan
yang disesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja yang digunakan dalam
keadaan darurat.
(3) Peralatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa alat untuk
pembasahan tubuh cepat (shower) dan pembilasan/pencucian mata.
Pasal 9
(1) Pengusaha wajib menyediakan ruang P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a dalam hal :
a. Mempekerjakan pekerja/buruh 100 orang atau lebih;
b. Mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 100 orang
dengan potensi bahaya tinggi.
(2) Persyaratan ruang P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. Lokasi ruang P3K :
1. Dekat dengan toilet/kamar mandi;
2. Dekat jalan keluar;
3. Mudah dijangkau dari area kerja; dan
4. Dekat dengan tempat parkir kendaraan.
b. Mempunyai luas minimal cukup unruk menampung satu
tempat tidur pasien dan masih terdapat ruang gerak bagi
seorang petugas P3K serta penempatan fasilitas P3K
lainnya;
c. Bersih dan terang, ventilasi baik, memiliki pintu dan jalan
yang cukup lebar untuk memindahkan korban;
d. Diberi tanda dengan papan nama yang jelas dan mudah
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik
39
dilihat;
e. Sekurang-kurangnya dilengkapi dengan :
1. Wastafel dengan air mengalir;
2. Kertas tissue/lap;
3. Usungan/tandu;
4. Bidai/spalk;
5. Kotak P3K dan isi;
6. Tempat tidur dengan bantal dan selimut;
7. Tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti : tandu
dan/atau kursi roda;
8. Sabun dan sikat;
9. Pakaian bersih untuk penolong;
10. Tempat sampah;
11. Kursi tunggu bila diperlukan.
40
Dari dua peraturan di atas, penulis hanya akan membahas PERMENAKER No. PER
02/MEN/1989 Tentang Instalasi Penyalur Petir.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
a.Direktur ialah Pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja;
b.Pegawai Pengawas ialah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri
Tenaga Kerja;
c. Ahti Keselamatan Kerja ialah Tenaga Tehnis berkeahlian khusus dari luar Departemen
Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undangundang No. l Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
d.Pengurus ialah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab penuh terhadap tempat
kerja atau bagiannya,yang berdiri sendiri;
e.Pengusaha ialah orang atau badan hukum seperti yang dimaksud pasal 1 ayat (3) Undangundang No. I Tahun 1970;
f. Tempat kerja ialah tempat sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat (1) Undang undang No. 1
Tahun 1970;
41
g.Pemasang instalasi penyalur petir yang selanjutnya disebut Instalasi ialah badan hukum
yang melaksanakan pemasangan instalasi penyalur petir;
h.Instalasi penyalur petir ialah seluruh susunan sarana penyalur petir terdiri atas penerima
(Air Terminal/Rod), Penghantar penurunan (Down Conductor), Elektroda Bumi (Earth
Electrode) termasuk perlengkapan lainnya yang merupakan satu kesatuan berfungsi untuk
menangkap muatan petir dan menyalurkannya kebumi;
i.Penerima ialah peralatan dan atau penghantar dari logam yang menonjol lurus keatas dan
atau mendatar guna menerima petir;
j.Penghantar penurunan ialah penghantar yang menghubungkan penerima dengan elektroda
bumi;
k.Elektroda bumi ialah bagian dari instalasi penyalur petir yang ditanam dan kontak langsung
dengan bumi;
l.Elektroda kelompok ialah beberapa elektroda bumi yang dihubungkan satu dengan lain
sehingga merupakan satu kesatuan yang hanya disambung dengan satu penghantar
penurunan;
m.Daerah perlindungan ialah daerah dengan radius tertentu yang termasuk dalam
perlindungan instalasi penyalur petir;
n.Sambungan ialah suatu kontruksi guna menghubungkan secara listrik antara penerima
dengan penghantar penurunan, penghantar penurunan dengan penghantar penurunan dan
penghantar penurunan dengan elektroda bumi, yang dapat berupa las, klem atan kopeling;
o.Sambungan ukur ialah sambungan yang terdapat pada penghantar penurunan dengan sistem
pembumian yang dapat dilepas untuk memudahkan pengukuran tahanan pembumian;
p.Tahanan pembumian ialah tahanan bumi yang harus dilalui oleh arus listrik yang berasal
dari petir pada waktu peralihan, dan yang mengalir dari elektroda bumi kebumi dan pada
penyebarannya didalam bumi;
42
q.Massa logam ialah massa logam dalam maupun massa logam luar yang merupakaa satu
kesatuan yang berada didalam atau pada bangunan, misalnya perancah-perancah baja, lift,
tangki penimbun, mesin, gas dan pemanasan dari logam dan penghantar penghantar listrik.
