Anda di halaman 1dari 12

Dimensi Transendental Manusia:

Filsafat Yunani Pertengahan - Modern


A. Yunani
Plato
Keberadaan Ide-ide
Pemikiran Plato mengacu pada ajarannya tentang ide-ide yang merupakan dasar
dari seluruh pemikiran filsafatnya. Ide yang dimaksud Plato bukanlah ide subjektif yang
terdapat pada pemikiran saja, tetapi merupakan sesuatu yang justru objektif. Bagi Plato,
ide-ide tidak diciptakan oleh pemikiran subjek yang kemudian membuatnya bergantung
pada pikiran semata. Apa yang disebut dengan ide adalah sesuatu yang berdiri sendiri,
hal tersebut justru yang memungkinkan adanya pemikiran atas sesuatu. Artinya
pemikiran dimungkinkan karena keterarahannya terhadap ide-ide yang berdiri sendiri
tersebut, dengan demikian justru idealah yang memimpin pikiran manusia menurut
Plato. Idea bersifat kekal dan tidak berubah, sementara yang dapat kita temukan melalui
pengamatan pada dasarnya adalah pengungkapan dari idea-idea tentangnya.
Pengungkapan dari idea-idea adalah realisasinya pada dunia pengamatan, sifatnya tidak
tetap, beragam, dan berubah.1 Plato berusaha menyampaikan bahwa ada ide-ide yang
terlepas dari keberpikiran subjek.
Pikiran Plato yang berikutnya adalah mengenai jiwa. Ajarannya tentang jiwa tidak
terlepas dari perhatiannya terhadap penyelidikan atas manusia yang dipandang sebagai
makhluk spesial di dunia. Manusia adalah tubuh dan juga jiwa, namun tubuh yang
dimiliki manusia pada akhirnya akan melemah dan mati, tidak sama halnya dengan
jiwa. Menurut Plato, jiwa tidak akan pernah mati atau ia adalah sesuatu yang kekal.
Jiwa adalah sesuatu yang berada sendiri, sesuatu yang berasal dari dunia idea, oleh
karena itu bersifat kekal. Plato menganggap jiwa sebagai suatu prinsip yang
1 Hadiwijono, Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, hlm. 40.

menggerakan dirinya sendiri dan karena itu ia dapat juga menggerakan badan.
Pendapatnya ini mengacu pada argumen lain yang berusaha membuktikan kekekalan
jiwa pada dialog Phaidros.2
Plato tentu memiliki keyakinan yang besar bahwa jiwa manusia adalah kekal.
Selanjutnya untuk menjelaskan tentang ide-ide, Plato kembali pada argumen dari
Empedokles tentang pengenalan, bahwa yang sama mengenal yang sama. Tubuh akan
berubah menjadi tua, menjadi lemah, dan kemudian mati; akan tetapi jiwa akan tetap
dan tidak berubah. Demikian juga dengan ide-ide, ia bersifat tetap dan kekal. Dengan
demikian baik jiwa ataupun ide-ide keduanya adalah sama dalam hal kekekalannya.
Dua Dunia
Dalam pandangan Plato terdapat dua realitas dunia, yaitu dunia bagi ide-ide dan
dunia jasmani, dunia tempat kita berdiri yang serba berubah dan dunia yang serba
jamak, yang bersifat inderawi.3 Manusia mengenal kedua dunia tersebut karena ia
merupakan makhluk yang terdiri dari jiwa dan tubuh. Dualisme tersebut memungkinkan
manusia untuk berada di dalam dunia idea dengan rasionya dan juga di dalam dunia
jasmani dengan pancaindera yang dimiliki. Manusia hanya dapat mencapai dunia idea
dengan rasio sebagai perantaranya, karena ide-ide hanya dapat dikenali oleh rasio bukan
dengan pancaindera. Ide tentang pohon atau ide tentang manusia berbeda dengan pohon
atau manusia yang ada di hadapan pancaindera. Ide hanya ada satu dan tidak akan
berubah, sementara yang nampak pada pancaindera sifatnya tidak tetap atau masih
dapat berubah-ubah, ia tidak hanya satu namun ada banyak. Misalnya, ide batu adalah
benda padat, keras; pada dunia jasmani ada batu yang bulat atau persegi, artinya ada
bermacam-macam batu ia dapat berubah sewaktu-waktu, namun ide utamanya tetap
yaitu benda padat, keras. Yang ada pada dunia jasmani merupakan tiruan terhadap ide
2 Bertens, K., 1999, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 137.
3 Hadiwijono, Harun, Op.Cit., hlm. 41.

