Anda di halaman 1dari 11

saya telah melakukan pembelian kredit rumah di Sepatan Tangerang secara indent.

Kami telah melakukan akad kredit pada bulan Februari 2013, namun rumahnya belum
kunjungan dibangun. Dalam perjanjian, batas waktu untuk pengembang yaitu sampai
bulan April 2014, apabila lewat dari batas waktu yang ditentukan maka akan
diberlakukan wanprestasi dengan denda 1%. Untuk blok yang lain sudah dibangun asalasalan saja dengan mengenyampingkan klasifikasi yang pernah dijanjikan. Yang ingin
saya tanyakan, dapatkah saya mengajukan proses hukum terhadap developer atas
wanprestasi tersebut dan bagaimana prosedurnya? Lalu dengan pelanggaran spesifikasi
bangunan, seperti di brosur disebutkan pakai bata merah tetapi realisasinya pake
hebel, besinya cuma 6mm, fondasi cuma 20cm dan beberapa pelanggaran lainnya di
lapangan (ada bukti dokumen), bagaimana prosedur untuk memperkarakan developer
nakal tersebut?
JAWABAN :

Pertama yang harus diperjelas lebih dulu adalah sudah sejauh mana Anda sebagai
konsumen telah melaksanakan kewajiban yang sudah diperjanjikan. Misalnya
melengkapi

persyaratan

administrasi

dan

melakukan

pembayaran

sesuai

kesepakatan.
Bila Anda telah melaksanakan semua kewajiban tetapi ternyata pihak pengembang
(developer) tidak memenuhi kewajibannya, Anda bisa menanyakannya terlebih
dulu. Prinsipnya adalah upayakan untuk menempuh penyelesaian permasalahan ini
secara baik-baik.
Namun jika tidak didapat titik temu dalam upaya perundingan tersebut, ada
baiknya

Anda

melayangkan

teguran/somasi

terlebih

dulu

yang

isinya

mengingatkan developer harus melaksanakan kewajibannya sampai batas waktu


yang telah disepakati. Atau jika batas waktu yang diperjanjikan telah terlewati,
Anda bisa kembali memberikan tenggat waktu kepadadeveloper untuk memenuhi
kewajibannya. Lebih lanjut mengenai somasi, dapat Anda baca dalam artikel yang
berjudul Apakah Somasi Itu?
Kalau developer bergeming, Anda bisa menempuh jalur hukum dengan menggugat
pelaku usaha dan sekaligus melaporkan developer secara pidana.

Untuk gugatan, Anda bisa melakukannya melalui lembaga penyelesaian sengketa


pelaku usaha-konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
atau ke peradilan umum.
Di peradilan umum, gugatan dilayangkan atas dasar wanprestasi atau ingkar
janjinya pihak developer. Dalam gugatan ini, Anda bisa menuntut ganti rugi dan
juga

bunga

berupa

hilangnya

keuntungan

yang

sudah

diperkirakan

atau

dibayangkan oleh kreditor seandainya tidak terjadi wanprestasi. Lebih lanjut


mengenai wanprestasi dapat dibaca dalam artikel Menentukan Bunga dan Denda
dalam Wanprestasi serta artikel PMH dan Wanprestasi.
Secara

pidana,

Anda

juga

dapat

melaporkan developer dengan

tuduhan

melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UU Konsumen). Pasal ini pada intinya melarang pelaku
usaha untuk memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
tersebut. Dalam kasus ini, developermembangun tidak sesuai dengan ketentuan
spesifikasi bangunan yang terdapat dalam brosur dan yang telah dijanjikan
sebelumnya.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut terancam sanksi pidana paling
lama 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Ancaman sanksi ini termuat
dalam Pasal 62 UU Konsumen.
Ancaman pidana lain bagi developer yang membangun perumahan yang tidak
sesuai dengan kriteria, spesifikasi dan persyaratan yang diperjanjikan juga diatur
dalam Pasal 134 jo Pasal 151 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Perumahan). Yaitu denda maksimal
Rp5 miliar.
Selain sanksi denda, developer tersebut juga dapat dijatuhi sanksi administratif
sebagaimana terdapat dalam Pasal 150 UU Perumahan. Sanksinya mulai dari
peringatan tertulis, pencabutan izin usaha, hingga penutupan lokasi.

