Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

Bayi yang dilahirkan oleh ibu berusia diatas 35 tahun merupakan faktor resiko untuk
mengalami cacat bawaan, berat badan lahir rendah, gangguan pernapasan karena apnea, aspirasi
air ketuban dan aspirasi mekonium, serta bayi dengan kelahiran jantung bawaan.1
Angka kematian bayi baru lahir terutama bayi yang sangat prematur pada 24 jam pertama
sangat tinggi. Kebanyakan dari kematian ini disebabkan oleh asfiksia dan atau depresi
pernapasan. Persentase dari bayi yang memerlukan resusitasi adalah sekitar 10% dari seluruh
bayi baru lahir. Asfiksia perinatal dan prematuritas yang berlebihan adalah 2 komplikasi dari
kehamilan yang paling sering membutuhkan resusitasi yang komplek yang dilakukan oleh
personel yang terlatih. Dari seluruh bayi yang mengalami asfiksia, 60% dapat diprediksi
antepartum sedangkan 40% sisanya diketahui asfiksia setelah dilahirkan.
Menurut WHO, setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir
mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal. Di Indonesia, dari seluruh
kematian bayi, sebanyak 57% meninggal pada masa bayi baru lahir (usia dibawah 1 bulan).
Setiap 6 menit terdapat satu bayi meninggal. Penyebab kematian bayi baru lahir di indonesia
adalah berat badan lahir rendah 29%, asfiksia 27%, trauma lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain
dan kelainan kongenital.2,3 Dari seluruh bayi yang lahir dengan berat lahir rendah, 80% dari
seluruhnya memerlukan resusitasi dan stabilisasi saat dilahirkan.
Pembahasan
Saat lahir, bayi mengalami perubahan fisiologi yang cepat dan hebat. Kelangsungan
hidup bergantung pada pertukaran oksigen dan karbon dioksida yang cepat dan teratur. Agar
pertukaran efisien, alveolus paru yang semula berisi cairan harus terisi udara, udara harus ditukar
oleh gerakan pernapasan yang adekuat, dan harus terbentuk mikrosirkulasi yang lancer di sekitar
alveolus.4
Segera setelah lahir, pola pernapasan berubah dari inspirasi episodik dangkal yang khas
untuk janin menjadi inhalasi yang teratur dan dalam. Paru bayi baru lahir bukanlah suatu inflasi
struktur yang kolaps, tetapi pergantian secara cepat cairan di bronkus dan alveolus oleh udara.

Cairan alveolus yang tersisa dibersihkan melalui sirkulasi paru dan dengan derajat yang lebih
rendah, melalui pembuluh limfe paru. Tertundanya pembersihan cairan ini dari alveolus dapat
menyebabkan sindrom takipnea transien pada neonatus. Sewaktu cairan diganti oleh udara terjadi
penurunan bermakna tekanan vaskular paru dan, pada giliranyya, penurunan resistensi terhadap
aliran darah. Dengan penurunan tekanan darah pada arteri pulmonalis, duktus arteriosus secara
normal akan menutup. Penutupan foramen ovale bersifat lebih variatif.
Diperlukan tekanan inratoraks yang sangat negatif agar udara dapat masuk ke dalam
alveolus yang dipenuhi oleh cairan. Sejak tarikan nafas pertama setelah lahir, secara progresif
terjadi akumulasi udara residual di paru, dan dengan setiap pernapasan berikutnya, dibutuhkan
tekanan pembuka paru yang semakin kecil. Pada bayi matur normal, disekitar pernapasan
kelima, perubahan tekanan volume yang dicapai oleh setiap pernapasan hampir sama dengan
yang dijumpai pada orang dewasa.
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang mengalami gagal bernapas
secara spontan dan teratur yang segera setelah lahir, sehingga bayi tidak dapat menginspirasi
oksigen dan tidak dapat mengeluarkan karbondioksida serta zat asam dari tubunya.4
Sebelum dan selama persalinan, faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi
kesejahteraan neonatus harus benar-benar diperhatikan. Faktor-faktor tersebut antara lain status
kesehatan ibu, komplikasi prenatal, komplikasi persalinan, usia gestasi, durasi atau masalah
persalinan, ketuban pecah, jenis jumlah waktu dan rute pemberian obat, infeksi berat, dan factor
tali pusat.
Bayi diinspeksi untuk melihat ada tidaknya kelainan, pernapasan serta denyut jantung.
Denyut jantung dapat ditentukan dengan auskultasi di dada atau palpasi pangkal tali pusat.
Denyut jantung 100 kali per menit atau lebih dianggap normal. Bradikardi persisten memerlukan
resusitasi segera.4
Kemudian mulut, lubang hidung, dan faring diisap secara hati-hati. Sebagian besar bayi
normal menarik napas dalam beberapa detik setelah lahir dan menangis dalam waktu setengah
menit. Jika pernapasan jarang, pengisapan mulut dan faring diikuti oleh tepukan ringan pada
telapak kaki dan gosokan di punggung biasanya bersamaan, akan merangsang pernapasan. Jika
bayi terus tidak bernapas maka diperlukan resusitasi. Penyebab gagalnya pembentukan respirasi