utama yang ada pada dunia idea, oleh karena itu apa yang hadir pada dunia jasmani
tidaklah sempurna.
Manusia
Manusia dapat dibandingkan dengan para tahanan yang sejak lahir telah
terbelenggu di dalam gua, demikianlah yang dikatakan Plato. Ia menganalogikan
manusia dalam pemahaman atas realitas dunia yang mereka yakini melalui sebuah
mitos.
Manusia dapat dibandingkan demikian katanya dengan orang-orang tahanan
yang sejak lahir duduk terbelenggu dalam sebuah gua. Kepalanya pun tidak dapat
bergerak dan selalu terarah kepada dinding gua. Di belakang mereka ada api
bernyala. Beberapa budak belian berjalan-jalan di depan api itu, sambil memikul
bermacam-macam benda. Hal itu menyebabkan rupa-rupa bayang yang
dipantulkan pada dinding gua. Maka dari itu orang-orang tahanan menyangka
bahwa bayang-bayang itu merupakan realitas yang sebenarnya dan tidak ada
realitas lain. Namun sesudah beberapa waktu salah seorang dari mereka
dilepaskan. Ia melihat sebelah belakang gua dan api yang berada di situ. Ia sudah
mulai memperkirakan bahwa bayang-bayang tidak merupakan realitas yang
sebenarnya. Lalu ia diantar keluar gua dan melihat matahari yang menyilaukan
matanya. Mula-mula ia berpikir bahwa ia sudah meninggalkan realitas. Tetapi
berangsur-angsur ia menginsafi bahwa itulah realitas yang sebenarnya dan bahwa
dahulu ia belum pernah memandangnya. Pada akhirnya ia kembali ke dalam gua
dan memberitahukan kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat
bukannya realitas sebenarnya melainkan hanya bayang-bayang saja. tetapi mereka
tidak mempercayai orang itu dan seandainya mereka tidak terbelenggu, niscaya
mereka akan membunuh setiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua.4

4 Bertens, K., Op.Cit., hlm. 135.

Lalu bagaimana kita memahami mitos gua di atas? Plato hendak menyampaikan
bahwa sifat dasar manusia adalah menerima begitu saja pengalaman spontan yang
didapat dari kehidupan dunia jasmani. Sifat tersebut dapat dianalogikan dengan para
tahanan yang menerima bayangan di dinding gua sebagai realitas atau sebuah
kebenaran. Gua merupakan dunia jasmani yang hadir dihadapan pancaindera.
Kehidupan yang manusia jalani dengan segala hal yang terlihat oleh mata adalah
kehidupan jasmani yang dianggap sebagai sebuah realitas. Namun tidak semua manusia
menganggap apa yang tampak oleh indera sebagai sebuah realitas yang harus diterima
begitu saja. Dalam perjalanan kehidupan akan ada orang-orang yang meragukan realitas
inderawi dan mempertanyakan kebenaran, hingga akhirnya menemukan realitas ideal
yang hanya ada pada dunia idea. Orang yang demikian oleh Plato disebut sebagai
seorang filsuf, yaitu yang memperkirakan realitas inderawi sebagai bayang-bayang saja.
Jiwa dan Tubuh
Plato memandang manusia sebagai makhluk dengan dua substansi yang melekat
pada dirinya, yaitu jiwa dan tubuh. Antara jiwa dan tubuh adalah dua realitas yang sama
sekali berbeda dan tidak dapat disatukan. Jiwa adalah kekal maka ia tidak akan mati,
sedangkan tubuh sifatnya tidak tetap dan akan menemui akhirnya, yaitu kematian. Asal
jiwa adalah dari dunia idea, oleh karenanya ia tidak akan mati. Jiwa yang berasal dari
dunia idea ini memiliki tiga bagian dengan fungsinya masing-masing. Bagian pertama
adalah bagian rasional, yaitu bagian tertinggi yang dapat melihat ide-ide; bagian kedua
adalah kehendak, yang berfungsi untuk mengatur bagian terendah; dan bagian terendah
yaitu keinginan, yang merupakan tempat dari nafsu-nafsu dan tidak teratur.5 Bagian
kehendak berfungsi untuk mengatur nafsu yang ada pada manusia melalui pengendalian
diri. Kehendak ini dapat menertibkan nafsu jika disertai dengan rasio, namun dapat juga
terbawa oleh nafsu jika tidak diikuti dengan rasio.
Plato mempercayai adanya suatu pra-eksistensi yang dialami oleh jiwa sebelum
bersatu dengan tubuh. Pada pengalaman pra-eksistensi itu jiwa telah memandang ide5 Hadiwijono, Harun, Op.Cit., hlm. 42.

