Anda di halaman 1dari 14

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien

: Nn. T

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 15 tahun

Agama

: Islam

Suku Bangsa

: Jawa -Indonesia

Alamat

: Tulungrejo-Pare

Pekerjaan

: Pelajar

MRS

: 29 Desember 2015

Tgl Periksa

: 29 Desember 2015

No Reg

: 52327

B. ANAMNESIS: HETEROANAMNESA
1. Keluhan Utama
: Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak sejak kemarin. Sesak dirasakan hilang
timbul dan memberat 30 menit yang lalu sebelum dibawa ke RS ( setelah maghrib). Sesak
dirasakan sewaktu-waktu saat sore hari, malam hari dan pagi hari terutama saat cuaca
dingin. Terkadang dapat hilang dengan sendirinya, sehingga tidak mengganggu aktivitas
kecuali saat serangan. Sesak juga disertai dengan mengi-mengi. sesak tidak berkurang
saat pasien duduk.
Pasien juga mengeluh batuk kurang lebih 1 minggu. batuk ada dahak warna putih dan
kental serta tidak ada darah. Batuk terus-menerus, kadang setelah batuk pasien langsung
merasa sesak.
3.

Riwayat Penyakit Dahulu


:
Pasien mempunyai riwayat asma sejak kecil.
Pasien mempunyai alergi debu, jika terpapar debu pasien dapat bersin atau
batuk terus-menerus.
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Nenek pasien memiliki riwayat Asma.

5. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok, namun sering terpapar asap rokok di lingkungan sekitar.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum: Cukup
2. Kesadaran : Composmentis
3. Vital Sign
A. Tensi
: 120/80 mmHg
B. Nadi
: 80 x/menit
C. Suhu
: 36,1 C
D. RR
: 26 x/menit
4. Status Gizi :
BB : 48 kg
TB : 150 cm
BMR : 96% (normal)
5. Pemeriksaan Fisik
Kulit : turgor kulit cukup
Kepala :

Wajah : simetris, tidak ditemukan kelainan


Mata
: anemia (-), ikterus (-)
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), dispneu (-)
Telinga : DBN
Mulut : DBN
Leher : bentuk normal, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-),
Thorak :
Paru
Depan :

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: bentuk dada normal, simetris, retraksi (-)


: fremitus raba (+/+)
: sonor
: vesikuler (+/+), rhonkhi (-/-), wheezing (+/+)

Belakang :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen :

: tampak simetris kanan dan kiri


: fremitus raba (+/+)
: sonor
: vesikuler (+/+), rhonkhi (-/-), wheezing (+/+)
: iktus cordis tidak tampak.
: iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
: kesan jantung tidak membesar.
: S1 S2 tunggal reguler, murmur(-), gallop (-)

Inspeksi
: flat, ascites (-)
Auskultasi
: BU (+) N
Palpasi
: supel (+), distensi (-), pembesaran hepar dan lien (-).
Perkusi
: timpani
Ekstremitas :
Atas :
Inspeksi : simetris, sianosis (-), oedema (-)
Palpasi : akral hangat, kekuatan otot (+5).
Bawah :

Inspeksi : simetris, sianosis (-), oedema (-)


Palpasi : akral hangat, kekuatan otot (+5).

PLANNING
1. Edukasi
Edukasi penderita dan keluarga dalam penanganan asma
2. Menghindari paparan faktor resiko.
3. Pemberian oksigen (O2) 2 lpm.
4. Bronkodilator
Nebulisasi salbutamol 2,5 mg
5. Anti-inflamasi ( nebulisasi glucocorticosteroid/ inj methylprednisolon 1-2 mg/BB
6. Monitoring dan follow-up
PROGNOSA
Dubia ad bonam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Defenisi
Asma adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunanai yang berarti terengah engah atau
serangan nafas pendek.Merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversible
dimana trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
B. Etiologi
Asma sering dijadikan alergi , idiopatik / non alergi, atau gabungan.
Jenis Asma :
a. Asma alergi disebabkan oleh allergen mis : serbuk sari, binatang, amarah, makanan
dan jamur.
b. Asma idiopatik/non alergi , tidak berhubungan dengan alerden spesifik .Faktor
pencetusnya antara lain : common cold, infeksi traktus resperatorius, emosi, latihan,
dan polutan lingkungan, agen farmakolosi seperti aspirin dan agens anti inflamasi non

