Kami telah melakukan akad kredit pada bulan Februari 2013, namun rumahnya belum
kunjungan dibangun. Dalam perjanjian, batas waktu untuk pengembang yaitu sampai
bulan April 2014, apabila lewat dari batas waktu yang ditentukan maka akan
diberlakukan wanprestasi dengan denda 1%. Untuk blok yang lain sudah dibangun asalasalan saja dengan mengenyampingkan klasifikasi yang pernah dijanjikan. Yang ingin
saya tanyakan, dapatkah saya mengajukan proses hukum terhadap developer atas
wanprestasi tersebut dan bagaimana prosedurnya? Lalu dengan pelanggaran spesifikasi
bangunan, seperti di brosur disebutkan pakai bata merah tetapi realisasinya pake
hebel, besinya cuma 6mm, fondasi cuma 20cm dan beberapa pelanggaran lainnya di
lapangan (ada bukti dokumen), bagaimana prosedur untuk memperkarakan developer
nakal tersebut?
JAWABAN :
Pertama yang harus diperjelas lebih dulu adalah sudah sejauh mana Anda sebagai
konsumen telah melaksanakan kewajiban yang sudah diperjanjikan. Misalnya
melengkapi
persyaratan
administrasi
dan
melakukan
pembayaran
sesuai
kesepakatan.
Bila Anda telah melaksanakan semua kewajiban tetapi ternyata pihak pengembang
(developer) tidak memenuhi kewajibannya, Anda bisa menanyakannya terlebih
dulu. Prinsipnya adalah upayakan untuk menempuh penyelesaian permasalahan ini
secara baik-baik.
Namun jika tidak didapat titik temu dalam upaya perundingan tersebut, ada
baiknya
Anda
melayangkan
teguran/somasi
terlebih
dulu
yang
isinya
bunga
berupa
hilangnya
keuntungan
yang
sudah
diperkirakan
atau
pidana,
Anda
juga
dapat
tuduhan
melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU Konsumen). Pasal ini pada intinya melarang pelaku
usaha untuk memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
tersebut. Dalam kasus ini, developermembangun tidak sesuai dengan ketentuan
spesifikasi bangunan yang terdapat dalam brosur dan yang telah dijanjikan
sebelumnya.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut terancam sanksi pidana paling
lama 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Ancaman sanksi ini termuat
dalam Pasal 62 UU Konsumen.
Ancaman pidana lain bagi developer yang membangun perumahan yang tidak
sesuai dengan kriteria, spesifikasi dan persyaratan yang diperjanjikan juga diatur
dalam Pasal 134 jo Pasal 151 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Perumahan). Yaitu denda maksimal
Rp5 miliar.
Selain sanksi denda, developer tersebut juga dapat dijatuhi sanksi administratif
sebagaimana terdapat dalam Pasal 150 UU Perumahan. Sanksinya mulai dari
peringatan tertulis, pencabutan izin usaha, hingga penutupan lokasi.
menguatkan
putusan
Pengadilan
melakukan
Tinggi
wanprestasi
Medan
karena
yang
tidak
dapat
harga
bangunan
sebagai
alasan
mundurnya
waktu
2.
Referensi:
Putusan Mahkamah Agung 324 K/Pdt/2006.
dengan
pertanyaan
di
atas,
maka
dapat
dikatakan
bahwa,
kegiatan
usahanya
yang
meliputi
perencanaan,
pelaksanaan
dan
pengawasan, dibatasi hanya pada kegiatan usaha yang terbatas dari segi risiko,
teknologi, biaya dan bidang keahlian yang disertakan, dibandingkan dengan
kegiatan dari suatu Badan Usaha yang merupakan developer.
PEMBELIAN APARTEMEN
Pengaturan mengenai Apartemen diatur di dalam Undang-undang Nomor 20 tahun
2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah Susun). Menurut Pasal 1UU Rumah
Susun, Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang di bangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuansatuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama
untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama.