ide. Bersatunya jiwa dengan tubuh oleh Plato disebut sebagai sebuah hukuman bagi
jiwa, hal tersebut diceritakannya dalam sebuah mitologi. Jiwa adalah laksana sebuah
kereta yang bersais (fungsi rasional), yang ditarik oleh dua kuda bersayap, yaitu kuda
kebenaran yang lari ke atas, ke dunia idea, dan kuda keinginan atau nafsu yang lari ke
bawah, ke dunia gejala. Dalam tarik-menarik itu akhirnya nafsulah yang menang,
sehingga kereta itu jatuh ke dunia gejala dan dipenjarakanlah jiwa.6
Terpenjaranya jiwa dalam tubuh adalah hukuman karena keinginan yang terjerat
oleh nafsu atas bayang-bayang dunia jasmani. Untuk dapat terlepas dari penjara tubuh,
manusia harus mencari dan mendapatkan pengetahuan. Karena hanya dengan
pengetahuanlah seseorang dapat melihat ide-ide yang ada pada dunia idea.7 Maka dari
itu jiwa yang hidup dalam tubuh di dunia jasmani ini selalu berusaha mendapatkan
pengetahuan, hingga kemudian setelah tubuh mengalami kematian jiwanya dapat
menemukan kebahagiaan dengan melihat ide-ide sebagaimana sebelum terpenjara
dalam tubuh.
Tujuan hidup manusia sendiri menurut Plato adalah eudaimonia yaitu hidup yang
baik atau kebahagiaan.8 Untuk mempeoleh kebahagiaan maka manusia harus
mendapatkan pengetahuan yang didapat dari pendidikan. Pendidikan sendiri bukan
hanya mengenai akal, tetapi juga memberikan bimbingan pada perasaan-perasaan yang
lebih tinggi. Tujuannya adalah agar rasio dapat mengatur nafsu-nafsu, karena akal
sendiri tidak berdaya tanpa bantuan dari perasaan-perasaan yang diberi arah yang benar.
Yang demikian adalah dimensi transendental manusia menurut Plato, bahwa manusia
merupakan makhluk yang terdiri dari jiwa dan tubuh. Jiwa yang telah memandang ideide dalam pengalaman pra-eksistensinya setelah terkurung dalam tubuh selalu rindu
terhadap pandangan atas ide-ide yang merupakan kebahagiaannya. Oleh sebab itu dalam
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Ibid, hlm. 43.

hidupnya manusia selalu mencari pengetahuan demi mencapai tujuan hidupnya yaitu
eudaimonia atau hidup yang baik, eudaimonia tidak dapat ditemukan di dunia jasmani,
melainkan hanya ada pada dunia idea yang hanya dapat ditemui dengan bantuan akal
saja. Kesempurnaan hanya terdapat di dunia ideal yaitu dunia ide-ide, meskipun
demikian dalam menjalani hidup di dunia jasmani ini manusia harus berusaha hidup
sesempurna mungkin, dan ketika tubuhnya mati, jiwanya akan terbebas dan kembali
menemui ide-ide di dunia atas yaitu dunia idea.

