Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan seks merupakan salah satu cara untuk mengurangi atau
mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampakdampak negatif yang tidak diharapkan seperti pelecehan seksual, kehamilan
yang tidak direncanakan, aborsi, Penyakit Menular Seksual (PMS)
(Sarwono, 2002).
Pendidikan seks yang diberikan kepada remaja sebenarnya
memberikan pengetahuan mengenai fungsi organ reproduksi, cara menjaga
dan memelihara organ reproduksi, dan yang tak kalah penting bahwa
pendidikan seks memberikan pengetahuan mengenai cara bergaul yang
sehat dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama dan
norma yang berlaku dalam masyarakat. Setelah mendapatkan bekal
mengenai pendidikan seks, maka diharapkan mereka dapat melindungi diri
sendiri dari bahaya pelecehan seksual (Kriswanto, 2006).
Pendidikan seks yang diberikan di Indonesia masih di batasi oleh
norma masyarakat. Masyarakat Indonesia masih sangat kokoh memegang
dan menganut norma agama, mereka masih menganggap tabu serta
kurang terbuka menyangkut kehidupan seksual. Hal ini mengakibatkan
banyak terjadinya aktifitas seksual yang tidak bertanggung jawab yang
dapat merusak masa depan remaja. Serta efek dari aktifitas seksual diluar
nikah yang menyebabkan kehamilan pada usia remaja dapat meningkatkan
angka kematian ibu dan bayi akibat belum sempurnanya alat reproduksi,
dan hubungan seks bebas dapat menyebabkan penyakit menular seksual
(Kriswanto, 2006).
Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa. Dalam masa ini, remaja berkembang ke arah kematangan
seksual. Sebagian remaja mengalami kebingungan untuk memahami
tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan
1

olehnya. Seperti boleh atau tidaknya melakukan pacaran, melakukan onani,


atau ciuman. Kebingungan ini akan menimbulkan suatu perilaku seksual
yang kurang sehat dikalangan remaja (Soetjiningsih, 2004).
Remaja sebagai generasi muda merupakan aset nasional yang
sangat

penting

karena

pada

pundaknya

terletak

tanggung

jawab

kelangsungan hidup bangsa. Masa remaja seringkali merupakan masa


yang kritis dimana mereka dihadapkan pada berbagai masalah. Data
demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari
penduduk dunia. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1995
sekitar 1/5 dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun.
Sekitar 900 juta berada dinegara yang sedang berkembang. Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang yang mempunyai penduduk usia
remaja cukup besar. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1999
kelompok umur 10-19 tahun adalah sekitar 22%, yang terdiri dari 50,9%
remaja laki-laki dan 49,1% remaja perempuan (Soetjiningsih, 2004).
Sedangkan berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2000 2025,
BPS, BAPPENAS, UNFPA, 2005 pada tahun 2007 jumlah remaja usia 10 24 tahun terdapat sekitar 64 juta atau 28, 64% dari jumlah penduduk
Indonesia (BKKBN, 2008).
Jumlah remaja yang tidak sedikit itu merupakan potensi yang sangat
berarti dalam melanjutkan pembangunan di Indonesia. Upaya untuk
menggali potensi telah dilakukan seperti pembinaan perilaku, peningkatan
mutu gizi, serta penumbuhan kesadaran hidup sehat. Meskipun begitu,
upaya pembangunan yang dilakukan, menyebabkan perubahan pada
seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan remaja. Dengan adanya
ketidakseimbangan upaya pembangunan yang dilakukan terhadap remaja,
akhirnya menimbulkan masalah salah satunya adalah perubahan mendasar
yang menyangkut sikap dan perilaku seksual pra nikah dikalangan remaja.
Berbagai kasus dan hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan
pergeseran nilai-nilai tersebut (Notoatmodjo, 2007).
Berdasarkan survey yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga
berencana Nasional (BKKBN) terhadap 2.880 responden usia 15-24 tahun
2

di enam kabupaten/kota Jawa Barat pada Mei 2002 diperoleh data bahwa
39,65% responden pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
Walaupun angka tersebut tidak bisa menggambarkan perilaku seksual
remaja di seluruh Indonesia, namun hasil survey tersebut sangat layak
untuk dijadikan pelajaran dan cermin bahwa perilaku seksual remaja sudah
sampai pada taraf memprihatinkan (Saifuddin, 2006).
Di Indonesia sebanyak 63% remaja usia SMP dan SMA sudah
melakukan hubungan seksual diluar nikah. Jumlah ini meningkat dari tahun
sebelumnya. Peningkatan ini antara lain disebabkan pergaulan hidup
bebas, faktor lingkungan keluarga dan media massa (Depkes RI, 2009)
Survei yang dilakukan oleh Centra Muda Putroe Phang (CMPP)
propinsi

Nanggroe Aceh

Darussalam

yang

bekerja

sama

dengan

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 2004-2005


didapatkan data remaja yang bermasalah terhadap perilaku seksual
berjumlah 115 orang. Diantaranya berpacaran dan melakukan hubungan
seksual 59 orang (51,8%), homoseks/kelainan seks 21 orang (18,4%),
melakukan aborsi 5 orang (4,4%), perkosaan 5 orang (4,4%), hamil diluar
nikah 5 orang (4,4%), dan terlibat narkoba 20 orang (17,5%). Sedangkan
data dari wilayatul hisbah (2008) Kabupaten Aceh Tengah didapatkan kasus
khalwat yang pelakunya remaja usia SMA yaitu 4 pasang remaja.
Mengingat masih banyaknya remaja tidak mengetahui atau salah
paham hal-hal dasar yang berkaitan dengan seksual, untuk itu remaja
memerlukan pendidikan seks. Ketidaktahuan akan fungsi organ seks dan
penyakit seksual bisa mengurangi kemampuan para remaja untuk
melakukan tindakan preventif dari hal-hal negatif yang terkait dengan fungsi
organ seksual (Saifuddin, 2006).
Dari pengamatan awal peneliti, SMA Negeri 1 Takengon Aceh
Tengah merupakan salah satu sekolah menengah umum yang letaknya
sangat strategis, dengan tersedianya teknologi dan komunikasi yang mudah
terjangkau seperti mudahnya mengakses internet, televisi, koran atau
majalah yang dapat memberikan pesan seksualitas kepada remaja SMA.
Sehingga banyak dari siswa dan siswi yang berpacaran dan menonton film
3

porno yang mempertunjukkan aktifitas seksual tidak wajar. Selanjutnya data


di tahun 2008 didapat 2 orang siswi yang hamil diluar nikah.
Berdasarkan latar belakang di atas, selanjutnya penulis tertarik untuk
meneliti permasalahan tersebut dengan judul : Hubungan pendidikan seks
dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 1 Takengon
Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2009
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah Apakah ada hubungan pendidikan seks dengan perilaku seksual
pada remaja di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun
2009 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan perilaku
seksual pada remaja di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah
Tahun 2009.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pendidikan seks pada remaja di SMA Negeri 1
Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2009.
b. Untuk mengetahui perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 1
Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2009.
c. Untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan perilaku seksual
pada remaja di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah
Tahun 2009.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai perilaku seksual pada remaja telah banyak
dilakukan di indonesia, antara lain oleh :
1. Fifi

Fachri

(2009)

dengan

judul

Hubungan

pendidikan

seks

dalamkeluarga dengan perilaku seksual remaja di SMAN 3 Bukitinggi,


hasil penelitian ditemukan ada hubungan yang bermakna antara
penddikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA
4

