Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan


hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
lancar. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kami
Nabi Muhammad SAW yang telah memberi petunjuk sehingga berada di
jalan yang benar.
Keindahan meliputi keindahan alam dan keindahan buatan manusia,
keindahan buatan manusia pada umumnya kita sebut kesenian. Sebuah
karya seni adhiluhung yaitu Menara Kudus, karya seni yang tak sekedar
memiliki keindahan tetapi juga memiliki nilai estetika akulturasi
kebudayaan Hindu-Jawa dan Islam. Menara Kudus bukanlah bangunan
bekas candi Hindu melainkan menara yang dibangun sebagai tempat
menyampaikan informasi atau seruan adzan pada zaman kewalian atau
masa transisi dari akhir kerajaan Majapahit beralih ke zaman Kerajaan
Islam Demak. Bentuk konstruksi dan gaya artistik Menara Kudus mirip
dengan candi-candi Jawa Timur di era Majapahit sampai Singosari
misalnya Candi Jago yang menyerupai menara Kulkul di Bali. Tahapan
mengenali keindahan dan nilai yang tergantung didalam sebuah karya
seni adalah menafsirkan unsur-unsur keindahan itu sebagai masalah
praktis.
Walaupun penulis telah menyusun materi ini dengan maksimal
kemungkinan terdapat kekurangan. Sehubungan dengan hal tersebut,
penulis mengharapkan masukan dari pihak pengajar dan pihak peserta
untuk perbaikan.

Yogyakarta, 21 Desember 2015

DAFTAR ISI
Cover....................................................................................................
.................... i
Judul.....................................................................................................
.................... ii
Kata
Pengantar.............................................................................................
............. 1
Daftar
Isi.........................................................................................................
........... 2
BAB I
Pendahuluan........................................................................................
.....................
Latar
Belakang..............................................................................................
.......... 3
Rumusan
Masalah................................................................................................
... 5
BAB II

Pembahasan........................................................................................
......................
Berdirinya Menara Kudus ..
5
Struktur Karya Seni Menara Kudus ..
. 7
Nilai Intrinsik dan Ekstrinsik Karya Seni Menara Kudus
11
BAB III
Kesimpulan.. 14
Daftar
Pustaka................................................................................................
...... 15

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Kota Kudus sering diidentikkan orang sebagai Kota Kretek dengan PT


Djarum sebagai pabrik yang terbesar dan diikuti oleh pabrik-pabrik rokok
lainnya. Namun masyarakatnya lebih bangga menjadikan Menara Kudus
sebagai simbol atau ikon Kota Kudus. Karena lebih dari itu, Kota Kudus
ternyata menyimpan sejarah panjang yang menjadi goresan tinta sejarah
peradaban.

Masyarakat

Kudus

sangat

bangga

terhadap

Menara

peninggalan Syekh Jafar Sodiq ini. Penyebaran agama Islam di Jawa


dilakukan oleh para pedagang, yang dipelopori oleh Maulana Maghribi,
yang

lebih

dikenal

dengan

nama

Maulana

Malik

Ibrahim.

Beliau

menyebarkan Islam tidak hanya sendiri, melainkan bersama-sama dengan


yang lain atau biasa disebut dengan Wali Songo. Wali-wali tersebut
menyampaikan risalah Islam dengan cara yang berbeda, salah satu
diantaranya adalah yang kita kenal dengan Ja'far Shodiq atau biasa
disebut dengan Kanjeng Sunan Kudus yang membuat Menara Kudus,
Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai bukti
proses penyebaran Islam di Tanah Jawa.
Menara Kudus terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota
Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Kota Semarang.
Oleh penduduk kota Kudus dan sekitarnya, menara ini dikenal dengan
sebutan Menara Kudus atau Menara Mesjid Kuno Kudus. Akan tetapi
menurut sumber literatur lama, bangunan ini diberi nama Candi Menoro
atau

Candi

Kudus

dengan

wujud

Sebuah

masjid

terletak

hampir

berdampingan dengan Menara Kudus ini dan di belakang masjid terdapat


komplek makam yang dianggap keramat dan mendapat perhatian besar
masyarakat setempat maupun pendatang. Seluruh komplek menara ini
dikelilingi oleh pagar tembok yang terbuat dari batu bata yang memiliki
beberapa pintu keluar masuk komplek. Terletak di sebelah tenggara
halaman komplek dan menghadap ke barat. Masjid sendiri menghadap ke
timur.
Dari segi arsitektur, bentuk menara ini mengingatkan akan bentuk
candi corak Jawa Timur. Hal tersebut didasarkan pada sejarah arsitektur
pada masa-masa permulaan periode perkembangan agama Islam di Jawa

