OLEH :
KELOMPOK 7
1.
2.
3.
4.
BELATRIX REBECA A
MARIA MARGARETA
NI PUTU ELIK ARMAYANTI
ROSARILIA SERAFIN D BAJO
(201202010)
(201202036)
(201202044)
(201202051)
PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KATOLIK
ST. VINCENTIUS A PAULO
SURABAYA
2015
BAB 1
KONSEP MEDIS RESUSITASI DAN STABILISASI
1.1. Pengertian
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah istilah yang dipakai untuk menyebut
terapi segera untuk henti jantung dan atau napas. RJP terdiri dari pemberian bantuan
sirkulasi dan napas, dan merupakan terapi umum yang bisa diterapkan pada hampir
semua kasus henti jantung atau napas. Namun, tindakan ini tidak mengesampingkan
perlunya menegakkan diagnosis akurat sehingga terapi spesifik, bila tersedia, bisa
diberikan sedini mungkin untuk bisa menyelamatkan nyawa. Menegakkan diagnosis
dengan menggunakan semua fasilitas yang tersedia. Misalnya anamnesis dari
penolong pertama (perawat, petugas ambulans, dan lain-lain), menemukan resep atau
obat bebas dalam saku, pemeriksaan fisik, EKG segera, foto toraks, dan lain-lain.
(Patrick Davey, 2005:131)
1.2. Etiologi
Beberapa penyebab henti jantung dan nafas adalah
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat,
tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, pneumothoraks, kelebihan dosis obat,
kelainan susunan saraf pusat.
1.5.
1.6.
Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas. Umumnya,
walaupun kegagalan pernafasan telah terjadi, denyut jantung masih dapat
berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti jantung, dilatasi pupil
kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi 45 detik setelah aliran
darah ke otak terhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam waktu 1 menit 45
detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil maksimal, hal ini menandakan sudah
terjadi 50 % kerusakan otak irreversibel.
1.7.
1.2.
Depresi pernafasan
paru,
fibrosis
pada sistem
konduksi
1.2.7.4.
atrioventrikulaer sakit).
Kekurangan oksigen akut.
Henti nafas, benda asing di jalan nafas, sumbatan
jalan nafas
1.5.
oleh sekresi, asfiksia dan hipoksia.
Penyebab obstruksi jalan napas :
1.1.
Lidah
1.2.
Muntahan, darah,secret
1.3.
Benda asing
1.4.
Pembengkakan jaringan
1.5.
Edema laring
1.6.
Spasme laring
1.7.
Obstruksi trakeobronkial
(Jevon, Philip.2008:26-28)
1.2.
Fase ini berlangsung sejak munculnya henti jantung VF hingga 5 menit setelah
henti jantung. Tindakan defibrilasi awal menjadi tindakan paling penting
selama periode ini.
1.2.
1.3.
1.2.
1.3.
Inflasi gaster
1.1.2.
Regurgitasi
1.1.3.
Bila terjadi inflasi gaster, perbaiki jalan napas dan hindari tidal
volume yang besar dan laju pemberian bapas buatan yang terlalu
cepat.
1.1.
1.2.
Pneumothoraks
1.3.
Hemothoraks
1.4.
Kontusio paru
1.5.
1.6.
1.7.
Emboli lemak
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
1.2.
1.3.
Kaku mayat (rigor mortis). Kaku pada tubuh dan anggota gerak
setelah kematian. Terjadi 1 -23 jam kematian
1.4.
1.5.
Guidelines 2010, AHA mengatur ulang sekuens RJP dari A-B-C menjadi
C-A-B, sehingga memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada
sesegera mungkin.
Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya
tidak ada langkah yang terlewatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.
Pedoman baru ini berisi beberapa rekomendasi yang didasarkan pada pembuktian
ilmiah, yaitu:
1.1.1.
normal
(seperti,
korban
tidak
bernapas
atau
hanya
Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi
tidak pada bayi baru lahir. Karena penyebab tersering pada bayi baru
lahir yang tidak sadarkan diri dan tidak bernafas adalah karena masalah
jalan nafas (asfiksia).
1.1.3.
1.1.4.
kita
untuk
kompresi
dada
minimal
100
1.1.7.
Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan highquality didasarkan pada :
1.1.1.
1.1.2.
1.1.3.
Danger (Bahaya)
Memastikan keamanan baik penolong, korban maupun lingkungan. Biasa
disingkat dengan 3A (Tiga Aman). Keamanan penolong harus lebih
diutamakan sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar
penolong tidak menjadi korban kedua atau korban berikutnya.