Pasal 2
(1) Instalasi penyalur petir harus direncanakan, dibuat, dipasang dan dipelihara sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan atau standart yang diakui;
(2) Instalasi penyalur petir secara umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut
a.kemampuan perlindungan secara tehnis;
b.ketahanan mekanis;
c.ketahanan terhadap korosi;
(3) Bahan dan konstruksi instalasi penyalur petir harus kuat dan memenuhi syarat,
(4) Bagian-bagian instalasi penyalur petir harus memiliki tanda hasil pengujian dam atau
sertifikat yang diakui.
Pasal 3
Sambungan-sambungan harus merupakan suatu sambungan elektris, tidak ada kemungkinan
terbuka dan dapat menahan kekuatan tarik sama dengaa sepuluh kali berat penghantar yang
menggantung pada sambungan itu.
Pasal 4
(1) Penyambungan dilakukan dengan cara:
a. dilas.
b.diklem (plat k1em, bus kontak klem) dengan panjang sekurang-kurangnya 5 cm;
c.disolder dengan panjang sekurang-kurangnya 10 cm dan khusus untuk peng-hantar
penurunan dari pita harus dikeling.
43
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 8
Yang diatur oleh Peraturan Menteri ini adalah Instalasi Penyalur Petir non radioaktip di
tempat kerja.
Pasal 9
(1)Tempat kerja sebagaimana dimaksud pasal 8 yang perlu dipasang instalasi penyalur petir
antara lain:
44
a. Bangunan yang terpencil atau tinggi dan lebih tinggi dari pada hangunan sekitarnya seperti:
menara-menara, cerobong, silo, antena pemancar, monumen dan lain-lain;
b.Bangunan dimana disimpan, diolah atau digunakan bahan yang mudah meledak atau
terbakar seperti pabrik-pabrik amunisi, gudang penyimpanan bahan peledak dan lain-lain;
c. Bangunan untuk kepentingan umum seperti: tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, gedung
pertunjukan, hotel, pasar, stasiun, candi dan lain-lain;
d.Bangunan untuk menyimpan barang barang yang sukar diganti seperti: museum,
perpustakaan, tempat penyimpanan arsip dan lain-lain;
e. Daerah-daerah terbuka seperti: daerah perkebunan, Padang Golf, Stadion Olah Raga dan
tempat-tempat lainnya.
(2)Penetapan pemasangan instalasi pcnyalur petir pada tempat kerja sebagaimana dimaksud
ayat (1) dengan memperhitungkan angka index seperti tercantum dalam lampiran 1 Peraturan
Menteri ini.
BAB III
PENERIMA (AIR TERMINAL)
Pasal 10
(1) Penerima harus dipasang ditempat atau bagian yang diperkirakan dapat tersambar petir
dimana jika bangunan yang terdiri dari bagian-bagian seperti bangunan yang mempunyai
menara, antena, papan reklame atau suatu blok bangunan harus dipandang sebagai suatu
kesatuan;
(2) Pemasangan penerima pada atap yang mendatar harus benar-benar menjamin bahwa
seluruh luas atap yang bersangkutan termasuk dalam daerah perlindungan;
(3) Penerima yang dipasang diatas atap yang datar sekurang-kurangnya lebih tinggi 15 cm
dari pada sekitarnya;
45
(4) Jumlah dan jarak antara masing-masing penerima harus diatur sedemikian rupa sehingga
dapat menjamin bangunan itu termasuk dalam daerah perlindungan.