Timur (periode Hindu yang diakhiri masa pemerintahan Majapahit)


berpengaruh baik untuk arsitektur maupun pola hiasannya.
Menara Kudus adalah sebuah mahakarya adhiluhung (Masterpiece)
yang memiliki nilai estetik dan artisktik karena desain bangunannya yang
merupakan penggabungan antara Budaya Hindu dan Budaya Islam.
Sebagaimana kita ketahui, sebelum Islam, Di Jawa telah berkembang
agama Budha dan Hindu dengan peninggalannya berupa Candi dan Pura.
Selain itu ada penyembahan terhadap Roh Nenek Moyang (Animisme) dan
kepercayaan terhadap benda-benda (Dinamisme). Menara Kudus menjadi
bukti, bagaimana sebuah perpaduan antara Kebudayaan Islam dan
Kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang memiliki
nilai estetika dan artistik tinggi. Sebuah Menara yang berfungsi untuk
menyampaikan informasi dan seruan adzan , namun dalam bentuk candi
dan berbagai ornamen lain yang bergaya Hindu.
Bangunan Menara Kudus dengan keanggunan dan keindahannya
telah menjadi obyek perdebatan di kalangan ilmuwan terutama berkaitan
dengan kedudukannya sebagai bangunan peribadatan; apakah pada
awalnya merupakan bangunan peribadatan orang-orang sebelum Islam,
ataukah sejak berdirinya sudah menjadi simbol peribadatan Islam.

Gambar 1. Peta Komplek Makam dan Menara Kudus.

B. Rumusan Masalah
5

1. Kapan Menara Kudus didirikan?


2. Siapa yang Mendirikan Menara Kudus ?
3. Apakah Menara Kudus bisa disebut sebagai Karya Seni?
4. Apa nila estetika dari Menara Kudus?
5. Apa nilai intrinsik dan ekstrinsik Masjid Menara Kudus ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Berdirinya Menara Kudus


Menara Kudus merupakan peninggalan Sunan Kudus yang dibangun
di samping masjid yang diberi nama dengan Masjid Al-Aqsa atau Masjid
Menara Kudus dan Masjid Al Manar yang didirikan pada Selasa Legi,19
Rajab 956 H bertepatan dengan 23 Agustus 1549 M. Kenapa dinamai
Masjid

Al-Aqsa?,

Karena

batu

pertama

bangunan

masjid

tersebut

didatangkan dari Baitul Maqdis, Jerussalem, Palestina. Sayangnya, tulisan


pada batu inskripsi itu sudah sulit dibaca karena banyak huruf yang rusak.
Batu itu berukuran lebar 30 sentimeter dan panjangnya 46 sentimeter.
Menara tersebut dibangun atas prakarsa Syech Jafar Shodiq pada
sekitar abad ke 16, putera dari R.Usman Haji yang bergelar dengan Sunan
Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan tempat tersebut
terletak di sebelah utara Blora). Sunan Kudus kawin dengan Dewi Rukhil,
puteri dari R.Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Bonan di Tuban. R.Makdum
Ibrahim adalah putera R.Rachmad (Sunan Ampel) putera Maulana Ibrahim.
Dengan demikian Sunan Kudus adalah menantunya Kanjeng Sunan
Bonang. Sunan Kudus selain dikenal seorang ahli agama juga dikenal
sebagai ahli ilmu tauhid, ilmu hadist dan ilmu fiqh. Karena itu, diantara
kesembilan wali, hanya beliau yang terkenal sebagai "Waliyil Ilmi".
Adapun cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan
jalan kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat
itu masih memeluk agama Hindu.

Masjid Al-Aqsa atau Masjid Menara Kudus yang didirikan pada tahun
1549 M atau 956 H yang terbukti sangat jelas dengan prasasti berbahasa
arab atau batu pertama yang diletakan untuk membuat masjid ini, yang
didatangkan dari baitul maqdis atau palestina. Dengan ditemukanya bukti
adanya candrasengkala yang berada di tiang menara yang berbunyi
gapura

rusak

ewahing

jagad.

Menurut

prof.

