Anda di halaman 1dari 5

BAB III

ANALISA KASUS

Dari anamnesis diperoleh data, Pasien TN. GS 52 tahun dengan


penyakit sirosis hepatis datang dengan keluhan tambahan berupa BAB cair
2 minggu yang lalu, 4 kali dalam sehari kira-kira seperempat gelas
belimbing, berlendir, warna kuning kecoklatan kadang-kadang ada sedikit
bercak darah pada kotoran. BAB cair ini hilang timbul sejak 1 tahun terakhir.
Selain itu pasien juga mengeluh mual, sering sendawa, tidak ada muntah,
nyeri ulu hati, badan terasa lemas, demam hilang timbul, nafsu makan
menurun dan berat badan terasa semakin berkurang. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan abdomen cembung membesar, Bising usus (+) meningkat, nyeri
tekan epigastrium (+).
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksan fisik tersebut diketahui
bahwa pasien ini mengalami diare kronik, sesuai dengan definisinya, diare
merupakan kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi
lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering,
biasanya tiga kali atau lebih dalam satu hari. Diare yang berlangsung selama
lebih dari 14 hari merupakan Diare persisten atau diare kronik. Diduga diare
kronik pada pasien ini terjadi sebagai manifestasi klinis dari enterokolitis.
Sehingga

pada

pasien

ini

ditegakkan

diagnosa

enterokolitis,

yaitu

peradangan atau inflamasi yang terjadi pada usus halus dan kolon.
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 6
golongan besar, yaitu infeksi (virus, bakteri atau parasit), malabsorbsi,
alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya. Penyebab yang
sering

ditemukan

secara

klinis

adalah

infeksi

dan

keracunan.

Pada

pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap pasien didapatkan LED 14


mm/jam, Mixed (Eo/Mo/Ba) 13,0% . Pada pemeriksaan feses lengkap
didapatkan feses berwarna kuning kecoklatan dengan konsistensi lunak,
lendir : (+), leukosit 0-2, eritrosit 0-1, Bakteri (+), tidak ditemukan E. coli, E
9

histolitica, ataupun telur cacing. Hal ini mengindikasikan bahwa enterokolitis


pada pasien ini disebabkan oleh proses infeksi bakteri. Karena proses infeksi
juga dapat menyebabkan inflamasi.
Laju

endap

darah

(LED)

merupakan

penanda

terjadinya

inflamasi, dimana jika terdapat inflamasi akan terjadi peningkatan nilai LED
di atas normal. LED dapat digunakan untuk menentukan apakah enterokolitis
aktif sedang berlangsung atau tidak.
Pemeriksaan tinja untuk melihat apakah terdapat sel darah putih
pada tinja. Selain itu, juga dapat mendeteksi perdarahan atau infeksi kolon
karena bakteri, virus dan parasit. Mungkin ditemukan eritrosit walau tanpa
perdarahan rektum, dan adanya leukosit membuktikan terjadinya inflamasi
atau infeksi. Tidak ditemukannya mikroorganisme tidak dapat menyingkirkan
infeksi secara otomatis. Pada infeksi oleh Clostridium difficile, selain kultur,
harus dilakukan pemeriksaan toksin.
Pada

enterokolitis,

lamina

propria

diinfiltrasi

oleh

limfosit,

makrofag, dan sel-sel lain dari sistem imunitas. Penelitian yang intensif pada
antigen yang memicu respon imun belum menemukan suatu mikroba
patogen tertentu. Antibodi anti-kolon telah jelas teridentifikasi dalam serum
pasien enterokolitis. Penyakit inflamasi usus mungkin juga berkaitan dengan
kegagalan supresi (atau "downregulasi") dari peradangan kronis level rendah
pada lamina propria sebagai respon paparan kronis terhadap antigen
luminal, khususnya bakteri komensal.8
Apapun

pemicu

antigeniknya,

sel

lamina

propria

yang

teraktivasi terlibat dalam patogenesis penyakit inflamasi usus. Pada penyakit


inflamasi

usus,

menghasilkan

limfosit

yang

interferon-

teraktivasi

(IFN-).

menjadi

Sitokin

limfosit

pro-inflamasi,

TH1

yang

termasuk

interleukin-1 (IL-1) dan tumor nekrosis faktor- (TNF-), dapat memperkuat


respon imun. Cedera epitel pada penyakit inflamasi usus tampaknya
disebabkan jenis oksigen reaktif dari neutrofil dan makrofag, serta sitokin
seperti TNF- dan IFN-.8

10

Pada tikus, kolitis terjadi ketika gen IL-2, IL-10, atau transforming
growth factor-1 terkalahkan atau ketika ada beberapa sel T pada reseptor
mutan, dan kolitis berkembang pada tikus transgenik jika gen manusia HLAB27 telah lebih dulu diperkenalkan. Jika hewan yang sama dibesarkan dalam
lingkungan yang bebas dari kuman, kolitis tidak berkembang, sehingga
menunjukkan bahwa kolitis bisa menjadi satu-satunya manifestasi dari
berbagai abnormalitas dalam imunitas sistemik dan kolitis adalah hasil dari
respon imun abnormal terhadap bakteri komensal.8
Pemeriksaan penunjaang yang telah dilakukan pada pasien ini
juga menunjukkan leukosit 5,06 x 103/mm, Hb 9,4 g/dl, trombosit 102 x
103/mm3 pada pemeriksaan kedua diperoleh leukosit 3,5 x 10 3/mm, Hb 8,9
g/dl, trombosit 102 x 103/mm3. Hasil USG Abdomen memberikan kesan adanya asites
dengan sirosis hepatis dan splenomegali.
Gangguan hematologic yang sering terjadi pada sirosis hepatis
adalah kecendrungan perdarahan, anemia, leucopenia, dan trombositopenia
yang diduga terjadi akibat hipersplenisme, limpa tidak hanya membesar
tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi. Mekanisme
lain yang menimbulkan anemia adalah defisiensi folat, vitamin B12 dan besi
yang terjadi secara sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan
hemolisis eritrosit. Penderita juga lebih mudah terserang infeksi, karena
penyakit

