Anda di halaman 1dari 6

Ringkasan Film Fiksi

Alisha (Ladya Cheryl) punya banyak patung kelinci putih di dalam laci di rumahnya.
Salah satu kelinci putih itu ia pajang di lemari kaca – siapa tahu ada orang yang
mengambilnya. Bari (Donny Alamsyah) adalah orang itu. Bari cukup iseng untuk
mengambil patung kelinci putih itu ketika ia bekerja membersihkan kolam renang di
rumah Alisha.

Bari tak tahu apa akibat keisengannya itu. Ia tak tahu bahwa sutradara dan pencetus cerita
film ini, Mouly Surya, sudah merencanakan sejak semula bahwa Alisha adalah kebalikan
dari tokoh Alice dalam Alice in Wonderland karya legendaris dari Lewis Carol. Maka
Alisha, bagai Alice, mengikuti kelinci putih yang dibawa Bari dan masuk ke dalam
sebuah lubang – sebuah dunia lain yang bernama dunia nyata. Bari, yang ternyata
seorang penulis yang sedang berjuang menyelesaikan tulisannya sembari bekerja
serabutan, harus bersiap untuk menerima kenyataan bahwa kehidupannya tak akan lagi
sama.

Selama ini Alisha hidup di dunia tidak nyata. Tepatnya, kenyataan tempat Alisha hidup
terlalu mirip dengan dunia mimpi, mimpi buruk. Ayahnya seorang jenderal superkaya
yang bisa menggaji bekas intel untuk menjadi supir, sekalipun tugasnya lebih mirip tugas
sipir. Ibu Alisha hanya datang kepadanya sebagai mimpi buruk atau sebagai sosok mirip
hantu yang mengambil pistol dari tempat rahasia dan membicarakan mengenai adanya
perempuan lain dan rencana pembunuhan dirinya oleh sang ayah, lantas menembakkan
pistol itu ke kepalanya sendiri.

Bagai kebalikan Alice, Alisha pergi dari dunianya sendiri – dunia dongeng – dan masuk
ke sebuah lubang – dunia nyata. Lubang itu adalah rumah susun tempat Bari tinggal. Di
sana, berbagai orang tinggal dengan segala keunikan (keanehan?) mereka, bagai sebuah
sirkus besar yang tak pernah membuka tapi juga tak pernah menutup pertunjukannya.
Bari yang tak sadar bahwa Alisha mengikutinya, kemudian memperkenalkan rumah
susun itu: inilah sebuah karikatur kehidupan urban. Namun dari karikatur itu, Alisha
masih punya pertanyaan: benarkah dunia yang sedang dilihatnya itu adalah dunia yang
nyata? Ini disebabkan Alisha bertemu dengan kisah-kisah fiksi yang sangat nyata yang
dikenalkan oleh Bari.

Dari sana, dimensi yang lebih dalam muncul dari karikatur urban itu. Mereka adalah
orang-orang yang mencari suaka karena melanggar tabu, orang yang kalah sampai akhir,
dan orang yang mengalami kesepian hingga tulang sumsum. Alisha yang juga punya
kegetiran serupa dengan mereka, memaksakan aspirasi dirinya kepada orang-orang kalah
dan tersingkir itu. Ia sadar bahwa untuk itulah ia ada, dan kenapa sejak semula ia
mengikuti kelinci putih yang dicuri oleh Bari dari rumahnya.

Fiksi. (sic –judul film ini menggunakan titik di akhir kata) kemudian menjadi sebuah
pameran jabbariyyah (fatalisme) yang mengganggu cara berpikir yang mapan. Mouly,
lewat Alisha, memaksakan sebuah akhiran (ending) pada kenyataan – padahal konvensi
kehidupan (lewat kata-kata Bari sang wakil pencatat dunia nyata) menyadari bahwa
dalam kenyataan, akhiran nyaris tak pernah ada. Pemaksaan Mouly itu bahkan tampak
hingga penggunaan titik untuk judul film ini, sebuah pelanggaran terhadap konvensi
bahwa judul cerita (dalam bahasa apapun) tidak memerlukan tanda baca titik.