DR

RM

Soetjipto

Wirjosoeparto, candrasengkala ini menunjukkan Gapuro (9), Rusak (0), Ewah (6)
Dan Jagad (1) yang dalam bahasa Jawa dibaca dari belakang menjadi 1609, sehingga
disinyalir bahwa menara ini tersebut dibangun pada tahun Jawa 1609 atau 1685 M, berarti
sesudah Masjid Al-Aqsa berdiri pada tahun 1549 M.
Di dalam Inskripsi bersejarah yang terdapat di atas pengimaman
masjid Menara Kudus, tidak sedikitpun disebutkan bahwa Jafar Shadiq
juga membangun sebuah menara sebagai kelengkapan masjid yang
didirikannya. Dan berdasarkan nama masjid Menara Kudus seperti yang
sering

diucapkan

orang-orang

di

wilayah

Kudus

dan

sekitarnya,

menunjukkan bahwa masjid dididirikan untuk melengkapi bangunan


menara. Artinya kurang lebih menara ini dibangun sebelum Masjid Al-Aqsa
atau sesudah Masjid Al-Aqsa atau malahan dibangun secara bersamaan.
Denny Nur Hakim sebagai staf Yayasan Makam dan Masjid Menara Kudus
(YM3SK) juga mengatakan bahwa kemungkinan besar berdirinya Menara
Kudus bersamaan dengan berdirinya Masjid Al-Aqsa, karena melihat fungsi
dari

bangunan

menara

tersebut

sebagai

tempat

untuk

mengumandangkan seruan adzan.


Syech Jafar Shodiq dapat disebut sebagai seorang seniman karena
memiliki dua unsur, yakni pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan
yang diutamakan adalah tentang ukuran yang benar dan proporsi yang
benar.

Juga

tentang

pengetahuan

bahan

yang

dipakai

dalam

pekerjaannya. Menara Kudus sendiri dibangun oleh Syech Jafar Shodiq


dengan bahan batu bata merah yang tidak menggunakan semen
melainkan menggunakan perekat putih telur. Ini menegaskan bahwa
beliau mengetahui tentang pengetahuan bahan. Penggunaan material
batu bata merah diselaraskan pada keadaan alam di sekitarnya yang tidak
banyak terdapat batu gunung yang biasa digunakan untuk bangunan
7

candi (bangunan monumental) di Jawa Tengah, seperti Candi Gedong


Songo di Dieng.
Bangunan Menara Kudus disinyalir merupakan bangunan asli
arsitektur Jawa Islam, tetapi ada yang berpendapat bahwa bangunan
Menara Kudus adalah alkulturasi budaya arsitektur Hindu Islam.
Bangunan Menara Kudus dengan keanggunan dan keindahannya telah
menjadi obyek perdebatan di kalangan para Arkeolog dan Sejarahwan
terutama

berkaitan

dengan

kedudukannya

sebagai

bangunan

peribadatan; apakah pada awalnya merupakan bangunan peribadatan


orang-orang sebelum Islam, dengan kata lain ia dibangun sebelum orangorang Islam datang di wilayah Kudus, ataukah sejak berdirinya sudah
menjadi simbol peribadatan Islam bersamaan dengan Masjid Al-Aqsa,
berarti ia dibangun pada zaman kewalian / masa transisi dari akhir
kerajaan Majapahit beralih ke zaman Kerajaan Islam Demak.
Bagi mereka yang lebih condong pada pendapat pertama, memiliki
argumentasi bahwa bentuk konstruksi dan gaya arsitektur Menara Kudus
mirip dengan candi-candi Jawa Timur di era Majapahit sampai Singosari
misalnya candi Jago yang menyerupai menara Kulkul di Bali. Dan sebagian
besar menganggap bahwa bangunan Menara Kudus semula sebuah candi
yang kemudian berubah fungsi. Hal ini bisa dibandingkan dengan
bangunan candi Kidal yang terdapat di Jawa Timur yang didirikan kira-kira
tahun 1250 atau mirip dengan Candi Singosari. Namun pernyataan
tersebut dibantah oleh prof. DR RM Soetjipto Wirjosoeparto dalam buku
Menara Kudus Bukan Bekas Candi karangan Fathur Rozi, prof. DR RM
Soetjipto Wirjosoeparto berpendapat bila Menara Kudus itu bekas candi,
pasti ditengah badan menara relung-relungnya ada bekas candi dan
kotak-kotak badan menara yang biasa pada candi terdapat relief-relief dan
diatas pintu candi biasanya ada makara, sebaliknya di atas pintu menara
tidak terdapat makara.

Gambar 2. Majid dan Menara Kudus.