1.1.2.
Respone
Memastikan keadaan pasien dengan
memanggil nama/sebutan yang umum
dengan keras seperti Pak! / Bu! /
Mas! / Mbak! disertai menyentuh
atau menggoyangkan bahu dengan
lembut dan mantap untuk mencegah
pergerakan
yang
berlebihan.
1.1.3.
1.1.4.
Pengaturan Posisi
1.1.1.
Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika
ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien
dengan teknik log roll, yaitu digulingkan secara bersamaan
kepala, leher dan punggung.
1.1.2.
Posisi Penolong
Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan
resusitasi jantung paru (RJP) secara efektif tanpa harus
mengubah posisi atau menggeser lutut.
Circulation
Terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1.1.1.
Memastikan
ada
tidaknya
nadi
tidaknya
korban
menekankan
pemeriksaan
nadi
karotis
sebagai
1.1.2.
1.1.3.
Penolong
meletakkan
salah
1.1.2.
2 ( 1 atau 2 penolong )
Anak : 1/3 diameter anteroposterior dada ( 5 cm), rasio 30 :
2 (1 penolong ) dan 15 : 2 ( 2
penolong )
1.1.3.
Bayi
: 1/3 diameter
anterio-
Airway
Penolong memastikan jalan napas
bersih dan terbuka sehingga memungkinkan
pasien dapat diberi bantuan napas, sehingga
langkah ini terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1.1.1.5.1.
1.1.1.5.2.
1.31.5. Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan
cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan. Waktu yang
dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,52 detik dan volume udara
yang dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai dada
pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan untuk
memberikan hembusan napas yang efektif, periksa apakah masih ada
sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi tengadah kepala dan angkat
dagu pasien/korban.
dilakukan
pasien.
Pada
hembusan
saat
napas
dahulu
dan
mulut
Jika ada nadi tapi napas belum ada, penolong memberikan bantuan
napas sebanyak 10- 12 x/menit dan monitor nadi tiap 2 menit.
Jika ada napas dan denyut nadi teraba namun pasien belum sadar,
letakkan pasien/korban pada posisi pemulihan (recovery position)
untuk menjadi jalan napas tetap terbuka dan bila pasien muntah tidak
terjadi aspirasi. Waspada terhadap kemungkinan pasien mengalami
henti napas kembali, jika terjadi segera terlentangkan pasien dan
lakukan bantuan napas kembali. Langkah-langkah pemberian posisi
pemulihan dapat dilihat pada gambar berikut:
2)
Tidak
menekankan
pemeriksaan
breathing
karena
penolong
baik
tidak terbuka atau karena pasien mengalami occasional gasping yang dapat
terjadi pada beberapa menit pertama setelah henti jantung.
1.51.5. Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
istilah defibrilasi adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan
energi listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac arrest)
adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel.
Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang
dapat digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic External
Defibrilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui korban henti jantung
ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi
alat tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan
defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi.
1.12 Tindakan Tahap Dua : Bantuan Hidup Lanjut (BHL)
Dalam tahap dua tahap ini dimaksudkan sebagai bantuan hidup lanjut
(BHL, advanced life support), yaitu memalui kembali sirkulasi spontan dan
memantapkan system paru jantung, dengan cara memberikan obat-obatan dan cairan
serta jika perlu terapi fibrilasi sesuai dengan gambaran EKG diperlukan untuk
memastikan diagnosis henti jantung, apakan asistole, fibrilasi ventrikel atau kolaps
kardiovaskuler hebat.
Tahap satu dan dua harus diberikan dengan sangat segera untuk
menghasilkan sirkulasi spontan yang adekuat, karna dengan melakukan kompresi
jantung luar hanya menghasilakan 6-30% aliran darah normal.
Kompresi
jantung
dalam
dilakukan
melalui
rongga
dada
yang
dibuka.dengan cara ini lebih efektif dan dapat menghasilkan 50% aliran darah normal.
Akan tetapi cara ini tidak dapat dilakukan di luar rumah sakit
Pada waktu melakukan tindakan tahap ke dua ini, yaitu memberikan obatobatan dan cairan melalui intravena serta pemantauan EKG, tindakan konpresi jantung
dan ventilasi paru jantung dihentikan. Bila mungkin lakukan intubasi trakea atau
krikotirotomi.
1. Obat- obatan dan cairan
Pasang segera kateter intravena dan berikan infus larutan glukosa 5% atau 2A
hanya dapat dikerjakan bila cara intravena atau intratrakea tidak mungkin.