N 3 Bukittinggi Tahun 2009 dengan nilai p = 0,009. Yang membedakan


penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah latar Belakang, tujuan
penelitian, kerangka konsep, lokasi penelitian. Kesamaan dalam
penelitian ini adalah rancangan yang digunakan yaitu cross sectional,
objek penelitian sama-sama ditujukan kepada remaja.
2. Yulian Endarto (2006), dengan judul hubungan tingkat pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual berisiko pada
remaja di SMK Negeri 4 yogyakarta. Hasil penelitiannya mengatakan
bahwa ada pengaruh antara faktor pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi terhadap perilaku seksual. Yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya adalah latar Belakang, tujuan penelitian,
kerangka konsep, lokasi penelitian. Kesamaan dalam penelitian ini
adalah rancangan yang digunakan yaitu cross sectional, objek penelitian
sama-sama ditujukan kepada remaja.
E. Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat
bermanfaat :
1. Secara teoritis
a. Bagi ilmu pengetahuan
Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan untuk menambah
informasi seputar pengetahuan remaja mengenai pendidikan seks
sebagai tindakan pencegahan terjadinya perilaku seksual.
b. Bagi ilmu kedokteran (kesehatan masyarakat)
Sebagai bahan literatur dan dapat memberikan informasi tentang
bagaimana tingkat pengetahuan remaja mengenai pendidikan seks
sebagai tindakan pencegahan terjadinya perilaku seksual.
2. Secara praktis
a. Untuk kebijakan kesehatan agar dapat menangani

masalah

kesehatan, terutama perilaku seksual pada remaja. Sehingga apabila


terdapat masalah dapat dengan segera mengambil kebijakan dalam
menindaklanjuti permasalahan dan kendala yang terjadi.
5

b. Untuk tempat penelitian, dokter atau tenaga kesehatan lainnya dapat


memahami hubungan pendidikan seks dengan perilaku seksual pada
remaja di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah, agar
dapat menjadi acuan dalam meningkatkan mutu pelayanan, sarana
dan prasarana kepada remaja.
c. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya

dapat

mengembangkan

penelitian yang telah ada dengan memperluas variabel yang akan


diteliti dan metode penelitian yang berbeda serta tempat penelitian
yang berbeda.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendidikan Seks
Pendidikan berasal dari kata didik, mendidik yang berarti memelihara
dan memberi latihan ( ajaran ) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Sedangkan arti pendidikan sendiri adalah proses pengubahan sikap dan
tingkahlaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, perbuatan dan cara
mendidik. Sedangkan Pendidikan seksual adalah upaya pengajaran,
penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang

diberikan kepada anak sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan


dengan seks, naluri, dan perkawinan.
Pendidikan seks merupakan pengetahuan secara biologis, termasuk
pengetahuan

alat-alat

reproduksi

perempuan

dan

laki-laki,

proses

reproduksi yaitu kehamilan dan kelahiran, pengetahuan dan pemahaman


cara penularan PMS dan HIV/AIDS. Menurut World Health Organization
(WHO), pendidikan seks seharusnya tidak terbatas sampai pengetahuan
biologis, tetapi berperan untuk melindungi kesehatan dan keamanan
masyarakat lewat pendidikan.
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan
yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang
bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual
ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yan berhubungan dengan
seksualitas dalam bentuk yang wajar.
Tujuan Pendidikan Seks
Sesuai dengan kesepakatan International conference

of sex

Education and family planning tahun 1962, tujuan pendidikan seks adalah
untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menjalankan
kehidupan yang bahagia karena dapat menyesuaikan diri dengan
masyarakat dan lingkungannya, serta bertanggung jawab terhadap dirinya
dan terhadap orang lain (Tanjung, 2007).
Sedangkan Kri Kendall sebagaimana dikutip Harlina Martono
menyebutkan, tujuan pendidikan seks antara lain : (Tanjung, 2007)
1.

Membentuk pengertian tentang perbedaan seks antara pria dan wanita


dalam keluarga, pekerjaan dan seluruh kehidupan, yang selalu berubah

2.

dan berbeda dalam tiap masyarakat dan kebudayaan.


Membentuk pengertian tentang peranan seks didalam kehidupan
manusia dan keluarga, dan hubungan antara seks dan cinta.

3.

Mengembangkan pengertian diri sendiri sehubungan dengan fungsi

4.

dan kebutuhan seks.


Membantu remaja dalam mengembangkan kepribadiannya sehingga
mampu untuk mengambil keputusan yang bertanggung jawab,
misalnya dalam memilih jodoh.
Pendidikan seks yang diberikan kepada remaja sebenarnya

memberikan pengetahuan mengenai fungsi organ reproduksi, cara


menjaga dan memelihara organ reproduksi, dan yang tak kalah
penting bahwa pendidikan seks memberikan pengetahuan mengenai
cara bergaul yang sehat dan bertanggung jawab sesuai dengan nilainilai ajaran agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Setelah
mendapatkan bekal mengenai pendidikan seks, maka diharapkan mereka
dapat melindungi diri sendiri dari bahaya pelecehan seksual. Pendidikan
seks dapat mencegah perilaku seks bebas, kehamilan yang tidak
diinginkan, aborsi, pelecehan seksual, dan mencegah penularan berbagai
penyakit kelamin (Kriswanto, 2006).
B.

Manfaat Pendidikan Seks

Manfaat dari pendidikan seksualitas yang diberikan pada anak antara


lain : (Al madani, 2004)
1. Anak akan mengerti dan puas dengan peran jenis kelaminnya
2. Mereka akan menerima setiap perubahan fisik yang dialami dengan
wajar dan apa adanya
3. Menghapus rasa ingin tahu yang tidak sehat
4. Memperkuat rasa percaya diri dan bertanggung jawab pada dirinya
5. Mengerti dan memahami betapa besarnya kuasa sang pencipta.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa pendidikan
seksualitas perlu diberikan, yakni : (Al madani, 2004)
1. Fitrahnya pada tahapan perkembangan ini remaja mempunyai rasa
ingin tahu yang amat tinggi terhadap hal-hal baru dan menarik, apalagi
yang berbau seks saat ini dikemas semenarik mungkin dan di klaim
sebagai suatu hasil karya seni yang bernilai tinggi. Perasaan ingin tahu
8

yang terus dijejali dengan informasi yang menarik namun sesat


membuat mereka tergoda untuk mencoba segala hal yang berkaitan
dengan seks.
2. Mau tidak mau mereka akan mengalami pubertas, dimana pada masa
tersebut mereka akan mengalami perubahan-perubahan fisik dan jiwa
yang sangat cepat dan masih labil. Sayangnya, sebagian besar dari
mereka tidak mengetahui secara pasti dan jelas apa yang akan mereka
alami.
3. Faktor perbaikan gizi. Pertumbuhan fisik yang sangat pesat tidak
dibarengi dengan kematangan mentalnya karena terlalu dimanjakan
dengan hal-hal praktis dan berlebihan. Akibatnya sang anak tumbuh
menjadi sosok ABG yang kuat secara fisik tetapi lemah mentalnya.
4. Para pencari keuntungan dengan sangat jeli dan bebasnya menjadikan
seks sebagai sebuah tontonan yang menarik. Para remaja tersebut
tidak pernah tahu akibat buruk yang akan mereka alami.
5. Kampanye pemerintah untuk menanggulangi bahaya seks adalah save
seks with condom. Hal tersebut tentu saja membuka peluang bagi
remaja untuk mencoba melakukan hubungan seks. Mereka berfikir,
asalkan menggunakan kondom seks adalah aman dan boleh dilakukan.
6. Fenomena penyimpangan seksual semakin sering berseliweran secara
bebas diberbagai media baik cetak maupun elektronik. Para remaja
sudah menganggap hal tersebut suatu hal yang lumrah bagi mereka.
Mereka sudah mulai berfikir bahwa hal tersebut adalah sebuah pilihan
hidup. Menjadi seorang homoseks, lesbian, atau waria adalah hak
masing-masing orang yang perlu di hargai. Sayangnya mereka hampir
tidak pernah mendapatkan informasi tentang seksualitas yang benar,
sehat dan lurus.
7. Seksualitas mau tidak mau, suka ataupun tidak adalah bagian yang tak
terpisahkan

dari

kehidupan

kita.