B. Struktur Karya Seni Menara Kudus


Sebuah karya seni menurut Susane K. Langer, filusuf seni Amerika
memiliki tiga prinsip yaitu : ekpresi, kreasi, dan bentuk seni. Suatu
ciptaan bentuk yang hidup, yang didalamnya ada dinamika, ada
kesatuan logis dalam dirinya. Setiap karya seni harus bersifat organis,
dinamis dan hidup, penuh vitalitas. Seperti halnya Menara Kudus, suatu
ciptaan yang sudah bisa disebut sebagai sebuah karya seni, karena ia
hidup, dinamis, ekpresif dan fungsional. Seperti pendapat yang di
kemukaakn oleh Mikke Susanto, bahwa Karya seni memiliki tujuh hal
yaitu: bentuk, tema atau ide, jasa, fungsi, medium, desain visual,
dan gaya.
Struktur atau susunan dari suatu karya seni adalah aspek yang
menyangkut keseluruhan dari karya dan meliputi juga peranan masingmasing bagian dalam keseluruhan. Sebagai salah satu elemen yang
menonjol, bangunan Menara Kudus mengadopsi model bangunan ibadah
umat Hindu dan Budha. Tersusun dari batu bata tanpa perekat semen
melainkan menggunakan perekat putih telur, yang merupakan ciri khas
candi di Jawa Timur. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya
hubungan dengan kesenian Jawa- Hindu, karena strukturnya terdiri tiga
bagian pokok yaitu: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Hal ini
9

memenuhi kriteria struktur karya seni yaitu keutuhan atau kebersatuan


(unity), dengan keutuhan yang dimaksud bahwa karya yang indah
menunjukkan dalam keseluruhannya sifat yang utuh, yang tidak ada
cacatnya, berarti tidak ada yang kurang dan tidak ada yang berlebihan.

Gambar 3. Sketsa Arsitektur Menara Kudus.

Menara Kudus memiliki tiga macam kondisi (keadaan yang dibuat


khusus) yang berpotensi atau bersifat memperkuat keutuhanya, adalah :
simetri (memberi rasa tenang dan aman), ritme atau irama (memberi
kesan keterkaitan peristiwa), dan Harmoni atau Keselarasan (member
rasa nyaman, tidak ada yang saling bertentangan, semua ccocok dan
terpadu). Memiliki ketinggian 18 meter dengan bagian dasar berukuran
10

10 x 10 meter. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring


bergambar yang keseluruhan berjumlah tiga puluh dua buah. Dua puluh
buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia
dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, dua belas buah lainnya
berwarna merah putih berlukiskan kembang. Menara ini dihiasi pula
antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan Menara Kudus diukir sebagaimana motif tradisi
Jawa-Hindu, dan teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada
bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi
kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk
atap tajug. Di bagian atas menara ini, diletakkan bedug dan kentungan
yang dipukul sebagai tanda datangnya waktu-waktu tertentu. Pada bagian
puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada
puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa
yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Hindu-Jawa.
Rasa keseimbangan dalam karya seni Menara Kudus dicapai dengan
simetri, keseimbangan pada pihak berlawanan dari satu poros. Ia dicapai
dengan menyusun unsur-unsur sejenis dan punya identitas visual pada
jarak yang sama terhadap suatu titik pusat yang imajiner, kehadiran
simetri

memberi

Keseimbangan

yang

ketenangan
simetri

karena

yang

adanya

memberi

keseimbangan.

ketenangan

disebut

symmethic balance atau formal balance. Keseimbangan tidak hanya dapat


dicapai

dengan simetri

saja,

keseimbangan

tanpa

simetri

disebut

asymmethic balance atau informal balance, keseimbangan sebelah


menyebelah dari susunan unsur yang menggunakan prinsip susunan
ketidaksamaan atau kontras.
Pengalaman rasa seimbang biasaanya memberikan ketenangan,
keseimbangan simetris memberi kesan berdiam, yang statis, yang tidak
akan berobah. Meskipun keseimbangan symmethic balance atau formal
balance bersifat statis dan tenang, tetapi tidak menampakan kesan
membosankan. Keseimbangan yang tidak simetri memberi kesan mau
bergerak, yang dinamis, kesan bahwa sebentar aka nada perobahan.

11

12

Gambar 3. Bagan Struktur Karya Seni.