Jika henti jantung berlangsung > 2 menit atau hipoksia jaringan telah terjadi
sebelum henti jantung, berikan Na-bikarbonat 1 mEq/kg BB intravena
perlahan-lahan kedalam infus yang sedang berjalan. Na-bikarbonat ini
bertujuan untuk mengatasi asidosis yang terjadi yang bila tidak akan
klorida 10%, 0,1-0,2 ml/kg BB, bolus perlahan sampai 250-500 mg (2.5-5 ml),
dan vasopressor seperti neropinefrin 3g (0,2 ml/70 kg/ menit), larutan (8 mg
larutan neropinefrin dalam 500 ml dekstrose 5% NaCl 0,9 %) atau metarominol
(Aramin) IV bolus 1-5 mg dan titrasi infus 100 mg dalam 250 ml NaCl 0,9%
sampai tekanan arteri rata-rata stabil. Kemudian lanjutkan dengan dopamine 210 g/kg/BB/menit untuk membantu curah jantung.
Lidokain (lignokain)
Jika fibrilasi ventrikel menetap atau berlangsung sampai pemberian defibrilasi
mencapai dosis 5 J/kg BB atau 400 J, walaupunsudah dilakukan dekompresi
jantung, ventilasi buatan dengan mesin tekanan positif intermiten dan adrenalin
serta Na-Bikarbonat dalam jumlah yang cukup, berikan Lidokain jika perlu.
Lanjutkan tetasan infus. Ulangi terus usaha ini (termasuk pemberian obat
bretilium 5 mg / kg BB, dosis ulang 10 mg/kgBB dan maksimum 30 mg/kg
BB)samapai berhasil atau terjadi asistole yang ireversibl dengan tanda-tanda
kematian miokardium (asitole listrik intra kabel). Teruskan usaha resusitasi
sampai denyut nadi membaik dan usahakan supaya tensi segera normal kembali.
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan. Tujuan dari
survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan
merupakan
salah
satu
alasan
yang
cukup
aman
untuk
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi
2.1.1.4 Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien
tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of
open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax
dan pneumotoraks.
Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
Penilaian kembali status mental pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
telah selesai
dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis.(Gilbert., DSouza., & Pletz, 2009)
2.1.2
atau
pneumonia.
Dibatasinya
pelaksanaan
RJP
telah
meningkatkan derajat harapan hidup pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP,
meskipun 7-10% lainnya ditunda untuk dilakukan RJP.5 RJP yang dimulai
dengan cepat di Seattle menghasilkan tingkat harapan hidup sebesar 36%, itu
merupakan angka tertinggi yang dicapai dibandingkan dengan data yang
terdapat di literatur saat ini. Pada daerah lalu lintas yang mempunyai sistem
yang lebih buruk angka keberhasilan RJP lebih rendah. Secara spesifik di kota
New York dan Chicago tingkat harapan hidup setelah tindakan RJP kurang dari
2%, hal itu terjadi karena RJP yang terlambat terkait dengan padatnya arus lalu
lintas.5 Usia bukan merupakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan
RJP. Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai
kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya perawatan jangka panjang dan
penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu perkiraan hasil RJP yang
buruk.
2) Prinsip Non Maleficence (Do No Harm)
Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP bervariasi antara 1083%. Pada salah satu penelitian, 55 dari 60 anak meninggal karena pemberian
RJP yang berkepanjangan;lima lainnya bertahan hidup pada kondisi coma
persistent atau status vegetative di rumah sakit. Banyak pasien dengan
disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan otak berada dalam kondisi yang
sama dengan kematian. RJP menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika
risiko kerusakan otak relatif tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak
atau ke jantung dapat menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan
berhasil hanya jika dilakukan tepat waktu. Seorang investigator dari Swedia
melaporkan bahwa harapan hidup melebihi 80% pada pemberian RJP oleh orang
di sekitar korban dan ambulan dating kurang dari 2 menit, akan tetapi angka ini
menjadi lebih buruk bahkan kurang dari 6% ketika ambulan dating lebih dari 6
menit atau tidak ada orang di sekitar korban yang melakukan RJP. Pada
beberapa negara di Amerika Serikat, walaupun petugas gawat darurat sudah
membatasi dilakukannya tindakan RJP di lapangan, masih dapat ditemukan
bukti RJP yang tidak dikehendaki. Bahkan didapatkan 7% pasien yang
dipulangkan dari rumah sakit tidak menghendaki dilakukannya RJP.5 Tindakan
RJP dikatakan tidak merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar.