B. Pertengahan
Markus Aurelius Augustinus
Augustinus adalah seorang pemikir besar pada masa keemasan Patristik di Barat
sekitar abad ke-4. Pada awal perjalanannya ia adalah seseorang yang mengikuti nafsu
dan penganut Manikheisme, yaitu sebuah agama yang dibawa oleh seorang bernama
Mani sekitar tahun 240 M. Pada usia 29 tahun Augustinus menyadari kebenaran dari
agama Manikheisme yang selama ini diyakininya dan kemudian bertobat, hingga
akhirnya dibaptis pada tahun 387. Lima tahun kemudian ia menjadi imam, dan karena
kesalehannya diangkat menjadi uskup di Hippo pada tahun 396. Sebagai seorang tokoh
teologi dan filsafat, pemikirannya didominasi oleh pemikiran-pemikiran tentang agama
dengan bahasa filsafat. Ia berusaha membuktikan adanya keterkaitan antara filsafat
dengan agama, dan sebaliknya.
Augustinus adalah salah seorang yang menentang aliran skeptisisme, karena ia
menganggap skeptis sebagai sikap yang menunjukan adanya pertentangan batiniah.
Segala sesuatu memang dapat diragukan menurutnya, tapi tidak pada satu hal, yaitu
pada keragu-raguannya. Ia kemudian menunjukan keterkaitan antara aturan pengenalan
dengan aturan keberadaan, bahwa keragu-raguan membuktikan keberpikiran, dan
keberpikiran menunjuk pada keberadaannya. Dengan kata lain, siapa yang ragu-ragu
maka sebenarnya ia berpikir, dan jika ia berpikir maka pasti ia berada. Aku ragu-ragu

maka aku berpikir, aku berpikir maka aku berada.9 Alasan skeptisisme meragukan
segala sesuatu adalah karena ketidakyakinannya atas adanya kebenaran. Augustinus
dengan dalilnya bermaksud mempertahankan adanya kebenaran, dengan demikian tidak
akan sia-sialah usaha untuk menemukan kebenaran tersebut.
Berpikir adalah sebuah kebenaran yang absolut, artinya kebenaran bahwa manusia
berpikir tidak dapat dibantah, hal ini berkaitan dengan gejala-gejala yang ada pada
kehidupan manusia. Berpikir dapat mengantarkan kita pada kebenaran dan kepastian,
selain itu manusia dapat mencapai pertimbangan-pertimbangan yang tidak terbatas
dengannya. Menurut Augustinus, jika memang ada pertimbangan-pertimbangan yang
tidak terbatas dan tidak berubah, maka pasti ada realitas yang kekal, mutlak, dan
mengatasi segala pikiran manusia.10 Yang kekal dan mutlak tentu bukanlah benda,
karena setiap benda pasti akan berubah dan berakhir. Realitas itu kekal, tidak dapat
dijangkau oleh indera, dan menjadi sumber segala kehidupan dan pikiran, maka pastilah
itu bersifat rohani. Demikian itulah Allah, yang ditemukan Augustinus melalui
penganalisaan pikiran.
Dalil Augustinus, Aku ragu-ragu, maka aku berada bukan hanya untuk
menjelaskan keberadaan diri manusia, namun juga untuk membuktikan bahwa pikiran
dapat mencapai suatu realitas yang lebih tinggi dan metafisis yang tidak dapat
dijelaskan oleh dunia gejala. Dasar dari segala kebenaran kemudian adalah dari sumber
yang metafisis tadi, yaitu Allah. Allah dijelaskannya sebagai yang mengatasi segala
gagasan, maka ketika berbicara tentang Allah, ketidaktahuanlah yang hadir. Artinya
tidak ada gagasan apapun tentang Allah itu sendiri, karena Ia lah yang mengatasi segala
gagasan. Jika pun dapat dijelaskan, maka penjelasan yang paling mungkin adalah
bahwa Allah bukan apa-apa.11 Bukan apa-apa tersebut bukanlah dalam arti yang
9 Ibid, hlm. 79.
10 Ibid, hlm. 80
11 Ibid.