Rasanya,

akan

lebih

bijak

menyikapinya jika anak tahu apa hakekat seksualitas yang seutuhnya.


Mereka harus tahu mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga
mereka akan menjadi lebih tenang dan kokoh melewati masa
9

perkembangannya dalam menghadapi hal-hal yang menyimpang yang


terjdi di lingkungan sekitar.
Usia remaja boleh dibilang merupakan masa-masa kritis dalam
upaya memberikan pendidikan seksualitas dalam perspektif yang tepat.
Sesuai dengan tingkat perkembangan aspek kognitif, fisik, mental,
emosional dan sosial maka pada usia 16-18 tahun anak sudah dapat
mengenali dengan baik nilai-nilai yang dibangun dalam keluarga. Nilai
keluarga adalah hal-hal yang dianggap baik, yang menjadi landasan
berdirinya keluarga dan menjadi panduan bagi pencapaian tujuan keluarga.
Pada masa ini anak perlu dibantu untuk memahami pentingnya nilai
keluarga terkait dengan perilaku seksual yang mereka jalankan. Untungnya,
perkembangan kognitif, mental dan emosional mereka memungkinkan
berlangsungnya sebuah komunikasi yang lebih berisi. Artinya, remaja pada
usia ini umumnya sudah mulai bisa memahami, dan mengenali nilai-nilai
fundamental yang di bangun oleh keluarganya (Kriswanto, 2006)
Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan
oleh Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah
mendapatkan

pendidikan

seks

tidak

cenderung

jarang

melakukan

hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan


seks cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki
(Sarwono, 2002).
Pendidikan seksual sudah waktunya untuk diberikan secara terbuka.
Tidak hanya dalam lingkup keluarga namun juga dalam kurikulum
pendidikan di sekolah. Pendidikan seks yang benar adalah pendidikan seks
yang dapat menjelaskan kepada para remaja mengenai seksualitas dalam
dimensinya yang ternyata sangat luas, yang dapat memadukan antara
pengetahuan, perilaku seksual dan akibat yang akan di capai, antara
emotional attachment (cinta dan nafsu) dengan tanggung jawab yang harus
di pikul (Tintin, 2008).
C. Materi pendidikan seks
10

Materi pendidikan seks sangat bervariasi, sebuah survey oleh


Margareth Terry Orr di Amerika dibicarakan dikalangan remaja adalah
sebagai berikut :
1. Kehamilan pada remaja
Manusia secara biologis mempunyai kebutuhan seksual. Remaja
perlu mengendalikan naluri seksualnya dan menyalurkannya menjadi
kegiatan yang positif, seperti olah raga dan mengembangkan hobi yang
membangun. Penyaluran yang berupa hubungan seksual dilakukan
setelah bekeluarga, untuk melanjutkan keturunan.
2. Kepribadian dan seksualitas
Pembekalan pengetahuan tentang perubahan yang terjadi
secara fisik, kejiwaan dan kematangan seksual akan memudahkan
remaja untuk memahami serta mengatasi berbagai keadaan yang
membingungkannya. Informasi tentang haid dan mimpi basah, serta
tentang alat reproduksi remaja laki-laki dan wanita perlu diperoleh setiap
remaja.
Pada umumnya orang menganggap bahwa pendidikan seks
hanya berisi tentang pemberian informasi alat kelamin dan berbagai
macam posisi dalam berhubungan kelamin. Hal ini tentunya akan
membuat orang tua merasa khawatir. Untuk itu perlu diluruskan kembali
pengertian tentang pendidikan seks, pendidikan seks berusaha
menempatkan seks pada perspektif yang tepat dan mengubah
anggapan negative tentang seks. Dengan pendidikan seks kita dapat
memberitahu remaja bahwa seks adalah sesuatu yang alamiah dan
wajar terjadi pada semua orang, selain itu remaja juga dapat diberitahu
mengenai berbagai perilaku seksual beresiko sehingga mereka dapat
menghindarinya.
3. Kesuburan
Kemampuan bereproduksi dikenal dengan istilah fertilitas. Jika
seorang wanita melakukan hubungan seksual dan tidak menggunakan
pelindung di sekitar masa suburnya, peluang sperma pasangan prianya
akan membuahi ovum kira-kira 30%. Pada masa pubertas, ketika anak
11

laki-laki dan perempuan mulai memproduksi sel-sel seks yang telah


matang (sperma dan ovum), seorang wanita biasanya akan tetap subur
sampai berusia 45-50 tahun ketika ovariumnya berhenti melepaskan
ovum sama sekali dan mencapai masa menopause. Pria tetap subur
sampai usia yang jauh lebih lanjut, meskipun kualitas spermanya mulai
memburuk setelah usia 40 tahun.
4. Keluarga berencana
Pengenalan fungsi dan jenis alat kontrasepsi merupakan salah
satu pengetahuan yang bisa orang tua kenalkan pada anaknya
pengenalan ini bisa dibarengi dengan penjelasan bahwa fungsi utama
alat kontrasepsi adalah sebagai pengatur kehamilan dalam keluarga.
Penjelasan ini bisa dibarengi dengan penjelasan menyangkut proses
terjadinya kehamilan hingga bayi lahir.
5. Menghindari hubungan seks
Pergaulan yang sehat antara remaja laki-laki dan perempuan,
serta kewaspadaan terhadap masalah remaja yang banyak ditemukan.
Remaja memerlukan informasi tentang seks agar selalu waspada dan
berperilaku reproduksi sehat dalam bergaul dengan lawan jenisnya.
Disamping itu remaja memerlukan pembekalan tentang kiat-kiat untuk
mempertahankan diri secara fisik maupun psikis dan mental dalam
menghadapi godaan, seperti ajakan untuk melakukan hubungan
seksual.
Menurut ninuk (dalam Miqdad, 2001) mengemukakan bahwa materi
pendidikan seks meliputi hal pokok sebagai berikut :
1. Proses pertumbuhan anak-anak menuju

dewasa,

termasuk

perkembangan organ-organ seksualnya meliputi perubahan tubuh yang


terjadi (primer dan sekunder) pada masa remaja dan akibat-akibat sosial
yang ditimbulkan.
2. Proses reproduksi manusia mulai dari bagaimana terjadi konsepsi
diteruskan dengan pertumbuhan janin dalam kandungan dan diakhiri
dengan proses kelahiran.