Pasal 11
Sebagai penerima dapat digunakan:
a.logam bulat panjang yang terbuat dari tembaga;
b.hiasan-hiasan pada atap, tiang-tiang, cerobong-cerobong dari logam yang disambung baik
dengan instalasi penyatur petir;
c. atap-atap dari logam yang disambung secara elektris dengan baik.
Pasal 12
Semua bagian bangunan yang terbuat dari bukan logam yang dipasang menjulang ke atas
dengan tinggi lebih dari 1 (satu) meter dari atap harus dipasang penerima tersendiri.
Pasal 13
Pilar beton bertulang yang dirancangkan sebagai penghantar penurunann untuk suatu instalasi
penyalur petir, pilar beton tersebut harus dipasang menonjol di atas atap dengan mengingat
ketentuan-ketentuan penerima, syarat-syarat sambungan dan elektroda bumi.
Pasal 14
(1) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima dengan jenis Franklin dan sangkar
Faraday yang berhentuk runcing adalah suatu kerucut yang mempunyai sudut puncak 112
(seratus dua belas);
(3) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima yang berbentuk penghantar
mendatar adalah dua bidang yang saling memotong pada kawat itu dalam sudut 112 (seratus
dua belas);
(3) Untuk menentukan daerah perlindungan bagi penerima jenis lain adalah sesuai dengan
ketentuan tehnis dari masing-masing penerima;
46
BAB IV
PENGHANTAR PENURUNAN
Pasal 15
(1) Penghantar penurunan harus dipasang sepanjang bubungan (nok) dan atau sudut-sudut
bangunan ke tanah sehingga penghantar penurunan merupakan suatu sangkar dari bangunan
yang akan dilindungi.
(2) Penghantar penurunan harus dipasang secara sempuma dan harus diperhitungkan
pemuaian dan penyusutannya akibat perubahan suhu;
(3)Jarak antara alat-alat pemegang penghantar penurunan satu dengan yang lainnya tidak
boleh lebih dari 1,5 meter;
(4) Penghantar penurunan harus dipasang lurus kebawah dan jika terpaksa dapat mendatar
atau melampaui penghalang;
(5) Penghantar penurunan harus dipasang dengan jarak tidak kurang 15 cm dari atap yang
dapat terbakar kecuali atap dari logam, genteng atau batu;
(6) Dilarang memasang penghantar penurunan di bawah atap dalam bangunan.
Pasal 16
Semua bubungan (nok) harus dilengkapi dengan penghantar penurunan, dan untuk atap yang
datar harus dilengkapi dengan penghantar penurunan pada sekeliling pinggirnya, kecuali
persyaratan daerah perlindungan terpenuhi.
Pasal 17
47
(1) Untuk mengamankan bangunan terhadap loncatan petir dari pohon yang letaknya dekat
bangunan dan yang diperkirakan dapat tersambar petir, bagian bangunan yang terdekat
dengan pohon tesebut harus dipasang penghantar penurunan;
(2) Penghantar penurunan harus selalu dipasang pada bagian-bagian yang menonjol yang
diperkirakan dapat tersambar petir;
(3) Penghantar penurunan harus dipasang sedemikian rupa, sehingga pemeriksaan dapat
dilakukan dengan mudah dan tidak mudah rusak.
Pasal 18
(1) Penghantar penurunan harus dilindungi terhadap kerusakan-kerusakan mekanik, pengaruh
cuaca, kimia (elektrolisa) dan sebagainya.
(2) Jika untuk melindungi penghantar penurunan itu dipergunakan pipa logam, pipa tersebut
pada kedua ujungnya harus disambungkan secara sempurna baik elektris maupun mekanis
kepada penghantar untuk mengurangi tahanan induksi.
Pasal 19
(1) Instalasi penyalur petir dari suatu bangunan paling sedikit harus mempunyai 2 (dua) buah
penghantar penurunan;
(2) Instalasi penyalur petir yang mempunyai lebih dari satu penerima, dari penerima tersebut
harus ada paling sedikit 2 (dua) buah penghantar penurunan;
(3) Jarak antara kaki penerima dan titik pencabangan penghantar penurunan paling besar 5
(lima) meter.