merendahkan, tetapi berarti bahwa Ia tidak dapat dijelaskan dalam kategori apapun di
dunia gejala ini. Allah lah yang menciptakan jagat raya, maka dari itu dunia jasmani ini
akan berubah, karena keberadaannya adalah di luar Allah. Sama juga halnya dengan
manusia, tubuhnya akan berubah dan mati, namun tidak dengan jiwanya. Jiwa memiliki
tempat tertinggi di dalam penciptaan, ia hidup bersama tubuh namun tidak mati bersama
tubuh, karena ia berdiri sendiri dan kekal sifatnya. Oleh sebab itu, jiwa dapat
menemukan kebenaran-kebenaran yang kekal. Namun tidak seperti yang dijelaskan
Plato, menurut Augustinus jiwa tidak mengalami pra-eksistensi.
Dasar penciptaan adalah creatio ex nihilo, yaitu penciptaan dari yang tidak ada
(nihil). Allah menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi berada.
Dunia diciptakan dari akal dan hikmat Allah, dengan ide-ide ilahi yang teratur tentang
dunia. Segala sesuatu menurut Augustinus pada awalnya adalah nihil, hingga kemudian
Allah menjadikannya ada.12 Begitu juga dengan manusia, yang merupakan bagian dari
ide-ide Allah. Manusia adalah ide-ide yang sama dengan dunia roh dan dunia jasmani
yang diciptakan, sebab manusia adalah jiwa dan tubuh sekaligus. Jiwa dan tubuh
diciptakan secara bersamaan, namun dengan posisi dan fungsinya masing-masing. Jiwa
berada pada tempat tertinggi dalam tertib penciptaan menurut Augustinus karena
kekekalannya di tengah-tengah hidup yang terus mengalami perubahan. Oleh karena itu
jiwa dipandang pula sebagai asas hidup yang berkesadaran, yang menentukan gerak
tubuh kepada tujuannya. Jiwa mampu memandang kepada kebenaran-kebenaran yang
kekal, sebab ia senantiasa ada dan tidak mengalami kematian sebagaimana tubuh.
Namun jiwa dalam pandangan Augustinus tidak mengenal adanya pra-eksistensi atau
perpindahan jiwa seperti Plato.13
12 Nihil dalam pandangan Augustinus tidak seperti me on menurut Plato. Me on adalah
materi yang mendasari segala ada, yang merupakan pengingkaran relatif, yaitu sebagai
sebuah kemungkinan. Sedangkan nihil adalah pengingkaran mutlak, karena menurut
Augustinus adalah mutlak bahwa sebelum Allah menciptakan tidak ada sesuatu apapun
itu. (Ibid, hlm. 81)
13 Ibid, hlm. 81-82.

Baik dunia dan manusia berpartisipasi dengan ide-ide ilahi. Manusia juga
berpartisipasi dengan idea-idea ilahi, yang membedakan yaitu bahwa partisipasi dunia
adalah pasif, sedangkan manusia berpatisipasi dengan aktif. Augustinus menjelaskan
partisipasi itu dengan pengenalan yang penuh kasih. Pengenalan adalah partisipasi
dalam pengenalan terhadap Allah, sedangkan mengasihi adalah partisipasi dalam
kebaikan. Pengenalan diawali dengan pengamatan inderawi, dan rasio yang memberi
pertimbangan atas perangsangan-perangsangan dari indera, lalu mengatur sesuai
tindakan manusia. Dalam bertindak dan berpikir manusia menyadari kebenaran yang
mutlak. Kebenaran itulah akhirnya yang menuntun setiap tindakan manusia.14