12

3. Segi etika dari perilaku seksual, peran sosial dari laki-laki dan wanita
serta tanggung jawab masing-masing baik sebelum maupun sesudah
menikah.
Pendidikan seks di Indonesia seyogyanya tetap dimulai dari rumah.
Alasan utamanya karena masalah seks merupakan masalah yang sangat
pribadi. Namun disisi lain banyak orang tua yang kurang mampu untuk
memenuhi kebutuhan anak-anak remaja mereka. Selain pihak orang tua
yang masih belum terbuka tentang seks, sehubungan dengan masih
kuatnya berlaku tabu-tabuan sehubungan dengan masalah seks, orang tua
juga sering kali kurang paham perihal masalah ini. Pengetahuan yang
terbatas itulah yang menyebabkan orang tua kurang dapat berfungsi
sebagaimana sumber dalam pendidikan seks.
Dipihak lain, anggapan masyarakat bahwa pendidikan seks hanyalah
mengajarkan cara-cara berhubungan seks, merupakan anggapan dan
pendapat yang keliru, dan anggapan tersebut justru akan menghambat
proses pengajaran pendidikan seks itu sendiri dalam upaya memberikan
informasi yang benar dan menghindari informasi yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai budaya bangsa (Kriswanto, 2006).
Pada akhirnya, semua cara yang digunakan dalam menyampaikan
pendidikan seks tersebut, berpulang kepada setiap orang tua. Artinya,
orangtua harus berusaha mencari cara yang tepat tentang penyampaian
pendidikan seks sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, para
remaja akan lebih menghargai dan mengetahui hubungan seksual yang
sebenarnya bila tiba saatnya nanti (Dianawati, 2006).
D. Pengertian Remaja
Remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin adolescere yang
berarti tumbuh kearah kematangan. Kematangan yang dimaksud tidak
hanya kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan sosial dan psikologis.
Menurut World Health Organization (WHO) remaja merupakan
individu yang sedang mengalami masa peralihan yang secara berangsurangsur mencapai kematangan seksual, mengalami perubahan jiwa dari jiwa
13

kanak-kanak menjadi dewasa, dan mengalami perubahan keadaan


ekonomi dari ketergantungan menjadi relative mandiri (Notoatmodjo, 2007).
Usia remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa.
Seorang remaja bukanlah seorang kanak-kanak lagi, tapi juga belum bisa
dikatakan dewasa. Karena berada di tengah-tengah antara kanak-kanak
dan dewasa, wajarlah jika dalam usia remaja, seseorang mengalami
kegelisahan dan krisis identitas. Dalam usia remaja, ibarat bunga,
seseorang sedang mekar-mekarnya. Usia remaja adalah masa yang indah
sekaligus rawan. Dalam usia remaja, seseorang gampang terpengaruh oleh
hal-hal yang positif dan negative, serta hal-hal yang kreatif dan destruktif
(Saifuddin, 2006).
Masa remaja berlangsung melalui 3 tahapan,yaitu : (Widyastuti, 2009)
1. Masa remaja awal (usia 10-12 tahun)
2. Masa remaja menengah (usia 13-15 tahun)
3. Masa remaja akhir (usia 16-19 tahun)

Ciri-ciri remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan
periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja tersebut antara lain :
a. Masa remaja sebagai periode penting, karena terjadi perkembangan
fisik dan mental yang cepat.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari masa anakanak ke masa dewasa.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan, terjadi perubahan emosi
tubuh, minat dan peran, perubahan nilai-nilai dan tanggung jawab.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah, karena kebanyakan remaja tidak
berpengalaman dalam mengatasi masalah dan karena remaja merasa
sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri. Identitas diri yang
dicari remaja berupa usaha untuk mencari siapa diri, apa perannya
dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa.
f. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, remaja melihat dirinya
dan orang lain sebagai mana yang mereka inginkan.

14

Fase perkembangan perilaku seksual remaja (Soetjiningsih, 2004) :


a. Remaja Awal
Merupakan tahap awal/permulaan, remaja sudah mulai tampak
ada perubahan fisik yaitu fisik sudah mulai matang dan berkembang.
Pada masa ini remaja sudah mulai melakukan onani karena telah
seringkali terangsang secara seksual akibat pematangan yang dialami.
Rangsangan ini diakibatkan oleh faktor internal yaitu meningkatnya
kadar testosteron pada laki-laki dan estrogen pada perempuan. Tidak
jarang dari mereka yang memilih untuk melakukan aktifitas non fisik
untuk melakukan fantasi atau menyalurkan perasaan cinta dengan
teman lawan jenisnya yaitu dengan bentuk hubungan telepon, suratmenyurat atau menggunakan sarana computer.
b. Remaja Menengah
Pada masa ini remaja sudah mengalami pematangan fisik
secara penuh, yakni adanya mimpi basah dan adanya menstruasi.
Pada masa ini gairah seksual remaja sudah mencapai puncak
sehingga

mereka

mempunyai

kecenderungan

mempergunakan

kesempatan untuk melakukan sentuhan fisik.


c. Remaja akhir
Pada masa ini, remaja sudah mengalami perkembangan fisik
secara penuh, sudah seperti orang dewasa. Mereka telah mempunyai
perilaku seksual yang sudah jelas dan mereka sudah mulai
mengembangkannya dalam bentuk pacaran.
E. Pengertian Perilaku

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang


dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Skinner seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku adalah
merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan
(respon) (Notoatmodjo, 2003).
F. Perilaku seksual
15

Perilaku seksual remaja terdiri dari tiga buah kata yang memiliki
pengertian yang sangat berbeda. Perilaku dapat diartikan sebagai respon
organisme atau respon seseorang terhadap stimulus (rangsangan) yang
ada (notoatmodjo, 1993). Sedangkan seksual adalah rangsangan atau
dorongan yang timbul berhubungan dengan dorongan seksual yang datang
baik dari dalam dirinya maupun dariluar dirinya (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.
Dalam hal ini, perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam
tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai
tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama.
Dalam hal ini tingkah laku seksual di urutkan sebagai berikut :
a. Berkencan
b. Berpegangan tangan
c. Mencium pipi
d. Berpelukan
e. Mencium bibir
f. Memegang buah dada di atas baju
g. Memegang buah dada dibalik baju
h. Memegang alat kelamin di atas baju
i. Memegang alat kelamin dibawah baju
j. Melakukan senggama
(Sarwono, 2006).
Menurut Sarwono (2002), Secara garis besar perilaku seksual pada
remaja di sebabkan oleh :
a. Meningkatnya libido seksual
Didalam upaya mengisi peran sosial, seorang remaja mendapatkan
motivasinya dari meningkatnya energy seksual atau libido, energy
seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik.
b. Penundaan usia perkawinan

16

Dengan meningkatnya taraf pendidikan masyarakat, dengan makin


banyaknya anak-anak perempuan yang bersekolah, makin tertunda
kebutuhan untuk mengawinkan anak-anaknya.

c. Tabu larangan
Sementara usia perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap berlaku
dimana orang tidak boleh melaksanakan hubungan seksual sebelum
menikah.
d. Kurangnya informasi tentang seks
Remaja yang sudah mulai berkembang kematangan seksualnya secara
lengkap jika hal iini kurang mendapat pengarahan dari orang tua maka
pengendalian perilaku seksual akan sulit.
e. Pergaulan semakin bebas
Gejala ini banyak terjadi di kota besar, banyak kebebasan pergaulan
antar jenis kelamin pada remaja.
Beberapa aktifitas seksual yang sering dijumpai pada remaja yaitu:
(Soetjinigsih,2004)
1. Masturbasi atau onani
Masturbasi merupakan suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi
terhadap alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual unutk
pemenuhan kenikmatan seksual.
2. Percumbuan, seks oral dan seks anal
Tipe ini saat sekarang banyak dilakukan oleh remaja untuk menghindari
terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual model ini merupakan
alternative aktifitas seksual yang dianggap aman oleh remaja masa kini.
3. Hubungan seksual
Ada dua perasaan yang saling bertentangan saat remaja pertama kali
melakukan hubungan seksual. Pertama muncul perasaan nikmat,
menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada sisi lain muncul perasaan
cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan perasaan bersalah. Dari
hasil penelitian tampak bahwa remaja laki-laki yang paling terbuka untuk