Sekedar memberikan contoh, dalam perkara nomor 324 K/Pdt/2006, Mahkamah


Agung

menguatkan

putusan

menghukum developer telah

Pengadilan

melakukan

Tinggi

wanprestasi

Medan

karena

yang

tidak

dapat

menyerahkan rumah pada tanggal yang diperjanjikan. Bahkan Mahkamah Agung


secara tegas menolak dalil developer yang berlindung di balik krisis moneter dan
naiknya

harga

bangunan

sebagai

alasan

mundurnya

waktu

penyelesaian pembangunan rumah.


Dasar Hukum:
1.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

2.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan


Permukiman.

Referensi:
Putusan Mahkamah Agung 324 K/Pdt/2006.

Bagaimana status hukum Developer ?


JAWABAN :
Sehubungan

dengan

pertanyaan

di

atas,

maka

dapat

dikatakan

bahwa,

pengembang (developer) dapat berbentuk orang perseorangan atau Badan Usaha


sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi. Lebih lanjut di dalam Pasal tersebut ditegaskan bahwa,
walaupun orang perseorangan dapat dikatakan sebagai developer, akan tetapi
cakupan

kegiatan

usahanya

yang

meliputi

perencanaan,

pelaksanaan

dan

pengawasan, dibatasi hanya pada kegiatan usaha yang terbatas dari segi risiko,
teknologi, biaya dan bidang keahlian yang disertakan, dibandingkan dengan
kegiatan dari suatu Badan Usaha yang merupakan developer.
PEMBELIAN APARTEMEN
Pengaturan mengenai Apartemen diatur di dalam Undang-undang Nomor 20 tahun
2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah Susun). Menurut Pasal 1UU Rumah

Susun, Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang di bangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuansatuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama
untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama.
Kepemilikan atas unit apartemen dibuktikan dengan adanya Sertifikat Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) jika rumah susun tersebut didirikan
di atas tanah dengan hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Sedangkan
untuk rumah susun yang di bangun di atas barang milik negara/daerah berupa
tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa dibuktikan dengan Sertifikat Kepemilikan
Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun).

Untuk melakukan pembelian unit apartemen/rumah susun, para pembeli dapat


melakukan pengikatan terlebih dahulu dengan pihak Developer atau Penjual. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). PPJB
tentang apartemen di atur di dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun
(Kemenpera No.11/1994).

Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 10 Tahun


2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman Dengan
Hunian Berimbang
Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Pemukiman (UU Perumahan) telah diatur secara umum mengenai hunian
berimbang. Dalam Pasal 34, setiap badan hukum yang melakukan pembangunan harus
mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang. Maka, untuk mengatur lebih lanjut
mengenai hunian berimbang, terbitlah Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan
Pemukiman Dengan Hunian Berimbang (Permen Hunian Berimbang)
Pengertian Hunian Berimbang
Menurut Pasal 1 Permen Hunian Berimbang, pengertian Hunian Berimbang adalah
perumahan dan kawasan pemukiman yang dibangun secara berimbang dengan
komposisi tertentu dalam bentuk rumah tunggal dan rumah deret antara rumah

sederhana, rumah menegah dan rumah mewah atau dalam bentuk rumah susun antara
rumah susun umum dan rumah susun komersial.
Tujuan Hunian Berimbang
Menurut Pasal 3 Permen Hunian Berimbang, tujuan dari Hunian Berimbang adalah
untuk:
1.

Menjamin tersedianya rumah mewah, rumah menegah dan rumah sederhana


bagi masyarakat yang dibangun dalam satu hamparan atau tidak dalam satu
hamparan untuk rumah sederhana;

2.

Mewujudkan kerukunan antar berbagai golongan masyarakat dari berbagai


profesi, tingkat ekonomi dan status sosial dalam perumahan, pemukiman,
lingkungan hunian dan kawasan pemukiman;

3.

Mewujudkan subsidi silang untuk penyediaan prasarana, sarana dan utilitas


umum serta pembiayaan pembangunan perumahan;

4.

Menciptakan keserasian tempat bermukim baik secara sosial dan ekonomi; dan

5.