steroid, pewarna rambut, antagonis beta andrenergik dan agens sulfit ( pengawet
makanan )
c. Asma gabungan.
Asma ini mempunyai karakteristik dalam bentuk alergik maupun dalam bentuk
idiopatik/ non alergi.
C. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan
mucus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstriksi bertambah berat selama ekspirasi
karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
mengakibatkan udara distal tempat terjadinya peningkatan volume residu, kapasitas residu
fungsional (KRF). Dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati
kapasitas paru total (KPT). Kedalaman hiper inflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap
terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinfalsi ini
dipertukarkan otot-otot bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif
dengan VEP1 (Volume Ekspirasi paru detik pertama) atau APE (Arus puncak Ekspirasi)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik
pada saluran napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi menandakan adanya
penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang keil gejala batuk
dan sesak lebih dominan disbanding mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yag kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah
tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada
asma sub klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi,
agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO 2 jadi berlebihan
sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada
serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh
mucus sehingga nanti tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini
menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat terjadi
peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan
ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO 2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis metabolic
dan terjadi konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu
peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya

memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma akan
menimbulkan hal-hal sebagai berikut: 1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2).
Ketidak seimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setera dengan
sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas ditingkat alveoli.
Ketiga factor tersebut akan mengakibatkan: hipoksemi, hiperkapnia, asidosis
respiratorik pada tahap yang sangat lanjut.
Asma ialah penyakit paru dengan cirri khas yakni saluran napas sangat mudah
bereaksi terhadap barbagai ransangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan
asma. Kelainan yang didapatkan adalah:
1. Otot bronkus akan mengkerut ( terjadi penyempitan)
2. Selaput lendir bronkus udema
3. Produksi lendir makin banyak, lengket dan kental, sehingga ketiga hal tersebut
menyebabkan saluran lubang bronkus menjadi sempit dan anak akan batuk bahkan
dapat sampai sesak napas. Serangan tersebut dapat hilang sendiri atau hilang dengan
pertolongan obat.
Pada stadium permulaan serangan terlihat mukosa pucat, terdapat edema dan
sekresi bertambah. Lumen bronkus menyempit akibat spasme. Terlihat kongesti pembuluh
darah, infiltrasi sel eosinofil dalam secret didlam lumen saluran napas. Jika serangan
sering terjadi dan lama atau menahun akan terlihat deskuamasi (mengelupas) epitel,
penebalan membran hialin bosal, hyperplasia serat elastin, juga hyperplasia dan hipertrofi
otot bronkus. Pada serangan yang berat atau pada asma yang menahun terdapat
penyumbatan bronkus oleh mucus yang kental.
Pada asma yang timbul akibat reaksi imunologik, reaksi antigen antibody
menyebabkan lepasnya mediator kimia yang dapat menimbulkan kelainan patologi tadi.
Mediator kimia tersebut adalah:
a.

Histamin

Kontraksi otot polos


Dilatasi pembuluh kapiler dan kontraksi pembuluh vena, sehingga terjadi edema
Bertambahnya sekresi kelenjar dimukosa bronchus, bronkhoilus, mukosaa, hidung
dan mata

b.

Bradikinin

Kontraksi otot polos bronchus


Meningkatkan permeabilitas pembuluh darah

Vasodepressor (penurunan tekanan darah)


Bertambahnya sekresi kelenjar peluh dan ludah

c.

Prostaglandina

bronkokostriksi (terutama prostaglandin F)

Stadium I
Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk proksisimal, karena iritasi dan batuk
kering. Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda asing yang merangsang
batuk
Stadium II
Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan berbusa.
Pada stadium ini anak akan mulai merasa sesak napas berusaha bernapas lebih dalam.
Ekspirasi memanjang dan terdengar bunyi mengi. Tampak otot napas tambahan turut
bekerja. Terdapat retraksi supra sternal, epigastrium dan mungkin juga sela iga. Anak
lebih senang duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi.
Anak tampak gelisah, pucat, sianosisi sekitar mulut, toraks membungkuk ke depan dan
lebih bulat serta bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung
terjadi pernapasan abdominal, retraksi supra sternal dan interkostal.
Stadium III
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat , aliran udara sangat sedikit sehingga suara
napas hampir tidak terdengar.
Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan. Juga batuk seperti
ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak meninggi.
D. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodic batuk, mengi dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma
alergik mungkin diserai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai
secret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan secret baik baik
yang mukoid, putih kadang-kadang purulent. Ada sebagian kecil pasien asma yang
gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma.

Bila hal yang terakhir ini dicuragai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan
sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering berhubungan antara pemajanan allergen dengan gejala
asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asama alergik juga memberikan gejala terhadap
factor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran
napas ataupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asama yang berkaitan dengan pekerjaan. Gejala biasanya
memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang
gejalanya tetap memburuk sepajang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila
pasien dijauhkan dengan lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan
dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di
lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
1.

