Anda di halaman 1dari 2

Ketika Bahasa Inggris

Dipinggirkan di Sekolah Dasar


Oleh Suyipno *)

Barangkali bagi sebagian besar


kita tidak pernah menduga bahwa
semakin maju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, justru bahasa Inggris malahdipinggirkan dalam kurikulum sekolah dasar. Kita
akan mahfum bila bahasa Inggris
menjadi salah satu mata pelajaran pokok. Di samping karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional,
literatur-literatur dari negara-negara
Barat juga menggunakan bahasa Inggris. Tanpa menguasai bahasa Inggris dengan baik, tentu proses transfer ilmu juga akan terganggu. Apalagi
saat ini salah satu program pemerintah dalam mendongkrak mutu pendidikan nasional adalah dengan mendirikan sekolah RSBI (Rintasan Sekolah
Bertaraf Internasional). Salah satu
modal penting dalam RSBI ini adalah
kemampuan menggunakan bahasa
Inggris dengan baik.
Dalam kurikulum yang akan diberlakukan mulai tahun ajaran yang
akan datang, tahuan ajaran 2013/2014,
pemerintah berancang-ancang memangkas sejumlah mata pelajaran di
sekolah dasar. Kesembilan atau kesepuluh mata pelajaran yang ada di sekolah dasar selama ini akandipangkas
menjadi enam mata pelajaran. Keenam
mata pelajaran itu adalah Pendidikan
Agama, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya dan
Keterampilan, dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Lalu kemana Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), bahasa Inggris, dan bahasa Daerah?
Pemerintah akan mengintegrasikan IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran yang lain. Sementara posisi
bahasa Daerah tetap menjadi muatan
lokal. Dan yang mengejutkan adalah
bahasa Inggris. Dalam kurikulum sekolah dasar itu nantinya, bahasa Inggris akan dimasukkan ke dalam salah

40

satu kegiatan ekstrakurikuler. Bahasa


Inggris bukan lagi menjadi salah satu
mata pelajaran.
Alasan pemerintah memangkas
sejumlah mata pelajaran mungkin
bisa kita terima. Kita memahami mata
pelajaran di sekolah dasar memang
terlalu banyak dan membebani.Anakanak bangsa yang berusia berkisar
antara 6 sampai 12 tahun itu setiap
hari dijejali dengan berbagai teori dan
tugas-tugas sekolah yang sering kali
membuat mereka stres, bahkan orang
tuanya. Kemudian kita mengagungagungkan anak yang meraih peringkat pertama walaupun kerap kali yang
berambisi meraih peringkat tersebut
bukan anaknya, melainkan orang
tuanya. Kita lebih mementingkan sisi
knowledge (pengetahuan) dibandingkan skill (keterampilan), dan terkesan melupakan sisi attitude (sikap).
Pola pendidikan yang memarginalkan sikap inilah kemudian menghasilkan generasi muda yang suka
tawuran di jalan, suka merampas hak
orang lain, tidak tahu sopan santun
hingga perilaku korupsi yang menggerogoti bangsa dari dalam.Apalah
artinya kita memiliki nenek moyang
yang terkenal dengan kearifan dan
keramahannya hingga ke seluruh
dunia, apabila nilai-nilai adiluhung
tersebut tidak dapat kita pertahankan
dan tertanam kuat pada setiap anak
bangsa. Bandingkan dengan negara
Australia. Konon, nenek moyang mereka adalah narapidana kriminal Kerajaan Inggris. Kini Australia, yang
nenek moyangnya narapidana kriminal itu, termasuk 10 negara terbaik sebagai tempat tinggal manusia dengan
tingkat kriminalitas (Kota Melbourne). Ini karena para guru dan pendidik di Australia lebih khawatir jika
murid mereka tidak jujur, tidak mau
mengantre, tidak memiliki kepedulian
dan berempati, tidak hormat kepada