Mendayagunakan penggunaan lahan yang diperuntukkan bagi perumahan dan

kawasan pemukiman.
Lokasi Hunian Berimbang
Setiap orang yang membangun perumahan dan kawasan pemukiman wajib melakukan
Hunian Berimbang, kecuali seluruhnya diperuntukkan bagi rumah sederhana dan/atau
rumah susun umum. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman
selanjutnya harus memenuhi persyaratan lokasi Hunian Berimbang.
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman dengan Hunian Berimbang
dilaksanakan di perumahan, pemukiman, lingkungan hunian dan kawasan pemukiman
dengan skala sebagai berikut:
1.

Perumahan dengan jumlah rumah sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) sampai


dengan 1000 (seribu) rumah;

2.

Pemukiman dengan jumlah rumah sekurang-kurangnya 1000 (seribu) sampai


dengan 3000 (tiga ribu) rumah;

3.

Lingkungan hunian dengan jumlah rumah sekurang-kurangnya 3000 (tiga ribu)


sampai dengan 10000 (sepuluh ribu) rumah; dan

4.

Kawasan pemukiman dengan jumlah rumah lebih dari 10000 (sepuluh ribu)
rumah.

Lokasi untuk hunian berimbang dapat dilaksanakan dalam satu kabupaten/kota pada:
1.

Satu hamparan; atau

2.

Tidak dalam satu hamparan.

Lokasi Hunian Berimbang dalam satu hamparan sekurang-kurangnya menampung 1000


(seribu) rumah dan untuk lokasi yang tidak dalam satu hamparan sekurang-kurangnya
menampung 50 (lima puluh) rumah.

Komposisi Hunian Berimbang


Selanjutnya, persyaratan komposisi atas Hunian Berimbang adalah berdasarkan:
1.
2.

Jumlah rumah; atau


Luasan lahan.

Komposisi berdasarkan jumlah rumah merupakan perbandingan jumlah rumah


sederhana, jumlah rumah menengah dan jumlah rumah mewah. Perbandingan yang
dimaksud adalah dalam skala 3:2:1, yaitu 3 (tiga) atau lebih rumah sederhana
berbanding 2 (dua) rumah menengah berbanding 1 (satu) rumah mewah.
Permen Hunian Berimbang mengartikan rumah komersil sebagai rumah yang
diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan. Rumah mewah mempunyai arti
sebagai rumah komersial yang diselenggarakan dengan harga jual lebih besar dari 4
(empat) kali harga jual rumah sederhana. Sedangkan rumah sederhana adalah rumah
umum yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 60 m2 sampai dengan
200m2 dengan luas lantai bangunan paling sedikit 36 m2 dengan harga jual sesuai
ketentuan pemerintah. Selanjutnya, rumah menengah adalah rumah komersial dengan
harga jual lebih besar dari 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) kali harga jual rumah
sederhana.
Komposisi berdasarkan luasan lahan merupakan perbandingan luas lahan untuk rumah
sederhana, terhadap luas lahan keseluruhan. Luasan lahan tersebut minimal 25% dari
luas lahan keseluruhan dengan jumlah sederhana sekurang-kurangnya sama dengan
jumlah rumah mewah ditambah jumlah menengah.
Hunian Berimbang Rumah Susun
Hunian Berimbang rumah susun merupakan perumahan atau lingkungan hunian yang
dibangun secara berimbang antara rumah susun komersial dan rumah susun umum.
Hunian Berimbang yang dimaksud tersebut minimal 20% (dua puluh persen) dari total
luas lantai rumah susun komersial yang dibangun. Rumah susun umum tersebut dapat
dibangun pada bangunan terpisah bangunan rumah susun komersial atau dibangun
dalam satu hamparan dengan rumah susun komersial.
Perencanaan, Pembangunan dan Pengendalian
Perencanaan perumahan dan kawasan pemukiman dengan Hunian Berimbang dapat
dilaksanakan dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan. Perencanaan
tidak dalam satu hamparan wajib dilakukan oleh setiap orang yang sama dan
perencanaan tersebut tertuang dalam dokumen-dokumen berupa:
1.

Rencana tapak

2.

Desain rumah

3.

Spesifikasi teknis rumah

4.

Rencana kerja perwujudan hunian berimbang

5.

Rencana kerjasama

Dokumen tersebut harus mendapat pengesahan dari pemerintah daerah


kabupaten/kota, khusus DKI Jakarta oleh pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta.
Selanjutnya, pembangunan pemukiman, lingkungan hunian dan kawasan pemukiman
dengan hunian berimbang hanya dilakukan oleh badan hukum bidang perumahan dan
kawasan pemukiman. Badan hukum tersebut dapat berupa badan hukum yang berdiri
sendiri maupun badan hukum dalam bentuk kerjasama. Kerjasama yang dimaksud
dapat berbentuk:
1.