C. Nilai Intrinsik dan Ekstrinsik Karya Seni Menara Kudus.


Seni pada dasarnya adalah sesuatu yang dapat di indera manusia.
Sebuah karya seni tidak cukup hanya menghidangkan keindahan yang
terindera (bendanya) belaka. Seni memang menyangkut nilai, dan yang
disebut nilai dalah sesuatu yang bersifat subjektif, tergantung pada
manusianya yang menilainya. Karena subjektif maka setiap orang, setiap
klompok, setiap masyarakat memiliki nilai-nialinya sendiri yang disebut
seni. Dengan demikian, nilai-nilai seni juga ditentukan daerah asal budaya
atau ideology sosial senimanya. Masjid dan Menara Kudus dibangun oleh
Syech Jafar Shodiq dengan gaya budaya arsitektur Jawa-Hindu dan IslamTimur Tengah. Secara estetika maupun kognitif nilai-nilai dasar ditentukan
oleh konteks sosial budaya senimanya.
Dan setiap karya seni, sebagian orang ada yang menilainya sebagai
seni dan adapula sebagian lagi yang menilanya bukan sebagai seni. Inilah
sebabnya ada pembagian atau penggolongan seni kaum elit terpelajar,
seni popular kaum terpelajar, seni massa kaum terpelajar, dan seni
rakyat. Maka, tidak pada tempatnya jika kita menilai seni populer,
misalnya, dari pandangan nilai seni terpelajar. Seni populer yang dikira
bukan seni atau malahan sampah oleh kaum elit terpelajar semacam itu
malahan justru amat dibutuhkan, dan mungkin merupakan satu-satunya
seni bagi kaum kurang terpelajar.
Karya seni yang bermutu
memberikan

pengalaman

estetik,

adalah karya seni yang mampu


pengalaman

emosi,

pengalaman

keindahan, atau pengalaman seni yang khas milik dirinya. Clive Bell
menamakan kualitas seni yang demikian itu sebagai significant form atau
bentuk yang bermakna. Seperti halnya Menara Kudus yang memiliki
bentuk bermakna.
Dalam setiap karya seni terdapat dua aspek utama, yakni, aspek
intrinsik dan ekstrinsik. Seni yang hanya menawarkan aspek intrinsik
tanpa kepentingan yang bersifat pragmatis hanyalah seni murni, sematamata estetik bukan demi apapun diluar seni itu sendiri, yaitu seni untuk
13

seni. Intrinsik seni dibentuk oleh medium atau material seninya. Jika
ngomongin tentang aspek ekstrinsik berarti ngomongis soal nilai, yakni
gagasan, pikiran, dan perasaan seniman. Dan unsur ekstrinsik dalam seni
(gagasan dan perasaan) hanya dapat ditangkap oleh orang lain melalui
perwujudan intrinsiknya.
Jadi, tak mungkin memisahkan dua aspek intrinsiknya

dan aspek

ekstrinsiknya. Contohnya, Konon dibawah Menara Kudus terdapat dua


sumber mata air kehidupan. Ada yang beranggapan bahwa jika mahluk

hidup yang telah mati meminum mata air tersebut akan menjadi hidup
kembali. Atas kekhawatiran akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut
dengan bangunan menara. Ini yang disebut aspek aspek ekstrinsik
sebuah karya seni. Dari aspek intrinsiknya bisa dijelaskan oleh para
ilmuan yang menyimpulkan bahwa dua sumber mata air itu adalah bagian
dari konstruksi bagunan menara, karena dengan adanya sumur atau
sumber mata air bisa

mengawetkan (menjaga kelembaban) bagunan

menara.
Gambar 3. Bagaunan Menara Kudus.
14

Ada elemen lain yang membuat bangunan Menara Kudus ini


memiliki nilai ekstrinsik, yaitu bagian kepala menara yang berbentuk atap
tumpang atau tajuk dari kayu jati dengan empat saka guru yang
menopangnya. Itu adalah atap khas rumah Jawa-Hindu yang setelah
diadaptasi oleh ajaran Islam mengandung makna iman, Islam, dan ihsan.
Islamisasi masyarakat Kudus diwarnai dengan pencampuran warisan
budaya Hindu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Di samping melestarikan
tradisi-tradisi, Sunan Kudus juga memelihara simbol-simbol budaya lama.
Tujuannya

agar

nilai-nilai

Islam

dapat

diterima

masyarakat

tanpa

menimbulkan gejolak sosial.