Kepemilikan atas unit apartemen dibuktikan dengan adanya Sertifikat Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) jika rumah susun tersebut didirikan
di atas tanah dengan hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Sedangkan
untuk rumah susun yang di bangun di atas barang milik negara/daerah berupa
tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa dibuktikan dengan Sertifikat Kepemilikan
Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun).
sederhana, rumah menegah dan rumah mewah atau dalam bentuk rumah susun antara
rumah susun umum dan rumah susun komersial.
Tujuan Hunian Berimbang
Menurut Pasal 3 Permen Hunian Berimbang, tujuan dari Hunian Berimbang adalah
untuk:
1.
2.
3.
4.
Menciptakan keserasian tempat bermukim baik secara sosial dan ekonomi; dan
5.
kawasan pemukiman.
Lokasi Hunian Berimbang
Setiap orang yang membangun perumahan dan kawasan pemukiman wajib melakukan
Hunian Berimbang, kecuali seluruhnya diperuntukkan bagi rumah sederhana dan/atau
rumah susun umum. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman
selanjutnya harus memenuhi persyaratan lokasi Hunian Berimbang.
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman dengan Hunian Berimbang
dilaksanakan di perumahan, pemukiman, lingkungan hunian dan kawasan pemukiman
dengan skala sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Kawasan pemukiman dengan jumlah rumah lebih dari 10000 (sepuluh ribu)
rumah.
Lokasi untuk hunian berimbang dapat dilaksanakan dalam satu kabupaten/kota pada:
1.
2.
Rencana tapak
2.
Desain rumah
3.
4.
5.
Rencana kerjasama
Konsorsium
2.
3.
2.
3.
4.
5.
6.
Pemberian sanksi
Pemberian sanksi dimaksud dalam Peraturan ini dapat berupa sanksi administratif atau
sanksi pidana dimana ketentuan mengenai sanksi tersebut akan dinyatakan dalam
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, khusus DKI Jakarta diatur dengan Peraturan Daerah
Provinsi. Namun, dalam Pasal 150 Undang-Undang Perumahan, sanksi administratif atas
pelanggaran terhadap Hunian Berimbang dapat berupa:
1.
Peringatan tertulis
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Pengawasan
15.
Pembatalan izin
16.
17.
Pencabutan insentif
18.
19.
Penutupan lokasi.
jawab perusahaan wajib mengajukan permohonan izin baru. IUPP berlaku selama masih
melakukan kegiatan usaha pada lokasi yang sama dan wajib dilakukan daftar ulang
setiap 5 (lima) tahun.
Persyaratan IUPP
Selain itu, terdapat beberapa persyaratan untuk memperoleh IUPP bagi Pusat
Perbelanjaan meliputi:
1)
Salinan surat izin prinsip dari Bupati/Walikota atau Gubernur Pemerintah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
2)
Hasil analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat; serta rekomendasi dari instansi
yang berwenang;
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Surat pernyataan kesanggupan melaksanakan dan mematuhi ketentuan yang
berlaku.
Sedangkan, dalam rangka memperoleh izin usaha bagi Pasar Tradisional atau Toko
Modern yang terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Hasil analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdiri dari:
1)
2)
3)
Kepadatan penduduk;
4)
Pertumbuhan penduduk;
5)
6)
7)
Ketahanan dan pertumbuhan Pasar Tradisional sebagai sarana bagi UMKM lokal;
8)
9)
Dampak positif dan negative yang diakibatkan oleh jarak antara Hypermarket
dengan Pasar Tradisional yang telah ada sebelumnya; dan
10) Tanggung jawab soaial perusahaan.
b. Salinan IUPP Pusat Perbelanjaan atau bangunan lainnya tempat berdirinya Pasar
Tradisional atau Toko Modern;
c. Copy Akte Pendirian Perusahaan dan pengesahannya;
d. Surat pernyataan kesanggupan melaksanakan dan mematuhi ketentuan yang
berlaku;
dan
e. Rencana kemitraan dengan UMKM untuk Pusat Perbelanjaan atau Toko Modern.