17

menceritakan pengalaman hubungan seksualnya dibandingkan dengan


remaja perempuan.
Kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada masa remaja
sangat merugikan remaja sendiri termasuk keluarganya, sebab pada masa
ini remaja mengalami perkembangan yang penting yaitu kognitif, emosi,
sosial dan seksual. Kurangnya pemahaman ini disebabkan oleh berbagai
faktor antara lain : adat istiadat, agama, dan kurangnya informasi dari
sumber yang benar. Pemahaman yang benar tentang seksualitas manusia
sangat diperlukan khususnya untuk para remaja demi perilaku seksualnya
dimasa dewasa sampai mereka menikah dan memiliki anak (Soetjiningsih,
2004).
G. Dampak perilaku seksual remaja
1. Kehamilan tidak diinginkan
Banyak remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan
harus terus melanjutkan kehamilannya. Konsekuensi dari keputusan
yang mereka ambil adalah melahirkan anak yang dikandungnya dalam
usia yang relative muda. Hamil dan melahirkan dalam usia remaja
merupakan salah satu faktor resiko kehamilan yang tidak jarang
membawa kematian ibu.
2. Penyakit menular seksual (PMS) / HIV/AIDS
Adanya kebiasaan berganti-ganti pasangan dan melakukan anal seks
menyebabkan remaja semakin rentan untuk tertular PMS/HIV, seperti
sifilis, Gonore, Herpes, Klamidia dan AIDS. Dari data yang ada
menunjukkan bahwa usia penderita HIV/AIDS paling banyak menyerang
korban berusia antara 17 hingga 29 tahun.
3. Psikologis
Dampak lain dari perilaku seksual remaja adalah konsekuensi
psikologis. Setelah kehamilan terjadi, pihak perempuanlah korban utama
dalam masalah ini. Kodrat untuk hamil dan melahirkan menempatkan
remaja perempuan dalam posisi terpojok yang sangat dilematis. Dalam
pandangan masyarakat, remaja putri yang hamil merupakan aib
18

keluarga, mencoreng nama baik keluarga. Penghakiman sosial ini tidak


jarang membuat remaja putri diliputi perasaan bingung, cemas, malu,
dan bersalah yang dialami remaja setelah mengetahui kehamilannya
(Notoatmodjo, 2007).

BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka konsep
Pendidikan seks dibutuhkan bagi remaja agar mereka memiliki
pengetahuan yang diperlukan untuk membuat keputusan berdasarkan
19

informasi yang telah mereka terima. Pendidikan seks yang benar dapat
membantu menunda aktivitas seksual dan bukan mempercepatnya.
Pendidikan seks dapat dilihat sebagai peluang untuk mempengaruhi
perilaku seksual remaja (Carlson, 2008).
Untuk memperjelas pernyataan diatas berikut ini digambarkan
kerangka konsep yang akan diteliti dalam penelitian sebagai berikut :

Variable Independen

Variable Dependen

Perilaku
seksual remaja

Pendidikan seks

Gambar 1. Kerangka Konsep

B. Defenisi Operasional
Table 1. Defenisi operasional
N
o
1.

Variabel
Variabel
Depende
n

Defenisi
Operasional
Suatu kegiatan
yang dilakukan
remaja mulai
dari perasaan

Cara Ukur
Penyebaran
kuesioner
dengan
kriteria :

Alat Ukur

Skala

Kuisioner

ukur
Ordin

berupa 7 al
soal

Hasil Ukur
- Perilaku
positif
- Perilaku
negatif
20

Perilaku
Seksual
remaja

2.

Variabel
Independ
en
Pendidik
an seks

tertarik baik
dengan lawan
jenis maupun
dengan sesama
jenis, tentang
tindakan
seksualitas yang
berupa
berkencan,
berciuman,
bermesraan,
sampai
melakukan
hubungan intim.

- Perilaku
positif bila
responden
menjawab <
50% dari
pertanyaan
yang
diberikan

- Perilaku
negatif bila
responden
menjawab
50% dari
pertanyaan
yang
diberikan
Penjelasan /
Penyebaran
Kuisioner
informasi
kuesioner
berupa
mengenai
dengan
15 soal
seksualitas
kriteria :
manusia yang
- Baik bila
responden
diberikan kepada
menjawab
anak sejak ia
50% dari
mengerti
pertanyaan
masalahyang
masalah yang
diberikan
berkenaan
- Kurang Baik
dengan seks.
bila
responden
menjawab
<50% dari
pertanyaan
yang
diberikan

Ordin
al

- Baik
- Kurang

C. Hipotesa Penelitian
Ada hubungan antara pendidikan seks dengan perilaku seksual pada
remaja di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2009.
21

BAB IV
METEDOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei analitik dengan
pendekatan cross sectional yaitu variabel sebab dan akibat yang terjadi
pada

objek

penelitian

diukur

atau

dikumpulkan

secara

simultan

(Notoatmodjo, 2005). Untuk mengetahui Hubungan Antara Pendidikan Seks


dengan Perilaku Seksual pada Remaja di SMA Negeri 1 Tahun 2009.
B. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh
Tengah yang dilaksanakan pada tanggal 19-20 Januari 2010.
C. Populasi dan sampel penelitian
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja SMA Negeri

1.

1 Takengon Aceh Tengah yang berjumlah 651 orang.


2.

Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh remaja kelas I dan II
yang sedang menempuh studi di SMA Negeri 1 Takengon. Metode
pengambilan sampel menggunakan

tehnik

Proportional

stratified

random sampling yaitu populasi dibagi dalam strata-strata (sub


populasi), kemudian pengambilan sampel dilakukan dalam setiap strata
(Notoatmodjo, 2002).
Subjek penelitian ditentukan dengan kriteria tertentu yaitu : remaja
tahap menengah dan tahap akhir usia antara 15-19 tahun, laki-laki dan
perempuan, bersedia menjadi responden.
Perhitungan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus
Slovin ((Notoatmodjo, 2005) sebagai berikut :
n=

N
1 N (d 2 )

22

keterangan :
n : Jumlah sampel
N: Jumlah populasi
d : Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,05)
n=

489
1 489(0.052 )
489

n = 2,22
n = 220,2 = 220 orang
Maka berdasarkan rumus slovin di atas, didapat jumlah sampel untuk
penelitian ini adalah berjumlah 220 orang. Dengan jumlah responden lakilaki 110 orang dan responden perempuan 110 orang.
Selanjutnya sampel ini diambil menggunakan tehnik proporsi sampel.
Penentu sampel siswa pada setiap kelas masing-masing dihitung dengan
rumus proporsional sampling (Arikunto, 2006)
siswa tiap kelas

x Sampel minimal

populasi
Berdasarkan rumus proporsional tersebut maka jumlah sampel
pada setiap kelas dapat ditentukan sebagai berikut :
Table 2. Proporsi jumlah sampel pada SMA Negeri 1 Takengon
No.
1
2
3
4
5

Kelas
1/1
1/2
1/3
1/4
1/5

Populasi
siswa
41
40
42
39
39

Jumlah sampel
18,4 = 18 orang
17,9 = 18 orang
18,8 = 19 orang
17,6 = 18 orang
17,6 = 18 orang
23

6
7
8
9
10
11
12

1/6
43
1/7
36
2 IPA 1
40
2 IPA 2
41
2 IPA 3
43
2 IPA 4
41
2 IPS 1
44
Total
489
Sumber : Data primer 2009

19,3 = 19 orang
16,1 = 16 orang
17,9 = 18 orang
18,4 = 18 orang
19,3 = 19 orang
18,4 = 18 orang
19,7 = 20 orang
220 orang