orang lain, dan tidak memiliki etika


sopan santun. Menurut mereka, untuk membuat anak cerdas secara akademik hanya dibutuhkan waktu 36
bulan mengajar secara intensif.Tapi,
untuk mendidik perilaku seorang
anak dibutuhkan waktu lebih dari 15
tahun.
Tampaknya pemerintah semakin
menyadari peranan intellegence
question (kecerdasan akademik) dalam kehidupan tidak terlalu besar
sebagaimana yang dibayangkan selama ini. Ini sejalan dengan pandapat Goleman. Dalam buku Emotional
Intellegence, Goleman (2005) mengatakan kecerdasan akademik paling
tinggi menyumbang 20 persen terhadap kesuksesan seseorang dalam
hidup. Keberhasilan hidup justru lebih banyak ditentukan oleh hal-hal
lain seperti kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional mencakup
pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Sudah saatnya
kita mengelola pendidikan berbasis
pada karakter atau pembentukan watak sejak dini. Namun, apakah semua
alasan di atas menjadi dasar untuk
menempatkan bahasa Inggris menjadi salah satu kegiatan ekstrakuriluler
dalam kurikulum sekolah dasar?
Bagi pengajar, praktisi, peminat
dan penikmat bahasa Inggris, kebijakan di atas tentu tidak dapat diterima. Bahasa Inggris bukan menjadi
pemicu dan penyebab merosotnya
moralitas bangsa.Tidak ada kaitan
antara bahasa Inggris dengan moral
bangsa. Suka tidak suka bangsa ini
harus menguasai bahasa Inggris untuk dapat menyejajarkan diri dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk
itulah bahasa Inggris harus diajarkan
sejak dini. Bahasa Inggris harus dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran paling tidak sejak jenjang sekolah
dasar. Kesungguhan dan keantau-

MPA 317 / Pebruari 2013

02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - PEBRUARI 2013.pmd


40

1/28/2013, 12:36 PM

siasan untuk menguasai bahasa Inggris akan sangat berkurang jika bahasa Inggris hanya menjadi salah
satu kegiatan ekstrakurikuler. Proses
perencanaan, pelaksanaan, hingga
penilaian bahasa Inggris sebagai kegiatan ekstrakurikuler akan sangat
berbeda sekali baik substansi maupun maknanya kala bahasa Inggris
dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran.
Salah satu alasan penting yang
menunjukkan betapa pentingnya
pembelajaran bahasa Inggris sejak
dini adalah critikal period hypothesis. Yaitu masa kritis belajar bahasa
yang berlangsung hingga memasuki
usia pubertas (sekitar 12 tahun).
Masa ini merupakan masa emas, masa yang paling tepat bagi anak untuk
belajar bahasa.Asher dan Garcia
(1969) pernah meneliti hubungan antara usia dan kedatangan imigran
Kuba ke Amerika dengan aksen dalam
berbahasa Inggris. Penelitian dilakukan terhadap kelompok anak yang
berusia1-6 tahun, 7-12 tahun, dan 1319 tahun ketika sampai di Amerika.
Setelah 5 tahun mereka tinggal di
Amerika, didapatkan temuan bahwa
70% anak yang berusia 1-6 tahun
nyaris mirip seperti penutur aslinya
dalam berbahasa Inggris. Hanya 30%
anak yang aksen bahasa pertamanya
yang masih kedengaran ketika berbahasa Inggris. Sementara imigran
yang berusia 7-12 mampu berbahasa
Inggris hampir seperti penutur aslinya sebanyak 40%, sekitar 43% mampu berbahasa Inggris dengan aksen
bahasa pertama yang masih sedikit
kelihatan. Dan sisanya 17% mampu
berbahasa Inggris dengan aksen bahasa pertama yang kental. Untuk imigran yang berusia 13-19 tahun, hanya
7% yang mampu berbahasa Inggris
nyaris seperti penutur aslinya, 27%
mampu berbahasa Inggris dengan
aksen bahasa pertama yang masih
kelihatan, dan 66% mampu berbahasa
Inggris dengan aksen bahasa pertama yang kental.
Mempertentangkan antara bahasa Inggris sebagai suatu mata pelajaran dan masuk ke dalam salah satu
kegiatan ekstrakurikuler secara terus
menerus tak akan ada manfaatnya.
Sebenarnya yang paling substansi
yang harus segera dibenahi dalam
pembelajaran bahasa Inggris adalah