Wheezing

2.

Dyspnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot- otot asesori pernapasan

3.

pernapasan cuping hidung


4.

batuk kering ( tidak produktif) karena secret kental dan lumen jalan napas sempit

5.

diaphoresis

6.

sianosis

7.

nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam pernapasan

8.

kecemasan, labil dan penurunan tingkat kesadarn

9.

tidak toleran terhadap aktifitas : makan, bermain, berjalan, bahkan bicara


E. Evaluasi Diagnostik
1) Riwayat penyakit atau pemeriksaan fisik
2) Foto rontgen dada
3) Pemeriksaan fungsi paru : menurunnya tidal volume, kapasitas vital, eosinofil biasanya
meningkat dalam darah dan sputum
4) Pemeriksaan alergi (radioallergosorbent test ; RAST)
5) Analisa gas darah pada awalnya pH meningkat, PaCO 2 dan PaO2 turun (alkalosis
respiratori ringan akibat hiperventilasi ); kemudian penurunan pH, penurunan PaO 2
dan peningkatan PaCO2 (asidosis respiratorik)
F. Penatalaksanaan
Berdasarkan pathogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan asama dapat
ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respon saluran napas, mencegah

ikatan allergen IgE, mencegah penglepasan mediator kimia, dan merelaksasi otot-otot
polos bronkus.
Mencegah ikatan allergen-IgE
a. Menghindari allergen.
b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil allergen yang dosisnya mungkin
ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan
mencegah ikatan allergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada orang
dewasa saat ini masih diragukan.
Mencegah penglepasan mediator
Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang dicetuskan
oleh allergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya disuga mencegah penglepasan
mediator dari monosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus yang telah
terjadi, oleh karena itu obat ini hnya dapat dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi
pemeliharaan.
Golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilator juga dapat
mencegah penglepasan mediator.
Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator
a. Simpatomimetik: 1). Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol)
merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan
secara inhalasi melalui MDI (Metere Dosed Inhaler) atau nebulizer; 2). Epinefrin
diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma berat.
Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa muda.
b. Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti dengan
dosis pemeliharaan.
c. Kortikosteroid. Tidak termasuk golongan bronkodilator tetapi secara tidak langsung,
dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi
pemeliharaan.
d. Antikolinergik (ipatropium bromide) terutama dipakai sebagai suplemen bronkodilator
agonis beta 2.
Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran napas
Asma baik yang ringan maupun yang berat menunjukkan inflamasi saluran napas. Secara
histiopatologis ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di
tempat tersebut. Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah meredam inflamasi yang

baik dengan natrium kromolin, atau secara lebih poten dengan kortikosteroid baik secara
oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada asma akut atau kronik.
Pengobatan asma menurut GINA (Glonal Initiative for Asthma)
Ada enam komponen pengobatan asma adalah, yaitu:
1. Penyuluhan kepada pasien.
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang, diperlukan kerja
sama antara pasien, keluarganya serta tenaga kesehatan. Hal ini dapat tercapai bila
pasien dan keluarganya memahami penyakitnya, obat-oabat yang dipakai serta efek
sampingnya.
2. Penilaian derajat beratnya asma.
Penilaian derajat beratnya asma baik melalui pengukuran gejala, pemeriksaan uji faal
paru dan analisa gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil pengobatan.
3. Pencegahan dan pengendalian factor pencetus serangan.
Diharapkan dengan mencegah dan mengendalikan factor pencetus serangan asma
semakin berkurang atau derajat asma makin ringan.
4. Perencanaan obat-obat jangka panjang.
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala asma, ada
tiga hal yang harus dipertimbangkan: a). oabt-obat anti asma; b). pengobatan
farmakologis berdasarkan sistem anak tangga; c). pengobatan asma berdasarkan
sistem wilayah bagi pasien.
Obat-obat anti asma. Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah
dan mengendalikan gejala asma, fungsi penggunaan obat-obat anti asma antara lain:
Pencegah (controller) yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala
asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat anti inflamasi dan
bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat anti inflamasi khususnya
kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagi pencegah. Obat-obat anti
alergi, bronkodilator atau obat golongan lain seringdianggap termasuk obat pencegah.
Meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang
lingkup yang terbatas misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma
kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan memperbaiki
kualitas hidup. Obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai
daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan anti inflamasi jangka panjang ternyata
perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktifitas bronkus lebih
baik bila dibandingkan bronkodilator. Termasuk golongan pencegah adalah kortikosteroid

hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromolin, teofilin lepas


lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmeterol dan formoterol) dan oral, dan
obat-obatan anti alergi.
Penghilang gejala (relever). Yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi broonkokonstriksi
dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini
adalah agonis beta 2 hirup kerja pendek (short-acting), kortikosteroid sistemik, anti
kolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta 2 oral kerja pendek.
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat
terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat
mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai
sebagai penghilang gejala pada asma episodic.
Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah
pemburykan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau
mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik
hirup atau ipatropim bromide selain sipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup
pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternative pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi efek samping agonis beta 2. Teofilin merupakan agonis beta 2 oral dipakai
pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan hirup.
Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga, maka menurut berat ringannya asma
dapat dibagi atas empat:
1. Asma intermitten
Gambaran klinis sebelum pengobatan

Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu)

Serangan singkat (bebrapa jam sampai hari)

Gejala asma malam kurang dari 2 kali sebulan.

Diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal.

Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20%.

Obat yang dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergantung intensitas serangan, bila
berat dapat ditambahkan kortikoosteroid oral.
2. Asma persisten ringan
Gambaran klinis sebelum pengobatan

Gejala lebih dari satu kali seminggu, tetapi kurang dari 1 kali per hari.

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur.

Serangan asma malam lebih dari dua kali per bulan.

Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%.

Obat yang digunakan: setiap hari obat pencegah, agonis beta 2 bila perlu.
3. Asma persisten sedang
Gambaran klinis sebelum pengobatan

Gejala setiap hari.

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur.

Serangan asma malam lebih dari satu kali seminggu.

Setaiap hari menggunakan beta 2 agonis hirup.

Nilai APE dan VEP1 antara 60-80% dari nilai prediksi, variabilitas >30%.

Obat yang dipakai: setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup) dan bronkodilator
kerja panjang.
4. Asma persisten berat
Gambaran klinis sebelum pengobatan

Gejala terus menerus, sering mendapat serangan.

Gejala asma malam sering.

Aktivitas fisis terbatas karena gejala asma.

Nilai APE dan VEP1 < 60% dari nilai prediksi, variabilitas > 30%.

Obat yang dipakai: setiap hari obat-obat pencegah, dosis tinggi, kortikosteroid hirup,
bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral kerja panjang.
Tahap
1. Asma Intermitten
2. Asma Persisten Ringan

Obat Pencegah Harian


Tidak diperlukan
Kortikosteroid hirup

Pilihan Lain

Teofilin lepas lambat

(500g BDP atau

ekuivalen)

Kromolin
Anti leukotrin

BDP=Beclomethasone
3.

Asma Persisten Sedang

diprooprionate
Kortikosteroid hirup (200-

Kortikosteroid hirup (500-

1000 g BDP atau

1000 g BDP atau

ekuivalen) + LABA (Long

ekuivalen) + teofilin lapas

Acting Beta Agonist)

lambat atau

Kortikosteroid hirup (5001000 g BDP atau


ekuivalen) + oral LABA
atau

Kortikosteroid hirup dosis


tinggi (>1000 g BDP atau
ekuivalen)

Kortikosteroid hirup dosis


lebih tinggi (>1000 g BDP
atau ekuivalen) + anti

4.

Asama Persisten Berat

Kostikosteroid inhalasi

leukotrin

(>1000 g BDP atau


ekuivalen)+LABA satu atau
lebih obat berikut bila
diperlukan

Teofilin lepas lambat

Anti leukotrin

LABA oral

Kortikosteroid oral

Anti IgE

Penanganan Kegawat Daruratan


Terapi awal
1. Oksigen 4-6 liter/menit
2. Agonis beta 2 (salbutamol 5 mg atau feneterol 2,5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi
nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit samapi 1jam. Pemberian
agonis beta 2 dapat secara subkutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau
terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan perlahan.
3. Aminofilin bolus iv 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam
sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respon segera atau pasien
sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
Respon terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut:
1. Respon menetap selama 60 menit setelah pengobatan.
2. Pemeriksaan fisik normal.
3. Arus puncak ekspirasi (APE) > 70%
G. Komplikasi
1) Status asmatikus
2) Bronkhitis kronik, bronkhiolus
3) Ateletaksis : lobari segmental karena obstruksi bronchus oleh lender

4) Pneumo thoraks
Kerja pernapasan meningkat, kebutuhan O2 meningkat. Orang asam tidak sanggup
memenuhi kebutuhan O2 yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk bernapas melawan
spasme bronkhiolus, pembengkakan bronkhiolus, dan m ukus yang kental. Situasi ioni
dapat menimbulkan pneumothoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan
ventilasi
5) Kematian

Anda mungkin juga menyukai