sirosis

hepatis

pada

pasien

ini

telah

berada

pada

fase

dekompensata, sehingga fungsi fisiologis hati telah terganggu. Fungsi hati


sebagai pertahanan tubuh terdiri dari fungsi detosifikasi dan fungsi
perlindungan. Fungsi detoksifikasi dilakukan oleh enzim-enzim hati yang
melakukan

oksidasi,

reduksi,

hidrolisis

atau

konjugasi

zat

yang

kemungkinann membahayakan dan mengubahnya menjadi zat yang secara


fisiologis tidak aktif. Sedangkan fungsi perlindungan dilakukan oleh sel
kupffer yang terdaapat pada dinding sinusoid hati, sebagai sel endotel
mempunyai fungsi sebagai system endothelial, berkemampuan fagositosis
yang sangat besar, sehingga dapat membersihkan sampai 99% kuman yang
ada dalam vena porta sebelum darah menyebar melewati seluruh sinusoid.
11

Sel kupffer juga menghasilkan immunoglobulin yang merupakan alat penting


dalam penyelenggaraan kekebalan humoral.
Pada

pasien

ini

disarankan

untuk

dilakukan

pemeriksaan

radiologi berupa upright chest dan serial Abdomen untuk melihat ada
tidaknya tanda obstruksi, evaluasi colon yang edema dan ireguler, kadang
terlihat pneumatosis coli (udara pada dinding kolon), dan tanda megakolon
toksik.
Colonoscopy merupakan modalitas yang paling bernilai untuk
diagnosis dan penatalaksanaan enterokolitis, walaupun ada beberapa
batasannya sehingga tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati karena
kemungkinan dapat mengakibatkan perforasi atau komplikasi lainnya. Jika
digunakan dengan benar, colonoscopy membantu menentukan luas dan
derajat keparahan enterocolitis, membantu dalam penatalaksanaan, dan
dapat mengambil sampel jaringan untuk membantu diagnosis. Barium
enema dan kolonoskopi juga bertujuan untuk mengetahui penyebaran
penyakit dan untuk meyakinkan tidak adanya kanker.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini, adalah IVFD Rl


20 Tts/Menit Makro, Ciprofloxacin 2 X 500 mg, dan metronidazole 3 x 500
mg, Propanolol 3 x 10 mg,

Spironolacton 2x50mg, Sebivo 1 x 1 tablet,

AHFC 1 x 1 bungkus
Pemberian cairan intravena pada pasien ini dilakukan dengan
tujuan untuk menggantikan cairan yang hilang disebabkan oleh diare kronik
dan sebagai maintenance, cairan yang diberikan berupa cairan kristaloid
isotonis yang mengandung ion yang mampu dengan mudah melewati
dinding endotel kapiler tetapi tidak mudah melewati dinding sel, dan cairan
ini akan berakhir di ruang interstisial.
Antibiotik diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen
proinflamasi disebabkan oleh bakteri intraluminal. Pada pasien ini juga terbukti

12

telah mengalami enterokolitis akibat infeksi bakteri. Antibiotika yang diberikan


adalah kombinasi ciprofloxacin dan metronidazol.

Ciprofloxacin

(1-cyclopropyl-6-fluoro-1,4-dihydro-4-oxo-7-(-1-

piperazinyl-3 quinolone carboxylic acid) merupakan salah satu obat sintetik


derivat quinolone. mekanisme kerjanya adalah menghambat aktifitas DNA
gyrase bakteri, bersifat bakterisida dengan spektrum luas terhadap bakteri
gram positif maupun gram negatif. Ciprofloxacin diabsorbsi secara cepat dan
baik melalui saluran cerna, bioavailabilitas absolut antara 69-86%, kira-kira
16-40% terikat pada protein plasma dan didistribusi ke berbagai jaringan
serta cairan tubuh. metabolismenya dihati dan diekskresi terutama melalui
urine.
Sedangkan metronidazole bekerja sebagai bakterisid, amubisid
dan trikomonasid. Mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti.
Metronidazol tidak terionisasi pada pH fisiologik dan siap diambil oleh
organisme atau sel anaerob. Pada organisme atau sel yang sensitif,
metronidazol mengalami proses reduksi oleh protein transpor elektron
potensial-redoks-rendah

(contohnya

nitroreduktase

seperti ferredoxin)

sehingga produk polar yang telah kehilangan gugus nitro menjadi tidak
dikenal. Produk reduksi inilah yang tampaknya bertanggung jawab atas efek
sitotoksik dan antimikroba metronidazol, yang meliputi gangguan pada DNA
dan inhibisi sintesis asam nukleat. Metronidazol sama efektifnya terhadap sel
yang

sedang

membelah

maupun

yang

tidak.

Metronidazol

secara in

vitro melawan berbagai spesies bakteri anaerob, terutama Bacteroides


fragilis dan

spesies Bacteroides lainnya,

juga

spesies

lain

seperti Fusobacteria, Eubacteria, Clostridia dan Streptococci anaerob.

13

Anda mungkin juga menyukai