Pasal 20
Bahan penghantar penurunan yang dipasang khusus harus digunakan kawat tembaga atau
bahan yang sederajat dengan ketentuan :
a.penampang sekurang-kurangnya 50 mm.;
b.setiap bentuk penampang dapat dipakai dengan tebal serendah-rendahnya 2 mm.
48
Pasal 21
(1) Sebagai penghantar penurunan petir dapat digunakan bagian-bagian dari atap, pilar-pilar,
dinding-dinding, atau tulang-tulang baja yang mempunyai massa logam yang baik;
(2) Khusus tulang-tulang baja dari kolom beton harus memenuhi syarat, kecuali;
a. Sudah direncanakan sebagai penghantar penurunan dengan memperhatikan syarat-syarat
sambungan yang baik dan syarat-syarat lainnya;
b.Ujung-ujung tulang baja mencapai garis permukaan air dibawah tanah sepanjang waktu.
(3) Kolom beton yang bertulang baja yang dipakai sebagai penghantar penurunan harus
digunakan kolom beton bagian luar.
Pasal 22
Penghantar penurunan dapat digunakan pipa penyalur air hujan dari logam yang dipasang
tegak dengan jumlah paling banyak separuh dari jumlah penghantar penurunan yang
diisyaratkan dengan sekurang-kurangnya dua buah merupakan penghantar penurunan khusus.
Pasal 23
(1)Jarak minimum antara penghantar penurunan yang satu dengan yang lain diukur sebagai
berikut;
a.pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter maximum 20 meter;
b.pada bangunan yang tingginya antara 25 50 meter maka jaraknya {30 (0,4 x
tinggi bangunan) }
c.pada bangunan yang tingginya lebih dari 50 meter maximum 10 meter.
(2) Pengukuran jarak dimaksud ayat (I) dilakukan dengan menyusuri keliling bangunan.
Pasal 24
Untuk bangunan-bangunan yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak sama tingginya, tiaptiap bagian harus ditinjau secara tersendiri sesuai pasa1 23 kecuali bagian banguna yang
49
tingginya kurang dari seperempat tinggi bangunan yang tertinggi, tingginya kurang dari 5
meter dan mempunyai luas dasar kurang dari 50 meter persegi.
Pasal 25
(1) Pada bangunan yang tingginya kurang dari 25 meter dan mempunyai bagian-bagian yang
menonjol kesamping harus dipasang beberapa penghantar penurunan dan tidak menurut
ketentuan pasal 23;
(2) Pada bangunan yang tingginya lebih dari 25 meter, semua bagian-bagian yang menonjol
ke atas harus dilengkapi dengan penghantar penurunan kecuali untuk menara-menara.
Pasal 26
Ruang antara bangunan-bangunan yang menonjol kesamping yang merupakan ruangan yang
sempit tidak perlu dipasang penghantar penurunan jika penghantar penurunan yang dipasang
pada pinggir atap tidak terputus.
Pasal 27
(1)Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Franklin dan sangkar Faraday, jenis-jenis
bahan untuk penghantar dan pembumian dipilih sesuai dengan daftar pada lampiran II
Peraturan Menteri ini;
(2)Untuk pemasangan instalasi penyalur petir jenis Elektrostatic dan atau jenis lainnya, jenisjenis bahan untuk penghantar dan pembumian dapat menggunakan bahan sesuai dengan
daftar pada lampiran II Peraturan Menteri ini dan atau jenis lainnya sesuai dengan standard
yang diakui;
(3)Penentuan bahan dan ukurannya dari ayat (l) dan ayat (2) pasal ini, ditentukan berdasarkan
beberapa faktor yaitu ketahanan mekanis, ketahanan terhadap pengaruh kimia terutama
korosi dan ketahanan terhadap pengaruh lingkungan lain dalam batas standard yang diakui;
50
(4) Semua penghantar dan pengebumian yang digunakan harus dibuat dari bahan yang
memenuhi syarat, sesuai dengan standard yang diakui.