Fiksi. kemudian menjadi sebuah karya yang tidak biasa bagi film Indonesia; sekalipun
cerita dengan tokoh psikopatik macam ini mudah ditemukan dalam film ber-genre
thriller karya banyak sutradara Jepang semisal Sion Sono dan Takashi Miike. Film-film
mereka dipenuhi oleh tokoh yang bertindak ekstrem dan miskin motivasi untuk
menegaskan memang ada yang kekeliruan serius dengan jiwa tokoh-tokoh tersebut.

Namun Jepang memang punya alasan untuk membuat film yang menggambarkan 50-an
orang remaja perempuan bunuh diri massal tanpa alasan seperti dalam Suicide Club,
ketika dalam kenyataan, seorang lelaki dengan alasan bosan hidup menenteng pisau
menikami 22 orang di sebuah pom bensin serta menewaskan 7 orang di antara mereka.
Bagi negeri macam Indonesia, karakterisasi bagi psikopat seperti Alisha perlu dukungan
penjelasan lebih kuat agar ia lebih bisa diterima.

Mouly, dibantu penulis skenario Joko Anwar, bersandar pada imaji tentang dua hal yang
relatif sudah dikenal dengan baik: orang-orang dengan kekuasaannya nyaris tanpa batas
yang berasal dari uang dan senjata; serta keluarga sebagai lokus pembentukan karakter
manusia.

Maka Fiksi. berhasil mengatasi problem utamanya dalam plausibilitas (penerimaan


terhadap kemasukakalan cerita). Usaha untuk membangun plausibilitas bahkan berbuah
pada sebuah penggambaran pedalaman (psyche) manusia Indonesia yang berada di bawah
bayang-bayang kekuasaan yang nyaris tak terbatas dan negasi terhadap luasnya
kampanye mengenai keluarga ideal di masa lalu. Anda boleh saja tak suka pilihan Mouly
untuk mengajukan fatalisme dalam film ini, tapi ia punya landasan. Sikap seperti itu
bukan hanya terjadi pada orang-orang miskin yang bunuh diri bersama anak-anaknya
karena tak sanggup menahan lagi kemiskinan, tapi juga terjadi pada anak-anak orang
superkaya yang hidupnya demikian berat dan absurdnya sehingga tak bisa membedakan
mana fiksi dan kenyataan.
Mouly, sebagaimana Alisha, telah menempuh jalan yang tak mudah untuk
mengungkapkan itu semua; dan sebenarnya ia nyaris tak selamat membawa cerita ini.
Dari segi teknis, film ini dipenuhi oleh banyak kelemahan yang mempersulit plausibilitas.
Pembangunan adegan yang seharusnya mencekam oleh pencahayaan yang punya
kedalaman (depth) malah tampak datar dan terkesan amatiran. Dalam beberapa poin
(lihat misalnya adegan pembuka di meja makan antara Alisha dan ayahnya),
kemencekaman itu malah membuat Mouly kelihatan kelewat berusaha.

Namun hal itu biasanya terjadi di bagian awal, karena ketika film sudah berjalan,
penonton sudah cukup terpapar ungkapan sinematis dan menyesuaikan standar ekspektasi
mereka terhadap film yang mereka tonton. Akibatnya, Fiksi. terasa sekali kekurangan
daya cekam dan berjalan datar. Padahal para pemainnya tampak berusaha keras mengejar
keinginan cerita. Ladya Cheryl terlihat mampu mewakili karakter dualisme kawaii yang
imut sekaligus bernuansa psikopatik bahkan mematikan (masih ingat, Tarantino mencuri
juga imaji dualisme ini pada karakter Gogo Yubari di Kill Bill volume 1?). Namun selain
warna yang pucat mengubah warna-warni baju permennya jadi tipuan murahan (cheap
trick), Ladya tampak kehilangan panduan untuk membawa perubahan gradual karakter
sejak dari dunia dongeng ke dunia nyata. Pertolongan eksternal seperti tata busana,
potongan rambut dan make-up lah yang akhirnya digunakan. Sandaran macam ini
berbahaya sekali untuk kredibilitas karakter, karena tak memberi kedalaman dimensi
mereka.