C. Modern
Imanuel Kant
Imanuel Kant dapat dianggap sebagai inspirator karena ia berhasil mendamaikan
perselisihan epistemologis antara rasionalis dengan pengetahuan a priori dan empiris
dengan pengetahuan a posteriori-nya. Baginya benar bahwa pengetahuan tentang dunia
berasal dari indera, tetapi terdapat faktor-faktor di dalam pikiran yang menentukan cara
kita memandang dunia. Oleh sebab itu pengetahuan dalam pandangan Kant merupakan
hasil sintesis dari unsur-unsur a priori dan a posteriori.15 Ia menolak pandangan empiris
bahwa pengindraan adalah murni a posteriori. Baginya dalam penampakan objek
terdapat dua unsur penting, yaitu unsur materi dan bentuk. Materi berhubungan dengan
isi pengindraan, sedangkan bentuk yang membuat penampakan tersusun dalam
hubungan-hubungan tertentu. Dalam hal ini maka bentuk terdiri dari unsur a priori, dan
materi adalah a posteriori.

14 Ibid, hlm. 82
15 Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern, hlm. 133

Filsafat Kant juga disebut sebagai pertentangan dari pemikiran sebelumnya yang
menerima begitu saja kemampuan rasio dalam menghasilkan pengetahuan tanpa
menguji batas-batasnya. Adalah dogmatisme yang merupakan sasaran dari kritik
filsafat Kant yang mempersoalkan batas-batas rasio untuk terlebih dahulu diselidiki.
Kant dengan filsafatnya menyarankan untuk terlebih dulu menyelidiki kemampuan dan
batas-batas dari rasio sebelum menerimanya sebagai sumber pengetahuan. Oleh karena
itu filsafat Kant kemudian dikenal sebagai kritisisme, yaitu filsafat yang terlebih
dahulu

menyelidiki

kemampuan

dan

batas-batas

rasio

sebelum

memulai

penyelidikannya. Kritisisme adalah filsafat yang menyelidiki terlebih dahulu die


Bedingung der Moglichkeit (syarat-syarat kemungkinan) pengetahuan.16 Maka tidak
heran jika kritisisme ini dipertentangkan dengan dogmatisme. Para pemikir dogmatis
dianggap oleh Kant telah bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisika tersebut.
Atas dasar itu kritik oleh Kant dipahami sebagai sebuah pengujian atas kesahihan
pengetahuan, yaitu dengan menempatkan klaim-klaim pengetahuan seperti terdakwa di
persidangan.17
Pemikiran filsafat Kant selanjutnya adalah estetika transendental. Estetika
transendental adalah pemikiran yang dibuatnya untuk menjawab relasi antara subjek
dengan objek pengetahuan, dan sebagai kritik atas pandangan empirisme inggris yang
menganggap bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi. Bagi Kant,
pengetahuan tidak selalu didapat dari pengalaman indrawi. Menurutnya, subjek
berhubungan dengan objek pengetahuan melalui intuisi langsung yang mengandaikan
bahwa ada pengaruh dari objek terhadap subjek dengan cara tertentu. 18 Empirisme
menganggap bahwa pengindraan adalah murni a posteriori. Kant tidak sepakat dengan
empirisme, menurutnya pengindraan melibatkan tidak hanya a posteriori, namun juga a
priori. Dalam penampakan objek terdapat unsur materi (materia) yang merupakan isi
16 Ibid.
17 Cara berfilsafat Kant ini disebut dengan proseduralisme, dimana isi pengetahuan
diandaikan sebagai pusat pnyelidikannya, namun yang sebenarnya diselidiki justru
adalah proses atau cara memperoleh pengetahuan. (Ibid.)