Memang, akulturasi religi sangat kental terlihat. Sunan Kudus,
melakukan dakwah Islam secara bijaksana (hikmah). Hasil dakwahnya
sangat luar biasa. Penduduk setempat yang dahulunya pemeluk taat
ajaran Hindu-Buddha, beralih memeluk ajaran tauhid (Islam). Kunci sukses
Sunan Kudus terletak pada kemampuannya melakukan pribumisasi ajaran
Islam di tengah masyarakat yang sudah punya budaya mapan.
Sebuah karya seni yang besar bisa ditolak masyarakatnya hanya
karena pencarian nilai-nilai pragmatis di dalamnya. Maka, dianjurkan agar
penikmat karya seni menjauhkan diri dari kepentingan pragmatis. Dan
inilah yang dinamakan jarak estetik. Jadi bisa kita katakan bahwa,
masyarakat pada waktu itu sudah memiliki pengalaman seni yang tinggi
dengan proses akulturasi, antara kebudayaan yang ada sebelumnya
dengan kebudayaan asing yang mungkin sama sekali mereka belum
ketahui. Tingginya pengalaman seni mereka menyebabkan bangunan
Masjid

dan

Menara

Kudus

tidak

ada

duanya.

Masyarakat

dahulu

membangun masjid tanpa harus meniru yang sudah ada di Timur Tengah,
menghasilkan suatu ciri khas tersendiri yaitu alkulturasi antara budaya
Jawa-Hindu dan Islam-Timur Tengah.

15

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah membaca semua referensi yang saya kumpulkan seputar banguna Menara
Kudus dan Estetika Seni, saya bisa menyimpulkan bagunan Menara Kudus merupakan salah
satu cerminan untuk masa sekarang bahwa sejak jaman dahulu nenek moyang kita setiap
membuat karya seni menggunakan dua aspek utama, yakni, aspek intrinsik
dan ekstrinsik. Kaya seni yang diwariskan nenek moyang kita tak cuma
memiliki artistic yang indah tetapi juga memiliki sebuah nilai.
Sebenarnya, sejak zaman dahulu, Indonesia telah menarik dunia. Indonesia kaya akan
budaya, tapi kebudayaan itu tidak di manfaatkan secara maksimal seperti dulu.
Kebudayaan itu bersifat dinamis dan fleksibel. Kita bisa memodifikasi budaya luar yang di
16

anggap baik dan menguntungkan dengan memasukan budaya sendiri sebagai kiblatnya. Hal
tersebut bisa menambah ketertarikan mata dunia terhadap kita, sama halnya dengan
kreatifitas mereka yang dulu telah membuat kita yang hidup sekarang terkagum-kagum atas
karya mereka. Penuh arti nilai filosofi yang tinggi dan tidak hanya sekedar karya seni yang
memiliki keindahan.
Simbol candi yang menjadi icon mencolok dari menara ini bukanlah
menunjuk pada kegunaan candi sebagai tempat memuja para dewa
Hindu-budha, namun inisiatif Sunan Kudus membangun menara yang
menyerupai candi adalah sebagai penarik perhatian umat Hindu agar
dengan mudah menerima ajaran Islam yang elastis dan tidak menolak
keseluruhan bentuk budaya terutama arisektur agama Hindu. Inilah
bentuk strategi dakwah Sunan Kudus.
Jika umat Hindu datang ke candi untuk melakukan penyembahan
kepada para dewa maka ketika ajaran Islam mulai diterima, mereka
datang ke menara atau candi untuk melakukan penyembahan kepada
Tuhan Yang Maha Esa di Masjid Al-Aqsa yang terletak di sebelah menara.
Sunan Kudus menggunakan menara tersebut untuk mengumandangkan
adzan dan memberikan pengumuman tentang awal bulan Qamariyah, dan
di bagian atas menara ini, diletakkan bedug dan kentungan yang dipukul
sebagai tanda datangnya waktu-waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung :Penerbit ITB.


Kartika, Sony., Prawira, Ganda. 2004. Pengantar Estetika,
Bandung: Penerbit Rekayasa Sains.
Djelantik, A.A.M.. 1999. Estetika. Bandung :Penerbit MSPI.

17

Fanami, Achmad. 2009. Arsitektur Masjid. Yogyakarta :


Penerbit Bentang.
Pratama, Galih. 2012. Menara Masjid Kudus.
Zein, Abdul Baqir. 1999. Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia.
Jakarta : Gema Insani Press.
Sunyoto, Agus. Wali Songo Rekontruksi Sejarah yang
Disingkirkan. Jakarta : Transpustaka. 2011
From http://lovelyjoonote.wordpress.com/2014/01/03/menara-kudus-simbolakulturasi-islam-hindu-jawa-dalam-bidang-arsitektur/ , 28 Desember 2015

18

Anda mungkin juga menyukai