3) Prinsip Otonomi
Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian besar negara
dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu membutuhkan kemampuan
komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan
medis termasuk RJP. Di Amerika Serikat, pasien dewasa dianggap memiliki
kapasitas dalam mengambil keputusan kecuali jika pengadilan telah menyatakan
bahwa mereka tidak kompeten untuk membuat keputusan tindakan medis
sedangkan di negara lain keputusan pengadilan tidak diperlukan untuk
penderita-penderita dengan incompetency seperti pada penderita penyakit
jiwa.Informed consent mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan
memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis
tindakan medik yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko dan manfaat
dari tindakan medis tersebut. Pasien juga harus dinilai kapasitasnya dalam
mengambil keputusan. Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap
mempunyai kapasitas, dan bila kapasitas dalam mengambil keputusan tersebut
terganggu Analisis Etik Terkait Resusitasi Jantung Paru Analisis Etik Terkait
Resusitasi Jantung Paru oleh karena obat-obatan, penyakit-penyakit penyerta,
maka kapasitas pasien harus dikembalikan terlebih dahulu. Dalam keadaan
darurat, dan preferensi pasien belum jelas, dengan waktu yang terbatas untuk
mengambil keputusan maka adalah bijaksana untuk memberikan perawatan
medis yang standard.
Pasien biasanya tidak mempunyai rencana tentang apa yang terjadi pada akhir
kehidupannya (end of life), banyak yang tidak ingin menyiapkan advanced
directives, livin wills (surat wasiat) atau mendiskusikan RJP. Dokter juga jarang
mendiskusikan hal-hal tersebut dengan pasienpasiennya, bahkan jika pasien
tersebut menderita sakit yang parah. Banyak pasien memiliki pemahaman yang
samar-samar tentang RJP dan konsekuensi-konsekuensinya. Masyarakat
umumnya berharap banyak tentang kemungkinan untuk bertahan hidup dari
serangan jantung. Beberapa penderita mungkin akan menolak dilakukan RJP
karena mereka mengetahui adanya defisit sensorik berat yang timbul setelah
serangan tersebut. Akan tetapi banyak penelitian tentang kualitas hidup
penderita yang selamat dari serangan jantung menyatakan bahwa risiko tersebut
dapat diterima.Baik dokter dan penderita mungkin mempunyai persepsi yang
berbeda tentang kualitas hidup. Dokter mempunyai kewajiban untuk
menerangkan kepada pasien tentang RJP dan hasilnya. Pengambilan keputusan
yang tepat dapat terjadi bila penderita mempunyai pemahaman yang baik
tentang persepsi dan hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul karena
banyak dokter tidak dapat memprediksi secara akurat tentang kemungkinan
hidup dari serangan jantung, sehingga penderita tidak dapat dipaksa untuk
mengambil persetujuan tentang tindakan RJP. Baik Kant maupun Rawls
mengatakan sebuah keputusan moral otonom harus rasional dan tidak memihak
salah satu pembuat keputusan. Rawls mengatakan dengan jelas bahwa pembuat
keputusan, para pemilih, tidak mengetahui masa depan mereka dalam suatu
komunitas. Dari prinsip tersebut para ahli menyimpulkan bahwa pasien harus
dapat menentukan pengobatannya sendiri. Prinsip tersebut mengharuskan kita
mengkaji ulang dan menyelesaikan dua masalah. Pertama, pasien selalu
memikirkan hasil dari keputusan tindakan medis tersebut oleh karena itu tidak
harus selalu berdasarkan prinsip otonomi bahkan ketika keputusan tentang
tindakan medis tersebut tidak dapat meeredakan rasa nyeri, atau penderitaan.
Kedua, merupakan prinsip keadilan yang menghasilkan kemampuan untuk
menerima sesuatu, bukan otonomi. Dalam formulasi terbarunya Beuchamp dan
Childress lebih akurat mengatakan prinsip ini sebagai penghormatan terhadap
otonomi. Ada beberapa bukti bahwa wali pengganti yang bertindak atas nama
pasien pada saat pasien telah kehilangan kapasitas pengambilan keputusan,
ternyata pasien tidak secara tepat dapat mengatakan keinginan yang sebenarnya.
Sekitar sepertiga penderita ginjal kronik menerima keputusan yang diambil oleh
wali pengganti, ternyata keputusan itu bertentangan dengan keinginannya.
4) Prinsip Keadilan (Justice)
Pemikiran tentang prinsip keadilan meliputi dibuatnyahak-hak untuk menerima
sesuatu,
persaingan
untukmendapatkan
kepentingan
pribadi
dan
keadilan
untuk
menyediakan
perawatan
medis
kepada
yang