Konsorsium

2.

Kerjasama operasional; atau

3.

Bentuk kerjasama lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pengendalian atas perumahan dan kawasan pemukiman dengan Hunian Berimbang


dilakukan melalui:
1.

Pemberian peringatan tertulis

2.

Penyegelan lokasi dan penghentian sementara kegiatan pembangunan

3.

Pembatalan izin mendirikan bangunan

4.

Pembatalan izin mendirikan bangunan

5.

Pembongkaran bangunan dan/atau

6.

Pemberian sanksi

Pemberian sanksi dimaksud dalam Peraturan ini dapat berupa sanksi administratif atau
sanksi pidana dimana ketentuan mengenai sanksi tersebut akan dinyatakan dalam
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, khusus DKI Jakarta diatur dengan Peraturan Daerah
Provinsi. Namun, dalam Pasal 150 Undang-Undang Perumahan, sanksi administratif atas
pelanggaran terhadap Hunian Berimbang dapat berupa:
1.

Peringatan tertulis

2.

Pembatasan kegiatan pembangunan

3.

Penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan

4.

Penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan

5.

Penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel)

6.

Kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu

7.

Pembatasan kegiatan usaha

8.

Pembekuan izin mendirikan bangunan

9.

Pencabutan izin mendirikan bangunan

10.

Pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah

11.

Perintah pembongkaran bangunan rumah

12.

Pembekuan izin usaha

13.

Pencabutan izin usaha

14.

Pengawasan

15.

Pembatalan izin

16.

Kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu

17.

Pencabutan insentif

18.

Pengenaan denda administratif dan/atau

19.

Penutupan lokasi.

Aspek Hukum Kepemilikan Kios Pada Pertokoan dan Mal Berdasarkan


Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
Menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(KBBI),
kios
berasal
dari
kata ki dan os yang berarti toko kecil (tempat berjualan buku, koran dan lain-lain). Kios
adalah salah satu bentuk usaha yang sederhana dan dapat ditemukan dengan mudah
disegala pelosok kota maupun desa. Pada perkotaan seperti Jakarta, kios-kios banyak
kita jumpai pada pertokoan moderen seperti Mangga Dua dan juga pada Mal (pusat
perbelanjaan) seperti Ambassador.
Kios pada pertokoan dan mal (pusat perbelanjaan) seperti yang dijelaskan di atas, ada
yang berstatus strata title atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Rumah
susun yaitu kios yang dibeli atau dimiliki secara pribadi, dan ada juga yang tidak
berstatus strata title atau Rumah susun yaitu kios yang hanya disewa. Bagi kios yang
berstatus Rumah susun diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun (UU No. 20/2011) dengan memenuhi kriteria yaitu bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian
yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama (Pasal 1 Angka 1 UU No. 20/2011). Maka kios pada
pertokoan dan mal (pusat perbelanjaan) yang memenuhi kriteria tersebut di atas,
tunduk pada UU No. 20/2011.
Proses kepemilikan Kios pada Pertokoan dan Mal (pusat perbelanjaan) diawali dengan
jual beli yang dilakukan melalui akta jual beli (AJB), yang dibuat di hadapan
Notaris/PPAT untuk mendapatkan sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHM
Sarusun) dan di hadapan notaris apabila untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan
gedung bangunan (SKGB Sarusun) sebagai bukti peralihan hak (Pasal 44 ayat (1)
UU No. 20/2011 beserta Penjelasannya). Sebagai tanda bukti kepemilikan atas satuan
rumah susun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah
negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan
SHM Sarusun oleh kantor pertanahan kabupaten/kota (Pasal 47 ayat (1) dan (4) UU No.
20/2011).