yang efektif antara lain adanya hipoksemi atau asidosis apa pun sebabnya, karena obat yang
diberikan kepada ibu, imaturitas janin, obstruksi saluran napas atas, pneumotoraks, kelainan
paru, aspirasi cairan amnion yang tercemar mekonium, kelainan perkembangan sistem saraf
pusat, dan septikemia.
Anamnesis
Kumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap dari semua sumber yag berkaitan
dengan kondisi klien. Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan biodata, riwayat kehamilan,
riwayat kesehatan, riwayat menstruasi, persalinan dan nifas, pengetahuan pasien, serta perawatan
ante natal care. Taanyakan informasi tentang identitas bayi baru lahir, seperti umur bayi, jam
kelahiran bayi, jenis kelamin bayi dan anak keberapa.
Tanyakan juga riwayat proses persalinan untuk memprediksi apakah terdapat penyulit
saat terjadinya proses kelahiran bayi, tempat persalinan, siapa yang menolong persalinan.
Pemeriksan fisik
Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan emergency dan pemeriksaan tanda- tanda
vital. Bayi diinspeksi untuk melihat ada tidaknya kelainan, pernapasan serta denyut jantung.
Denyut jantung dapat ditentukan dengan auskultasi di dada atau palpasi pangkal tali pusat.
Apgar Skor
Suatau alat bantu yang berguna untuk mengevaluasi perlu tidaknya bayi mendapat
resusitasi adalah sistem penentuan skor apgar yang diterapkan dalam 1 menit dan lagi pada 5
menit setelah lahir. Skor apgar terdiri dari 5 komponen. Elemen skor seperti tonus, warna, denyut
jantung, upaya napas, dan iritabilitas ebagian besar bergantung pada maturitas fisiologis bayi.5
Masing-masing komponen diberi skor 0, 1, atau 2. Skor apgar 1 menit digunakan untuk
mengidentifikasi perlu tidaknya resusitasi segera. Sebagian besar bayi saat lahir berada dalam
kondisi sempurna yaitu memiliki skor apgar 7 sampai 10, dan mereka tidak memerlukan bantuan
kecuali mungkin pengisapan nasofaring. Bayi dengan skor apgar 4 sampai 6 pada 1 menit
memperlihatkan depresi pernapasan, flaksiditas, dan warna pucat hingga biru namun denyut
jantung dan iritabilitas refleks baik. Bayi dengan skor 0 sampai 3 biasanya memperlihatkan
denyut jantung yang lambat dan lemah serta depresi atau tidak adanya reapon refleks. Bayi ini

akan mengalami asidosis sehingga harus segera diresusitasi, termasuk ventilasi buatan harus
segera dilakukan. Skor apgar 5 menit, dan terutama perubahan skor antara 1 dan 5 menit
merupakan indeks yang bermanfaat untuk menilai efektivitas upaya resusitasi.1, 4-6