proses dalam kegiatan belajar mengajar. Ada baiknya kita bertanya pada
diri sendiri.Berapa tahun kita belajar
bahasa Inggris? Sejak kapan dan
sampai kapan kita belajar bahasa Inggris? Sejak masuk di jenjang sekolah
apa dan sampai di jenjang sekolah
apa kita belajar bahasa Inggris? Dan
pertanyaan puncaknya adalah apakah sekarang kita sudah bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris dengan baik secara lisan maupun dengan tulisan?
Pada umumnya kita belajar bahasa Inggirs sejak di sekolah lanjutan
tingkat pertama (SLTP) hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Ini
berarti kita belajar bahasa Inggris selama enam tahun.Waktu belajar yang
lebih dari cukup untuk dapat berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Kenyataannya tidak seperti itu.Kita tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan baik. Bahkan, ada yang sama sekali tidak memahaminya. Tapi lucunya, lulus SLTA.
Artinya nilai bahasa Inggrisnya lebih
dari cukup.
Langkah awal yang harus segera dibenahi dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah pola pikir pengajar atau guru. Selama guru masih memandang bahasa Inggris sebagai
knowledge, jangan berharap anakanak kita akan mampu berbahasa Inggris dengan baik. Karena materi yang
akan diterima anak-anak adalah grammar (tata bahasa). Anak-anak akan
dijejali dengan berbagai teori kebahasaan. Anak-anak akan diajari teori
menyusun kalimat dalam bentuk
present tense, past tense, future
tense, dan segudang teori lainnya.
Mereka tidak memiliki kesempatan
yang memadai untuk langsung praktik berbahasa Inggirs. Mereka tidak
memiliki kesempatan mengekspresikan dirinya dengan bahasa Inggris.
Mereka tidak memiliki kesempatan
melafalkan suatu kata dengan tepat.
Bagaimana mungkin dapat berbahasa Inggris tanpa adanya latihan atau
praktik. Sama halnya dengan seseorang yang ingin menjadi pemain
bola voli. Bagaimana mungkin ia dapat melakukan service atau smash
hanya dengan duduk di kelas mendengarkan penjelasan guru tentang
teori-teori service dan smash. Untuk
dapat melakukan service dan smash

tentu harus turun ke lapangan dan


berlatih dengan keras.
Pola pikir yang seharusnya dimiliki oleh guru atau pengajar bahasa
Inggris adalah memandang bahasa
Inggris sebagai skill, bukan sebagai
knowledge. Pandangan ini tak menampik pentingnya teori dalam pembelajaran. Teori tetap penting, tetapi
jangan sampai teori menghalangi
atau membuat seseorang takut membuat kesalahan dalam praktik. Sebab
kalau anak-anak sudah takut membuat suatu kesalahan, mereka akan
enggan atau tidak mau praktik lagi.
Oleh karena itu teori jangan disampaikan secara vulgar, artinya disampaikan secara terpisah dengan praktik.
Anak-anak diberi kesempatan yang
luas praktik menggunakan bahasa
Inggris. Biarkan dulu mereka melakukan kesalahan, yang penting mereka
mau dan berani berbahasa Inggris.
Baru kemudian sambil lalu kita
masukkan grammar-nya sedikit demi
sedikit ketika mereka berpraktik.
Dengan pola pikir yang dibangun di atas, tujuan pembelajaran bahasa Inggris agar anak mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris
akan mudah tercapai. Rencana pemerintah memasukkan bahasa Inggris ke
dalam kegiatan ekstrakurikuler dan
bukan sebagai suatu mata pelajaran
lagi dalam kurikulum sekolah dasar
mendatang hendaknya jangan sampai mengurangi semangat dan antausisme para pendidik atau stakeholders yang lain dalam mencapai tujuan
pembelajaran bahasa Inggris. Marilah kita ambil hikmahnya. Justru
dengan menempatkan bahasa Inggris
sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler, kita akan lebih leluasa
mengelola kegiatan pembelajaran
yang lebih mengarah pada praktik.
Kita tidak akan terlalu terikat pada
waktu dan aturan yang membelenggu seperti ketika bahasa Inggris menjadi salah satu mata pelajaran. Kalau
hal ini dapat disikapi dengan baik,
malah pembelajaran bahasa Inggris
akan lebih fun. Dan tentu saja kalau
bahasa Inggris sudah menyenangkan bagi anak, generasi-generasi
mendatang akan mampu berbahasa
Inggris dengan baik.z
*) Kepala SD Negeri Pandean
Paiton Kab. Probolinggo

MPA 317 / Pebruari 2013

02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - PEBRUARI 2013.pmd


41

1/28/2013, 12:36 PM

41

Anda mungkin juga menyukai