BAB V
PEMBUMIAN
Pasal 28
(1) Elektroda bumi harus dibuat dan dipasang sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian
sekecil mungkin;
(2) Sebagai elektroda bumi dapat digunakan:
a.tulang-tulang baja dari lantai-lantai kamar dibawah bumi dan tiang pancang yang sesuai
dengan keperluan pembumian;
b.pipa-pipa logam yang dipasang dalam bumi secara tegak;
c. pipa-pipa atau penghantar lingkar yang dipasang dalam bumi secara mendatar,
d.pelat logam yang ditanam;
e.bahan logam lainnya dan atau bahan-bahan yang cara pemakaian menurut ketentuan pabrik
pembuatnya.
(3) Elektroda bumi tersebut dalam ayat (2) harus dipasang sampai mencapai air dalam bumi.
Pasal 29
(1) Elektroda bumi dapat dibuat dari:
a.Pipa baja yang disepuh dengan Zn (Zincum) dan garis tengah sekurang-kurangnya 25 mm
dan tebal sekurang-kurangnya 3,25 mm;
b.Batang baja yang disepuh dengan Zn dan garis tengah sekurang-kurangnya 19 mm;
c.Pita baja yang disepuh dengan Zn yang tebalnya sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar
sekurang-kurangnya 25 mm;
(2) Untuk daerah-daerah yang sifat korosipnya lebih besar, elektroda bumi harus dibuat dari:
51
a.Pipa baja yang disepuh dengan Zn dan garis tengah dalam sekurang-kurangnya 50 mm dan
tebal sekurang-kurangnya 3,5 mm;
b.Pipa dari tembaga atau bahan yang sederajat atau pipa yang disepuh dengan tembaga atau
bahan yang sederajat dengan garis tengah daIam sekurang-kurangnya 16 mm dan tebal
sekurang-kurangnya 3 mm;
c.Batang baja yang disepuh dengan Zn dengan garis tengah sekurang-kurangnya 25 mm;
d.Batang tembaga atau bahan yang sederajat atau batang baja yang disalur dengan tembaga
atau yang sederajat dengan garis tengah sekurang-kurangnya 16 mm;
e.Pita baja yang disepuh dengan Zn dan tebal sekurang-kurangnya 4 mm dan lebar sekurangkurangnya 25 mm.
Pasal 30
(1)Masing-masing penghantar penurunan dari suatu instalasi penyalur petir yang mempunyai
beberapa penghantar penurunan harus disambungkan dengan elektroda kelompok;
(2) Panjang suatu elektroda bumi yang dipasang tegak dalam bumi tidak boleh kurang
dari 4 meter, kecuali jika sebahagian dari elektroda bumi itu sekurang-kurangnya
2 meter dibawah batas minimum permukaan air dalam bumi;
(3)Tulang-tulang besi dari lantai beton dan gudang dibawah bumi dan tiang pancang dapat
digunakan sebagai elektroda bumi yang memenuhi syarat apabila sebahagian dari tulangtulang besi ini berada sekurang-kurangnya l (satu) meter dibawah permukaan air dalam bumi;
(4)Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar harus ditanam sekurang-kurangnya 50
cm didalam tanah.
Pasal 31
Elektroda bumi dan elektroda kelompok harus dapat diukur tahanan pembumiannya secara
tersendiri maupun kelompok dan pengukuran dilakukan pada musim kemarau.
Pasal 32
52
Jika keadaan alam sedemikian rupa sehingga tahanan pembumian tidak dapat tercapai secara
tehnis, dapat dilakukan cara sebagai berikut:
a.masing-masing penghantar penurunan harus disambung dengan penghantar lingkar yang
ditanam lengkap dengan beberapa elektroda tegak atau mendatar sehingga jumlah tahanan
pembumian bersama memenuhi syarat;
b.membuat suatu bahan lain (bahan kimia dan sebagainya) yang ditanam bersama dengan
elektroda sehingga tahanan pembumian memenuhi syarat.
Pasal 33
Elektroda bumi yang digunakan untuk pembumian instalasi listrik tidak boleh digunakan
untuk pembumian instalasi penyalur petir.