Table 1. Komponen Penilaian Apgar Skor


Tanda

Nilai 0

Nilai 1

Nilai 2

Denyut jantung

Tidak ada

Kurang dari 100

Lebih dari 100

Upaya bernapas

Tidak ada

Lambat, tidak teratur

Baik, menangis

Tonus otot

Lunglai

Sedikit

fleksi

di Gerakan aktif

ekstremitas
Iritabilitas refleks

Tidak ada respon

menyeringai

Warna

Biru, pucat

Tubuh merah muda, Seluruhnya


ekstremitas biru

Menangis kuat
merah

muda

Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi,
menentukan tindakan yang akan dilakukan dan ahirnya melaksanakan tindakan tersebut.
Penilaian selanjutnya adalah untuk menentukan kesimpulan dan tindakan berikutnya. Upaya
resusitasi yang efektif dan efisien berlangsung melalui rangkaian tindakan, yaitu penilaian,
pengambilan keputusan dan selanjutnya tindakan lanjut. Rangkaian tindakan ini merupakan
suatu siklus. Misalnya pada saat-saat melakukan rangsangan taktil sekaligus menilai pernafasan
bayi. Atas dasar penilaian ini akan melakukan langkah berikutnya.
Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau bahwa
pernafasan tidak adekuat, anda sudah menentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan
berikutnya, yaitu memberikan ventilasi dengan tekanan positif (VTP). Sebaliknya apabila
pernafasannya normal, maka tindakan selanjutnya adalah menilai denyut jantung bayi. Segera
setelah memulai suatu tindakan harus menilai dampaknya pada bayi dan membuat kesimpulan
untuk tahap berikutnya.
Resusitasi Neonatus

Jika bayi baru lahir mengalami asfiksia, baik sebelum atau setelah lahir, mereka
memperlihatkan serangkaian kejadian yang nyata yang akhirnya menyebabkan apnea primer atau
sekunder. Kekurangan oksigen awal menyebabkan periode pernapasan cepat yang sementara.
Jika kekurangan itu berlanjut, gerakan bernapas terhenti dan bayi masuk ke tahap apnea yang
dikenal sebagai apnea primer. Hal ini disertai oleh penurunan kecepatan jantung dan hilangnya
tonus neuromuskular. Stimulasi sederhana dan pemberian oksigen akan mengatasi apnea primer
ini. Jika kekurangan oksigen dan asfiksia menetap, napas bayi akan terengah-engah berat, diikuti
oleh apnea sekunder. Hal ini disertai oleh semakin menurunnya kecepatan denyut jantung,
menurunnya tekanan darah dan hilangnya tonus neuromuskular. Bayi yang mengalami apnea
sekunder tidak akan berespon terhadap stimulasi dan tidak akan kembali bernapas secara spontan
bayi akan meninggal kecuali jika diberi bantuan ventilasi. Secara klinis, apnea primer dan apnea
sekunder tidak dapat dibedakan. Oleh karena itu, bayi apnea harus dianggap mengalami apnea
sekunder, dan resusitasi harus segera dilakukan.
Tujuan resusitasi pada neonatus adalah mencegah morbiditas dan mortalitas yang
berkaitan dengan jejas jaringan hipoksik-iskemik otak, jantung, ginjal, dan untuk membina
kembali pernapasan dan curah jantung yang adekuat.6
Sebelum menolong persalinan, selain menyiapkan alat-alat persalinan juga disiapkan alatalat resusitasi dalam keadaan siap pakai. Alat-alat tersebuta antara lain, 3 kain untuk
mengeringkan,meneyelimuti, dan mengganjal bahu bayi, alat penghisap lendir DeLee atau bola
karet, balon dan sungkup untuk ventulasi, atau tabung dan sungkup, kotak alat resusitasi, sarung
tangan, serta jam atau pencatat waktu.
Resusitasi neonatus sebaiknya dilakukan pada ruangan yang hangat dan terang,
pendingin udara jangan diatas tempat tidur bayi, ruangan sejuk, angina tidak kencang atau tidak
dekat jendela atau pintu. Tempat resusitasi hendaknya datar, rata, keras, bersih, kering dan hangat
misalnya meja, dipan atau diatas lantai beralas tikar. Ruang resusitasi terdapat meja resusitasi,
pemanas, dan handuk hangat, serta alat resusitasi yang memadai, dan juga inkubator hangat atau
alat pemancar panas.
Ruang yang hangat akan mencegah bayi hipotermi. Tempat resusitasi yang rata
diperlukan untuk kemudahan pengaturan posisi kepala bayi. Untuk sumber pemancar panas
gunakan lampu 60 watt atau lampu petromak yang dinyalakan lampu menjelang persalinan.