D. Cara pengumpulan data


Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder, data
primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan
menyebarkan kuesioner yang berisi pertanyaan tertutup yang telah disusun
sama untuk semua responden sehingga tidak terjadi bias untuk menjaring
informasi yang ingin diketahui sesuai dengan tujuan penelitian. Kuesioner
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari
dua bagian yaitu kuesioner pendidikan seks dan perilaku seksual. Untuk
menghindari kesalahan dalam memberikan jawaban, peneliti memberi
penjelasan kepada responden tentang petunjuk kepada responden tentang
petunjuk dalam pengisian kuesioner. Data sekunder diperoleh dengan cara
studi kepustakaan yaitu dengan cara mencari berbagai literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh data-data mengenai konsep-konsep yang mendukung
penelitian yang hendak dipakai dalam penelitian.
E. Instrumen Penelitian
Adapun Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang ditujukan kepada remaja yang berisi 22 pertanyaan terdiri
dari variable terikat sebanyak 7 pertanyaan (Adopsi dari KTI Armiyadi)
pertanyaan dalam bentuk dichotomous choice (Notoatmodjo, 2005).
Untuk mengukur pendidikan seks dan perilaku seksual remaja
digunakan alat ukur kuesioner dengan bentuk soal tertutup. Setiap
24

pertanyaan bila jawaban yang benar nilainya 1 dan bila jawaban yang salah
nilainya 0. Total nilai keseluruhan sebanyak 15 yang dibagi dalam 2 kategori
yaitu baik nilainya 50%, kurang nilainya < 50%. Untuk mengukur perilaku
seksual remaja dibagi dalam dua kategori yaitu perilaku negatif nilainya
50% dan perilaku positif nilainya < 50%.
F. Pengolahan dan analisa data

1. Pengolahan data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diolah dengan cara
sebagai berikut : (Alimul, 2007)
a.

Editing, adalah upaya untuk memeriksakan kembali


kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan, hal ini dilakukan
pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

b.

Coding, merupakan kegiatan pemberian kode numerik


(angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.

c.

Entri data, adalah kegiatan memasukkan data yang telah


dikumpulkan kedalam master tabel, kemudian membuat distribusi
frekuensi sederhana.

d.

Melakukan

teknik

analisis,

adalah

statistika

yang

membahas cara-cara meringkas, menyajikan dan mendeskripsikan


suatu data dengan tujuan agar mudah dimengerti.
2. Analisa Data
a. Analisa univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil
penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan
distribusi dan persentase dari tiap variabel. Kemudian ditentukan
persentase (P) untuk tiap-tiap katagori dengan menggunakan rumus
yang dikemukakan oleh (Budiarto, 2002) sebagai berikut :
P=

x 100%
25

Keterangan :
P : Persentase
f : Frekwensi yang teramati
N : Jumlah sampel
Analisa univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi
dari masing-masing variable dependen, yaitu : perilaku seksual remaja
dan variable independen, yaitu : pendidikan seks.
b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat merupakan analisa hasil dari variabel-variabel
bebas yang diduga mempunyai hubungan dengan variabel terikat.
Analisa yang digunakan adalah hasil tabulasi silang. Untuk menguji
hipotesa dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji data
kategori Chi-Square Test ( X 2 ) pada tingkat kemaknaanya adalah 95%
(p 0,05). Sehingga dapat diketahui ada tidaknya perbedaan yang
bermakna secara statistik, dengan menggunakan program khusus SPSS
For Windows. Melalui perhitungan Chi-Square selanjutnya ditarik suatu
kesimpulan, bila nilai P lebih kecil dari nilai alpha (0,05) maka Ho ditolak
dan Ha diterima, yang menunjukkan ada hubungan bermakna antara
variabel terikat dengan variabel bebas.
G. Proses Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu :
1.

Tahap persiapan
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan bahan pustaka dan data
sebagai bahan materi untuk penyusunan proposal. Selanjutnya
proposal ini diseminarkan dan diterima, selanjutnya
pengurusan surat izin penelitian yang dilakukan sesuai

dilakukan
dengan

prosedur administrasi yang berlaku.


2.

Tahap pelaksanaan
26

Proses penelitian dilakukan dengan cara mengunjungi sekolah.


Sebelumnya peneliti memberitahukan maksud dan tujuan serta
menjelaskan tatacara pengisian kuesioner dalam penelitian ini,
selanjutnya untuk diteruskan ke responden. Peneliti juga memberikan
surat persetujuan menjadi responden kepada setiap remaja.
Setelah

mendapatkan

persetujuan

responden,

peneliti

menetapkan sampel. Dari 489 siswa ditetapkan sampel 220 siswa


dengan cara menunjuk siswa secara acak pada setiap kelas, yang
berjumlah 12 kelas. Kuesioner disebarkan bagi siswa yang ditunjuk
secara acak pada tiap kelas.
Setelah kuesioner disebarkan, kemudian dikumpulkan kembali
dan langsung diteliti tentang kelengkapannya, bila ditemukan adanya
pertanyaan yang belum dijawab maka peneliti langsung meminta
responden untuk mengisi ulang kuesioner tersebut saat itu juga.
3.

Tahap penyusunan laporan


Tahap akhir dilakukan penyusunan dan penyajian hasil analisa
data dan pembahasan hasil-hasil penelitian. Selanjutnya membuat
kesimpulan serta saran sebagai tindak lanjut hasil penelitian.
H. Kesulitan dan kelemahan penelitian

1. Kesulitan Penelitian
Pada saat melakukan pengumpulan data kuisioner harus di
bagikan pada waktu bersamaan, dan peneliti merasa kesulitan dalam
proses pembagian kuisioner di karenakan siswa dan siswi yang terlalu
banyak yang terbagi dalam beberapa kelas.
2. Kelemahan Penelitian
a. Metode penelitian yang digunakan hanya berupa kuesioner.
b. Variabel yang digunakan masih sedikit
27

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
a. Sejarah
SMA Negeri 1 Takengon berdiri pada tahun 1957, menempati
lokasi gedung peninggalan Tiong Hoa, terletak diatas tanah seluas
3.0048 meter persegi. Secara fisik SMA Negeri 1 Takengon adalah
baik dari aspek ruang belajar dan sarana penunjang kegiatan
28

termasuk kategori yang memadai. Sejak pertama kali berdiri, SMA


Negeri 1 Takengon mengalami 13 kali pergantian kepala sekolah.
SMA Negeri 1 Takengon di Negerikan dengan Nomor SK ;
72/SK/D.III/1959, tepatnya pada tanggal 5 Oktober 1959. Maka nama
sekolah yang dari SMA swatantera Laut Tawar menjadi SMA Negeri
ABC. Saat ini dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan satu orang
wakil kepala sekolah, serta dibantu oleh 43 tenaga pengajar dan 7 staf
sebagai tenaga tata usaha.
Letak ruang guru di SMA Negeri 1 Takengon sangat strategis,
karena terletak ditengah-tengah kelas yang ada. Hal ini sengaja
diciptakan untuk memudahkan dalam memberikan pengawasan
terhadap murid-murid yang berjumlah 651 siswa. Secara keseluruhan
lokasi SMA Negeri 1 Takengon dikelilingi pagar beton sehingga
memperkecil para siswa untuk membolos dan mempermudah
pengawasan terhadap siswa yang terlambat.
b. Pembagian kelas di SMA Negeri 1 Takengon
Jumlah kelas yang ada di SMA Negeri 1 Takengon sebanyak 16 kelas
dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 3. Jumlah kelas di SMA Negeri 1 Takengon
No.
1.
2.
3.

Kelas
Frekuensi
Kelas X
7 kelas
Kelas XI
5 kelas
Kelas XII
4 kelas
Jumlah
16 kelas
(Sumber : Arsip SMA Negeri 1 Takengon, 2009)

c. Pembagian ruang dan gedung


Fasilitas ruang dan gedung SMA Negeri 1 Takengon, adalah sebagai
berikut :
1. Keadaan fisik sekolah
2. Ruang

: Permanen
:
29

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Ruang kepala sekolah


Ruang Guru
Tata usaha
Ruang Laboratorium
Ruang teori
Ruang perpustakaan
Ruang OSIS
Gudang

: 1 buah
: 1 buah
: 1 buah
: 1 buah
: 16 buah
: 1 buah
: 1 buah
: 1 buah

2. Analisa Univariat
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan pada tanggal 19
sampai dengan 20 januari 2010 terhadap 220 orang remaja, maka
diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Pendidikan Seks
Tabel 4.