Izin Usaha Pusat Perbelanjaan


Ketentuan-ketentuan mengenai perizinan usaha pusat perbelanjaan diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (Perpres No. 112/2007) dan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern (Permendag No. 53/M-DAG/PER/12/2008). Menurut peraturan-peraturan
tersebut terdapat izin yang diperlukan untuk melaksanakan usaha Pusat Perbelanjaan.
Dalam melaksanakan usaha pusat perbelanjaan tersebut, pemilik atau pengelola pusat
perbelanjaan wajib untuk memiliki izin usaha, yaitu Izin Usaha Pusat Perbelanjaan
(IUPP) untuk pertokoan, mall, plasa dan pusat perdagangan.
IUPP diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta. Bupati/Walikota selain Gubernur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melimpahkan
kewenangan penerbitan IUPP kepada Kepala Dinas/Unit yang bertanggung jawab di
bidang perdagangan atau pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu setempat.
Prosedur dan Tata Cara Pengajuan Permohonan IUPP
Pengurusan permohonan IUPP tersebut tidak dikenakan biaya. Permohonan untuk IUPP
diajukan kepada Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang perdagangan
atau Pelayanan Terpadu Satu Pintu Setempat dengan mengisi Formulir Surat
Permohonan dengan melampirkan dokumen sesuai persyaratan yang telah disebutkan.
Permohonan ditandatangani oleh pemilik atau penanggungjawab atau pengelola
perusahaan. Untuk mengajukan permohonan IUPP, perlu dilengkapi dengan studi
kelayakan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan terutama aspek sosial
budaya dan dampaknya bagi pelaku perdagangan eceran setempat dan rencana
kemitraan dengan usaha kecil.
Bila permohonan yang diajukan benar dan lengkap, maka Pejabat Penerbit Izin Usaha
dapat menerbitkan IUPP paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya
Surat Permohonan. Sedangkan bila permohonan dinilai belum benar dan lengkap, maka
Pejabat Penerbit Izin Usaha memberitahukan penolakan secara tertulis disertai dengan
alasannya kepada pemohon paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya Surat Permohonan. Perusahaan yang ditolak permohonannya dapat
mengajukan kembali surat permohonan izin usahanya disertai kelengkapan dokumen
persyaratan secara benar dan lengkap.
Perusahaan pengelola Pusat Perbelanjaan yang telah memperoleh IUPP tidak diwajibkan
memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Apabila terjadi pemindahan lokasi
usaha Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, pengelola/penanggung

jawab perusahaan wajib mengajukan permohonan izin baru. IUPP berlaku selama masih
melakukan kegiatan usaha pada lokasi yang sama dan wajib dilakukan daftar ulang
setiap 5 (lima) tahun.
Persyaratan IUPP
Selain itu, terdapat beberapa persyaratan untuk memperoleh IUPP bagi Pusat
Perbelanjaan meliputi:
1)
Salinan surat izin prinsip dari Bupati/Walikota atau Gubernur Pemerintah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
2)
Hasil analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat; serta rekomendasi dari instansi
yang berwenang;
3)

Salinan surat izin lokasi dari Badan Pertanahan Nasional;

4)

Salinan surat izin undang-undang Gangguan (HO);

5)

Izin Mendirikan Bangunan (IMB);

6)

Salinan akte pendirian perusahaan dan pengesahannya;

7)

Rencana kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil; dan

8)
Surat pernyataan kesanggupan melaksanakan dan mematuhi ketentuan yang
berlaku.
Sedangkan, dalam rangka memperoleh izin usaha bagi Pasar Tradisional atau Toko
Modern yang terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Hasil analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdiri dari:
1)

Struktur penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan;

2)

Tingkat pendapatan ekonomi rumah tangga;

3)

Kepadatan penduduk;

4)

Pertumbuhan penduduk;

5)

Kemitraan dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) lokal;

6)

Penyerapan tenaga kerja local;

7)

Ketahanan dan pertumbuhan Pasar Tradisional sebagai sarana bagi UMKM lokal;

8)

Keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah ada;

9)
Dampak positif dan negative yang diakibatkan oleh jarak antara Hypermarket
dengan Pasar Tradisional yang telah ada sebelumnya; dan
10) Tanggung jawab soaial perusahaan.
b. Salinan IUPP Pusat Perbelanjaan atau bangunan lainnya tempat berdirinya Pasar
Tradisional atau Toko Modern;
c. Copy Akte Pendirian Perusahaan dan pengesahannya;
d. Surat pernyataan kesanggupan melaksanakan dan mematuhi ketentuan yang
berlaku;
dan
e. Rencana kemitraan dengan UMKM untuk Pusat Perbelanjaan atau Toko Modern.

Anda mungkin juga menyukai