Penilaian awal saat lahir harus dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah,
apakah bayi menangis atau bernapas, dan apakah tonus otot bayi baik. Jika menangis, dan tonus
ototnya baik, pastikan bayi tetap hangat dan bayi dikeringkan, kemudian lanjutkan observasi
pernapasan, laju denyut jantung dan tonus. Hal ini dilakukan dengan bayi berbaring di dada
ibunya dan tidak dipisahkan dari ibunya.7
Untuk mencegah kehilangan panas, bayi bias diletakan telentang dalam tempat tidur
berpenghangat radiasi. Bayi yang tidak memenuhi kriteria tersebut dilakukan langkah awal
dengan menyalakan pencatatan watu.
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan bayi di bawah
pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu atau sedikit tengadah untuk
membuka jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan stimulasi
napas.
Membersihkan jalan napas jika cairan amnion jernih, pengisapan langsung segera setelah
lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi
napas dan yang memerlukan ventilasi tekanan positif. Jika terdapat mekonium pada jalan napas
dan bayi bugar lakukan seperti langkah awal, jika bayi tidak bugar lakukan pengisapan
endotrakeal pada bayi. Namun, jika usaha intubasi perlu waktu lama dan atau tidak berhasil,
maka ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama jika terdapat bradikardia persisten.
Setelah dilakukan langkah awal selama 30 detik, observasi kembali usaha napas, laju
denyut jantung, dan tonus otot. Jika bayi bernapas spontan namun terdapat sianosis persisten
tanpa disertai distress napas, pertimbangkan suplementasi oksigen serta pemantauan oksigen.
Namun jika bayi bernapas spontan tapi terlihat distress napas seperti takipneu, retraksi, atau
merintih, lakukan pemberian continuous positive airway pressure (CPAP). Jika gagal
pertimbangkan intubasi.
Setelah dilakukan langkah awal selama 30 detik, observasi kembali usaha napas, laju
denyut jantung, dan tonus otot. Jika bayi tidak bernapas atau megap-megap, dan atau laju denyut
jantung dibawah 100 kali per menit, lakukan ventilasi tekanan positif diberikan melalui masker
muka yang pas dan kantong selama 30 detik dengan frekuensu 40 sampai 60 kali per menit serta
pemantauan oksigen. Bila laju denyut jantung tetap dibawah 100 kali per menit dan dada tidak
mengembang secara adekuat. Lakukan evaluasi kembali, yaitu posisikan kepala bayi, evaluasi

ada tidaknya obstruksi jalan napas, perhatikan ada tidaknya kebocoran sungkup, dan evaluasi
tekanan puncak inspirasi yang diberikan cukup atau tidak. Ventilasi yang berhasil ditentukan oleh
pengembangan dada yang baik, suara pernapasan simetris, warna merah muda membaik,
frekuensi jantung 100 kali per menit, pernapasan spontan, dan tonus membaik.
Setelah pemberian ventilasi tekanan positif, dada mengembang adekuat, namun laju
denyut jantung menurun hingga dibawah 60 kali per menit maka lakukan kompresi dada serta
pemberianventilasi tekanan positif yang adekuat dengan oksigen 100%.
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit
setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi
berbanding ventilasi adalah 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus
dinilai secara periodik dan kompresi ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung
sama atau lebih dari 60 per menit. Observasi kembali laju denyut jantung dan usaha napas tiap
30 detik serta pertimbangkan intubasi.
Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah pengisapan endotrakeal awal
dari bayi dengan mekonium dan bayi tidak bugar. Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak
efektif atau memerlukan waktu lama. Jika dilakukan kompresi dada. Untuk situasi khusus seperti
hernia diafragmatika kongenital atau bayi berat lahir amat sangat rendah.
Alat untuk melakukan ventilasi tekanan positif untuk resusitasi neonatus adalah balon
tidak mengembang sendiri, balon mengembang sendiri, atau T-piece resuscitator. Laryngeal
mask airway (LMA) disebutkan dapat digunakan dan efektif untuk bayi >2000 gram atau 34
minggu. Laryngeal mask airway dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup tidak
berhasil dan intubasi endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin.7
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika frekuensi
denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan ventilasi adekuat dengan
oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin atau pengembang volume atau ke duanya
dapat dilakukan. 7
Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan dosis intrvena 0,01
sampai 0,03 mg per kg. Dosis endotrakeal 0,05 sampai 1,0 mg per kg dapat dipertimbangkan