Pasal 34
(1) Elektroda bumi mendatar atau penghantar lingkar dapat dibuat dari pita baja yang disepuh
Zn dengan tebal sekurang-kurangnya 3 mm dan lebar sekurang-kurangnya 25 mm atau dari
bahan yang sederajat;
(2) Untuk daerah yang sifat korosipnya lehih besar, elektroda burni mendatar atau penghantar
lingkar harus dibuat dari:
a.Pita baja yang disepuh Zn dengan ukuran lebar sekurang-kurangnya 25 mm dan tebal
sekurang-kurangnya 4 mm atau dari bahan yang sederajat;
b. Tembaga atau bahan yang sederajat, bahan yang disepuh dengan tembaga atau bahan yang
sederajat, dengan luas penampang sekurang-kurangnya 50 mm dan bila bahan itu berbentuk
pita harus mempunyai tebal sekurang-kurangnya 2 mm;
c.Elektroda pelat yang terbuat dari tembaga atau hahan yang sederajat dengan luas satu sisi
permukaan sekurang-kurangnya 0,5 m dan tebal sekurang-kurangnya 1 mm. jika berbentuk
silinder maka luas dinding silinder tersebut harus sekurang-kurangnya 1 m2.
53
BAB VI
MENARA
Pasal 35
(1) Instalasi Penyalur Petir pada bangunan yang menyerupai menara seperti menara air, silo,
masjid, gereja, dan lain-lain harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.Bahaya meloncatnya petir;
b.Hantaran listrik;
c.Penempatan penghantar;
d.Daya tahan terhadap gaya mekanik;
e.Sambungan-sambungan antara massa logam dari suatu bangunan.
(2) Instalasi penyalur petir dari menara tidak boleh dianggap dapat melindungi bangunan
bangunan yang berada disekitarnya.
Pasal 36
(l) Jumlah dan penempatan dari penghantar penurunan pada bagian luar dari menara harus
diselenggarakan menurut pasal 23 ayat (1);
(2) Didalam menara dapat pula dipasang suatu penghantar penurunan untuk memudahkan
penyambungan-penyambungan dari bagian-bagian logam menara itu.
Pasal 37
54
Menara yang seluruhnya terbuat dari logam dan dipasang pada pondasi yang tidak dapat
menghantar, harus dibumikan sekurang-kurangnya pada dua tempat dan pada jarak yang
sama diukur menyusuri keliling menara tersebut.
Pasal 38
Sambungan-sambungan pada instalasi penyalur petir untuk menara harus betul-betul
diperhatikan terhadap sifat korosip dan elektrolisa dan harus secara dilas karena kesukaran
pemeriksaan dan pemeliharaannya.
BAB VII
BANGUNAN YANG MEMPUNYAI ANTENA
Pasal 39
(1)Antena harus dihubungkan dengan instalasi penyalur petir dengan menggunakan penyalur
tegangan lebih, kecuali jika antena tersebut berada dalam daerah yang dilindungi dan
penempatan antena itu tidak akan menimbulkan loncatan bunga api;
(2)Jika antena sudah dibumikan secara tersendiri, maka tidak perlu dipasang penyalur
tegangan lebih;
(3)Jika antena dipasang pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, antena
harus dihubungkan kebumi melalui penyalur tegangan lebih.
Pasa1 40
(1) Pemasangan penghantar antara antena dan instalasi penyalur petir atau dengan bumi harus
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga bunga api yang timbul karena aliran besar tidak dapat
menimbulkan kerusakan;
(2) Besar penampang dari penghantar antara antena dengan penyalur tegangan lebih,
penghantar antara tegangan lebih dengan instalasi penyalur petir atau dengan elektroda bumi
harus sekurang-kurangnya 2,5 mm;
55
(3) Pemasangan penghantar antara antena dengan instalasi penyalur petir atau dengan
elektroda bumi harus dipasang selurus mungkin dan penghantar tersebut dianggap sebagai
penghantar penurunan petir.
Pasa1 41
(1) Pada bangunan yang mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur tegangan
lebih antara antena dengan instalasi penyalur petir harus pada tempat yang tertinggi;
(2) Jika suatu antena dipasang pada tiang logam, tiang tersebut harus dihubungkan dengan
instalasi penyalur petir;
Pasa1 42
(1) Pada bangunan yang tidak mempunyai instalasi penyalur petir, pemasangan penyalur
tegangan lebih antara antena dengan elektroda bumi harus dipasang diluar bangunan;
(2) Jika antena dipasang secara tersekat pada suatu tiang besi, tiang besi ini harus
dihubungkan dengan bumi.