Donny Alamsyah juga kehilangan peta aktingnya. Peningkatan kecemasannya terhadap


keberadaan Alisha tak terlalu kentara. Padahal ia mewakili keterhubungan antara dunia
fiksi Alisha dengan dunia nyata yang ia tinggali dan ia catat. Masuknya Alisha ke dunia
nyata itu menyebabkan guncangan, dan Bari adalah satu-satunya orang yang punya
petunjuk apa yang sedang terjadi. Ketika Bari tak terlihat terlalu gelisah akan peristiwa-
peristiwa aneh itu, dunia nyata juga tak tampak terlalu gelisah dengan perkembangan
yang terjadi, dan semua seakan berjalan normal. Penonton jadi tak bisa menentukan di
mana seharusnya kecemasan mereka terhadap perkembangan karakter Alisha harus
mereka letakkan. Lagi-lagi kemencekaman absen di sini.

Maka ketika Alisha menempuh jalan fatalis seperti yang tampak di akhir film, ia tampak
seperti dikorbankan begitu saja oleh Mouly yang seakan sedang bermain tuhan-tuhanan.
Padahal “semua sudah ada tujuannya” kata Alisha memberi petunjuk kepada Bari dan
penonton. Tujuan itu dicapai Alisha dengan jalan tak mudah, dan Fiksi. berpeluang besar
untuk gagal mencapai tujuan itu.

Pilihan jalan semacam itu memang tak mudah, dan kebanyakan pembuat film kita
memang berada di area nyaman, seperti kata programmer festival film Rotterdam,
Gertjan Zuilhof. Maka ketika seorang pendatang baru seperi Mouly Surya bersedia
menempuh jalan susah untuk film pertamanya, kita patut menunggu ia membuat film
keduanya, ketiganya, dan seterusnya.
Fiksi. (2008); Sutradara: Mouly Surya; Cerita: Mouly Surya; Skenario: Mouly Surya dan
Joko Anwar. Pemain: Ladya Cheryl (Alisha), Donny Alamsyah (Bari), Kinaryosih
(Renta), Ibu Tuti (Rina Hasyim).

Sinopsis Film Too Fast Too Furious 4

The plot takes over from the first movie. After hijacking fuel tanks on the highways of
the Dominican Republic, Dominic Toretto (Vin Diesel) leaves his girlfriend Letty
(Michelle Rodriguez) and his gang. In Panama, his sister Mia (Jordana Brewster) tells
him of Letty’s murder.

Adegan ini dimulai dari kelanjutan film pertama. Setelah merampas tangki bensin di
jalan tol di Republik Dominika, Dominic Toretto (Vin Diesel) meninggalkan pacarnya
Letty (Michelle Rodriguez) dan kelompoknya. Di Panama, adiknya Mia (Jordana
Brewster) memberitahukannya tentang kematian Letty.

Dom returns to Los Angeles, California. At Letty’s accident scene, he is led to David
Park, who tells him only through a street race by Ramon Campos (John Ortiz) can he find
Letty's murderer. Brian O'Connor (Paul Walker), an FBI agent, has to find drug lord
Arturo Braga. He also is led to David Park.

Dom kembali ke Los Angeles, California. Di lokasi kejadian Letty, dia menemukan
petunjuk untuk mencari David Park, yang memberitahukannya bahwa hanya melalui
balapan liar oleh Ramon Campos (John Ortiz) dia bisa menemukan pembunuh Letty.
Brian O’Connor(Paul Walker), seorang agen FBI, harus menemukan bandar Narkotika,
Arturo Braga. Dia juga mencari David Park.

Both Dom and Brian go to the underground entrance race that makes them a team
member to traffic heroin across the United States-Mexico border. Dom wins the race.
Brian gets one of Braga's members arrested and takes his place on team.

Baik Dom dan Brian masuk ke dalam balapan liar yang menjadikan mereka anggota tim
untuk mengantar heroin, melewati perbatasan Amerika Serikat – Meksiko. Dom
memenangkan balapannya. Brian membuat salah satu anggota Braga ditangkap dan
menggantikan tempatnya.

Campos, Braga's right hand man meet them. Dom confronts a racer Fenix (Laz Alonso),
the car driver that collided with Letty’s car before killing her.