dari pengindraan, serta bentuk (forma) yang memungkinkan adanya hubunganhubungan tertentu pada setiap penampakan. Dengan kata lain, ada unsur a priori yaitu
forma, dan a posteriori yaitu materia.
Ada dua forma atau bentuk murni dari pengindraan, yaitu ruang (Raum) dan
waktu (Zeit).19 Kant mengenalkan istilah das Ding an sich (benda pada dirinya),
menurutnya apa yang kita tangkap sebagai objek bukanlah objek. Artinya, objek yang
ada di luar kita sebenarnya tidak kita ketahui. Yang nampak di hadapan kita tidak lain
merupakan sintesis dari efek objek pada subjek, serta forma ruang dan waktu yang ada
pada subjek. Yang ingin disampaikan Kant adalah bahwa ada das Ding an sich yang
tidak kita ketahui, namun kenyataan empiris tidak lain selalu merupakan sintesis dari
unsur a priori (bentuk) dan a prosteriori (materi).20 Maka, kenyataan yang tampak tidak
hanya kelihatannya berada dalam ruang dan waktu, tetapi memang berada di dalamnya.
Ruang dan waktu adalah real secara empiris, karena keduanya nyata secara inderawi.
Namun secara transendental, keduanya ideal karena hanya berguna pada penampakan
inderawi, namun tidak pada das Ding an sich.
Pemikiran penting lainnya dari Kant adalah pada dialektika transendental yaitu
pengetahuan pada taraf rasio. Kant membedakan antara rasio (Vernunft) dengan akal
budi (Verstand). Rasio berkaitan dengan ide-ide transendental yang mengatur putusanputusan ke dalam sebuah argumentasi, sedangkan akal langsung berkaitan dengan
penampakan. Fungsi rasio adalah untuk menemukan kesimpulan dari argumen-argumen
yang dibuat oleh akal berdasarkan yang tampak. Kesimpulan yang dihasilkan tidak
18 Kant menyebutkan bahwa intuisi manusia adalah intuisi indrawi, karena subjek
memiliki sensibilitas yaitu kemampuan untuk menerima representasi objek, ini
disebut sebagai kemampuan mengindrai. Selain itu, efek sebuah objek pada kemampuan
representasi atau pikiran sejauh dipengaruhinya disebut dengan pengindraan.
Sedangkan objek pengindraannya disebut penampakan. (Ibid, hlm. 137)
19 Ibid.
20 Ibid, hlm. 138

berdasarkan pada penampakan sebagaimana putusan yang dibuat akal, akan tetapi
berdasarkan dari dua putusan akal tadi. Misalnya, pada putusan semua burung
mempunyai sayap, dan ayam adalah burung, kesimpulan yang dihasilkan adalah
ayam mempunyai sayap. Dua putusan sebelumnya dibuat berdasarkan pengamatan
pada penampakan burung dan ayam, akan tetapi kesimpulan yang dihasilkan tidak
didapat dari penampakan langsung, melainkan dari kedua putusan yang ada.
Demikianlah tugas rasio untuk mengusahakan kesatuan dalam putusan ketiga, yang
merupakan pendamaian dari dua putusan sebelumnya.21
Kant juga berbicara tentang tujuan yang mendasari imperatif kategoris. Imperatif
kategoris memerintahkan sesuatu tidak untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi karena
perintah itu baik pada dirinya. Menurut Kant, tujuan yang mendasari imperatif kategoris
tersebut adalah sesuatu yang universal dan tidak berisi hasrat subjektif. Tujuan itu
adalah manusia. Manusia adalah makhluk rasional, maka ia bukan sekedar sarana,
melainkan tujuan pada dirinya. Dengan demikian, manusia sebagai tujuan objektif
mendasari imperatif kategoris, yang tujuannya dirumuskan dalam perintah praktis
berikut,
Bertindaklah sedemikian rupa sehingga Anda selalu memperlakukan umat
manusia entah di dalam pribadi Anda maupun di dalam pribadi setiap orang lain
sekaligus sebagai tujuan, bukan sebagai sarana belaka.22

21 Istilah Vernunft merujuk pada kemampuan yang lebih tinggi dari akal. Kant juga
menambahkan bahwa aturan logis rasio adalah untuk mendapatkan kesatuan yang lebih
besar, bahkan menuju keadaan akhir yang murni dan tidak terkondisikan. (Ibid, hlm.
142)
22 Ibid, hlm. 149

Anda mungkin juga menyukai