BAB VIII
CEROBONG YANG LEBIH TINGGI DARI 10 M
Pasal 43
(1) Pemasangan instalasi penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lain yang
mempunyai ketinggian lebih dari 10 meter harus diperhatikan keadaan seperti dibawah ini :
a.Timbulnya karat akibat adanya gas atau asap terutama untuk bagian atas dari instalasi;
b.Banyaknya penghantar penurunan petir;
c.Kekuatan gaya mekanik.
(2) Akibat kesukaran yang timbul pada pemeriksaan dan pemeliharaan, pelaksanaan
pemasangan dari instalasi penyalur petir pada cerobong asap pabrik dan lain-lainnya harus
diperhitungkan juga terhadap korosi dan elektrolisa yang mungkin terjadi.
56
Pasa1 44
Instaiasi penyalur petir yang terpasang dicerobong tidak boleh dianggap dapat bangunan yang
berada disekitarnya.
Pasa1 45
(1)Penerima petir harus dipasang menjulang sekurang-kurangnya 50 cm diatas pinggir
cerobong;
(2) Alat penangkap bunga api dan cincin penutup pinggir bagian puncak cerobong dapat
digunakan sebagai penerima petir;
(3)Penerima harus disambung satu dengan lainnya dengan penghantar lingkar yang dipasang
pada pinggir atas dari cerobong atau sekeliling pinggir bagian luar, dengan jarak tidak lebih
dari 50 cm dibawah puncak cerobong;
(4) Jarak antara penerima satu dengan lainnya diukur sepanjang keliling cerobong paling
besar 5 meter. Penerima itu harus dipasang dengan jarak sama satu dengan lainnya pada
sekelilingnya;
(5)Batang besi, pipa besi dan cincin besi yang digunakan sebagai penerima harus dilapisi
dengan timah atau bahan yang sederajat untuk mencegah korosi.
Pasal 46
(1) Pada tempat-tempat yang terkena bahaya termakan asap, uap atau gas sedapat mungkin
dihindarkan adanya sambungan;
(2) Sambungan-sambungan yang terpaksa dilakukan pada tempat-tempat ini, harus dilindungi
secara baik terhadap bahaya korosi;
(3)Sambungan antara penerima yang dipasang secara khusus dan penghantar penurunan harus
dilakukan sekurang-kurangnya 2 meter dibawah pinggir puncak dari cerobong.
57
Pasal 47
(1)Instalasi penyalur petir dari cerobong sekurang-kurangnya harus mempunyai 2 (dua)
penghantar penurunan petir yang dipasang dengan jarak yang sama satu dengan yang lain;
(2)Tiap-tiap penghantar penurunan harus disambungkan langsung dengan penerima.
Pasal 48
(1)Cerobong dari logam yang berdiri tersendiri dan ditempatkan pada suatu pondasi yang
tidak dapat menghantar harus dihubungkan dengan tanah;
(2)Sabuk penguat dari cerobong yang terbuat dari logam harus di sambung secara kuat
dengan penghantar penurunan.
Pasal 49
(1)Kawat penopang atau penarik untuk cerobong harus ditanamkan ditempat pengikat pada
alat penahan ditanah dengan menggunakan elektroda bumi sepanjang 2meter;
(2)Kawat penopang atau penarik yang dipasang pada bangunan yang dilindungi harus
disambungkan dengan instalasi penyalur petir bangunan itu.