Campos, tangan kanan Braga menemui mereka. Dom bersitegang dengan pembalap
Fenix (Laz Alonso) pengendara mobil yang menabrak mobil Letty sebelum
membunuhnya.
Dom and Brian are sent to the Mexican border to receive drugs. They are to follow
Fenix's lead. Drivers after trafficking are killed to avoid payoff. Letty was the only driver
to get away. But the pursuit led to her death. Dom anticipating this explodes his car.

Dom dan Brian dikirim ke perbatasan Meksiko untuk menerima narkotik. Mereka
mengikuti pimpinan Fenix. Kurir akan dibunuh setelah pengantaran, untuk menghindari
pembayaran. Letty adalah satu – satuna pengendara yang lolos. Tapi pengejaran
berakhir pada kematiannya. Dom yang telah mengantisipasinya, meledakkan mobilnya.

Brian and Dom head back to the U.S. where Brian arranges to exonerate Dom. An
exchange is made with Campos, provided Braga delivers the money personally. Dom and
Brian now realize Campos is indeed Braga.

Brian dan Dom kembali ke AS. Dimana Brian merancang untuk membebaskan Dom dari
hukuman. Transaksi dilakukan dengan Campos, meminta Braga mengantar uangnya
sendiri. Dom dan Brian kemudian menyadari bahwa Campos sebenarnya adalah Braga.

Braga evades capture and flees. Brian and Dom chase him and take him to the US. Dom
kills Fenix. FBI catches both Braga and Dom.

Braga menghindari penangkapan dan kabur. Brian dan Dom mengejarnya dan
membawanya ke AS. Dom membunuh Fenix. FBI menangkap Braga dan Dom

Dom is tried for his crimes and is sent to prison. The movie ends with Brian, Mia, and
Dom's gang racing towards the prison bus to break him out. Dom presumably breaks out,
as he is seen racing Sean in the end of Tokyo Drift.

Dom dihukum atas kejahatannya dan dikirim ke penjara. Film ini berakhir dengan
Brian, Mia dan Kelompok Balap Dom mengejar Bis penjara untuk membebaskannya.
Dom sepertinya berhasil melarikan diri, melihat dia yang membalap dengan Sean di
akhir Tokyo Drift.
Sinopsis Eternal Sunshine
''Eternal Sunshine'' begins, in effect, at the bitter end of Joel and Clementine's
relationship, when he discovers that she has had her memories of him entirely erased.
Devastated, Joel pays a visit to Dr. Howard Mierzwiak (Tom Wilkinson), the dowdy mad
scientist of memory elimination, who occupies what looks like a modest dentist's office.
Once there, Joel decides to undergo the procedure himself. As he lies, first in the office,
then in his bed, in a trancelike sleep, his head strapped into a giant silver cap that is
hooked to blinking machines run by Mierzwiak's tech-dweeb assistants (Mark Ruffalo
and Elijah Wood), his memories don't die hard. They die softly, sadly. They're like peak
moments of lost love unspooling in the revival theater of his mind.

After ''Being John Malkovich'' and ''Adaptation,'' we expect teeming, manic-to-the-max


invention from Charlie Kaufman, only this time he's not just playing, he's searching. He
has become the most exciting screenwriter in America by doing something that most
writers only dream of: He gets the audience addicted to the freedom and craziness of his
mind. ''Eternal Sunshine'' gives off a dizzy romantic charge, as Kaufman and the director,
Michel Gondry (the two collaborated in 2001 on the top-heavy trifle ''Human Nature''),
lead the audience on a puckish, ingenious science-fiction ride that is really a journey into
the beauty -- and fragility -- of connection.

Each of Joel's memories unfolds before us at the moment it's being wiped out. In
something like reverse order, we watch the story of his relationship with Clementine:
how it flowered and degenerated between one Valentine's Day and the next. The potato
dolls in Clementine's apartment; the night she and Joel lay on the frozen Charles River;
the day he dodged his fears of fatherhood by telling her she wasn't stable enough to raise
a child; Clementine's psychedelic series of changing hair dyes; the fights and cuddles --
as Joel remembers everything, he enters into, and interacts with, those same memories,
pleading with them to change in some way. But they can't.

Anda mungkin juga menyukai