Distribusi Frekuensi Remaja Berdasarkan Pendidikan Seks


di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah

No
Pendidikan Seks
Frekuensi
1. Baik
148
2. Kurang
72
Jumlah
220
Sumber: Data Primer (diolah tahun 2010)

Persentase (%)
67,3
32,7
100

Berdasarkan tabel diatas memperlihatkan bahwa persentase


remaja yang mendapatkan pendidikan seks yang baik (67,3%), lebih
besar dari remaja yang mendapatkan pendidikan seks yang kurang
(32,7%).
b. Perilaku Seksual remaja

30

Tabel 5.

Distribusi Frekuensi Remaja Berdasarkan Perilaku Seksual


di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah

No Perilaku Seksual
Frekuensi
1. Positif
184
2. Negatif
36
Jumlah
220
Sumber: Data Primer (diolah tahun 2010)

Persentase (%)
83,6
16,4
100

Berdasarkan tabel diatas memperlihatkan bahwa persentase


remaja yang beperilaku positif (83,6%) lebih besar

dari remaja yang

beperilaku negatif (16,4%).

3. Analisa Bivariat
a. Hubungan Pendidikan Seks dengan Perilaku Seksual Remaja
Tabel 6.

Hubungan Pendidikan Seks dengan Perilaku Seksual Remaja


di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah

Pendidik

Perilaku Seksual Pada

an Seks

Remaja
Negatif
Positif

Kurang
Baik
Total

Total

4
32

5,6
21,6

68
116

94,4
78,4

72
14

100
100

83,6

8
22

100

36

27,2

184

P
value
0,005

CI

OR

0,072 0,213
0,629

0
Sumber: Data Primer (diolah tahun 2010)
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka dapat diketahui bahwa
remaja dengan pendidikan seks baik berjumlah 148 orang, dengan 32
31

orang mempunyai perilaku negatif (21,6%) dan 116 orang yang berperilaku
posititf (78,4%). Remaja dengan pendidika seks yang kurang berjumlah 72
orang, dengan 4 orang yang mempunyai perilaku negatif (5,6%) dan 68
orang yang mempunyai perilaku positif (94,4%).
Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-square,
memakai rumus Pearson Chi Square pada nilai = 0,05 dan df = 1 didapat
nilai p = 0,005 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara pendidikan seks dengan perilaku seksual pada remaja di SMA
Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2009. Dari hasil
analisis diperoleh pula nilai OR = 0,213, artinya remaja dengan pendidikan
seks kurang mempunyai peluang 0,213 kali untuk melakukan perilaku
seksual dibandingkan dengan remaja yang pendidikan seksnya baik.
B. Pembahasan
1. Hubungan Pendidikan Seks dengan Perilaku Seksual remaja
Hasil analisa statistik pada tabel 6 dengan menggunakan uji chi
square menunjukkan hubungan tersebut bermakna, dimana nilai p-value
0,005 (p 0,05). Hal tersebut berarti hipotesis penelitian yang menyatakan
ada hubungan antara pendidikan seks dengan perilaku seksual remaja
terbukti atau dapat diterima.
Adanya hubungan tersebut dikuatkan oleh pendapat kriswanto
(2006) Pendidikan seks yang diberikan kepada remaja sebenarnya
memberikan pengetahuan mengenai fungsi organ reproduksi, cara
menjaga dan memelihara organ reproduksi, dan yang tak kalah penting
bahwa pendidikan seks memberikan pengetahuan mengenai cara bergaul
yang sehat dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama
dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Setelah mendapatkan bekal
mengenai pendidikan seks, maka diharapkan mereka dapat melindungi diri
sendiri dari bahaya pelecehan seksual. Pendidikan seks dapat mencegah

32

perilaku seks bebas, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, pelecehan


seksual, dan mencegah penularan berbagai penyakit kelamin.
Tingkat pendidikan seks meskipun menunjukkan angka yang lebih
baik namun remaja dengan pendidikan seks yang kurang masih tinggi, hal
ini disebabkan oleh masih kurangnya informasi atau penjelasan tentang
pendidikan seks yang diterima remaja sehingga pemahaman remaja
tentang

pendidikan

seks

hanya

berhubungan

dengan

pornografi,

pemahaman yang keliru mengenai seksualitas pada remaja menjadikan


mereka mencoba untuk bereksperimen mengenai masalah seks tanpa
menyadari

bahaya

yang

timbul

dari

perbuatannya,

dan

ketika

permasalahan yang ditimbulkan oleh perilaku seksnya mulai bermunculan,


remaja takut untuk mengutarakan permasalahan tersebut kepada orang
tua (Dhe de, 2002).
Namun dipihak lain, anggapan bahwa dengan pendidikan seks
anak-anak yang belum saatnya tahu tentang seks jadi mengetahuinya dan
karena dorongan keingintahuan yang besar yang ada pada remaja,
mereka jadi ingin mencobanya (Sarwono, 2002)
Pengetahuan tentang pendidikan seks mendukung seseorang
dalam berpikir dan menelaah sesuatu hal untuk bersikap atau berbuat,
semakin tinggi pengetahuan, semakin mudah untuk menerima hal-hal
baru, sehingga mereka akan mudah merespon dan bertindak terhadap
konsep baru, sehingga remaja ingin mencoba apa yang mereka ketahui,
apabila pengetahuannya kurang, akan sulit untuk bersikap dan bertindak.
Di Amerika pendidikan seks disekolah-sekolah tidaklah membantu
mengurangi munculnya penyakit kelamin atau kehamilan para remaja. Hal
ini disebabkan pendidikan seks itu sendiri tidak mampu mengubah
kebiasaan-kebiasaan seks para remaja. Menurut Mario Wright Elderman,
dalam sebuah laporan, dari setiap 20 anak remaja, 10 orang diantaranya
aktif melakukan hubungan seksual. Jajak pendapat yang dilakukan oleh
Louis Harris pada tahun 1986 menemukan bahwa 57% warga Negara
yang berusia 17 tahun, 46 % warga Negara yang berusia 16 tahun, dan
33

29% warga negara yang berusia15 tahun melakukan praktik seks. Kini
diperkirakan sekitar 80% anak gadisyang memasuki perguruan tinggi telah
melakukan hubungan seksual paling sedikit satu kali. Melakukan kebaktian
digereja tidak banyak membantu mereka dalam mengurangi

perilaku

seksual pada remaja.


Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan
oleh Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah
mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung jarang melakukan
hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapatkan
pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak
dikehendaki (Sarwono, 2002).
Remaja pada umumnya saat memasuki usia remaja tanpa
pengetahuan yang memadai tentang seks dan selama hubungan pacaran
berlangsung pengetahuan itu bukan saja tidak bertambah, akan tetapi
malah bertambah dengan informasi-informasi yang salah. Hal yang
terakhir ini disebabkan oleh orang tua tabu membicarakan seks, sehingga
anak berpaling ke sumber-sumber yang tidak akurat, khususnya teman.
Remaja kota kini semakin berani melakukan hubungan seksual
pranikah. Hal itu berkaitan dengan hasil sebuah penelitian, 10-12% remaja
di Jakarta pengetahuan seksnya sangat kurang. Ini mengisyaratkan
pendidikan seks bagi anak dan remaja secara intensif terutama di rumah
dan di sekolah, makin penting. Pengetahuan yang setengah-setengah
justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali. Kata-kata bijak
ini nampaknya juga berlaku bagi para remaja tentang pengetahuan seks
kendati dalam hal ini ketidaktahuan bukan berarti lebih tidak berbahaya.
Dalam kaitan dengan hubungan seksual, bisa diambil contoh ada remaja
yang berpendapat, kalau hanya sekali bersetubuh, tidak bakal terjadi
kehamilan. Atau, meloncat-loncat atau mandi sampai bersih segera
setelah melakukan hubungan seksual bisa mencegah kehamilan.
Beberapa akibat yang tentunya memprihatinkan ialah terjadinya
pengguguran kandungan dengan berbagai risikonya, perceraian pasangan
34

keluarga muda, atau terjangkitnya penyakit menular seksual, termasuk HIV


yang kini sudah mendekam di tubuh ratusan orang di Indonesia.
Bandingkan dengan temuan Marlene M, psikolog yang berpraktek di
Kalifornia, AS, bahwa setiap tahun terdapat 1 dari 18 gadis remaja Amerika
Serikat hamil sebelum nikah dan 1 dari 5 pasien AIDS tertular HIV pada
usia remaja (Kompas Cyber Media, 2005).
Secara garis besar perilaku seksual pada remaja disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain : meningkatnya libido seksual, menurunnya
usia kematangan sekual akan diikuti oleh meningkatnya aktifitas seksual
pada usia-usia yang dini. Gejala ini diungkapkan oleh K. Fury dimana 33%
anak perempuan dan 50% anak laki-laki dibawah usia 16 tahun telah
melakukan

hubungan

meningkatkan

hasrat

seks.
seksual

Perubahan-perubahan
remaja.

hormonal

Peningkatan

yang

hormon

ini

menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah


laku tertentu. Penyaluran tersebut tidak dapat disalurkan karena adanya
penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya
undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang
semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk
perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain). tabu
larangan damana norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang
dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk
remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk
melanggar hal-hal tersebut. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat
karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa
yang dengan teknologi yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, Photo,
majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja
yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru
apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya
mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap.
Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya
yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak,
35

menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat


jarak dengan anak dalam masalah ini.
Priyonggo

(2002)

mengemukakan

bahwa

berdasarkan

hasil

penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang tidak lagi dianggap sebagai
tempat yang aman dan mampu melindungi anggota keluarganya akan
menimbulkan persoalan-persoalan yang semakin pelik pada anak, salah
satunya yaitu masalah perilaku seksual pranikah.
Pendidikan seksual sudah waktunya diberikan secara terbuka.
Tidak hanya dalam lingkup keluarga namun juga dalam kurikulum
pendidikan di sekolah. Pendidikan seks yang benar adalah pendidikan
seks yang dapat menjelaskan kepada para remaja mengenai seksualitas
dalam dimensinya yang ternyata sangat luas, yang dapat memadukan
antara pengetahuan, perilaku seksual dan akibat yang akan di capai,
antara emotional attachment (cinta dan nafsu) dengan tanggung jawab
yang harus di pikul (Tintin, 2008).
Pendidikan seks di Indonesia seyogyanya tetap dimulai dari rumah.
Alasan utamanya karena masalah seks merupakan masalah yang sangat
pribadi. Namun disisi lain banyak orang tua yang kurang mampu untuk
memenuhi kebutuhan anak-anak remaja mereka. Selain pihak orang tua
yang masih belum terbuka tentang seks, sehubungan dengan masih
kuatnya berlaku tabu-tabuan sehubungan dengan masalah seks, orang tua
juga sering kali kurang paham perihal masalah ini. Pengetahuan yang
terbatas itulah yang menyebabkan orang tua kurang dapat berfungsi
sebagaimana sumber dalam pendidikan seks.
Laily dan Matulessy (2004) juga menyatakan bahwa informasi atau
pengetahuan mengenai seksualitas yang diberikan pada remaja lebih baik
dan tepat jika dilakukan dalam keluarga, karena anak dilahirkan dan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga, sehingga cara lain yang dapat
diusahakan untuk mengurangi perilaku seksual pranikah pada remaja
adalah dengan meningkatkan kualitas komunikasi orang tua-anak.
36

Menurut asumsi peneliti, adanya hubungan tersebut karena dengan


adanya pendidikan seks yang benar akan memberikan pengetahuan dan
mendidik remaja agar berperilaku yang baik dalam hal seksual sesuai
dengan norma agama, sosial dan kesusilaan sehingga remaja dapat
menempatkan diri dan mengendalikan diri dari perilaku seksual yang tidak
bertanggung jawab melalui tindakan pencegahan seks bebas. Akan tetapi
pendidikan seks tidak selalu membuat remaja dapat bersikap positif atau
negatif terhadap perilaku seksual, hal ini tergantung dari watak atau
keyakinan yang dimiliki oleh setiap remaja, hanya saja untuk hal ini peran
orang tua, dan sekolah untuk lebih menanamkan pendidikan seks tersebut
untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada setiap remaja dan
menanamkan pendidikan akhlak sehingga dapat membentengi remaja
untuk tidak bersikap kearah yang merugikan dirinya sendiri.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 220 orang
remaja di Di SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah Tahun
2009, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.

Remaja dengan pendidikan seks baik berjumlah 148 orang


(67,3%), sedangkan remaja dengan pendidikan seks yang kurang
berjumlah 72 orang (32,7%).

2.

Remaja yang mempunyai perilaku positif atau baik berjumlah


184 orang (83,6) dari 220 responden.
37

3.

Ada hubungan antara pendidikan seks dengan perilaku seksual


remaja dengan nilai p - value = 0,005 (p 0,05).
B. Saran

1. Kepada siswa SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah, untuk


dapat meningkatkan pengetahuan seks yang benar dari berbagai
sumber informasi baik dari orang tua, guru, media visual dan audio
visual serta mengadakan diskusi ilmiah dengan mengikutsertakan
berbagai kalangan seperti ulama untuk memberikan berbagai
pendidikan akhlak dan moral kepada siswa, serta para tenaga
kesehatan atau pakar dalam bidang kesehatan reproduksi untuk dapat
menambah ilmu pengetahuan dan cara hidup yang sehat agar
terhindar dari penyakit menular seksual dan terhindar dari perilaku
seksual pranikah.
2. Kepada siswa SMA Negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah dan
para pengajar khususnya mata pelajaran biologi agar lebih banyak
memberikan pengetahuan tentang pendidikan seks kepada remaja
pada setiap kesempatan karena pendidikan yang didapat dari guru
akan lebih mudah dimengerti dan dapat diterima oleh siswa, dan
diharapkan kepada sekolah untuk mengadakan seminar kepada para
siswa dan wali murid untuk mensosialisasikan pendidikan tentang seks
sejak dini kepada anak, karena banyak sekali siswa yang tidak
mendapatkan sumber informasi tentang pendidikan seks dari orang
tuanya yang masih menganggap tabu membicarakan masalah seks
pada anak dan bahkan ada anak yang dimarahi bila menanyakan
masalah pendidikan seks pada orang tua, sehingga banyak remaja
yang mencari informasi dengan teman-teman sebayanya.
3. Kepada tenaga kesehatan, untuk dapat memberikan penyuluhanpenyuluhan

tentang

pendidikan

seks

pada

remaja

sehingga

informasinya lebih terarah.


38

4. Kepada peneliti lain yang tertarik dengan penelitian yang sama


hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dan bahan
kajian,

dan

diharapkan

dapat

memperluas

wawasan

dengan

menambah variabel yang akan diteliti, dan dapat meneliti dengan jenis
penelitian yang berbeda.

39

Anda mungkin juga menyukai