BAB IX
PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN
Pasal 50
(I)Setiap instalasi penyalur petir dan bagian-bagiannya harus dipelihara agar selalu bekerja
dengan tepat, aman dan memenuhi syarat;
(2)Instalasi penyalur petir harus diperiksa dan diuji:
a.Sebelum penyerahan instalasi penyalur petir dari instalatir kepada pemakai;
b.Setelah ada perubahan atau perbaikan suatu bangunan dan atau instalasi penyalur petir;
c.Secara berkala setiap dua tahun sekali;
58
Pasal 51
(1)Pemeriksaan dan pengujian instalasi penyalur petir dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli
keselamatan kerja dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk;
(2)Pengurus atau pemilik instalasi penyalur petir berkewajiban membantu pelaksanaan
pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh pegawai pengawas, ahli keselamatan kerja
dan atau jasa inspeksi yang ditunjuk termasuk penyedian alat-alat bantu.
Pasa1 52
Dalam pemeriksaan berkala harus diperhatikan tentang hal-hal sebagai berikut:
a.elektroda bumi, terutama pada jenis tanah yang dapat menimbulkan karat;
b.kerusakan-kerusakan dan karat dari penerima, penghantar dan sebagainya;
c. sambungan-sarnbungan;
d.tahanan pembumian dari masing-masing elektroda maupun elektroda kelompok.
Pasa1 53
(1) Setiap diadakan pemeriksaan dan pengukuran tahanan pembumian harus dicatat dalam
buku khusus tentang hari dan tanggal hasil pemeriksaan;
(2) Kerusakan-kerusakan yang didapati harus segara diperbaiki.
Pasa1 54
(1) Tahanan pembumian dari seluruh sistem pembumian tidak boleh lebih dari 5 ohm
(2) Pengukuran tahanan pembumian dari elektroda bumi harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga kesalahan-kesalahan yang timbul disebabkan kesalahan polarisasi bisa dihindarkan;
Pemeriksaan pada bagian-bagian dari instalasi yang tidak dapat dilihat atau diperiksa, dapat
dilakukan dengan menggunakan pengukuran secara listrik.
59
BAB X
PENGESAHAN
Pasal 55
(1) Setiap perencanaan instalasi penyalur petir harus dilengkapi dengan gambar rencana
instalasi;
(2) Gambar rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjukan: gambar bagian
tampak atas dan tampak samping yang mencakup gambar detail dari bagian-bagaian instalasi
beserta keterangan terinci termasuk jenis air terminal, jenis dari atap bangunan, bagianbagian lain peralatan yang ada diatas atap dan bagian-bagian logam pada atau diatas atap.
Pasal 56
(1) Gambar rencana instalasi sebagaimana dimaksud pada pasal 55 harus mendapa
pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;
(2) Tata cara untuk mendapat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 57
(1) Setiap instalasi penyalur petir harus mendapat sertifikat dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuknya;
(2) Setiap penerima khusus seperti elektrostatic dan lainnya harus mendapat sertifikat dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuknya;
(3) Tata cara untuk mendapat sertifikat sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 58
Dalam hal terdapat perubahan instalasi penyalur petir, maka pengurus atau pemilik harus
mengajukan permohonan perubahan instalasi kepada Menteri cq. Kepala Kantor Wilayah
yang ditunjuknya dengan melampiri gambar rencana perubahan.
60
Pasal 59
Pengurus atau pemilik wajib mentaati dan melaksanakan semua ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasa1 60
pengurus atau pemilik yang melanggar ketentuan pasal 2, pasal 6 ayat (1), pasal 55 ayat (1),
pasal 56 ayat (1), pasal 57 ayat (1) dan (2), pasal 58 dan pasat 59 diancam dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-(seratus
ribu rupiah) sebagaimana dimaksud pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja.
BAB XII
ATURAN PERALIHAN
Pasal 61
Instalasi penyalur petir yang sudah digunakan sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan,
Pengurus atau Pemilik wajib menyesuaikan dengan Peraturan ini dalam waktu 1 (satu) tahun
sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
61
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja,
termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan
yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja daan pulang
kerumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui.
62
3.2 Saran
Penerapan K3 akan berjalan dengan baik apabila pemilik usaha dan pekerja
menerapkan dasar-dasar K3 dan prinsip-prinsip K3, namun dalam kenyataannya
seringkali kita temui pemilik usaha dan pekerja yang tidak menerapkan dasar-dasar
K3 dan prinsip-prisip K3. Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah untuk
menindak tegas perihal tersebut.
63