sambil menunggu akses vena didapat, tetapi efektifitas cara ini belum dievaluasi. Konsentrasi
epinefrin yang digunakan untuk neonatus ialah 1:10.000 (0,1 mg/mL).6,7
Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan darah dan
frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat terhadap upaya resusitasi lain.
Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di ruang bersalin. Dosis 10 mL/kg, dapat diulangi.7
Lakukan penilaian apakah bayi bernafas normal, tidak bernafas atau megap-megap.
Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10 menit.
Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit. Bayi
setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal, mempunyai risiko untuk
perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi dan sirkulasi adekuat tercapai, bayi harus
diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi gangguan.

Gambar 1. Algoritme Resusitasi pada Neonatus IDAI 2013

Kesimpulan
Resusitasi adalah segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan,
peredaran darah sedemikian rupa agar kembali normal seperti semula sehingga fungsi-fungsi
penting oragn tubuh bekerja dengan baik.
Tujuan resusitasi adalah memulihkan fungsi pernapasan bayi baru lahir yang mengalami
asfiksia, untuk oksigenasi darurat, mempertahankan jalan nafas yang bersih, membantu
pernapasan, membantu sirkulasi/memulai kembali sirkulasi spontan, dan mencegah morbiditas
dan mortalitas yang berkaitan dengan jejas jaringan hipoksik-iskemik otak, jantung, ginjal, dan
untuk membina kembali pernapasan dan curah jantung yang adekuat.
Petugas kesehatan harus siap melakukan resusitasi bayi baru lahir setiap menolong
persalinan. Tanpa persiapan kita akan kehilangan waktu yang sangat berharga, walau hanya
beberapa menit bila bayi baru lahir tidak segera bernafas, bayi dapat menderita kerusakan otak
atau meninggal. Persiapan yang diperlukan adalah persiapan tempat, alat untuk resusitasi dan
persiapan diri. Setelah melakukan penilaian dan memutuskan bahwa bayi baru lahir perlu
resusitasi, tindakan harus segera dilakukan. Penundaan pertolongan dapat membahayakan bayi.
Daftar Pustaka
1. Manuaba I, Manuaba I , Manuaba I. Pengantar kuliah obstetri. Jakarta: EGC; 2007. h 43-4.
2. Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal, Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan
Reproduksi, Jakarta: JNPK-KR; 2008. h 145.
3. Sastrawinata S. Ilmu kesehatan reproduksi: obstetri patologi. Jakarta: EGC; 2005. H 13.
4. Leveno, Kenneth J. Obsteri Williams panduan ringkas. 21st ed. Jakarta: EGC; 2009. H 28190.
5. Hidayat A A. Buku saku praktikum keperawatan anak. Jakarta: EGC; 2008. H 4.
6. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson esensi pediatri. 4th ed. Jakarta: EGC; 2010. H 211-15.
7. Perkumpulan perinatology Indonesia. Resusitasi Neonatus Konsesus 2010. [cited at 16 nov
2015] [avaible at 21 march 2012]. Diunduh dari: http://www.perinasia.com/post/116?
title=Resusitasi+Neonatus+%28Konsensus+2010%29.

10

Anda mungkin juga menyukai